AL-SYĀFI’Ī
Skripsi
Oleh
Muhammad Lutfi
NIM: 1111034000163
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Syāfi’ī” telah diajukan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 18 Juli 2018 Dan telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu
Sidang Munaqosah
ABSTRAK
Muhammad Lutfi
Kritik Fazlur Rahman Terhadap Konsep Sunnah al-Syāfi’ī
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga
Para Nabi, para sahabat, para tabi’īn, tābi’ al-tābi’īn dan kepada para ulama yang
telah menjaga kelestarian ilmu, budaya dan peradaban hingga saat ini.
Tak berhenti penulis ucapkan rasa syukur kepada Allah Swt. atas tersusunnya
penelitian skrtipsi yang berjudul Kritik Fazlur Rahman terhadap Konsep Sunnah Al-
Syāfi’ī ini. Penulis sadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan sendirinya tanpa
dilalui berkat arahan, bimbingan dan segala bentuk bantuan dari berbagai pihak.
Maka dari itu penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya. Selanjutnya, penting
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA., selaku Ketua Jurusan dan Ibu Banun
Baningrum, M.Pd., selaku Sekretaris dan Ibu Hani Hilyati Ubaidah, M.Ag
ii
sangat padat untuk berkenan membimbing penulis dalam melakukan
Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag., Pak Toto dan seluruh jajaran Dosen yang
6. Terima kasih yang sedalam-dalam kepada Guru yang sangat luar biasa;
Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA sebagai Kyai Ma’had dan H. Utob
Tobroni, Lc., MCL sebagai Wakil Kyai Ma’had (pada saat itu) yang tidak
Asrama, tak lupa juga kepada jajaran pengajar Ma’had UIN, dan Ibu Amel
Ma’had UIN; Edi, Ajat, Ihya, Muhyidin, Mujab, Umam, Rahmat, Syauqi,
Gusti, Adnan, Ade, Huda, dan seluruh rekan-rekanwati yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu.
mencintai saya hingga saat ini. Kakanda dan adinda tersayang; Mba
Widad, Mas Arif, Mba Nay, Eyuz, Izad, dan Mas Yusuf, dan keponakan
iii
tercinta; Qia dan Maria yang selalu peduli dan selalu mensupport hidup
saya.
8. Terima kasih juga kepada anggota Keluarga Besar Bani Bunyamin, Bani
Jauhari, Bani Jahari dan Bani Mardhi yang selalu memberi semangat dan
pelajaran hidup.
Adi Fadilah, Dede, Irfan, Hilman, Muslih, Basit, Ulfah, Ilham, Fuad,
Akrom, Ulil, Ceceng, Kiting, Muflih, Asep, Restu Eka, Anis, Quraisy,
Kholik, Seman, Toib, Jamil, Ian, Ipul, Rifai, Ijal, Ayi, Zaim, Umam, Arif,
10. Rekan-rekan tangga.id; Mas Afiq, Mas Awab, Away, Muhtalim, Iqbal,
11. Rekan-rekan kerja Satria, teruntuk Pak Fariza, Ibu Aisyah, Pak Wahyu,
Pak Arnov, Mba Nurul, Mba Nina, Bang Sky, Aldo, Baim, Sakera, Nur
Hasanah, Gawanti, Candy, Bang Ip Man dan Fajrin, mereka rekan kerja
12. Teman Diskusi Cahaya Kemenangan Hati Paramadina; Mas Radhar Panca
Dahana, sebagai guru kebudayaan, juga saya haturkan terima kasih kepada
Pak Rahmat, Bang Hasan, Pak Afi, Pak Endro, Bang Sis, Agus, Bang
Rifqi, dkk
13. Dan seluruh teman dan sahabat yang ada dalam hidup saya.
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………… i
BAB I PENDAHULUAN
D. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 11
E. Metode Penelitian………………………………………… 13
F. Sistematika Penelitian…………………………………….. 14
A. Definisi Sunnah
1. Definisi………………………………………………. 16
3. Sunnah Nabi…………………………………………. 22
dan Muslim………………………………………………. 26
v
BAB III FAZLUR RAHMAN : BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN
A. Biografi
2. Kehidupan Awal……………………………………….. 30
3. Pendidikan……………………………………………... 32
4. Karier…………………………………………………... 34
AL-SYĀFI’Ī
1. Formalisasi Sunnah……………………………………. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………… 66
B. Saran-saran………………………………………………… 66
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 67
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
1. Konsonan
= ـــَــــa ب
َ َ كَتkataba َ = ā َ قَالqāla
ا..
= ـــِــــi َ سَ ِئَلsu‟ila = اِىـīََََََ َِقيَلqīla
= ـــــــu َ يَ َذهَبyażhabu = اوūََََ يَقَوَلyaqūlu
4. Diftong
َ = اَيaiََ َ كَيَفkaifa
َ = اَوau َ حَوَلḥaula
5. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ( الalif dan lam) ditransliterasi dengan al-, contoh kata
viii
2. Tasydīd atau syaddah ditransliterasi dengan huruf ganda, contoh الخطاب
(al-khaṭṭāb).
kata sandang “al” ()ال, kecuali dalam transliterasi dengan “al” diikuti dengan
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti Alquran, Hadis, Ijtihad, Ijmak dan
lain sebagainya.
5. w. : Wafat
H : Penanggalan Hijriah
M : Penanggalan Masehi
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Sunnah bukanlah suatu hal yang baru bagi kaum Muslimin, istilah
tersebut menjadi role mode di kalangan generasi Arab pra-Islam. Orang Arab telah
nenek moyang mereka, yaitu bagi adat istiadat atau hukum yang umum berlaku bagi
mereka. Mereka menganggap sebagai norma bagi diri mereka. Labīd ibn Rabī‘ah
Secara lebih dalam, sunnah adalah sebuah konsep prilaku, baik bersifat fisikal
maupun aksi-aksi mental. Sunnah tidak hanya tertuju kepada sebuah tindakan
Dengan kata lain, sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali
maupun berulang kali—yang dilakukan secara sadar. Selain sebagai sebuah tingkah
laku, sunnah juga bersifat normatif, sehingga ada keharusan moral yang tidak bisa
Dari konsep tingkah laku normatif atau teladan tersebut lahirlah konsep
tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Jika seseorang
memandang bahwa tingkah laku seseorang patut dijadikan sebagai teladan lalu
1
Ahmad Hasan, The Early Development Of Islamic Yurisprudence, terj. Agah Ganardi, judul:
Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1984), h. 76-77.
1
2
berhasil mengikuti teladan tersebut maka tingkah laku mendekati standar atau benar.
Selain itu sunnah juga bisa berarti sebagai ―jalan penengah‖ yaitu jalan yang lurus
tidak meyimpang ke kanan atau ke kiri yang berarti sebagai ―penengah di antara hal-
umum kaum Muslimin priode awal, istilah yang mencerminkan sunnah Nabi.
Peristilahan ahl ḥadiṡ, pacsa-al-Syāfi‘ī , hadis dan sunnah dianggap identik.3 Padahal
tidak sama. Hadis adalah penuturan dan prilaku Rasulullah sedangkan sunnah adalah
hukum yang di simpulkan dari penuturan itu. Dengan kata lain, hadis adalah
‗pembawa‘ dan ‗kendaraan‘ dari sunnah. Sunnah terkandung dalam hadis, karena itu
secara general bahwa suatu hadis tertentu mengandung lima sunnah4. Atau dikatakan
bahwa ada tiga sunnah dalam kejadian mengenai Barīrah seorang budak perempuan.5
Lebih jauh, sunnah selalu disimpulkan dan diketahui dari hadis, yaitu suatu laporan
(tentang Nabi).
2
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History,diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, judul:
Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, Cek ke-3, 1995) h. 1-5.
3
Yasin Dutton, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik Madinah
(Bandung: Islamika, 2003), h. 362.
4
Lihat Sunan Abī Daūd, (Beirut: Dār al-Risālah al-‗Alāmiyyah, vol. 3. 2009), h. 40.
5
Sayyidah ‗Āisyah berkata :
كان فى بريرة ثالثة سنن
Lihat al-Muwaṭṭā‘ (Beirut: Iḥyā‘ al-Turāṡ Al-‗Arābī, 1985), h. 562. Lihat juga Sahīh Bukhārī,
(Beirut: Dār Ibn al-Kaṡīr, cet. 1, 2002), h. 1345.
3
rampasan perang, keputusan yang diambil oleh gubernur Syria dan yang kemudian
dikuatkan oleh sayyidinā ‗Umar yang ketika itu menjadi khalifah kedua. Disebut oleh
Abū Yusūf (w. 182 H) sebagai hadis dan keputusan ini diikuti Abū Ḥanīfah (w. 150
H) sebagai hal yang lebih disukainya daripada tradisi yang sudah mapan dari
Rasulullah. Nampaknya bahwa istilah ini menjadi terbatas kepada perkataan dan
tindakan Rasulullah hanya ketika perbedaan arti antara sunnah dan Hadis
dikesampingkan6.
lakunya merupakan sunnah bagi masyarakat Muslim dan secara otomatis idealitas
pendapatnya yang sama seperti Lamens dan Margoliouth di dalam karyanya yang
bahwa konsep konsep ―Sunnah Nabi‖ hanya muncul di kemudian hari, sedangkan
Muslimin itu sendiri.9 Menurut Schacht, al-Syāfi‘ī merupakan ahli hukum Islam
pertama yang secara konsisten memberi batasan terhadap sunnah model prilaku Nabi
6
Hasan, The Early, h. 76-77.
7
Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis
kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction
About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,
Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.
Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,
2000), h. 6-50.
8
Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin Muhammad, judul: Islam (Bandung:
Pustaka, Cek ke-3, 1997), h.52-53.
9
Rahman, Islamic Methodology, h. 5-6.
4
atau sunnah Nabi, yang identik dengan tradisi Nabi (Hadis atau dokumentasi sunnah).
hidup‖ pada basis yang sama dengan praktik biasa atau disepakati secara umum
mendahului hadis. Ketika hadis pertama kali beredar—sekitar abad ke-dua hijriah—
tidak merujuk kepada Nabi, tetapi pertama-tama kepada tābi‘īn. Pada tahap
kepada Nabi. Pandangan Schacht ini juga diringkas dalam sebuah kutipan berikut:
…bahwa pada umumnya, tradisi yang hidup dari mazhab-mazhab hukum priode
awal—sebagian besar didasarkan pada penalaran individu—muncul terlebih dahulu;
bahwa sahabat; bahwa pada tahap kedua, ia ditempatkan di bawah lindungan para
sahabat; bahwa tradisi-tradisi dari Nabi sendiri yang diedarkan ke tengah-tengah
masyarakat oleh Muḥaddiṡ (tradisionis) menjelang adab ke-2 H, mengganggu dan
mempengaruhi ―tradisi yang hidup‖ ini, dan bahwa Al-Syāfi‘ī menyelamatkan
tradisi-tradisi otoritas tertinggi Nabi itu dari bahaya kemusnahan.
Kajian Schacht dan Goldziher serta para sarjana Barat berkesimpulan skeptis
total tehadap konsep sunnah dan hadis Nabi. Rahman berkesimpulan bahwa hal-hal
yang menyebabkan para sarjana Barat tersebut menolak konsep sunnah Nabi adalah
kandungan sunnah merupakan hasil aktivitas pemikiran bebas ahli-ahli hukum Islam
sunnah atau praktik-praktik yang ada dan lebih penting lagi—menambahkan elemen-
elemen baru dari sana-sini, terutama dari sumber-sumber Yahudi dan praktek-prakter
pemerintahan Bizantium serta Persia; dan ketiga, bahwa belakangan ketika hadis
5
berkembang menjadi gerakan besar dan menjadi fenomena masif pada penghujung
abad ke-2 H, khususnya abad ke-3 H, seluruh kandungan sunnah yang awal
dinisbatkan secara verbal kepada Nabi sendiri di bawah naungan konsep sunnah
Nabi.10
temua-temuan atau teori-teori para sarjana Barat tentang evolusi kedua konsep
tersebut, tetapi, Rahman tidak sepakat dengan teori mereka bahwa konsep sunnah
Nabi merupakan kreasi kaum Muslim yang belakangan. Baginya konsep sunnah Nabi
merupakan ―konsep yang sahih dan operatif sejak awal Islam dan tetap demikian
sepangan masa‖.11 Rahman juga mengakui bahwa di dalam Alquran tidak terdapat
istilah sunnah yang merujuk kepada ajaran-ajaran ekstra-Qurani Nabi, tetapi konsep
sunnah Nabi sudah eksis sejal awal Islam. Untuk mendukung pendapatnya tentang
menegaskan bahwa pada diri Nabi terdapat uswah ḥasanah (teladan yang baik atau
contoh yang harus diikuti)12 menurut Rahman, ayat tersebut menyiratkan bahwa
bersifat mutlak, Rahman juga mengemukakan bahwa kandungan sunnah Nabi itu
10
Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7.
11
Rahman, Islamic Methodology, h. 6-7.
12
Qs. al-Aḥzāb: 21.
6
Nabi sebagai legislator (pembuat hukum) yang dengan cermat memberikan aturan
yang mencakup seluruh kehidupan manusia secara detail, dari aturan kepemerintahan
hingga bersuci. Sesungguhnya bukti-bukti sangat kuat menunjukkan bahwa Nabi
pada dasarnya merupakan seorang reformis moral manusia dan bahwa, di samping
keputusan yang sekali-kali dikeluarkannya dalam kasus-kasus ad hoc, Beliau jarang
berpaling dari legislasi umum sebagai suatu cara untuk memajukan Islam..
Untuk satu hal, dapat disimpulkan bahwa Nabi, yang hingga akhir hayatnya
sibuk dalam perjuangan moral dan politik yang sangat berat melawan masyarakat
Makkah serta orang Arab dan dalam mengorganisasi negara komunitas, hampir-
hampir tidak memiliki waktu untuk menetapkan aturan-aturan bagi minutiae
kehidupan… hanya dalam kasus-kasus yang krusial saja Nabi terpaksa mengeluarkan
keputusan dan dalam kasus-kasus tertentu. Alquran harus mengintervensi.
Kebanyakan kasus semacam ini bersifat ad hoc dan diselesaikan secara informal serta
13
dalam cara yang ad hoc.
menyempurnakan dan menafsirkan sunnah Nabi secara kreatif menjadi ―sunnah yang
kreatif terhadap sunnah Nabi ini dicontohkan oleh Rahman dari serangkaian
Ḥanīfah, Mālik ibn Anas, dan lain lain). Contoh-contoh ini, dalam pandangan
Rahman, membuktikan bahwa ―sunnah yang hidup‖ atau sunnah kaum Muslim awal
berasal dari ―sunnah ideal‖ Nabi yang secara progresif ditafsirkan melalu ijtihad atau
qiyās. Pada titik ini Rahman mengonfirmasi temuan-temuan sarjana Barat bahwa
kandungan aktual sunnah kaum Muslim awal sebagian besar adalah produk ijtihad
personal yang telah mengkristal. Tetapi ia memberi substansi baru dari temuan-
temuan tersebut, bahwa sunnah kaum Muslim itu secara organis dengan preseden
otoritatif Nabi.
13
Rahman, Islamic Methodology, h. 15, lihat juga, Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1996), h. 167.
7
identik dengan ijmā’ kaum Muslim awal atau praktek yang disepakati, dan juga
merupakan suatu proses yang tengah berlangsung karena disertai dengan ijtihād dan
ijmā’. Pandangan Rahman yang telah diuraikan sejauh ini diringkas sebagai berikut:
pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan kurang lebih
garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan pandangan bahwa
praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah Nabi tidak dapat
yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar adalah produk
pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari kandungan (sunnah
kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal menjadi ijmā’
berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang sebagai sesuatu hal
yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah (kaum Muslim awal)
atas bahwa ijmā’ yang merupakan kristalisasi ijtihad tidak menghilangkan perbedaan
pendapat. Ijmā’ atau sunnah kaum Muslim awal ini tidak hanya bersifat regional—
melalui ijtihad-ijtihad yang berbeda, timbullah sebuah opinio publica, meskipun pada
waktu yang bersamaan proses pemikiran bebas dan interpretasi tetap berlangsung.
14
Amal, Taufik Adnan, Islam, h. 163.
8
dipahami al-Syāfi‘ī secara harfiah dan bersifat mutlak serta salah satunya wahana
16
satu-satunya bagi transmisinya adalah hadis. Akibat penalaran al-Syāfi‘ī ini,
Menurut Rahman, jelas sekali bahwa konsep al-Syāfi‘ī mengenai ijmā’ sangat
kesepakatan yang bersifat formal dan total; dia menghendaki kesepakatan yang
sedemikian rupa sehingga sama sekali tidak ada pertentangan pendapat lagi. Menurut
ditetapkan atau diciptakan, namun sebuah proses demokratis yang kontinu, ijmā’
tidak bersifat formal namun informal, tumbuh secara wajar dan di dalam setiap tahap
15
Lihat juga Jonathan Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought,
diterjemahkan oleh Jazair Radianti dan Entin Sriani Muslim, judul: Menyoal Relevansi Sunnah Dalam
Islam Modern (Bandung: Mizan, 2000), h. 19-21.
16
Konsep sunnah menurut al-Syāfi‘ī, pertama, Hadis saḥīḥ sejajar dengan Alquran, kedua,
kesahihan Hadis yang memiliki sanad yang bersambung, ketiga, Hadis Aḥad (syāż) sebagai ḥujjah,
keempat, penolakan Hadis-hadis mursal (Hadis dari kalangan Tābi’īn) dan keempat, mengutamakan
ijma‘ para Sahabat, dan menolak ijma‘ penduduk madinah, Ulama Ḥaramaīn, Ulama miṣraīn (Kuffah
dan Mesir). Lihat Wahbah Zuhailī, Fiqih Imam Syafi’i 1, terj. Muhammad Afifi, Abdul Hafiz (Jakarta:
Almahira, 2010), h. 6.
9
sunnah Nabi sedangkan menurut al-Syāfi‘ī sunnah Nabi bukanlah suatu petunjuk
yang bersifat umum namun tegas dan harus ditafsirkan secara literal dan penyiaran
sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan hadis (subtitusi hadis).
Peranan selanjutnya diberikan kepada sunnah dari para sahabat, terutama sekali dari
khulafā’ al-Rāsyidūn. Peranan yang ketiga diberikan kepada ijmā’ dan baru diberikan
zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreativitas dan
originalitas mereka.17
analisa penulis, ada dua point, pertama, al-Syāfi‘ī berpendapat bahwa sunnah Nabi
(hadīṡ ṣaḥīḥ) posisinya sejajar dengan Alquran, yaitu sebagai wahyu, sedangkan
bahwa sunnah Nabi merupakan kandungan Alquran itu sendiri18, bahwa sunnah
adalah konsep pengayom yang kemudian menjadi ―sunnah yang hidup‖, kedua,
Penelitian ini ingin membahas argumentasi kritik Fazlur Rahman atas konsep
sunnah al-Syāfi‘ī, karena untuk Rahman konsespi al-Syāfi‘ī ini menjadi ―pengganjal‖
dalam upaya reinterpretasi yang benar dan sesuai dengan kondisi kekinian. Rahman
17
Rahman, Islamic Methodology, h. 31-33. lihat juga Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model
Penelitian Hadis Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 79-99.
18
Rahman, Islam, h. 62.
10
menawarkan dua langkah, pertama, memahami makna teks hadis Nabi dengan
masyarakat pada priode Nabi secara umum (asbāb al-wurūd makro) termasuk pula
menghidupakan kembali hadis menjadi ―sunnah yang hidup‖ prinsip ideal moral
dapat diadaptasikan dalam latar sosialogis dewasa ini. Dengan demikian model
1. Identifikasi
al-Syāfi‘ī .
masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian skripsi ini, yaitu membahas
19
Saifuddin Zuhri, Dkk, Model-model, h. 88-89.
11
pemikiran dan argumentasi konsep Sunnah yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam
upaya mengritisi konsep sunnah al-Syāfi‘ī yang dirumuskan dalam pertanyaan: apa
Sedangkan Manfaat Penelitian ini adalah Konsep Sunnah yang di gagas Fazlur
D. Kajian Pustaka
mutakhir untuk mengetahui dengan jelas status penelitian mengenai konsep sunnah,
terutama mengenai kajian kritis terhadap konsep sunnah al-Syāfi‘ī. Beberapa karya
yang dianggap relevan untuk melengkapi data mengenai topik pembahasan adalah
sebagai berikut:
20
Umma Farida, ―Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis‖. Jurnal Addin
VII, no. 2 (Agustus 2013): h. 223-248.
21
Sahid HM. ―Sejarah Evolusi Sunnah: Studi Pemikiran Fazlur Rahman.‖ Al-Tahrir XI, no. 1
(Mei 2011): h.173-198.
22
Daud Damsyik. "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman."
Al-‘Adalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 223-240.
12
baru, dinamis, dan kreatif sehingga pesan moral dari Sunnah Nabi dapat
hadis dapat dikembalikan kepada status awalnya; yaitu ―sunnah yang hidup‖.
argumentasi kritik Rahman atas konsep sunnah yang digagas oleh Al-Syāfi‘ī .
merupakan salah satu upaya untuk menyadarkan dan mengingatkan kaum muslimin
akan pentingnya membebaskan diri dari kungkungan hegemoni "teks" yang selama
kemunduran di kalangan kaum muslimin itu sendiri. Kerangka berfikir dan metode
Abu Zayd dan Fazlur Rahman berbeda, Rahman menggunakan instrumen historis-
berkesimpulan sama, bahwa al-Syāfi‘ī adalah tokoh yang paling bertanggung jawab
23
Saifuddin Mujtaba. "Membuka Pintu Ijtihad (Study Pemikiran Fazlur Rahman)." Jurnal
Falasifa I. no. 1 (Maret 2010): h. 87-98.
24
Nasrulloh. "Rekonstruksi Definisi Sunnah Sebagai Pijakan Kontekstualitas Pemahaman
Hadits." Ulul Albab XV, no.1 (2014): h. 15-28.
25
Usman, "Al-Sunnah dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap al-Syafi'i."
Hermeneia, Jurnal Kajian Keislaman Interdisipliner II, no. 1 (Januari-Juni 2003): h. 116-135.
26
Nur Mahmudah,"Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Nasr Hamid Abu Zayd."
Islamica VI, no. 2 (Maret 2012): h. 285-299.
13
Vita Fitria27 Beko Hendro28 kedua penelitian ini membahas secara komparatif
Menurut Rahman bahwa hadis pada dasarnya tidak bisa dibuktikan secara teknis
berasal dari Nabi, namun masih memegang konsep Sunnah yang sebenarnya sudah
ada sejak Islam ada. Konsep Sunnah di sini sebagai pengayom dan petunjuk arah,
situasi zaman. Sedangkan konsep sunnah perspektif Syaḥrūr terkesan lebih liberal
dipahami sebagai sumber hukum dalam berijtihad dan telah sedemikian rapinya
didefinisikan oleh para ulama fikih dan uṣūl fiqh lengkap dengan otoritas yang
dimilikinya, oleh Syaḥrūr diberikan makna yang sama sekali berbeda sehingga
E. Metodologi Penelitian
research) yaitu mencari dan mengumpulkan data dari berbagai literatur yang
relevan yang terdiri dari: buku, jurnal, artikel online, majalah, koran, dan
berbagai data yang terkait dengan penelitian ini. Setelah data terkumpul,
27
Vita Fitria, "Komparasi Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur Rahman dan
Muhammad Syahrur (Perspektif Hukum Islam)." Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, no. 2
(Juli-Desember 2011): h. 1336-1356.
28
Beko Hendro, "Studi Sunnah Kontemporer (Kritik Muhammad Syahrur Terhadap
Pemikiran Sunnah Imam Asy-Syafi'i)." (Tesis S2: Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2015), h. 4.
14
a. Sumber Primer
History dan Islam karya Fazlur Rahman dan al-Risālah Karya Imām al-Syāfi‘ī.
b. Sumber Skunder
Sumber skunder dalam penelitian skripsi ini terdiri dari buku-buku dan
tulisan ilmiah lainnya berupa skripsi, tesis, disertasi, jurnal, artikel dan surat
2. Metode Pembahasan
Menteri P dan K Nomor: 159 Tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u 1987.
F. Sistematika Penulisan
Bab pertama; pendahuluan yang terdiri dari sub-bab, yaitu; latar belakang
masalah, identifikasi, batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
29
Tim Penyusun, Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2011-2012 (Jakarta: Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan UIN Jakarta, 2011), h.
398.
15
bab ini yaitu: pengertian dengan sub-bab; definisi, sunnah dan hadis, sunnah Nabi,
sunnah Nabi dalam Alquran, sejarah kemunculan dan perkembangan, konsep sunnah
sosio-kultural, kehidupan awal, pendidikan, karier dan pemikiran dan karya dengan
ganda).
sunnah dan sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani dengan sub-bab; formalisasi sunnah,
sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani, relevansi dan implikasi kritik Fazlur Rahman
A. Definisi Sunnah
1. Definisi
Secara kebahasaan Sunnah berarti tata cara, sunnah pada awalnya berarti cara
atau jalan, yaitu jalan yang dilewati orang-orang di masa lampau kemudian diikuti
oleh orang-orang sesudahnya. Selain tata cara, sunnah juga berarti tingkah laku atau
Menurut ahli hadis sunnah berarti sabda, perkataan, ketetapan, sifat (watak,
budi atau jasmani) atau prilaku Rasulullah saw sendiri, baik pra-kenabian maupun
Menurut uṣūliyyīn (ahli Uṣūl Fikih) adalah sabda Nabi Muhammad yang
Menurut fuqahā (ahli Fikih) sunnah adalah hal-ihwal yang berasal dari
melakukannya.
Arti sunnah yang uraikan di atas menjadi kesepakatan mayoritas ulama dari
1
„Ajāj al-Khaṭīb, al-Sunnah Qabla Tadwīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), h. 18.
2
Musṭafā al-Sibā‟ī, al-Sunnah wa Makānatuha fī al-tasyrī’ al-Islāmī (Kairo: Dār al-Salām,
1998), h. 58.
3
Muḥammad al-Muṣtafā al-A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ al-Nabawī wa Tarīkh wa Tadwinih
(al-Maktab al-Islāmī, 1980), h. 1.
16
17
c. Penyair Ḥāsan ibn Ṡābit dalam kitabnya Diwān Penyair Ḥasān ibn Ṡābit:
4
A‟ẓamī, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 2-3.
5
Dīwān al-Hażaliyyin (t.th. tt.p), h. 157.
6
Syarḥ al-Mu‟allaqāt (Beirut: Dār Maktabah al-Ḥayyah, 1983), h. 227.
7
Ḥāsan bin Ṡābit, Dīwān Ḥāsan Bin Ṡābit (Beirut: Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1994), h. 304.
8
Muḥammad bin al-Maṡnā al-Tamīmī, Kitāb al-Naqaiḍ, Naqāiḍ Jarīr al-Farazdaq (Beirut:
Dār al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1998), h. 1034.
18
arti—secara etimologis—„”aturan atau tata cara yang dianut, baik tata cara yang
khusus, yaitu: "cara yang biasa dilakukan dalam mengalaman agama, kata sunnah
ُسىَّحََمهَق ۡدَأ ۡزس ۡهىاَق ۡثهكَ ِمهَزُّ ُسهِى ۖاَََلَت ِج ُدَنِ ُسىَّتِىاَت ۡح ُِ ا
َيًل
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul
Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan
Kami itu.12
karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang
jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya
sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
15
penyimpangan bagi sunnah Allah itu.
disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan al-ḥikmah adalah sunnah, dalam tradisi
filsafat, kata al-ḥikmah diartikan filsafat atau kebenaran. Para ahli hadis
dimaksud dengan kata sunnah tidak berhubungan laingsung dengan Rasulullah Saw.
15
QS. Fāṭir (35) : 43.
16
QS. al-Anfāl (8) : 13.
17
QS. Āli-„Imrān: 137
18
QS. al-Baqarah: 129.
20
melainkan berhubungan dengan Allah Swt. yang sudah belaku maupun yang akan
berlaku.
Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: pertama,
sunnatullāh, yaitu peraturan yang telah ditetapkan-Nya (hukum alam) dan tidak ada
Secara definitif sunnah dan hadis memiliki arti yang sama yaitu: “segala
persetujuan”. Menurut Abdul Majid Khon, ada perbedaan definisi antara sunnah dan
sejak masa Nabi sampai masa sahabat, sedangkan hadis spektrumnya lebih
19
Miftahul Bahri, “Studi Kritis,” h. 29-33.
21
tradisi. Arti sunnah dalam konteks ini lebih tepat dimaknai secara lughawi
d. Sunnah adalah aktivitas pengalaman Nabi Saw. para Sahabat dan tābi’īn
diriwayatkan oleh satu atau dua orang periwayat (khabar āḥād). Sunnah di
e. Sunnah adalah pengalaman Islam sejak periode awal baik oleh Nabi atau
berbeda dari berbagai tinjauan, yang satu melalui tinjauan kebahasaan yang beragam
artinya seperti kata “sunnah” itu sendiri dan satunya menggunakan tinjauan dari
penggunaan yang disepakati oleh para pakar ilmu tertentu. Seperti kata “salat” dalam
bahasa diartikan “al-du’ā”, kata “Islam” dalam bahasa diartikan “tunduk, patuh, dan
berserah diri.” Makna kedua kata tersebut benar dalam konteks etimologi, namun
20
Perkataan Sayyidinā „Alī Ra kepada „Abdillāh ibn Ja‟far: “tegakkan hukuman kepadanya
(peminum khamr),” kemudian ia mengambil cambuk dan mencambuknya, Sayyidinā „Alī
menghitungnya, begitu sampai 40 kali cambuk, „Alī berkata: cegahlah dia, Rasulullah saw,
mencambuknya 40 kali, Sayyidinā Abū Bakar mencambuknya 40 kali, dan Sayyidinā „Umar
mencambuknya 80 kali dan semuanya itu sunnah. Lihat, Abū Daud, Sunan Abī Daud, Juz 4, No. 4481,
h. 1917.
22
tidak tepat dalam konteks terminologi. Memang makna terminologi sangat diperlukan
untuk mengetahui asal usul bahasa sebelum terjadi perubahan makna terminologis, di
sisi lain mengonsumsi dan mengkomunikasikannya harus jelas sesuai dengan kondisi
yang dimaksud.21
3. Sunnah Nabi
Para ulama sejak masa Rasulullah saw, menggunakan kata sunnah lebih
Para ulama tidak menggunakan arti bahasa seperti yang digunakan orang Arab pada
pada “jalan” dan “prilaku Nabi” yang berhubungan dengan masalah agama dan
akhlak, karena beliau sebagai utusan Allah yang menyampaikan agama dari Allah,
dan beliau mustahil memiliki prilaku yang buruk, karena beliau senantiasa dibimbing
mengatakan, “al-sunnah adalah jalan yang lurus dan terpuji, jadi ungkapan fulān min
ahl al-sunnah. Artinya si fulan termasuk pengikut jalan yang lurus dan terpuji. Di
ambil dari kata al-sanan, seperti ungkapan orang arab, sanna al-ṭarīq sannan wa
sanānan. Al-sanu artinya perilaku (kebiasaan), sedangkan al-sanan sama dengan al-
21
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta:
Prenadamedia Grup, 2015), h. 13-16.
23
Menurut Muṣṭafā al-A‟ẓamī ada empat kedudukan sunnah Nabi dalam Islam,
yaitu:
ۡ
ِ ََّأوزنىآَإِن ۡيكَٱن ِّر ۡكسََنِتُثيِّهَنِهى
َاسَماَوُ ِّزلَإِن ۡي ٍِمۡ ََنعهٍَُّمۡ َيتف َّكسَُن
Dan kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada Mereka, dan supaya merka
memikirkann22
Diantara tugas Rasulullah Saw. beliau menjelaskan—baik dengan lisan
Tugas ini berdasarkan perintah dari Allah Swt. tentu saja penjelasan terhadap isi
Alquran yang memerlukan penjelasan praktis. Dan itu sudah dilakukan oleh
Rasulullah saw. oleh karena itu, Rasulullah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari
tugas ini. Menolak penjelasan Rasulullah terhadap Alquran juga tidak mungkin,
karena Alquran sendiri telah menegaskan demikian. Oleh karena itu, menolak
penjelasan Rasulullah terhadap Alquran sama saja artinya menolak Alquran itu
sendiri.
Muslim
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu…
22
QS. al-Naḥl: 44.
24
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah
kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).
Ayat-ayat lain juga terdapat pada QS. al-Nisā‟: 80, 69. 59-60. Ayat-ayat
tersebut menjelasakan dengan jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. diutus agar
Manusia belum dapat dikatakan beriman jika belum menerima sistem dan hukum
Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, dan
sesudah beliau wafat, menerima sistem dan hukum Allah itu dengan menjadikan
Alquran dan sunnah Nabi sebagai sumber hukum dan sistem kehidupan seorang
Muslim.
Suatu Aturan
Pada QS. al-A‟rāf: 147-158, menjelaskan bahwa untuk beriman kepada Allah
dari ajaran itu sendiri. Sekedar percaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibaregi
pecaya atau beriman dengan hati saja tanpa dibarengi dengan pengalaman yang
Dalam bangunan dan sumber keilmuan Islam, hadis atau sunnah menempati posisi
kedua setelah Alquran. 24 Historisitas sunnah secara evolutif dengan kajian yang
menekankan pada otentisitas hadis dalam menyeleksi dan mengkritik hadis sejak
abad pertama hijriah sampai abad ketigabelas hijriah tidak mengalami problem. Pada
tahun 1980 M, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru
kriteria ontentisitas hadis muncul baik dari kalangan non-Muslim maupun Muslim.25
Diskursus pemikiran sunnah yang dilakukan para pemikir Islam (insider) dan
para orientalis (outsider) adalah dinamika yang signifikan. Fazlur Rahman dari Indo-
Pakistan merupakan representasi dari para pemikir Islam yang berupaya mengkaji
sunnah dalam konteks evolusi historistas hadis. Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan
tokoh non-Muslim lain yang merupakan reperesentasi dari kalangan orientalis juga
mengkajinya secara sama. Dalam kajian mereka, diakui atau tidak problem
23
Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Hadis Nabawi dan Sejerah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka
Firdaus: 2014), h. 27-32.
24
Secara etimologis kata “sunnah” berarti jalan yang dilalui, baik jalan itu terpuji atau
tercela. Kata “sunnah” juga berarti kebiasaan atau tradisi. Secara terminologis, ulama berbeda
pendapat. Menurut mayoritas ahli hadis, sunnah ialah segala yang bersumber dari Nabi berupa
perkataan, perbuatan, ketetapan, perangai, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun sesudahnya. Berbeda dengan ahli hadis, ahli uṣūl mengatakan bahwa sunnah
ialah perkataan, perbuatan, dan penetapan Rasul, yang dapat dijadikan dalil hukum syarī’. Muḥammad
Abū Zahw, Al-ḥadīṡ wa al-Muḥaddiṡūn (Beirut: Dār al-Kitāb al-„Arabī, 1984), 8-9.
25
Ali Mustafa Ya„qub, Kritik Hadis (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1995), h. 14.
26
akademis muncul dan menarik untuk diteliti. Representasi dari kalangan Muslim
yang juga memunculkan problem akademis adalah Sir Sayyid dan Parwez yang
skeptis terhadap sunnah dan hadis. Terlepas dari kontradiksi tersebut, Fazlur
Rahman adalah tokoh yang berusaha menjelaskan secara akademis tentang hadis
atau sunnah. Ia merespons tantangan yang muncul dari kalangan umat Islam itu
sendiri dan para orientalis. Dalam studi ini, penulis berupaya membahas pemikiran
dan kritik Fazlur Rahman tentang hadis dan sunnah terhadap pandangan al-Syāfi‟ī.
Kontemporer
untuk menyaring banyak materi hadis sehingga diperoleh suatu hadis yang dapat
dipastikan berasal dari Rasulullah dan para sahabat awal. Karena itu, hadis harus
dianggap sebagai catatan atau pandangan dari generasi Muslim awal dari pada
hidup. Perbedaan antara hadis dan sunnah adalah bahwa hadis merupakan laporan-
normatif dan telah menjadi prinsip praktis bagi generasi Muslim. Artinya, sebagian
26
Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Alen & Unwim Ltd., 1970), h. 25.
27
Goldziher, Muslim Studies, h. 53.
27
besar materi hadis lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis, dan sosial
bahwa produk-produk kompilasi hadis tidak dipercaya sebagai sumber ajaran dan
pada masa Arab pra-Islam dengan makna tradisi, adat, dan kebiasaan nenek moyang
bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, konsep ini
berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas sunnah orang Arab pra Islam
berakhir.28
berpendapat bahwa konsep sunnah merupakan kreasi umat Islam belakangan. Al-
Syāfi‟ī merupakan ahli hukum Islam pertama yang secara konsisten memberi batasan
terhadap sunnah sebagai model perilaku Nabi yang identik dengan tradisi Nabi.
tradisional masyarakat yang membentuk “tradisi yang hidup” pada basis yang sama
beredarnya hadis pertama kali pada dasarnya disandarkan pada tābi‘īn, kemudian
28
Pendapat tersebut didiskusikan lebih lanjut dalam artikel yang ditulis oleh Sahid HM,
“Sejarah Evolusi Sunnah”, Al-Tahrir, Vol. 11, No. 1 Mei 2011, h. 174.
29
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (London: Oxford University
Press, 1973), h. 2-3.
28
kajian tentang hadis, kemudian disusul orientalis lain seperti Joseph Schacht dan
lain-lain. Apabila Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa yang
disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi, maka Joseph Schacht
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi,
Dari batasan-batasan sunnah yang diberikan para orientalis itu sangat jelas
bahwa mereka tidak menghubungkan sunnah kepada Nabi. Pengaitan sunnah dinilai
muncul masa belakangan. Dengan demikian, sunnah yang menjadi pegangan umat
Islam selama ini sebagai perbuatan dan perkataan Nabi tidak pernah ada.
30
Muḥammad Muṣṭafā A‟ẓamī, Studies in Early Hadith Literature (Indianapolis: American
Trust Publication, 1968), h. xvii.
BAB III
A. BIOGRAFI
klasik, sampai Neo-Revivalisme telah memiliki akar yang kuat di kawasan itu,
pemurinan yang lebih bersifat ke dalam, dapat dilacak pada gerakan oleh Syah
Wali Allāh ibn „Abd al-Raḥmān al-Dahlawī (w. 1763). Tokoh yang
dan hadis, dengan metode pedekatan Islam yang baru, yaitu Taṭbīq
1
Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Raham, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), h. 35.
29
30
(rekonsiliasi berbagai perbedaan). Selain itu dia adalah tokoh pertama yang
menjelaskan bahwa aturan sosial yang diberikan para Nabi itu dapat secara
merupakan agama yang dinamis yang menuntut untuk dipahami sesuai dengan
konteks zamannya.
2. Kehidupan Awal
suatu daerah di Anak Benua Indo-Paksitan yang pada saat itu belum terpecah
menjadi negara merdeka. Anak Benua ini memang terkenal dengan sederet
pemikir liberal seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid dan Muḥammad Iqbal.
Islam.
dengan tiga mazhab besar lainnya (Syāfi‟ī, Mālikī, dan Ḥanbalī). Meskipun
usia belasan tahun telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit
2
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Vol. 5. Penerjemah. Tamara
Sonn (Bandung: Mizan, 2001), h.78. Lihat juga „Ala, „Abd, Dari Neo-Modernisme Ke Islam Liberal,
(Jakarta: Paramadina, 2003), h. 33.
31
absah bahwa di samping mengerjakan salat yang lima, Nabi juga mengerjakan
salat yang tiga, sehingga kedua macam salat itu adalah sah. Ia hanya tidak
setuju dengan usaha kalangan Sunnī membuat pembakuan salat yang lima,
Sunnī maupun Syi‟ī. Dia bahkan menyerukan suatu perumusan ulang yang
maupun hukum.3
dimiliki dan diwarisi oleh Rahman. Bekal dasar tersebut memiliki signifikansi
nantinya menjadi sosok yang cukup tekun dalam mencari pengetahuan dari
3
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum
Fazlzur Rahman, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996) h. 79. Lihat juga, Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman
Tematik Al-Qur‟an Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 37-38
32
berbagai sumber. Dan melalui bimbingan ibunya, ia sangat tegar serta tabah
3. Pendidikan
berisi wacana keilmuan Islam yang spesifik dan bertanggung jawab, baik
Suatu pijakan berfikir yang dijadikan titik balik bagi situasi yang
Maḥmud Ḥasan (w. 1920) yang lebih dikenal dengan Syekh al-Hind, dan
seorang ahli Fikih ternama Maulana Rasyīd Aḥmad Gangohi (w. 1905).
4
Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 33-34.
33
perhatiannya dipusatkan pada fikih, ilmu kalam, hadis, tafsir, mantīq dan
berbagai bahasa: Persia, Urdu, Inggris, Perancis dan Jerman. Di samping itu,
tahun kemudian ia meraih gelar Master dalam bahasa Arab, kedua gelar
dengan aspeknya yang bersifat intelektual. Hal itu terbukti daru pernyataannya
sendiri bahwa Pakistan tidak dapat menciptakan suatu dasar intelektual.6 Yang
intelektual yang memadai. Oleh karena itu, untuk meraih gelar Philosophy
adalah sama-sama tidak kritisnya dengan yang ada di (Anak Benua) India.
Oxford. Dia mengajukan sebuah disertasi tentang psikologi Ibn Sinā di bawah
bimbingan Prof. Simon Van den Bergh dan H. A. R. Gibb. Dua tahun kemudian
4. Karier
7
Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik, h. 36-40.
8
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22, lihat juga Sa‟dullah Assa‟idi, Pemahaman
Tematik, h. 42.
35
pada saat itu baru merdeka. Dia diberi kesempatan untuk menjadi tenaga
erat dengan Wilfred Cantwell Smith, yang pada saat itu menjabat sebagai
pemikir modernis yang bebas dan radikal. Pakistan pada saat itu menjadi ajang
dirinya sebagai figur pemikir yang siap terjun ke dalam kancah perdebatan
memberikan definisi ideologis bagi Pakistan sebagai negara Islam. Pada tahun
menurut mereka jabatan direktur harus ditempati oleh seorang yang „ālim
memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu. Beberapa isu agama
dari Rahman seperti status bunga bank, zakat, pengembelihan hewan secara
resign dari jabatannya. Namun dia masih menjabat di posisi anggota Dewan
ke Amerika.9
pengajar di Universitas California, Los Angles. Dan pada tahun itu juga ia
sebagai Guru Besar Pemikiran Islam di Universitas tesebut. Mata kuliah yang
9
Sa‟dullah Assaidi, Pemahaman Tematik , h.43-49
10
„Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 39-40.
37
Abd „Ala karya yang bertemakan konsep-konsep teologi lebih dari seratus
mengenai sejarah ilmu kenabian dan Islam. Temuan kajian ini menghasilkan
sebuah buku yang secara kritis memaparkan tentang doktrin kenabian yang
untuk pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1956, dan juga diterbitkan oleh
oleh dua filosof Muslim ternama, Al-Fārābī (870-950 M) dan Ibnu Sīnā (980-
1037 M). Pada bagian kedua, membahas doktrin kenabian, dan secara
11
„Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 44-45.
12
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 22.
38
imajinatif, doktrin Ibnu Sīnā tentang mukjizat, doa, dan teurgi, dan di bagian
akhir menjelaskan doktrin kedua filosof tersbut tentang da‟wah dan syarī‟at.13
ortodoksi yang dikemukakan ahli kalām. Ada tiga aliran utama dalam teologi
dogma. Aliran ini diwakili oleh Al-Syahrasytānī (w. 1153 M) dan merupakan
aliran ortodoksi terbesar. Kedua, adalah aliran yang diwakili oleh Ibnu Ḥazm
rasionalis. Ketiga, adalah pandangan yang berdiri di antara dua aliran tersebut
yang menerima sejenis “akal”, namun menolak kaum filsuf dan pemikirannya
secara total. Aliran ini juga menolak sufisme, namun mengedapankan nilai-
nilai spiritual dalam kerangka Islam. Aliran ini direspresentasikan oleh Ibnu
Taimiyah (w. 1328 M). Ketiga aliran tersebut sepakat menolak secara keras
13
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 113-114.
39
adalah Al-Gazālī (w. 1111 M) dan Sejarawan Ibn Khaldūn (w. 1406 M).
konsep kenabian dan wahyu. Bagi filsuf, Nabi menerima wahyu dengan
Menurut Abd „Ala, dalam bukunya ini Rahman membuktikan bahwa masalah
Kajian doktrin kenabian para filosof dan ortodoksi tersebut sangat signifikan
Kajian yang bersifat historis juga terdapat pada karyanya yang berjudul
Islamic Methodology in History yang diterbitkan pada tahun 1965 dan Islam
kumpulan artikel yang dipublikasikan dalam jurnal Islamic Studies, dari bulan
14
Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 45-46.
15
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 116.
16
Falur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 62.
40
Maret 1962 sampai Juni 1963. Karya yang pertama merupakan sebuah
Alquran, Sunnah, ijtihād, dan ijmā‟, dan peran aktual pilar-pilar tersebut
Meskipun karya ini kerapkali dipakai sebagai buku dasar pengantar tentang
Islam, sebenarnya muatan kandungannya lebih dari itu, karya orisinal tersebut
penelitian ini. Buku ini secara khusus menampilkan, pertama, evolusi historis
sendiri.18
menganggap ajaran Alquran dan sunnah dari Nabi (Sunnah of the Prophet)
sebagai sesuatu yang kaku atau statis, tetapi secara esensial sebagai sesuatu
17
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 27.
18
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, h. 123-124.
41
yang bergerak secara kreatif melalui bentuk-bentuk sosial yang berbeda. Hasil
sunnah dan hadis. Berangkat dari pendapatnya mengenai tidak adanya sesuatu
semangat asli Kitab Suci.19 Untuk pemikirannya tentang sunnah, penelitian ini
Karya lain Fazlur Rahman sedikitnya empat buah buku dan beberapa
namun baru diterbitkan pada tahun 1982, buku tesebut menyajikan sebuah
lebih awal dari karya sebelumnya pada tahun 1980. Karya tersebut menandai
19
Abd „Ala, Dari Neo-Modernisme, h. 47.
42
diaplikasikan melalui langkah yang baru dan kreatif dalam realitas kehidupan
saat ini. Keempat, Health and Madicine in the Islamic Tradition: Change dan
karya lain yang tidak sempat diselesaikan di masa hidupnya, atas prakarsa
gaya tulisan yang sukar diikuti yang tidak jarang seringkali disalah-artikan
Syafi‟i Ma‟arif dan Amin Rais cukup apresiatif terhadap pemikiran Rahman,
kunonya Bahasa Arab yang digunakan. Menurut Madjid, Rahman adalah juga
adalah bagian dari konsekwensi dan kreativitas intelektual yang kerap tidak
alim yang alim dan ilmu seorang orientalis yang paling beken.21
ini, kembali pada generasi muda Muslim untuk membuktikan apakah gagasan
di abaikan.22
20
Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur'an,” Islamika, no. 2
(Oktober-Desember 1993): h. 24.
21
Ahmad Syafi'i Ma'arif, (dalam Pengantar) Islam, (Bandung: Mizan, 1995), h. vi.
22
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir, h. 30-34.
44
yang akomodatif secara intelektual dan moral, dengan cara inilah tujuan-tujuan dan
pesan Alquran dan hadis dapat diapresiasi.23 Pendekatan kesejarahaan yang pada
prinsipnya untuk melacar fakta-fakta obyektif secara utuh dan mencari nilai-nilai
(values) tertentu yang terkandung di dalamnya. Jadi, yang ditekankan oleh metode ini
adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan
presitiwa sejarah itu sendiri. Jika data sejarah dipaparkan sebatas kronologinya, maka
sebuah metode penelitian sejarah Islam, pertama kali dikembangkan oleh studi-studi
menafsirkan teks-teks kuno seperti kitab suci, sejarah, hukum juga dalam bidang
filsafat. Metode ini digunakan dalam upaya interpretasi terhadap teks kitab suci,
penafsiran terhadap teks-teks sejarah yang menggunakan bahasa yang rumit, atau
bahasa hukum yang padat juga memerlukan upaya penafsiran, agar mudah dipahami.
merupakan seperti dua sisi mata uang, yakni tidak bisa dipisahkan. Metode ”Critical
23
Ahmad Syukri, “Metodologi Tafsir Kontemporer Dalam Pemikiran Fazlur Rahman,”
Kontekstualita XX, no. 1 (Juni 2005): h. 57-61.
45
konteks sosial yang terkait. Karena itu, Rahman menyadari kurangnya perspektif
kajian sejarah agar mereka dapat menimbang lebih lanjut nilai-nilai perkembangan
masa depan.
Dalam pada itu, Fazlur Rahman membuat kategori Islam menjadi dua, yaitu:
Islam Normatif dan Islam Historis. Analisis Critical History sebagai sebuah metode
yang digunakan Fazlur Rahman dalam mengkaji Islam historis dalam segala
aspeknya. Pengembangan metode ini oleh Fazlur Rahman tampak dengan jelas dalam
sejarah masyarakat Islam. Untuk itu, dalam menulis karyanya Islamic Methodology in
history ini, Rahman menggunakan metode ”Critical History” untuk mengkaji sunnah
24
Hujair AH. Sanaky, “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan Hadis,
Kajian Buku Islamic Methodology In History,” Mawardi XVI, (2006): h. 259-260.
BAB IV
KRITIK FAZLUR RAHMAN TERHADAP
KONSEP SUNNAH AL-SYĀFI’Ī
Menurut Abū Zahrah, Abū „Abd Allāh Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‟ī al-
Muṭṭalibi al-Quraisyī atau Imām al-Syāfi‟ī (w. 204 H) menempatkan sunnah sebagai
ḥujjah dalam syari‟at Islam, argumentasi al-Syāfi‟ī tersebut untuk membantah para
kelompok yang menolak sunnah sebagai sumber hukum Islam.1 Dengan sikap
tersebut Ulama Irak menjulukinya Multazim al-Sunnah (orang yang berpegang teguh
posisinya sejajar dengan Alquran, yang semuanya wajib diikuti. Berbeda dengan Abū
Ḥanīfah (w. 150 H) sebuah hadis harus berstatus masyhūr dalam keadaan tertentu,
begitupun dengan Mālik ibn Anas hadis tidak boleh bertentangan dengan tradisi
dari ayat Alquran yang yang berkaitan perintah Allah Swt. untuk mengikuti sunnah
1
Al-Khuḍarī menarik kesimpulan dari tulisan-tulisan al-Syāfi‟ī, bahwa yang menolak hadis
secara keseluruhan adalah kelompok Mu‟tazilah. Begitupun dengan al-Sibā‟ī berpendapat demikian.
lihat Azami, Dirāsāt fī al-Ḥadīṡ, h. 23.
2
Abd al-Ḥalim Jundī, al-Imām al-Syāfi'ī Naṣīr al-Sunnah Wadi' al-Usūl (Kairo: Dar a-kutun
al-'imiyah, 1996), h. 300.
3
Muḥammad Abu Zahrah, al-Syāfi’i Hayātuhu wa Asruhu wa Fikruhu Arāuhu wa
Fiqhuhu (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005), h. 84.
46
47
Nabi.4 Selain ke-ḥujjah-annya, ada dua fungsi hadis terhadap Alquran, antara lain,
pertama, hadis memiliki fungsi sebagai konfirmasi bahwa Alquran adalah wahyu
yang diturunkan oleh Allah Swt., kedua, hadis sebagai penjelas dari pesan Alquran
yang sifatnya global. Sedangkan sunnah Nabi, ada tiga fungsi, antara lain, pertama,
sebagai konfirmasi dan mengulangi pesan-pesan yang ada di dalam Alquran, kedua,
menjelaskan makna garis besar pesan Allah di dalam Alquran, ketiga, Rasulullah
menjelaskan sesuatu perkara yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam Alquran.
pesan Alquran yang global maupun yang tidak dijelaskan di dalam Alquran, dalam
konteks ini al-Syāfi‟ī memberi contoh sunnah Nabi yang menjelaskan jumlah rakaat
salat dan tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban salat secara
garis besar di dalam Alquran. Begitupun Sunnah Nabi yang berkaitan dengan
Selain itu, pandangan al-Syafi‟ī tentang eksistensi hadis āḥād6 dan mursal7
juga sangat penting karena keduanya menjadi salah satu basis kontruksi pemikiran
4
Ada banyak ayat-ayat yang membicarakan berkaiat dengan perintah Allah Swt. tersebut,
antara lain: Q S . al-Māidah: 67, Q S . al-Syūrā: 52, Q S . al-Nisā‟: 113 dan 171, Q S . al-Jumu‟ah:
2, Q S . al-Baqarah: 231 dan 151, Q S . al-Nūr: 63, Q S . al-An‟ām: 106, Q S . al-Aḥzāb: 36 dan
Q S . Āli „ Imrān: 164. Lihat al-Risālah, h. 187-196.
5
Al-Risālah, h. 92.
6
Hadis Aḥad atau khabar aḥad adalah khabar yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi
tidak mencapai derajat mutawatir (tidak ditemui syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat,
atau lima orang periwayat. Lihat Aḥmad „Umar Hāsyim, Qawā’id Uṣūl al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-Fikr,
tt.), h. 153.
7
Hadis mursal adalah hadis yang diakhir sanad yaitu diatas tabi‟in terputus, menurut
Maḥmud Ṭaḥḥan, ada tiga pendapat mengenai status hadis mursal, pertama, mayoritas ulama uṣul dan
fikih memberi status ḍaif dan ditolak, kedua, ṣaḥīḥ dan dapat dijadikan ḥujjah, yang berpendapat
demikian ialah Abū Ḥanifah, Malik dan Aḥmad ibn Ḥanbal, dan ketiga, diterima namun dengan
catatan, pendapat ini dipilih oleh Al-Syāfi‟ī, syarat tersebut antara lain: 1) yang meriwayatkan tābi‟īn
48
tābi’īn; tabi’ al-tābi’īn). Berbeda dengan Abū Ḥanifah dan Mālik ibn Anas (w. 93 H)
yang cenderung lebih longgar dalam menilai hadis mursal tersebut, karena kedua
evolusi sunnah dan hadis, tetapi ia tidak sepakat dengan teori yang dikemukakan
konsep sunnah yang merupakan kreasi umat Islam belakangan dalam pandangan
orientalis dinilai tidak valid. Menurutnya, sunnah adalah konsep yang valid dan
memang tidak ada, tetapi konsep sunnah sejak zaman Nabi telah ada.10 Dalam
menjelaskan bahwa Rasulullah sebagai teladan yang baik (uswah ḥasanah). Oleh
senior, 2) tābi‟īn tersebut dikatakan ṡiqqah oleh orang yang meriwayatkan, 3) didukung pakar hadis
yang terpercaya, dan 4) didukung dengan hadis musnad, hadis mursal lainnya, sesuai dengan perkataan
sahabat, dan fatwa mayoritas ulama. Lihat Maḥmud Ṭaḥḥan, Taisīr Muṣṭalaḥ al-Ḥadīṡ (Markaz al-
Hudā li al-Dirasāt, 1415 M), h. 57-58.
8
Abū al-Fidā‟ al-Ḥāfiẓ Ibnu Kaṡīr al-Dimasyqī, Ikhtishār Ulūm al-Ḥadīṡ (Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyyah, t.th), h. 38.
9
Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History (Karachi: Central Institute of Islamic
Research, 1965), h. 6.
10
Fazlur Rahman, “Islam: An Overview,” dalam The Encyclopedia of Religion, (ed.)
Mircea Eliade, Vol. 7 (New York: Mac Millan Publiching Co., 1987), h. 309.
49
karena itu, umat Islam sejak awal tetap beranggapan bahwa praktik Nabi sebagai
conduct). Pengertian semacam ini sangat dekat maknanya dengan uswah. Kesimpulan
yang diambil oleh Rahman bahwa sunnah merupakan konsep pengayom. Konsepsi
membuktikan hal itu, Rahman mengambil contoh surat Ḥasan al-Baṣrī (w. 110 H)
yang ditujukan kepada „Abd al-Mālik bin Marwān (w. 86 H). Dalam sebuah
manusia yang belum pernah ada sebelumnya. Artinya, secara formal dan verbal
tentang kebebasan manusia belum ada. „Abd al-Mālik tidak mengetahui sahabat
yang mempunyai pandangan semacam itu. Dia minta agar ditunjukkan riwayat hadis
menjelaskan bahwa para pendahulu tidak ada yang menolak tentang kebabasan
Hal yang penting dari seorang khalifah, menurut Rahman, adalah bahwa ia
sahabat Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum masa itu telah berkembang
11
Rahman, “Islam: An Overview,” h. 7.
12
Fazlur Rahman, Islam (Chicago & London: University of Chicago Press, 1979), h. 55.
50
dari Nabi, memberi sinyalemen adanya sunnah. Hal ini bukan berarti tidak ada
sebuah riwayat yang menjadi dasar bagi al-Baṣrī, tetapi ia bermaksud menekankan
teologi bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang baru.13 Selain itu, surat al-
Baṣrī merupakan petunjuk arah, bukan serangkaian aturan yang ditetapkan secara
pasti. Pengertian sunnah semacam ini merupakan dasar pemikiran umat Islam awal.
sunnah Nabi dan “sunnah ideal” secara realistis telah berkembang pada masa kaum
muslim awal.
Mālik dalam al-Muwaṭṭā` yang biasanya mengutip terlebih dahulu riwayat hadis
seperti: “dan ini pun merupakan sunnah kita...,” “sunnah bagi kita adalah...,”
Mālik, misalnya mengutip hadis yang menegaskan bahwa Nabi menjamin hak ṣuf‘ah
kepada seseorang jika partnernya hendak menjual bagiannya, lalu Mālik menyatakan
“dan hal ini merupakan sunnah bagi kita.” Lantas kepada Sa„īd bin Musayyab, ahli
13
Rahman, Islamic Methodology, h.7.
51
mengenai ṣuf’ah,” ia menjawab: “ya, tetapi ṣuf‘ah hanya berlaku atas rumah dan
tanah.14
dilakukan oleh kaum muslim Madinah, dan pengertian seperti ini tidak cocok dalam
pernyataan yang kedua, karena untuk suatu praktik yang telah disepakati tidak
mungkin dipertanyakan “adalah sunnah mengenai hal ini.” Untuk itu, pernyataan
kedua tersebut harus suatu preseden yang normatif, bisa berupa sunnah Nabi dan bisa
berkaitan dengan syair al-Kumayt, seorang penyair pro Hasyimi yang hidup antara
akhir abad pertama sampai awal abad kedua hijriah. Di dalam syair tersebut terdapat
“sunnah” yang menurutnya tidak dapat diartikan lain kecuali sunnah Nabi. Bunyi
Berdasarkan kitab apa atau sunnah manakah yang engkau memandang cintaku
15
kepada mereka sebagai kebaikan.
Rahman juga menyajikan data historis lain dengan merujuk kepada kitab al-
Kharrāj.16 Dalam kitab ini dijelaskan bahwa „Umar bin Kaṭṭāb pernah mengirimkan
beberapa orang ke daerah tertentu untuk mengajarkan Alquran dan sunnah.17 Dalam
informasi ini Rahman menjelaskan, kesadaran yang berkembang pada saat itu bahwa
dan lain-lain. Dengan demikian, Alquran dan sunnah terdapat pertalian yang utuh.18
atas.
1. Formalisasi Sunnah
Awalnya sunnah itu merupakan praktik yang sangat cair atau tidak kaku di
kalangan sahabat pada Muslim awal. Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa
praktik dan ucapan Nabi yang berupa hadis telah ada sejak awal kemunculan Islam.
Tetapi semasa hidup Nabi sendiri, hadis-hadis umumnya hanya dipergunakan dalam
bimbingan di dalam praktek aktual kaum muslimin dan kebutuhan ini telah telah
Fazlur Rahman melihat bahwa setelah Nabi wafat tampaknya hadis memiliki
status yang semi-formal. Hal tersebut menjadi wajar karena menurutnya itu
Nabi sebagai panutan mereka. Tetapi sampai batasan tersebut, tidak ditemukan
adanya bukti-bukti tertulis (belum di kodifikasi) dalam bentuk apa pun yang
18
Rahman, Islam, h.57.
53
menganggap bahwa hadis cukup dijadikan rujukan praktis dalam kehiupan mereka.19
Tabel 1.
Dalam paragraf ini, penulis berupaya menyajikan data beberapa ulama dalam
melihat hadis sebagai rujukan praktis. Ulama terdahulu dari para ahli mazhab awal
seperti Abū „Amr „Abd al-Raḥmān al-Auzāī‟ (w. 157 H) yang berasal dari Syiria. Ia
formal.20 Ia sering merujuk pada praktik yang dilakukan oleh kaum muslimin yang
dengan “living tradition”, yaitu praktik-praktik kaum Muslimin yang dimulai dari
Nabi, dilestarikan oleh para khalifah awal dan penguasa-penguasa berikutnya dan
kontinu sangat menentukan, sedangkan rujukan kepada Nabi atau para Khalifah awal
19
Fazlur Rahman, Islamic Methodology In History, Terj. Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka, 1995), h. 44.
20
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Oxford University
Press, 1975), h. 70.
54
adalah bersifat fakultatif (boleh memilih), bahkan bukan merupakan hal yang niscaya
untuk memantapkan sunnah.21 Hampir dalam setiap paragraf al-Siyār kita dapat
Ḥanīfah yang mengatakan “ketika seorang imam mengatakan bahwa barang siapa
mendapatan sesuatu dalam perang maka sesuatu itu adalah menjadi miliknya. Maka
jāriyah tersebut dan hal itu halal dari Allah, karena kaum Muslimin menggauli
ini penting dijelaskan karena pada periode inilah formaslisasi sunnah dimulai. Al
Syāfi‟ī dalam tafsirnya menyatakan secara global bahwa Alquran dan sunnah adalah
sebagai satu kesatuan sumber syarī’ah, yaitu sama-sama sebagai nāṣṣ syarī’ah. Ia
Syāfi‟ī sangat tegas mengambil sikap untuk menempatkan otoritas sunnah dalam
syari‟at Islam, sehingga mendapat julukan Nāṣir al-Sunnah. Sebab al-Syāfi‟ī mampu
menyelamatkan sunnah dari dua dilema yang terjadi pada masanya, ialah
21
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964),
h. 33.
22
Al-Auzā‟ī , “Al-Siyār al-Auzā‟ī”, dalam Abū Yūsuf al-Anṣārī, Al-Rass ‘alā al-Siyār Al-
Awzā‟ī (Beirut: Dār al-Kutub Al-„Ilmiyah, tt.), h. 70.
55
penangguhan dasar sunnah oleh kalangan ahl al-Ra’y (rasionalis), dan ketidak-
kritisan pemakaian sunnah sebagai dasar syari‟ah oleh kalangan ulama ahl al-ḥadīṡ.
sunnah sebagai sumber syari‟at, terutama sumber hukum Islam. Selanjutnya oleh al-
digunakan oleh mazhab-mazhab awal. Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa
sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi
kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka peroleh.
Namun proses dan metodologi yang sedemikian itu oleh Al-Syāfi‟ī diserang
dengan semangat dan usaha yang besar dengan menyerukan diterimanya materi al-
aliran-aliran hukum yang ada dan membatasinya pada praktik-praktik dan kewajiban-
23
Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Beirut: Dār al- Fikr, tt.), h. 106.
56
practices).24 Gerakan inilah yang oleh Rahman disebut sebagai gerakan “subtitusi
sunnah yang hidup yang dikenal dalam mazhab sebelumnya. Dan apabila ijmā’
dalam term mazhab awal telah benar-benar dibuat tak berdaya lagi yakni telah
ditekan pada kewajiban-kewajiban agama yang umum dan esensial yang juga
ditinggalkannya dengan al-ḥadīṡ. Dengan kata lain, hanya al-ḥadīṡ sajalah yang
Tabel 2.
Sebagai ilustrasi, perlu dinukil salah satu contoh ketika Al-Syāfi‟ī ditanya
oleh seorang Madinah 26 tentang boleh atau tidaknya menghancurkan ternak dan
harta benda musuh tidak boleh dimusnahkan, larangan Abū Bakar dan demikian juga
24
Rahman, Islamic Methodology In History, h.26.
25
Rahman. Islam, h. 76.
26
Rahman, Islamic Methodology In History, h.29.
57
menjawab dengan tegas bahwa ia setuju kalau harta benda musuh dihancurkan
adalah hadis dimana Nabi pernah melakukan pemusnahan ketika kaum Muslimin
menyerang Bani Naḍīr, Khaibar dan Ṭā‟if. Ketika ditanya mengapa ia melarang
mengatakan bahwa hal itu didasarkan atas sunnah Nabi yang mengatakan,
“Barang siapa membunuh seekor burung pipit („uṣfūr) dengan tanpa alasan yang
hak, maka ia akan dihisab karenanya.” Ketika ditanyakan apakah haknya itu? Nabi
Dari uraian itu, terlihat bahwa al-Syāfi‟ī memahami dan menafsirkan hadis
tersebut secara literal tanpa memperhatikan konteks situasional dari hadis tersebut,
Yahudi Bani Naḍīr dan Khaibar, Nabi Muhammad dengan sengaja bersikap sangat
keras dan dari fakta historis dapat diketahui bahwa tindakan keras tersebut karena
orang-orang Arab Jahiliyah yang tetap membangkang sekalipun kota Makkah telah
27
Contoh ini dimuat dalam bab “Ikhtilāf Mālik wa al-Syāfi‘ī” sub-bab “Jihād”. Menyebut
seorang Madinah yang bertanya adalah dipahami dari permulaan bab yang dimulai dengan “sa’altu
Al-Syāfi’ī”. Karena bab ini membicarakan perbedaan Mālik yang nota bene mazhab Madinah,
58
bukan petunjuk yang bersifat umum yang dapat menaungi sunnah yang diciptakan
oleh para sahabat Nabi atau tābi’īn lewat interpretasi-interpretasi ijtihādī (untuk
kemudian disebut juga sebagai sunnah setelah melalui klaim sebagai konsensus)
melainkan bersifat tegas dan mandiri serta harus ditafsirkan secara literal dan
penyiarannya hanya dapat dilakukan dengan media al-ḥadīṡ, bukan dengan klaim
mengatakan secara tegas “hadis Nabi adalah mempunyai otoritas mandiri (wa
ḥadīṡ al-nabī mustagnīn bi al-nafsih). Dan apabila ada riwayat dari seorang selain
pandangan padanya karena hadis Rasul lebih utama untuk dijadikan dasar”.28
Rupanya al-Syāfi‟ī lebih mengutamakan hadis dalam artian ujaran Nabi daripada
sunnah dalam perngertian masa awal. Dengan kata lain, yang dimaksud sunnah
Menurut al-Syāfi‟ī, sunnah yang datang dari Rasulullah dalam bentuk hadis
melalui mata rantai rawi yang ṡiqqah adalah merupakan sumber hukum,
terlepas apakah sunnah tersebut diterima oleh orang banyak atau tidak, bahkan
diasumsikan dialog tersebut adalah antara seorang Madinah pengikut Malik dengan Al-Syāfi‟ī. lihat
al-Syāfi‟ī, Al-Umm, vol. VII (Beirut: Dār al-Fikr, 1990), h. 241-242.
28
Rahman, Islamic Methodology In History, h.26.
59
mereka masih dalam keadaan salat). Diyakini bahwa mereka pasti menceritakan
peristiwa itu kepada Rasulullah. Kalau mereka tidak boleh menerima berita dari
seorang saja, tentu Rasulullah akan mengatakan bahwa “mestinya kamu sekalian
jangan berpindah arah qiblat hingga aku memberitahumu atau sejumlah orang akan
Pernyataan itu senada dengan apa yang ia tulis dalam al-Risālah ketika
membela khabar āḥād sebagai ḥujjah yang harus dipakai daripada praktik-praktik
para sahabat besar. Al-Syāfi‟ī mengatakan bahwa batasan khabar yang dapat
dijadikan ḥujjah adalah khabar yang dibawa oleh seorang rāwī, dari seorang rāwī
orang Madinah yang selalu mengatakan bahwa di Madinah tidak kurang dari 30.000
(tiga puluh ribu) orang sahabat yang mana praktik mereka sudah dikenal, diakui dan
29
Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 206.
30
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt.), h. 14.
31
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 70.
60
para sahabat atau amal mereka. Sebagaimana telah diterangkan dalam beberapa
contoh, para ahli hukum mazhab awal lebih cenderung mengikuti praktik atau
pendapat para sahabat (yang dianggap sebagai ijmā’) meskipun terdapat tradisi dari
dengan adanya tradisi dari Rasullah tak ada wewenang lain yang boleh dipakai
diklaim sebagai ijmā‘ tersebut. al-Syāfi‟ī mengatakan dengan tegas bahwa hasil
yang pasti dari ijtihad adalah perbedaan pendapat bukannya konsensus atau
Jadi, dari paparan di atas jelas sekali bahwa kedudukan hadis (yang dalam
konsep al-Syāfi‟ī identik dengan sunnah) menjadi semakin kuat dibanding dengan
“sunnah yang hidup” (sunnah yang berdasarkan penafsiran yang bebas dan
sejumlaah besar hadis terisolir yaitu hadis-hadis yang disampaikan secara verbal
hanya dengan melalui satu dua saluran saja yang digunakan untuk menentang ijmā‘
kenyataannya, di luar kewajiban yang utama tidak ada ijmā‘. Bahwa ijmā‘ atau
32
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 201.
33
Rahman, Islam, h. 77.
61
praktik yang disepakti bersama yang dinisbatkan oleh aliran-aliran hukum itu kepada
persamaan pendapat yang kebetulan saja dan beberapa hal detail di antara mereka
masih terdapat pertentangan pendapat.34 Oleh karenanya hal itu tidak dapat
bahwa sunnah dianggap sebagai jenis wahyu meskipun berbeda dari wahyu al-Kitāb.
Wahyu sunnah adalah pengilhaman kepada jiwa. Maksudnya, wahyu yang menurut
bahasa berarti inspirasi (ilham) bukan wahyu dalam pengertian istilah, yakni melalui
malaikat Jibril.35 Dalam hal ini al-Syāfi‟ī berhasil mengaitkan dua makna wahyu itu
melalui ta’wīl-nya terhadap kata al-ḥikmah yang banyak disebutkan dalam Alquran
Apabila al-ḥikmah adalah sunnah maka mentaati Rasul yang selalu disebut menyertai
dua posisi. Pertama, dia menolak pandangan sarjana Barat seperti Goldziher dan
Schacht yang skeptis total terhadap eksistensi sunnah. Selain dua sarjana itu, dia juga
34
Al-Syāfi‟ī, al-Umm, h. 276.
35
Naṣr Ḥamīd Abū Zaid, Mafhūm al-Nāṣṣ: Dirasah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Kairo: al-Hai`ah
al-Misriyyah al-„Ammah li al-Kutub, t.th), h. 35-36.
36
Al-Syāfi‟ī, al-Risālah, h. 32.
62
yang berupaya menyelamatkan eksistensi sunnah dari pandangan sarjana Barat yang
skeptis. Kedua, Rahman juga mengafirmasi beberapa temuan Goldziher dan Schacht
dan pijakan dia dalam mengkritisi gerakan formalisasi hadis pasca-al-Syāfi‟ī pada
awal abad kedua sampai ketiga hijriah. Dari keikut-sertaan Rahman dalam diskursus
hadis dan sunnah dalam kesarjanaan Barat, dia menolak pendapat al-Syāfi‟ī yang
posisinya dalam keadaan tertentu bisa sejajar bahkan lebih tinggi dari Alquran.
(ahli hukum) untuk memutuskan semua hal yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Dia menambahkan bahwa Nabi Muhammad melakukan tugas yang berat
dalam memperbaiki moral bangsa Arab, bukan memutuskan hukum suatu kasus yang
parsial. Karena umat Islam waktu itu melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa
berupa transaksi dan urusan lainnya berdasarkan akal pikiran dan adat istiadat
mereka. Permintaan kepada Nabi untuk memutuskan sebuah perkara terjadi hanya
dalam kasus tertentu saja. Tindakan formal Nabi juga hanya dalam urusan yang
37
Herbert Berg mengelompokkan Sarjana Barat dan Muslim dalam kajian Kritik Hadis
kedalam empat Kelompok; 1) Early Wastern Scepticism; Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, 2) Reaction
About Scepticism; N. Abbott, Fuad Sezgin, M.M. Azam, 3) The Search Middle Ground; Juynboll,
Fazlur Rahman, Schoeler, Harald Motzki, dll., 4) Renew Scepticism; Michael Cook dan N. Cadler.
Lihat. Herbert Berg, The Development Of Exegesis in Early Islam (Richmound, London: Curzon Press,
2000), h. 6-50.
38
Rahman, Islamic Methodology, h.15-16.
63
tentang sunnah Nabi bukan wahyu ekstra-Qurani,39 artinya sunnah Nabi tidak bisa
perkara yang sumbernya berupa wahyu dalam Alquran dan sifat kasusnya
masyarakat banyak. Rahman memberi contoh bahwa Nabi dalam melakukan ritual
seperti salat sangat longgar, Nabi berkata “kalian salatlah sebagaimana kalian melihat
aku salat”. Dalam hadis populer itu, Nabi tidak menyebutkan secara rigid (kaku)
mengenai tata cara salat. Contoh lain, dalam memutuskan perkara yang tidak ada
dalam Alquran dan sunnah Nabi, Muāż bin Jabbāl diapresiasi oleh Nabi karena
tidak populer dan kontroversial di kalangan umat Islam. Implikasi yang paling sulit
diterima dari pandangan Rahman tentang sunnah bukan wahyu ekstra-Qurani adalah
39
Rahman, Islam, h. 77.
40
Saat Muaż bin Jabbāl diutus Nabi ke Yaman, Nabi bertanya "apa yang akan Kau lakukan
jika diajukan pertanyaan sebuah perkara untuk diputuskan?”, jawab Muaż, "Saya akan putuskan
perkara itu berdasarkan ketentuan dalam Alquran”, lalu Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika Kau
tidak menemukan di dalam Alquran?", jawab Muaż, "Saya akan memutuskan sebuah perkara
berdasarkan sunnah Rasulullah". kemudian Nabi bertanya kembali, "bagaimana jika kau tidak
menemukan dalam sunnah Rasulullah?", Muaż menjawab, "Saya akan berijtihad dengan pikiranku
(ajtahidu ra’yī), dan tidak akan aku biarkan perkara itu tanpa putusan apapun. Muad mengatakan, Nabi
kemudian menepuk dadaku dan bersabda, "Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang memberikan
taufiq-Nya kepada Rasulullah dengan sesuatu hal yang melegakan Rasulullah. Lihat Aḥmad bin
Ḥanbāl, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbāl, Vol V (Beirut: Al-Maktabah al-Islamiyyah, t.th), h. 235. Hadis
ini juga terdapat pada; Sunan Abī Dāud, Bāb al-Aqḍiyyah no. 3119, Sunan al-Dārimī, Bāb al-
Muqaddimah no. 168, Musnad al-Anṣār no. 21049, 21000, 21084 dan Sunan al-Baihaqī Bāb Qaḍā` no.
20126.
64
Relevansi kajian Fazlur Rahman dalam studi hadis paling tidak memiliki dua
poin penting. Pertama, Rahman mendorong umat Islam untuk lebih kritis dalam
wahyu dalam Alquran, apalagi dengan hadis-hadis kanonik. Jadi, selama dua poin
mengabaikan wilayah formal dalam transmisi dan konten suatu hadis yang
dianggap sunnah. Rahman lebih menitik-beratkan pada esensi dari hadis tersebut.
Contohnya masalah hukum perang dan penaklukan sebuah wilayah. Nabi selalu
zaman Khalifah „Umar, dia tidak melakukan apa yang biasa Nabi lakukan,
alasannya adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat pada zaman „Umar tidak
yang dilakukan „Umar tersebut secara esensi tidak bertentangan dengan sunnah
contoh yang disebutkan di atas, Rahman juga menyinggung beberapa hal yang
ideal-ideal tertentu yang harus direalisasikan secara progresif dan kreatif dalam
kehidupan masyarakat.43
41
Rahman, Islamic Methodology, h. 271-274.
42
Daud Damsyik, "Reinterpretasi Sumber Hukum Islam: Kajian Pemikiran Fazlur Rahman,"
Aladalah XI, no. 2 (Juli 2013): h. 235-238.
43
Rahman, Islamic Methodology, h.285-288.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa bab yang telah disajikan sebelumnya dan rumusan masalah
yang penulis ajukan, penelitian ini disimpulkan sebagai berikut: pertama, al-Syāfi’ī
telah memformalisasi sunnah menjadi hadis, yang awalnya bersifat informal dan
sebagai berikut: pertama, bahwa sunnah kaum Muslim awal, secara konsesional dan
kurang lebih garis besarnya, berkaitan secara intim dengan sunnah Nabi dan
pandangan bahwa praktek kaum Muslim awal adalah hal yang terpisah dari sunnah
Nabi tidak dapat dipegang, karena argumentasinya lemah, kedua, bahwa meskipun
kandungan spesifik yang aktual dari sunnah kaum Muslim awal ini sebagian besar
adalah produk pemikiran kaum Muslim sendiri, ketiga, bahwa agensi kreatif dari
kandungan (sunnah kaum Muslim) ini adalah ijtihād personal yang mengkristal
menjadi ijmā’ berdasarkan petunjuk umum sunnah Nabi yang tidak dipandang
sebagai sesuatu hal yang spesifik dan, keempat, bahwa konsep sunnah atau sunnah
B. Saran
Penulis menyadari bahwa penelitian berupa skripsi ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun terutama
66
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
_______, Jamāl. al-Jihād, terj. Kamran A. Irsyadi, judul: Revolusi Sosial Islam:
Dekonstruksi Jihad dalam Islam. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.
Al-Fakhrī, „Ādil bin „Abd Allāh bin Ja‟far. Fiqhu ‘Umar bin Khaṭṭāb fī al-
Mu’āmalāti wa al-Māliyati Muqārinan Bifiqhi Asyhūr al-Mujtahidīn.
Madinah: Umm al-Qurā University, 1420 H.
Ali, Syed Ameer, The Spririt of Islam: A History of the Evolution and Ideals
Islam, terj. H.B. Jassin, judul: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam Dengan
Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
67
68
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Pemikiran Hukum
Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1996.
_____, Syuhudi. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadits Tentang Ajaran Islam Yang Universal, Temporal dan Lokal.
Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
_____, Syuhudi. Kaidah Kesahihan Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
_____, Syuhudi. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang. 1999.
Jawas, Yazīd bin „Abd al-Qādir. Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam.
Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2012.
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis.
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Koya, P. K., ed. Ḥādith and Sunnah: Ideals and Realities. Kuala Lumpur: Islamic
Book Trust, 1996.
Masrur, Ali. Teori Common Link, G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan
Hadis Nabi. Yogyakarta: Lkis, 2013.
Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas
Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadis. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Wizan, Adnan M. Akar Gerakan Orientalisme: Dari Perang Fisik Menuju Perang
Fikir. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam: Al-Qur'an, Muwatta` dan Praktik
Madinah. Bandung: Islamika, 2003.
_______, Nasr Hamid Abu. Teks Otoritas Kebenaran. Yogyakarta: Lkis, 2012.
JURNAL
Abdul Karim. “Pola Imam Syafi‟i dalam Menetapkan Hukum Islam.” Jurnal
Adabiyah VIII, no. 2(2013), h. 187-193.
Benny Afwadzi. “Hadis Di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking
Karya Daniel Brown).” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 15,
no. 2 (Juli 2014), h. 227-242.
Hujair A.H. Sanaky. “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah Dan
Hadis (Kajian Buku Islamic Methodology in History).” Jurnal Al-
Mawarid XVI (2006), h. 256-269.
MH. Mukti. “Al-Syafi‟i Sebagai Bapak Ushul Fiqh.” Jurnal Ibda` 2, no. 1,
(Januari-Juni 2004), h. 66-84.
Aisha Y. Musa. “Al-Shāfi'ī, the Ḥadīth, and the Concept of the Duality of
Revelation.” Islamic Studies 46, nNo. 2 (2007), h. 163-197.
Nur Mahmudah. “Sunnah Dalam Nalar Islam Kontemporer Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd.” Jurnal Islamica 6, no. 2, (Maret 2012), h. 285-299.
Syahih HM. “Sejarah Evolusi Sunnah, Studi Pemikiran Fazlur Rahman.” Jurnal
Al-Tahrir 11, no. 1 (Mei 2011), h. 173-198.
Tasbih. “Analisis Historis Sebagai Instrumen Kritik Matan Hadis.” Jurnal Al-
Ulum 11, no. 1 (Juni 2011), h. 151-172.
Umma Farida. “Studi Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Sunnah Dan Hadis.”
Jurnal Addin V, no. 2 (Agustus 2013), h. 223-248.
Usman. “Al-Sunnah Dalam Sorotan Kritik Nasr Hamid Abu Zayd Terhadap Al-
Syafi‟i.” Hermeneia dalam Jurnal Kajian Islam Interdisipliner 2, no. 1
(Januari-Juni 2003), h. 285-299.
Ahfas, Moh. “Pemikiran Imam Syafi‟i Tentang Kehujjahan Hadis Dalam Kitab
Ar-Risalah (Studi Analisis).” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, 2012.
Maloush, Talal. “Early Hadith Literature And The Theory Of Ignaz Goldziher.”
Thesis Presented For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The
Department Of Islamic And Middle Eastern Studies Faculty Of Arts,
University Of Edinburgh, August 2000.