Anda di halaman 1dari 91

FUNGSI HADIS AHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM PERSPEKTIF

NASHIRUDDIN AL-ALBANI DAN MUSHTHAFA AS-SIBA’I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S. Ag) pada Jurusan Ilmu Hadis

oleh:

ELFA YUSRINI
4215.009

JURUSAN ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN BUKITTINGGI
TP 2019M/1439H
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, puji syukur

penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat, karunia dan petunjuk-Nya-

lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu

tercurahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad saw. keluarga,

parasahabatnya dan para pengikutnya yang senantiasa setia kepadanya.

Skripsi yang berjudul“FUNGSI HADIS AHAD SEBAGAI SUMBER

HUKUM DALAM ISLAM MENURUT MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-

ALBANI DAN MUSHTHAFA AS-SIBA’I” disusun dalam rangka memenuhi

persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Agama (S. Ag), pada jurusan Ilmu Hadis,

Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Insitut Agama Islam Negeri Bukittinggi.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan. Namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulisan

skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada

semua pihak yang secara langsung memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi

ini. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Daswir dan ibunda Syofia,

kepada saudara penulis ElfaYusrina dan Yumna yang senantiasa memberikan kasih

sayang dan motivasi kepada penulis sehingga terwujudnya cita-cita dalam segala

kesuksesan, termasuk dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan

terimakasih terkhusus kepada:


1. Rektor Insitus Agama Islam Negri Bukittinggi, Ibuk Dr. Ridha Ahida, M.Hum.

serta bapak wakil rektor IAIN Bukittinggi.

2. Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Bukittinggi, Bapak Dr. H.

Nunu Burhanuddin, Lc. M.Ag berserta bapak wakil dekan yang telah

memberikan fasilitas, sarana dan prasarananya selama perkuliahan.

3. Bapak Prof. Dr. H. A. Rahman Ritonga selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah memberikan bimbingan kepada penulis semenjak awal perkuliahan

hingga penulisan skripsi ini.

4. Bapak Eka Rizal, M.Pd.I sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hadis yang telah

memberikan fasilitas dan kemudahan dalam mengurus segala keperluan penulis

selama masa perkuliahan.

5. Ibuk Dra. Hj. Hasramita, SH, M.Ag selaku pembimbing I, dan Bapak

Muhammad Taufik, S.Th.I, MA selaku pembimbing II yang penuh kesabaran

dalam memberi masukan dan saran, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Semoga apa yang telah diajarkan kepada penulis mendapat balasan dari Allah

SWT.

6. Kepada seluruh dosen-dosen Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah yang telah

memberikan pengajaran kepada penulis, seluruh staf dan karyawan Fakultas

Ushuluddin Adab dan Dakwah yang membantu keperluan administrasi penulis.

7. Rekan-rekan di jurusan Ilmu Hadis, Laskar Pelangi yang telah berjuang bersama-

sama dengan penulis dalam mengarungi masa-masa perkuliahan. Juga tidak

terlupakan untuk Ukhti Comel dan teman-teman KKN 42 yang tidak tersebut
namanya yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menjalani

perkuliahan.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih

baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis. Semoga tulisan

ini bermanfaat, khususnya bagi penulis umumnya bagi seluruh umat Islam. Penulis

menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari

sempurna Karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik

dan saran sangat penulis harapkan dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini.

Bukittinggi, 22 Juli 2019

Penulis,

ELFA YUSRINI
DAFTAR ISI

HalamanJudul …………………………………………………………………….. i

HalamanPernyataanOrisinalitas …………………………………………………ii

PersetujuanPembimbing ………………………………………………………… iii

Kata Pengantar…………………………………………………..………………... iv

Abstrak ……………………………………………………………………………. vii

Daftar Isi ……………………………………………………………...………….. viii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latarbelakang ………………………………………...…………. 1

B. RumusandanBatasanMasalah ……………………...…………... 11

C. TujuandanManfaat…………...…………………...……………. 12

D. KajianPustaka …………………………………………………. 13

E. PenjelasanJudul ………………………………………………... 15

F. SistematikaPenulisan ………………………………………….. 16

BAB II: LANDASAN TEORI

A. HadisAhad……………………………………………………... 18

B. BiografiNashiruddin al-Albani ………………………………... 22

C. BiografiMushthafa as-Siba’I ………………………………….. 36

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN


A. JenisPenelitian ………………………………………………… 44

B. SifatPenelitian ………………………………………………… 44

C. Teknikpengumpulan data ……………………………………... 45

D. Sumber data ………………………………….………………… 45

E. Analisis data ……………………………….…………………... 45

BAB IV: PEMBAHASAN

A. Konstruksi Pemikiran Muhammad Nashiruddin al-Albani

Mengenai Hadis Ahad………………..…………………………. 47

B. Konstruksi Pemikiran Mushthafa as-Siba’i Mengenai Hadis Ahad

…………………................................………………………….. 62

C. Analisi Persamaandan Perbedaan Antara Pemikiran Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’I ………………. 76

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan …………………………………………………….. 80

B. Saran …………………………………………………………… 82

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Studi tentang hadis merupakan tema yang selalu menarik untuk dikaji dan

dibahas mengingat kedudukannya yang sangat penting dalam penetapan hukum

Islam atau penjelasan syariat Islam yang menyangkut bidang akidah, ibadah,

akhlak dan lain-lain. Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan salah satu

sumber ajaran Islam.1 Dalam al-Qur’an dan hadis, baik secara tersurat maupun

tersirat diterangkan bahwa hadis menempati kedudukan sebagai sumber tasyri yang

kedua sesudah al-Qur’an.2 Dalil-dalil yang menunjukkan tentang ini cukup banyak,

salah satunya Firman Allah SWT:

   


   
  
    
 
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.3

Kehujjahan hadis dapat diketahui melalui argumentasi rasional dan teologis

sekaligus. Beriman kepada Rasulullah merupakan salah satu rukun iman yang harus

diyakini oleh setiap muslim. Keimanan ini diperintahkan oleh Allah dalam al-

Qur’an agar manusia beriman dan mentaati Nabi saw.4 Sebagaimana Firman Allah

SWT:

1
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001), .19
2
Muhammad Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarta, 2011), .1
3
Q.S: Al-Hasyr (59) : 7
4
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2016), . 20
    
    
  

Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati
Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.5

Ayat di atas menerangkan bahwa seseorang yang beriman dengan Allah

SWT haruslah juga beriman kepada Rasul-Nya. Dan juga sebuah konsekuensi yang

harus diterima oleh seseorang yang mengakui beriman dengan Rasulullah saw

adalah menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah saw yang

berkaitan dengan urusan agama, karena Rasulullah saw adalah pilihan Allah untuk

menyampaikan syariat-Nya kepada umat manusia.6 Maka menerima hadis sebagai

hujjah merupakan keharusan yang dilakukan sebagai orang yang beriman dengan

Allah SWT dan Rasulullah saw.

Dari beberapa literature ilmu ushul fiqh dan ilmu hadis didapatkan

informasi bahwa ada dua fungsi hadis dalam konteks pembangunan hukum dalam

Islam. Pertama berfungsi sebagai sumber hukum dalam Islam dan kedua sebagai

bayan atau penjelas al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam.7 Pada

umumnya ulama berpendapat bahwa ada empat metode yang digunakan Rasulullah

saw untuk menjelaskan al-Qur’an. Sedangkan Imam Syafi’i membaginya kepada 5

bagian, yaitu bayan taqrir (penguat atau konfirmatif makna ayat al-Qur’an), bayan

5
QS. An-Nisa’ : 80
6
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr, 2011), . 25-26
7
A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis, (Yogyakarta: Interpena Yogyakarta, 2011), . 205
tafsir (penjelas ayat al-Qur’an), bayan takhshish (pengkhusus ayat al-Qur’an yang

bersifat umum), bayan taqyid (membatasi kemutlakan ayat), dan bayan Nasikh

(penghapus ayat al-Qu’an).8

Al-Qur’an dan hadis tidak bisa dipisahkan. Hadis yang berfungsi sebagai

penopang dan penyempurna al-Qur’an dalam menjelaskan hukum syara’ juga

berfungsi sebagai sumber utama bagi hukum syara’. Mayoritas ulama terutama

yang mendalami bidang ushul fiqh dan ilmu hadis, berpendapat bahwa hadis secara

umum dapat difungsikan sebagai sumber hukum dalam Islam yang tidak berkaitan

dengan al-Qur’an (berdiri sendiri).9 Maknanya adalah bahwa terdapat beberapa

masalah yang sudah atau yang belum terjadi yang belum disinggung oleh al-

Qur’an. Untuk mengetahui kedudukan dari persoalan tersebut maka dirujuklah

kepada hadis.

Pembahasan hadis sebagai sumber hukum dalam Islam akan lebih menarik

lagi apabila kajian difokuskan kepada hadis Ahad. Ulama hadis telah melakukan

pembagian hadis salah satunya pembagian hadis dari aspek jumlah rawi yang

menjadi rantai penghubung dari Nabi saw hingga hadis sampai kepada umat Islam.

Ditinjau dari jumlah perawi, hadis terbagi kepada dua yaitu: hadis Mutawatir dan

hadis Ahad.10 Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang

jumlahnya banyak yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Semua

8
Idris, Studi Hadis, … , . 24
9
A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis, …, . 222
10
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, (Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1405H), .
21
ulama sepakat terhadap kehujjahan hadis Mutawatir sebagai sumber hukum Islam.

Karena hadis pada tingkatan ini memiliki validitas periwayatan yang sama dengan

al-Qur’an, yaitu qath’i al-wurud.11 Akan tetapi hadis yang diriwayatkan secara

mutawatir ini sangat sedikit jumlahnya, sebagian besar hadis-hadis yang dijadikan

sumber hukum Islam memiliki status Ahad.

Hadis Ahad menurut Mahmud Thahan adalah hadis yang tidak memenuhi

syarat hadis Mutawatir. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, hadis

Ahad adalah hadis yang riwayatnya satu, atau dua orang atau lebih, yang tidak

memenuhi syarat hadis Mutawatir dan Masyhur dan tidak adanya ungkapan yang

jelas tentang jumlah rawinya. Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in,

serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul,

berpendapat bahwa hadis Ahad yang Shahih dapat dijadikan hujjah yang wajib

diamalkan.12 Sedangkan kaum Qadariyah Rafidah dan sebagian ahli zhahir

beranggapan bahwa mengamalkan hadis Ahad bukanlah suatu keharusan.13

Kelompok lain yang menolak untuk berakidah dengan hadis Ahad adalah kelompok

Hizbut Tahrir al-Islamy dengan alasan bahwa hadis Ahad tidak bisa memberi

faedah pasti (qath’i) karena hadis Ahad itu berupa dugaan (zhanny).14

11
Muhammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta:
Penerbit Teras, 2013), . 105-109
12
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, … , . 198
13
Jamaluddin al-Qasimi, Qawa’id at-Tahdits Min Funun Mushthalah al-Hadits, (Beirut-
Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), . 149
14
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fatwa-fatwa Syaikh Nashiruddin al-Albani, (Jogjakarta:
Media Hidayah, 2004), . 57
Imam al-Ghazali menyatakan, “kami berpendapat bahwa khabar Ahad tidak

menghasilkan keyakinan”. Imam Bazdawiy juga berkomentar, “adapun siapa saja

yang menyerukan bahwa hadis Ahad menghasilkan ilmu yaqin (keyakinan), tanpa

diragukan lagi, itu adalah seruan bathil. Sebab, semua orang pasti menolaknya.

Semua ini disebabkan karena khabar Ahad masih mengandung syubhat

(kesamaran). Tidak ada keyakinan bila masih mengandung syubhat. Siapa saja

yang menolak hal ini, sungguh ia telah merendahkan dirinya sendiri dan sesat

akalnya”. Inilah sebagian komentar para ulama mengenai hadis Ahad. Mereka

mengatakan bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan ilmu yaqin.Dengan kata lain,

hadis Ahad tidak boleh dijadikan hujjah.15

Salah satu dalil yang digunakan oleh ulama yang menolak berdalil dengan

hadis Ahad adalah telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam

menetapkan status kehujjahan hadis Ahad, Abu Bakar dan Umar mensyaratkan

persaksian dua orang. Ada yang mensyaratkan dengan menyumpahnya seperti yang

dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan ada yang mensyaratkan tidak boleh

bertentangan dengan al-Qur’an seperti yang disyaratkan oleh Aisyah. Selain itu

sejarah sahabat tatkala mengumpulkan al-Qur’an. Apabila diperhatikan proses

pengumpulan al-Qur’an, riwayat Ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara

yang membutuhkan keyakinan. Salah satu contoh riwayat Ahad yang ditolak dalam

15
Syamsuddin Ramadhan an-Nawawi, Hadits Ahad Tidak Boleh Dijadikan Hujjah dalam
Perkara Aqidah, Pdf, hal. 1
proses pengumpulan al-Qur’an, riwayat Imam Bukhari dalam kitab Tarikhnya

menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah:

ْ ‫ َعْب ُد ا ﱠِ بْ ُن الﱡزبَِْﲑ أَبُو أَِﰊ أ‬،‫ي‬


‫َﲪَ َد‬ ‫َس ِد ﱡ‬
َ ‫يب اﻷ‬ ٍ ِ‫ ُﳏَ ﱠم ُد بْن ُسلَْيما َن بْ ِن َحب‬،‫َح ﱠدثَِﲏ ُﳏَ ﱠم ُد أَبُو َْﳛﲕ‬
َ ُ َ
ِ ‫َحز‬ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ‫َس ِد ﱡ‬
‫اب َعلَﻰ‬ َ ْ ‫ورَة ْاﻷ‬
َ ‫ت ُس‬ ُ ‫ َﲰ ْع‬،‫ َع ْن أَبِيه‬،‫ي‬
ُ ْ‫ت ُح َذيْـ َف َة ﻗَـَرأ‬ ِّ ‫ َع ْن َعْبد ا ﱠ بْ ِن َش ِريك الْ َعام ِر‬،‫ي‬ ‫الﱡزبَِْﲑ ﱡ‬
َ ‫ي اﻷ‬
‫ رواﻩ البﺨارى‬." ‫ﲔ آيَةً َما َو َج ْد َُا‬ ِ ِ ‫النِﱠﱯ فَـن ِس‬
َ ‫يت مْنـ َها َسْبع‬
ُ َ ّ
Artinya “Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi saw dan tujuh
puluh ayat dari padanya saya sudah lupa, Dan saya tidak menemukannya
di dalam al-Qur’an sekarang”.16

Riwayat di atas adalah riwayat Ahad. Seandainya riwayat ini bisa

digunakan sebagai hujjah, tentu kita harus meyakini juga bahwa surat al-Ahzab

yang tertuang dalam mushhaf Imam tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat

al-Ahzab yang telah hilang. Meyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Qur’an

telah mengalami perubahan.17 Contoh hadis Ahad lain yang ditolak dikarenakan

alasan Ahad adalah seperti diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw

bersabda:

ِ ‫ لَي‬،‫ »والﱠ ِذي ﻧَـ ْف ِسﻲ بِي ِد ِﻩ‬:‫ول ا ﱠِ صلﱠﻰ ا ﱠ علَي ِه وسلﱠم‬
‫وش َﻜ ﱠن أَ ْن يَـْن ِزَل‬ ُ ‫ ﻗَ َال َر ُس‬:‫ول‬
ُ ‫ يَـ ُق‬،‫عن اﰊ ُهَريْـَرَة‬
ُ َ َ َ ََ َْ ُ َ
‫يﺾ الْ َم َال َح ﱠﱴ َﻻ‬ ِ ِْ ‫ ويﻀﻊ‬،‫اﳋِْن ِزير‬ ِ ‫ْسر ال ﱠ‬
ِ ِ ِ
ُ ‫ َويُف‬،َ‫اﳉ ْزيَة‬ ُ َ َ َ َ ْ ‫ َويَـ ْقﺘُ ُﻞ‬،‫يب‬
َ ‫ﺼل‬ ُ ‫ يَﻜ‬،‫في ُﻜ ُم ابْ ُن َمْرََﱘ َح َﻜ ًما ُم ْقسﻄًا‬
(‫َح ٌد«)رواﻩ مسلم‬ َ ‫يَـ ْقبَـلُهُ أ‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sungguh pasti akan turun pada kalian
Ibnu Maryam sebagai hakim yang adil lalu dia menghancurkan salib,

16
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir lil Bukhari, (Beirut: al-Kitab al-
‘Ilmiyyah, 2001), hal. 729
17
Syamsuddin Ramadhan an-Nawawi, Hadits Ahad Tidak Boleh Dijadikan Hujjah, … , hal.5
Membunuh babi, dan Membebaskan pajak, Serta harta begitu melimpah
sehingga tidak ada seorangpun yang mau menerimanya”.18

Muhammad Abduh ketika mengomentari hadis ini berkata: “Hadis ini

hanyalah Ahad dan berkaitan dengan masalah akidah karena menunjukkan perkara

yang ghaib. Sedangkan masalah akidah tidak boleh diambil kecuali yang bersifat

qath’i sebab dituntut sesuatu yang meyakinkan dan tidak ada dalam masalah ini

hadis yang mutawatir.

Diskusi seputar hadis Ahad apakah menghasilkan keyakinan atau tidak dan

apakah boleh dijadikan sumber hukum atau tidak, sudah menjadi bahan perdebatan

di kalangan kaum muslim dan para ulama bahkan sudah dibahas secara panjang

lebar oleh ulama-ulama hadis terdahulu. Di antara ulama yang berpendapat bahwa

hadis Ahad menghasilkan keyakinan dan dapat dijadikan sebagai hukum adalah Ibn

Furak, Qadi ‘Abdul Wahab al-Maliki, Ibn Hazm, Abu Ishaq al-Syahrazi, dan lain-

lain. Hujjah yang dikemukakan oleh para ulama di atas adalah:

1. Rasulullah saw bertemu dengan jemaah haji baik secara individu ataupun

berjamaah untuk menyebarkan ajaran Islam. Apabila para jemaah tersebut

pulang ke tempat tinggal mereka, kemudian mereka menyebarkan segala ajaran

Islam yang beliau terima dari Rasulullah kepada orang lain. Hal ini

menunjukkan bahwa hadis Ahad boleh digunakan sebagai hujjah.

18
Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-
Kutub Ilmiyah, 1991), Jilid I, hal. 135
2. Masyarakat Quba’ menggunakan hadis Ahad dalam masalah pertukaran arah

kiblat shalat. Setelah perkara tersebut sampai kepada Rasulullah saw, beliau

membenarkan hal tersebut.19

Ada yang menerima hadis Ahad sebagai hujjah secara keseluruhan baik

dalam hal aqidah dan hukum dengan syarat bahwa hadis Ahad tersebut sudah

terbukti keShahihanya, beliau adalah Muhammad Nashiruddin al-Albani. Ia

berpendapat bahwa jika Rasulullah saw sudah menetapkan sesuatu maka kita wajib

menerimanya. Mengenai kehujjahan hadis Ahad sebagai sumber hukum, al-Albani

berpendapat bahwa hadis Ahad dapat dijadikan hujjah. Ia menyatakan bahwa hadis

Ahad yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh orang yang adil dari seorang guru

yang juga sama adilnya adalah merupakan suatu kebenaran yang pasti dan pada

waktu yang sama juga wajib diamalkan. Albani juga berpendapat bahwa tidak

adanya pembagian dilalah20 ke pada dua bagian yaitu qath’i tsubut dan zhanny

tsubut. Menurutnya pembagian tersebut adalah ajaran baru yang dimasukkan ke

dalam Islam. Dengan adanya dilalah zhanny tsubut akan berdampak kepada

seseorang harus memilih antara mengambil atau tidak hadis tersebut sebagai dalil,

sedangkan hadis yang Shahih yang sudah dipastikan bahwa berasal dari Nabi saw

itu wajib beramal dengannya baik itu dalam hal aqidah maupun hukum.21 Hal ini

19
Muhammad Rashidi dan Mohd Faizul, Kedudukan Hadis Ahad dalam Akidah, 2012, hal. 8
20
Secara bahasa kata dilalah adalah bentuk mashdar dari kata ‫ دل – يدل‬yang berarti
menunjukkan, dan kata dilalah sendiri memiliki arti petunjuk. Dilalah adalah petunjuk yang
menunjukkan makna yang dimaksudkan.
21
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Hujjiyyah Khabr al-Ahad fi al-‘Aqidah, …,hal. 81-86
terbukti bahwa al-Albani banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan hadis

Nabi saw. Menurutnya kita tidak boleh lari dan berpaling dari sesuatu yang zhanny

seperti yang dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok Islam pada hari ini

karena kebodohan mereka. Menurutnya orang yang meninggalkan hadis Ahad

karena ke-zhani-annya adalah orang-orang yang berada dalam kesesatan yang

sangat jelas.22

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa Muhammad

Nashiruddin al-Albani menerima hadis Ahad sebagai hujjah dengan catatan

memenuhi persyaratan hadis Shahih. Tapi kemudian apakah persyaratan hadis

Ahad yang Shahih menurut Albani itu hanya cukup dilihat dari segi sanadnya saja

atau juga matannya? Sebagaimana kita pahami bahwa penolakan hadis Ahad

sebagai hujjah oleh sebagian kelompok dikarenakan ia memberi faidah ilmu zhanni

(keraguan) yang kuat yang disebabkan oleh jumlah atau kuantitas rawinya tidak

mencapai tingkat mutawatir, sehingga terdapat kemungkinan adanya syubhat

(keraguan) apakah hadis tersebut bersambung sampai ke Nabi saw atau tidak.

Ada juga yang menerima hadis Ahad sebagai hujjah hanya dalam hal furu’23

saja tidak dalam hal pokok agama dan aqidah. Beliau adalah Mushthafa as-Siba’i.

Siba’i adalah seorang sarjana muslim yang banyak memberikan perhatian terhadap

22
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fatwa-fatwa Syaikh Nashiruddin, … , hal. 56
23
Furu’ dalam bahasa Arab berarti cabang, dahan, ranting atau bagian. Dalam ilmu ushul fiqh,
furu’ diartikan hukum keagamaan yang tidak pokok, yang berdasarkan hukum dasar. Dikaitkan dengan
masalah keagamaan, masalah furu’ berarti persoalan-persoalan rincin dari masalah pokok keagamaan.
Contohnya adalah, Zakat adalah masalah pokok, sedangkan masalah apa-apa yang wajib dizakatkan
adalah masalah yang masuk ke dalam furu’.
kajian hadis yang telah dimasuki oleh pemikiran-pemikiran para orientalis yang

meragukan keotentisitasan hadis dalam salah satu tulisannya, “as-Sunnah wa

Makanuha fi at-Tasyri’ al-Islam”.24

Masih banyak lagi pemikir-pemikir hadis lain yang banyak memberikan

perhatian kepada kajian hadis Ahad khususnya terkait fungsinya sebagai sumber

hukum dalam Islam. Secara khusus penelitian ini akan membandingkan pemikiran

kedua tokoh di atas, yaitu Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-

Sibai dalam mengomentari fungsi hadis Ahad sebagai sumber hukum dalam Islam.

Apabila dilihat kepada sejarah kehidupan kedua tokoh, keduanya adalah ulama

hadis yang lahir dan hidup pada masa yang sama. Mereka adalah tokoh hadis

modern yang muncul berabad-abad setelah masa keemasan perkembangan hadis,

dimana ulama-ulama sebelumnya sudah membahas semua hal mengenai hadis

termasuk hadis Ahad ini, kemudian mereka muncul dan kembali membahasnya.

Apa yang melatarbelakangi keduanya dalam membicarakan tentang hadis Ahad.

Kelahiran keduanya tidak jauh berbeda, hanya berjarak satu tahun. Akan tetapi

keduanya berasal dari daerah yang berbeda sehingga pengalaman intelektual, ilmu

yang mereka dapatkan dan guru-guru tempat mereka menimba ilmu juga berbeda.

Karena ini perbedaan terlihat pada pendapat yang di sampaikan oleh keduanya

mengenai fungsi hadis Ahad sebagai sumber hukum Islam. Keduanya sepakat

bahwa hadis Ahad dapat dijadikan hujjah, akan tetapi terdapat perbedaan metode

24
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Maktabah
al-Islami, t.Th), hal.211
mereka dalam menerimanya. Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan, karena

keduanya berusaha untuk memposisikan hadis sesuai dengan peranannya sebagai

sumber hukum dalam Islam, akan tetapi langkah-langkah dan konstruksi pemikiran

keduanya memiliki perbedaan. Berdasarkan latar belakang di atas, secara khusus

penulis memutuskan untuk melakukan penelitian ini yang berjudul, Fungsi Hadis

Ahad Sebagai Sumber Hukum dalam Islam Menurut Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan

dan batasan masalah dapat disusun sebagai berikut:

1. Rumusan Masalah

a. Bagaimana konstruksi pemikiran Muhammad Nashiruddin al-Albani dan

Mushthafa as-Siba’I mengenai hadis Ahad sebagai sumber hukum dalam

Islam?

b. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan pemikiran Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i?

2. Batasan Masalah

Dalam menyelesaikan tulisan ini, agar pembahasan tulisan ini tidak

melebar, penulis perlu membatasi masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini,

yaitu fungsi hadis Ahad sebagai sumber hukum dalam Islam menurut

Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i.

C. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian adalah:

a. Untuk mengetahui konstruksi pemikiran Muhammad Nashiruddin al-

Albani dan Mushthafa as-Siba’i mengenai hadis Ahad sebagai sumber

hukum dalam Islam

b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan Muhammad Nashiruddin al-

Albani dan Mushthafa as-Siba’i mengenai hadis Ahad sebagai sumber

hukum dalam Islam

2. Manfaat Penelitian

Ada beberapa hal yang dipandang sangat penting sebagai manfaat

positif dengan mengangkat penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna mendapatkan gelar Sarjana Agama

(S.Ag) pada Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Bukittinggi

b. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka

memperkaya khazanah literature tentang masalah fungsi hadis Ahad

sebagai sumber hukum perspektif Nashiruddin al-Albani, dan dapat

dijadikan bahan bacaan di perpustakaan IAIN “Institut Agama Islam

Negeri” Bukittinggi.

c. Dengan selesainya pembahasan ini, akan menjadi bahan referensi bagi

peneliti selanjutnya.
D. Kajian Pustaka

Kajian tentang hadis/sunnah sebenarnya bukan merupakan suatu kajian

yang baru, karena telah banyak ulama maupun cendikiawan yang telah membahas

tentang objek sunnah/hadis ini, baik yang dilakukan oleh ulama hadis maupun

ulama ahli fiqh. Sepanjang pengamatan penulis, ada beberapa sarjana yang

melakukan kajian dan penelitian tentang al-Albani.

Sementara ini, penelitian yang bersifat akademis terhadap pemikiran al-

Albani, diantaranya Jurnal Umaiyatus Syarifah, mahasiswa Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang berjudul Peran dan Kontribusi

Nashiruddin al-Albani dalam Perkembangan Ilmu Hadis pada tahun 2015, dalam

penelitiannya yang berisi tentang peranan dan kontribusi al-Albani dalam

perkembangan ilmu Hadis, ia menjelaskan bahwa dari beberapa hasil penelitian

menunjukkan bahwa al-Albani terkadang tidak konsisten dalam penetapan hukum

hadis. Oleh karena itu, hasil takhrij Albani sudah selayaknya dikaji ulang guna

melihat metode penetapan kualitas hadis yang beliau gunakan.

Kemudian penelitian Skripsi mahasiswa IAIN Bukittinggi berjudul Analisis

Pendapat Syaikh al-Albani Tentang Shalat Sunat Setelah Shalat Ashar pada tahun

2015. Dalam skripsinya ia menjelaskan tentang bagaimana pendapat al-Albani

mengenai shalat sunat yang dilakukan setelah shalat ashar.25 Sedangkan penelitian

tentang hadis Ahad sendiri di antaranya, Kedudukan Hadis Ahad Sebagai Dasar

25
Waliya Widda Fawzi Tsary, Analisis Pendapat Syaikh al-Albani Tentang Shalat Sunat
Setelah Shalat Ashar, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi, 2015.
Tasyri’ Islam Menurut Muhammad al-Gazali dan Mustafa as-Siba’i. Skripsi ini

ditulis oleh Ahmad Musadad mahasiswa Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga

pada tahun 2009. Dalam skripsinya ia menjelaskan tentang perbandingan

pemikiran kedua tokoh di atas dengan menganalisis persamaan dan perbedaan

metode yang digunakan oleh tokoh dalam menilai dan kedudukan hadis Ahad

sebagai dasar tasyri’ Islam.

Selanjutnya sebuah jurnal yang berjudul Metode Kritik Matan Mustafa as-

Siba’i dalam Kitab as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami pada tahun

2017 yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana UIN Sumatera Utara. Dalam jurnal

ini penulis menjelaskan tentang tanggapan sarjana muslim khususnya Mustafa as-

Siba’i dalam menanggapi apa yang dilakukan oleh Ahmad Amin dan golongan

orientalis yang memanfaatkan kritik matan sebagai salah satu upaya yang dapat

melemahkan hadis dari sisi matannya.26

Selain penelitian yang mengkaji tentang pemikiran Syaikh Nashiruddin al-

Albani dan Mushthafa as-Siba’i seperti penelitian di atas, sejauh pengamatan

penulis, belum ada penelitian yang membandingkan pemikiran Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i apalagi secara spesifik membahas

tentang hadis Ahad sebagai sumber hukum dalam Islam. Melihat kenyataan di atas,

maka penyusun merasa penelitian ini perlu untuk diangkat karena pentingnya

26
Juriono ,dkk, Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab as-Sunnah wa Makanatuha
fi at-Tasyri’ al-Islami, at-Tahdis: Journal of Hadith Studies, Vol. 1 No. 1 Januari-juni 2017
fungsi dan kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam, apalagi perdebatan

utama tentang hadis sebagai sumber hukum adalah berkutat pada hadis Ahad.

E. Penjelasan Judul

Tulisan yang berjudul Fungsi Hadis Ahad Sebagai Sumber Hukum

Perspektif Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i ini mengandung

beberapa istilah yang perlu dibatasi sebagai pegangan dalam kajian lebih lanjut.

Istilah-istilah tersebut adalah: Fungsi, Hadis Ahad, Sumber Hukum, dan Perspektif.

Kata fungsi dalam KBBI memiliki arti, kegunaan suatu hal atau jabatan

(pekerjaan) yang dilakukan.27

Hadis secara bahasa berarti ‫( الجديد‬baru), sedangkan secara istilah, hadis

adalah:

ِ ‫سﻠﱠ َﻢ ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﻮ ٍل اَ ْو ِﻓ ْﻌ ًﻞ اَ ْو ﺗَ ْﻘ ِﺮ ْي ٍﺮ اَ ْو‬
‫ﺻﻔَ ٍﺔ‬ َ ‫ﺻ َﻠى ﷲُ َﻋﻠَ ْي ِه و‬
َ ‫ﻒ ِالَى النﱠ ِﺒﻲ‬ ِ ُ ‫َﻣا ا‬
َ ‫ﺿ ْي‬
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik itu
perkataan, perbuatan, ketetapan ataupun sifat beliau.

Sedangkan Ahad (‫ )احاد‬secara bahasa adalah jama’ dari ‫( احد‬Ahad) yang

bermakna ‫( الﻮاحد‬satu). Menurut istilah khabar Ahad adalah hadis yang riwayatnya

tidak mencukupi/ memenuhi syarat hadis Mutawatir.28

Sumber adalah asal sesuatu. Abu al-Husain Ahmad bin Faris

mengemukakan makna hukum sebagaimana yang dikutip oleh H. Hamka Haq: kata

27
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PM Balai Pustaka, T.th),
hal. 283
28
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis,…, . 15-20
hukum yang berakar kata ‫ ك – م‬- ‫ ح‬,(‫ )حﻜﻢ‬mengandung makna mencegah atau

menolak, yaitu mencegah ketidak adilan, mencegah kezaliman, mencegah

penganiayaan dan menolak bentuk ke-mafsadatan lainnya.29 Dan perspektif adalah

sudut pandangan dalam memilih opini.30

Jadi yang dimaksud dengan judul ini adalah kegunaan atau peranan hadis

Ahad sebagai asal (sumber) hukum dalam Islam yang dilihat dari sudut pandang

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil yang optimal maka pembahasannya harus

dilakukan secara runtut dan sistematis. Penulis membagi pokok pembahasan skripsi

ini kedalam 5 (lima) bab, pada masing-masing bab ada sub-sub yang menjadi

perinciannya. Adapun sistematika pembahasan lebih lengkap adalah sebagai

berikut:

Bab I: merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan dan

batasan masalah, tujuan dan manfaat, kajian pustaka, penjelasan judul dan

sistematika penulisan.

Bab II: merupakan landasan teori yang berisikan tentang hadis Ahad,

biografi Nashiruddin al-Albani dan biografi Mushthafa as-Siba’i..

29
Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), . 1 dan 24
30
http://Perspektif Menurut Kamus Wikipedia.htm, diakses pada tanggal 27 Agustus 2018
Bab III: merupakan metodologi penelitian yang berisikan tentang jenis

penelitian, sifat penelitian, teknik pengumpulan data, sumber data dan analisis data.

Bab IV: merupakan pembahasan yang berisi tentang konstruksi pemikiran

Muhammad Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i mengenai hadis Ahad

sebagai sumber hukum dalam Islam kemudian analisis persamaan dan perbedaan

keduanya mengenai hadis Ahad.

Bab V: merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari kajian

yang dilakukan dan saran-saran yang perlu disampaikan terkait dengan kajian-

kajian yang perlu diteruskan oleh peneliti-peneliti berikutnya di masa mendatang.


BAB II
LANDASAN TEORI

A. Hadis Ahad

1. Defenisi Hadis Ahad

َ َ‫ َحد‬yang berarti ٌ‫( َج ِد ْيد‬baru), lawan dari kata ‫ﻗَديْﻢ‬


Hadis berasal dari kata ‫ث‬

(lama). Sedangkan menurut istilah, hadis adalah:

31 ٍ ٍ ِ‫ﻒ إﱃ النﱯ صلﻰ ﷲ عليه و سلم ِم ْن ﻗَـ ْوٍل او ف‬


‫عﻞ او ﺗَـ ْقري ٍر او ِص َفة‬ ِ
َ ‫َم اُﺿْي‬
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat.

Secara bahasa kata Ahad ‫ اﻻحاد‬adalah jama’ dari kata ‫( احد‬Ahad) yang

berarti ‫( واحد‬wahid) atau satu. Dan khabr al-Ahad adalah hadis yang

diriwayatkan oleh satu orang. Dan dinamakan Ahad karena riwayatnya

menyendiri dan lebih sedikit dari pada riwayat Mutawatir. Sedangkan menurut

istilah hadis Ahad adalah hadis yang tidak sampai kepada derjat Mutawatir.32

Senada dengan Mahmud Thahan di atas, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib

mendefenisikan hadis Ahad sebagai berikut:

ٌ‫ ِﳑﱠا َﱂْ ﺗَـﺘَـ َوفﱠر فِْي ِه ُشُرْو ُط اﳌ ْﺸ ُه ْوِر اَْو اﳌﺘَـ َواﺗِ ِر َوَﻻ ِع ْ َﱪة‬,‫ان فَاَ ْﻛﺜَر‬ ِ ‫هو ما رواﻩ‬
ِ َ‫احد اَو ا ِﻹثْـن‬
ْ ‫الو‬ َ ُ ََ َ َ ُ
‫ َوُه َو ُد ْو َن اﳌﺘَـ َواﺗِ ِر َواﳌ ْﺸ ُه ْوِر‬,‫ك‬ ِ ِ
َ ‫لْل َع َدد فَـْي ِه بَـ ْع َد َذل‬
"Ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang, atau dua orang
atau lebih yang tidak sampai kepada tingkat masyhur atau mutawatir, dan tidak
ada ungkapan yang pasti tentang jumlahnya".33

31
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, …, hal. 15
32
Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, …, hal. 22
33
Muham mad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, …, hal. 198
Defenisi yang tidak berbeda dengan yang dikemukakan di atas adalah

yang dirumuskan oleh Muhammad Abu Zahrah, seorang ahli ushul fiqh dengan

redaksi:

‫صلﱠﻰ ﷲ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم َوَﻻ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ُﻛ ﱡﻞ ﺧ ٍﱪ يـرِويه‬


َ ‫الر ُس ْول ﷲ‬
َ ‫الواحد اَْو اﻹثْـنَان اَْو اﻷَ ْﻛﺜَر َع ْن‬ َ ْ َْ ْ َ
‫يﺘواﺗفر فِْي ِه ُشُرْوط اﳌ ْﺸ ُه ْوِر‬
“Tiap-tiap khabar (hadis) yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau
lebih, dari Rasulullah Saw dan tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur”.34

Albani tidak memberikan defenisi dari redaksinya sendiri mengenai

defenisi hadis Ahad dalam kitabnya. Sedangkan ss-Siba’i memberikan defenisi

hadis Ahad yang tidak jauh berbeda dengan defenisi-defenisi sebelumnya yang

sudah dikemukakan di atas, ia mendefenisikan hadis Ahad dengan redaksi:

‫ﱠﱯ‬ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ان َع ْن‬ ِ ‫احد أو ا ِﻹثْـَن‬ ِ ‫ ِهﻲ ما يـرِويه‬,‫وآحاد‬


ِّ ‫الواحد أ ْو اﻹثْـنَ ْﲔ َح ﱠﱴ يﺼﻞ إ َﱃ الن‬
َ ْ ‫الو‬ َ ْ َْ َ َ َ
35 ِ ِ
‫ ْاو َم يَـ ْرِويِْه ُد ْو َن اﳌﺘَـ َواﺗر‬,‫لم‬
َ ‫صلﻰ ﷲ َع ْليه و َس‬
“Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua
orang dari satu atau dua orang pula yang bersambung sampai kepada Nabi
saw, atau riwayat yang bukan mutawatir”.
Dari beberapa defenisi hadis Ahad yang dikemukakan di atas dapat

dilihat bahwa batas jumlah rawi dalam periwayatan Ahad adalah paling sedikit

satu orang dan maksimal batasannya adalah tidak sampai kepada tingkat hadis

masyhur dan mutawatir.

34
A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-ilmu Hadis, …, hal. 46
35
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’…,hal. 190
2. Pembagian Hadis Ahad

Jumhur ulama dari kalangan muhaddisin, ushuliyyin dan fuqaha

membagi hadis Ahad kepada tiga macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.

Adapun ulama dari kalangan Hanafiyah mengeluarkan masyhur dari

pembagian hadis Ahad, mereka meletakkan hadis masyhur di tengah-tengah

antara Mutawatir dan Ahad. Maka pembagian hadis menurut mereka dari segi

jumlah rawi adalah Mutawatir, masyhur, dan Ahad.

a. Masyhur

Masyhur secara bahasa berasal dari kata syahara atau isytahara

yang berarti sesuatu yang sudah tersebar atau sesuatu yang sudah popular.

Sedangkan secara istilah, masyhur adalah:

‫ﲔ َو َﱂْ يَـْبلِ ُﻎ َح ّد الﺘَـ َواﺗِ ِر‬


ِ ْ َ‫ﺚ الﱠ ِذ ْي لَهُ ﻃُر ٌق َْﳏﺼورةٌ َِ ْﻛﺜَـرٍة ِم ْن اثْـن‬
َ َ ُ
ِ
ُ ْ‫ُه َو اﳊَدي‬

“Masyhur adalah hadis yang memiliki jalan yang terhingga, tetapi


lebih dari dua jalan dan tidak sampai kepada batas hadis yang Mutawatir”.

Hadis ini dinamakan masyhur karena popularitasnya di tengah-

tengah masyarakat, walaupun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik

berstatus Shahih atau Dhaif. Hadis masyhur dapat digolongkan kepada

beberapa bagian, yaitu:

1) Masyhur dikalangan muhaddisin, contohnya yaitu hadis yang

menerangkan tentang bahwa Nabi saw membaca doa qunut sesudah

ruku’ selama satu bulan penuh, lafaz hadisnya sebagai berikut;


ِ ُ ‫ ﻗَـنَت رس‬: ‫حديﺚ أﻧﺲ‬
‫وع يَ ْد ُعو َعلَﻰ‬ ‫صلﱠﻰ ﷲُ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم َش ْهًرا بَـ ْع َد ﱡ‬
ِ ‫الرُﻛ‬ َ ‫ول ﷲ‬ َُ َ
‫ت ﷲَ َوَر ُسولَهُ " رواﻩ اﲪد‬ ِ ‫ " عﺼيﱠةُ عﺼ‬:‫ وﻗَ َال‬،‫ وذَ ْﻛوا َن‬،‫ِر ْع ٍﻞ‬
ََ َُ َ َ َ
2) Masyhur dikalangan fuqaha, contohnya:

‫ رواﻩ مسلم‬.‫صلﱠﻰ ﷲُ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم َع ْن بَـْي ِﻊ الﻐََرِر‬ ِ ُ ‫ ََﻰ رس‬: ‫حديﺚ‬


َ ‫ول ﷲ‬ َُ
“Rasulullah saw melarang jual beri gahrar (pertaruhan)” HR.
Muslim
3) Masyhur dikalangan ushuliyyun, contohnya:

‫ " إِ َذا‬:‫ول‬ُ ‫صلﱠﻰ ﷲُ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم يَـ ُق‬ ِ َ ‫ أَﻧﱠه َِﲰﻊ رس‬،‫اص‬
َ ‫ول ﷲ‬ ُ َ َ ُ ِ ‫حديﺚ َع ْم ِرو بْ ِن الْ َع‬
ِ ْ ‫ح َﻜم‬
ِ ‫ فَـلَه أ‬،‫ فَﺄَصاب‬،‫ فَاجﺘَـه َد‬،‫اﻛم‬
ُ‫ فَـلَه‬،َ‫َﺧﻄَﺄ‬ ْ َ‫ ف‬،‫ َوإِ َذا َح َﻜ َم‬،‫َجَران‬
ْ ‫اجﺘَـ َه َد فَﺄ‬ ْ ُ َ َ َ ْ ُ َ‫اﳊ‬ َ َ
‫َجٌر " رواﻩ اﲪد‬
ْ‫أ‬
“apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia
berijtihad dan ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala, dan
apabila ia memutuskan suatu perkara dan ijtihadnya salah maka ia
mendapatkan satu pahala”.

b. ‘Aziz

‘Aziz secara bahasa berasal dari kata “‘azza” “ ya’izzu” yang berarti

sedikit atau jarang. Sedangkan menurut istilah, ‘Aziz adalah:

ِ ‫ات ا ِﻹسنَ ِاد اَو بـع‬


ِ ‫ﲨي ِﻊ ﻃَبـ َق‬ ِ ِ
ِ ِ َ‫ان عن اثْـن‬
‫ﻀ َها‬ َْ ْ ْ َ ْ َ ‫ﲔ ِﰲ‬ ْ ْ َ َ‫َما َرَواﻩُ اثْـن‬
“ ‘Aziz adalah hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang
dalam semua tingkatan sanad atau sebagiannya”.

Menurut ath-Thahan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian

thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal
dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah rawinya dua orang.

Oleh Karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadis ‘Aziz adalah

hadis yang diriwayatkan oleh dua atau satu orang perawi.

c. Gharib

Gharib secara bahasa berarti ‫( المنﻔﺮد‬menyendiri). Sedangkan secara

istilah ilmu hadis, gharib adalah:

‫ي ﻃَبَـ َق ٍة ِم ْن ال ﱠسنَ ِد‬ ٍِ ِِ ِ ِ ‫هو اﳊ ِدي‬


ِّ َ‫ﺚ الﱠذ ْي ﺗفرد ب ِرَوايَﺘه َرا ٍو َواحد ِﰲ أ‬
ُ ْ َ َُ
“Ia adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang
menyendiri dalam meriwayatkannya dimanapun saja penyendirian tersebut
dalam sanad”.

Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan

dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain

perawi tersebut. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bisa terjadi

pada awal, tengah atau akhir sanad.

B. Biografi Nashiruddin al-Albani

1. Nasab Nashiruddin al-Albani

Nama lengkap beliau adalah Muhammad Nashiruddin bin Nuh bin Adam

Najati. Beliau sangat dikenal dengan gelar al-Albani yang disandarkan kepada

Negara kelahirannya yaitu Albania (salah satu Negara Balkan yang terletak di

benua Eropa).36 Beliau lahir di rumah keluarga beliau di Asyqudarrah, di kota

Albania saat itu pada tahun 1914M. Beliau lahir dari keluarga yang sederhana jauh

36
Lukman Hakim Nurdin, dkk, “Perkembangan Awal Pengaruh Syaykh al-Albani Terhadap
Masyarakat Syiria”, Jurnal al-Turath, Vol.2, No. 2, 2017
dari kekayaan dunia. Ayah beliau, yakni Haji Nuh termasuk salah seorang ulama

besar di Albania yang bekerja sebagai tukang reperasi jam untuk menghidupi

keluarganya. Ia mengajarkan ilmu agama pada masyarakat setempat, dan dikenal

sebagai ahli fiqh madzhab Hanafi.37

Syaikh al-Albani mengatakan:

“Orang pertama yang memberikan pengaruh pada dirinya adalah ayahnya.”

Pengaruh ayahnya tampak jelas pada ketaatan beliau kepada ajaran agama,

karena beliau sering mengikuti ayahnya ke mesjid. Ayahnya juga sering

mengajaknya ziarah kubur setia hari jumat, khususnya ke makam orang-orang

yang diyakini sebagai wali Allah dan diyakini memiliki keutamaan shalat di makam

tersebut, seperti Syaikh Ibnu Arabi dan Syaikh an-Nabulisi. Albani kemudian

menuturkan:

“Aku mengikuti pemahaman ayahku tersebut hingga Allah menunjukkan


kepadaku jalan al-Sunnah. Aku melepas banyak sekali ajaran-ajaran yang
aku terima darinya yang dahulu diyakini sebagai sarana pendekatan diri dan
ibadah”. Albani juga menambahkan berkata: “Dahulu saya sangat berhasrat
mempelajari sunnah. Tetapi apabila timbul gairahku mempelajarinya,
ayahku selalu memperingatkan: “Ilmu hadis adalah pekerjaan orang-orang
pailit.”
Di sini Albani menggambarkan bahwa ayahnya memiliki sikap fanatic

terhadap mazhabnya. Walaupun terdapat perbedaan di antara Albani dan ayahnya,

pada akhir hayat ayahnya beliau sering mengatakan ketika setiap selesai berdebat:

37
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany,…, . 14
“ Aku tidak mengingkari bahwa engkau datang kepadaku dengan membawa
sejumlah pelajaran ilmiah yang sebelumnya tidak aku ketahui”.38

2. Perjalanan Hidup dan Pendidikan Nashiruddin al-Albani

Al-Albani tumbuh dilingkungan yang kental agamanya, memelihara ajaran

agama dalam segala aspek kehidupan. Hingga berkuasalah raja Albania ketika itu,

yaitu Ahmad Zugu, yang mengadakan perombakan total sendi-sendi kehidupan

masyarakat yang menyebabkan kegoncangan hebat. Raja ini mulai mengikuti

langkah thaghut Turki, yakni Kamal Ataturk, ia mengharuskan wanita-wanita

muslimah menanggalkan jilbab. Sejak saat itu mulai maraklah gelombang

pengungsian orang-orang yang ingin menyelamatkan agama mereka. Keluarga Haji

Nuh tidak mau ketinggalan, mereka termasuk keluarga pertama yang mengungsi

dari Albania ke Syiria. Di kota Damaskus, al-Albani dan saudara-saudaranya

memulai pendidikannya dengan belajar bahasa Arab di Madrasah Jami’iyyah al-

Is’af al-Khairi. Beliau menimba ilmu di situ hingga hampir menyelesaikan

pendidikan ibtidaiyah. Sampai di sini al-Albani mengenyam pendidikan formal,

karena selanjutnya ia menempuh pendidikan non fomal. Ia belajar dari ayahnya dan

kepada masyaikh.39

Al-Albani muda melanjutkan studinya mempelajari kitab Maraqi al-Falah

dengan menghadiri majelis Muhammad Sa’id al-Burhani, seorang ulama Syam

38
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany,…, hal. 19-20
39
Muhammad bin Ibrahim al-Tsaibani, Hayah al-Albani wa Atsaruh wa Tsana’u al-‘Ulama
‘Alaihii, (Maktabah as-Saddawa, 1987), hal. 44-45
yang bermadzhab Hanafi dan Imam besar mesjid Bani Umayyah. Al-Albani juga

giat mengikuti majelis-majelis ulama hadis diantaranya Ahmad bin Muhammad

Syakir (w. 1337H) dan Muhammad Bahjat al-Batar (w. 1396H), keduanya

merupakan murid Jamaluddin al-Qasimi. Al-Albani juga sangat suka membaca

majalah al-Manaar yang dipelopori oleh Rasyid Rida yang berisi kritik ilmiyah

terhadap kitab Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali, dimana diungkap kelebihan-

kelebihan kitab dan juga kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Dari

pembahasan-pembahasan yang dia baca dalam majalah al-Manaar yang

menginspirasi al-Albani untuk lebih fokus mendalami ilmu hadis.40

Rasa penasaran membuat al-Albani ingin merujuk secara langsung ke kitab

yang dijadikan referensi itu, yaitu kitab al-Mughni’an Hamli al-Asfar karya al-

Hafiz al-‘Iraqi. Namun kondisi ekonomi tidak mendukungnya untuk membeli kitab

tersebut, maka dia menyewa kitab yang terbit dalam 3 jilid kemudian disalin

dengan tangannya sendiri hingga akhir. Selama proses menyalin itu, al-Albani

secara tidak langsung telah membaca dan menelaah kitab tersebut secara mendalam

dan hal ini menjadikan perbendaharaan wawasan yang ada pada al-Albani pun

bertambah. Al-Albani kemudian semakin tertarik ke dalam dunia hadis sehingga

dia menerapkan metode yang dia pelajari untuk menelaah kitab balaghah dan

gharib al-hadis serta memulai melakukan takhrij. Dalam bidang hadis al-Albani

tidak pernah mendapatkan pendidikan formal, ia belajar hadis secara otodidak

40
Andi, dkk, “Manhaj Muhammad Nasiruddin al-Albani dalam Mendaifkan Hadis” at-Tahdis:
Journal of Hadith Studies, Vol. 1, No. 2, Juli 2017
dengan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan di Damaskus, khususnya

perpustakaan al-Zahiriyyah. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di

perpustakaan. Setiap hari al-Albani mengunjungi perpustakaan tersebut enam

hingga delapan jam sesuai jam buka perpustakaan. Al-Albani hanya beristirahat

untuk shalat dan makan saja. Pada tahun 1961, al-Albani mendapatkan gelar

Profesor hadis dari Islamic University of Madinah.41

Al-Albani berkata: “Sesungguhnya nikmat-mikmat Allah yang tercurah

atas diriku sangat banyak sekali, aku tidak mampu menghitungnya. Namun

barangkali yang terbesar ada dua: pertama, hijrahnya orangtuaku ke tanah Syuria,

dengan itu aku dapat mudah mempelajari bahasa Arab. Sekiranya kami tetap

bertahan di Albania tentu aku tidak akan tahu sedikitpun bahasa Arab. Padahal

tidak ada jalan untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah kecuali dengan menguasi

bahasa Arab. Adapun nikmat kedua, ayahku mengajariku keahlian yang

dimilikinya dalam mereparasi jam yang banyak memberiku waktu untuk menuntut

ilmu. Dengan demikian terbukalah bagiku kesempatan untuk berbisnis, sekiranya

aku harus mempelajari bisnis terlebih dahulu tentu waktuku akan habis untuk itu.

Dan niscaya aku akan terhalang menuntut ilmu, padahal para penuntut ilmu itu

membutuhkan waktu yang lapang berkonsentrasi mendalaminya”. Ketika beliau

ditanya tentang cara beliau memanfaatkan waktu luang untuk menimba ilmu

sekaligus bekerja, beliau menjawab: “hal itu memang benar, berkat karunia Allah,

41
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, … , hal. 24
profesi tersebut telah kujalani sejak usia muda. Dan aku menyukainya karena

profesi ini bebas, tidak mengganggu untuk menuntut ilmu”.42

Al-Albani juga sering ikut serta dalam seminar-seminar ulama besar seperti

Muhammad Bahjat al-Baitar yang ahli dalam bidang hadis dan sanad. Dari majelis

serta diskusi-diskusi ini mulai tampaklah kejeniusan al-Albani dalam hadis. Al-

Albani juga menjalin hubungan dengan ulama-ulama hadis luar negri di antaranya

yang berasal dari Pakistan, termasuk dengan Muhammad Zamzami dari Maroko,

Ahmad Syakir dari Mesir, al-Albani juga bertemu dengan ulama hadis terkemuka

asal India, yaitu Abdussamad Syafaruddin kemudian mereka berdua saling

berkirim surat. Dalam salah satu surat Abdussamad menunjukkan pengakuan atas

keyakinan beliau bahwa al-Albani adalah ulama hadis terhebat pada masa itu.43

Al-Albani pernah mengajar hadis dan kajiannya di Jamiah Islamiyah

(Universitas Islam Madinah) pada tahun 1381-1383H. Setelah itu ia pindah ke

Yordania. Pada tahun 1388H, Departemen Pendidikan meminta Al-Albani menjadi

ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah perguruan

tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi, situasi dan kondisi saat itu tidak

memungkinkannya memenuhi permintaan tersebut. Pada tahun 1395H hingga

1398H, ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi

42
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, … , hal . 25-26
43
Andi, dkk, “Manhaj Muhammad Nasiruddin al-Albani, …,hal . 6
Jamiyah Islamiyah. Ia mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Arab Saudi

berupa King Faisal Foundation.44

Al-Albani seringkali memuji para ulama ahli hadis dalam kaset maupun

kitabnya. Seringkali beliau mengucapkan: “Madzhab ahli hadis adalah madzhab

yang paling kuat di antara sekian madzhab. Bagaimana tidak, mereka adalah para

ahli waris Nabi saw dan pengibar syari’at beliau yang sejati”. Syaikh Dr. ‘Ashim

bin ‘Abdullah al-Qaryuti, salah seorang murid beliau, pernah bercerita: “ pada

tahun 1419H, aku pernah menyebutkan beberapa ulama ahli hadis pada Syaikh

Nashiruddin al-Albani, lalu beliau bertutur: “Ahli hadis adalah keluarga Nabi saw,

meskipun mereka tak bersahabat dengan jasadnya, namun mereka menemani beliau

dengan hembusan nafasnya”.45 Begitulah al-Albani sangat menyanjung dan

memuji para ulama ahli hadis, beliau selalu memohon kepada Allah agar

menjadikan beliau termasuk deretan ahli hadis, manusia yang paling dekat dengan

Rasulullah saw.

Syaikh al-Albani adalah seorang yang sangat pemberani dalam menyiarkan

aqidah Shahih, sering berdiskusi dan melakukan pembahasan dengan para ulama

lain dan dengan para penuntut ilmu yang mengikuti dalil dan kaidah-kaidah tarjih.

Beliau tidak keluar dari kaidah-kaidah ilmiah yang menjadi acuan di kalangan

ulama. Persoalan-persoalan yang mana beliau menyelisihi fatwa-fatwa yang

44
Umaiyatus Syarifah, Peran dan Kontribusi Nashiruddin al-Albani dalam perkembangan
Ilmu Hadis, Riwayah, Vol. 1, No. 1 Maret 2015
45
Abu Ubaidah Yusuf, Syaikh al-Albani Dihujat, (Bogor: Media Tarbiyah, 2015), hal. 101
masyhur dari kalangan ulama sekarang ini sangatlah sedikit. Namun orang-orang

yang hasad dan membenci beliau memanfaatkannya. Ini merupakan salah satu

bukti keistimewaan dan kelebihan beliau. Karena seorang mukmin tidak akan lepas

dari orang yang memuji atau mencelanya.

Di akhir hayatnya, al-Albani menderita beberapa penyakit, diantaranya

adalah Anemia, gangguan hati dan ginjal. Kondisi ini tidak membuatnya

beristirahat. Ia tetap meneliti dan mengkaji hadis. Beliau wafat pada waktu ashar

hari Sabtu, 22 Jumadil Akhir 1420H. penyelenggaraan jenazah beliau dilakukan

menurut sunnah seperti yang telah beliau wasiatkan sebelum wafat. Sebelum

meninggal al-Albani juga berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa

buku-buku yang sudah dicetak, manuskrip-manuskrip semuanya diserahkan ke

perpustakaan Jamiah al-Islamiyah di Madinah, karena aku memiliki kenangan

manis di sana dalam berdakwah kepada al-Qur’an dan sunnah di atas manhaj

Salafus Shalih, saat aku menjadi tenaga pengajar di sana.46

3. Guru dan Murid Nashiruddin al-Albani

Al-Albani tidak memiliki banyak guru, ia belajar kepada beberapa orang

yang beliau ikuti majelis pengajiannya, diantaranya:

a. Nuh Najati al-Hanafi, beliau adalah ayahnya sendiri. Melalui ayahnya,

al-Albani belajar al-Qur’an, tajwid, ilmu saraf, dan ilmu fiqh madzhab

Hanafiyah.

46
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, … , hal. 115- 117
b. Sa’id al-Burhani. Seorang ulama madzhab Hanafi di Damaskus. Al-

Albani belajar kitab Maraqi al-Falah, madzhab Hanafi dan kitab Nahwu

Sudur az-Zahab karya Ibnu Hisyam serta kitab Balaghah lainnya.

c. Muhammad Raghib at-Tabakh, beliau memberikan ijazah periwayatan

kepada al-Albani tanpa dimintanya sebagai penghormatan

kesungguhanya menggeluti dunia hadis.

d. Ahmad ibn Muhammad Syakir, seorang ahli hadis Mesir pada

zamannya dan seorang ahli hadis murid dari Jamaluddin al-Qasimi, dan

lain-lain.

Sedangkan murid-murid beliau mencapai ratusan, selain mengajar di

Jamiah Islamiyah, ia juga pernah menjadi ketua jurusan pada Fakultas Pasca

Sarjana di sebuah perguruan tinggi di kerajaan Yordania. Diantara muridnya yang

populer adalah sebagai berikut:

a. Hamdi Abd al-Majid al-Salafi

b. Abd ar-Rahman Abd al-Khaliq, adalah murid al-Albani yang

merupakan lulusan dari Jami’ah Islamiyah Madinah Munawarah.

c. Umar Sulaiman al-Asyqar, merupakan seorang guru pada Fakultas

Syariah Jamiah al-Kuwait.

d. Khairuddin Wanli

e. Muhammad Abd ‘Abbasi

f. Muhammad Ibrahim Syaqrah


g. Basim Faisal Jawabirah, merupakan seorang doesen ilmu hadis di

Riyadh

h. Hujazi Muhammad Syarif, lebih dikenla dengan nama Abu Ishaq al-

Huwaini, salah satu murid al-Albani yang dianggap menguasai ilmu

hadis.

i. Zuhair asy-Syawisi, merupakan pemilik penerbit Maktabah al-Islami

yang berdomisili di Beirut Lebanon

j. Rabi bin Hadi al-Madkhali, dan lain-lain.47

4. Karya Nashiruddin al-Albani

Semasa hidupnya, al-Albani banyak menghabiskan waktu luangnya di

perpustakaan, bukanlah hal yang mustahil jika akhirnya ia menghasilkan banyak

tulisan baik berupa tahqiq, takhrij, ta’liq, ikhtisar, I’dad dan fatwa, baik yang sudah

dicetak maupun belum diterbitkan. Karya al-Albani sangat banyak, lebih kurang

200 karya mulai dari ukuran satu jilid kecil, besar, hingga yang berjilid-jilid yang

sebagiannya sudah lengkap, namun yang lain masih belum sempurna karena dia

telah wafat sebelum menyempurnakannya. Beberapa diantara karya al-Albani yang

berupa tahqiq sekaligus taliq adalah:

a. Al-Ihtijaj bi al-Qadar karya Ibn Taimiyah

b. Hijab al-Mar’ah wa Libasuhu fi as-Salah, karya Ibn Taimiyah

c. Ta’sis al-Ahkam Syarh Bulugh al-Maram, karya an-Najmi

47
Muhammad bin Ibrahim al-Tsaibani, Hayah al-Albani wa Atsaruh, … , hal. 94-106
d. Al-Tab ‘ala Risalah al-Hijab, karya Abu Ala al-Maududi

Sedangkan karya al-Albani yang berupa takhrij terhadap kitab-kitab yang

masyhur, diantaranya:

a. Silsilah al-Ahadis as-Shahihah wa Syai’un min Fiqh wa Fawaidih

b. Silsilah al-Ahadis ad-Da’ifah wa al-Maudhu’ah wa Asaruhu as-Sayyi

fi al-Ummah

c. Irwa’ul Ghalil

d. Shahih wa Dha’if Jami’ as-Saghir wa Ziyadatuhu

e. Shahih Sunan Abu Daud

f. Dha’if al-Adab al-Mufrad

g. Shahih Sunan at-Tirmidzi.

Diantara risalah al-Albani yang telah dicetak:

a. Adab az-Zifaf as-Sunnati al-Muthahharah

b. Ahkam al-Janaiz

c. Al-Iman

d. At-Tawassul ‘Anwa’uhu wa Ahkamuhu

e. Sifat Shalat Nabi saw, min at-Takbir ila as-Salam Kaannaka Tarahu

f. Shalat at-Tarawih.

Adapun karya al-Albani yang belum dicetak sekitar Sembilan puluh

delapan, diantaranya:

a. Al-Ayat wa Ahadis fi Ammi al-Bida’

b. Ahadis at-Taharri wa al-Bina ala al-Yaqin fi as-Shalat


c. Al-Hadis al-Mukhtarah

d. Ahkam ar-Rikaz

e. Al-Ahkam as-Sughra.48

5. Pandangan Ulama Terhadap Nashiruddin al-Albani

Kualitas Nashiruddin al-Albani sebagai ulama dan ahli hadis sudah tidak

dikeragui lagi. Dengan kredibilitas yang beliau punyai, beliau banyak mendapatkan

pujian dari ulama-ulama lain yang mengenal dan mengetahui tentang beliau. Akan

tetapi beliau juga banyak mendapatkan kritikan dan hujatan dari hasil-hasil

penelitian beliau, terutama hasil penelitian dalam bidang hadis. Sekurang-

kurangnya ada 17 buah buku yang membantah al-Albani seputar fatwa dan

pendapat-pendapatnya.

Diantara bantahan dan kritikan yang ditujukan kepada al-Albani

disampaikan oleh Hasan as-Saqqaf. ia mengarang sebuah kitab bantahan terhadap

al-Albani yang berjudul Tanaaqudhat al-Albani yang berisi celaan terhadap al-

Albani. Ia mengatakan bahwa al-Albani memiliki sifat sombong dan merasa lebih

unggul daripada para ulama terdahulu. As-Saqaf juga membuat suatu pasal

pembahasan tentang hadis-hadis riwayat Bukhari Muslim yang dilemahkan oleh al-

Albani. Kritikan lain juga disampaikan oleh ‘Abdullah al-Ghumari yang

mengatakan bahwa al-Albani adalah seorang ahli bid’ah dan si pembuat bid’ah.

Dengan bid’ah yang beliau sebarkan ini memecah belah barisan kaum mislimin

48
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, … , hal. 121-136
dan menyesatkan mayoritasnya sehingga tidak ada yang berada di atas sunnah.

Kemudian buku bantahan terhadap al-Albani juga ditulis oleh Mahmud Sa’id

Mamduh yang berjudul Tanbiih Muslim fi Ta’dil al-Albani ‘ala Shahih Muslim.

Semua bantahan yang ditujukan kepada al-Albani terebut sudah beliau jawab dan

beliau komentari langsung melalui tulisan-tulisan beliau.49

Bantahan terhadap kritikan dan tuduhan yang dihadapkan kepada al-Albani

tidak hanya dikomentari oleh al-Albani sendiri, akan tetapi ulama-ulama lain juga

berpartisipasi dalam menjawab bantahan dan kritikan tersebut. Diantaranya Syaikh

Hammad al-Anshari, ahli hadis Madinah, beliau menulis kitab bantahan terhadap

al-Ghumari berjudul Tuhfatul Qari fir Raddi ‘ala al-Ghumari. Syaikh ‘Ali bin

Hasan al-Halabi yang menulis sebuah kitab bantahan terhadap kitab karya as-

Saqaf yang berjudul al-Anwar al-Kasyifah lii Tanaqqudhat al-Khasaf az-Zaifah.

Dan kitab lainnya.

Selain menerima kritikan dan bantahan, al-Albani juga menerima banyak

pujian. Diantaranya berikut ini perkataan Mufti Kerajaan Saudi Arabia terdahulu

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalisy tentang Fadhilah Syaikh al-Albani: “Beliau

adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela al-Haq dan menyerang ahli

kebatilan”. Kemudian mantan kepala bagian pendidikan tinggi S2 di al-Jami’ah al-

Islamiyah, ustadz Dr. Amin al-Mishri, saat ditanya tentang pendapat beliau tentang

Syaikh al-Albani, ia berkata: termasuk kemalangan dunia saat ini adalah memilih

49
Abu Ubaidah Yusuf, Syaikh al-Albani Dihujat, …, hal. 57-69
orang-orang seperti kami para doctor untuk mengajar materi hadis di perguruan

tinggi sementara masih ada orang yang lebih layak dari pada kami. Akan tetapi

begitulah system dan tradisi yang berlaku.50

Kemudian Syaikh Muhammad ash-Shalih al-Utsaimin juga berkata

mengenai Syaikh al-Albani: sejauh yang saya ketahui tentang beliau adalah seorang

yang sangat sungguh-sungguh mengamalkan sunnah dan memerangi bid’ah, baik

dalam bidang aqidah maupun amal ibadah. Beliau juga seorang yang alim,

memiliki ilmu yang luas dalam bidang hadis, baik dari sisi riwayat maupun dirayat.

Allah swt telah memberi manfaat bagi umat manusia lewat karya-karya beliau yang

agung. Kedudukan beliau yang tinggi tidaklah terpengaruh dengan beberapa

kekeliruan beliau dalam mengangkat sejumlah hadis. Beliau tetap dikenal sebagai

seorang ulama yang memiliki ilmu yang luas, penelitian yang dalam dan hujjah

yang kuat. Setiap orang diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali perkataan

Allah dan Rasul-Nya. Pujian yang lain juga dilontarkan oleh Abdurrahman Abdul

Khaliq. Selain memuji al-Albani sebagai seorang yang alim dan ahli dalam bidang

hadis, Abdul Khaliq juga berkata bahwa al-Albani berhasil menghidupkan

kesadaran kembali kepada ajaran agama dan mencari kebenaran pada setiap tulisan

dan perkataan beliau, bahkan pada seluruh lapisan ulama. Mereka mulai memahami

agama dengan metode ilmiah yang tegak atas dasar dalil dan keterangan yang jelas.

Akan tetapi metode ilmiah yang beliau pakai ini menimbulkan hasad sejumlah

50
Umar Abu Bakar, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, … , hal. 163
besar orang. Hanya sekadar mengkritik sebuah pendapat al-Albani, atau

menemukan pendapat beliau yang keliru, ia langsung menuding Syaikh al-Albani

dengan komentar-komentar pedas.51

C. Biografi Mushthafa as-Siba’i

1. Nasab Mushthafa as-Siba’i

Nama lengkapnya adalah Mushthafa bin Husni as-Siba’i, ia lahir di kota

Himsh, Suria pada tahun 1915M. Ia lahir dari keluarga yang terkenal dengan

ketaatan dan keilmuannya. Ayahnya bernama Husni as-Siba’i. Ayah dan

kakeknya seorang ulama terkemuka dan khatib terkenal di masjid Jami’ Raya

Himsh. Ayahnya juga terkenal sebagai seorang mujahid yang berjuang dengan

jiwa dan harta dalam menghadapi penjajahan Perancis.52

2. Perjalanan Hidup dan Pendidikan Mushthafa as-Siba’i

As-Siba’i lahir dari keluarga yang terkenal dengan keilmuan agama dan

ketaatan mereka. Di kampung halamannya, semenjak kecil ia sudah belajar

langsung kepada ayahnya, baik itu ilmu agama, ilmu keorganisasian dan ilmu

politik. Bahkan di usianya yang sangat muda ia sudah mampu menghafal al-

Qur’an. Pertamakali ia mempelajari Islam melalui ayahnya, termasuk

pengetahuan yang kuat mengenai aktifitas politik yang kelak membuatnya

berhadapan dengan pemerintah Perancis. Selain menimba ilmu kepada ayahnya

di rumah, ia juga sering mengikuti pengajian-pengajian yang disampaikan

51
Muhammad bin Ibrahim al-Tsaibani, Hayah al-Albani wa Atsaruh, … , hal. 543-548
52
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’…, hal. 5
langsung oleh ayahnya. Keahliannya dalam berpidato dan berkhutbah sudah

ditempa semenjak ia remaja, karena itu ia sering menggantikan ayahnya dalam

menyampaikan pengajian apabila ayahnya berhalangan untuk hadir. As-Siba’i

juga memiliki prestasi belajar yang sangat baik. Ia selalu menjadi juara kelas

dan terkenal sebagai siswa yang sangat kuat hafalannya.53

Selain kepada keluarganya, As-Siba’i juga belajar kepada ulama dan

cendikiawan terkemuka yang ada di Suriah. Ia sering menemani ayahnya di

majelis ilmu yang dihadiri oleh ulama Hims, seperti Thahir ar-Raes, Said al-

Maluhi, Fariq al-Atasi dan Raghib al-Wafa’i. ketika ia meminang seorang

gadis, keluarga yang mengiringinya mengatakan bahwa as-Siba’i adalah orang

yang menyibukkan sebagian besar waktunya untuk dakwah Islam. Hal ini

disampaikan agar tidak timbulnya masalah di kemudian hari. Keluarga gadis

tersebut menerima pinangannya.54

Kehidupan remaja as-Siba’i diwarnai oleh kekuatan imperialis55 yang

masih menghantui kemerdekaan tanah airnya, sikap patriotic tertanam dalam

pribadinya, hal ini juga yang mempengaruhi kepribadian dan pola pikirnya. Di

masa remajanya ia sudah berani melawan kaum penjajah dan aktif dalam

kegiatan merebut kemerdekaan. Pada tahun 1931M saat ia berusia 16th, ia

53
Juriono ,dkk, Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab…, hal. 2
54
Nor Najihah binti Ismail, Hak Politik Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa al-Siba’i,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011, hal. 15
55
Imperialis adalah politik untuk menguasai (dengan paksaaan) dimana sebuah negara dapat
memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agara negara tersebut bisa berkembang.
dituduh mengkoordinir kritikan yang ditujukan kepada penjajahan Perancis

pada masa itu, dengan tuduhan ini ia dimasukkan ke dalam penjara. Pada tahun

1933M saat berusia 18th, as-Siba’i pergi ke Mesir untuk melanjutkan studinya

di Universitas al-Azhar dengan mengambil jurusan fiqh, kemudian ia

melanjutkan studi di Universitas yang sama dengan jurusan Ushuluddin. Pada

tahun 1949M ia meraih gelar doktor di bidang Syariah Islamiyah, ia menulis

disertasi yang berjudul al-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami

dengan predikat summa cumlaude. Tulisan inilah yang berhasil menaikkan

prestasi akademiknya.56 Di masa ia berkuliah di Mesir ini lah ia menjalin

hubungan yang harmonis dengan Hasan al-Banna dan organisasi Ikhwanul

Muslimin. Di sana ia aktif di berbagai macam kegiatan dalam menentang

penjajahan Inggris. Karena hal ini ia dan sejumlah teman-temannya di tahan

oleh pemerintah Mesir atas instruksi Inggris selama tiga bulan, kemudian

mereka dipindahkan ke penjara Sarfanda, Palestina selama empat bulan yang

kemudian dibebaskan dengan syarat tidak boleh kembali ke Mesir.57

Pada tahun 1950 as-Siba’i pulang ke kampung halamannya, ia dipercaya

sebagai ahli hukum, ahli sejarah dan juga ahli dalam bidang disiplin hadis. Pada

tahun ini ia juga dinobatkan sebagai Guru Besar Fakultas hukum Universitas

Suriah. Setahun setelahnya ia menghadiri muktamar umum Islam di Pakistan

56
Juriono ,dkk, Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab…, hal. 3
57
Ahmad Musadad, Kedudukan Hadis Ahad Sebagai Dasar Tasyri’ Islam Menurut Muhammad
al-Gazali dan Mustafa as-Siba’i, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hal. 62
yang dihadiri oleh seluruh utusan di dunia Islam, kemudian di tahun ini ia juga

melaksanakan ibadah haji untuk yang kedua kalinya. Pada tahun 1952, as-

Siba’i kembali dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah Suriah karena

mengajukan tuntutan untuk memberikan ia dan teman-temannya izin dalam

memerangi Inggris di Terusan Suez, Mesir. Tentu saja permintaan ini di tolak

oleh pemerintahan Suriah, pemerintah memerintahkan untuk membubarkan

Ikhwanul Muslimin. Pada tahun 1953 as-Siba’i berkunjung ke Mesir dan ia

bertemu dengan Yusuf Qardawi, Ahmad al-Assal dan Muhammad ad-

Damardasy.58

Pada tahun 1956M, as-Siba’i di utus oleh Universitas Suriah untuk

menghadiri Muktamar Islam di Damaskus guna mendatangai universitas-

universitas Barat dan melihat kurikulum studi Islam di sana. Di antara Negara

yang ia kunjungi adalah Inggris, Belanda, Swedia, Polandia, Jerman, Swiss,

Itali, Belgia, Denmark, Norwegia, dan Perancis. Di sana as-Siba’i

mendiskusikan tentang karangan-karangan orientalis tentang Islam dan

menyingkap kesalahan-kesalahan mereka, baik secara ilmiah dan historis. Pada

tahun 1957, as-Siba’i mendapatkan undangan dari Universitas Moskow untuk

melakukan perjalanan ke Rusia. Di perjalanan ini as-Siba’i banyak melakukan

diskusi bersama dosen-dosen yang ada di Universitas Rusia, membantah

pendapat mereka yang salah tentang Islam dan kaum muslimin.59

58
Juriono ,dkk, Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab…, hal. 3
59
Nor Najihah binti Ismail, Hak Politik Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa …, hal. 21
Selama 7 tahun di akhir hidupnya as-Siba’i menderita lumpuh di sebagian

tubuhnya, akan tetapi ini tidak menjadikan halangan baginya untuk beribadah

kepada Allah SWT dan menyampaikan ilmu kepada orang lain. Pada hari sabtu,

3 Oktober 1964M bertepatan 27 Jumadil Ula 1384H, as-Siba’i menghembuskan

nafas terakhirnya di kota Himsh, kota kelahirannya pada usia 49th. Jenazahnya

dishalatkan di masjid Jami’ al-Umawi Damaskus.60

3. Guru dan Murid Mushthafa as-Siba’i

Orang pertama yang menjadi guru bagi as-Siba’i adalah ayahnya sendiri

yang mengenalkan ia kepada ilmu agama dan politik. Kemudian ia juga berguru

kepada ulama-ulama yang ada di kota Hims, dimana ia sering mengikuti

majelis-majelis ilmu yang di ikuti juga oleh ayahnya, di antara ulama Hims

yang ia temui adalah Thahir ar-Raes, Said al-Maluhi, Fariq al-Atasi dan Raghib

al-Wafa’i. selain dari ulama-ulama di atas as-Siba’i tentu berguru kepada guru-

guru yang ada di Universitas al-Azhar selama ia menempuh jenjang pendidikan

di sana.

Pernah mengajar di Universitas Suriah bahkan dipercaya menjadi Dekan

di sana menjadikan as-Siba’i memiliki ratusan murid. Ia juga aktif di kegiatan

–kegiatan organisasi yang membuat ia bertemua banyak orang yang tidak

sedikit juga belajar darinya.

60
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’…, hal. 6
4. Karya-karya Mushthafa as-Siba’i

Sebagai seorang penulis yang produktif, as-Siba’i telah menghasilkan

banyak karya, salah satu karya beliau yang paling popular adalah disertasinya

yang berjudul as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyiri’ al-Islami. Karya beliau

ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nurcholish Madjid

dengan judul Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Sebuah

Pembelaan Kaum Sunni. Beliau juga menulis buku khusus tentang orientalis

yang berjudul al-Istisyraq wa al-Mustasyriqun (orientalisme dan kaum

Orientalis). Dan di antara karya beliau lainnya adalah:61

a. Ahkam as-Siyam wa Falsafatuhu

b. Akhlaquna al-Ijtima’iyyah

c. As-Sirah an-Nabawiyah

d. ‘Azamauna fi at-Tarikh

e. Al-Maratu baina al-Fiqh wa al-Qanun

f. Min Rawa’i Hadaratina

g. Haza Huwa al-Islam

h. Al-Qalaid min Faraid

i. Al-Fawaid

j. Hakadza ‘Allamatni al-Hayah, dan lain sebagainya.

5. Pandangan Ulama Terhadap Mushthafa as-Siba’i

61
Juriono ,dkk, Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab…, hal. 4
Pada saat as-Siba’i meninggal dunia, Mufti Palestina Syaikh Muhammad

Aswin al-Husaini memberikan kesaksian, “Suriah sudah kehilangan tokoh

mujahid. Dunia Islam kehilangan ulama besar. Saya mengenalnya dan melihat

pada dirinya keihklasan, kejujuran, tekad yang sangat kuat dalam membela

akidah dan prinsip. Ia memiliki peran besar terutama dalam problematika

Suriah dan Palestina, as-Siba’i juga memimpin Ikhwanul Muslimin demi

membela Baitul Maqdis”. Ulama juga mengatakan bahwa beliau adalah

pemimpin umat, hiasan mujahid di zamannya,putra dambaan milik Islam dan

muslimin.62

Menurut banyak teolog, pemikiran as-Siba’i memiliki kelebihan dan

kekurangan. Ia sangat baik dalam memberikan kritik yang pedas terhadap kaum

modernis, terbukti ia sering menjadi utusan ke negri-negeri Barat untuk

mendalami pemikiran Islam di sana, ia juga terlibat diskusi langsung bersama

ilmuan Barat yang memberikan pendapat salah terhadap ajaran Islam. Ia juga

dianggap sebagai pemikiran yang paling baik tentang masalah sunnah. Akan

tetapi menurut sebagian lain, pemikiran as-Siba’i masih taqlid63 kepada ulama

terdahulu, ia tidak memberikan kontribusi baru dalam bidang hadis khususnya,

ia hanya kembali menegaskan apa yang sudah disepakati oleh ulama terdahulu,

terkhusus ulama sunni dalam membantah pendapat-pendapat kaum orientalis.

62
Ahmad Musadad, Kedudukan Hadis Ahad Sebagai Dasar Tasyri’ Islam …, hal. 63
63
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Pemikiran-pemikiran as-Siba’i tentang hadis dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran sunni. Di kalangan sunni, ia dikenal sebagai Nashir al-Sunnah.

Jadi dapat penulis simpulkan pada bab ini bahwa hadis Ahad menurut as-

Siba’i adalah hadis yang diriwayatkan satu atau dua orang yang tersambung

sampai kepada Nabi saw. Sedangkan Albani tidak memberikan defenisi sendiri

mengenai hadis Ahad, ia hanya mengutip defenisi yang sudah dirumuskan oleh

ulama sebelumnya. Mengenai kehujjahan hadis Ahad menurut kedua tokoh

akan penulis jelaskan pada bab selanjutnya.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian literer atau library research, artinya

penelitian ini didasarkan pada data tertulis yang berasal dari kitab, buku, jurnal dan

sumber-sumber data tertulus lainnya yang berguna dan mendukung penelitian ini.

penelusuran data ini dilakukan terhadap kitab-kitab/buku-buku terkait studi hadis

baik yang dilakukan oleh muhaddisin maupun ulama ahli ushul fiqh dan buku

lainnya yang terkait dengan tema penelitian ini.

B. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, yaitu prosedur

pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan

keadaan subjek atau objek penelitian, kemudian menganalisis dan

memperbandingkan subjek atau objek penelitian tersebut. Artinya penyusun

memaparkan dan menjelaskan tokoh-tokoh yang diangkat dalam penelitian

menyangkut biografi, aktifitas keilmuan, karya-karya dan pemikiran kedua tokoh

yang akan diperbandingkan, menganalisis pemikiran keduanya mengenai hadis

Ahad dan kedudukannya sebagai dasar tasyri’ Islam. Proses tersebut dilakukan

melalui penguraian data-data yang terkumpul secara cermat, teliti dan terarah.

Menganalisa dan memperbandingkannya sehingga menghasilkan kesimpulan yang

tajam, analitis dan komprehensif.


C. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan

dokumentasi yang bersifat tertulis terutama kitab, buku yang terkait dengan

penelitian ini ataupun data tertulis lainnya, yang data-data tersebut dikumpulkan

kemudian dilakukan penelaahan terhadap naskah-naskah tersebut.

D. Sumber Data

Pada tahapan ini sumber data berasal dari sumber primer dan sumber

sekunder. Sumber primer adalah dokumen pokok yang berkaitan dengan pemikiran

tokoh mengenai hadis Ahad, dalam hal ini kitab Al-Hadis Hujjatu bi nafsihi fi al-

‘Aqaid wa al-Ahkam, Hujjiyyatun Khabr al-Ahad fii al-‘Aqidah karya Nashiruddin

al-Albani dan kitab Mushthafa as-Siba’i yang berjudul As-Sunnah wa Makanatuha

fi at-Tasyri’ al-Islami. Kemudian data sekunder diambil dari kitab atau buku yang

terkait dan mendukung tema kajian dalam penelitian ini, baik kitab/buku, tulisan-

tulisan yang terkait dengan hadis, ushul hadis, dan sebagainya.

E. Analisis Data

Setelah data-data terkumpul, maka data-data itu dianalisis tahapannya, yaitu

dengan mengkategorisasi dan mengklasifikasi data-data yang ada menjadi dua

jenis: Pertama, pemikiran kedua tokoh (Muhammad Nashiruddin al-Albani dan

Mushthafa as-Siba’i). Kedua, kemudian dilakukan perbandingan unsure-unsur

persamaan dan perbedaan kedua pemikiran tokoh tersebut. Hasil dari kedua tahap

di atas akan dijelaskan secara terperinci dan jelas, setelah diambil kesimpulan-

kesimpulan untuk dideskripsikan sebagai bahan laporan.


BAB IV
PEMBAHASAN

A. Konstruksi Pemikiran Muhammad Nashiruddin al-Albani Mengenai Hadis

Ahad

Munculnya sebagian kelompok yang menyia-nyiakan hadis hanya karena

mengikuti kaidah-kaidah yang berasal dari ulama kalam dan beberapa ulama fiqh

yang fanatik membuat al-Albani merasa khawatir akan tersia-siakannya sunnah

Nabi saw. Mengingat bahwa hadis adalah sumber tasyri’ kedua setelah al-Qur’an.

Hal ini sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama. Tidak ada lagi keraguan tentang

kedudukan hadis dalam Islam. Oleh karena itu al-Albani sangat mengecam orang-

orang yang meninggalkan hadis shahih hanya karena taqlid terhadap suatu mazhab.

Dalam bukunya al-Hadis Hujjatun bi Nafsihi fii al-‘Aqaid wa al-Ahkam, al-Albani

mengungkapkan beberapa alasan orang-orang yang meninggalkan sunah Nabi

saw64, yaitu:

1. Perkataan oleh sebagian ulama kalam bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan

hujjah untuk persoalan akidah. Kaidah yang sama juga diungkapkan oleh dai

kontemporer sehingga ada yang berpendapat bahwa hadis ahad haram untuk

digunakan sebagai hujjah dalam persoalan akidah.

2. Beberapa kaidah yang dijadikan pegangan oleh beberapa mazhab, di antaranya

adalah:

64
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Hadis Hujjah bi Nafsihi fi al-‘Aqaid wa al-Ahkam
(Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 2005), hal. 37-38
a. Mendahulukan qiyas65 dari pada hadis ahad.

b. Ditolaknya hadis ahad apabila bertentangan dengan ushul.

c. Menolak hadis ahad yang di dalamnya terkandung persoalan hukum yang

tidak terdapat di dalam al-Qur’an, karena menurut mereka yang demikian

itu merupakan naskh bagi al-Qur’an, sedangkan hadis tidak bisa

menghapus hukum yang ada di dalam al-Qur’an.

d. Apabila terjadi pertentangan, maka dahulukan ayat al-Qur’an yang umum

dari pada hadis ahad yang khusus, atau hadis ahad tidak dapat

mengkhususkan yang umum pada al-Qur’an.

e. Mendahulukan amalan masyarakat Madinah dari pada hadis ahad

3. Taqlid (fanatik) dan menjadikan suatu mazhab seakan-akan sebagai agama.

Menanggapi keraguan-keraguan beberapa orang di atas dalam menerima

hadis ahad, al-Albani mengemukakan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa

wajib mengambil hadis ahad sebagai hujjah dalam masalah akidah dan hukum, di

antaranya:

1. Al-Qur’an66, Pertama:

Firman Allah SWT:

   


   
   
 
65
Qiyas adalah memalingkan suatu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada
kejadian yang ada nash padanya karena adanya persamaan ‘illat. ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul
al-Fiqh(Indonesia: al-Haramain, 2004), hal. 52
66
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Hujjiyyah Khabr al-Ahad…, hal. 4-5
 
 
  
 
 
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya”.67

Pada ayat di atas, Albani menjelaskan bahwa Allah SWT mengajak

beberapa dari orang-orang mukmin untuk pergi mempelajari dan mendalami

agama mereka kepada Rasulullah saw kemudian mengajarkannya kembali

kepada keluarga mereka. Menurut al-Albani kata thaifah pada ayat di atas,

dalam bahasa Arab memiliki arti satu orang atau lebih. Maka makna ayat di

atas adalah Allah SWT memerintahkan sebagian kaum muslimin untuk

mempelajari ilmu agama dan melarang mereka untuk pergi berjihad

seluruhnya. Tidak terdapat pengkhususan di dalam ayat bahwa yang dipelajari

itu adalah tentang akidah saja ataupun tentang hukum saja. Ayat di atas

mengandung makna umum, mencakup segala aspek ilmu, baik itu ilmu akidah,

hukum, muamalah68 dan selainnya. Pada akhir ayat, Allah SWT

memerintahkan kepada beberapa orang kaum muslimin yang pergi mempelajari

67
Q.S: Al-Taubah (09) : 122
68
Muamalah adalah sebuah hubungan manusia dalam interaksi sosial sesuai syariat, karena
manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Dalam berinteraksi manusia dibatasi oleh
syariat yang terdiri dari hak dan kewajiban. Interaksi di sini dilakukan demi kemaslahatan bersama.
ilmu agama untuk menyampaikan apa yang mereka dapatkan kepada kaumnya

ketika mereka telah kembali, supaya mereka dapat menjaga dirinya dan

keluarganya. Dengan adanya perintah dari Allah SWT bahwa seseorang yang

pergi mempelajari ilmu agama kepada Rasulullah saw haruslah menyampaikan

apa yang ia pelajari kepada keluarganya menunjukkan bahwa berita dari

perorangan (ahad) bisa diterima, baik itu dalam persoalan akidah, hukum,

muamalah dan hal ghaib.

Kedua, firman Allah SWT:

     


   
 
   
 
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.69

Para sahabat, tabi’in70 dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak

pernah membeda-bedakan hadis yang mereka terima apakah mengandung

masalah akidah atau masalah hukum. Mereka mengikuti semua yang mereka

mengetahui dan ada ilmu padanya. Al-Albani menganggap bahwa orang yang

menolak hadis ahad merupakan orang yang mengikuti sesuatu hal yang mereka

tidak ada ilmu padanya.

69
Q.S: al-Isra’ (17): 36
70
Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan satu orang sahabat Nabi saw atau lebih.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu…, hal. 270
Dalil ketiga dari ayat al-Qur’an, Firman Allah SWT:

 
  
  
  
  
   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu”. 71

Menurut al-Albani, ayat di atas memerintahkan kepada setiap orang

beriman untuk memeriksa dengan teliti berita yang dibawa oleh seseorang

karena kefasikannya. Sedangkan apabila datang berita dari seseorang yang

sudah jelas keadilan dan terpercaya maka wajib diterima. Karena orang yang

adil dan terpercaya adalah kebalikan dari orang yang fasik. Jadi dalam

pengamalan hadis ahad oleh Albani haruslah kepada hadis yang sudah terbukti

ke-shahihannya pada matan dan sanad hadis. Hadis-hadis yang datang tidak

serta-merta diterima langsung olehnya. Ia terlebih dahulu melakukan penelitian

tentang status hadis tersebut. Kriteria ke-shahihan hadis Nabi saw menurut

Albani akan dibahas selanjutnya.

2. Hadis Nabi saw72

71
Q.S: al-Hujurat (49) : 6
72
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Hujjiyyah Khabr al-Ahad…,hal. 6-10
Nabi saw dan para sahabatnya mengamalkan hadis ahad, baik semasa Nabi

saw masih hidup atau sesudah wafatnya. Dalam pengamalannya, para sahabat

tidak membedakan antara hadis akidah dan hukum. Hal ini terbukti bahwa

adanya hadis-hadis Nabi saw yang shahih yang menerangkan tentang hal itu, di

antaranya:

a. Dari Malik bin al-Huwaris

:‫ ﻗَ َال‬،‫ َع ْن أَِﰊ ﻗِ َﻼبَ َة‬،‫وب‬ ِ


ُ ‫ َح ﱠدثَـنَا أَيﱡ‬:‫ ﻗَ َال‬،‫ َح ﱠدثَـنَا َعْب ُد الْ َوﱠهاب‬:‫ال‬ َ َ‫ ﻗ‬،‫َح ﱠدثَـَنا ُﳏَ ﱠم ُد بْ ُن الْ ُمﺜَ ﱠﲎ‬
‫ول‬
ُ ‫ َوَﻛا َن َر ُس‬،‫ين يَـ ْوًما َولَْيـلَ ًة‬ ِ ِ ِ
َ ‫ فَﺄَﻗَ ْمنَا عْن َد ُﻩ ع ْﺸ ِر‬،‫ﱠﱯ َوَْﳓ ُن َشبَـبَةٌ ُمﺘَـ َقاربُو َن‬ ِ ِ
ِّ ‫ أَﺗَـْيـنَا إ َﱃ الن‬،‫ك‬ ٌ ِ‫َح ﱠدثَـَنا َمال‬
ِ ِ ‫ا ﱠِ رِح‬
ْ ‫ فَﺄ‬، َ ‫أ َْهلَنَا ا ْشﺘَـ َهْيـَنا ﻗَ ْد أَ ﱠ ﻇَ ﱠن فَـلَ ﱠما أ َْو ﻗَد ا ْشﺘَـ ْقَنا َسﺄَلَنَا َع ﱠم ْن ﺗَـَرْﻛنَا بـَ ْع َد‬،‫يما َرفي ًقا‬
،ُ‫َﺧ َْﱪَ ﻩ‬ ً َ
ِ ِ ِ‫ فَﺄَﻗ‬،‫ " ارِجعوا إِ َﱃ أَهلِي ُﻜم‬:‫ﻗَ َال‬
‫َح َفﻈُ َها‬
ْ ‫َح َفﻈُ َها أ َْو َﻻ أ‬ ْ ‫ َوذَ َﻛَر أَ ْشيَاءَ أ‬،‫وه ْم‬ ُ ‫وه ْم َوُم ُر‬ ُ ‫يموا في ِه ْم َو َعلّ ُم‬
ُ ْ ْ ُ ْ
ِ ِ ِ
"‫َح ُد ُﻛ ْم َوْليَـ ُﺆﱠم ُﻜ ْم أَ ْﻛ َﱪُُﻛم‬
َ ‫ﺼ َﻼ ُة فَـْليُـ َﺆذّ ْن لَ ُﻜ ْم أ‬
‫ﻀ َرت ال ﱠ‬ َ ‫ فَِﺈ َذا َح‬،‫ُصلّﻲ‬ َ ‫صلﱡوا َﻛ َما َرأَيْـﺘُ ُم ِوﱐ أ‬ َ ‫َو‬
73

Artinya: Muhammad bn al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami, ia


berkata: ‘Abdul Wahhab telah menceritakan kepada kami, ia berkata:
Ayyub telah menceritakan kepada kami dari Abu Qilabah, ia berkata:
telah menceritakan kepada kami Malik, kami mendatangi Rasulullah
saw ketika itu kami masih muda. Kami menetap bersama beliau
selama 20 malam, ternyata beliau seorang penyayang lagi pengasih.
Tatkala beliau telah melihat kerinduan kami kepada keluarga-
keluarga kami, beliau bertanya siapa yang akan menggantikan kami,
maka kami memberitahukan beliau. Lalu beliau berkata,
“Kembalilah kepada keluarga-keluarga kalian dan menetaplah
bersama mereka, ajarilah mereka, perintahkan mereka –beliau
menyebutkan sesuatu yang aku hafal atau tidak hafal- dan shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang
waktu shalat, maka hendaknya salah seorang diantara kalian azan,
lalu orang yang paling tua mengimami”. (HR Bukhari)

73
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii,(Cairo: Dar al-Fajr li at-Turats, 2004),
hal. 107, no. 631
Ketika para sahabat Nabi saw menetap bersama beliau sudah selama 20

malam, kemudian mereka mulai merasakan rindu kepada keluarganya masing-

masing. Melihat kenyataan ini Rasulullah saw memerintahkan para sahabat

untuk kembali ke rumah mereka masing-masing dan mengajarkan kepada

keluarga mereka apa yang sudah diajarkan Nabi saw kepada mereka.

Pengajaran yang disampaikan oleh para sahabat kepada keluarga mereka

masing-masing tentu dalam bentuk perorangan. Ini menunjukkan bahwa

Rasulullah saw membolehkan periwayatan berita perorangan. Jadi Al-Albani

berkesimpulan bahwa pada hadis ini Rasulullah saw membolehkan setiap satu

orang dari pemuda untuk mengajari keluarganya masing-masing secara

perorangan. Pengajaran di sini tentu mencakup tentang permasalahan akidah

dan hukum. Maka apabila hadis ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tidak

bermaknalah apa yang sudah diperintahkan oleh Rasulullah saw.

b. Dari Anas bin Malik

ٍ َ‫ َع ْن أَﻧ‬،‫ت‬ ٍ ِ‫ عن َ ب‬،‫اد وهو ابن سلَم َة‬ ِ


‫ " أَ ﱠن أ َْه َﻞ‬:‫ﺲ‬ ْ َ َ َ ُ ْ َ ُ َ ٌ ‫ َح ﱠدثـَنَا َﲪﱠ‬،‫ َح ﱠدثـََنا َعفﱠا ُن‬،‫َح ﱠدثَِﲏ َع ْمٌرو النﱠاﻗ ُد‬
‫َﺧ َذ بِيَ ِد أَِﰊ‬ ِْ ‫ﺚ َم َعَنا ر ُج ًﻼ يـُ َعلِّ ْمنَا السنﱠةَ و‬
َ ‫ فَﺄ‬:‫ ﻗَ َال‬،‫اﻹ ْس َﻼ َم‬ َ ُ َ ْ ‫ ابْـ َع‬:‫ول ا ﱠِ فَـ َقالُوا‬
ِ ‫الْيم ِن ﻗَ ِدموا َعلَﻰ رس‬
َُ ُ ََ
74 ِ
" ‫ﲔ َهذﻩ ْاﻷُﱠمة‬ِ ِ ِ
ُ ‫ َه َذا أَم‬:‫ فَـ َق َال‬،َ‫ُعبَـْي َدة‬
Artinya: “Amru an-Naqid telah menceritakan kepada kami, ‘Affan telah
menceritakan kepada kami, Hammad (dia adalah Ibn Salamah), dari
Tsabit, dari Anas, bahwasannya penduduk Yaman datang kepada
Rasulullah. Mereka berkata, “Utuslah kepada kami seorang yang
akan mengajarkan kepada kami sunah dan Islam,” Anas berkata,

74
Abu al-Husain bin Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim (Riyadh: Baitun al-Afkar, 1998), hal.
985, no. 2419
“Lalu beliau (rasulullah) menggenggam tangan Abu Ubaydah dan
berkata, “ Ini adalah kepercayaan umat.”.”(HR Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, al-Albani menyimpulkan bahwa, jika hadis ahad

tidak dapat dijadikan sebagai hujjah maka beliau tidak akan mengutus seorang

Abu Ubaydah ke Yaman. Selain Abu Ubaydah, Nabi saw juga mengutus

beberapa orang sahabat lainnya ke Negara yang berbeda-beda seperti, Thalib,

Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari. Diutusnya mereka tidak diragukan

lagi bahwa mereka mengajarkan segala aspek keilmuan. Jika hadis ahad tidak

dapat dijadikan hujjah, tentu Nabi saw tidak akan mengutus para sahabat

tersebut secara perorangan atau beberapa orang.

‫ َع ْن‬،‫يﻞ بْ ِن أ َُميﱠ َة‬ ِ ِ ِِ ُ ‫ َح ﱠدثَـنَا يَِز‬،‫َح ﱠدثَـَنا أ َُميﱠةُ بْ ُن بِ ْسﻄَ ٍام‬


َ ‫ َع ْن إ ْﲰَاع‬،‫ َح ﱠدثـَنَا َرْو ُح بْ ُن الْ َقاسم‬،‫يد بْ ُن ُزَريْ ٍﻊ‬
‫ول ا ﱠِ لَ ﱠما‬ َ ‫ " أَ ﱠن َر ُس‬،‫اس َر ِﺿ َﻲ ا ﱠُ َعْنـ ُه َما‬ ٍ ‫ َع ْن ابْ ِن َعبﱠ‬،‫ َع ْن أَِﰊ َم ْعَب ٍد‬،‫صْي ِف ٍﻲ‬ ِ ِ ِ ِ
ّ َ ‫َْﳛ َﲕ بْن َعْبد ا ﱠ بْن‬
ٍ َ‫ﱠك ﺗَـ ْق َدم َعلَﻰ ﻗَـوٍم أ َْه ِﻞ ﻛِﺘ‬ ِ
‫ فَـْليَ ُﻜ ْن أَﱠوَل َما‬،‫اب‬ ْ ُ َ ‫ إِﻧ‬:‫ ﻗَ َال‬،‫ﺚ ُم َعا ًذا َرﺿ َﻲ ا ﱠُ َعْنهُ َعلَﻰ الَْي َم ِن‬ َ ‫بَـ َع‬
‫ض َعلَْي ِه ْم ﲬﺲ صلوات ِﰲ يَـ ْوِم ِه ْم‬ ِ ِ ِ
َ ‫َﺧِ ْﱪ ُه ْم أَ ﱠن ا ﱠَ ﻗَ ْد فَـَر‬ ْ ‫ فَِﺈ َذا َعَرفُوا ا ﱠَ فَﺄ‬، ‫وه ْم إِلَْيه عَب َاد ُة ا ﱠ‬
ُ ‫ﺗَ ْد ُع‬
ِ ِِ ِ ِ
‫اعوا‬ُ َ‫ فَِﺈ َذا أَﻃ‬،‫ض َعلَْي ِه ْم َزَﻛا ًة م ْن أ َْم َواﳍ ْم َوﺗـَُرﱡد َعلَﻰ فُـ َقَرائ ِه ْم‬ َ ‫َﺧِ ْﱪُه ْم أَ ﱠن ا ﱠَ فَـَر‬
ْ ‫ فَِﺈذَا فَـ َعلُوا فَﺄ‬،‫َولَْيـلَﺘ ِه ْم‬
75 ِ ‫ِ َا فَ ُﺨ ْذ ِمْنـ ُه ْم َوﺗَـ َو ﱠق َﻛَرائِ َم أ َْم َو ِال الن‬
" ‫ﱠاس‬
Artinya: “Umayyah bin Bistam telah menceritakan kepada kami, Yazid bin
Zurai’ telah menceritakan kepada kami, Rauhu bin al-Qasim telah
menceritakan kepada kami, dari Ismail bin Umayyah, dari Yahya bin
‘Abdillah bin Shaifiy, dari Abu Ma’bad, dari Ibn ‘Abbas semoga Allah
meridhai keduanya, Bahwasannya Rasulullah saw tatkala mengutus
Mu’adz r.a ke Yaman, ia bersabda: “Sesungguhnya engkau akan
menghadapi kaum ahli kitab. Maka hal pertama yang kamu serukan
adalah mentauhidkan Allah swt. Apabila mereka telah

75
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii,… hal. 238, no. 1458
mengetahuinya, kabarkan kepada mereka bahwa Allah SWT telah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika
mereka te;ah shalat, kabarkan kepada mereka bahwa Allah SWT
mewajibkan atas mereka zakat yang dipungut dari orang-orang yang
mampu untuk dibagikan kepada orang-orang fakir. Jika mereka telah
mengakui hal itu, pungutlah dari mereka dan waspadalah terhadap
barang berharga mereka”.
Hadis di atas merupakan dalil yang kuat untuk membantah orang-orang

yang mengingkari kegunaan hadis Ahad sebagai hujjah dalam aspek akidah dan

hukum. Sebab, berdasarkan hadis di atas dakwah Islam meliputi aspek akidah,

dari sini kita juga mengetahui bahwa berhujjah dengan hadis Ahad itu wajib.

Kemudian hadis di atas menjelaskan bahwa dakwah Islam juga termasuk di

dalamnya aspek hukum. Maka mengkhususkan dakwah Islam hanya berkaitan

dengan hukum adalah pengkhususan yang salah. Karena tidak ada faktor yang

menjadikannya khusus.76

c. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar

‫ َع ْن َعْب ِد ا ﱠِ بْ ِن‬،‫ َع ْن َعْب ِد ا ﱠِ بْ ِن ِدينَا ٍر‬،‫ﺲ‬ ٍ َ‫ك بْ ُن أَﻧ‬ ِ


ُ ‫َﺧ ََﱪَ َمال‬ ْ ‫ أ‬:‫ ﻗَ َال‬،‫ﻒ‬ َ ‫وس‬
ِ
ُ ُ‫َح ﱠدثَـنَا َعْب ُد ا ﱠ بْ ُن ي‬
‫ول ا ﱠِ ﻗَ ْدأﻧزل عليه‬ َ ‫ " إِ ّن َر ُس‬:‫ فَـ َق َال‬،‫آت‬ ٍ ‫ﺼب ِح إِ ْذ جاءهم‬ ِ ‫ بـيـنا النﱠاس بِ ُقب ٍاء ِﰲ‬:‫ال‬
َُْ َ ْ ‫ص َﻼة ال ﱡ‬ َ َ ُ َ َْ َ َ‫ ﻗ‬،‫ُع َمَر‬
ِ
ْ َ‫ ف‬،‫وه ُه ْم إِ َﱃ ال ﱠﺸﺄِْم‬
‫اسَﺘ َد ُاروا إِ َﱃ‬ ُ ‫ت ُو ُج‬ ْ َ‫ َوَﻛاﻧ‬،" ‫وها‬ َ ُ‫اسﺘَـ ْقبِل‬
ْ َ‫الليلة ﻗرآن َوﻗَ ْد أُمَر أَ ْن يَ ْسﺘَـ ْقبِ َﻞ الْ َﻜ ْعبَ َة ف‬
77 ِ
‫الْ َﻜ ْعبَة‬
Artinya: “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, ia berkata:
Malik bin Anas telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah bin
Dinar, dari Abdullah bin Umar, ia berkata:Tatkala kami berada di
Quba bersama beberapa orang sedang melaksanakan shalat subuh,
tiba-tiba datang kepada mereka seseorang dan berkata,

76
Abu Usamah Salim, Hadits Ahad Hujjah dalam Hukum dan Akidah, terj. Normal Sho’iman,
(Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), hal. 55
77
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii, …, hal. 74, no. 403
“Sesungguhnya telah turun ayat kepada Rasulullah pada malam ini,
beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hadapkan
wajah-wajah kalian ke arahnya.” Pada saat itu, mereka memutar
arah menghadap kiblat sedangkan sebelumnya mereka
menghadapkan wajah-wajah mereka ke Sham (Bayt al-Maqdis).”
(HR Bukhari)

Mengenai hadis di atas, al-Albani menjelaskan bahwa para sahabat Nabi

saw menerima hadis ahad dalam mennaskh sebuah hukum. Hukum yang

dimaksudkan di sini adalah hukum tentang arah kiblat, dimana hukum pertama

mengatakan bahwa arah kiblat umat muslim adalah ke Bayt al-Maqdis,

kemudian datang hadis ahad menghapuskan hukum pertama dengan mengubah

arah kiblat ke arah Ka’bah. Setelah mendengar hadis ini para sahabat langsung

memalingkan wajah mereka ke arah Ka’bah. Jika hadis ahad tidak dapat

dijadikan hujjah dalam masalah hukum ini, maka mereka tidak akan

memalingkan wajah mereka hingga datang kepada mereka hadis mutawatir.

Para ulama berbeda mengenai kandungan yang dihasilkan oleh hadis ahad,

apakah mengandung zhan al-rajih atau keyakinan. Perbedaan dikalangan ulama

ini berimbas kepada kedudukan hadis ahad sebagai hujjah, baik dalam masalah

akidah, hukum dan perkara gaib. Hal ini betentangan dengan pendapat Albani.

Terhadap pengamalan hadis ahad, Albani tidak membedakan penggunaan hadis

ahad tersebut dalam masalah akidah dan hukum. Ia menggunakan hadis ahad

pada keduanya. Ini bertentangan dengan beberapa kelompok ulama yang

mereka tidak menggunakan hadis ahad dalam hal akidah, tapi mereka
menggunakannya dalam persoalan hukum. Mereka cukup beramal dengan

hadis shahih dalam persoalan hukum, sedangkan dalam persoalan akidah tidak

hanya hadis shahih tapi hadis tersebut juga harus mutawatir. Albani

berargumen bahwa mereka ini adalah orang yang jelas kesesatannya. Sebelum

mereka, para Salafuna al-Shalih78 tidak mengenal adanya perbedaan antara

pengamalan hadis ahad pada masalah akidah dan hukum. Landasan yang

digunakan oleh orang yang membedakan antara penggunaan hadis ahad dalam

akidah dan hukum hanya berlandaskan pada prasangka mereka sendiri.

Kesalahan ini haruslah disembuhkan dengan mengajak mereka kembali ke jalan

yang benar.79 Sebagaimana Firman Allah SWT:

   



 
   
    
   
   
 
Artinya: : “ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.80

78
Kata salaf menunjukkan makna “terdahulu”. Termasuk salaf dalam hal ini adalah orang-
orang yang telah lampau. Secara istilah pendapat yang masyhur mengatakan salaf adalah sahabat Nabi
saw, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
79
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Hujjiyyah Khabr al-Ahad…, hal. 66
80
Q.S al-Nahl (16) : 125
Pada masa Rasulullah saw, beliau mengutus beberapa orang sahabatnya

kepada orang Arab jahiliyah81, kaum musyrik dari Yahudi dan Nasrani.

Masing-masing sahabat diutus secara perorangan ke berbagai negeri untuk

mengajarkan kepada mereka tentang Islam. Di dalamnya mencakup persoalan

akidah dan hukum. Lalu bagaimana bisa pada zaman sekarang beberapa orang

tidak memakai hadis ahad untuk persoalan akidah. Mereka hannya terfokus

kepada hadis mutawatir. Sebagaimana dipahami bahwa segala sesuatu yang

sudah terbukti benar berasal dari Nabi saw dengan jalan yang benar maka, wajib

dibenarkan baik itu persoalan akidah atau hukum. Tidak ada perbedaan antara

hadis Nabi saw yang mengandung persoalan hukum dan akidah. Begitu juga

dengan mutawatir dan ahad. Semuanya sama berasal dari Nabi saw. Maka

wajib mengimani kebenaran ini.82 Firman Allah:

 
  
  
  
   
  

81
Jahiliyah ( ٌ‫ ) َجا ِه ِﻠيﱠﺔ‬berakar kata ‫ جهﻞ‬yang memiliki arti bodoh, menjadi bodoh, bersikap bodoh
atau tidak peduli. Sedangkan secara istilah adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa
dimana penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan)
82
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Hadis Hujjah bi Nafsihi …, hal. 70
  


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan
Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan kepada kamu, Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-
Nyalah kamu akan dikumpulkan”.83

Orang-orang yang mengatakan bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan

hujjah karena menurut mereka hadis ahad tidak memberikan faidah ilmu yaqin,

melainkan hanya memberikan faidah zhan al-rajih (prasangka kuat). Mereka

berdalil dengan ayat al-Qur’an dan hadis84, diantaranya:

   


   
Artinya: “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa
yang diingini oleh hawa nafsu mereka.”85

Dan juga ayat al-Qur’an:

     


    
    
  
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang

83
Q.S al-Anfal (06) : 24
84
Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Hadis Hujjah bi Nafsihi …, hal. 50
85
Q.S an-Najm (53) : 23
Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran”. 86

Mengomentari dua ayat di atas, Albani berkata bahwa ayat di atas tidak

boleh dipahami secara tekstual. Zhan yang dimaksudkan pada dua ayat di atas

bukanlah zhan yang kuat melainkan adalah zhan yang lemah yang ditujukan

oleh Allah untuk mencela kaum musyrik yang mereka hanya berlandaskan

kepada hawa nafsu. Dalam karya beliau yang lain, Albani mengatakan bahwa

kaidah zhanni dan qath’i memang ada dalam kajian ilmu hadis. Akan tetapi

salah jika kita berpaling dari sesuatu yang zhanni seperti yang dilakukan oleh

sebagian kelompok Islam hari ini. di antara kelompok itu adalah Hizbut Tahrir

al-Islami. Di dalam hukum-hukum syariat sebagian besarnya berasal dari

sesuatu berupa zhan. Karena yang dimaksud dengan zhanni di sini adalah

zhanni yang kuat yang berisi keyakinan dan kepastian.87

Albani berpendapat bahwa pembagian dilalah hadis kepada zhanni dan

qath’i adalah falsafah baru yang menyusup ke dalam ajaran Islam. Ajaran ini

tidak dikenal oleh para Salaf al-Shalih. Untuk menjelaskan hal ini Albani

memberikan satu gambaran tentang khabar ahad. Jika seorang tabi’in bernama

Sa’id bin Musayyab menerima riwayat sebuah hadis dari sepuluh orang sahabat

atau lebih. Maka Sa’id bin Musayyab menilai hadis tersebut adalah hadis

mutawatir. Kemudian hadis tersebut diriwayatkan kembali oleh tabi’ tabi’in

86
Q.S an-Najm (53) : 28
87
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Fatwa-fatwa Syaikh Nashiruddin, … , hal. 56-57
seperti Imam Zuhri hanya dari satu jalur, yaitu Sa’id bin Musayyab. Apakah di

sisi Imam Zuhri hadis ini masih bernilai mutawatir? Tentu saja tidak. Imam

Zuhri akan menilai bahwa hadis ini adalah hadis ahad karena beliau hanya

mendengar dari Sa’id bin Musayyab saja. Dilalah yang dikandung oleh hadis

tersebut juga berubah menjadi zhanni, dimana sebelumnya qath’i pada

tingkatan Sa’id bin Musayyab. Jadi Albani berkesimpulan bahwa kedudukan

hadis ahad yang berstatus zhanni akan membuat seseorang berada dalam

pilihan, apakah akan mengambil hadis ahad sebagai hujjah atau tidak.

Sedangkan beramal dengan hadis yang sudah jelas kebenarannya adalah suatu

kewajiban, baik itu hadis ahad.88 Jadi dalam pengamalan hadis ahad Albani

juga menekankan bahwa hadis tersebut haruslah berstatus shahih.

Albani memahami hadis shahih mengikuti ulama hadis sebelumnya.

Defenisi hadis shahih menurut Albani dapat dilihat dalam salah satu karyanya

Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah. Ia berkata:

“ Ketahuilah, bahwa salah satu syarat hadis shahih adalah tidak adanya
syadz. Defenisi hadis shahih menurut muhaddisin adalah hadis yang
sanadnya bersambung yang disandarkan oleh rawi yang adil lagi dhabit
dari rawi yang adil lagi dhabit juga hingga akhir sanad, tidak syadz dan
tidakpula ber-‘illah. Dengan syarat-syarat ini maka terlepaslah darinya
hadis yang bersifat mursal, munqathi’, syadz dan hadis yang mengandung
‘illah yang disebabkan adanya rawi yang cacat.89

88
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Hujjiyyah Khabr al-Ahad…, hal. 85
89
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-Sunnah
(Damaskus: Dar al-Rayah, T.th), hal. 15
Dilihat dari pernyataan Albani di atas dapat dipahami bahwa persyaratan

hadis shahih menurut Albani sama dengan persyaratan hadis shahih menurut

ulama hadis sebelumnya. Penilaian shahih hadis tidak hanya pada sanad tapi

juga pada matn hadis. Di dalam kitab ini Albani juga menyebutkan beberapa

pedoman yang wajib di ketahui oleh orang-orang yang berkepentingan dengan

ilmu hadis. Pedoman-pedoman tersebut adalah: Menolak hadis syadz90,

menolak hadis mudhtharib91, menolak hadis mudallas92, menolak hadis

majhul93, tidak mengandalkan tautsiq Ibnu Hibban, para perawinya adalah

perawi hadis yang shahih (perawi yang terpercaya), tidak bersandar kepada

diamnya Abu Daud dalam kitab al-Sunnah, tidak mempercayai kode-kode as-

Suyuthi dalam Jami’ al-Shaghir, tidak berpegang kepada diamnya al-Mundziri

dalam kitab al-Targhib, dan mengukuhkan hadis dalam banyak jalur tidak

bersifat mutlak.

B. Konstruksi Pemikiran Mushthafa as-Siba’i Mengenai Hadis Ahad

Mushthafa as-Siba’i mengemukakan defenisi sunah dalam disertasi beliau

yang berjudul al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy94 yaitu, secara

90
Hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tisqah (dipercaya) bertentangan
dengan orang yang lebih kuat dari padanya. Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis, …, hal.
112
91
Hadis mudhtharib adalah hadis yang sama kekuatannya tapi bertentangan.
92
Hadis mudallas menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan dengan menyembunyikan
aib pada sanad hadis dan menampakkan yang baik. Mahmud ath-Thahan, Taisir Mushthalah al-Hadis,
…, hal. 79
93
Hadis majhul adalah hadis yang tidak diketahui zat dan keadaan rawi. Mahmud ath-Thahan,
Taisir Mushthalah al-Hadis, …, hal. 119
94
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami,… hal. 65
bahasa adalah ٌ‫َت أَ ْو َﻣ ْذ ُﻣ ْﻮ َﻣﺔ‬ َ ‫( ال‬sunah secara bahasa berarti jalan, baik
ْ ‫ط ِﺮ ْي َﻘﺔُ َﻣحْ ُم ْﻮدَة ٌ كَان‬

yang terpuji atau yang tercela). Sedangkan secara istilah as-Siba’i mengambil

defenisi sunah menurut para ahli,95 diantaranya:

1. Muhaddisin

‫صلﱠﻰ ﷲُ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم ِم ْن ﻗَـ ْوًل ْأو فِ ْع ٍﻞ ْأو ﺗَـ ْق ِريْ ٍر ْأو ِص َف ٍة َﺧْل ِق ٍية او ُﺧلُ ِقيﱠٍة أو‬
َ ‫ﱠﱯ‬ ِ ِ
ِّ ‫َما اُثَر َع ْن الن‬
ِ ‫ و السنﱠة ِ َذا اﳌعﲎ مر ِادفَةٌ لِلح ِدي‬.‫البعﺜة او بـع َدها‬ ِ ‫ك ﻗَـبﻞ‬ ِ ٍ ِ
.‫ﺚ‬ ْ َ َ َ َ َْ ُ َ َْ ْ َ ْ َ ‫س ْ َﲑة َس َواءٌ أَ َﻛا َن َذل‬
Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi saw baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat fisik atau akhlak, atau perjalanan hidup beliau baik
sebelum di utus atau setelahnya. Sunah dalam pengertian ini sama dengan
defenisi hadis.

2. Ushuliyyin
‫ ِم ْن ﻗَـ ْوٍل أَو فِ ْع ٍﻞ أو ﺗَـ ْق ِريْ ٍر ﳑَا‬,‫ص ﱠﻞ ﷲُ َعلَْي ِه َو َسلﱠ َم َﻏ ْ ُﲑ ال ُق ْرآن ال َﻜ ِرْﱘ‬ َ ‫ﱯ‬ ِ ِ
ِّ َ‫صدر َعن الن‬ ُ ‫ُﻛ ﱡﻞ َما‬
‫يﺼلح أن يَ ُﻜ ْو َن َدلِْي ًﻼ ِﳊُ ْﻜ ٍم َشْر ِع ٍّﻲ‬
ُ
Sunah adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw selain al-Quran,
baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan yang bisa dijadikan dalil
dalam hukum.

3. Fuqaha’
ِ ‫ض وﻻَ الو ِاج‬
‫ب‬ ِ ‫صلﱠﻰ ﷲُ َعلَْي ِه و َسلﱠ َم َوَﱂْ ي ُﻜ ْن ِم ْن َ ِب ال َف ْر‬ ِ
َ ‫النﱯ‬ َ ِ‫َما ثُب‬
َ ِّ ‫ت َع ْن‬
Sunah adalah sesuatu yang ditetapkan dari Nabi saw yang tidak termasuk
dalam fardhu atau wajib.

Sedangkan as-Siba’i mendefenisikan sunah di sini sama dengan yang

diungkapkan oleh ulama ushuliyyin, karena sunah dalam pengertian ini adalah

95
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu,… hal. 14
yang dibahas dari segi keabsahannya sebagai sumber dalil dan kedudukannya

dalam menetapkan syari’at.

Sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama, sunah memiliki

kedudukan penting dalam menetapkan hukum Islam. Sunah berada pada posisi

kedua setelah al-Qur’an. Pada masa Rasulullah saw masih hidup, para sahabat

memahami hukum-hukum syara’ dari al-Quran yang mereka terima langsung dari

Nabi saw. Sebagian besar ayat-ayat al-Quran turun secara umum, tidak terperinci.

Seperti ayat al-Qur’an mengenai perintah zakat, yang turun secara umum tanpa

batasan jumlah, ukuran dan syarat-syaratnya. Selanjutnya, banyak peristiwa yang

terjdi yang tidak ada nashnya di dalam al-Qur’an. Jika ini terjadi, tidak ada jalan

lain kecuali harus kembali kepada Rasulullah saw untuk mengetahui hukum-

hukum tersebut secara terperinci.96 Ini sesuai dengan ayat al-Qur’an, firman Allah

SWT:


  
  
   
  

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan


kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa
yang Telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka
memikirkan.”97

96
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 67
97
Q.S al-Nahl (16) : 44
  
  
  
   
  
Artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini,
melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman.”98

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah swt memberitakan tugas Rasulullah

sebagai penerang dan penjelas dari ayat-ayat al-Qur’an. Tugas Rasul juga

mencakup sebagai petunjuk kepada umatnya mana yang benar ketika berselisih

mengenai suatu hal. Sebagaimana perintah Allah SWT, mentaati Rasul tidak hanya

ketika beliau hidup, tapi juga ketika beliau sudah meninggal. Nabi saw juga

menegaskan wajib mengamalkan sunnahnya setelah wafat beliau melalui berbagai

hadis, baik itu hadis mutawatir ataupun ahad.99

Mengenai pembagian hadis dari segi jumlah rawi, as-Siba’i sepakat dengan

ulama hadis sebelumnya yang membaginya menjadi dua, yaitu mutawatir dan

ahad. Sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama dan tidak adak lagi keraguaan

bahwa hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dan wajib beramal dengannya.

98
Q.S al-Nahl (16) : 64
99
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 11
Sedangkan hadis Ahad menurut jumhul ulama wajib beramal dengannya walaupun

memberikan faedah zhan.100

Pada zaman sekarang bermunculan sebagian golongan Islam yang

meragukan bahkan mengingkari ke-hujjahan hadis Nabi saw. Mereka adalah

tokoh-tokoh muslim modernis yang belajar kepada kaum orientalis101 yang

melakukan penyerangan terhadap sunah Nabi saw. Di antara tokoh yang terkenal

dalam hal ini adalah Ahmad Amin, seorang penulis buku Fajr al-Islam wa

Dhuhahu wa Zhuhuruhu.102 Pengikut kaum orientalis ini sangat disayangkan

bahwa mereka mengikuti ajaran orientalis tanpa memeriksa adanya kekeliruan

pada ajaran tersebut. Para pengikut ini kemudian mengecam kritikan yang

dilakukan oleh para ulama sehingga menghasilkan keraguan terhadap

keotentisitasan hadis Nabi saw. Mereka mulai melakukan kritikan terhadap hadis

menggunakan kaidah-kaidah umum saja, bahkan mereka menggunakan akal

dalam mengkritik hadis. As-Siba’i sangat menentang hal ini dengan alasan bahwa

akal setiap manusia berbeda-beda kemampuan dalam penilaian, pemahaman dan

pertumbuhannya. Dengan perbedaan ini akan menimbulkan perbedaan pula pada

100
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 190
101
Orientalis menurut bahasa berasal dari kata Orient yang berarti timur. Sedangkan dalam
istilah adalah sekelompok atau golongan yang berasal dari bangsa Barat yang berkonsentrasi atau
memfokuskan diri dalam mempelajari kajian ketimuran.
102
Dalam kitab karya Ahmad Amin ini ia menyediakan satu fasal khusus tentang hadis. Dalam
fasal ini ia membahas defenisi sunah, pembukuan sunah pada masa Nabi saw dan sahabat. Karena tidak
adanya penulisan hadis pada masa Nabi saw, maka banyak terjadinya pemalsuan dan kebohongan pada
periwayatan hadis sesudahnya. Ia juga menjelaskan usaha para ulama dalam mengurangi usaha
pemalsuan hadis tersebut. Ahmad Amin juga menceritakan tentang para sahabat yang banyak
menuturkan hadis, seperti Abu Hurairah. Menurutnya Abu Hurairah hanya menuturkan hadis apa yang
ada di ingatannya saja dan Abu hurairah juga meriwayatkan hadis yang ia sama sekali tidak pernah
mendnegar hadis tersebut.
tiap-tiap manusia dalam menyikapi hadis shahih. Akan ada sebagian mereka yang

menolaknya, yang lain menerimanya dan sebagian yang lain menangguhkannya.

Salahsatu penerapan kekeliruan ini adalah kepada ke-hujjahan hadis ahad.103

Argument yang digunakan oleh sebagian kelompok yang mengingkari ke-

hujjahan hadis ahad di antaranya104:

1. Firman Allah SWT:

     


   
 
   
 
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”105

     


    
    
 
Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap
kebenaran.” 106

103
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 308-309
104
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 191-192
105
Q.S al-Isra’ (17) : 36
106
Q.S al-Najm (53) : 28
2. Apabila boleh beramal dengan hadis ahad dalam persoalan furu’, maka boleh

juga dalam persoalan akidah. Sedangkan kesepakatan kita bahwa hadis ahad

tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal akidah.

3. Cerita tentang Nabi saw menangguhkan penerimaan berita dari seseorang yang

bernama Dzu al-Yadain ketika Nabi saw membaca salam (mengakhiri shalat)

pada rakaat kedua shalat Isya. Ia bertanya kepada Nabi saw, “ Apakah engkau

mengqashar shalat atau engkau lupa wahai Rasulullah?”. Nabi saw tidak

membenarkan langsung pernyataan dari orang tersebut hingga orang-orang

yang ada di saf pertama membenarkan hal tersebut. Setelah itu Nabi saw

melengkapkan shalatnya dan melakukan sujud sahwi. Apabila berita dari

perorangan dapat dijadikan hujjah, tentu Nabai saw langsung melengkapi

rakaat shalatnya tanpa menunggu pembenaran dari orang lain.

4. Telah diriwayatkan dari beberapa orang sahabat Nabi saw bahwa mereka tidak

beramal dengan hadis ahad. Abu Bakar menolak berita dari al-Mughirah

mengenai hak waris nenek sampai datang berita serupa dari Muhammad ibn

Maslamah. Umar menolak berita Abu Musa mengenai izin bepergian sampai

datang berita serupa dari Abu Sa’id. Ali menolak berita dari Abu Sinan al-

Asyja’i mengenai al-Mufawwadhah (harta yang diserahkan) hingga orang

tersebut bersumpah. ‘Aisyah menolak berita dari Ibn Umar berkenaan dengan

orang yang sudah meninggal diazab karena tangisan keluarganya


As-Siba’i menjawab semua argumen di atas sebagai berikut107:

Pertama, yang tidak boleh itu adalah beramal dengan hadis ahad berkenaan

dengan prinsip agama dan dasar-dasarnya, sedangkan berkenaan dengan furu’ dan

cabang-cabangnya wajib beramal dengan hadis ahad. Karena tidak ada jalan lain

yang menerangkan hal itu keculai hadis ahad. Ulama sejak masa sahabat dan

seterusnya telah sepakat bahwa ke-hujjahan hadis ahad tidak lah bersifat zhan,

melainkan qath’i yang memberi faedah keilmuan.

Kedua, Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa ijma’ para ulama telah

bersepakat bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan ushul

agama. Al-Amadi berkata: “Argumen ini bertentangan dengan diterimanya fatwa

dan persaksian dari berita perorangan, sedangkan dalam persoalan kerasulan dan

pokok agama harus menggunakan dalil qath’i sehingga dalil zhan tidak berlaku

dalam hal ini”. Kebenarannya adalah menyamakan antara persoalan ushul agama

dengan persoalan furu’ itu mustahil. Tidak ada yang membantah masalah ini

kecuali orang yang keras kepala.

Ketiga, Nabi saw menangguhkan pernyataan dari seorang yang bernama

Dzu al-Yadain disebabkan kekhawatiran beliau orang tersebut keliru, karena tidak

mungkin hanya dia sendiri yang mengetahui kesalahan ini sedangkan orang lain

tidak mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi saw memastikan kebenaran hal ini

dengan bertanya kepada sahabat lain yang shalat bersama dengannya. Jadi apabila

107
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 192-194
keraguan seperti ini terjadi, boleh adanya penangguhan hingga datang berita lain

yang membenarkan berita tersebut.

Keempat, Penangguhan untuk mengamalkan secara langsung hadis ahad

yang dilakukan beberapa orang sahabat tidak membuktikan bahwa mereka tidak

beramal dengan hadis ahad. Mereka hanya melakukan penangguhan tersebut

karena adanya keraguan dalam diri mereka tentang kebenaran berita tersebut. Jadi

mereka membutuhkan penguat dari hadis yang disampaikan oleh orang lain.

Sebagai contoh dalam kasus penangguhan yang dilakukan oleh Abu Bakr terhadap

hadis yang disampaikan oleh al-Mughirah mengenai hak waris nenek. Al-

Mughirah mengatakan bahwa hak waris nenek adalah seperenam bagian. Abu

Bakr meragukan hal ini karena tidak ada di dalam al-Quran. Kemudian datanglah

Muhammad bin Maslamah bersaksi bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw

mengatakan hal serupa. Setelah mendengar kesaksian dair Muhammad bin

Maslamah ini menambah keyakinan Abu Bakr sehingga tanpa ragu ia

mengamalkan hadis ahad tersebut.

Penangguhan seperti yang dilakukan oleh sahabat tidak hanya terjadi pada

hal yang telah disebutkan di atas saja. Tapi juga terjadi pada hal serupa lainnya.

Sikap yang dilakukan oleh sahabat ini merupakan sikap kehati-hatian mereka

dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadis Nabi saw. Hal ini dilakukan agar

hadis Nabi saw terhindar dari segala bentuk kesalahan dan kekeliruan. Al-Almidi

berkata: “ Penangguhan oleh sahabat dilakukan karena adanya keharusan mereka


untuk bersikap demikian, seperti munculya hadis lain yang membantahnya. Bukan

karena tidak ingin beramal dengan hadis ahad”.

Selanjutnya as-Siba’i juga mengemukakan dalam karyanya dalil-dalil

penguat tentang ke-hujjahan hadis ahad. Dalil-dalil ini ia kutip dari kitab al-

Risalah karya Imam Syafi’i, karena menurutnya Imam Syafi’i adalah orang

pertama dikalangan para sarjana yang membahas bidang ini.108 Dalam karyanya

tersebut Imam Syafi’i menyebutkan 34 dalil penguat mengenai ke-hujjahan hadis

ahad yang dalam tulisan ini penulis hanya akan menyebutkan beberapa dari

jumlah tersebut.

1. Dari Sufyan:

،‫ َع ْن َعْب ِد الﱠر ْﲪَ ِن بْ ِن َعْب ِد ا ﱠِ بْ ِن َم ْس ُعوٍد‬،‫ك بْ ِن ُع َم ٍْﲑ‬ ِ ِ‫ َعن َعب ِد اْلمل‬،‫َﺧﱪَ س ْفيا ُن بن ُعيـيـنَ َة‬
َ ْ ْ ْ َ ُ ْ َ ُ ََ ْ ‫أ‬
‫ب َح ِام ِﻞ‬ ‫ فَـُر ﱠ‬،‫اها َوأَ ﱠد َاها‬ ِ َ ‫ أَ ّن رس‬،‫عن أَبِ ِيه‬
َ ‫ ﻧَﻀر ﷲ عبدا ﲰﻊ مقالﱵ فحفﻈها َوَو َع‬:‫ول ا ﱠ ﻗَ َال‬ َُ َْ
ِ ِ ِ ِ ٌ َ‫ ث‬،ُ‫ب َح ِام ِﻞ فِ ْق ٍه إِ َﱃ َم ْن ُهو أَفْـ َقهُ ِمْنه‬ ‫ َوُر ﱠ‬،‫فِ ْق ٍه َﻏ ِْﲑ فَ ِق ٍيه‬
ُ ‫ إ ْﺧ‬:‫ب ُم ْسل ٍم‬
‫ﻼص‬ ُ ‫ﻼث ﻻ يُﻐ ﱡﻞ َعلَْيه ﱠن ﻗَـْل‬ َ
109 ِ ِ
" ‫ط ِم ْن َوَرائه ْم‬ ُ ‫ فَِﺈ ﱠن َد ْع َوَُ ْم ُِﲢي‬،‫اعﺘِ ِه ْم‬ ِ ِ ِ ‫ﱠﺼ‬ ِ ِِ
َ َ‫وم َﲨ‬
ُ ‫ َولُُز‬،‫ﲔ‬ َ ‫ َوالن‬، ‫الْ َع َم ِﻞ ﱠ‬
َ ‫يحةُ لْل ُم ْسلم‬
Artinya: “ Sufyan bin ‘Uyaynah telah menceritakan kepada kami, dari ‘Abd
al-Malik bin ‘Umair, dari ‘Abd Rahman bin ‘Abdillah bin Mas’ud
dari ayahnya, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ‘Semoga
Allah memberkati seorang hamba yang mendengar perkataanku
kemudian memeliharanya, memahami dan mengamalkannya.
Karena banyak orang yang mengaku mengerti tapi sebenarnya ia
tidak mengerti, dan seringkali ada orang yang membawa suatu
pemahaman kepada orang yang lebih paham dari padanya. Ada

108
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 195-198
109
Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Musnad al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, T. th), hal. 259
tiga perkara yang tidak akan membuat gundah hati manusia:
Ikhlas dalam beramal kepada Allah, memberi nasehat kepada
muslim lainnya dan tetap dalam jama’ah mereka. Sebab seruan
mereka itu juga meliputi orang-orang belakang mereka”.

Rasulullah saw menganjurkan seorang dari umatnya untuk

mendengarkan perkataan beliau, memahaminya dan menyampaikannya

kepada orang lain. Ini menjadi hujjah bahwa sesuatu yang disampaikan oleh

satu orang berkedudukan hujjah. Rasulullah saw juga memerintahkan untuk

tetap berada dalam jama’ah orang muslim, yang berarti bahwa ijma’ orang-

orang muslim itu berlaku.

2. Dalil kedua yaitu hadis tentang pergantian arah kiblat yang sudah disebutkan

sebelumnya. Penduduk Quba’ adalah kelompok kaum Anshar yang termasuk

lebih dahulu masuk Islam. Berdasarkan berita dari perorangan mereka beralih

dari kiblat sebelumnya dan mengikuti apa yang diberitakan kepada mereka

dari Nabi saw. Jika pada saat itu mereka menolak berita yang disampaikan

oleh perorangan tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang boleh

diterima dan boleh tidak diterima, maka tentu Rasulullah saw berkata kepada

mereka: Kamu sudah menghadap Kiblat ke Yerussalem, dan kamu tidak akan

dibenarkan merubahnya tanpa mendengar langsung dariku, atau melalui berita

orang banyak atau berita yang disampaikan oleh orang yang lebih dari satu

orang.

3. Dari Malik:
‫ﺲ بْ ِن‬ِ َ‫ َع ْن أَﻧ‬،‫اق بْ ِن َعْب ِد ا ﱠِ بْ ِن أَِﰊ ﻃَْل َح َة‬ َ ‫ َع ْن إِ ْس َح‬،‫ك‬ ٌ ِ‫ َح ﱠدثَِﲏ َمال‬،‫َح ﱠدثَِﲏ َْﳛ َﲕ بْ ُن ﻗَـَز َع َة‬
‫ َوأ َﱠ‬،‫ َوأََ ُعبَـْي َد َة بْ َن ا ْﳉَﱠر ِاح‬،‫ي‬
‫ُﰊ بْ َن‬ ‫ﺼا ِر ﱠ‬ ِ ٍِ
َ ْ‫ " ﻛنت أسقﻲ أ ﻃلحة ْاﻷَﻧ‬:‫ ﻗَ َال‬،ُ‫َمالك َرﺿ َﻲ ا ﱠُ َعْنه‬
ْ ‫ إِ ﱠن‬:‫ فَـ َق َال‬،‫آت‬ ٍ ‫ فَجاءهم‬،‫يخ وهو ﲤَْر‬ ِ ِ ٍ
:‫ فَـ َق َال أَبُو ﻃَْل َح َة‬،‫ت‬ ْ ‫اﳋَ ْمَر ﻗَ ْد ُحِّرَم‬ ْ ُ َ َ ٌ َ ُ َ ٍ ‫َﻛ ْعب َشَرا ً م ْن فَﻀ‬
‫َس َفلِ ِه َح ﱠﱴ‬
ْ ِ ‫ﻀَربْـﺘُـ َها‬
َ َ‫اس لََنا ف‬ ٍ ‫ت إِ َﱃ ِم ْهَر‬ُ ‫ فَـ ُق ْم‬:‫ﺲ‬
ِ ِ ِ ِِ ِ
ٌ َ‫ ﻗَ َال أَﻧ‬،‫ فَا ْﻛسْرَها‬،‫ﺲ ﻗُ ْم إ َﱃ َهذﻩ ا ْﳉَرار‬ ُ َ‫َ أَﻧ‬
110
"‫ت‬
ْ ‫اﻧْ َﻜ َسَر‬
Artinya: “Yahya bin Qaza’ah telah menceritakan kepada kami, Malik telah
menceritakan kepada kami dari Ishaq bin ‘Abdillah bin Abu
Thalhah, dari Anas bin Malik semoga Allah meridhainya, ia
berkata : Aku pernah memberi Abu Thalhahm Abu ‘Ubaydah dan
Ubay bin Ka’ab minuman dari perasan anggur dan kurma,
kemudian datang seseorang dan berkata: Sesungguhnya khamar
telah diharamkan. Maka Abu Thalhah berkata: Hai Anas,
bangunlah dan ambil botol itu dan pecahkan!. Maka akupun
bangun ke arah bejana kemudian kami pukul bejana itu hingga
pecah berserakan”.

Pada saat hadis ini disampaikan, khamar adalah sesuatu yang halal dan

mereka sering meminumnya bersama-sama. Tiba-tiba datang seseorang dan

memberitahukan bahwa khamar telah diharamkan. Seketika itu juga Abu

Thalhah dan yang lainnya memecahkan botol khamar tersebut tanpa

mengatakan, “ Kita tetap menganggapnya halal hingga kita bertemu

Rasulullah saw atau hingga orang banyak membawa berita tentang hal itu”.

4. Dari al-Darawardiy

،‫ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُسلَْي ٍم الﱡزَرﻗِ ِّﻲ‬،‫ َع ْن َعْب ِد ا ﱠِ بْ ِن أَِﰊ َسلَ َم َة‬،‫يد بْ ِن ا ْﳍَ ِاد‬ ‫ﱠر َاوْرِد ﱡ‬
َ ‫ َع ْن يَ ِز‬،‫ي‬ َ ‫َﺧ ََﱪَ الد‬
ْ‫أ‬
َ ‫ إِ ﱠن َر ُس‬:‫ول‬
‫ول‬ ُ ‫ يَـ ُق‬،‫ب َر ِﺿ َﻲ ا ﱠُ َعْنهُ َعلَﻰ َﲨَ ٍﻞ‬ ٍ ِ‫ بينما ﳓن ﲟﲎ إِذَا َعلِ ﱡﻲ بْن أَِﰊ ﻃَال‬:‫ت‬ ِِ
ْ َ‫ ﻗَال‬،‫َع ْن أ ُّمه‬
ُ

110
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukharii, …, hal. 1217, no. 7253
ِِ ٍ ٍ ِِ ِ
‫ﺼ ُر ُخ‬
ْ َ‫ﱠاس َوُه َو َعلَﻰ َﲨَله ي‬
َ ‫َح ٌد " فَاﺗـﱠبَ َﻊ الن‬
َ ‫وم ﱠن أ‬
َ‫ﺼ‬ ُ َ‫ فَﻼ ي‬،‫ " إِ ﱠن َهذﻩ أَ ﱠ ُم ﻃَ َعام َو َشَراب‬:‫ا ﱠ ﻗَ َال‬
111 ِ ِ ِ ِ
‫ك‬
َ ‫فيه ْم ب َذل‬
Artinya: “ Al-Darawardiy telang mengkhabarkan kepada kami, dari Yazid bin
al-Hadi, dari ‘Abdillah bin Abu Salamah, dari ‘Amru bin Sulaim
dari ibunya, ia berkata: Ketika kami sedang berada di Mina, tiba-
tiba Ali bin Abu Thalib berkata dari atas onta: Sesungguhnya
Rasulullah saw telah bersabda bahwa hari ini adalah hari makan
dan minum, maka jangan sampai ada seorangpun yang berpuasa!.
Maka orang banyak mengikutinya. Ali tetap berada di atas ontanya
sambil berteriak kepada mereka tentang hal itu”.

Ketika Rasulullah saw mengutus Ali untuk menyampaikan berita ini

beliau juga sedang berhaji ketika itu. Akan tetapi ia mengutus seseorang untuk

menyampaikan apa yang ingin ia katakan kepada umatnya. Diutusnya Ali oleh

Rasulullah saw tidak terlepas bahwa Ali adalah seseorang yang dapat

dipercaya dan dapat diterima kebenaran berita yang beliau bawa oleh mereka

yang akan menerima berita tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw

dalam satu keadaan mengutus seseorang yang menjadi perantara beliau dalam

menyampaikan ajaran Islam.

Seterusnya Imam Syafi’i menyinggung apa yang dikatakan orang bahwa

sebagian ulama menolak mengamalkan hadis ahad yang diriwayatkan kepada

mereka. Ia menjawab bahwa hal semacam itu haruslah ada alasan, boleh jadi

ada hadis padanya yang berbeda dari pada yang disampaikan kepadanya, atau

orang yang menyampaikan hadis tersebut tidak baik hafalannya, atau orangnya

111
Syafi’i, Musnad al-Syafi’i…, hal. 260
patut dicurigai, atau hadis tersebut mengandung lebih dari satu makna. Kalau

ada seseorang yang menolak hadis ahad tanpa alasan, maka ia benar-benar

melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan.112

As-Siba’i juga membantah pendapat Ahmad Amin mengenai ke-hujjahan

hadis ahad dalam bagian terakhir kitabnya. Ahmad Amin mengatakan bahwa

seseorang boleh berpegang ataupun tidak pada hadis ahad. as-Siba’i menjawab

pernyataan ini dengan sangat tegas, “Apabila hadis mutawatir tidak ada, dan

hadis ahad hanya boleh dijadikan hujjah atau tidak, apa yang akan tersisa dari

sunah Nabi saw sebagai sumber ajaran Islam?. Tentu ini akan membuat kaum

muslimin tidak memerlukan hadis Nabi saw”.113

Sebagaiaman yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa as-Siba’i hanya

mewajibkan beramal dengan hadis ahad pada persoalan furu’iyyah saja.

Sedangkan dalam persoalan akidah ia tidak membolehkan berpegang kepada

hadis ahad, tetapi harus dengan hadis yang berkedudukan qath’i. Pembolehan

hadis ahad diamalkan hanya dalam persoalan furu’ menurut as-Siba’i dengan

syarat bahwa hadis tersebut haruslah terbukti status keshahihannya. Shahih

hadis tersebut harus mencakup dari segi sanad dan matn hadis.

Mengenai kritik sanad hadis, as-Siba’i sependapat dengan apa yang telah

disepakati oleh para ulama sebelumnya. Berkenaan dengan rawi, menurut as-

Siba’i ia haruslah seseorang yang jujur, kuat ingatan dan hafalannya dan

112
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 210
113
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 321
mendengar apa yang ia riwayatkan sehingga bersambung ke pada Nabi saw

atau kepada sahabat Nabi saw.114 Sedangkan mengenai kritik matan hadis, as-

Siba’i meletakkan beberapa kaidah untuk melakukan kritik matan,115 yaitu:

1. Matan hadis tidak boleh mengandung kata-kata yang aneh, yang tidak

pernah diucapkan oleh ahli bahasa.

2. Tidak boleh bertentangan dengan akal.

3. Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah umum dalam hukum dan

akhlak.

4. Tidak boleh bertentangan dengan indera dan kenyataan.

5. Tidak boleh bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

6. Tidak boleh mengundang kepada hal-hal yang tidak dibenarkan agama.

7. Tidak bertentangan dengan akal dalam masalah pokok agama.

8. Tidak bertentangan denan sunnatullah.

9. Tidak mengandung hal-hal yang tidak masuk akal yang dijauhi oleh ahli

piker.

10. Tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an atau dengan hadis yang lebih

shahih, atau yang sudah terjadi ijma’ padanya.

11. Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan-kenyataan sejarah yang

diketahui dari zaman Nabi saw.

114
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 112
115
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 301-302
12. Tidak boleh bersesuaian dengan mazhab rawi yang giat mengajak pada

mazhabnya.

13. Tidak boleh berita yang menyangkut perkara besar yang disaksikan banyak

orang sementara si perawi hanya dia seorang yang meriwayatkannya.

14. Tidak boleh adanya dorongan hawa nafsu.

15. Tidak boleh mengandung janji pahala yang berlebihan dalam perbuatan

kecil atau berlebihan dalam ancaman terhadap perkara yang kecil.

Berdasarkan kaidah-kaidah di atas ulama melakukan kritikan terhadap

hadis untuk memisahkan yang otentik dan yang tidak. Jika sebuah berita

datang dari orang lain, maka yang pertama kali terbetik dalam fikiran adalah

mencari kebenaran tentang orang yang membawa berita tersebut dengan

memperhatikan keadaannya, kahandalannya, pergaulannya dan lain

sebagainya. Jika kebenaran tentang orang yang membawa berita sudah

terbukti, maka selanjutnya yang dilakukan adalah memperhatikan isi berita

yang dibawanya. Isi berita yang dibawa ornag tersebut dicocokkan dengan

pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. Jika hal ini juga sudah

terbukti, maka berita tersebut sudah dapat diterima tanpa ada lagi keraguan.

Seperti inilah perumpamaan yang dilakukan oleh ulama dalam mengkritik

hadis Nabi saw bersamaan juga dengan ketelitian dan perhatian yang luar

biasa.116

116
Mushthafa as-Siba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami… hal. 300
C. Analisis Persamaan dan Perbedaan Antara Pemikiran Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat pemikiran keduanya mengenai ke-

hujjahan hadis ahad memiliki persamaan dan perbedaan. Pertama, persamaan

mereka berdua terletak pada latar belakang keduanya dalam membahas ke-

hujjahan hadis ahad ini, yaitu otoritas hadis Nabi saw memiliki posisi yang sangat

penting dalam syariat Islam yaitu berada pada posisi kedua setelah al-Qur’an.

Keduanya sangat menegaskan kepada seluruh umat muslim yang beriman kepada

Allah SWT dan Rasul-Nya untuk meletakkan hadis pada posisinya, baik itu

sebagai penjelas, penegas, naskh (penghapus) ataupun sebagai penerang syariat

baru yang belum diterangkan di dalam al-Qur’an.

Mengenai kedudukan hadis ahad sebagai hujjah keduanya sepakat bahwa

hadis ahad dapat diamalkan, tetapi terdapat juga perbedaan. Albani menggunakan

hadis ahad dalam persoalan akidah dan hukum. Walaupun kandungan dari hadis

ahad itu adalah zhan, tapi menurut Albani zhan yang dimaksud di sini adalah zhan

yang kuat yang dapat memberikan faedah yakin. Ia tidak membenarkan perilaku

sebagian golongan yang membolehkan pengamalan hadis ahad hanya dalam

persoalan hukum saja, sedangkan dalam persoalan akidah mereka mengharuskan

hadis tersebut mutawatir. Sikap Albani ini juga dilatar belakangi kekhawatirannya

akan ditinggalkannya hadis Nabi saw yang shahih. Berbeda dengan Albani, as-

Siba’i menyebutkan bahwa dalam persoalan ushul (pokok) agama tidak

membolehkan berpegang kepada hadis ahad melainkan haruslah berdasarkan


hadis mutawatir lagi shahih yang mengandung faedah qath’i. Sedangkan hadis

ahad hanya wajib diamalkan dalam persolan furu’ saja.

Dalil yang digunakan oleh kedua tokoh mengenai pembelaan keduanya

terhadap hadis ahad hampir sama, baik itu dalil al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi

as-Siba’i hanya mengutip apa yang sudah dirumuskan oleh ulama sebelumnya,

seperti Imam Syafi’i. Ia tidak melahirkan kaidah baru dalam pembelaanya dalam

hal ini. Sedangkan Albani selain mengutip apa yang sudah dirumuskan oleh ulama

sebelumnya, ia juga memberikan sedikit kontribusi pemikirannya sendiri

mengenai kedudukan hadis ahad. Dalil-dalil yang dikemukakan oleh Albani baik

dari al-Qur’an maupun hadis merupakan dalil yang jelas dan tepat.

Perbedaan Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i yang lain juga

terlihat pada fokus kajian yang mereka lakukan dalam kitab mereka masing-

masing. Fokus as-Siba’i terlihat pada bentuk pembelaannya terhadap hadis Nabi

saw dari serangan para Orientalis dan pengingkarnya. Dalam kitabnya tersebut as-

Siba’i sangat terfokus pada bantahan-bantahan yang ia tujukan untuk Ahmad

Amin, seorang sarjana Islam yang belajar Islam kepada sarjana Barat. Sedangkan

Albani berfokus pada usahanya dalam melindungi hadis Nabi saw dari

penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sebagaian golongan Islam.

Menurut Albani penyimpangan ini terjadi karena sifat taqlid seseorang terhadap

satu mazhab atau kepada guru-guru mereka. Albani sangat mengecam orang-

orang yang berperilaku seperti ini. Sebagaimana dijelaskan pada perjalanan hidup
beliau, Albani keluar dari mazhab yang dianut oleh ayahnya dan guru-gurunya

karena sikap taqlid mereka kepada mazhab yang mereka pegang.

Mengenai kriteria ke-shahian hadis Nabi saw tidak jauh berbeda antara

Albani dan as-Siba’i. Perbedaan as-Siba’i terlihat bahwa ia tidak menyebutkan

salah satu syarat hadis shahih adalah tidak adanya syadz (menyendiri) dan ‘illah

(cacat yang tersembunyi). Ia hanya mengemukakan empat syarat hadis shahih,

yaitu ‘adalah (jujur), dhabit (kekuatan ingatan), hifz (kekuatan hafalan) dan

mendengar langsung. Kemudian dalam kritik matan as-Siba’i mengemukakan

lebih banyak kriteria-kriteria yang harus dijadikan pedoman dalam penilaian

shahih matan hadis. Persyaratan-persyaratan tersebut cukup menjamin ketelitian

dalam penerimaan hadis Nabi saw. Secara garis besar kriteria-kriteria yang

dikemukakan oleh as-Siba’i sama dengan apa yang sudah dirumuskan oleh ulama

sebelumnya. Karena menurutnya kaedah yang sudah dirumuskan oleh para ulama

merupakan pegangan yang sangat kokoh, tidak ada lagi keraguan pada kaedah

tersebut. Ini bisa dipahami mengingat tujuan dari as-Siba’i adalah membela sunah

dan membantah orang-orang yang meragukan bahkan mengingkari hadis Ahad

sebagai sumber hukum dalam Islam, sehingga mengemukakan seluruh pendapat

ulama-ulama terdahulu untuk memperkuat peran dan fungsi hadis dalam

penetapan hukum Islam.


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Albani dan as-Siba’i adalah ulama yang hidup pada masa modern yang

berkonsentrasi dan kembali melakukan pembahasan mengenai hadis Nabi saw.

Mengenai fungsi hadis Ahad sebagai sumber hukum dalam Islam kedua tokoh

sama-sama membolehkan beramal dengan hadis ahad. Dalil-dalil yang

dikemukakan oleh kedua tokoh merupakan dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan

hadis Nabi saw yang sudah jelas dan tepat. Akan tetapi kedua tokoh berbeda dalam

aspek pembolehan tersebut. Albani berpendapat bahwa hadis ahad yang sudah

terbukti ke-shahihannya wajib diamalkan, baik dalam persoalan akidah ataupun

hukum. Dilalah yang dihasilkan oleh hadis ahad adalah zhan yang kuat yang

menghasilkan suatu keyakinan. Sedangkan as-Siba’i tidak membolehkan

penggunaan hadis ahad dalam persoalan ushul (pokok) agama, karena persoalan

pokok agama haruslah dengan hadis shahih lagi mutawatir. Sedangkan hadis ahad

wajib digunakan hanya pada persoalan furu’iyah dengan syarat berkualitas shahih

pada sanad dan matn hadis.

Dari aspek metodologi kedua tokoh dalam menyusun kriteria keshahihan

hadis, mereka sama-sama merujuk kepada kaidah-kaidah yang sudah disusun oleh

ulama-ulama sebelumnya. Perbedaan as-Siba’i terlihat bahwa ia tidak

menyebutkan salah satu syarat hadis shahih adalah tidak adanya syadz

(menyendiri) dan ‘illah (cacat yang tersembunyi).


Perbedaan kedua tokoh juga terlihat pada latar belakang dan fokus yang

dilakukan oleh kedua tokoh pada masing-masing kitab mereka. Kitab yang ditulis

oleh Albani dilatar belakangi oleh kekhawatirannya terhadap otoritas sunah Nabi

saw dalam ajaran Islam. Dengan bermunculannya sebagian kelompok Islam yang

menyia-nyiakan hadis Nabi saw hanya karena sikap fanatik mereka kepada suatu

mazhab. Sehingga dalam kitabnya Albani banyak menyinggung permasalahan

taqlid yang dilakukan oleh sebagian kelompok tersebut. Sedangkan kitab Sunnah

wa Makanatuha fi al-Tayri’ al-Islamiy yang ditulis oleh as- Siba’i dilakukannya

sebagai sikap pembelaannya terhadap sunnah Nabi saw dari serangan orang-orang

yang mengingkarinya, yaitu para kaum orientalis dan orang-orang yang belajar

kepada mereka seperti Ahmad Amin. Fokus kajian dalam kitab ini adalah bantahan-

bantahan yang ditujukan oleh as-Siba’i kepada Ahmad Amin sebagai tokoh sarjana

Islam yang dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sarjana Barat.

B. Saran

1. Setelah dilakukannya perbandingan dan analisis pemikiran Muhammad

Nashiruddin al-Albani dan Mushthafa as-Siba’i mengenai fungsi hadis ahad

dalam hukum Islam tampak bahwa hadis ahad yang sudah terbukti

kebenarannya berasal dari Nabi saw wajib untuk diamalkan.

2. Perlu adanya upaya yang sangat serius dan sungguh oleh umat Islam dalam

menjaga keotentisitasan, keotoritasan dan kesesuaian hadis Nabi saw sebagai

dasar tasyri’ Islam agar tidak terpengaruh oleh perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan yang semakin maju yang membuat manusia semakin kritis dalam

menghadapi isu-isu yang ada.

3. Pembahasan dalam tulisan ini bukanlah pembahasan yang sempurna. Penulis

sangat mengharapkan kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan tulisan

ini. Dan juga perlu adanya kajian lebih mendalam terkait hadis ahad menurut

pemikiran-pemikiran ulama lainnya yang fokus kepada kajian hadis agar

didapatkan pembahasan yang lebih dalam dan memberikan dampak baru

terhadap kajian hadis.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muhammad dan Elan Sumarna, 2011. Metode Kritik Hadis, Bandung:

PT. Remaja Rosdakarta

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2004. Fatwa-fatwa Syaikh Nashiruddin al-

Albani, Jogjakarta: Media Hidayah

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2005. al-Hadis Hujjah bi Nafsihi fi al-‘Aqaid wa

al-Ahkam. Riyad: Maktabah al-Ma’arif

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. T.th. Hujjiyyah Khabr al-Ahad fi al-‘Aqidah.

Al-Albani, T.th. Muhammad Nashiruddin. Tamam al-Minnah fi al-Ta’liq ‘ala Fiqh al-

Sunnah. Damaskus: Dar al-Rayah

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 2001. at-Tarikh al-Kabir lil Bukhari. Beirut: al-

Kitab al-‘Ilmiyyah

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 2004. Shahih al-Bukharii. Cairo: Dar al-Fajr li at-

Turats

Al-Hajjaj, Abu al-Husain bin Muslim. 1998. Shahih Muslim. Riyadh: Baitun al-Afkar

Ali, Zainuddin. 2010. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. 2011. Ushulul Hadis ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu,

Beirut: Dar al-Fikr


Al-Qasimi, Jamaluddin.T.th. Qawa’id at-Tahdits Min Funun Mushthalah al-Hadits.

Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Tsaibani, Muhammad bin Ibrahim. 1987. Hayah al-Albani wa Atsaruh wa Tsana’u

al-‘Ulama ‘Alaihii. Maktabah as-Saddawa

Andi, dkk. 2017. “Manhaj Muhammad Nasiruddin al-Albani dalam Mendaifkan

Hadis” at-Tahdis: Journal of Hadith Studies, Vol. 1, No. 2

As-Siba’i, Mushthafa. T.th. as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami. Beirut:

Maktabah al-Islami

Ath-Thahan, Mahmud. T.th. Taisir Mushthalah al-Hadis, Jeddah: al-Haramain

Bakar, Umar Abu. T.th. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam Kenangan.

At-Tibyan: Solo

Gufron, Muhammad dan Rahmawati. 2013. Ulumul Hadits Praktis dan Mudah,

Yogyakarta: Penerbit Teras

Idri, 2016. Studi Hadis. Jakarta: Prenada Media Grup

Ismail, Nor Najihah binti. 2011. Hak Politik Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa

al-Siba’i, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

Juriono ,dkk. 2017. Metode Kritik Matan Mustafa as-Siba’i dalam Kitab as-Sunnah wa

Makanatuha fi at-Tasyri’ al-Islami. at-Tahdis: Journal of Hadith Studies,

Vol. 1 No. 1
Nurdin, Lukman Hakim, dkk. 2017. Perkembangan Awal Pengaruh Syaykh al-Albani

Terhadap Masyarakat Syiria, Jurnal al-Turath, Vol.2, No. 2

Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama

Ritonga, A. Rahman. 2011. Studi Ilmu-ilmu Hadis, Yogyakarta: Interpena Yogyakarta

Salim, Abu Usamah. 2006. Hadits Ahad Hujjah dalam Hukum dan Akidah. Terj. Normal

Sho’iman. Jakarta: Pustaka as-Sunnah

Syafi’i. T. th. Musnad al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah

Syarifah, Umaiyatus. 2015. Peran dan Kontribusi Nashiruddin al-Albani dalam

perkembangan Ilmu Hadis, Riwayah, Vol. 1, No. 1

Tsary, Waliya Widda Fawzi, 2015. Analisis Pendapat Syaikh al-Albani Tentang Shalat

Sunat Setelah Shalat Ashar, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi

Yusuf, Abu Ubaidah. 2015. Syaikh al-Albani Dihujat. Bogor: Media Tarbiyah

Anda mungkin juga menyukai