Anda di halaman 1dari 92

REDAKSI YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ AYYUHÂ

AL-NABIY DALAM AL-QUR’AN


(Analisis Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî)

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh
Dede Yasep Jalaludin
NIM: 11140340000130

PROGAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
ABSTRAK

Dede Yasep Jalaludin. Redaksi Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl dan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy


Dalam Al-Qur’an (Analisis Penafsiran Wahbah Al-Zuhailî)
Allah swt. memanggil Nabi-Nya, Muhammad saw. dengan menggunakan
panggilan Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl di dalam al-Qur’an. Namun Allah juga memanggil
Nabi Muhammad saw. dengan panggilan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy dalam banyak
tempat di dalam al-Qur’an. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan
mendeskripsikan tentang “Redaksi Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl dan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy
dalam Al-Qur’an.”
Penelitian ini menggunakan metode library research atau penelitian
kepustakaan. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan data primer yaitu kitab al-Tafsîr al-Munîr fi al-‘Aqîdah wa al-
Syarî’ah wa al-Manhaj karya Wahbah al-Zuhailî dan data-data sekunder yang
berupa buku-buku, jurnal, artikel, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
tema penelitian ini. Data akan dianalisa dengan metode deskriptif analisis.
Setelah melakukan penelitian, penulis berkesimpulan bahwa menurut
Wahbah al-Zuhailî, redaksi yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. di dalam al-Qur’an adalah sebagai
bentuk penghormatan dan pemuliaan serta pengkhususan kepada Nabi
Muhammad saw., sekaligus untuk mengajarkan kepada kaum mukminin supaya
mereka memanggil beliau dengan gelarnya.

Kemudian perbedaan redaksi lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-


Nabiy yaitu lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl adalah suatu bentuk panggilan Allah swt.
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan pesan tersebut bersifat khusus.
Sedangkan lafaz yâ ayyuhâ al-Nabiy adalah suatu bentuk panggilan Allah swt.
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., namun pesan perkataan tersebut
bersifat umum. Sehingga ketika Allah swt. memanggil beliau dan memerintahkan
suatu perkara, maka perintah tersebut tidak hanya berlaku untuk Nabi
Muhammad saw. semata, melainkan juga berlaku untuk umat beliau. Karena Nabi
Muhammad saw. adalah imam bagi umatnya.

Kata kunci: al-Tafsîr al-Munîr, yâ ayyuhâ al-Rasûl, dan yâ ayyuhâ al-Nabiy


KATA PENGANTAR

‫بسمميحرلا نمحرلا هللا‬

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa
shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, yakni nabi
Muhammad saw. yang mudah-mudahan kita mendapatkan syafaat di hari kiamat
nanti. Alhamdulillah atas ijin Allah swt. penelitian tentang “Redaksi Yâ Ayyuhâ
Al-Rasûl dan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy dalam Al-Qur‟an (Analisis Penafsiran Wahbah
Al-Zuhailî),” dapat diselesaikan oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan baik ini, penulis ingin
mengucapkan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Selaku Dekan Fakultas Usuluddin
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir sekaligus menjadi penasihat akademik penulis, yang telah banyak
memberi bantuan dan masukan selama studi di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M. Pd., selaku Sekertaris Jurusan Al-Qur‟an
dan Tafsir.
5. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan ilmu, arahan, dan motivasi kepada penulis sampai
terjuwudnya skripsi ini dengan baik.
6. Seluruh dosen di Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen Jurusan Ilmu
al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan ikhlas memberikan ilmunya sehingga
membuat penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

vi
7. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan segalanya kapada penulis,
seperti: biaya, dorongan, arahan dan motivasinya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan tulisan ini.
8. Ibu Hj. Badrah Uyuni, MA. dan Dr. Abdul Mustaqim, MA. yang telah
membantu dan memberikan arahan dalam mengawali dan memulai
penulisan skripsi ini.
9. Guru-guru penulis, mulai dari guru-guru di Bogor ketika jenjang PAUD,
guru-guru di Karangsari ketika jenjang Sekolah Dasar, sampai guru-guru di
Pondok-Pesantren Al-Hikmah Benda ketika jenjang SMP dan SMA, yang
telah berjasa serta ikhlas memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmunya
kepada penulis.
10. Para staf manajemen perpustakaan, seperti; Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Umum Daerah
Provinsi DKI Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang
telah membantu atas referensi-refrensi yang telah disediakan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Ziana Maulida Husnia, yang telah membantu dan menemani selama
penulisan skripsi ini.
12. Naseh Maulana, S. Ag. Sahabat penulis di sebarang sana, yang telah mem-
berikan suport dikala penulis sedang mengahadapi jalan buntu.
13. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan 2014, yang
telah menemani dalam memulai menimba ilmu di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Sahabat-sahabat TH D 2014 “Kandang Macan,” seperti; Adhim, Rizky,
Anas, Apri, Sandi, Mursalin, Faikar, Firdaus, Aminullah, Sya‟dan, Alwi dan
lain sebagainya, yang telah mendampingi dan menopang penulis ketika
kuliah dan menyusun skripsi ini, terutama kepada Aufal selaku teman satu
kosan. Semoga kalian semua menjadi orang-orang yang sukses dan berguna
bagi bangsa dan agama.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan
bahkan jauh sampai pada kata sempurna. Untuk itu penulis meminta maaf dan

vii
juga mengharapkan kritik juga saran dari teman-teman dan dosen-dosen serta
pembaca sekalian, demi penulisan yang lebih baik selanjutnya.

Akhir dari semua ucapan penulis adalah semoga budi baik atau jasa dari
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini,
mendapatkan balasan dan kebaikan dari Allah swt. `Amîn.

Jakarta, 24 September 2018

Dede Yasep Jalaludin

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................. ii

LEMBAR PERSETUJAN PEMBIMBING ....................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................. iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

TRANSLITERASI .............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................5

D. Tujuan Penelitian ...........................................................................6

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian .................................................6

F. Tinjauan Pustaka ............................................................................7

G. Metode Penelitian.........................................................................11

H. Sistematika Penulisan ..................................................................13

BAB II SEPUTAR KEHIDUPAN WAHBAH AL-ZUHAILÎ DAN

PROFIL KITAB TAFSIRNYA

A. Biografi dan Intelektualitas Wahbah Al-Zuhailî ..........................16

1. Riwayat Hidup .........................................................................16

2. Pendidikan ...............................................................................17

ix
3. Guru dan Murid ......................................................................19

4. Pemikiran dan Karya-karyanya ...............................................20

B. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Al-Tafsîr Al-Munîr ..........23

C. Telaah Kitab Al-Tafsîr Al-Munîr .................................................24

1. Jenis Tafsir ..............................................................................25

2. Lawn Tafsir..............................................................................26

3. Metode Tafsir ..........................................................................26

4. Pengaruh Ulama Terhadap Penafsiran Tafsir Al-Munîr ..........29

BAB III TINJAUAN TENTANG YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YĀ

AYYUHĀ AL-NABIY

A. Tinjauan lafadz Yâ Ayyuhâ...........................................................31

1. Nidâ` (Panggilan) ..................................................................31

2. Huruf-huruf Nidâ` .................................................................32

3. Munâdâ .................................................................................34

4. Lafaz Yâ Ayyuhâ al-Rasul dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy ...........36

B. Nabi dan Rasul .............................................................................36

1. Definisi Nabi .........................................................................36

2. Definisi Rasul ........................................................................38

3. Perbedaan Nabi dan Rasul ....................................................39

C. Arti Kemaksuman Nabi dan Rasul ...............................................40

D. Ayat-ayat Yâ Ayyuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy dalam

al-Qur‟an ......................................................................................42

1. Ayat-ayat Yâ Ayyuhâ al-Rasûl ..............................................42

2. Ayat-ayat Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy............................................43

x
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ

AYYUHÂ AL-NABIY

A. Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Rasûl ........................................................46

1. Surat al-Mâ`idah Ayat 41 .....................................................46

2. Surat al-Mâ`idah Ayat 67 .....................................................51

B. Redaksi Yā Ayyuhâ al-Nabiy........................................................55

1. Surat al-Ahzâb ayat 1 ............................................................55

2. Surat al-Ahzâb ayat 45 ..........................................................59

3. Surat al-Talâq ayat 1 ............................................................62

C. Persamaan dan Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-

Nabiy ............................................................................................66

D. Maksud dan Tujuan Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ

al-Nabiy ........................................................................................70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................72

B. Saran .............................................................................................73

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................74

xi
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi ini mengacu pada pedoman alih aksara versi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, sesuai keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta nomor: 507 tahun 2017 tentang pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi,
tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Huruf Keterangan


Arab Latin
‫ا‬ Tidak dilambangkan
‫ب‬ b Be
‫ث‬ t Te
‫ث‬ ts te dan es
‫ج‬ j Je
‫ح‬ h h dengan garis bawah
‫ر‬ kh ka dan ha
‫د‬ d De
‫ذ‬ dz de dan zet
‫ر‬ r Er
‫ز‬ z Zet
‫س‬ s Es
‫ش‬ sy es dan ye
‫ص‬ s es dengan garis di bawah
‫ض‬ ḏ de dengan garis bawah
‫ط‬ ṯ te dengan garis bawah
‫ظ‬ ẕ zet dengan garis bawah
‫ع‬ „ Koma terbalik di atas hadap kanan
‫غ‬ gh ge dan ha
‫ف‬ f Ef
‫ق‬ q Ki

xii
‫ك‬ k Ka
‫ل‬ l El
‫م‬ m Em
‫ى‬ n En
‫و‬ w We
‫ھ‬ h Ha
‫ء‬ ` Apostrof
‫ي‬ y Ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


َ‫ـــ‬ A Fathah
َ‫ـــ‬ I Kasrah
َ‫ـــ‬ U Damah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai


berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ـــََي‬ Ai a dan i
‫ـــََو‬ Au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
‫ــَا‬ Â a dengan topi di atas
َ‫ـــَي‬ Î i dengan topi di atas
َ‫ـــَو‬ Û u dengan topi di atas

xiii
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.

5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( َ‫ ) ـــ‬dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ‫ ) الضرورة‬tidak ditulis
ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara


1 ‫طریقت‬ Tarîqah
2 ‫الجاهعت اإلسالهیت‬ al-jâmî’ah al-islâmiyyah
3 ‫وددةَالوجود‬ wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata

xiv
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

8. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di
atas:
Kata Arab Alih Aksara

َ‫ذھةَ األستاذ‬ dzahaba al-ustâdzu

َ‫ثبجَاألجر‬ tsabata al-ajru

‫الذرمتَالعصرَیَت‬ al-harakah al-‘asriyyah

‫أشھدَأىَالَإلهََإالَهلل‬ asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫هوالناَهللَالصالخ‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

‫یَؤثرمنََهلل‬ yu’atstsirukum Allâh

‫الوظاھر العقلیت‬ al-mazâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Namaَ
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.َ
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukanَ
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nabi Muhammad saw. adalah penutup para rasul dan nabi secara

keseluruhan. Pada tahap awal dalam menyiarkan agama Islam, Rasulullah saw.

berdakwah secara rahasia atau sembunyi-sembunyi. Namun setelah tiga tahun

lamanya berdakwah secara rahasia, Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah agar

menyebarkan pesan-pesan dakwah secara terang-terangan.1 Allah swt. berfirman:

ِ‫ض ع ِن ۡٱلم ۡش ِرك‬


ۡ ۡ ۡ ِۡ ۡ
َ ُ َ ‫فَٱص َدع ِبَا تُؤَم ُر َوأَع ِر‬
‫ي‬
2

“Maka sampaikanlah (Nabi Muhammad saw.) secara terang-terangan segala apa


yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” 3

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw. agar menyampaikan

risalahnya, melaksanakan dan menyampaikannya dengan cara terang-terangan,

yaitu dengan berhadapan langsung dengan orang-orang musyrikin.4 Di lain ayat,

Allah juga memberitahukan kepada beliau bahwa Allah swt. akan melindunginya

dari gangguan manusia atau orang-orang musyrikin yang hendak mencelakainya.5

Firman Allah:

1
Muhammad Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks Al-Qur‟an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi
(Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 26.
2
QS. Al-Hijr [15]: 94.
3
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 267.
4
„Imâdu al-Dîn Abî al-Fidâ` „Ismâ‟îl Ibn „Umar Ibn Katsîr al-Dimasyiqî, Al-Tafsîr Al-
Qur`ân Al-„Azîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), jilid 4, h. 473.
5
Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-
Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006), jilid 8, h. 90.

1
2

ِ ‫ك ِم َن ٱلساَّا‬ ‫م‬ُِ ۡ ‫ٓأَيَي ها ٱلرسول ب لِ ۡغ ماأ أُن ِزل إِل ۡيك ِمن ربِ َۖك وإِن ََّّۡل ت ۡفع ۡل فما ب لَّ ۡغت ِرسالته ۚۥ وٱّلل ي‬
‫ع‬
َ ُ َ َُّ َ ُ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّّ َ َ َ َ َّ ُ ُ َّ َ ُّ َ
ِ ِ ‫ٱّلل ََل ي ۡه ِدي ۡٱل َق ۡوم ۡٱل َٓك‬ ِ
‫ين‬‫ر‬ ‫ف‬ َ ََّ ‫إ َّن‬
6
َ َ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan
pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak
menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.” 7

Ibn „Abbâs (w. 687 M) berkata, “Maknanya adalah: sampaikanlah apa yang

diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang

diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya.” Ini

merupakan pelajaran bagi Rasulullah saw. dan para pengemban ilmu pengetahuan

dari umatnya, yaitu agar mereka tidak menyembunyikan syari‟at-Nya. Sebab

sesungguhnya Allah mengetahui bahwa Rasul-Nya tidak akan menyembunyikan

wahyu-Nya.8

Menurut Hasan al-Basri (w. 110 H / 728 M), ayat tentang perintah

menyampaikan risalah ini, turun saat Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Allah

mengutusku untuk menyampaikan risalah, akupun tidak mampu untuk itu, aku

tahu orang-orang mendustakanku, lalu Allah menjanjikan padaku apakah aku

menyampaikan atau Ia akan menyiksaku,” kemudian turun ayat ini, “Wahai

Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.”(QS. Al-

Mâ`idah [5]: 67).9

Kaitannya tentang perlindungan Allah swt. terhadap Rasulullah saw. di lain

ayat Allah swt. juga berfirman:

6
QS Al-Mâ`idah [5]: 67.
7
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
8
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 8, h. 89-90.
9
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 480.
3

ِ‫ك ِمن ۡٱلم ۡؤِمسا‬ ۡ ِ‫ٓأَيَيُّها ٱلسا‬


َ ُ َ َ ‫ٱّللُ َوَم ِن ٱتَّبَ َع‬
‫ي‬ َّ ‫ك‬َ ُ‫َِّب َحسب‬
ُّ َ َ
10

“Wahai Nabi (Muhammad saw.)! Cukuplah Allah (sebagai Penolong dan


Pembimbing) bagimu dan (bagi) siapa yang mengikutimu dari orang-orang
mukmin.”11

Maksud ayat ini adalah Wahai Muhammad, cukuplah Allah menjadi

pelindung, pembimbing, dan menjadi segala sesuatu bagimu dan juga Dia yang

menjadi pelindung untuk siapa yang mengikutimu dari orang-orang mukmin yang

mantap imannya. Allah bersama dengan kaum mukminin yang melindungi Nabi

Muhammad saw. perlindungan kaum mukminin itu bukan bersumber dari

kekuatan mereka, tetapi bersumber dari Allah swt.12

Dalam ayat pertama (surat al-Mâ`idah ayat 67) ketika Rasulullah saw. di

perintahkan oleh Allah swt. untuk menyampaikan wahyu, Allah swt. memanggil

Rasulullah saw. dengan sebutan panggilan yâ Ayyhuhâ al-Rasûl, namun di ayat

kedua (surat al-Anfâl ayat 64) Allah swt. memanggil Rasulullah saw. yâ Ayyhuhâ

al-Nabiy. Lalu, apakah ada perbedaan mendasar maupun mendalam terkait

panggilan (nidâ`) yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy pada nabi

Muhammad saw. Atau ada hikmah maupun tujuan dalam penggunaannya

tersebut. kemudian bagaimana konteks ayat-ayat yang lain di dalam al-Qur‟an

tentang penggunaan panggilan yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy

pada Nabi Muhammad saw.

Ayat-ayat yang mengandung nidâ` melibatkan banyak aspek; dari segi

bentuk redaksi, orientasi, dan indikasi; apakah secara sintaksis Arab bentuk

redaksi, orientasi, dan indikasinya sama atau berbeda. Dan adapun untuk dapat

10
QS. Al-Anfâl [8]: 64.
11
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 185.
12
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 5, h. 491.
4

mengatahui maksud dan tujuan dari penggunaan panggilan Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl

dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an, penulis merujuk pada tafsir

Wahbah Al-Zuhailî. Sedangkan nama lengkap dari kitab tafsir Wahbah al-Zuhailî

adalah al-Tafsîr al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj.

Pemilihan tafsir ini, bukan tanpa alasan. Sebelumnya penulis sudah meneliti

di dalam kitab tafsir Ibn Kasīr dan tafsir al-Zamahsyari namun penulis belum

menemukan sesuatu yang di inginkan. Kemudian ada juga kitab al-Sya‟rawi,

namun beliau hanya menafsirkan al-Qur‟an tidak sampai pada akhir surat (surat

al-Nâs) sedangkan objek yang di bahas oleh peneliti adalah dalam satu al-Qur‟an

penuh. Penggunaan penafsiran Wahbah al-Zuhailî, itu karena didasari kajian ayat-

ayatnya yang disajikan secara komprehenshif, lengkap dan mencakup berbagai

aspek yang dibutuhkan oleh pembaca ataupun peneliti. Di dalam pembahasannya

mencantumkan asbâb al-Nuzûl, balâghah, i‟râb serta mencantumkan hukum-

hukum yang terkandung di dalamnya. Balâghah di sini amatlah penting, karena

mufassîr menggambarkan keindahan perkataan dan keindahan uslûb (susunan) al-

Qur‟an, serta menjelaskan pengetahuan tentang keindahan al-Qur‟an.13 Hal ini

sangat amatlah diperlukan, mengingat penelitian ini secara garis besar berkaitan

tentang kebahasaan. Kemudian dalam penggunaan riwayatnya beliau

mengelompokkan antara yang ma`tsûr14 dengan yang ra`yu.15 Sehingga,

penjelasan mengenai ayat-ayatnya selaras dan sesuai dengan penjelasan riwayat-

13
Anshori, Ulumul Qur‟an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016), h. 218.
14
Ma`tsûr atau tafsir bi al-ma`tsûr ialah tafsir yang bersumber dari al-Qur‟an, hadits, dan
atsar sahabat. Lihat Sayyid Muhammad Thantawi, Ulumul Qur‟an: Teori dan Metodologi
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), h. 140.
15
Ra`yu atau tafsir bi al-ra`yi ialah tafsir yang berpegang pada ijtihad atau bersumber dari
pendapat ulama salaf. Lihat Thantawi, Ulumul Qur‟an, h. 143.
5

riwayat yang sahih, serta tidak mengabaikan penguasaan ilmu-ilmu keislaman

seperti pengungkapan kemukjizatan ilmiah dan gaya bahasa.16

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah ditulis di atas, penulis

mengidentifikasi masalah yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian. Yaitu

sebagai berikut:

1. Bentuk-bentuk panggilan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw.

2. Persamaan dan perbedaan penggunaan panggilan Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan

Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an

3. Perbedaan al-Rasûl dan al-Nabiy

4. Ayat-ayat yang mengandung Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-

Nabiy di dalam al-Qur‟an

5. Maksud dan tujuan penggunaan panggilan Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ

Ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis

membatasinya agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus dan tidak melebar ke

pembahasan lainnya. Penulis membatasi permasalahan hanya tentang penggunaan

panggilan (nidâ`), yaitu panggilan Allah swt. yang berupa “Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl

dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy” kepada Nabi Muhammad saw.

Adapun perumusan permasalahan dalam skripsi ini yang berkaitan dengan

latar belakang di atas adalah “Bagaimana pemaknaan dan penafsiran yâ ayyhuhâ

16
Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr fî al-„ Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al- Manhaj (Beirut:
Dâr al-fikr, 2009), jilid 1, h. 10.
6

al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy terhadap Nabi Muhammad saw. dalam al-

Qur‟an, perspektif Wahbah al-Zuhailî?.”

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berkenaan dengan hal-hal yang diharapkan dapat dicapai

melalui pelaksanaan penelitian atas menyajikan hasil yang ingin dicapai setelah

penelitian ini selesai dilakukan.17 Tujuan umum dari penelitian ini adalah

mengatahui mengapa ada perbedaan penggunaan panggilan pada nabi Muhammad

saw. berupa Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an.

Sedangkan tujuan penelitian yang ingin dicapai secara khusus, yaitu:

1. Untuk mengetahui arti dan makna dari penggunaan yâ ayyhuhâ al-Rasûl

dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy

2. Untuk mengetahui penafsiran Wahbah al-Zuhailî dalam kitab Tafsīr Al-

Munîr, pada ayat-ayat yang mengandung lafadz Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl

dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy untuk mengetahui maksud dan tujuan di

gunakannya lafadz Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy di

dalam al-Qur‟an.

3. Untuk memenuhi syarat dalam penulisan skripsi

E. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Manfaat penelitian berkaitan dengan kegunaan yang diharapkan dari hasil

penelitian ini, baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca. 18 Adapun manfaat

dan kegunaan dari penelitian ini yaitu:

17
Maman Abdurrahman dan Sambas Ali Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian:
Bidang Sosial-Administrasi-Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 34.
18
Abdurrahman dan Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian, h. 35.
7

1. Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama menempuh

pendidikan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

dengan membuat laporan penelitian secara ilmiah dan sistematis.

2. Memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya khazanah dan

pengembangan keilmuan dalam Islam serta meningkatkan daya

pemikiran penulis, khususnya dalam bidang ilmu al-Qur‟an dan tafsir.

3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S, Ag.) pada

Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir di Fakultas Ushuluddin, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini penulis juga memperhatikan tentang tinjauan pustaka,

yang berisikan uraian hasil telaah terhadap teori dan hasil penelitian terdahulu

yang terkait. Hal ini bisa berarti membandingkan, mengontraskan, memperinci

atau meletakkan tempat kedudukan masing-masing yang berkaitan tentang

“Penggunaan Panggilan Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy dalam al-

Qur‟an.” Hasil penelitian terdahulu yang relevan dimaksudkan untuk menyatakan

posisi peneliti yang dilakukan di antara penelitian yang sudah dilakukan.

Berdasarkan pencarian yang penulis lakukan, ada beberapa karya terdahulu yang

berkaitan dengan tema yang diteliti oleh penulis. Di antara karya-karya tersebut

seperti:

Skripsi yang berjudul Al-Munâdâ dalam Al-Qur‟an Surat Âli „Imrân, Al-

Nisâ` dan Al-Mâ`idah (Studi Analisis Sintaksis) tahun 2013 karya Tuti Nila

Amalia, mahasiswa program pendidikan bahasa Arab jurusan bahasa dan sastra

asing Universitas Negeri Semarang. Skrispsi ini berisiskan jenis munâdâ yang
8

terdapat dalam Al-Quran Surat Âli `Imran, Al-Nisâ` dan Al-Mâ`idah. Kemudian

mendeskripsikan faedah munâdâ yang terdapat dalam Al-Quran Surat Âli `Imran,

Al-Nisâ` dan Al-Mâ`idah.19

Artikel yang berjudul Eksistensi, Klasifikasi, dan Orientasi Ayat-Ayat Nidâ`

Makkî dan Madanî tahun 2012, karya Saiful Arif dan Zainol Hasan. Artikel ini

berisikan tentang kajian ayat-ayat nidâ` yang berstatus makkî dan madanî tentang

eksistensinya melalui pengertian-pengertian, baik secara bahasa maupun istilah

atau melalui penggunaan kata nidâ` dengan segala variannya dalam al-Qur‟an.

Melalui klasifikasi ayat-ayat nidâ` pada makkî dan madanî dapat diketahui jumlah

ayat-ayat tersebut pada dua kategorisasi itu di samping diketahuinya karakteristik

ayat-ayat nidâ` yang makkî dan madanî. Dilihat dari orientasinya, ayat-ayat nidâ`

yang orientasi dan indikasi khithâbnya jelas dan ada pula ayat-ayat nidâ` yang

mukhâthabnya menimbulkan berbagai penafsiran tentang siapa dan/atau apa

sebenarnya yang dimaksud. Kejelasan orientasi khithâb ayat-ayat nidâ` dapat

diketahui melalui indikasi ayat sendiri atau ayat sebelum atau sesudahnya, melalui

analisis keberadaan dan konteks ayat nidâ` dengan menggunakan pendekatan

pendekatan semantik dan historis, serta dengan pendekatan semantik dan

hukum.20

Skripsi yang berjudul Nidâ` dan Makna-maknanya dalam Surat al-Mâ`idah

tahun 2017 karya Islahul Mufid, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan

Ampel. Skripsi ini berisikan mengenai ilmu ma‟ani yaitu Nidâ` dan maknanya.

19
Tuti Nila Amalia, “Al-Munâdâ dalam Al-Quran Surat Âli `Imran, Al-Nisâ` dan Al-
Mâ`idah,” (Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2013).
20
Saiful Arif dan Zainol Hasan, “Eksistensi, Klasifikasi, dan Orientasi Ayat-Ayat Nidâ`
Makkî dan Madanî” Nuansa Pamekasan , vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012), h. 47-74.
9

Pembahasan dalam skripsi ini mengkaji tentang Nida‟ dan makna-maknanya

dalam surat al-Mâ`idah dengan pendekatan ilmu Balâghah.21

Skripsi dengan judul Seruan Yâ Ayyuhannâs dan Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû

dalam Al-Qur‟an (Sebuah Kajian Tematik) tahun 2017 karya Gina Amalia

mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga. Dalam Penelitian ini, Seruan merupakan salah satu bentuk dialog dalam

al Qur‟an, salah satu cara Allah swt. berkomunikasi dengan hamba-Nya. Seruan di

sini meliputi panggilan, yang dalam ilmu nahwu disebut nidâ`. Penggunaan nidâ`

di dalam al- Qur'an meliputi lafadz hamzah, ay, yâ dan ayâ, dan dalam penelitian

ini huruf nidâ` yang digunakan yakni lafadz yâ ayyuhâ. Penggunaan gaya bahasa

nidā ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada munâdâ (yang

dipanggil), akan adanya suatu perkara yang penting. Penelitian ini membahas

seruan dengan lafadz yâ ayyuhannâs dan yâ ayyuhalladzîna âmanû, yakni seruan

kepada manusia (pada umumnya) dan kepada orang-orang mukmin.22

Tesis yang berjudul Nidâ` Terhadap Para Nabi dalam Al-Qur‟an (Studi

Komparatif dalam Kitab al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Jalaluddin al-Suyûtî

dan al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Badruddin al-Zarkashî) tahun 2016

oleh Taufiqurrohman Fauzi, mahasiswa pascasarjana Universitas Islam Negeri

Sunan Ampel Surabaya. Tesis ini berisikan tentang perbedaan bentuk nidâ` yang

ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan Nabi lainnya dalam al-Qur‟an. Dan

untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk nidâ` tersebut, dalam tesis ini

21
Islahul Mufid, “Nidâ` dan Makna-maknanya dalam Surat al-Mâ`idah,” (Skripsi S1
Fakultas Adab dan humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017).
22
Gina Amalia, “Seruan Yâ Ayyuhannâs dan Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû dalam Al-Qur‟an;
Sebuah Kajian Tematik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).
10

merujuk pada dua mufassîr. Yaitu Jalaluddin al-Suyûtî dan Badruddin al-

Zarkashî.23

Buku yang berjudul Rasul dan Risalah Menurut Al-Qur‟an dan Hadis tahun

2008 oleh Umar Sulaiman al-Asyqar. Buku ini berisikan tentang definisi nabi dan

rasul, perbedaan antara keduanya, wajibnya iman kepada para nabi dan rasul, dan

kafirnya orang yang mengaku beriman kepada Allah namun mengingkari para

rasul, atau membeda-bedakan antara para rasul. Kemudian dijelaskan pula sifat-

sifat dan tugas-tugasnya, lalu jumlah para rasul, nama-nama rasul dan nabi yang

disebutkan dalam Al-Qur‟an dan hadits. Selain itu dijelaskan pula dukungan Allah

terhadap para nabi dan rasul-Nya juga tentang cara Allah mengajarkan pada

mereka, yaitu wahyu.24

Adapun perbedaan skripsi ini, dengan karya-karya yang telah ditulis dan

diteliti sebelumnya yaitu penelitian ini lebih difokuskan atau dikhususkan pada

redaksi yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy yang ditujukan kepada

Nabi Muhammad saw. di dalam al-Qur‟an. Berbeda halnya dengan karya

sebelumnya, diantaranya seprti skripsi karya Tuti Nila Amalia, yamg membahas

al-Munâdâ secara umum dalam al-Qur‟an Surat Âli „Imrân, Al-Nisâ` dan Al-

Mâ`idah saja, kemudian skripsi karya Ishlahul Mufid yang membahas tentang

nidâ` dan makna-maknanya dalam surat al-Mâ`idah saja, dan skripsi karya Gina

Amalia yang membahas tentang seruan yâ ayyuhannâs dan yâ Ayyuhalladzîna

âmanû dalam Al-Qur‟an.


23
Taufiqurrohman Fauzi, “Nidâ` Terhadap Para Nabi dalam Al-Qur‟an; Studi Komparatif
dalam Kitab al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Jalaluddin al-Suyûtî dan al-Burhân fî „Ulûm al-
Qur‟an karya Badruddin al-Zarkashî,” (Tesis S2 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016).
24
Umar Sulaiman al-Asyqar, Rasul dan Risalah dalam al-Qur‟an dan Hadis. Penerjemah
Munir F. (Riyadh: International Islamic Publishing House, 2008).
11

G. Metode Penelitian

Metode merupakan suatu cara yang digunakan dalam rangka mencapai

tujuan. Maka metode itu ada beberapa banyak cara. Maka pada bagian ini akan

dijelaskan mengenai metode yang dilakukan dalam penelitian dan juga proses

yang dilalui dalam penelitian tersebut. Penelitian adalah usaha untuk menemukan.

mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan

dengan menggunakan metode ilmiah.25

Penelitian mengenai “Redaksi Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-

Nabiy dalam al-Qur‟an” ini, menggunakan penelitian maudhû`i. Metode yang

dikerangkakan oleh Abd al-Hayy al-Farmâwî (w. 2017 M). Metode maudû`i yaitu

suatu metode mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tema yang

sama, kemudian dianalisis satu-persatu terhadap isi kandungannya berdasarkan

cara-cara tertentu, untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-

unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan

korelasi yang bersifat komprehensif. Sehingga dapat menyajikan tema secara utuh

dan dapat mengambil pemahaman penutup secara sempurna.26

Adapun langkah-langkah yang di lakukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitan dalam skripsi ini menggunakan jenis penelitian

kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang pengumpulan

datanya dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literatur.

Surnber-sumber penelitian tidak terbatas pada buku-buku ataupun kitab

25
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), Jilid 1, h. 4.
26
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama,” Analisis, vol. xvi no. 1 (Juni, 2016): h. 136
12

saja, tetapi bisa berupa bahan-bahan dokumentasi, skripsi, tesis, majalah,

jurnal, maupun artikel-artikel. Penekanan penelitian kepustakaan adalah

ingin menemukan berbagai teori, dalil, hukum, pendapat, gagasan dan

lain-lain, yang bisa dipakai untuk menganalisis, dan memecahkan masalah

yang diteliti. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-

bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.27

2. Surnber Data

Peneliti menggunakan dua surnber data, yaitu data primer dan

sekunder. Sebagai data Primer, penulis menggunakan kitab al-Tafsîr al-

Munîr karya Wahbah al-Zuhailî. Kemudian Sumber sekunder yaitu, buku-

buku, artikel, skripsi, tesis, dan lainnya yang relevan serta berkaitan.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data untuk mendapatkan segala data yang

diperlukan dalam skripsi ini maka metode yang akan dilakukan dalam

pengolahan data, penulis merujuk kepada metode Abd al-Hayy al

Farmâwî, yaitu dengan melakukan modifikasi.28 Berupa menetapkan topik

yang akan dibahas, dalam hal ini yakni redaksi yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan

yâ Ayyhuhâ al-Nabiy dalam Al Qur‟an. Kemudian menghimpun ayat-ayat

yang mengandung yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ Ayyhuhâ al-Nabiy,

mencari asbâb al-Nuzûl dari ayat tersebut, menyusun pembahasan dalam

kerangka yang sempurna, melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis

yang relevan dengan pokok pembahasan, mempelajari ayat-ayat tersebut


27
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, cet. 3, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h. 1-2.
28
„Abd al-Hayy al-Farmâwî, Metode Tafsir Maudhu‟iy dan Cara Penghimpunannya.
penerjemah Abdul Jalil (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 45-46.
13

secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang

mempunyai pengertian sama atau mengkompromikan ayat-ayat umum dan

khusus.

4. Metode Analisis Data

Teknik analisis data ini pada dasarnya merupakan penguraian data

melalui tahapan, kategori dan klasifikasi, perbadingan, dan pecarian

hubungan antara data yang secara spesifik. Data diseleksi dan

dikumpulkan, kemudian diklasifikasikan menurut kategori tertentu.29 Data

yang telah terkumpul kemudian dianalisis, yaitu melakukan analisis

terhadap makna yang terkandung dalam suatu ayat dalam al-Qur‟an.

Dalam hal ini permasalahan di analisis di dalam al-Qur'an berupa ayat-ayat

yang mengandung lafadz yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy

kemudian juga dianalisis dengan bantuan sumber-sumber lain yang sesuai.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini, penulis menyusunnya

kedalam 5 sub bab. Yaitu:

Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini berisikan latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian,

manfaat dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua adalah bab seputar kehidupan Wahbah al-Zuhailî dan profil

kitabnya. Pada bab ini berisikan biografi dan intelektualitas Wahbah al-Zuhailî,

29
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 49.
14

karya-karya Wahbah al-Zuhaili, pemikiran Wahbah al-Zuhaili, dan seputar kitab

al-Tafsîr al-Munîr fi al-„Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj.

Bab ketiga adalah bab tinjauan tentang yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ Ayyhuhâ

al-Nabiy. Pada bab ini, berisikan tinjauan lafadz yâ ayyhuhâ, definisi nabi dan

rasul, arti ke-ma‟sum-an nabi dan rasul, dan terakhir ayat-ayat yâ ayyhuhâ al-

Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an.

Bab keempat adalah bab penafsiran ayat-ayat yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ

ayyhuhâ al-Nabiy. Pada bab ini berisikan tentang penggunaan panggilan yâ

ayyhuhâ al-Rasûl dan ayyuhā al-Nabiy, analisis penafsiran, persamaan dan

perbedaan penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy,

kemudian maksud serta tujuan penggunaan panggilan yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ

ayyuhâ al-Nabiy.

Bab kelima adalah bab Penutup. Pada bab ini berisikan kesimpulan dan

saran. Kesimpulan merupakan hasil penelitian yang di paparkan secara singkat

dari hasil penelitian. Saran atau rekomendasi berupa hal konkret dan merupakan

hasil analisis yang telah dikemukakan dalam pembahasan.


BAB II

SEPUTAR KEHIDUPAN WAHBAH Al-ZUHAILÎ DAN PROFIL

KITAB TAFSIRNYA

Sepeninggal nabi Muhammad saw. tradisi penafsiran tidak mengalami

stagnasi, bahkan kian menunjukkan geliat yang kuat di tangan para sahabat,

khususnya Abdullah bin Abbas. Kemudian bergulir terus hingga ke generasi pasca

sahabat (tabi‟in dan seterusnya) dengan ditandai menjamurnya kitab tafsir yang di

produksi dan tersebar ke berbagai penjuru duia Islam.1

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat dikenal dengan tafsir bi

al-Ma’tsûr. Tafsir ini mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara

ini kemudian dikenal dengan sebuah metode penafsiran al-Qur‟an yang disebut

dengan metode riwâyah. Selain itu, metode yang digunakan pada masa itu adalah

bi al-Ra’yi yang mendasari sumbernya pada penalaran dan ijtihad.2

Salah satu penafsir kontemporer yang mencoba memadukan kedua sumber

penafsiran tersebut adalah al-Tafsîr al-Munîr karya Wahbah al-Zuhailî. Penafsiran

tersebut mendekati sari kandungan al-Quran, dari sudut tafsir klasik yang banyak

menjadikan al-Ma’tsûr sebagai sumbernya dan dari sudut modern serta

kontemporer yang banyak menjadikan ra’yu sebagai sumbernya.3

1
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 268
2
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,” Mutawatir, vol. 1 no. 2
(Desember 2012): h. 142
3
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,” h. 143

15
16

Pembahasan mengenai biografi Wahbah Al-Zuhailî dan profil kitabnya

sudah banyak dibahas dalam karya-karya ilmiah sebelumnya, namun alasan

penulis mengangkat kembali serta menjadikannya sub bab, karena masih ada hal-

hal yang kurang di karya-karya ilmiah sebelumnya yang telah penlulis baca.

Seperti tahun wafatnya beliau, sistematika penafsiran dalam kitab aslinya,

pengelompokan karya-karya kitab sesuai jenis ilmunya dan ulama-ulama yang

mepengaruhi penafsiran beliau. Oleh sebab itu, pada bab ini penulis mencoba

mengupas kitab al-Tafsîr al-Munîr dengan terlebih dahulu menelusuri secara

singkat biografi kehidupan penulis, perjalanan intelektualnya dan metode dalam

kitab tafsirnya serta pembahasan yang menurut penulis belum ditemukan di karya-

karya ilmiah sebelumnya.

A. Biografi dan Intelektualitas Wahbah Al-Zuhailî

1. Riwayat Hidup

Nama lengkap al-Zuhailî adalah Wahbah bin Syaikh Musṯafâ al-Zuhailî.

Beliau dilahirkan di daerah Dair „Athiyah, Syiria pada 6 Maret 1932 M/1351

H.4 Julukan al-Zuhailî adalah nisbat dari kota Zahlah salah satu nama daerah

tempat leluhurnya tinggal di Lebanon. Ayahnya bernama Musṯafâ al-Zuhailî

yang merupakan seorang yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya.

Ibunya bemama Fâtimah binti Musṯafâ Sa'dah, dikenal dengan sosok yang kuat

berpegang teguh pada ajaran agama.5

4
A. Husnul Hakim Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab Tafir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an, 2013), h. 227.
5
Mohammad Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2015), h. 91.
17

Wahbah al-Zuhailî adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain

terkenal di bidang fikih beliau juga seorang ahii tafsir. Hampir dan seluruh

waktunya semata-mata hanya difokuskan untuk mengembangkan bidang

keilmuan. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke-20 yang sejajar dengan

tokoh-tokoh lainya. seperti Tâhir ibn „Âsyûr (w. 1973 M), Sa‟id Hawwa (w.

1989 M), Sayyid Qutb (w. 1966 M), Muhammad abû Zahrah (w. 1974 M), dan

Mahmud Syaltût (w. 1963 M).6

Meski bapaknya hanya seorang petani, namun beliau memiliki cita-cita

yang tinggi dan semangat yang kuat dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.

Sehingga di daerah Syam, beliau sangat dikenal, baik sebagai ulama maupun

cendekiawan muslim. Beliaupun juga seorang hafizh al-Qur‟an.7

Wahbah al-Zuhailî menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 8 Agustus

2015 M. Dunia Islam berdukacita karena kehilangan seorang ulama kontemporer

panutan dunia. Wahbah al-Zuhailîi berpulang ke rahmatullâh pada usia 83 tahun.8

2. Pendidikan

Wahbah kecil adalah anak yang cerdas. Kecenderungan untuk menjadi

ulama besar sudah terlihat sejak dini. ltu sebabnya, sang ayah mendorongnya

untuk menimba ilmu setinggi-tingginya. Selain itu, latar belakang keluarga dari

6
Lisa Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah Al-Zuhailî,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2010), h. 18.
7
Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 227.
8
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama,” Analisis, vol. xvi no. 1 (Juni, 2016): h. 130
18

kalangan petani dan pedagang menjadi motivasi tersendiri. Wahbah lebih

condong ke dunia akademis ketimbang melanjutkan tradisi keluarganya.9

Wahbah al-Zuhailî mendapat pendidikan dasar di desanya. Pada tahun


10
1946 M. Selanjutnya Wahbah al-Zuhailî melanjutkan jenjang sekolah

menengah atas atau tingkat tsanawiyyah pada tingkat persiapan Fakultas

Syari'ah di Damaskus selama enam tahun dan mencapai nilai imtiyaz sekaligus

menjadi yang pertama sebagai pelajar sekolah menengah atas negeri pada

tahun 1952 M, bersamaan dengan itu dia juga memperoleh pengakuan pada

kelas menengah atas jurusan sastra. Pada tingkat mahasiswa setelah mengikuti

perkuliahan pada Fakultas Syari'ah di Universitas al-Azhar, dia memperoleh

ijazah sarjana (baca: License; Lc) pada tahun 1956 M, di tempat yang sama

juga menerima ijazah belajar khusus pada Fakultas Bahasa Arab, sehingga

ijazah internasional yang diterimanya sekaligus dengan ijazah belajarnya.

Sementara pada saat belajar di Universitas a1-Azhar beliau juga mengikuti

perkuliahan di Universitas Ain al-Syams, Fakultas Hukum hingga selesai dan

menerima ijazah sarjana dengan predikat jayyid pada tahun1957 M. Dan

memperoleh ijazah sarjana magister kelas diploma institut ilmu syari'at dari

Fakultas Ilmu Hukum di Universitas Kairo pada tahun 1959 M.11

Tidak puas sampai gelar magister, Wahbah pun melanjutkan pendidikan

S3 nya di Universitas al-Azhar. Pada 20 Ramadhan 132 H/ 13 Februari 1963M,

Wahbah lulus S3 dengan judul disertasi Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami;

9
Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, h. 91.
10
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 163.
11
Muhammad Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî,” Al-
Munzir, vol. 7 no. 2 (November, 2014): h. 44.
19

Dirasah Muqaranah di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.

Beliau berhasil mempertahankan disertasi di hadapan majelis sidang pada saat

itu yang terdiri atas ulama terkenal, seperti Syekh Muhammad Abû Zahrah,

dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi pada saat itu).

Majelis sidang sepakat untuk menganugrahkan Wahbah dengan predikat

Summa Cumlaude (Syaraf Ula), dan disertasinya direkomendasikan untuk

layak cetak serta dikirim ke universitas-universitas luar negeri.12

3. Guru dan Murid


Kebesaran nama Syekh Wahbah al-Zuhailî tak lepas dari peran para guru

yang telah mendidiknya, ketika Wahbah al-Zuhailî menimba ilmu. Di antara

guru-guru al-Zuhailî dalam bidang fiqh seperti; „Abd al-Razzâq al-Hamasi (w.

1969 M), dan Muhammad Hasyim al-Khatib as-Syafi‟i, (w. 1958 M). Dalam

bidang Ilmu Hadis, ia belajar dari Mahmud Yassin (w. 1948 M), dalam bidang

Tafsir dan Ilmu Tafsir, ia berguru dengan Syaikh Hasan Jankah dan Syaikh

Sadîq Jankah al-Maidani. Ilmu Bahasa Arab didapatkannya dari Muhammad

Salih Farfur (w. 1986 M).13

Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abû Zahrah

(w. 1395 H), Mahmud Syaltut (w. 1963 M), Abdul Rahman Tajj, Isa Manun,

„Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M), Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M),

Syekh Abdul Ghanî Abdul Khâliq (w. 1983 M), Syekh Musṯafâ Abdul Khâliq,

Syekh Mahmud Abdud Da‟im, Syekh Utsmân al-Maraziqi, Syekh Hasan

Wahdan, Syekh Musṯafâ Mujahid, Syekh Muhammad „Ali al-Za‟bi, Syekh

12
Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, h. 93.
13
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 130.
20

Muhammad al-Banna (w. 1949), Syekh Muhammad al-Zafzaf, Syekh Faraj al-

Sanhuri, dan Syekh Muhammad Hafizh Ghunaim.14

Adapun di antara murid-muridnya adalah Muhammad Faruq Hamdan,

Muhammad Na‟im Yasin, „Abdul al-Satar Abu Ghadah, „Abd al-Latif Farfur,

Muhammad Abû Lail, dan termasuk putranya sendiri, Muhammad al-Zuhailî,

serta masih banyak lagi murid-muridnya ketika ia mengajar sebagai dosen di

Fakultas Syari‟ah dan perguruan tinggi lainnya.15

4. Pemikiran dan Karya-karyanya

Dalam masalah teologis, al-Zuhailî cenderung mengikuti faham ahlu

Sunnah dan mazhab salafî, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang

menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Dalam hal mazhab fikih, beliau

menganut mazhab fikih Imam Hanafî, karena beliau dibesarkan di kalangan-

kalang ulama-ulama bermazhab Hanafî, yang membentuk pemikirannya dalam

mazhab fikih. Walaupun beliau menganut mazhab Hanafî, akan tetapi beliau

tidak fanatik dan dapat menghargai pendapat-pendapat mazhab lain.16

Pemikiran Wahbah al-Zuhailî juga dapat terlihat dalam penafsirannya,

yaitu dalam kitab tafsir al-Munîr dimana tafsir ini bercorak fikih. Kecerdasan

Wahbah al-Zuhailî telah dibuktikan dengan kesuksesan akademisnya, hingga

banyak lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang dipimpinnya.

Selain keterlibatannya pada sektor kelembagaan baik pendidikan maupun sosial

beliau juga memiliki perhatian besar terhadap berbagai disiplin keilmuan, hal ini

dibuktikan dengan keaktifan beliau dan produktif dalam menghasilkan karya-


14
Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, h. 94.
15
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 131.
16
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir, h. 167-168.
21

karyanya, meskipun karyanya banyak dalam bidang tafsir dan fikih akan tetapi

dalam penyampaiannya memiliki relevansi terhadap paradigma masyarakat dan

perkembangan sains.17

Wahbah al-Zuhailî menulis buku dan artikel dalam berbagai keilmuan

Islam. Karya-karyanya yang dikemas dalam bentuk buku melebihi 133 buah

dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih dari 500
18
makalah. Dan diantara karya-karya Wahbah al-Zuhailî adalah sebagai

berikut:

a. Bidang Tafsir dan Ilmu al-Qur‟an

Selain kitab al-Tafsîr al-Munîr yang terdiri dari 17 jilid, karyanya

yang lain adalah Tafsir al-Wajîz, hanya menjelaskan sebagian dari ayat al-

Qur‟an secara umum, tidak membuat pembahasan yang panjang, yang

menurut Wahbah al-Zuhailî sulit untuk dipahami oleh masyarakat awam.

Akan tetapi beliau tetap mencantumkan asbab al-nuzûl ayat sehingga

sangat membantu untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam

sebuah ayat. Penjelasannya ditulis dalam bentuk catatan pinggir saja.19

Kemudian Tafsir al-Wasît, tafsir ini terdiri atas 3 jilid. Tafsir ini

menjelaskan dan mengungkapkan makna-makna al-Qur‟an secara ringkas

agar mudah dipahami dan kemudian dapat di realisasikan dalam

kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. 20 Adapun karya dalam ilmu al-

17
Sadiani Abdul Khair, “Analisis Kritis Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang Penetapan
Talak,” Fenomena, vol. 8 no. 2 (2016): h. 147.
18
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 165.
19
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 132.
20
Al-Zuhailî, Tafsir Wasith, jilid 1, h. 6.
22

Qur‟an diantaranya seperti: Al-Qiyâm al-Insaniyyah fi al-Qur'an al-Karîm

dan Al-I’jaz al ‘Ilmi fi al-Qur'an al-Karîm.

b. Bidang al-Sunnah al-Nabawiy dan Ulûm-nya

Dalam bidang al-Sunnah al-Nabawiy dan Ulumnya, ia menulis al-

Sunnah al-Nabawiyyah al-Syarifah, Hakîkatuh wa Makânatuh 'inda al-

Muslimîn dan Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyyah.21

c. Bidang al-Fiqh dan Ushulu al-Fiqh

Dalam bidang al-Fiqh dan Ushul Fiqh, yaitu: al-Fiqh al-Islamy wa

Adillatuh (8 Jilid), Ushûl al-Fiqh al-Islâmi (2 Jilid), Al-Usâs wa al-

Masâdir al-Ijtihâdiyyat al-Musytarikat baina al-Sunnah wa al-Syi'at, Al-

Wasâyâ wa al-Waqaf fi al-Fiqh al-Islâmi, Nuqath al- Iltiqa'u baian al-

Madzâhib al-Islamiyyat, dan Al-Mas'uliyyat al-Jinaiyyat li Maradh al-Jins

wa al-Idz.22

d. Bidang al-Aqidah al-Islamiyat

Dalam bidang al-Aqidah al-Islamiyat, yakni: al-Iman bi al-Qadha'

wa al-Qadr, Ushûl Muqâran al-Adyan, dan Al-Bid'a al-Munkar.23

Dan masih banyak lagi karya-karya dari Wahbah al-Zuhailî yang

berbentuk buku yang sudah dicetak dan tersebar di kalangan akademisi, bahkan

sudah dipublikasikan serta di kirim ke universitas-universitas di berbagai

negara.

21
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 47.
22
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 48.
23
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 48.
23

B. Latar Belakang dan Tujuan Penulisan al-Tafsîr al-Munîr

Penulisan al tafsîr al-Munîr dilatarbelakangi oleh pengabdian Wahbah al-

Zuhailî pada ilmu pengetahuan, khususnya ilmu keislaman, dengan tujuan

menghubungkan orang muslim dengan al-Qur‟an berdasarkan hubungan logis

yang erat. Karena al-Qur‟an merupakan undang-undang kehidupan manusia baik

yang bersifat khusus ataupun umum. Wahbah menyarankan kepada seluruh

manusia untuk berpegang teguh kepada al-Qur‟an secara ilmiah.24

Penyusunan tafsir ini pada tahun 1408 H, yang dimulai dari surat al-Fâtihah

sampai surat al-Nâs dalam rentang waktu 16 tahun, setelah selesai menulis dua

buku lainnya, yaitu Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islâm wa

Adillatuh (8 Jilid). Kemudian kitab ini, diterbitkan pertama kali oleh Dâr al-Fikr,

Beirut-Libanon dan Dâr al-Fikr Damshiq Suriah pada tahun 1991 M/1411 H,

dengan berbahasa Arab yang terdiri dari 16 jilid.25

Kata al-Munîr yang merupakan isim fâ’il dari kata nâra (dari kata nûr:

cahaya) yang berarti yang menerangi atau yang menyinari. Sesuai namanya,

Wahbah Zuhailî bermaksud menamai kitab tafsir ini dengan nama Tafsir al-Munîr

adalah beliau berkeinginan supaya kitab tafsirnya ini, dapat menyinari orang yang

mempelajarinya, dapat menerangi orang yang membacanya, dan dapat

memberikan pencerahan bagi siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan

dalam memahami makna kandungan ayat-ayat al-Quran dalam kitab tafsirnya

ini.26

24
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fī al-‘Aqîdah wa al-Sharî‘ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2009), jilid 1, h. 6.
25
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî,” h. 146.
26
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 133.
24

Adapun Tujuan utama penyusunan tafsir ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Wahbah al-Zuhailî pada bagian kata pengantar, adalah sebagai berikut:

“Tujuan utama saya dalam menyususn kitab ini adalah menciptakan ikatan
ilmiah yang erat antara seorang muslim dengan Kitabullah „Azza wa Jalla.
Sebab al-Qur‟an yang mulia merupakan konstitusi kehidupan umat manusia
secara umum dan khusus, bagi seluruh manusia dan bagi kaum muslimin
secara khusus.”27
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan tafsir al-

Munîr ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir

kontemporer, karena menurut Wahbah al-Zuhailî banyak orang yang

menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap

problematika kontemporer, sedangkan para mufasir kontemporer banyak

melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih

pembaharuan. Seperti penafsiran al-Qur‟an yang dilakukan oleh beberapa

mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik

harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten

sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.28

C. Telaah al-Tafsîr al-Munîr

Tafsir al-Munîr bukanlah sekedar kutipan dan kesimpulan dari beberapa

tafsir. Ini tafsir yang ditulisnya dengan dasar selektifitas yang lebih shahih,

bermanfaat dan mendekati ruh (inti sari) al-Qur‟an, baik dari tafsir klasik maupun

modern dan tafsir bi al-Ma`tsûr ataupun bi al-Ra’yi. Di dalamnya juga

27
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, Jilid 1, h. 9.
28
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 167.
25

diupayakan menghindari perbedaan teori atau pandangan teologi yang tidak

dibutuhkan dan tidak berfaedah.29

Sumber tafsirnya merupakan gabungan corak tafsir bi al-Ma`tsûr dan bi al-

Ra’yi, uslûb, pemikiran, topiknya bersifat kekinian, redaksinya mudah,

ungkapannya jelas, pendekatan makna dan akidahnya untuk konsumsi generasi

modern, disertai dengan teori-teori ilmiah yang konsisten dan benar. Adapun

gambaran dari al tafsîr al-Munîr itu sendiri yaitu:

1. Jenis (Naw’u) al-Tafsîr

Para mufassir kontemporer mencoba memilah-milih kajian tafsir. Dari

perspektif sumber materi yang digunakan mufassir selama ini, tafsir dibagi

menjadi dua; tafsîr bi al-Ma`tsûr (riwayat) dan tafsîr bi al-Ra`yi.30 Kedua tafsir

ini juga dikenal dengan nama tafsîr bi al-Riwâyah dan tafsîr bi al-Dirâyah.

Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini

adalah Tafsir al-Munîr, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam

tafsir tersebut. Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir, maka tafsir ini

lebih cocok diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi al-Ma`tsûr dan

tafsir bi al-Ra`yi. Ini didasarkan kepada corak penafsiran yang ditempuh

penulis dengan cara menggabungkan antara penafsiran bi al-Ma`tsûr dan bi al-

29
Suryadi, “Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang Pendistribusian Zakat Pada
Ashnaf Gharimin Sebagai Ibra‟,” (Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2012), h. 23.
30
Yang dimaksud dengan Ra`yu di sini adalah sebuah ijtihad yang dibangun di atas dasar-
dasar dan kaidah yang benar dengan tujuan menjelaskan makna-makna al-Qur‟an. Ijtihad ini bukan
melainkan ijtihad yang sesuai dengan syariat Islam, tidak membodohkan dan menyesatkan, sejalan
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan memahami ushlub-ushlub (stilistika) teks al-Qur‟an. Lihat
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-Qur’an, (Jakarta:
Al-Ghazali Center, 2010), jilid 2, h. 413.
26

Ra`yi dengan mendasarkan kepada sumber yang valid dari kitab tafsir klasik

dan modern.31

2. Lawn al-Tafsîr

Lawn al-Tafsîr atau corak tafsir biasanya dikategorikan para ahli dengan

lughâwi, falsâfi, fiqhi, ‘ilmi, isyâri/shufi, dan adâbi-ijtima’i. Dengan melihat

dari penafsiran yang digunakan oleh al-Zuhailî dalam kitab tafsirnya ini, bisa

dikatakan bahwa corak tafsir yang digunakan adalah corak kesastraan (adâbi)

dan sosial kemasyarakatan (al-Ijtimâ’i) serta adanya nuansa yurisprudensial

(fiqh). Hal ini terutama ditunjuan dengan adanya penjelaskan fiqh kehidupan

(fiqh al-hayat) atau hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat

dilihat karena memang al-Zuhailî sendiri sangat terkenal keahliannya dalam

bidang fiqh dengan karya monumentalnya al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu.

Sehingga, bisa dikatakan corak penafsiran Tafsir al-Munîr adalah keselarasan

antara Adâbi Ijtimâ’i dan nuansa fiqhnya atau penekanan ijtimâ‟inya lebih ke

nuansa fikih.32

3. Metode al-Tafsîr

Menurut „Abd al-Hayy al-Farmawi, terdapat empat metode dalam

menafsirkan al-Qur‟an; tahlîli, ijmâli, muqâran, dan maudû’i. Pertama, Metode

tafsir tahlîli yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti

semua aspeknya, dimulai dari uraian makna kosakata, kalimat, kaitan antar

pemisah (munâsabah), sampai sisi-sisi keterkaitan antar pemisah itu dengan

bantuan asbâb al-nuzûl, serta mengikuti prosedur susunan tartib mushafi

dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya.

31
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 8.
32
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munîr,” h. 137-138.
27

Kedua, Metode tafsir Ijmâli yaitu cara menafsirkan al-Qur‟an secara

global, berdasarkan susunan (urutan) mushaf al-Qur‟an, dengan tujuan

menjelaskan makna-makna al-Qur‟an dengan uraian singkat dan bahasa yang

mudah dimengerti serta dipahami semua orang.

Ketiga, metode tafsir muqâran yaitu cara menafsirkan al-Qur‟an dengan

membandingkan ayat-ayat al-Quran yang berbicara pada tema-tema tertentu,

seperti redaksi yang berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-

ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan

atau juga membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadis-hadis nabi, yang

selintas tampak kontradiktif dengan al-Qur‟an.

Keempat, metode tafsir maudû’i yaitu cara menafsirkan al-Qur‟an dengan

mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan tema yang sama,

kemudian dianalisis satu-persatu terhadap isi kandungannya berdasarkan cara-

cara tertentu, untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-

unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain

dengan korelasi yang bersifat komprehensif. Sehingga dapat menyajikan tema

secara utuh dan dapat mengambil pemahaman Penutup secara sempurna.33

Wahbah al-Zuhailî dalam kitab tafsir al-Munîr ini, menggunakan metode

tafsir tahlîli, yaitu menafsirkan ayat-ayat secara luas dari berbagai segi dengan

cara menganalisisnya mulai dari surat al-Fâtihah dilanjutkan dengan surat-

surat berikutnya sesuai urutan-urutan mushaf, sehingga berakhir ketika

menafsirkan ayat terakhir yaitu surat al-Nâs dan menafsirkan ayat-ayat al-

33
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munîr,” h. 135-136.
‫‪28‬‬

‫‪Qur‟an secara rinci serta panjang lebar. Contoh penafsiran Wahbah al-Zuhailî‬‬

‫‪dalam surat al-Ikhlâs ayat 1:‬‬

‫اَّللُ أ َ‬
‫َحد‬ ‫قُ ْل ُى َو ه‬

‫و(اَّللُ)‪ :‬مبتدأ اثن‪،‬‬


‫َحد ) ُى َو ‪:‬ضمري الشأن واحلديث‪ ،‬مبتدأ‪ ،‬ه‬ ‫اإلعراب‪ ( :‬قُ ْل ُى َو ه‬
‫اَّللُ أ َ‬
‫َحد)‪ :‬خرب املبتدأ الثاين‪ ،‬واجلملة منهما خرب املبتدأ األول‪ ،‬وال حاجة لعائد يعود على املبتدأ‬
‫و(أ َ‬
‫األول ألن ضمري الشأن إذا وقع مبتدأ‪ ،‬مل يعد من اجلملة اليت وقعت خربا عنو ضمري ألن اجلملة‬
‫بعده وقعت مفسرة لو‪ ،‬بدليل أنو ال جيوز تقدميها عليو‪.‬‬

‫البالغة‪ :‬قُ ْل‪ُ :‬ى َو ذكر االسم اجلليل بضمري الشأن للتعظيم واإلجالل‪.‬‬

‫املفردات اللغوية‪ :‬أ َ‬


‫َحد أي واحد يف ذاتو‪ ،‬مل يرتكب من جواىر مادية وال من أصول غري مادية‪،‬‬
‫وىو أيضا وصف ابلوحدانية ونفي الشركاء‪.‬‬

‫َحد أي قل أيها الرسول ملن سألك عن صفة ربك ونسبتو‪ :‬ىو‬ ‫التفسري والبيان‪ :‬قُ ْل‪ُ :‬ى َو ه‬
‫اَّللُ أ َ‬
‫اَّلل أحد‪ ،‬أي واحد يف ذاتو وصفاتو‪ ،‬ال شريك لو‪ ،‬وال نظري وال عديل‪ .‬وىذا وصف ابلوحدانية‬
‫ه‬
‫وتقرون أبنو خالق السموات واألرض وخالقكم‪،‬‬
‫اَّلل الذي تعرفونو ّ‬
‫ونفي الشركاء‪ .‬واملعىن‪ :‬ىو ه‬
‫وىو واحد متوحد ابأللوىية‪ ،‬ال يشارك فيها‪ .‬وىذا نفي لتعدد الذات‪.‬‬

‫فقه احلياة أو األحكام‪ :‬تضمنت ىذه السورة املوجزة إثباات ونفيا يف آن واحد‪ .‬فقد أابنت أن‬
‫اَّلل تعاىل واحد يف ذاتو وحقيقتو‪ ،‬منزه عن مجيع أحناء الرتكيب‪ ،‬ونفت عنو كل أنواع الكثرة‬
‫ه‬
‫‪34‬‬
‫َحد‪.‬‬
‫اَّللُ أ َ‬
‫بقولو‪ :‬ه‬
‫‪Contoh di atas menunjukkan bahwa metode penafsiran Wahbah al-‬‬

‫‪Zuhailî termasuk dalam kategori tafsir tahlîli. Ayat di atas ditafsirkan oleh‬‬

‫‪Wahbah al-Zuhailî dengan panjang lebar dan terperinci. Dalam menafsirkan‬‬

‫‪suatu ayat, beliau menuliskan „irobnya terlebih dahulu, kemudian balâghahnya,‬‬

‫‪34‬‬
‫‪Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, Jilid 15, h. 867-870.‬‬
29

kosa-kata bahasanya, asbâb al-Nuzûl, penjelasan/isi kandungan ayatnya,

sampai pada penjelasan tentang fikih kehidupannya.

Adapun kerangka pembahasan atau sistematika pembahasan dalam

tafsirnya ini, al-Zuhailî menjelaskan dalam pengantarnya, sebagai berikut:

a. Mengklasifikasikan ayat al-Qur‟an ke dalam satu topik pembahasan dan

memberikan judul yang cocok.

b. Menjelaskan kandungan setiap surat secara global.

c. Menjelaskan aspek kebahasaan.

d. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat dalam riwayat yang paling sahih

dan mengesampingkan riwayat yang lemah jika ada, serta menjelaskan

kisah-kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang hendak ditafsirkan.

e. Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci.

f. Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah

ditafsirkan.

g. Membahas balâghah (retorika) dan i’rab (sintaksis) ayat-ayat yang hendak

ditafsirkan.35

4. Pengaruh Ulama dalam Penafsiran Tafsir al-Munîr

Tafsir al-Munir ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh mufassîr

sebelumnya. Seperti ketika Wahbah al-Zuhailî dalam menafsirkan yang

berkaitan dengan aqiddah, kenabian, akhlak dan nasihat-nasihat, itu

dipengaruhi oleh al-Râzî dalam tafsirnya, al-Tafsîr al-Kabîr, Abî Hayyân al-

35
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 9.
30

Andalusî dalam kitab al-Tafsîr al-Muhît, al-Alûsî dalam kitab rûh al-Ma’ânî,

dan al-Zamakhsyarî dalam kitab al-Kasyâf.36

Adapun dalam penjelasan kisah-kisah dalam al-Qur‟an dan sejarah

terpengaruh oleh tafsir al-khâzin dan tafsir al-Baghawî. Kemudian penjelasan

hukum-hukum fiqih, terpengaruh oleh tafsir al-Qurtubî, Ibn Katsîr, al-Jasâs dan

Ibn al-„Arâbî. Dalam penafsiran yang berkitan dengan lughâwî, terpengaruh

oleh al-Zamakhsyarî, Abî Hayyân. Dalam ilmu Qirâ`at beliau terpengaruh

dengan al-Nasafî, Abî Hayyân, Ibn al-Anbâri, Ibn al-Jazurî dalam kitabnya al-

Nasyru fî al-Qirâ`at al-‘Asyr. Terakhir, yang mempengaruhi dalam ilmu-ilmu

yang berkaitan dengan saintis, yaitu seperti Tantâwî Jauharî dalam karyanya

al-Jawâhir fî tafsîr al-Qur`ân al-Karîm.37

Wahbah al-Zuhailî merupakan seorang ulama besar yang menulis kitab

tafsir al-Munîr. Metode penafsiran dalam kitab ini yaitu metode tahlîli dan

bercorak fiqh. Tafsir al-Munîr sendiri merupakan produk era modern yang

dihasilkan dengan menawarkan sebuah sistem penulisan yang sederhana dan pola

susunan redaksi kalimat yang mudah dipahami dengan mempertahankan

konsistensi serta pemaparan masalah yang sistematis dalam lingkup tema

pembahasan yang diurai dengan kemampuan dan kapabilitas pengetahuan penulis.

Dimulai dengan menuliskan ayat ayat bahasan dengan tema sentral, kemudian

mengurai ayat dalam bentuk klausa dan frase yang dianggap penting pada sub

judul i’rab, balâghah, mufradât lughâwi, menjelaskan asbâb al-nuzûl ayat, tafsir

dan bayân dan fiqh al-Hayât (konsep hidup) atau hukum.

36
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 13.
37
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 13-14.
BAB III
TINJAUAN TENTANG YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ
AYYUHÂ AL-NABIY

Redaksi yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an

yang menjadi objek penelitian ini, tidak terlepas dari huruf-huruf ataupun lafadz-

lafadz yang merangkainya. Jika diteliti secara detail, lafaz tersebut terdiri atas

nidâ` (Panggilan), dan munâdâ (nama yang dipanggil atau lawan bicara). Dengan

demikian peneliti mencoba untuk menelusuri secara mendalam tentang nidâ` itu

sendiri. Kemudian peneliti juga mencari dan mencoba memahami tentang lafaz al-

Rasûl dan al-Nabiy mulai dari definisi sampai pada perbedaan dari keduanya.

A. Tinjauan Lafaz

Tinjauan lafaz di sini, yaitu berkaitan tentang lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl dan

yâ ayyuhâ al-Nabiy. Di mana lafaz tersebut tersusun atas nidâ` (Panggilan), dan

munâdâ. Untuk mengetahui lebih lanjut apa itu nidâ` dan munâdâ, lalu apa saja

huruf-huruf nidâ` serta apa pengaruh terhadap lafaz al-Rasûl dan al-Nabiy, di sini

penulis mencoba menjelaskan perihal tersebut.

1. Nidâ` (panggilan)

Secara etimologi, nidâ` adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu

nâdâ -yunâdî – nidâ`an, berarti: berteriak (‫(صاح‬, memanggil, dan mengundang

(‫)صاح بو‬ seperti : ‫ََن َدى الرجل‬ (dia memanggil orang itu).1 Pemaknaan ‫ََن َدى‬
dengan beberapa arti ini sebab pemanggil biasanya berteriak untuk mengajak,

memberi informasi, memerintah, atau minta tolong. Berdasarkan makna

1
Luis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: al-Kaysiyyah al-Abai al-Syuyu‟in, 1931), h.
867.

31
32

gramatikal, kata ‫ ََن َدى‬mempunyai arti banyak sesuai penggunaan kata itu dalam

konteks kalimat dan hubungannya dalam intra bahasa sebagai akibat

berfungsinya dalam kalimat itu. Term ‫ نَادَى‬juga berarti mengumumkan seperti:

‫ََن َدى ابالمر‬ ‫ََن َدى سره‬


(dia mengumumkan perkara itu), menampakkan seperti:

(dia menampakkan rahasinya), melihat dan mengetahui seperti: ‫( ََن َدى الشئ‬dia

mengetahui dan melihat sesuatu itu).2

Sedangkan pengertian nidâ` menurut istilah adalah setiap lafaz atau ayat

yang struktur bahasanya tersusun dari huruf nidâ` dan munâdâ (nama yang

dipanggil atau lawan bicara). Menurut Abbâs Hasan nidâ` diartikan sebagai

instruksi dakwah terhadap lawan bicara, sekaligus memberikan peringatan

supaya mendengarkan maksud dari pembicara, dengan menggunakan salah

satu huruf nidâ` sebagai alat pemanggil. Pengertian kedua menurut Abbâs

Hasan adalah, permintaan mengabulkan sesuatu yang diucapkan dengan huruf

nidâ‟ ‫ َي‬atau yang lainnya.3

2. Huruf-huruf Nidâ`

Huruf-huruf nidâ`, berjumlah delapan huruf. Yaitu: ‫( ي‬yâ), ‫( اي‬ayâ), ‫ىيا‬


(hayâ), ‫( أي‬ay; hamzah maqsûrah bersama dengan ya sukun), ‫( آي‬ay; hamzah
mamdûdah bersama ya sukun), ‫وا‬ (wâ), ‫آ‬ (â; hamzah mamdûdah), ‫أ‬ (a;

hamzah maqsûrah).4

Dari delapan huruf ini, dalam penggunaan dan fungsinya, Ulama Nahwu

membagikan ke dalam empat kelompok.

2
Saiful Arif dan Zainol Hasan, “Eksistensi, Klasifikasi, dan Orientasi Ayat-Ayat Nidâ`
Makkî dan Madanî” Nuansa Pamekasan , vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012), h. 54.
3
„Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wâfi ma‟a Ribitihi bi al-Asaâlîb al-Râfi‟ah wa al-Hayât al-
Lughawiyyah al-Mutajaddidah (Kairo: Dar al-Ma„ârif, t,th), juz 6, h. 1.
4
„Hasan, al-Nahwu al-Wâfi ma‟a Ribitihi bi al-Asaâlîb al-Râfi‟ah, juz 6, h. 1.
33

a. Jauh atau mirip dengan jauh, yaitu huruf nidâ‟ ‫أي‬, ‫آ‬, ‫ىيا‬, ‫أي‬, ‫ي‬ dan ‫آي‬
dipakai untuk memanggil munâdâ (lawan bicara) yang jauh, atau mirip

dengan munâdâ yang jauh, seperti orang yang sedang tidur atau lupa.

Batasan jauh dan dekat disusuaikan dengan „urf (kebiasaan yang sudah

berlaku). Jika konsep nidâ` menggunakan salah satu huruf yang enam ini,

maka nidâ` tersebut dinamakan sebagai nidâ` ghair mandûb.

b. Dekat, yaitu ‫( أ‬hamzah maqsûrah/hamzah yang dibaca pendek) digunakan

untuk memanggil munâdâ yang dekat.

c. Sedih, yaitu ‫وا‬ (wâ), dipakai ketika dalam keadaan bersedih hati karena

meratapi kematian keluarganya. Atau merasa sakit karena tertimpa

bencana. Ulama‟ Nahwu menamakan nidâ‟ seperti ini sebagai nidâ‟

mandûb (nidâ‟ yang dipakai ketika dalam keadaan sedih atau karena

sakit), seperti: ‫وا زيداه وا ظهراه‬. Lafadz ini memiliki arti, kasihan Zaid,

alangkah sakit punggungnya.

d. Dekat dan jauh, ‫ي‬ yaitu memanggil lawan bicara yang dekat dan yang

jauh. Penggunaan “yâ” untuk panggilan dekat disebabkan banyak ulama

bertanya-tanya, kenapa “yâ” dipakai untuk memanggil lawan bicara yang

jauh saja, padahal faktanya “yâ” selalu dipakai untuk nidâ` kepada Allah,

dan Allah adalah paling dekatnya sesuatu dibandingkan dengan yang

lainnya? Pertanyaan ini dijawab oleh ulama‟ Nahwu: sebenarnya yâ itu

dipakai untuk memanggil lawan bicara yang dekat dan yang jauh.5

5
Taufiqurrohman Fauzi, “Nidâ‟ Terhadap Para Nabi Dalam Al-Qur‟an; Studi Komparatif
dalam kitab al-Itqân fi „Ulûm al-Qur‟an karya Jalaludin al-Suyutiî dan al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟an karya Badruddin al-Zarkashî” (Tesis Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 25-26.
34

3. Munâdâ

Pembahasan lafaz yang ada setelah huruf nidâ`, yaitu lafaz yang dikenal

dengan istilah munâdâ (orang yang dipanggil). Karena huruf nidâ` dan munâdâ

adalah satu rangkaian bahasa yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu tidak

bisa dikatakan sebagai konsep nidâ` apabila di dalamnya tidak ada huruf nidâ`

dan munâdâ, karena keduanya saling berkaitan. Ulama Nahwu membagikan

munâda` kepada lima macam bagian, yaitu:

a. Al-Mufrad al-„alam (nama yang dipakai untuk satu orang), yaitu nama

yang tidak terdiri dari mudhaf (stuktur kata yang terdiri dari dua lafaz dan

bukan shabîh bi al-muhaf (serupa dengan mudhaf). Oleh karena itu, lafaz

tatniyyah (lafaz yang memiliki arti dua), jama„ (lafaz yang memiliki arti

banyak) tetap saja dikatakan mufrad, seperti jama‟ taksîr, jama‟

mu‟annas Sâlim dan jama„ mudzakkar sâlim. Seperti contoh:

ِۡ ۡ ۡ ‫ال يَٰنوح إِنَّوۥ ل‬


َ ‫س ِمن أَىل‬
...‫ك‬ َ َ ُ ُ َُ َ َ‫ق‬
‫ي‬
6

Dia berfirman: “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia (anakmu) bukanlah


termasuk keluargamu...7

b. Al-Nakirah al-Maqsûdah, yaitu isim nakirah (lafaz yang dipakai untuk

umum) yang keumumannya hilang disebabkan beralih menjadi kalimat

nidâ`. Kemudian khitabnya mengarah kepada satu orang tertentu, dan lafaz

nya menjadi ma„rifah, lafaz tersebut ditujukan kepada satu orang tertentu

(yang sebelumnya dipakai dan berfungsi untuk umum. Seandainya lafaz

tersebut tidak dipakai untuk nidâ`, maka tetap berlaku seperti sebelumnya,

6
QS. Hûd [11]: 46.
7
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 227.
35

yaitu selalu nakirah. Seperti lafaz ‫ رجل‬, memiliki arti umum, tidak tentu
pada satu orang saja. Ketika diawali dengan huruf nidâ`, maka lafaz

tersebut berubah fungsi, seperti: ‫يرجل سأساعدك على احتمال املشقة‬, lafaz ini
menunjukkan pada orang yang dikenal bentuk dan sifatnya. Tidak lagi

dipakai untuk umum, karena ditujukan kepada lawa bicara yang sudah

nyata keberadaannya.

c. Al-Nakirah ghair al-maqsûdah, lafaz ini tetap berlaku dengan kesamaran

dan keumumannya seperti halnya tidak diawali dengan huruf nidâ`. Ia

tidak tertuju pada satu orang tertentu walaupun sudah menjadi munâdâ.

Oleh karenanya, tida bisa dikatakan sebagai isim ma„rifat. Contoh, ‫ي عاقال‬
‫( تذكر اآل خرة‬hai orang yang berakal, ingatlah hari akhirat).
d. Mudhaf, yaitu lafaz yang digabung dengan lafaz lain, disandarkan kepada

lafaz setelahnya. Tetapi saratnya tidak boleh disandarkan kepada dhamîr

mukhatâb (kata ganti yang menunjukan lawa bicara). Seperti contoh yang

terdapat dalam ayat ini.

‫ين‬ ِ ‫ت إِِّن رأ َۡيت أَحد عشر َك ۡوَكبا وٱلش َّۡمس و ۡٱل َقمر رأ َۡي ت ه ۡم ِِل َٰس ِج‬
‫د‬ ِ ‫َب‬‫أ‬
‫َي‬ ِ
‫يو‬ِ‫ب‬ ِ ‫ال يوسف‬
‫ِل‬
ِۡ
ُ ُ َ ََ َ َ َ ً ََ َ َ َ ُ َ ّ َ َ َٰ َ ُ ُ ُ َ ‫إ‬
َ ‫ق‬ ‫ذ‬
8
َ َ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Nabi Ya‟qub as.):
“Wahai ayahku! Sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan; telah kulihat semuanya dalam keadaan
sujud kepadaku.”9

Lafaz ‫ ابت‬di dalam ayat ini mudaf kepada dhamîr ya mutakallim

wahdah (kata ganti yang menunjukkan kepada satu pembicara), yaitu

huruf ya yang dibuang setelah munâdâ.

8
QS. Yusuf [12]: 4.
9
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 235.
36

e. Shabîhan bi al-mudhaf, lafaz yang serupa dengan isim mudhaf, yaitu

setiap munâdâ yang diikuti kalimat lain yang menjadi penyempurna

makna munâdâ. Contoh: ‫سعا سلطانُو ال تظلم‬


ً ‫( ي وا‬hai orang yang memiliki
kekuasaan yang sangat leluasa, janganlah engkau berbuat zalim), ‫ي‬

‫طالعاجبال خذ بُيدي‬ (hai orang yang mendaki gunung, peganglah

tanganku).10

4. Lafadz yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy

Di dalam pembahasan nidâ` tidak boleh dipertemukan huruf nidâ`

dengan alif dan lam ( ‫ال‬ ) secara langsung berkumpul dalam satu kalimat,

kecuali dalam tempat tertentu. Maka dari itu Yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ

al-Nabiy, lafaz ayyuhâ mewajibkan rafa‟ bagi lafaz yang dibarengi dengan al

sewaktu berkedudukan menjadi sifat yang terletak sesudah ayyuhâ.

Yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy, Yâ menjadi huruf nidâ`,

kemudian lafadz ayyun berkedudukan sebagai munâdâ mufrad yang mabni

dammah, sedangkan hâ adalah huruf zaidah (tambahan) dan lafadz al-Rasûl

dan al-Nabiy menjadi sifat bagi ayyun, lafadz al-Rasûl dan al-Nabiy wajib

dirafa‟kan menurut kebanyakan ulama nahwu karena menjdi subjek nidâ` yang

sesungguhya.11

B. Nabi dan Rasul

1. Definisi Nabi

Dalam bahasa Arab, kata nabi berasal dari kata naba`, yakni: berita.

Allah swt. berfirman:


10
Fauzi, “Nidâ‟ Terhadap Para Nabi dalam Al-Qur‟an,” h. 45-47.
11
Tuti Nila Amalia, “Al-Munâdâ dalam Al-Quran Surat Âli `Imran, Al-Nisâ` dan Al-
Mâ`idah,” (Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2013), h. 31.
37

ۡ
12
)٢( ‫) َع ِن ٱلنَّبَِإ ٱل َع ِظي ِم‬١( ‫َع َّم يَتَ َساأءَلُو َن‬
“Tentang apakah mereka (penduduk Mekkah) saling bertanya?. Tentang berita
yang besar (yang disampaiakn oleh Nabi Muhammad saw., anatara lain
keniscayaan Hari Kiamat)”13

Adapun secara istilah, nabi adalah seorang laki-laki yang diberi kabar

(wahyu) oleh Allah berupa syariat yang dahulu (sebelumnya), ia mengajarkan

kepada orang-orang disekitarnya dari umatnya (penganut syariat ini).14 Sedang

mengamalkan wahyu adalah dengan menyampaikannya, mendakwahkannya,

dan berhukum dengannya. Dinamakan nabi karena ia memberi kabar dan diberi

kabar. Ia diberi kabar dari Allah swt.

ۡ ۡ
15
‫ِ يَ ۡعلَ ُم ِسَّرُك ۡم َو َج ۡهَرُك ۡم َويَ ۡعلَ ُم َما تَۡ ِسبُو َن‬
ِ ‫ت َوِِف ٱِل َۡر‬
ِ ‫ٱلس َٰم َٰو‬ ِ َّ ‫وُىو‬
َ َ َّ ‫ٱَّللُ ِف‬ َ َ
“Dan Dia-lah Allah (Yang Kuasa dan disembah), di langit dan di bumi; Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan dan
mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” 16
Nabi juga memberi kabar dari Allah swt. perintah dan wahyu-Nya.

ِ‫ٱلر‬ ۡ ِ ِ ۡ
‫يم‬ ‫ح‬َّ ‫ور‬
ُ َ ‫َّنأ أ َََن‬
‫ف‬
ُ ‫غ‬ ‫ٱل‬ ‫نَبِّئ عبَاد أ‬
ِّ‫ي أ‬
17
ُ
“Beritahukanlah (kepada) para hamba-Ku, bahwa Aku-lah Yang Maha
Pengampun, lagi Maha Pengasih.”18
Nabi mempunyai harkat dan kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Para

nabi adalah makhluk paling mulia. Mereka adalah tanda yang dipakai manusia

untuk mencari petunjuk, sehingga dunia dan akhirat mereka menjadi baik.19

12
QS. Al-Naba` [78]: 1-2.
13
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 582
14
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2 (Jakarta: Darul Haq, 1998), h. 85.
15
QS. Al-An‟âm [6]: 3.
16
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h.128.
17
QS. Al-Hijr [15]: 49.
18
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 264.
19
Umar Sulaiman al-Asyqar, Rasul dan Risalah. penerjemah Munir F. Ridwan (Riyadh:
IIPH, 2008), h. 23-24.
38

2. Definisi Rasul

Adapun rasul berasal dari kata irsâl yang secara bahasa bermakna:

mengarahkan. Jika anda mengutus seseorang untuk suatu keperluan, maka ia

adalah rasul (utusan) anda. Allah swt. berfirman ketika mengisahkan Ratu

Saba‟:
ۡ ِ َ‫وإِِّن م ۡرِسلَةٌ إِلَ ۡي ِهم ِِب ِديٍَّة فَن‬
20
‫اظَرةُ ِبَ يَ ۡرِج ُع ٱل ُم ۡر َسلُو َن‬ َ ُ َّ
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim kepada mereka hadiah, dan aku
menunggu apa yang akan dibawa oleh para utusan (itu)".21

Terkadang yang dimaksud rasul adalah “seseorang yang memantau kabar

orang yang diutusnya.” Berasal dari perkataan orang arab “jât al-Iblilu rasala”

yang artinya unta datang berturut-turut. Para rasul dinamakan seperti demikian

karena mereka diarahkan oleh Allah swt.

َۚ ‫ي‬ ِ ‫ُُثَّ أ َۡرس ۡلنا رسلَنا تَ ۡت را ُك َّل ما جاأء أ َُّم ًة َّرسوُُلا َك َّذبوه فَأ َۡت ب ۡعنا ب ۡعضهم ب ۡعضا وجع ۡلَٰنه ۡم أ‬
َ ‫َحاد‬
َ َُ َ َ َ ً َ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ َُُ َ َ
22
‫فَبُ ۡع ًدا لَِّق ۡوٍم َّال يُ ۡؤِمنُو َن‬
“Kemudian, Kami mengutus para rasul Kami secara berturut-turut. Setiap
seorang rasul datang kepada umatnya, mereka mendustakannya, maka Kami
iringkan (kebinasaan) sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami
jadikan mereka buah tutur (yang mengherankan pendengarnya), maka
kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.” 23

Secara istilah, rasul adalah seorang laki-laki yang merdeka yang diberi

wahyu oleh Allah dengan membawa syariat dan ia diperintahkan untuk

menyampaikannya kepada umatnya baik orang yang tidak ia kenal dan

20
QS. Al-Naml [27]: 35.
21
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 379.
22
QS. Al-Mu`minûn [23]: 44.
23
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 345.
39

memusuhinya.24 Mereka diutus dengan misi tertentu. Ditugaskan untuk

membawa, menyampaiakan, dan memantaunya.25

3. Perbedaan Nabi dan Rasul

Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, tapi di

sini penulis akan menyebutkan perbedaan utama diantara keduanya, yaitu:

a. Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian. Karena tidak

mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh

karena itulah, para ulama menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw.

diangkat menjadi nabi dengan lima ayat pertama dari surah al-„Alâq dan

diangkat menjadi rasul dengan dengan tujuh ayat pertama dari surah al-

Mudatsir. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap rasul itu adalah nabi, tetapi

tidak setiap nabi itu adalah rasul. Firman Allah swt.:

26
...‫ِف أ ُۡمنِيَّتِ ِوۦ‬
ِ ‫ن‬ََٰ ‫ن أ َۡل َقى ٱلش َّۡي‬
‫ط‬ ‫أ‬
َٰ َّ ‫َت‬
ََ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬ ‫ال‬
‫أ‬ َِّ‫إ‬ ‫ب‬
ٍ ِ‫ن‬
َ ‫ال‬
‫و‬
َ ٍ
‫ل‬‫و‬ ‫س‬‫ر‬
َّ ‫ن‬ ِ‫ك‬
‫م‬ َ
ِ‫وماأ أ َۡرس ۡلنا ِمن قَ ۡبل‬
َ َ ََ
‫ُ أ‬ ّ َ ُ
“Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Nabi Muhammad saw.) seorang
rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia
berkeinginan (dan mengharapkan keberhasilan memberi hidayah pada
kaumnya), setan pun mencampakan (godaan dan rayuan) terhadap
keinginannya (yakni keinginan masing-masing nabi dan rasul, dengan
harapan apa yang dicampakannya dapat menggagalkan keinginan mereka
itu)...”27

Allah menyebutkan sifat sebagian rasul-Nya dengan kenabian dan

kerasulan. Ini menunjukkan bahwa kerasulan adalah suatu yang lebih

khusus daripada kenabian.28

24
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2, h. 85.
25
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 24-25.
26
QS. Al-Hajj [22]: 52.
27
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 338.
28
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 25.
40

b. Nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Allah swt. dan juga

menyampaikan apa yang diwahyukan kepadanya. Akan tetapi, dia tidak

diutus kepada kaum kafir untuk mengeluarkan mereka dari kekufuran

kepada keimanan. Adapun rasul, daia adalah orang yang diutus kepada

kaum kafir untuk menyeru mereka kepada ketauhidan.29

c. Rasul adalah seseorang yang diutus dengan membawa syari‟at baru, nabi

diutus untuk melanjutkan dan mempertahankan syari‟at yang sebelumnya.30

C. Arti Kemaksuman Nabi dan Rasul

Sebelum diuraikan mengenai kemaksuman lebih dalam sangatah diperlukan

untuk mengetahui makna dari maksum itu sendiri. Dari segi bahasa, „ismah

bermaksud terpelihara. Dari segi istilah, yaitu rahmat Allah yang khusus

dikaruniakan kepada seseorang untuk membolehkannya menghindarkan diri

daripada dosa dan salah dengan usaha dan ikhtiâr sendiri. Mereka digelar

ma‟sûmûn (orang-orang yang terpelihara daripada dosa dan kesalahan).31

Sedangkan di dalam ensiklopedi iman, „ishmah berasal dari kata „ashama-

ya‟shimu-„ashman, yang berarti memelihara. Maksum adalah orang yang

terpelihara dari dosa, orang yang suci dari berbuat dosa. „ishmah berarti

pemeliharaan dan perlindungan. Dalam konteks teologi maka pengertian „ishmah

ialah perlindungan Tuhan terhadap para nabi-Nya sehingga mereka bersifat

maksum, yaitu terhindar dan terlindung dari perbuatan-perbuatan dosa. Sifat

29
Ali Muhammad al-Shallabi, Iman Kepada Rasul. penerjemah M. Fakih, (Jakarta: Ummul
Qura, 2015), h. 27.
30
Rosihon Anwar dan Saehudin, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h.
170.
31
Wan Z. Kamaruddin, “Konsep 'Ismah Nabi Muhammad saw. dalam Al-Qur'an,”
Usuluddin, t.t, h. 156-157.
41

maksum merupakan sifat esensial dari setiap nabi. Hal inilah yang

membedakannya dari manusia biasa.32

Setiap nabi dan rasul, maksum dari perbuatan dosa dan terpelihara dari

segala macam dosa. Baik dosa yang kecil apalagi dosa yang besar.33 Salahsatu

keistimewaan rasul di banding nabi adalah seluruh rasul yang diutus, Allah

selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya.34

Adapun nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh. Sebagaimana

berfirman Allah:

ِ ‫ك ِم َن ٱلن‬ ِ ‫ٱَّلل ي ۡع‬ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ِۡ


‫َّاس‬ َ ‫ُ ُم‬ َ َُّ ‫ت ِر َسالَتَوُۥ َو‬ َ ِّ‫ك ِمن َّرب‬
َ ‫ك َوإِن ََّّل تَف َعل فَ َما بَلَّغ‬ َ ‫ول بَلّغ َماأ أُن ِزَل إِلَي‬ َّ ‫ََٰأَيَيُّ َها‬
ُ ‫ٱلر ُس‬

ِ ِ ََٰۡ ‫ٱَّلل َال ي ۡه ِدي ۡٱل َق ۡوم ۡٱل‬ ِ


‫ين‬‫ر‬ ‫ف‬ َ ََّ ‫إ َّن‬
35
َ َ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan
pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak
menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”36

Sedangkan nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh oleh kaumnya.
Allah swt. berfirman:

‫ُواْ َّوَكانُواْ يَ ۡعتَ ُدو َن‬ ‫ع‬ ‫ا‬َِ ‫ك‬


ِ ِ‫ وي ۡقت لُو َن ٱل ۧنَّبِيِن بِغ ۡ ِۡ ۡٱۡ ِ ِّۗ َٰذَل‬...
َ َ َ َّ َ َ ّ ُ ََ
37

... dan (mereka) membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Yang
demikian itu karena mereka (selalu) durhaka dan melapaui batas.”38

32
Abdul Majid al-Zandani, “ishmah,” dalam Fedrian Hasmand, ed., Ensiklopedi Iman,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), h. 277.
33
Yunanhar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Jakarta: LPPI, 2001), h. 136.
34
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 139
35
QS Al-Mâ`idah [5]: 67.
36
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
37
QS. Al-Baqarah [2]: 61.
38
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 9.
42

Selain ayat di atas Allah swt. juga menyebutkan dalam ayat-ayat yang lain

bahwa yang terbunuh adalah nabi, bukan rasul. Firman Allah:

‫ُ ِّدقًا لِّ َما‬ ‫م‬ ِّۗ


ۡ
ۡ‫ٱ‬ ‫و‬ ‫ى‬‫و‬ ‫ۥ‬‫ه‬‫ء‬ ‫ا‬
‫ر‬ ‫و‬ ‫ا‬ ِِ ‫ٱَّلل قَالُواْ نُ ۡؤِمن َِِاأ أُن ِزَل علَ ۡي نَا وي ۡۡ ُفرو َن‬ ِ ِ ۡ ِ‫وإِذَا ق‬
ُّ
َ ُ َ َ ُ َ َُ ََ ‫أ‬ َ ُ ََ َ ُ َُّ ‫َنزَل‬
َ ‫يل َُلُم ءَامنُواْ َِاأ أ‬
َ َ
‫ي‬ َِّ ‫معه ۡم قُ ۡل فَلِم تَ ۡقت لُو َن أَنبِياأء‬
ِ‫ٱَّلل ِمن قَ ۡبل إِن ُكنتُم ُّم ۡؤِمن‬
َ ُ َ
39
ُ ََ ََُ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka; “Berimanlah kepada apa (al-Qur‟an)
yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami (Taurat).” Dan mereka kafir pada (kitab) selainnya,
sedangkan ia (al-Qur‟an) itu adalah yang haq (mereka lagi tidak mengalami
perubahan dan atau diragukan); memebenarkan apa yang ada pada mereka.
Katakanlah (Muhammad saw.): “Mengapa kamu dahulu membunuh para nabi
Allah jika benar kamu orang-orang mukmin (kepada Taurat)?”40

D. Ayat-ayat Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl dan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy dalam Al-Qur’an

Setelah menelusuri dan melakukan penelitian di dalam kitab Mu‟jam al

Mufahras li Alfâdz al-Qur`ân karya Muhammad Fuad „Abdul Baqi, yang

kaitannya tentang ayat-ayat yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam

al-Qur‟an, penulis menemukan sedikitnya 15 ayat yang menyebutkan lafadz yâ

ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy. Lafadz yâ ayyuhâ al-Rasûl disebutkan

sebanyak dua kali, dan lafadz yâ ayyuhâ al-Nabiy disebutkan sebanyak 13 kali.41

Meliputi:

1. Ayat-ayat Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl


Adapun ayat-ayat yang menggunakan lafadz panggilan yâ ayyuhâ al-

Rasûl di dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

39
QS. al-Bâqarah [2]: 91.
40
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 14.
41
Muhammad Fuad „Abdul Baqi, Mu‟jam al Mufahras li alfadz al-Qur‟an al-Karim
(Mesir: Dâr al-Hadis, 2007), h. 135-137.
43

Tertib Mushaf
Penggolongan

Tertib Nuzul
Nomor Ayat
Nama
No Potongan Ayat
Surat

Surat
ِ َّ ۡ
‫ين‬
َ ‫نك ٱلذ‬ َ ‫ول َال ََي ُز‬ ُ ‫ٱلر ُس‬ َّ ‫ََٰأَيَيُّ َها‬

Madaniyyah42
ْ‫ين قَالُأوا‬ ِ َّ‫ي َٰس ِرعو َن ِِف ۡٱل ُۡ ۡف ِر ِمن ٱل‬
‫ذ‬
1 Al-Mâ`idah 41 5 112
َ َ ُ َُ
ۡ
...‫ءَ َامنَّا ِِبَف ََٰوِى ِه ۡم َو ََّۡل تُ ۡؤِمن قُلُوبُ ُه ۡم‬
ۡ ِۡ
‫ك ِمن‬ َ ‫ول بَلّغ َماأ أُن ِزَل إِلَي‬ ُ ‫ٱلر ُس‬ َّ ‫ََٰأَيَيُّ َها‬
Madaniyyah

ۡ ۡ ۡ ۡ
2 Al-Mâ`idah 67 5 112 ‫ت‬ َ ‫ك َوإِن ََّّل تَف َعل فَ َما بَلَّغ‬ َ ِّ‫َّرب‬
...ُ‫ِر َسالَتَو‬

2. Ayat-ayat Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy


Adapun ayat-ayat yang menggunakan lafadz panggilan yâ ayyuhâ al-
Nabiy di dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut:
Penggolongan

Tertib Mushaf

Tertib Nuzul
Nomor Ayat

Nama
No Potongan Ayat
Surat
Surat

ۡ
‫ٱَّللُ َوَم ِن‬
َّ ‫ك‬ َ ُ‫َّب َحسب‬ ُّ ِ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلن‬
Madaniyyah

ِ‫ك ِمن ۡٱلم ۡؤِمن‬


1 Al-Anfāl 64 8 88
‫ي‬
َ ُ َ َ ‫ٱتَّبَ َع‬

ِ‫ِ ۡٱلم ۡؤِمن‬


Madaniyyah

َ ُ ِ ‫َّب َحِّر‬
‫ي َعلَى‬ ُّ ِ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلن‬
2 Al-Anfāl 65 8 88 ۡ
... ‫ٱل ِقتَ ِال‬

42
Madaniyyah adalah firman Allah yang turun sesudah periode hijriah, meskipun ayat
tersebut turun di luar Madinah, bahkan di Makkah sekalipun. Lihat buku Rusydie Anwar,
Pengantar Ulum Qur‟an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 54.
‫‪44‬‬

‫ِف أ َۡي ِدي ُۡم ِّم َن‬ ‫ِ‬


‫َّب قُل لّ َمن ِ أ‬ ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬

‫‪Madaniyyah‬‬
‫ۡ‬ ‫ۡ‬
‫‪3‬‬ ‫‪Al-Anfāl‬‬ ‫‪70‬‬ ‫‪8‬‬ ‫‪88‬‬ ‫ٱَّللُ ِِف قُلُوبِ ُۡ ۡم‬ ‫ى إِن يَعلَ ِم َّ‬ ‫ٱِل َۡسَر َٰأ‬
‫َخ ۡي ًرا ‪...‬‬

‫ي‬ ‫َٰأَيَيُّها ٱلنَِّب َٰج ِه ِد ۡٱل ُۡفَّار و ۡٱلمَٰن ِف ِ‬


‫ق‬
‫َ َ َُ َ‬ ‫َ َ ُّ َ‬

‫‪Madaniyyah‬‬
‫ۡ‬ ‫ۡ ۡ‬
‫‪4‬‬ ‫‪Al-Taubat‬‬ ‫‪73‬‬ ‫‪9‬‬ ‫‪113‬‬ ‫َوٱغلُظ َعلَ ۡي ِه ۡم َوَمأ َوىَٰ ُه ۡم َج َهن َُّم‬
‫ُ ُۡ‬ ‫وبِ ۡئس ۡٱلم ِ‬
‫َ َ َ‬
‫ٱَّللَ َوَال تُ ِط ِع‬ ‫َّب ٱتَّ ِ ِّۗ َّ‬ ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬
‫‪Madaniyyah‬‬

‫ٱَّللَ َكا َن‬ ‫ي إِ َّن َّ‬ ‫ۡٱل ََٰۡ ِف ِرين و ۡٱلمَٰن ِف ِ‬


‫ق‬
‫‪5‬‬ ‫‪Al-Ahzâb‬‬ ‫‪1‬‬ ‫‪33‬‬ ‫‪90‬‬ ‫َ َ َُ َ‬
‫يما َح ِۡي ًما‬ ‫ِ‬
‫َعل ً‬
‫ك إِن ُك ُ َّ‬ ‫ِۡ ِ‬
‫نُت‬ ‫َّب قُل ِّلَزََٰوج َ‬ ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬
‫‪Madaniyyah‬‬

‫ۡ‬ ‫ۡ‬ ‫ۡ ۡ‬
‫‪6‬‬ ‫‪Al-Ahzâb‬‬ ‫‪28‬‬ ‫‪33‬‬ ‫‪90‬‬ ‫تُِرد َن ٱَۡيَ َٰوَة ٱلدُّن يَا َوِزينَ تَ َها فَتَ َعالَ َ‬
‫ي‬
‫أُمتِّ ۡع ُۡ َّن وأُس ِر ۡح ُۡ َّن سراحا َِ‬
‫َجي ًال‬ ‫ََ ً‬ ‫َ َّ‬ ‫َ‬
‫ِ ۡ ۡ‬
‫ك ََٰش ِه ًدا‬ ‫َٰ‬ ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬
‫َّب إ ََّنأ أَر َس َ‬
‫ن‬ ‫ل‬
‫‪Madaniyyah‬‬

‫َ‬
‫‪7‬‬ ‫‪Al-Ahzâb‬‬ ‫‪45‬‬ ‫‪33‬‬ ‫‪90‬‬
‫َوُمبَ ِّشًرا َونَ ِذيًرا‬

‫ۡ‬ ‫ۡ ۡ‬
‫َّب إِ ََّنأ أَحلَلنَا لَ َ‬
‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬
‫‪Madaniyyah‬‬

‫ك‬
‫ك أَزََٰو َج َ‬
‫‪8‬‬ ‫‪Al-Ahzâb‬‬ ‫‪50‬‬ ‫‪33‬‬ ‫‪90‬‬
‫ورُى َّن ‪...‬‬ ‫ٱَٰلَِّ ۡ‬
‫ُج َ‬
‫تأُ‬ ‫ِت ءَاتَي َ‬
‫أ‬
‫ِۡ ِ‬
‫ك َوبَنَاتِ َ‬
‫ك‬ ‫ِّلَزََٰوج َ‬ ‫ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ‬
‫َّب قُل‬
‫‪Madaniyyah‬‬

‫ي َعلَ ۡي ِه َّن ِمن‬ ‫ِۡ‬ ‫ِ ِ ۡ ۡ ِِ‬


‫‪9‬‬ ‫‪Al-Ahzâb‬‬ ‫‪59‬‬ ‫‪33‬‬ ‫‪90‬‬ ‫يُدن َ‬ ‫ي‬
‫َون َساأء ٱل ُمؤمن َ‬
‫َج َٰلَبِيبِ ِه َّن ‪...‬‬
45

‫ت‬ َٰ
‫ن‬
َ ِ‫َٰأَيَيُّها ٱلنَِّب إِذَا جاأء َك ۡٱلم ۡؤ‬
‫م‬
ُ ُ ََ ُّ َ َ

Madaniyyah
Al-
ِ‫ٱَّلل‬ ۡ ۡ ۡ
10
Mumtahanah
12 60 91 َّ ِ‫ك َعلَ َٰأى أَن َّال يُش ِرك َن ب‬َ َ‫يُبَايِعن‬
... ‫َش ۡيئًا‬
ِ ۡ َّ ِ ُّ ِ‫َٰأَيَيُّ َها ٱلن‬
َ‫َّب إذَا طَلقتُ ُم ٱلنّ َساأء‬ َ

Madaniyyah
ِۡ ۡ ِِ ِ ِ ِ
11 Al-Talâq 1 65 99 ‫ُواْ ٱلع َّد َة‬ ُ ‫وى َّن لعدَِّت َّن َوأَح‬ ُ ‫فَطَلّ ُق‬
... ‫ٱَّللَ َربَّ ُۡ ۡم‬
َّ ْ‫َوٱتَّ ُقوا‬
ِ ِ‫َٰأَيَيُّها ٱلن‬
‫ك‬ َ َ‫ٱَّللُ ل‬ َ ‫َّب َّلَ ُُتَِّرُم َماأ أ‬
َّ ‫َح َّل‬ ُّ َ َ
Madaniyyah

َّ ‫ك َو‬
‫ٱَّللُ َغ ُفوٌر‬ ِ ۡ ‫تَ ۡب تغِي م ۡرض‬
12 Al-Tahrîm 1 66 107 َ ‫ات أَزََٰوج‬ َ َ َ َ
‫يم‬ ِ
ٌ ‫َّرح‬
ِ ِ ۡ ‫َٰأَيَيُّها ٱلنَِّب َٰج ِه ِد ۡٱل ُۡف‬
‫ي‬َ ‫َّار َوٱل ُمَٰنَفق‬
َ َ ُّ َ َ
Madaniyyah

ۡ ۡ ۡ
13 Al-Tahrîm 9 66 107 ‫َوٱغلُظ َعلَ ۡي ِه ۡم َوَمأ َوىَٰ ُه ۡم َج َهن َُّم‬
ُۡ ُِ ‫وبِ ۡئس ۡٱلم‬
َ َ َ

Penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam

al-Qur‟an tersusun atas huruf nidâ‟ dan munâdâ (nama yang dipanggil atau lawan

bicara). Yâ menjadi huruf nidâ, kemudian lafadz ayyun berkedudukan sebagai

munâdâ mufrad yang mabni dammah, sedangkan hâ adalah huruf zaidah

(tambahan) dan lafadz al-Rasûl dan al-Nabiy menjadi sifat bagi ayyun.

Kemudian penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-

Nabiy terdapat dalam 15 ayat di dalam al-Qur‟an. Yang meliputi panggilan yâ

ayyuhâ al-Rasûl terdapat dalam dua ayat, dan panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy

terdapat dalam tiga belas ayat.


BAB IV
PENAFSIRAN AYAT-AYAT YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ
AYYUHÂ AL-NABIY

Panggilan terhadap Nabi Muhammad saw. di dalam al-Qur‟an disebutkan

dengan dua panggilan yang berbeda. Yaitu yang pertama dengan panggilan yâ

ayyuhâ al-Rasûl dan yang kedua dengan panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy.

A. Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Rasûl

Adapun redaksi ‫الر ُس ْو ُل‬


َّ ‫ اَي أايُّ اها‬ini tidak digunakan oleh Allah swt. kecuali di
dua tempat saja. Pertama dalam surat al-Mâ`idah Ayat 41, dan yang kedua adalah

dalam al-Mâ`idah Ayat 67.1

1. Surat al-Mâ`idah Ayat 41


ۡۛ ۡ
‫ين قاالُأواْ ءا اامنَّا ِِباف ٓاوِى ِه ۡم او ۡاَل تُ ۡؤِمن قُلُوبُ ُه ۡم‬ ِ َّ‫ول اَل ا َۡيزنك ٱلَّ ِذين ي ٓس ِرعو ان ِِف ۡٱل ُك ۡف ِر ِمن ٱل‬
‫ذ‬ َّ ‫ٓاأَيايُّ اها‬
ُ ‫ٱلر ُس‬
‫ا‬ ‫ا‬ ُ ‫ا ُا‬ ‫ُ ا‬
ِ ‫وك َُي ِرفُو ان ۡٱل اكلِم ِم ۢن ب ۡع ِد مو‬ َۖ ۡ ۡ ٍ ۡ ِ ِ ۡ ِ ٓ ۡۛ ِ َّ ِ
‫اضعِ ِو َۖۦ‬ ‫ا اا‬ ‫ا‬ ‫ت‬ ‫َي‬ ‫َل‬
ّ‫اَّ ُ ا ا ا ا ا ا ا ُ ا ا‬ ‫ين‬ِ
‫ر‬ ‫اخ‬ ‫ء‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ق‬‫ل‬ ‫ن‬‫و‬ ‫ع‬ ٓ
‫س‬ ‫ب‬ِ ‫ذ‬ ‫ادواْ اسَّعُو ان ل ا‬
‫ك‬ ‫ل‬ ُ ‫ين اى‬ ‫اوم ان ٱلذ ا‬
ْۚ ۡ ۡ ِ ِِ ْۚ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
‫ٱَّللِ اَ ۡيا‬
َّ ‫يا ُقولُو ان إِن أُوتِيتُ ۡم ٓاى اذا فا ُخ ُذوهُ اوإِن ََّل تُؤتاوهُ فاٱح اذ ُروْ ا ا ُ َُّ ا ا ُ ا ا ا ا ا ُ ا‬
‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ۥ‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ِ
‫ل‬ ‫َت‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ف‬ ‫ۥ‬‫و‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫ف‬ ‫ٱَّلل‬ ‫د‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ‫ا‬
ۡ َۖ ۡ ْۚ
2
.‫ٱَّللُ أان يُطا ِّهار قُلُوبا ُه ۡم اَلُ ۡم ِِف ٱلدُّن ياا ِخ ۡزي اواَلُ ۡم ِِف ٱۡلأ ِخارِة اع اذاب اع ِظيم‬ َّ ‫ين ۡاَل يُِرِد‬ ِ َّ ِ‫أُوٓلاأئ‬
‫ك ٱلذ ا‬ ‫ْ ا‬
“Wahai Rasul (Nabi Muhammad saw.)! hendaknya engkau jangan disedihkan
oleh orang-orang yang bersegera dalam kekafiran, yaitu (di antara) orang-orang
yang mengatakan dengan mulut-mulut mereka: “Kami telah beriman,” padahal
hati mereka belum beriman; dan di antara orang-orang Yahudi, mereka sangat
suka mendengar (perkataan-perkataan) kaum lain yang belum pernah datang
kepadamu (Nabi Muhammad saw.); mereka mengubah perkataan-perkataan
(Allah swt.) setelah (mantap berada) di tempat-tempatnya. Mereka mengatakan:
“Jika diberikan ini kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang
bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa Allah menghendaki kesesatannya
(karena enggan beriman), maka sekali-kali engkau tidak akan mampu menolak
sesuatu (pun) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak

1
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fī al-„Aqîdah wa al-Sharî„ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2009), Jilid 3, h. 545.
2
QS. Al-Mâ`idah [5]: 41.

46
47

menyucikan hati mereka. Mereka tidak di dunia mendapat kehinaan dan bagi
mereka di akhirat azab yang sangat besar.3

a. Balâghah

‫الر ُس ْو ُل‬
َّ ‫َيا أايُّ اها‬ disini Rasulullah saw. dipanggil dengan menggunakan

panggilan “Rasul” sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan.4

b. Asbâb al-Nuzûl

Ayat ini turun dilatar belakangi oleh kasus Yahudi Bani Quraidah dan

Yahudi Bani Nâdhir. Orang-orang Yahudi berkata, “Datanglah kepada

Muhammad untuk untuk meminta fatwa, jika dia memberi fatwa kepada kalian

dengan menjemur dan mendera, maka ambilah. Tetapi jika ia memberikan fatwa

kepada kalian dengan hukum rajam, maka tinggalkanlah ia.5 Lalu merekapun

menunjuk Rasulullah saw. sebagai arbitrator untuk memberikan putusan hukum di

antara mereka, lalu beliaupun memberikan putusan hukum di antara mereka yang

menyamakan antara orang dari Bani Quraidah dan orang dari Bani Nâdhir.6 Yaitu

nabi Muhammad saw. menetapkan hukuman rajam bagi orang yang berzina.

Maka Allah swt. menurunkan ayat ini.7

Dalam suatu riwayat lain, dikemukakan bahwa di depan Rasulullah saw.

lalu orang-orang yahudi membawa seorang hukuman yang dijemur dan dipukuli.

Rasulullah saw. memanggil mereka dan bertanya: “Apakah demikan hukuman

terhadap orang yang berzina yang kalian dapati di dalam kitab kalian?” Mereka

menjawab: “Ya.” Aku bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat

kepada Musa, apakah demikian kamu dapati hukuman orang yang berzina di

3
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 114
4
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 541.
5
Muhammad „Alî al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Qur`ân al-Karîm, 1981),
jilid 1, h. 343.
6
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 543.
7
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 3, h. 541.
48

dalam kitabmu?”. Ia menjawab: “Tidak, demi Allah jika engkau tidak bersumpah

terlebih dahulu tidak akan kuterangkan, bahwa hukuman bagi orang yang berzina

di dalam kitab kami adalah rajam. Akan tetapi karena banyak pembesar-pembesar

kami yang melakukan zina, maka kami biarkan, dan apabila seseorang yang hina

berzina kami tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul

dan mengubah hukum tersebut dengan menetapkan hukum yang ringan untuk

dilaksanakan, bagi yang hina ataupun pembesar yaitu menjemur dan

memukulinya.” Bersabdalah Rasulullah saw.: “Ya Allah, sesungguhnya saya yang

pertama menghidupkan perintah-Mu setelah dihapuskan oleh mereka.” Kemudian

Rasulullah saw. menetapkan hukum rajam, dan dirajamlah yahudi pezina itu.

Maka turunlah ayat ini.8

c. Keserasian Antar Ayat

Ketika Allah swt. menjelaskan beberapa bentuk pentaklifan dan syari‟at,

sementara ada sebagian manusia yang berpaling darinya dan begitu bersemangat

dalam bersegera kepada kekafiran, Allah swt. pun menguatkan hati rasul-Nya

supaya ia bersabar dan tegar dalam menghadapi semua itu, serta menyuruhnya

untuk tidak bersedih hati karenanya. Dalam hal ini, Allah swt. berfirman ‫ٓاأَيايُّ اها‬
‫نك‬ ۡ
‫ول اَل اَي ُز ا‬
ُ ‫ٱلر ُس‬.
َّ
Allah swt. memanggil Nabi-Nya, Muhammad saw. dengan menggunakan

panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy dalam banyak tempat di dalam al-Qur‟an.

Sedangkan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl ini, tidak digunakan oleh Allah swt.

kecuali di dua tempat saja. Pertama dalam surat al-Mâ`idah Ayat 41, dan yang

8
Qomaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur‟an (Bandung: CV Diponegoro, 1995), h. 184.
49

kedua adalah dalam al-Mâ`idah Ayat 67. Hal ini merupakan panggilan

penghormatan dan pemuliaan.9

d. Tafsir dan Penjelasannya

Ayat ini adalah peringatan secara umum sekaligus untuk menguatkan jiwa

Nabi Muhammad saw. Artinya yaitu Kami telah menjanjikan kemenangan

padamu wahai nabi atas orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi itu. Karena

itu janganlah bersedih atas apa pun yang terjadi pada mereka selama keberadaan

mereka. Jangan sampai masalah orang-orang yang bersegera jatuh dalam

kekafiran membuatmu sedih, sebab mereka adalah salahsatu dari dua golongan;

golongan orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dengan lisan

namun hati mereka tidak beriman, atau golongan yahudi yang serius

mendengarkan penjelasan dusta dari para pendeta yang menyampaikan berita

dusta tentang Nabi Muhammad saw. dan apa pun yang berkenaan dengan hukum-

hukum agama mereka.10

Wahai Rasul! Ini adalah panggilan pemuliaan dan pengagungan, sekaligus

untuk mengajarkan kepada kaum Mukminin bagaimana memanggil Nabi

Muhammad saw. yaitu supaya mereka memanggil beliau dengan titel beliau,

sebagaimana firman Allah swt. dalam ayat,


ْۚ ِ َّ ‫ََّل ا َۡتعلُواْ ُد اعاأء‬
11
...‫ض ُكم با ۡعضا‬
ِ ‫ول ب ۡي نا ُك ۡم اك ُدعاأِء ب ۡع‬
‫ا ا‬ ‫ٱلر ُس ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬
“Janganlah kamu jadikan panggilan rasul di antara kamu seperti panggilan
sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)...”12

9
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 545.
10
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 462
11
QS. al-Nûr [24]: 63.
12
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 359.
50

Merekapun memanggil beliau dengan panggilan “Wahai Rasulullah” setelah

sebelumnya mereka memanggil beliau dengan panggilan, “Wahai Muhammad.”

Wahai rasul, kamu tidak usah bersusah hati memikirkan dan memperdulikan sikap

orang-orang munafik yang begitu bersemangat dalam bersegera menampakkan

kekafiran dan memihak kepada musuh setiap kali ada kesempatan. Sesungguhnya

Kami adalah penolongmu terhadap mereka dan Kami adalah pelindungmu dari

kejelekan mereka. Kemudian Allah swt. menjelaskan siapakah orang-orang itu.

Mereka adalah orang-orang yang menampakkan keimanan dengan mulut mereka,

sedang hati mereka sebenarnya tidak beriman, yaitu orang-orang munafik. Juga

orang-orang Yahudi yang menjadi musuh Islam dan kaum Muslimin.13

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt. mewajibkan lidah untuk berkata dan

mengungkapkan segala yang diyakini hati. Itulah tugas dan kewajiban iman yang

dibebankan padanya. Kewajiban yang dibebankan oleh Allah swt. atas hati tidak

sama dengan kewajiban yang digariskan atas lidah. Kewajiban yang ditetapkan

oleh Allah swt. atas pendengaran tidak sama dengan kewajiban yang ditetapkan

atas kedua mata. Kewajiban yang digariskan oleh Allah swt. atas tangan bukan

kewajiban atas kedua kaki. Sesuatu yang diwajibkan atas kemaluan bukan sesuatu

yang diwajibkan atas wajah. Allah swt. mewajibkan hati untuk beriman,

mengakui, mengetahui, dan meyakini-Nya, serta ridha dan menerima bahwa tidak

ada yang layak untuk disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia

tidak mempunyai istri dan juga tidak mempunyai anak. Selain itu hati wajib untuk

ridha dan menerima bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, serta

mengakui semua yang berasal dari Allah swt., baik melalui nabi-Nya atau yang

13
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 546.
51

terdapat dalam al-Qur‟an. Itulah yang diwajibkan Allah swt. atas hati. Kemudian

Allah swt. juga mewajibkan lidah untuk berkata, mengungkapkan, dan mengakui

segala yang diyakini oleh hati.14

2. Surat al-Mâidah Ayat 67

ِِۗ ‫ك ِم ان ٱلن‬ ِ ‫ٱَّلل ي ۡع‬ ِ ۡ َّ ۡ ‫ول ب لِّ ۡغ ماأ أُن ِزال إِلا ۡيك ِمن َّربِ َۖك وإِن ََّۡل ت ۡفع‬
‫َّاس‬ ‫ص ُم ا‬ َّ ‫و‬ ‫ۥ‬
ْۚ ‫و‬ ‫ت‬‫ا‬‫ل‬‫ا‬
‫ا ا ا ا ا ا ُ ا ُا‬
‫ا‬ ‫س‬‫ر‬ ‫ت‬‫غ‬ ‫ل‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ف‬
‫ا‬ ‫ل‬ ‫ّا ا‬ ‫ا‬ ‫ٱلر ُس ُ ا ا‬ َّ ‫ٓاأَيايُّ اها‬
ِ ِ ‫ٱَّلل اَل ي ۡه ِدي ۡٱل اق ۡوم ۡٱل ٓاك‬ ِ
.‫ين‬‫ر‬ ‫ف‬ ‫إ َّن َّا ا‬
15
‫ا‬ ‫ا‬
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan
Pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak
menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”16

a. Mufradat Lughawiyyah

َۖ ِ ِ ۡ ِ ِۡ
‫ك‬ ‫ول بالّغ اماأ أُن ِزال إلاي ا‬
‫ك من َّربّ ا‬ َّ ‫ٓاأَيايُّ اها‬
ُ ‫ٱلر ُس‬ tanpa perlu memerhatikan, dan

memedulikan siapapun, dan tanpa perlu takut kamu akan tertimpa hal yang tidak

diinginkan. Al-Tablîgh adalah mempublikasikan dakwah islamiyyah,

menginformasikan seluruh hukum yang terkandung di dalamnya dan

ِ ‫ٱلن‬
menyampaikannya kepada manusia.‫َّاس‬ ‫ك ِم ان‬ ِ ‫ٱَّلل ي ۡع‬
‫ص ُم ا‬ ‫او َُّ ا‬ Allah swt. menjaga,

memelihara dan melindungimu, memberikan jaminan perlindungan kepadamu

dari musuh-musuhmu, dari usaha mereka untuk membunuhmu. Karena itu, kamu

tidak perlu memperdulikan mereka dan tidak ada alasan bagi kamu untuk

mewaspadai mereka. Ini merupakan janji Allah swt. untuk melindungi, merawat
ۡ
dan menjaga beliau, dan janji Allah swt. pasti terlaksana. ‫ٱَّللا اَل يا ۡه ِدي ٱل اق ۡوام‬
َّ ‫إِ َّن‬

14
Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Idrîs al-Muttalabî al-Qurasyî , al-Tafsîr al-Imâm al-Syâfi‟î
(Riyadh: Dâr al-Tadmurayyah, 2006), Jilid 2, h. 741.
15
QS. Al-Mâ‟`idah [5]: 67.
16
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
52

‫ين‬ِ
‫ر‬ ِ ‫ ۡٱل ٓاك‬sesungguhnya Allah swt. tidak akan memberikan orang-orang kafir untuk
‫ف‬
‫ا‬
merealisasikan keinginan mereka menimpakan kebinasaan kepada dirimu. 17

b. Asbâb al-Nuzûl

Dari Ibnu „Abbâs dari Nabi Muhammad saw. beliau bersabda, “Ketika aku

diutus Allah dengan risalah-Nya, hal itu menyempitkan dadaku, karena aku tahu

bahwa terdapat manusia yag mendustakanku.” Lalu Allah menurunkan ayat ini,

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan

Pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak

menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.18

Ibn Abû Hâtim meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “Tatkala turun ayat,

yâ ayyuhâ al-Rasûlu balligh mâ `unzila „ilaika min Rabbika, Rasulullah saw. pun

berkata, „Yâ rabbi, bagaimana aku harus berbuat, sementara aku sendirian dan

orang-orang mengambil sikap menentangku.‟ Lalu turunlah lanjutan ayat

berikutnya, wa `in lam taf‟al famâ ballaghta risâlatahu.”19

c. Keserasian Antar Ayat

Rasulullah saw. diperintahkan untuk tidak memandang sedikitnya jumlah

orang-orang yang lurus dan banyaknya jumlah orang-orang fasik dari kalangan

Ahlu al-Kitâb, serta tidak perlu khawatir dan takut terhadap berbagai ancaman

mereka. Dalam hal ini, Allah swt. pun berfirman: “‫ ”بالِّ ْغ‬yang berarti sabar, teguh,

dan tabahlah kamu dalam menyampaikan apa yang Allah turunkan kepadamu,

17
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 613.
18
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 1, 355.
19
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 614.
53

seperti ayat yang menguak rahasia mereka. Sesungguhnya Allah swt. memelihara,

melindungi, dan menjaga keselamatanmu dari tipu daya, konpirasi, dan niat jahat

mereka.20

d. Tafsir dan Penjelasannya

Allah swt. memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad saw. seraya memanggil

beliau dengan menggunakan panggilan “Rasul”, untuk menyampaikan semua apa

yang diturunkan Allah swt. kepada beliau. Ini adalah panggilan memuliakan.

Allah memanggil dengan semulia-mulia sifat risâlah rabbani atau gelar rasul.21

Nabi Muhammad melaksanakan kewajiban secara optimal dan dengan

sebenar-benarnya, menyampaikan risâlah, menunaikan amanah, menasihati dan

membimbing umat dengan sepenuh ketulusan. Allah swt. pun membalas beliau

dengan sebaik-baiknya balasan.

Hikmah di balik perintah tablîgh dan mempertegasnya dengan menegaskan

bahwa menyembunyikan sebagiannya adalah sama seperti menyembunyikan

seluruhnya, padahal para rasul itu adalah maksum dari perbuatan

menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan Allah swt. kepada mereka.

Hikmahnya adalah memberitahu Rasulullah saw. bahwa tablîgh adalah sebuah

keniscayaan yang beliau tidak boleh berijtihad menunda sesuatu darinya dari

waktu yang semestinya.22

Kemudian Allah swt. mengumumkan kepada nabi-Nya, bahwa Dia

menjamin keselamatan beliau dan menjamin akan melindungi beliau dari usaha-

usaha pembunuhan terhadap beliau serta tidak akan membiarkan para musuh
20
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 616.
21
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 1, h. 355.
22
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 617.
54

melaksanakan rencana jahat mereka. Orang-orang musyrik pernah berupaya

melakukan pembunuhan kepada beliau dan rencana itu mereka kukuhkan di Dâru

al-Nadwâh sepeninggal Abu Thalib. Allah swt. pun menjaga dan melindungi

beliau dan beliaupun hijrah ke Madinah. Yang dimaksudkan disini adalah

penjagaan dan pelindungan dari usaha pembunuhan. Oleh karena itu, tidak bisa

disanggah bahwa Rasulullah saw. pernah mengalami berbagai gangguan dari

orang-orang musyrik ketika di Mekah dan di Thâ‟if, juga paska hijrah pada

kejadian perang Uhud, dimana waktu itu beliau terluka pada bagian wajah dan

salah satu gigi depan beliau ada yang pecah.23

e. Fiqih Kehidupan atau Hukum-hukum

lafaz tablîgh pada ayat yâ ayyuhâ al-Rasûl balligh ini mengandung

pengertian yang mementahkan penilaian orang-orang yang mengatakan bahwa

Nabi Muhammad saw. menyembunyikan sesuatu dari perkara agama dengan

tujuan melindungi diri. Ayat ini juga mengandung dalil yang menunjukkan

kekeliruan pandangan seperti ini yang dilontarkan oleh sekte al-Rafidhah. Ayat ini

juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak pernah merahasiakan

sesuatu dari perkara agama sedikitpun kepada seseorang. Makna ayat ini adalah

wahai rasul, sampaikanlah semua apa yang diturunkan kepadamu secara terang

dan terbuka.

Ibn „Abbâs mengatakan makna ayat ini adalah “Wahai Rasul, sampaikanlah

semua apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika kamu

menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu,

berarti kamu tidak menyampaikan risâlah-Nya.” Ini merupakan sebuah

23
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 618.
55

pendidikan bagi Nabi Muhammad saw. dan para pengemban amanah ilmu dari

umat beliau untuk tidak menyembunyikan sesuatu dari perkara syari‟at beliau.

Allah swt. tentu sudah tahu dari perkara nabi-Nya bahwa ia tidak

menyembunyikan sesuatu apapun dari wahyu-Nya.24

ِ ‫ك ِم ان ٱلن‬
‫َّاس‬ ِ ‫ٱَّلل ي ۡع‬
‫ص ُم ا‬
Ayat ‫او َُّ ا‬ mengandung bukti tentang kenabian Nabi

Muhammad saw. Allah swt. menginformasikan bahwa beliau adalah maksum, dan

barangsiapa yang Allah swt. menjamin kemaksumannya, tidak mungkin ia

meninggalkan sesuatu dari apa yang diperintahkan Allah swt. Ayat ‫ٱَّللا اَل يا ۡه ِدي‬
َّ ‫إِ َّن‬
‫ين‬ِ
‫ر‬ ِ ‫ۡٱل اق ۡوم ۡٱل ٓاك‬
‫ف‬
‫ا‬ ‫ا‬ menunjukkan bahwa orang-orang kafir terhalang dari mendapatkan

taufik dari Allah swt. kepada kebahagiaan, yang disebabkan kekufuran mereka,

dan membuat mereka sendiri terhalang dari rahmat Allah swt.25

B. Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Nabiy

Redaksi lafaz yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an, disebutkan 13 kali

dalam 13 ayat yang berbeda.26 Setelah penulis melakukan analisis dalam tafsir al-

Muniîr, Wahbah al-Zuhaili hanya menjelaskan atau menafsirkan kandungan dari

lafaz yâ ayyuhâ al-Nabiy di beberapa ayat saja. Di sini penulis memilih tiga ayat,

yang di dalam penafsiran tersebut dijelaskan tentang kandungan dari redaksi

penggunaan panggilan lafaz yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an.

1. Surat al-Ahzâb ayat 1


ْۚ ِ ِ ٓ ۡ ِ ِ ٓ ۡ ِ
27
‫ٱَّللا اكا ان اعلِيما اح ِكيما‬
َّ ‫ي إِ َّن‬
‫ين اوٱل ُمنافق ا‬ َّ ‫َِّب ٱت َِّق‬
‫ٱَّللا اواَل تُط ِع ٱل اكفر ا‬ ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬

24
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 620.
25
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 621.
26
Muhammad Fuad „Abdul Baqi, Mu‟jam al Mufahras li alfadz al-Qur‟an al-Karim
(Mesir: Dâr al-Hadis, 2007), h. 135-137.
27
QS. Al-Ahzâb [33]: 1.
56

“Wahai Nabi! Bertakwalah kepada Allah dan janganlah mematuhi (keinginan)


orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”28

a. Qira`ât

ُّ ِ‫ (الن‬Nâfi‟ membaca )‫(النَِِّبء‬


)‫َِّب‬ 29

b. Mufradat Lughawiyyah

َّ ‫َِّب ٱت َِّق‬
‫ٱَّللا‬ ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬ wahai nabi teguhlah kamu diatas ketakwaan kepada Allah

swt., dan hendaklah orang-orang mukmin senantiasa meneguhi ketakwaan

kepada-Nya. Ini adalah perintah untuk senantiasa memelihara ketakwaan dengan

bahasa yang mengacu kepada yang lebih tinggi, yaitu Nabi Muhammad saw.

untuk menunjuk kepada yang lebih rendah, yaitu kaum mukminin. Ketika Allah

swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk bertakwa, maka secara makna perintah ini

juga ditujukan kepada orang-orang mukmin yang posisinya lebih rendah dari

beliau.30

Seruan ini untuk memuliakan dan menghormati, sebab pangkat kenabian

menunjukkan kehormatan. Abu Su‟ud berkata: Seruan kepada Nabi Muhammad

saw. dengan pangkat kenabian adalah perhatian akan keadaan beliau dan

mengingatkan ketinggian kedudukan beliau. Yang diperintahkan adalah tetap

bertakwa dan terus bertambah takwa, sebab takwa itu luas dan tidak terhingga

akhirnya.31

28
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 418.
29
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 246.
30
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 246.
31
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 2, h. 510.
57

c. Asbâb al-Nuzûl

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang Mekah diantaranya

al-Walid bin Mughirah dan Syaibah bin Rabi‟ah mengajak Nabi Muhammad saw.

untuk meninggalkan dakwahnya dengan perjanjian akan diberikan setengah harta

benda mereka, sedang kaum munâfiqîn dan yahudi Madinah menakut-nakuti

Rasulullah saw. dengan ancaman akan membunuhnya jika tidak meninggalkan

dakwahnya. Maka turunlah ayat ini, yang memperingatkan Nabi Muhammad saw.

untuk tidak mengikuti orang-orang kafir dan munafik.32

d. Tafsir dan Penjelasannya

Wahai Rasul, konsistenlah kamu dalam meneguhi ketakwaan kepada Allah

swt. dan takutlah kamu kepada hukuman-Nya, dengan cara menaati segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Janganlah kamu dengarkan

apapun dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Janganlah kamu

meminta saran dan masukan apapun, janganlah kamu berkonsultasi dengan

mereka perihal apapun. Berhati-hati dan waspadalah kamu terhadap mereka.

Janganlah kamu memenuhi permintaan mereka dengan menyediakan majelis dan

waktu khusus bagi mereka serta menyuruh pergi orang-orang yang lemah dan

berasal dari kalangan masyarakat bawah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

kesudahan dan konsekuensi segala urusan, lagi Maha Bijaksana dalam semua

firman dan perbuatan-Nya. Karena itu, Allah swt. yang paling pantas untuk kamu

ikuti perintah-perintah-Nya dan kamu taati. Karena sesungguhnya orang-orang

32
Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, h. 391.
58

kafir itu adalah musuh-musuh kamu yang selalu menginginkan kehancuran

kamu.33

Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw. agar bertakwa, artinya

senantiasa berada dalam ketakwaan. Ketika seseorang diperintahkan sesuatu yang

ia lakukan, artinya perintah tersebut untuk seterusnya.34 Ada perbedaan antara

perintah takwa yang diminta Allah kepada nabi dengan kepada umatnya. Perintah

takwa kepada kita selaku umat beliau, artinya laksanakan apa yang diperintahkan

kepadamu, sedangkan perintah takwa bagi rasul adalah masuklah kamu ke dalam

maqam ihsan dan terus diperbarui. Karena pemberian tuhan itu tidak pernah

berakhir.35

‫ٱَّللا اكا ان اعلِيما اح ِكيما‬


َّ ‫إِ َّن‬ Maksudnya adalah sesungguhnya Allah memiliki

pengetahuan tentang hal-hal yang disembunyikan hati mereka, dan tujuan mereka

yaitu memberikan nasihat kepadamu. Serta tentang rencana yang mereka simpan

untukmu. Allah juga Maha Nijaksana dalam mengatur urusanmu serta urusan

para sahabatmu dan agamamu, serta semua makhluk-Nya.36

e. Fikih Kehidupan dan Hukum-hukum

Nabi Muhammad saw. merupakan makhluk yang maksum dan terpelihara

dari kemaksiatan juga diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah swt. pada ayat

ini, maka hal itu bertujuan untuk mengajari yang lain, menjadikannya sebagai

bimbingan dan tuntunan bagi yang lainnya. Di samping itu, juga untuk

33
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 247-248.
34
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît, jilid 3, h. 2053
35
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî (Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1991),
jilid 19, h. 11889.
36
Abû Ja‟far Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟u al-Bayân „an Ta`wîl ay al-Qur`ân,
(Kairo: Dâr al-Hajar, 2001), jilid 19, h. 5.
59

menegaskan hukum keutamaan, yaitu jika nabi saja yang maksum saja

diperintahkan untuk bertakwa, apalagi manusia biasa.

Ada hal yang perlu digaris bawahi di sini, yaitu bahwa Allah swt. tidak

berbicara kepada Nabi Muhammad saw. melainkan pasti dengan menggunakan

panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl, yâ ayyuhâ al-Nabiy, tidak dengan memanggil

nama beliau secara langsung, seperti yâ Muhammad. Hal ini sebagai bentuk

pengagungan, penghormatan dan pemuliaan kepada posisi dan status beliau,

sekaligus untuk mengajarkan kepada kita semua agar menjaga adab, etika dan

sopan santun terhadap beliau.37

2. Surat al-Ahzâb ayat 45

ۡ ۡ ِ
38
‫ك ٓاَ ِهدا اوُمبا ِّشرا اونا ِذيرا‬ ٓ ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬
‫َِّب إ ََّّنأ أار اس ا ا‬
‫ن‬ ‫ل‬
“Wahai Nabi (Muhammad saw.)! Sesungguhnya Kami mengutusmu (kepada
seluruh manusia) sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan.”39

a. Qirâ`at

‫َِّب إِ ََّّن‬
ُّ ِ‫الن‬ Nafi‟ membaca ‫النَِِّبءُ إِ ََّّن‬ dengan mentashîl hamzah kedua dan

menggantinya huruf wawu.40

b. Mufradat Lughawi
ِ َ sebagai saksi atas orang-orang yang kamu utus kepada mereka perihal
‫اىدا‬ ‫ا‬
sikap mereka apakah beriman dan membenarkan atau mengingkari dan

mendustakan. ‫اوُمبا ِّشرا‬ sebagai pembawa kabar gembira meraih surga bagi orang

yang beriman kepadamu, mempercayai dan membenarkan kamu serta menaatimu.

37
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 249.
38
QS. Al-Ahzâb [33]: 45.
39
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanyai, h. 45.
40
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 368.
60

‫اونا ِذيْرا‬ sebagai pemberi peringatan kepada orang yang mendustakanmu, durhaka

dan menentangmu, bahwa dia akan masuk neraka.41

‫ ُمبا ِّشرا‬atau kabar gembira merupakan konsekuensi iman dan amal baik dalam
wujud pahala. Sedangkan ‫ نا ِذيْرا‬atau kabar duka bagi orang yang tidak percaya

berupa siksaan Allah.42

c. Persesuaian Ayat

Allah swt. memerintahkan kepada beliau bagaimana semestinya beliau

berkaitan dengan segenap makhluk secara umum. Setiap kali Allah swt.

menyebutkan suatu adab atau etika bagi Nabi Muhammad saw. Allah swt. juga

menyebutkan untuk kaum mukminim sesuatu yang memiliki relevansi dan

kesesuaian hal itu. Ketika Allah swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad

saw. untuk bertakwa, sebagai bandingan dan padanannya, Allah swt.

memerintahkan kaum mukminin untuk berdzikir. Ketika Allah swt. menyebutkan

adab bagi istri-istri beliau, Allah swt juga menyebutkan sesuatu yang bekaitan

dengan dengan istri-istri kaum mukminin.43

d. Tafsir dan Penjelasannya

Ayat ini sebenarnya merupakan hiburan kepada Nabi Muhammad saw. dan

kaum mukiminin secara umum, dam juga sebagai penghormatan bagi mereka

semua.44 Ibn „Abbâs meriwayatkan bahwa ketika diturunkan ayat ini, Nabi

Muhammad saw. memanggil Ali dan Mu‟adz, lalu beliau mengutus mereka

berdua untuk pergi ke negeri Yaman. Beliau juga berkata: “Pergilah kalian

41
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 369.
42
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 19, h. 12076.
43
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 370-371.
44
Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-
Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006), jilid 17, h. 170.
61

berdua dan sampaikanlah kepada mereka berita gembira dan jangan membuat

mereka melarikan diri, permudahlah dan jangan mempersulit, karena telah

diturunkan kepadaku...” selanjutnya beliau membacakan ayat di tersebut.45

Beban menyampaikan wahyu ilahi dan menunaikan kewajiban risalah

bukanlah hal mudah. Di samping menghadapi kondisi-kondisi sulit dan

penentangan keras dari kaum, tugas ini juga menuntut semangat, tanggung jawab,

takut lalai dalam beban yang dipikulkan Allah swt. dan ketenangan untuk

menjalankan perintah Allah swt.46

Dalam ayat ini, Allah swt. menyebutkan diantara fungsi dan tugas Nabi
ۡ ۡ ِ
Muhammad saw. ‫ك ٓاَ ِهدا اوُمبا ِّشرا اونا ِذيرا‬ ٓ ُّ ِ‫ ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬wahai nabi sesungguhnya
‫َِّب إ ََّّنأ أار اس ا ا‬
‫ن‬ ‫ل‬
Kami mengutus kamu sebagai saksi terhadap orang-orang yang kamu diutus

kepada mereka tentang sikap mereka apakah beriman kepadamu dan

membenarkan kamu ataukah mengingkari, mendustakan, dan kafir terhadapmu,

apakah mengikuti petunjuk dan bimbingan kamu ataukah menentang kamu. Yaitu

untuk menjadi saksi di dunia serta untuk bersaksi atau menyampaikan kesaksian

tersebut di akhirat di hadapan tuhanmu. Sesungguhnya Kami mengutus kamu juga

untuk menyampaikan berita gembira meraih surga bagi orang yang taat dan

mematuhimu, serta untuk memperingatkan orang yang durhaka dan

membangkang terhadapmu dengan ancaman neraka.47

Ayat ini merupakan panggilan yang bersifat khusus oleh Allah setelah Dia

memanggil orang-orang yang beriman dan Rasul mereka. Panggilan khusus ini

ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pemuliaan dan pembebanan

45
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 17, h. 171.
46
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît,jilid 3, h. 2077.
47
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 371.
62

tanggung jawab kepadanya. Allah swt. berfirman, “Hai Nabi..” Muhammad,

“Sungguh kami mengutusmu...” sebagai saksi bagi umat yang Kami utus engkau

kepada mereka pada hari kiamat.engkau bersaksi terhadap orang yang mengikuti

dakwahmu dan orang yang menolaknya. Sebagai pemberi kabar gembira bagi

orang yang mengikutimu lalu mereka beriman dan beramal shalih untuk

mendapatkan surga. Sebagai pemberi peringatan bagi orang yang menentang,

enggan untuk beriman dan tidak melakukan kebaikan dengan mendapatkan siksa

api neraka.48

3. Surat al-Talâq ayat 1


ۡ َۖۡ َۖ ِ ۡ ۡ ِِ ِ ِ ‫ٓأَيايُّها ٱلنَِِّب إِ اذا طالَّ ۡقتم ٱلنِّساأء فاطالِّ ُق‬
‫وى َّن ِم ۢن‬ُ ُ ‫ج‬ ِ
‫ر‬ ‫ُت‬ُ ‫َل‬
‫ا‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ب‬
‫ر‬ ‫ٱَّلل‬
َّ ‫ا‬‫و‬ ‫ق‬ َّ
َّ‫صواْ ٱلع َّد ا ا ُ ْ ا ا‬
‫ٱت‬‫و‬ ‫ة‬ ُ ‫وى َّن لعدَِّت َّن اوأاح‬
ُ ‫ُُ ا ا‬ ُّ ‫ا ا‬
ۡ ۡ
‫ٱَّللِ فا اقد ظالا ام ناف اسوُ ْۚۥ‬
َّ ‫ود‬ ‫د‬ ‫ح‬ َّ
‫د‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫م‬‫و‬ ِْۚ َّ ‫ب يوِتِِن واَل َۡير ۡجن إََِّلأ أان َۡيتِي بِ ٓف ِحش ٍة مب يِن ٍْۚة وتِ ۡلك حدود‬
‫ٱَّلل‬
‫ا ا ا ا ُّ ا ّا ا ا ُ ُ ُ ا ا اا ا ُ ُ ا‬ ‫ُُ َّ ا ا ُ ا‬
ِ ۡ ‫ٱَّلل ُ َۡي ِد‬ ۡ
49
. ‫ك أ ۡامرا‬
‫ث باع اد ٓاذل ا‬
ُ ‫اَل تاد ِري لا اع َّل َّا‬
“Wahai Nabi! (sampaikanlah kepada umatmu bahwa), apabila kamu
menceraikan wanita (istri kamu dan kamu telah menggaulinya), maka hendaklah
kamu mennceraikan mereka pada waktu mereka (menghadapi) iddah mereka
(yakni ketika mereka dalam keadaan suci yang tidak dicampuri agar iddah itu
tidak terlalu lama bagi mereka) dan hitunglah iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhan Pemelihara Kamu. Janganlah kamu (para suami), mengeluarkan
mereka (yang sedang menjalani iddah50) dari rumah-rumah mereka (walaupun
rumah itu milik kamu) dan janganlah (pula) mereka keluar (atas kehendak
sendiri); (kamu tidak boleh mengusir mereka), kecuali apabila mereka
mengerjakan perbuatan yang keji yang nyata (misalnya memaki suami atau
berzina), dan itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum
Allah, maka sungguh dia telah berbuat aniyaya terhadpa dirinya. Engkau tidak

48
Abû Bakar Jâbir al-Jazâirî, `Aisar Al-Tafâsîr Li Kalâm Al-„Aliyyi Al-Kabîr (Madinah: Al-
„Ulûm Wa Al-Hikâm, 1997), jilid 4, h. 277.
49
QS. Al-Talâq [65]: 1.
50
`Iddah adalah rentang waktu yang dijalani oleh seorang istri yang cerai hidup atau cerai
mati, sebelum ia diperbolehkan menikah lagi. Jika isetri tidak hamil sedangkan ia termasuk
perempuan yang haid, maka masa `iddah-nya adalah tiga quru` atau tiga kali sucian menurut Imam
Syafi‟i. Jika isteri hamil, maka `iddah-nya sampai melahirkan. Jika isteri tidak hamil sedangkan ia
sudah tidak bisa haid atau ia masih kecil belum haid, maka `iddah-nya empat bulan sepuluh hari.
Jika isteri di tinggal mati suaminya, maka `iddah-nya empat bulan sepuluh hari. Lihat Lilik Ummi
Kaltsum dan Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 244-
247.
63

mengetahui, barang kali Allah mengadakan sesudah (perceraian) itu suatu hal
(yang baru dan tidak diperhitungkan sebelumnya).”51

a. Qira‟at

ُّ ِ‫ (الن‬Warsyi membaca )‫(النَِِّبء‬


)‫َِّب‬ 52

b. Mufradât Lughawi

ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬


‫َِّب‬ Allah swt. sedang memanggil Nabi-Nya yaitu Muhammad saw.

dan juga umatnya, dengan dalil konteks ayat selanjutnya.53

Yâ ayyuhâ al-Nabiy disini yang dipanggil hanya Nabi Muhammad saw.,

namun pesan perkataan ini bersifat umum sehingga yang dimaksudkan adalah

umat beliau, karena beliau adalah imam bagi umat beliau. Sehingga memanggil

beliau berarti sama saja dengan memanggil umat beliau.54

Hal senada juga dikatakan oleh al-Sâbunî dalam tafsirnya, ia menyebutkan

bahwa, ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., namun hukumnya

berlaku bagi beliau dan umatnya. Panggilan ini bersifat menghormati dan

memuliakan. Maknanya, hai umat manusia dan hai kaum muslimin, jika kalian

ingin menalak istri-istri, “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu

mereka dapat menghadapi iddahnya.”.55

c. Asbâb al-Nuzûl

Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa`i, dan Daruquthni

meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., “Bahwaannya ia menceraikan istrinya,

padahal waktu itu istrinya sedang haid. Lalu hal itu dilaporkan oleh Umar bin

51
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 558.
52
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 647.
53
Al-Jazâirî, `Aisar Al-Tafâsîr, jilid 5, h. 372.
54
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 648.
55
Al-Sâbunî, Shafwatut Tafasir, jilid 5, h. 386.
64

Khattab ra. Kepada Rasulullah saw. mendengar hal itu, Rasulullah saw. pun

marah, kemudian beliau berkata, „Dia (Abdulllah bin Umar ra.) harus merujuknya,

dan mempertahankannya sampai istrinya itu suci dari haidnya, kemudian haid

lagi, lalu suci lagi. Kemudian, jika ia memang ingin menalak istrinya itu,

hendaklah ia menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci sebelum ia

dicampuri. Itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah swt.‟”56

Diriwayatkan bahwa Anas ra. berkata, Nabi Muhammad saw. menceraikan

Hafshah, lalu Hafshah mendatangi keluarganya. Maka Allah menurunkan ayat,

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu

ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya.”57

Al-Kalbi berkata, “Sebab turunnya ayat ini adalah kemarahan Rasulullah

saw. kepada Hafshah, ketika beliau menceritakan sebuah rahasia kepadanya, lalu

dia mengemukakan rahasia itu kepada Aisyah. Beliau kemudian menceraikan

Hafshah dengan talak satu, lalu turunlah ayat ini.”58

Dalam riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikemukakan bahwa

Abdul Uazid telah mentalak istrinya, kemudian ia nikah lagi dengan seorang

wanita dari Madinah. Isterinya mengadu kepada Rasulullah saw. denga berkata:

“Ya Rasullah, tidak akan terjadi hal spereti ini kecuali karena si rambut pirang.”

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan bahwa kewajiban

seorang suami terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunaikan sampai habis

masa iddah, tapi dilarang tidur bersama.59

56
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 650.
57
Al-Sâbunî, Shafwatut Tafasir, jilid 5, 386.
58
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 21, h. 27.
59
Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, h. 531-532.
65

d. Tafsir dan Penjelasannya

Islam sebagai agama yang menebarkan keadilan sangat berkepentingan

dengan aturan perceraian ini. Apalagi di zaman sebelum Islam, perceraian yang

dipraktikkan oleh masyarakat Jahiliyyah sangat menzalimi kaum perempuan.

Seorang suami dapat begitu saja menceraikan istrinya, apabila dia sudah tidak

menyukai istrinya lagi.60

Islam tidak menyukai talak, sebab ia mencerai beraikan kesatuan, memutus

hubungan dan menghancurkan ikatan pernikahan. Apabila talak tidak bisa

dihindarkan, maka seyogyanya menyandingkannya dengan permulaan masa

iddah, agar masa iddah tersebut tidak menjadi terlalu panjang sehingga ia dapat

tertimpa bahaya, sedangkan menimpakan bahaya dengan talak itu hukumnya

haram. Juga agar suami tidak terjatuh di dalam penyesalan apabila ia menjatuhkan

talak pada waktu yang tidak sesuai.61

“Wahai rasul dan orang-orang yang yang beriman kepada beliau, apabila

kalian berkeinginan untuk menalak istri kalian, talaklah mereka dalam keadaan

mereka bisa menghadapi dan menyambut iddah mereka atau sebelum waktu

iddah mereka.” Maksudnya, perintah jika ingin menalak istri, harus dilakukan

ketika istri dalam masa suci yang selama masa suci itu belum pernah dicampuri,

serta larangan menjatuhkan talak ketika istri dalam masa haid.62

Disini panggilan yang ada, ditunjukan kepada Nabi Muhammad saw.,

namun pesan atau sisi hukum yang ada bersifat umum ditujukan kepada beliau

dan umat beliau. Hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad

60
M. Yunan Yusuf, Bun-Yânun Marshûsh (Ciputat: Lentera Hati, 2014), vol. 5, h. 534.
61
Al-Zuhailî, Tafsir Wasith, jilid 3, h. 668.
62
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 651.
66

saw. sekaligus memperlihatkan keagungan kedudukan dan posisi beliau. Ini

seperti perkataan kepada kaum atau panglima pasukan, “Wahai Fulan, lakukanlah

begini dan begini.” Sebagai bentuk pengakuan terhadap kedudukan dan posisinya

di tengah kaumnya, juga untuk menyatakan bahwa ia adalah pemimpin yang

bertanggung jawab untuk mengarahkan dan membimbing para bawahannya. Ayat

ini menjadi dalil tentang keharaman menjatuhkan talak ketika istri dalam masa

haid.63

C. Persamaan dan Perbedaan Penggunaan Panggilan Yâ Ayyuhâ al-Rasûl

dan Yâ Ayyhuhâ al-Nabiy

Penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy di

dalam al-Qur‟an, sama-sama ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan

panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy merupakan suatu bentuk

penghormatan kepada Nabi Muhammad saw. Allah tidak pernah menyebutkan

panggilan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dengan namanya, kecuali

hanya menyerunya dengan ciri dan sifat yang disematkan padanya, seperti “hai

rasul” atau “hai nabi”. Sedangkan para nabi yang lain diseru oleh Allah dengan

menyebutkan identitas diri mereka seperti “Wahai Ibrahim.” Identitas tersebut

adalah nama, dan nama tidak memberikan ciri-ciri, kecuali hanya

mempersonifikasikan sesuatu tanpa sifatnya.

Kemudian adapun perbedaan pada penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-

Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy di dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

63
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 651.
67

1. Panggilan Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl

Yâ ayyuhâ al-Rasûl adalah panggilan pemuliaan dan pengagungan,

sekaligus untuk mengajarkan kepada kaum Mukminin bagaimana memanggil

Nabi Muhammad saw. yaitu supaya mereka memanggil beliau dengan titel beliau.

Kemudian panggilan ini yâ ayyuhâ al-Rasûl dikhususkan kepada nabi Muhammad

saw. selaku rasul yang menunjukkan tugas dari seorang rasul itu sendiri yaitu al-

Tablîgh dengan mempublikasikan dakwah islamiyyah, menginformasikan seluruh

hukum yang terkandung di dalamnya dan menyampaikannya kepada manusia,

tanpa perlu memerhatikan, dan memedulikan siapapun, dan tanpa perlu takut

kamu akan tertimpa hal yang tidak diinginkan karena Allah swt telah berjanji di

ِ ‫ك ِم ان ٱلن‬
‫َّاس‬ ِ ‫ٱَّلل ي ۡع‬
‫ص ُم ا‬
dalam al-Qur‟an ‫او َُّ ا‬ Allah swt. menjaga, memelihara dan

melindungimu, memberikan jaminan perlindungan kepadamu dari gangguan

manusia.64

2. Panggilan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy

Penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy disini ditunjukan kepada Nabi

Muhammad saw., namun pesan atau sisi hukum yang ada bersifat umum

ditujukan kepada beliau dan umat beliau. Allah swt. memerintahkan kepada beliau

bagaimana semestinya beliau berkaitan dengan segenap makhluk secara umum.

Setiap kali Allah swt. menyebutkan suatu adab atau etika bagi Nabi Muhammad

saw. Allah swt. juga menyebutkan untuk kaum mukminim sesuatu yang memiliki

relevansi dan keseuaian hal itu. Ketika Allah swt. memerintahkan kepada Nabi

Muhammad saw. untuk bertakwa, sebagai bandingan dan padanannya, Allah swt.

64
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 613.
68

memerintahkan kaum mukminin untuk berdzikir. Ketika Allah swt. menyebutkan

adab bagi istri-istri beliau, Allah swt juga menyebutkan sesuatu yang bekaitan

dengan istri-istri kaum mukminin.65

Bahkan di ayat lain disebutkan ketika ayat yang dibarengi dengan

penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy tersebut hanya di tujukan untuk Nabi

Muhammad saw. dan tidak untuk umatnya, Allah swt mempertegas hal itu dengan

memperjelaskannya. Firman Allah:

ِ ‫ٱَّلل علا ۡيك وب نا‬


‫ات‬ َّ ‫ء‬ ‫ا‬
‫أ‬‫ا‬‫ف‬‫ا‬‫أ‬ ‫ا‬
‫أ‬َّ
‫ِم‬ِ ‫ٓأَيايُّها ٱلنَِِّب إِ ََّّنأ أ ۡاحلا ۡلنا لاك أ ۡازٓوجك ٱٓلَِِّت ءات ۡيت أُجورى َّن وما ملا اك ۡت َيِينك‬
‫ا‬
‫ا ُ ا اا‬ ‫اُا‬ ‫ا ا ا ا ا أ ا ا ا ُ اُ اا ا‬ ُّ ‫ا ا‬
ۡ ۡ ۡ
‫ك او ۡٱمارأاة ُّمؤِمناة إِن اواىبات ناف اس اها‬ ۡ ‫ات ٓخ ٓلاتِك ٱٓلَِِّت ى‬
‫اجر ان ام اع ا‬
‫ا ا‬
ِ
‫ك اوبانا ا ا‬
ِ ِ
‫ك اوباناات اخال ا‬
ِ
‫ك اوباناات اع َّٓمتِ ا‬‫اع ِّم ا‬
ۡ ۡ ۡ ۡ ِ ۡ ِۗ ِ‫ون ۡٱلم ۡؤِمن‬ ِ ‫ك ِمن د‬ ِ‫نكحها خال‬ ِ ‫َِّب إِ ۡن أاراد ٱلنَِِّب أان ي ۡستا‬ ِِ
‫ي قاد اعلمناا اما فا ارضناا اعلاي ِهم ِ أ‬
‫ِف‬ ‫ُ ا‬ ُ ‫صة لَّ ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫اا‬ ‫ا ا ُّ ا‬ ِّ ‫للن‬
ِۗ ۡ ۡ ِ ۡ ۡ ۡ ۡ ِ ۡ
66
.‫ٱَّللُ اف ُفورا َّرِحيما‬
َّ ‫ك احارج اواكا ان‬ ‫أازٓاوج ِهم اواما املا اكت أاَيٓانُ ُهم ل اكي اَل يا ُكو ان اعلاي ا‬
“Wahai Nabi (Muhammad saw.)! sesungguhnya Kami telah menghalalkan
bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawin mereka dan hamba
sahaya yang engkau miliki dari yang dianygerahkan Allah kepadamu berupa fai‟
(yakni harta, termasuk perempuan yang ditinggalkan musuh tanpa peperangan),
dan (Kami halalkan juga bagimu untuk engkau nikahi) anak-anak perempuan
dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan
bapakmu (yakni perempuan-perempuan dari Bani „Abdul Mutâlib), anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan dan ank-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu (yakni perempuan-perempuan dari Bani Zuhrah) yang
telah berhijrah bersamamu dan perempuan mukminah yang menghibahkan
dirinya kepada nabi (yakni yang bersedia di nikahi tanpa mahar) jika nabi mau
menikahinya, hanya khusus untukmu, bukan untuk orang-orang mukmin. Sungguh
kami telah mengetahui apa yang Kami tetapkan kepada mereka tentang istri-istri
mereka dan apa (hamba sahaya) yang mereka miliki supaya tidak ada atas dirimu
kesempitan. Dan Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Pengasih.”67

‫ي‬ِ‫ون ۡٱلم ۡؤِمن‬


ِ ‫ك ِمن د‬
‫صة لَّ ا‬
ِ
Pada lafaz ‫ُ ا‬ ُ ‫اخال ا‬ merupakan sebuah kekhususan yang

berlaku hanya untuk Nabi Muhammad saw. saja, bukan untuk semua kaum

mukminin. Karena kemuliaan dan kenabian Nabi Muhammad saw. dan statusnya

65
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 370-371.
66
QS. Al-Ahzâb [33]: 50.
67
Shihab, Al-Qur`an dan Maknanya, h. 424.
69

yang berhak dan layak untuk dimuliakan dan dihormati, yaitu menikah dengan

kata-kata hibah tanpa maskawin. Ayat ini dijadikan hujjah dan dasar dalil oleh

ulama Syafi‟iyyah bahwa akad nikah tidak tidak bisa terbentuk dengan

menggunakan kata-kata hibah. Karena lafal mengikuti makna, sementara

maknanya di sini adalah dikhususkan secara spesial hanya untuk Nabi

Muhammad saw. sehingga lafalnya juga terkhusus hanya bagi beliau saja secara

spesial.68

ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬


‫َِّب‬ menurut satu pendapat pada surat al-Talâq ayat pertama, firman

Allah itu merupakan khitab yang ditujukan kepada Nabi saw., namun yang

dimaksud darinya adalah umatnya. Allah swt. Allah membuat perbedaan antara

kedua lafaz tersebut, yakni bentuk dialog dan bentuk cerita, dan itu merupakan

dialek yang fasih, sebagaimana Allah berfirman:


69 ِ ‫ّت إِ اذا ُكنتُ ۡم ِِف ۡٱل ُف ۡل‬
... ‫ك او اجارۡي ان ِبِِم بِ ِري ٍح طايِّبا ٍة‬ ‫ اح َّٓأ‬...
“...Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu
membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik...”

Perkiraan susunan kalimat untuk firman Allah tersebut adalah: ُّ ِ‫اَيأايُّ اها ٱلن‬
‫َِّب قُ ْل‬
‫وى َّن لِعِدَِّتِِ َّن‬ ِ ِ ۡ
ُ ‫“ اَلُْم إِ اذا طالَّقتُ ُم ٱلنّ اساأءا فاطالّ ُق‬Hai Nabi, katakanlah kepada mereka: „apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada

waktu mereka dapat menghadapi „iddahnya...”. inilah perkataan mereka:

sesungguhnya khitab itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. seorang, namun

maknanya ditukukan kepada beliau dan juga kepada orang-orang yang beriman.

Sebab apabila Allah hendak mengkhitabi orang-orang yang beriman, maka Allah

68
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 385.
69
QS. Yûnus [10]: 22.
70

bersikap ramah kepada beliau dengan firman: ُّ ِ‫ٓاأَيايُّ اها ٱلن‬


‫َِّب‬ “hai Nabi.” Tapi apabila

Allah hendak mengkhitabi beliau dengan lafaz dan maknanya, maka Allah

berfirman ‫ول‬
ُ ‫ٱلر ُس‬
َّ ‫“ ٓاأَيايُّ اها‬Hai rasul.”70

D. Maksud dan Tujuan Redaksi Yâ Ayyuhâ al-Rasûl dan Yâ Ayyhuhâ al-

Nabiy

Sebagai makhluk-Nya yang mulia, para rasul diseru Allah dengan

menyebutkan identitas diri mereka seperti “Wahai Ibrahim.” Identitas tersebut

adalah nama, dan nama tidak memberikan ciri-ciri, kecuali hanya

mempersonifikasikan sesuatu tanpa sifatnya. Maka, kita melihat Allah menyeru

Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Isa71 dalam ayat:

‫يم‬ ِ ۡ ِ‫ٓ ۡ ٓ أ‬
ُ ‫اونا ادي ناوُ أان ٓاَيب ٓارى‬
72

“Dan Kami Memanggilnya: Wahai Ibrahim!.”73


ْۚ ِ ۡ ٍ ‫قِيل يٓنوح ۡٱىبِ ۡط بِس ٓل ٍم ِمنَّا وب رٓك‬
‫ك او اعلا ٓأى أ اُم ٍم ِّمَّن َّم اع ا‬
...‫ك‬ ‫ت اعلاي ا‬ ‫ا ا ّ ا ااا‬ ُ ُ‫ا ا‬
74

“Difirmankan: “Wahai Nuh! Turunlah (dari bahteramu) dengan keselamatan dan


berkah-berkah dari Kami atasmu dan atas umat-umat (manusia dan binatang)
dari orang-orang yang (turun) bersamamu (serta umat-umat yang akan datang
hingga hari kiamat)...”75
ِ ‫ب ۡٱل ٓعلا‬ َّ ‫وس ٓأى إِِّّنأ أا اَّن‬
‫ٱَّللُ ار ُّ ا ا‬
‫ي‬ ‫م‬ ‫ أان ٓاَيُ ا‬...
76

“... Wahai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan Pemelihara Seluruh
Alam.”77
ۡ
78
...‫يسى ۡٱب ان ام ۡرايا‬ِ َّ ‫ال‬
‫ٱَّللُ يآع ا‬ ‫اوإِذ قا ا‬

70
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 17, h. 26.
71
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 5, h. 3133.
72
QS. Ash-Shaffat [37]: 104.
73
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 450.
74
QS. Hud [11]: 48.
75
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 227.
76
QS. Al-Qasas [28]: 30.
77
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 389.
71

“Dan (ingatlah), ketika Allah berfirman: „Wahai „Isa putra Maryam!....”79

Namun ketika Allah memanggil Nabi Muhammad, Dia tidak pernah

memanggil namanya. Dia tidak berkata: “Wahai Muhammad.” Tapi Dia

memanggil gelar yang mengisyaratkan kemuliaan di sisi Tuhan.80 Memang benar

bahwa keseluruhan mereka semua adalah rasul-rasul Allah, tapi ada satu hal yang

hendak dinyatakan Allah swt., bahwa Muhammad adalah rasul yang menghapus

syariat sebelumnya dan membenarkan keseluruhan rasul. Hal ini membuatnya

layak mendapatkan seruan dengan sifat-sifat yang menempel pada dirinya,

sebagai bentuk kemuliaan dan penghormatan baginya.81

Penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy di dalam

al-Qur‟an adalah sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan,82 yang ditujukan

kepada Nabi Muhammad saw. Terdapat perbedaan dalam penggunaan kedua

panggilan tersebut. Penggunaan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl yaitu panggilan

khusus untuk Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan wahyu dari Allah swt.

dan Allah swt. menjamin keselamatan diri Rasulullah saw. dari perbuatan dan

ganguan manusia yang hendak mencelakainya. Karena menyampaikan wahyu

disini tidak hanya kepada orang-orang muslim saja, namun juga untuk orang-

orang kafir. Kemudian panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy adalah penggunaan

panggilan yang ditujukan untuk Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Yang mana

dalam dua penafsiran diatas dijelaskan dan diperuntukan untuk Nabi Muhammad

saw. dan juga orang-orang mukmin.

78
QS. al-Maidah [5]: 116.
79
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 127.
80
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 19, h. 11887 .
81
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 5, h. 3134.
82
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 541.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Redaksi yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-Nabiy yang ditujukan kepada

Nabi Muhammad saw. di dalam al-Qur‟an adalah sebagai bentuk penghormatan

dan pemuliaan serta pengkhususan kepada Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan

rasul-rasul yang lain, seperti: Nabi Ibrahim as., Nabi Nuh as., Nabi Musa as., dan

Nabi Isa as., yang mana mereka ketika di panggil oleh Allah dengan identitas

mereka. identitas tersebut adalah nama, dan nama tidak memberikan ciri-ciri,

kecuali hanya mempersonifikasikan sesuatu tanpa sifatnya.

Kemudian perbedaan redaksi lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ al-

Nabiy yaitu lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl adalah suatu bentuk panggilan Allah swt.

yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan pesan tersebut yang berupa

menyampaikan wahyu, itu bersifat khusus. Selain itu, Allah swt. menjamin

keselamatan diri Rasulullah saw. dari perbuatan dan gangguan manusia yang

hendak mencelakainya. Karena menyampaikan wahyu disini tidak hanya kepada

orang-orang muslim saja, namun juga untuk orang-orang kafir. Sedangkan lafaz

yâ ayyuhâ al-Nabiy adalah suatu bentuk panggilan Allah swt. yang ditujukan

kepada Nabi Muhammad saw., namun pesan perkataan tersebut bersifat umum.

Sehingga ketika Allah swt. memanggil beliau dan memerintahkan suatu perkara,

maka perintah tersebut tidak hanya berlaku untuk Nabi Muhammad saw. semata,

melainkan juga berlaku untuk umat beliau. Karena Nabi Muhammad saw. adalah

imam bagi umatnya.

72
73

B. Saran

Penelitian ini hanya terfokus pada “Redaksi Yâ Ayyuhâ Al-Rasûl dan Yâ

Ayyuhâ Al-Nabiy dalam Al-Qur‟an” yang ditujukan kepada Nabi Muhammad

saw., dengan sebagian besar data-data dari penafsiran mufassir kontemporer. Oleh

karena itu, dalam upaya pengembangan dan penelitian pada bidang ilmu al-Qur‟an

dan Tafsir berikutnya, akan lebih baik jika mencoba menambahkannya dengan

sumber hadis-hadis, sejarah, atau sintaksis bahasa Arab.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna

ataupun diharapkan. Sehingga penulis yakin bahwa penelitian ini masih memiliki

keterbatasan dalam pembahasannya, dan juga masih banyak yang perlu ditelaah

dan di analisis bagi dunia akademik Mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir secara

khusus dan masyarakat secara umum, demi menambah wawasan khazanah

keilmuan di dunia akademisi.


74

DAFTAR PUSTAKA

Al-A‟zami, Muhammad Mustafa. Sejarah Teks Al-Qur‟an; Dari Wahyu Sampai


Kompilasi. Jakarta: Gema Insani, 2014.

Abdurrahman, Maman. dan Muhidin, Sambas Ali. Panduan Praktis Memahami


Penelitian: Bidang Sosial-Administrasi-Pendidikan. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011.

Al-Dimasyiqî, „Imâdu al-Dîn Abî al-Fidâ` „Ismâ‟îl Ibn „Umar Ibn Katsîr. Al-
Tafsîr Al-Qur`ân Al-„Azîm. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.

Ainol. “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr.” Mutawatir,


vol. 1 no. 2 (Desember 2012): h. 142-154.

Al-Jazâirî, Abû Bakar Jâbir. `Aisar Al-Tafâsîr Li Kalâm Al-„Aliyyi Al-Kabîr.


Madinah: Al-„Ulûm Wa Al-Hikâm, 1997.

Amalia, Gina. “Seruan Yâ Ayyuhannâs dan Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû dalam Al-


Qur‟an; Sebuah Kajian Tematik.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2017.

Amalia, Tuti Nila. “Al-Munâdâ dalam Al-Qur‟an Surat Alî „Imrân, Al-Nisa` dan
Al-Mâ`idah.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Semarang, 2013.

Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013.

Anshori. Ulumul Qur‟an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan. Jakarta:


Rajawali Pers, 2016.

Anwar, Rosihon dan Saehudin. Akidah Akhlak. Bandung: CV Pustaka Setia, 2016.

Anwar, Rusydie. Pengantar Ulum Qur‟an dan Ulumul Hadits. Yogyakarta:


IRCiSoD, 2015.

Arif, Saiful dan Hasan, Zainol. “Eksistensi, Klasifikasi, Dan Orientasi Ayat-Ayat
Nidâ` Makkî dan Madanî.” Nuansa, vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012): h. 47-
74.

Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Rasul dan Risalah dalam al-Qur‟an dan Hadis.
penerjemah Munir F. Ridwan. Riyadh: International Islamic Publishing
House, 2008.

Baihaki. “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama.” Analisis, vol. xvi no. 1
(Juni 2016): h. 125-152.
75

Baqi, Muhammad Fuad „Abdul. Mu‟jam al Mufahras li alfadz al-Qur‟an al-


Karim. Mesir: Dâr al-Hadis, 2007.

Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Al-Farmâwî, „Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟iy dan Cara


Penghimpunannya. penerjemah Abdul Jalil. Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Fauzi, Taufiqurrohman. “Nidâ` Terhadap Para Nabi dalam Al-Qur‟an; Studi


Komparatif dalam Kitab al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Jalaluddin al-
Suyûtî dan al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Badruddin al-Zarkashî.”
Tesis S2 Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2016.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset, 2001.

Has, Muhammad Hasdin. “Metodologi Tafsir Al-Minir Karya Wahbah Al-


Zuhailî.” Al-Munzir, vol. 7 no. 2 (November 2014): h. 41-47.

Hasan, „Abbâs. Al-Nahwu al-Wâfi ma‟a Ribitihi bi al-Asaâlîb al-Râfi‟ah wa al-


Hayât al-Lughawiyyah al-Mutajaddidah. Kairo: Dar al-Ma„ârif, t.t.

Ilyas, Yunanhar. Kuliah Aqidah Islam. Jakarta: LPPI, 2001.

Imzi, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab


Tafir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: Lingkar Studi
al-Qur‟an, 2013.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Qur‟an al-Aisyar. penerjemah Fityan


Amaliy dan Edi Suwanto Jakarta: Darus Sunnah Press, 2011.

Kaltsum, Lilik Ummi dan Ghazali, Abdul Moqsith. Tafsir Ayat-ayat Ahkam.
Ciputat: UIN Press, 2015.

Kamaruddin,Wan Z. “Konsep 'Ismah Nab1 Muhammad saw. dalam Al-Qur'an.”


Usuluddin t.t. h. 157-173

Khair, Sadiani Abdul. “Analisis Kritis Pemikiran Wahbah Az-Zuḥailī Tentang


Penetapan Talak.” Fenomena, vol. 8 no. 2 (2016): h. 143-158

Al-Lahham, Badi‟ al-Sayyid. Sheikh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhailî; Ulama


Karismatik Kontemporer-sebuah Biografi. penerjemah Ardiansyah.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.

Ma‟luf, Luis. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: al-Kaysiyyah al-Abai al-Syuyu‟in,


1931.
76

Mufid, Islahul. “Nidâ` dan Makna-maknanya dalam Surat al-Mâ`idah.” Skripsi S1


Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2017.

Mufid, Mohammad. Belajar Dari Tiga Ulama Syam. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2015.

Al-Qurasyî, Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Idrîs al-Muttalabî. Al-Tafsîr al-Imâm


al-Syâfi‟î. Riyadh: Dâr al-Tadmurayyah, 2006.

Al-Qurtubî, Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar. Al-Jami‟ Li
Ahkam Al-Qur`ân .Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006.

Rahayu, Lisa. “Makna Qaulana dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Tafsir Tematik


Menurut Wahbah Al-Zuhailî.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2010.

Al-Sâbûnî, Muhammad. „Alî. Shafwat al-Tafâsîr. Beirut: Dâr al-Qur`ân al-Karîm,


1981.

Al-Shallabi, Ali Muhammad. Iman Kepada Rasul. penerjemah M. Fakih. Jakarta:


Ummul Qura, 2015.

Shaleh, Qomaruddin. dkk. Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya


Ayat-ayat Al-Qur‟an. Bandung: CV Diponegoro, 1995.

Shihab, M. Quraish. Al-Qur‟an dan Maknanya. Ciputat: Lentera Hati, 2013.

________________. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Kesesrasian Al-Qur‟an.


Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Suryadi. “Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang Pendistribusian Zakat


Pada Ashnaf Gharimin Sebagai Ibra‟.” Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan
Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2012.

Al-Sya‟râwî, Muhammad Mutawallî. Tafsîr al-Sya‟râwî. Kairo: Akhbâr al-Yaum,


1991.

Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafir Klasik-
Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.

Al-Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad Ibn Jarîr. Jâmi‟u Al-Bayân „an Ta`wîl Ay Al-
Qur`ân. Kairo: Dâr al-Hajar, 2001.

Thantawi, Sayyid Muhammad. Ulumul Qur‟an: Teori dan Metodologi.


Yogyakarta: IRCiSoD, 2013.

Tim Ahli Ilmu Tauhid. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq, 1998.
77

Umar, Nasaruddin. Ulumul Qur‟an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-


Qur‟an. Jakarta: Al-Ghazali Center, 2010.

Yusuf, M. Yunan. Bun-Yânun Marshûsh. Ciputat: Lentera Hati, 2014.

Al-Zandani, Abdul Majid. “Ishmah.” dalam Fedrian Hasmand, ed., Ensiklopedi


Iman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016: h. 277.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor


Indonesia, 2014.

Al-Zuhailî, Wahbah. Al-Tafsîr Al-Munîr fī Al-„Aqîdah Wa Al-Sharî „ah Wa Al-


Manhaj. Beirut: Dār al-Fikr, 2009.

_________________. Al-Tafsîr Al-Wasît. Beirut: Dâr al-Fikr. 2001.

Anda mungkin juga menyukai