Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Dede Yasep Jalaludin
NIM: 11140340000130
Puji dan syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat, taufiq, dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Tidak lupa
shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, yakni nabi
Muhammad saw. yang mudah-mudahan kita mendapatkan syafaat di hari kiamat
nanti. Alhamdulillah atas ijin Allah swt. penelitian tentang “Redaksi Yâ Ayyuhâ
Al-Rasûl dan Yâ Ayyuhâ Al-Nabiy dalam Al-Qur‟an (Analisis Penafsiran Wahbah
Al-Zuhailî),” dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan baik ini, penulis ingin
mengucapkan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Selaku Dekan Fakultas Usuluddin
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir sekaligus menjadi penasihat akademik penulis, yang telah banyak
memberi bantuan dan masukan selama studi di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M. Pd., selaku Sekertaris Jurusan Al-Qur‟an
dan Tafsir.
5. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah memberikan ilmu, arahan, dan motivasi kepada penulis sampai
terjuwudnya skripsi ini dengan baik.
6. Seluruh dosen di Fakultas Ushuluddin, khususnya dosen-dosen Jurusan Ilmu
al-Qur‟an dan Tafsir, yang dengan ikhlas memberikan ilmunya sehingga
membuat penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini.
vi
7. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan segalanya kapada penulis,
seperti: biaya, dorongan, arahan dan motivasinya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan tulisan ini.
8. Ibu Hj. Badrah Uyuni, MA. dan Dr. Abdul Mustaqim, MA. yang telah
membantu dan memberikan arahan dalam mengawali dan memulai
penulisan skripsi ini.
9. Guru-guru penulis, mulai dari guru-guru di Bogor ketika jenjang PAUD,
guru-guru di Karangsari ketika jenjang Sekolah Dasar, sampai guru-guru di
Pondok-Pesantren Al-Hikmah Benda ketika jenjang SMP dan SMA, yang
telah berjasa serta ikhlas memberikan dan mengajarkan ilmu-ilmunya
kepada penulis.
10. Para staf manajemen perpustakaan, seperti; Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Iman Jama, Perpustakaan Umum Daerah
Provinsi DKI Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang
telah membantu atas referensi-refrensi yang telah disediakan, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Ziana Maulida Husnia, yang telah membantu dan menemani selama
penulisan skripsi ini.
12. Naseh Maulana, S. Ag. Sahabat penulis di sebarang sana, yang telah mem-
berikan suport dikala penulis sedang mengahadapi jalan buntu.
13. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir angkatan 2014, yang
telah menemani dalam memulai menimba ilmu di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
14. Sahabat-sahabat TH D 2014 “Kandang Macan,” seperti; Adhim, Rizky,
Anas, Apri, Sandi, Mursalin, Faikar, Firdaus, Aminullah, Sya‟dan, Alwi dan
lain sebagainya, yang telah mendampingi dan menopang penulis ketika
kuliah dan menyusun skripsi ini, terutama kepada Aufal selaku teman satu
kosan. Semoga kalian semua menjadi orang-orang yang sukses dan berguna
bagi bangsa dan agama.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kesalahan dan
bahkan jauh sampai pada kata sempurna. Untuk itu penulis meminta maaf dan
vii
juga mengharapkan kritik juga saran dari teman-teman dan dosen-dosen serta
pembaca sekalian, demi penulisan yang lebih baik selanjutnya.
Akhir dari semua ucapan penulis adalah semoga budi baik atau jasa dari
semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini,
mendapatkan balasan dan kebaikan dari Allah swt. `Amîn.
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ..............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................1
G. Metode Penelitian.........................................................................11
2. Pendidikan ...............................................................................17
ix
3. Guru dan Murid ......................................................................19
2. Lawn Tafsir..............................................................................26
AYYUHĀ AL-NABIY
3. Munâdâ .................................................................................34
al-Qur‟an ......................................................................................42
x
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ
AYYUHÂ AL-NABIY
Nabiy ............................................................................................66
al-Nabiy ........................................................................................70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................72
B. Saran .............................................................................................73
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi ini mengacu pada pedoman alih aksara versi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, sesuai keputusan rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta nomor: 507 tahun 2017 tentang pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi,
tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
xii
ك k Ka
ل l El
م m Em
ى n En
و w We
ھ h Ha
ء ` Apostrof
ي y Ye
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ــَا Â a dengan topi di atas
َـــَي Î i dengan topi di atas
َـــَو Û u dengan topi di atas
xiii
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( َ ) ـــdalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata ( ) الضرورةtidak ditulis
ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na„t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
xiv
sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-
Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Namaَ
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.َ
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukanَ
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad saw. adalah penutup para rasul dan nabi secara
keseluruhan. Pada tahap awal dalam menyiarkan agama Islam, Rasulullah saw.
lamanya berdakwah secara rahasia, Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah agar
Allah juga memberitahukan kepada beliau bahwa Allah swt. akan melindunginya
Firman Allah:
1
Muhammad Mustafa al-A‟zami, Sejarah Teks Al-Qur‟an: Dari Wahyu Sampai Kompilasi
(Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 26.
2
QS. Al-Hijr [15]: 94.
3
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 267.
4
„Imâdu al-Dîn Abî al-Fidâ` „Ismâ‟îl Ibn „Umar Ibn Katsîr al-Dimasyiqî, Al-Tafsîr Al-
Qur`ân Al-„Azîm (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), jilid 4, h. 473.
5
Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-
Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006), jilid 8, h. 90.
1
2
ِ ك ِم َن ٱلساَّا مُِ ۡ ٓأَيَي ها ٱلرسول ب لِ ۡغ ماأ أُن ِزل إِل ۡيك ِمن ربِ َۖك وإِن ََّّۡل ت ۡفع ۡل فما ب لَّ ۡغت ِرسالته ۚۥ وٱّلل ي
ع
َ ُ َ َُّ َ ُ ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّّ َ َ َ َ َّ ُ ُ َّ َ ُّ َ
ِ ِ ٱّلل ََل ي ۡه ِدي ۡٱل َق ۡوم ۡٱل َٓك ِ
ينر ف َ ََّ إ َّن
6
َ َ
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan
pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak
menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.” 7
Ibn „Abbâs (w. 687 M) berkata, “Maknanya adalah: sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
merupakan pelajaran bagi Rasulullah saw. dan para pengemban ilmu pengetahuan
wahyu-Nya.8
Menurut Hasan al-Basri (w. 110 H / 728 M), ayat tentang perintah
menyampaikan risalah ini, turun saat Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Allah
mengutusku untuk menyampaikan risalah, akupun tidak mampu untuk itu, aku
6
QS Al-Mâ`idah [5]: 67.
7
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
8
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 8, h. 89-90.
9
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 480.
3
pelindung, pembimbing, dan menjadi segala sesuatu bagimu dan juga Dia yang
menjadi pelindung untuk siapa yang mengikutimu dari orang-orang mukmin yang
mantap imannya. Allah bersama dengan kaum mukminin yang melindungi Nabi
Dalam ayat pertama (surat al-Mâ`idah ayat 67) ketika Rasulullah saw. di
perintahkan oleh Allah swt. untuk menyampaikan wahyu, Allah swt. memanggil
kedua (surat al-Anfâl ayat 64) Allah swt. memanggil Rasulullah saw. yâ Ayyhuhâ
bentuk redaksi, orientasi, dan indikasi; apakah secara sintaksis Arab bentuk
redaksi, orientasi, dan indikasinya sama atau berbeda. Dan adapun untuk dapat
10
QS. Al-Anfâl [8]: 64.
11
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 185.
12
Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 5, h. 491.
4
Wahbah Al-Zuhailî. Sedangkan nama lengkap dari kitab tafsir Wahbah al-Zuhailî
Pemilihan tafsir ini, bukan tanpa alasan. Sebelumnya penulis sudah meneliti
di dalam kitab tafsir Ibn Kasīr dan tafsir al-Zamahsyari namun penulis belum
namun beliau hanya menafsirkan al-Qur‟an tidak sampai pada akhir surat (surat
al-Nâs) sedangkan objek yang di bahas oleh peneliti adalah dalam satu al-Qur‟an
penuh. Penggunaan penafsiran Wahbah al-Zuhailî, itu karena didasari kajian ayat-
sangat amatlah diperlukan, mengingat penelitian ini secara garis besar berkaitan
13
Anshori, Ulumul Qur‟an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016), h. 218.
14
Ma`tsûr atau tafsir bi al-ma`tsûr ialah tafsir yang bersumber dari al-Qur‟an, hadits, dan
atsar sahabat. Lihat Sayyid Muhammad Thantawi, Ulumul Qur‟an: Teori dan Metodologi
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), h. 140.
15
Ra`yu atau tafsir bi al-ra`yi ialah tafsir yang berpegang pada ijtihad atau bersumber dari
pendapat ulama salaf. Lihat Thantawi, Ulumul Qur‟an, h. 143.
5
B. Identifikasi Masalah
sebagai berikut:
membatasinya agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus dan tidak melebar ke
panggilan (nidâ`), yaitu panggilan Allah swt. yang berupa “Yâ Ayyhuhâ al-Rasûl
16
Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr al-Munîr fî al-„ Aqîdah wa al- Syarî‟ah wa al- Manhaj (Beirut:
Dâr al-fikr, 2009), jilid 1, h. 10.
6
al-Rasûl dan yâ ayyhuhâ al-Nabiy terhadap Nabi Muhammad saw. dalam al-
D. Tujuan Penelitian
melalui pelaksanaan penelitian atas menyajikan hasil yang ingin dicapai setelah
penelitian ini selesai dilakukan.17 Tujuan umum dari penelitian ini adalah
dalam al-Qur‟an.
penelitian ini, baik bagi peneliti maupun bagi para pembaca. 18 Adapun manfaat
17
Maman Abdurrahman dan Sambas Ali Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian:
Bidang Sosial-Administrasi-Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 34.
18
Abdurrahman dan Muhidin, Panduan Praktis Memahami Penelitian, h. 35.
7
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S, Ag.) pada
F. Tinjauan Pustaka
yang berisikan uraian hasil telaah terhadap teori dan hasil penelitian terdahulu
Berdasarkan pencarian yang penulis lakukan, ada beberapa karya terdahulu yang
berkaitan dengan tema yang diteliti oleh penulis. Di antara karya-karya tersebut
seperti:
Skripsi yang berjudul Al-Munâdâ dalam Al-Qur‟an Surat Âli „Imrân, Al-
Nisâ` dan Al-Mâ`idah (Studi Analisis Sintaksis) tahun 2013 karya Tuti Nila
Amalia, mahasiswa program pendidikan bahasa Arab jurusan bahasa dan sastra
asing Universitas Negeri Semarang. Skrispsi ini berisiskan jenis munâdâ yang
8
terdapat dalam Al-Quran Surat Âli `Imran, Al-Nisâ` dan Al-Mâ`idah. Kemudian
mendeskripsikan faedah munâdâ yang terdapat dalam Al-Quran Surat Âli `Imran,
Makkî dan Madanî tahun 2012, karya Saiful Arif dan Zainol Hasan. Artikel ini
berisikan tentang kajian ayat-ayat nidâ` yang berstatus makkî dan madanî tentang
atau melalui penggunaan kata nidâ` dengan segala variannya dalam al-Qur‟an.
Melalui klasifikasi ayat-ayat nidâ` pada makkî dan madanî dapat diketahui jumlah
ayat-ayat nidâ` yang makkî dan madanî. Dilihat dari orientasinya, ayat-ayat nidâ`
yang orientasi dan indikasi khithâbnya jelas dan ada pula ayat-ayat nidâ` yang
diketahui melalui indikasi ayat sendiri atau ayat sebelum atau sesudahnya, melalui
hukum.20
tahun 2017 karya Islahul Mufid, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel. Skripsi ini berisikan mengenai ilmu ma‟ani yaitu Nidâ` dan maknanya.
19
Tuti Nila Amalia, “Al-Munâdâ dalam Al-Quran Surat Âli `Imran, Al-Nisâ` dan Al-
Mâ`idah,” (Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 2013).
20
Saiful Arif dan Zainol Hasan, “Eksistensi, Klasifikasi, dan Orientasi Ayat-Ayat Nidâ`
Makkî dan Madanî” Nuansa Pamekasan , vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012), h. 47-74.
9
dalam Al-Qur‟an (Sebuah Kajian Tematik) tahun 2017 karya Gina Amalia
mahasiswa jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga. Dalam Penelitian ini, Seruan merupakan salah satu bentuk dialog dalam
al Qur‟an, salah satu cara Allah swt. berkomunikasi dengan hamba-Nya. Seruan di
sini meliputi panggilan, yang dalam ilmu nahwu disebut nidâ`. Penggunaan nidâ`
di dalam al- Qur'an meliputi lafadz hamzah, ay, yâ dan ayâ, dan dalam penelitian
ini huruf nidâ` yang digunakan yakni lafadz yâ ayyuhâ. Penggunaan gaya bahasa
dipanggil), akan adanya suatu perkara yang penting. Penelitian ini membahas
Tesis yang berjudul Nidâ` Terhadap Para Nabi dalam Al-Qur‟an (Studi
Sunan Ampel Surabaya. Tesis ini berisikan tentang perbedaan bentuk nidâ` yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan Nabi lainnya dalam al-Qur‟an. Dan
untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk nidâ` tersebut, dalam tesis ini
21
Islahul Mufid, “Nidâ` dan Makna-maknanya dalam Surat al-Mâ`idah,” (Skripsi S1
Fakultas Adab dan humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017).
22
Gina Amalia, “Seruan Yâ Ayyuhannâs dan Yâ Ayyuhalladzîna Âmanû dalam Al-Qur‟an;
Sebuah Kajian Tematik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017).
10
merujuk pada dua mufassîr. Yaitu Jalaluddin al-Suyûtî dan Badruddin al-
Zarkashî.23
Buku yang berjudul Rasul dan Risalah Menurut Al-Qur‟an dan Hadis tahun
2008 oleh Umar Sulaiman al-Asyqar. Buku ini berisikan tentang definisi nabi dan
rasul, perbedaan antara keduanya, wajibnya iman kepada para nabi dan rasul, dan
kafirnya orang yang mengaku beriman kepada Allah namun mengingkari para
rasul, atau membeda-bedakan antara para rasul. Kemudian dijelaskan pula sifat-
sifat dan tugas-tugasnya, lalu jumlah para rasul, nama-nama rasul dan nabi yang
disebutkan dalam Al-Qur‟an dan hadits. Selain itu dijelaskan pula dukungan Allah
terhadap para nabi dan rasul-Nya juga tentang cara Allah mengajarkan pada
Adapun perbedaan skripsi ini, dengan karya-karya yang telah ditulis dan
diteliti sebelumnya yaitu penelitian ini lebih difokuskan atau dikhususkan pada
sebelumnya, diantaranya seprti skripsi karya Tuti Nila Amalia, yamg membahas
al-Munâdâ secara umum dalam al-Qur‟an Surat Âli „Imrân, Al-Nisâ` dan Al-
Mâ`idah saja, kemudian skripsi karya Ishlahul Mufid yang membahas tentang
nidâ` dan makna-maknanya dalam surat al-Mâ`idah saja, dan skripsi karya Gina
G. Metode Penelitian
tujuan. Maka metode itu ada beberapa banyak cara. Maka pada bagian ini akan
dijelaskan mengenai metode yang dilakukan dalam penelitian dan juga proses
yang dilalui dalam penelitian tersebut. Penelitian adalah usaha untuk menemukan.
dikerangkakan oleh Abd al-Hayy al-Farmâwî (w. 2017 M). Metode maudû`i yaitu
unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan yang lain dengan
korelasi yang bersifat komprehensif. Sehingga dapat menyajikan tema secara utuh
25
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2001), Jilid 1, h. 4.
26
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama,” Analisis, vol. xvi no. 1 (Juni, 2016): h. 136
12
2. Surnber Data
buku, artikel, skripsi, tesis, dan lainnya yang relevan serta berkaitan.
diperlukan dalam skripsi ini maka metode yang akan dilakukan dalam
yang akan dibahas, dalam hal ini yakni redaksi yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan
khusus.
H. Sistematika Penulisan
Bab pertama adalah bab pendahuluan. Pada bab ini berisikan latar belakang
sistematika penulisan.
Bab kedua adalah bab seputar kehidupan Wahbah al-Zuhailî dan profil
kitabnya. Pada bab ini berisikan biografi dan intelektualitas Wahbah al-Zuhailî,
29
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h. 49.
14
Bab ketiga adalah bab tinjauan tentang yâ ayyhuhâ al-Rasûl dan yâ Ayyhuhâ
al-Nabiy. Pada bab ini, berisikan tinjauan lafadz yâ ayyhuhâ, definisi nabi dan
rasul, arti ke-ma‟sum-an nabi dan rasul, dan terakhir ayat-ayat yâ ayyhuhâ al-
ayyuhâ al-Nabiy.
Bab kelima adalah bab Penutup. Pada bab ini berisikan kesimpulan dan
dari hasil penelitian. Saran atau rekomendasi berupa hal konkret dan merupakan
KITAB TAFSIRNYA
stagnasi, bahkan kian menunjukkan geliat yang kuat di tangan para sahabat,
khususnya Abdullah bin Abbas. Kemudian bergulir terus hingga ke generasi pasca
sahabat (tabi‟in dan seterusnya) dengan ditandai menjamurnya kitab tafsir yang di
al-Ma’tsûr. Tafsir ini mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara
ini kemudian dikenal dengan sebuah metode penafsiran al-Qur‟an yang disebut
dengan metode riwâyah. Selain itu, metode yang digunakan pada masa itu adalah
tersebut mendekati sari kandungan al-Quran, dari sudut tafsir klasik yang banyak
1
Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013), h. 268
2
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,” Mutawatir, vol. 1 no. 2
(Desember 2012): h. 142
3
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî dalam Al-Tafsîr Al-Munîr,” h. 143
15
16
penulis mengangkat kembali serta menjadikannya sub bab, karena masih ada hal-
hal yang kurang di karya-karya ilmiah sebelumnya yang telah penlulis baca.
mepengaruhi penafsiran beliau. Oleh sebab itu, pada bab ini penulis mencoba
kitab tafsirnya serta pembahasan yang menurut penulis belum ditemukan di karya-
1. Riwayat Hidup
Beliau dilahirkan di daerah Dair „Athiyah, Syiria pada 6 Maret 1932 M/1351
H.4 Julukan al-Zuhailî adalah nisbat dari kota Zahlah salah satu nama daerah
Ibunya bemama Fâtimah binti Musṯafâ Sa'dah, dikenal dengan sosok yang kuat
4
A. Husnul Hakim Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir; Kumpulan kitab-kitab Tafir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, (Depok: Lingkar Studi al-Qur‟an, 2013), h. 227.
5
Mohammad Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2015), h. 91.
17
terkenal di bidang fikih beliau juga seorang ahii tafsir. Hampir dan seluruh
keilmuan. Beliau adalah ulama yang hidup diabad ke-20 yang sejajar dengan
tokoh-tokoh lainya. seperti Tâhir ibn „Âsyûr (w. 1973 M), Sa‟id Hawwa (w.
1989 M), Sayyid Qutb (w. 1966 M), Muhammad abû Zahrah (w. 1974 M), dan
yang tinggi dan semangat yang kuat dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.
Sehingga di daerah Syam, beliau sangat dikenal, baik sebagai ulama maupun
2. Pendidikan
ulama besar sudah terlihat sejak dini. ltu sebabnya, sang ayah mendorongnya
untuk menimba ilmu setinggi-tingginya. Selain itu, latar belakang keluarga dari
6
Lisa Rahayu, “Makna Qaulana dalam Al-Qur‟an: Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah Al-Zuhailî,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau, 2010), h. 18.
7
Imzi, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 227.
8
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama,” Analisis, vol. xvi no. 1 (Juni, 2016): h. 130
18
Syari'ah di Damaskus selama enam tahun dan mencapai nilai imtiyaz sekaligus
menjadi yang pertama sebagai pelajar sekolah menengah atas negeri pada
tahun 1952 M, bersamaan dengan itu dia juga memperoleh pengakuan pada
kelas menengah atas jurusan sastra. Pada tingkat mahasiswa setelah mengikuti
ijazah sarjana (baca: License; Lc) pada tahun 1956 M, di tempat yang sama
juga menerima ijazah belajar khusus pada Fakultas Bahasa Arab, sehingga
memperoleh ijazah sarjana magister kelas diploma institut ilmu syari'at dari
9
Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, h. 91.
10
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 163.
11
Muhammad Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî,” Al-
Munzir, vol. 7 no. 2 (November, 2014): h. 44.
19
itu yang terdiri atas ulama terkenal, seperti Syekh Muhammad Abû Zahrah,
dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi pada saat itu).
guru-guru al-Zuhailî dalam bidang fiqh seperti; „Abd al-Razzâq al-Hamasi (w.
1969 M), dan Muhammad Hasyim al-Khatib as-Syafi‟i, (w. 1958 M). Dalam
bidang Ilmu Hadis, ia belajar dari Mahmud Yassin (w. 1948 M), dalam bidang
Tafsir dan Ilmu Tafsir, ia berguru dengan Syaikh Hasan Jankah dan Syaikh
(w. 1395 H), Mahmud Syaltut (w. 1963 M), Abdul Rahman Tajj, Isa Manun,
„Ali Muhammad Khafif (w. 1978 M), Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M),
Syekh Abdul Ghanî Abdul Khâliq (w. 1983 M), Syekh Musṯafâ Abdul Khâliq,
12
Mufid, Belajar Dari Tiga Ulama Syam, h. 93.
13
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 130.
20
Muhammad al-Banna (w. 1949), Syekh Muhammad al-Zafzaf, Syekh Faraj al-
Muhammad Na‟im Yasin, „Abdul al-Satar Abu Ghadah, „Abd al-Latif Farfur,
Sunnah dan mazhab salafî, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme mazhab yang
menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Dalam hal mazhab fikih, beliau
mazhab fikih. Walaupun beliau menganut mazhab Hanafî, akan tetapi beliau
yaitu dalam kitab tafsir al-Munîr dimana tafsir ini bercorak fikih. Kecerdasan
beliau juga memiliki perhatian besar terhadap berbagai disiplin keilmuan, hal ini
karyanya, meskipun karyanya banyak dalam bidang tafsir dan fikih akan tetapi
perkembangan sains.17
Islam. Karya-karyanya yang dikemas dalam bentuk buku melebihi 133 buah
dan jika dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih dari 500
18
makalah. Dan diantara karya-karya Wahbah al-Zuhailî adalah sebagai
berikut:
yang lain adalah Tafsir al-Wajîz, hanya menjelaskan sebagian dari ayat al-
Kemudian Tafsir al-Wasît, tafsir ini terdiri atas 3 jilid. Tafsir ini
17
Sadiani Abdul Khair, “Analisis Kritis Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang Penetapan
Talak,” Fenomena, vol. 8 no. 2 (2016): h. 147.
18
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 165.
19
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 132.
20
Al-Zuhailî, Tafsir Wasith, jilid 1, h. 6.
22
wa al-Idz.22
berbentuk buku yang sudah dicetak dan tersebar di kalangan akademisi, bahkan
negara.
21
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 47.
22
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 48.
23
Hasdin Has, “Metodologi Tafsir Al-Munir,” h. 48.
23
Penyusunan tafsir ini pada tahun 1408 H, yang dimulai dari surat al-Fâtihah
sampai surat al-Nâs dalam rentang waktu 16 tahun, setelah selesai menulis dua
buku lainnya, yaitu Ushûl al-Fiqh al-Islâmî (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islâm wa
Adillatuh (8 Jilid). Kemudian kitab ini, diterbitkan pertama kali oleh Dâr al-Fikr,
Beirut-Libanon dan Dâr al-Fikr Damshiq Suriah pada tahun 1991 M/1411 H,
Kata al-Munîr yang merupakan isim fâ’il dari kata nâra (dari kata nûr:
cahaya) yang berarti yang menerangi atau yang menyinari. Sesuai namanya,
Wahbah Zuhailî bermaksud menamai kitab tafsir ini dengan nama Tafsir al-Munîr
adalah beliau berkeinginan supaya kitab tafsirnya ini, dapat menyinari orang yang
ini.26
24
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fī al-‘Aqîdah wa al-Sharî‘ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2009), jilid 1, h. 6.
25
Ainol, “Metode Penafsiran Al-Zuhailî,” h. 146.
26
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munir,” h. 133.
24
Adapun Tujuan utama penyusunan tafsir ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh
“Tujuan utama saya dalam menyususn kitab ini adalah menciptakan ikatan
ilmiah yang erat antara seorang muslim dengan Kitabullah „Azza wa Jalla.
Sebab al-Qur‟an yang mulia merupakan konstitusi kehidupan umat manusia
secara umum dan khusus, bagi seluruh manusia dan bagi kaum muslimin
secara khusus.”27
Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan tafsir al-
Munîr ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir
mufassir yang basic keilmuannya sains, oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik
harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten
tafsir. Ini tafsir yang ditulisnya dengan dasar selektifitas yang lebih shahih,
bermanfaat dan mendekati ruh (inti sari) al-Qur‟an, baik dari tafsir klasik maupun
27
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, Jilid 1, h. 9.
28
Syibromalisi dan Azizy, Membahas Kitab Tafir Klasik-Modern, h. 167.
25
modern, disertai dengan teori-teori ilmiah yang konsisten dan benar. Adapun
perspektif sumber materi yang digunakan mufassir selama ini, tafsir dibagi
menjadi dua; tafsîr bi al-Ma`tsûr (riwayat) dan tafsîr bi al-Ra`yi.30 Kedua tafsir
ini juga dikenal dengan nama tafsîr bi al-Riwâyah dan tafsîr bi al-Dirâyah.
Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir, dalam hal ini
adalah Tafsir al-Munîr, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam
tafsir tersebut. Jika disejajarkan dengan pembagian corak tafsir, maka tafsir ini
29
Suryadi, “Studi Pemikiran Wahbah Al-Zuhailî Tentang Pendistribusian Zakat Pada
Ashnaf Gharimin Sebagai Ibra‟,” (Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2012), h. 23.
30
Yang dimaksud dengan Ra`yu di sini adalah sebuah ijtihad yang dibangun di atas dasar-
dasar dan kaidah yang benar dengan tujuan menjelaskan makna-makna al-Qur‟an. Ijtihad ini bukan
melainkan ijtihad yang sesuai dengan syariat Islam, tidak membodohkan dan menyesatkan, sejalan
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan memahami ushlub-ushlub (stilistika) teks al-Qur‟an. Lihat
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an; Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-Qur’an, (Jakarta:
Al-Ghazali Center, 2010), jilid 2, h. 413.
26
Ra`yi dengan mendasarkan kepada sumber yang valid dari kitab tafsir klasik
dan modern.31
2. Lawn al-Tafsîr
Lawn al-Tafsîr atau corak tafsir biasanya dikategorikan para ahli dengan
dari penafsiran yang digunakan oleh al-Zuhailî dalam kitab tafsirnya ini, bisa
dikatakan bahwa corak tafsir yang digunakan adalah corak kesastraan (adâbi)
(fiqh). Hal ini terutama ditunjuan dengan adanya penjelaskan fiqh kehidupan
(fiqh al-hayat) atau hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat
antara Adâbi Ijtimâ’i dan nuansa fiqhnya atau penekanan ijtimâ‟inya lebih ke
nuansa fikih.32
3. Metode al-Tafsîr
tafsir tahlîli yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti
semua aspeknya, dimulai dari uraian makna kosakata, kalimat, kaitan antar
31
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 8.
32
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir al-Munîr,” h. 137-138.
27
seperti redaksi yang berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-
ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan
tafsir tahlîli, yaitu menafsirkan ayat-ayat secara luas dari berbagai segi dengan
menafsirkan ayat terakhir yaitu surat al-Nâs dan menafsirkan ayat-ayat al-
33
Baihaki, “Studi Kitab Tafsir Al-Munîr,” h. 135-136.
28
Qur‟an secara rinci serta panjang lebar. Contoh penafsiran Wahbah al-Zuhailî
اَّللُ أ َ
َحد قُ ْل ُى َو ه
البالغة :قُ ْلُ :ى َو ذكر االسم اجلليل بضمري الشأن للتعظيم واإلجالل.
َحد أي قل أيها الرسول ملن سألك عن صفة ربك ونسبتو :ىو التفسري والبيان :قُ ْلُ :ى َو ه
اَّللُ أ َ
اَّلل أحد ،أي واحد يف ذاتو وصفاتو ،ال شريك لو ،وال نظري وال عديل .وىذا وصف ابلوحدانية
ه
وتقرون أبنو خالق السموات واألرض وخالقكم،
اَّلل الذي تعرفونو ّ
ونفي الشركاء .واملعىن :ىو ه
وىو واحد متوحد ابأللوىية ،ال يشارك فيها .وىذا نفي لتعدد الذات.
فقه احلياة أو األحكام :تضمنت ىذه السورة املوجزة إثباات ونفيا يف آن واحد .فقد أابنت أن
اَّلل تعاىل واحد يف ذاتو وحقيقتو ،منزه عن مجيع أحناء الرتكيب ،ونفت عنو كل أنواع الكثرة
ه
34
َحد.
اَّللُ أ َ
بقولو :ه
Contoh di atas menunjukkan bahwa metode penafsiran Wahbah al-
Zuhailî termasuk dalam kategori tafsir tahlîli. Ayat di atas ditafsirkan oleh
34
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, Jilid 15, h. 867-870.
29
ditafsirkan.
ditafsirkan.35
dipengaruhi oleh al-Râzî dalam tafsirnya, al-Tafsîr al-Kabîr, Abî Hayyân al-
35
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 9.
30
Andalusî dalam kitab al-Tafsîr al-Muhît, al-Alûsî dalam kitab rûh al-Ma’ânî,
hukum-hukum fiqih, terpengaruh oleh tafsir al-Qurtubî, Ibn Katsîr, al-Jasâs dan
dengan al-Nasafî, Abî Hayyân, Ibn al-Anbâri, Ibn al-Jazurî dalam kitabnya al-
yang berkaitan dengan saintis, yaitu seperti Tantâwî Jauharî dalam karyanya
tafsir al-Munîr. Metode penafsiran dalam kitab ini yaitu metode tahlîli dan
bercorak fiqh. Tafsir al-Munîr sendiri merupakan produk era modern yang
dihasilkan dengan menawarkan sebuah sistem penulisan yang sederhana dan pola
Dimulai dengan menuliskan ayat ayat bahasan dengan tema sentral, kemudian
mengurai ayat dalam bentuk klausa dan frase yang dianggap penting pada sub
judul i’rab, balâghah, mufradât lughâwi, menjelaskan asbâb al-nuzûl ayat, tafsir
36
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 1, h. 13.
37
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 13-14.
BAB III
TINJAUAN TENTANG YÂ AYYUHÂ AL-RASÛL DAN YÂ
AYYUHÂ AL-NABIY
yang menjadi objek penelitian ini, tidak terlepas dari huruf-huruf ataupun lafadz-
lafadz yang merangkainya. Jika diteliti secara detail, lafaz tersebut terdiri atas
nidâ` (Panggilan), dan munâdâ (nama yang dipanggil atau lawan bicara). Dengan
demikian peneliti mencoba untuk menelusuri secara mendalam tentang nidâ` itu
sendiri. Kemudian peneliti juga mencari dan mencoba memahami tentang lafaz al-
Rasûl dan al-Nabiy mulai dari definisi sampai pada perbedaan dari keduanya.
A. Tinjauan Lafaz
Tinjauan lafaz di sini, yaitu berkaitan tentang lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl dan
yâ ayyuhâ al-Nabiy. Di mana lafaz tersebut tersusun atas nidâ` (Panggilan), dan
munâdâ. Untuk mengetahui lebih lanjut apa itu nidâ` dan munâdâ, lalu apa saja
huruf-huruf nidâ` serta apa pengaruh terhadap lafaz al-Rasûl dan al-Nabiy, di sini
1. Nidâ` (panggilan)
Secara etimologi, nidâ` adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu
()صاح بو seperti : ََن َدى الرجل (dia memanggil orang itu).1 Pemaknaan ََن َدى
dengan beberapa arti ini sebab pemanggil biasanya berteriak untuk mengajak,
1
Luis Ma‟luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: al-Kaysiyyah al-Abai al-Syuyu‟in, 1931), h.
867.
31
32
gramatikal, kata ََن َدىmempunyai arti banyak sesuai penggunaan kata itu dalam
(dia menampakkan rahasinya), melihat dan mengetahui seperti: ( ََن َدى الشئdia
Sedangkan pengertian nidâ` menurut istilah adalah setiap lafaz atau ayat
yang struktur bahasanya tersusun dari huruf nidâ` dan munâdâ (nama yang
dipanggil atau lawan bicara). Menurut Abbâs Hasan nidâ` diartikan sebagai
satu huruf nidâ` sebagai alat pemanggil. Pengertian kedua menurut Abbâs
2. Huruf-huruf Nidâ`
hamzah maqsûrah).4
Dari delapan huruf ini, dalam penggunaan dan fungsinya, Ulama Nahwu
2
Saiful Arif dan Zainol Hasan, “Eksistensi, Klasifikasi, dan Orientasi Ayat-Ayat Nidâ`
Makkî dan Madanî” Nuansa Pamekasan , vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012), h. 54.
3
„Abbâs Hasan, al-Nahwu al-Wâfi ma‟a Ribitihi bi al-Asaâlîb al-Râfi‟ah wa al-Hayât al-
Lughawiyyah al-Mutajaddidah (Kairo: Dar al-Ma„ârif, t,th), juz 6, h. 1.
4
„Hasan, al-Nahwu al-Wâfi ma‟a Ribitihi bi al-Asaâlîb al-Râfi‟ah, juz 6, h. 1.
33
a. Jauh atau mirip dengan jauh, yaitu huruf nidâ‟ أي, آ, ىيا, أي, ي dan آي
dipakai untuk memanggil munâdâ (lawan bicara) yang jauh, atau mirip
dengan munâdâ yang jauh, seperti orang yang sedang tidur atau lupa.
Batasan jauh dan dekat disusuaikan dengan „urf (kebiasaan yang sudah
berlaku). Jika konsep nidâ` menggunakan salah satu huruf yang enam ini,
c. Sedih, yaitu وا (wâ), dipakai ketika dalam keadaan bersedih hati karena
mandûb (nidâ‟ yang dipakai ketika dalam keadaan sedih atau karena
sakit), seperti: وا زيداه وا ظهراه. Lafadz ini memiliki arti, kasihan Zaid,
d. Dekat dan jauh, ي yaitu memanggil lawan bicara yang dekat dan yang
jauh saja, padahal faktanya “yâ” selalu dipakai untuk nidâ` kepada Allah,
dipakai untuk memanggil lawan bicara yang dekat dan yang jauh.5
5
Taufiqurrohman Fauzi, “Nidâ‟ Terhadap Para Nabi Dalam Al-Qur‟an; Studi Komparatif
dalam kitab al-Itqân fi „Ulûm al-Qur‟an karya Jalaludin al-Suyutiî dan al-Burhân fi „Ulûm al-
Qur‟an karya Badruddin al-Zarkashî” (Tesis Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 25-26.
34
3. Munâdâ
Pembahasan lafaz yang ada setelah huruf nidâ`, yaitu lafaz yang dikenal
dengan istilah munâdâ (orang yang dipanggil). Karena huruf nidâ` dan munâdâ
adalah satu rangkaian bahasa yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu tidak
bisa dikatakan sebagai konsep nidâ` apabila di dalamnya tidak ada huruf nidâ`
a. Al-Mufrad al-„alam (nama yang dipakai untuk satu orang), yaitu nama
yang tidak terdiri dari mudhaf (stuktur kata yang terdiri dari dua lafaz dan
bukan shabîh bi al-muhaf (serupa dengan mudhaf). Oleh karena itu, lafaz
tatniyyah (lafaz yang memiliki arti dua), jama„ (lafaz yang memiliki arti
nidâ`. Kemudian khitabnya mengarah kepada satu orang tertentu, dan lafaz
nya menjadi ma„rifah, lafaz tersebut ditujukan kepada satu orang tertentu
tersebut tidak dipakai untuk nidâ`, maka tetap berlaku seperti sebelumnya,
6
QS. Hûd [11]: 46.
7
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 227.
35
yaitu selalu nakirah. Seperti lafaz رجل, memiliki arti umum, tidak tentu
pada satu orang saja. Ketika diawali dengan huruf nidâ`, maka lafaz
tersebut berubah fungsi, seperti: يرجل سأساعدك على احتمال املشقة, lafaz ini
menunjukkan pada orang yang dikenal bentuk dan sifatnya. Tidak lagi
dipakai untuk umum, karena ditujukan kepada lawa bicara yang sudah
nyata keberadaannya.
tidak tertuju pada satu orang tertentu walaupun sudah menjadi munâdâ.
Oleh karenanya, tida bisa dikatakan sebagai isim ma„rifat. Contoh, ي عاقال
( تذكر اآل خرةhai orang yang berakal, ingatlah hari akhirat).
d. Mudhaf, yaitu lafaz yang digabung dengan lafaz lain, disandarkan kepada
mukhatâb (kata ganti yang menunjukan lawa bicara). Seperti contoh yang
ين ِ ت إِِّن رأ َۡيت أَحد عشر َك ۡوَكبا وٱلش َّۡمس و ۡٱل َقمر رأ َۡي ت ه ۡم ِِل َٰس ِج
د ِ َبأ
َي ِ
يوِب ِ ال يوسف
ِل
ِۡ
ُ ُ َ ََ َ َ َ ً ََ َ َ َ ُ َ ّ َ َ َٰ َ ُ ُ ُ َ إ
َ ق ذ
8
َ َ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya (Nabi Ya‟qub as.):
“Wahai ayahku! Sesungguhnya aku telah (bermimpi) melihat sebelas
bintang, matahari dan bulan; telah kulihat semuanya dalam keadaan
sujud kepadaku.”9
8
QS. Yusuf [12]: 4.
9
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 235.
36
tanganku).10
dengan alif dan lam ( ال ) secara langsung berkumpul dalam satu kalimat,
kecuali dalam tempat tertentu. Maka dari itu Yâ ayyuhâ al-Rasûl dan yâ ayyuhâ
al-Nabiy, lafaz ayyuhâ mewajibkan rafa‟ bagi lafaz yang dibarengi dengan al
dan al-Nabiy menjadi sifat bagi ayyun, lafadz al-Rasûl dan al-Nabiy wajib
dirafa‟kan menurut kebanyakan ulama nahwu karena menjdi subjek nidâ` yang
sesungguhya.11
1. Definisi Nabi
Dalam bahasa Arab, kata nabi berasal dari kata naba`, yakni: berita.
ۡ
12
)٢( ) َع ِن ٱلنَّبَِإ ٱل َع ِظي ِم١( َع َّم يَتَ َساأءَلُو َن
“Tentang apakah mereka (penduduk Mekkah) saling bertanya?. Tentang berita
yang besar (yang disampaiakn oleh Nabi Muhammad saw., anatara lain
keniscayaan Hari Kiamat)”13
Adapun secara istilah, nabi adalah seorang laki-laki yang diberi kabar
dan berhukum dengannya. Dinamakan nabi karena ia memberi kabar dan diberi
ۡ ۡ
15
ِ يَ ۡعلَ ُم ِسَّرُك ۡم َو َج ۡهَرُك ۡم َويَ ۡعلَ ُم َما تَۡ ِسبُو َن
ِ ت َوِِف ٱِل َۡر
ِ ٱلس َٰم َٰو ِ َّ وُىو
َ َ َّ ٱَّللُ ِف َ َ
“Dan Dia-lah Allah (Yang Kuasa dan disembah), di langit dan di bumi; Dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan dan
mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” 16
Nabi juga memberi kabar dari Allah swt. perintah dan wahyu-Nya.
ِٱلر ۡ ِ ِ ۡ
يم حَّ ور
ُ َ َّنأ أ َََن
ف
ُ غ ٱل نَبِّئ عبَاد أ
ِّي أ
17
ُ
“Beritahukanlah (kepada) para hamba-Ku, bahwa Aku-lah Yang Maha
Pengampun, lagi Maha Pengasih.”18
Nabi mempunyai harkat dan kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Para
nabi adalah makhluk paling mulia. Mereka adalah tanda yang dipakai manusia
untuk mencari petunjuk, sehingga dunia dan akhirat mereka menjadi baik.19
12
QS. Al-Naba` [78]: 1-2.
13
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 582
14
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2 (Jakarta: Darul Haq, 1998), h. 85.
15
QS. Al-An‟âm [6]: 3.
16
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h.128.
17
QS. Al-Hijr [15]: 49.
18
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 264.
19
Umar Sulaiman al-Asyqar, Rasul dan Risalah. penerjemah Munir F. Ridwan (Riyadh:
IIPH, 2008), h. 23-24.
38
2. Definisi Rasul
Adapun rasul berasal dari kata irsâl yang secara bahasa bermakna:
adalah rasul (utusan) anda. Allah swt. berfirman ketika mengisahkan Ratu
Saba‟:
ۡ ِ َوإِِّن م ۡرِسلَةٌ إِلَ ۡي ِهم ِِب ِديٍَّة فَن
20
اظَرةُ ِبَ يَ ۡرِج ُع ٱل ُم ۡر َسلُو َن َ ُ َّ
“Dan sesungguhnya aku akan mengirim kepada mereka hadiah, dan aku
menunggu apa yang akan dibawa oleh para utusan (itu)".21
orang yang diutusnya.” Berasal dari perkataan orang arab “jât al-Iblilu rasala”
yang artinya unta datang berturut-turut. Para rasul dinamakan seperti demikian
َۚ ي ِ ُُثَّ أ َۡرس ۡلنا رسلَنا تَ ۡت را ُك َّل ما جاأء أ َُّم ًة َّرسوُُلا َك َّذبوه فَأ َۡت ب ۡعنا ب ۡعضهم ب ۡعضا وجع ۡلَٰنه ۡم أ
َ َحاد
َ َُ َ َ َ ً َ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ َ َ َُُ َ َ
22
فَبُ ۡع ًدا لَِّق ۡوٍم َّال يُ ۡؤِمنُو َن
“Kemudian, Kami mengutus para rasul Kami secara berturut-turut. Setiap
seorang rasul datang kepada umatnya, mereka mendustakannya, maka Kami
iringkan (kebinasaan) sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Dan Kami
jadikan mereka buah tutur (yang mengherankan pendengarnya), maka
kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman.” 23
Secara istilah, rasul adalah seorang laki-laki yang merdeka yang diberi
20
QS. Al-Naml [27]: 35.
21
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 379.
22
QS. Al-Mu`minûn [23]: 44.
23
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 345.
39
Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, tapi di
mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh
diangkat menjadi nabi dengan lima ayat pertama dari surah al-„Alâq dan
diangkat menjadi rasul dengan dengan tujuh ayat pertama dari surah al-
Mudatsir. Jadi dapat disimpulkan bahwa setiap rasul itu adalah nabi, tetapi
26
...ِف أ ُۡمنِيَّتِ ِوۦ
ِ نََٰ ن أ َۡل َقى ٱلش َّۡي
ط أ
َٰ َّ َت
ََ ا ذ
َ ِ
إ ال
أ َِّإ ب
ٍ ِن
َ ال
و
َ ٍ
لو سر
َّ ن ِك
م َ
ِوماأ أ َۡرس ۡلنا ِمن قَ ۡبل
َ َ ََ
ُ أ ّ َ ُ
“Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Nabi Muhammad saw.) seorang
rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia
berkeinginan (dan mengharapkan keberhasilan memberi hidayah pada
kaumnya), setan pun mencampakan (godaan dan rayuan) terhadap
keinginannya (yakni keinginan masing-masing nabi dan rasul, dengan
harapan apa yang dicampakannya dapat menggagalkan keinginan mereka
itu)...”27
24
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2, h. 85.
25
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 24-25.
26
QS. Al-Hajj [22]: 52.
27
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 338.
28
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 25.
40
b. Nabi adalah orang yang menerima wahyu dari Allah swt. dan juga
kepada keimanan. Adapun rasul, daia adalah orang yang diutus kepada
c. Rasul adalah seseorang yang diutus dengan membawa syari‟at baru, nabi
untuk mengetahui makna dari maksum itu sendiri. Dari segi bahasa, „ismah
bermaksud terpelihara. Dari segi istilah, yaitu rahmat Allah yang khusus
daripada dosa dan salah dengan usaha dan ikhtiâr sendiri. Mereka digelar
terpelihara dari dosa, orang yang suci dari berbuat dosa. „ishmah berarti
29
Ali Muhammad al-Shallabi, Iman Kepada Rasul. penerjemah M. Fakih, (Jakarta: Ummul
Qura, 2015), h. 27.
30
Rosihon Anwar dan Saehudin, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h.
170.
31
Wan Z. Kamaruddin, “Konsep 'Ismah Nabi Muhammad saw. dalam Al-Qur'an,”
Usuluddin, t.t, h. 156-157.
41
maksum merupakan sifat esensial dari setiap nabi. Hal inilah yang
Setiap nabi dan rasul, maksum dari perbuatan dosa dan terpelihara dari
segala macam dosa. Baik dosa yang kecil apalagi dosa yang besar.33 Salahsatu
keistimewaan rasul di banding nabi adalah seluruh rasul yang diutus, Allah
berfirman Allah:
Sedangkan nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh oleh kaumnya.
Allah swt. berfirman:
... dan (mereka) membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Yang
demikian itu karena mereka (selalu) durhaka dan melapaui batas.”38
32
Abdul Majid al-Zandani, “ishmah,” dalam Fedrian Hasmand, ed., Ensiklopedi Iman,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), h. 277.
33
Yunanhar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Jakarta: LPPI, 2001), h. 136.
34
Al-Asyqar, Rasul dan Risalah, h. 139
35
QS Al-Mâ`idah [5]: 67.
36
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
37
QS. Al-Baqarah [2]: 61.
38
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 9.
42
Selain ayat di atas Allah swt. juga menyebutkan dalam ayat-ayat yang lain
sebanyak dua kali, dan lafadz yâ ayyuhâ al-Nabiy disebutkan sebanyak 13 kali.41
Meliputi:
39
QS. al-Bâqarah [2]: 91.
40
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 14.
41
Muhammad Fuad „Abdul Baqi, Mu‟jam al Mufahras li alfadz al-Qur‟an al-Karim
(Mesir: Dâr al-Hadis, 2007), h. 135-137.
43
Tertib Mushaf
Penggolongan
Tertib Nuzul
Nomor Ayat
Nama
No Potongan Ayat
Surat
Surat
ِ َّ ۡ
ين
َ نك ٱلذ َ ول َال ََي ُز ُ ٱلر ُس َّ ََٰأَيَيُّ َها
Madaniyyah42
ْين قَالُأوا ِ َّي َٰس ِرعو َن ِِف ۡٱل ُۡ ۡف ِر ِمن ٱل
ذ
1 Al-Mâ`idah 41 5 112
َ َ ُ َُ
ۡ
...ءَ َامنَّا ِِبَف ََٰوِى ِه ۡم َو ََّۡل تُ ۡؤِمن قُلُوبُ ُه ۡم
ۡ ِۡ
ك ِمن َ ول بَلّغ َماأ أُن ِزَل إِلَي ُ ٱلر ُس َّ ََٰأَيَيُّ َها
Madaniyyah
ۡ ۡ ۡ ۡ
2 Al-Mâ`idah 67 5 112 ت َ ك َوإِن ََّّل تَف َعل فَ َما بَلَّغ َ َِّّرب
...ُِر َسالَتَو
Tertib Mushaf
Tertib Nuzul
Nomor Ayat
Nama
No Potongan Ayat
Surat
Surat
ۡ
ٱَّللُ َوَم ِن
َّ ك َ َُّب َحسب ُّ ََِٰأَيَيُّ َها ٱلن
Madaniyyah
َ ُ ِ َّب َحِّر
ي َعلَى ُّ ََِٰأَيَيُّ َها ٱلن
2 Al-Anfāl 65 8 88 ۡ
... ٱل ِقتَ ِال
42
Madaniyyah adalah firman Allah yang turun sesudah periode hijriah, meskipun ayat
tersebut turun di luar Madinah, bahkan di Makkah sekalipun. Lihat buku Rusydie Anwar,
Pengantar Ulum Qur‟an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 54.
44
Madaniyyah
ۡ ۡ
3 Al-Anfāl 70 8 88 ٱَّللُ ِِف قُلُوبِ ُۡ ۡم ى إِن يَعلَ ِم َّ ٱِل َۡسَر َٰأ
َخ ۡي ًرا ...
Madaniyyah
ۡ ۡ ۡ
4 Al-Taubat 73 9 113 َوٱغلُظ َعلَ ۡي ِه ۡم َوَمأ َوىَٰ ُه ۡم َج َهن َُّم
ُ ُۡ وبِ ۡئس ۡٱلم ِ
َ َ َ
ٱَّللَ َوَال تُ ِط ِع َّب ٱتَّ ِ ِّۗ َّ ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ
Madaniyyah
ۡ ۡ ۡ ۡ
6 Al-Ahzâb 28 33 90 تُِرد َن ٱَۡيَ َٰوَة ٱلدُّن يَا َوِزينَ تَ َها فَتَ َعالَ َ
ي
أُمتِّ ۡع ُۡ َّن وأُس ِر ۡح ُۡ َّن سراحا َِ
َجي ًال ََ ً َ َّ َ
ِ ۡ ۡ
ك ََٰش ِه ًدا َٰ ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ
َّب إ ََّنأ أَر َس َ
ن ل
Madaniyyah
َ
7 Al-Ahzâb 45 33 90
َوُمبَ ِّشًرا َونَ ِذيًرا
ۡ ۡ ۡ
َّب إِ ََّنأ أَحلَلنَا لَ َ
ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ
Madaniyyah
ك
ك أَزََٰو َج َ
8 Al-Ahzâb 50 33 90
ورُى َّن ... ٱَٰلَِّ ۡ
ُج َ
تأُ ِت ءَاتَي َ
أ
ِۡ ِ
ك َوبَنَاتِ َ
ك ِّلَزََٰوج َ ََٰأَيَيُّ َها ٱلنِ ُّ
َّب قُل
Madaniyyah
ت َٰ
ن
َ َِٰأَيَيُّها ٱلنَِّب إِذَا جاأء َك ۡٱلم ۡؤ
م
ُ ُ ََ ُّ َ َ
Madaniyyah
Al-
ِٱَّلل ۡ ۡ ۡ
10
Mumtahanah
12 60 91 َّ ِك َعلَ َٰأى أَن َّال يُش ِرك َن بَ َيُبَايِعن
... َش ۡيئًا
ِ ۡ َّ ِ ُّ َِٰأَيَيُّ َها ٱلن
ََّب إذَا طَلقتُ ُم ٱلنّ َساأء َ
Madaniyyah
ِۡ ۡ ِِ ِ ِ ِ
11 Al-Talâq 1 65 99 ُواْ ٱلع َّد َة ُ وى َّن لعدَِّت َّن َوأَح ُ فَطَلّ ُق
... ٱَّللَ َربَّ ُۡ ۡم
َّ َْوٱتَّ ُقوا
ِ َِٰأَيَيُّها ٱلن
ك َ َٱَّللُ ل َ َّب َّلَ ُُتَِّرُم َماأ أ
َّ َح َّل ُّ َ َ
Madaniyyah
َّ ك َو
ٱَّللُ َغ ُفوٌر ِ ۡ تَ ۡب تغِي م ۡرض
12 Al-Tahrîm 1 66 107 َ ات أَزََٰوج َ َ َ َ
يم ِ
ٌ َّرح
ِ ِ ۡ َٰأَيَيُّها ٱلنَِّب َٰج ِه ِد ۡٱل ُۡف
يَ َّار َوٱل ُمَٰنَفق
َ َ ُّ َ َ
Madaniyyah
ۡ ۡ ۡ
13 Al-Tahrîm 9 66 107 َوٱغلُظ َعلَ ۡي ِه ۡم َوَمأ َوىَٰ ُه ۡم َج َهن َُّم
ُۡ ُِ وبِ ۡئس ۡٱلم
َ َ َ
al-Qur‟an tersusun atas huruf nidâ‟ dan munâdâ (nama yang dipanggil atau lawan
(tambahan) dan lafadz al-Rasûl dan al-Nabiy menjadi sifat bagi ayyun.
ayyuhâ al-Rasûl terdapat dalam dua ayat, dan panggilan yâ ayyuhâ al-Nabiy
dengan dua panggilan yang berbeda. Yaitu yang pertama dengan panggilan yâ
1
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr fī al-„Aqîdah wa al-Sharî„ah wa al-Manhaj
(Beirut: Dâr al-Fikr, 2009), Jilid 3, h. 545.
2
QS. Al-Mâ`idah [5]: 41.
46
47
menyucikan hati mereka. Mereka tidak di dunia mendapat kehinaan dan bagi
mereka di akhirat azab yang sangat besar.3
a. Balâghah
الر ُس ْو ُل
َّ َيا أايُّ اها disini Rasulullah saw. dipanggil dengan menggunakan
b. Asbâb al-Nuzûl
Ayat ini turun dilatar belakangi oleh kasus Yahudi Bani Quraidah dan
Muhammad untuk untuk meminta fatwa, jika dia memberi fatwa kepada kalian
dengan menjemur dan mendera, maka ambilah. Tetapi jika ia memberikan fatwa
kepada kalian dengan hukum rajam, maka tinggalkanlah ia.5 Lalu merekapun
antara mereka, lalu beliaupun memberikan putusan hukum di antara mereka yang
menyamakan antara orang dari Bani Quraidah dan orang dari Bani Nâdhir.6 Yaitu
nabi Muhammad saw. menetapkan hukuman rajam bagi orang yang berzina.
lalu orang-orang yahudi membawa seorang hukuman yang dijemur dan dipukuli.
terhadap orang yang berzina yang kalian dapati di dalam kitab kalian?” Mereka
menjawab: “Ya.” Aku bersumpah atas nama Allah yang telah menurunkan Taurat
kepada Musa, apakah demikian kamu dapati hukuman orang yang berzina di
3
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 114
4
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 541.
5
Muhammad „Alî al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Qur`ân al-Karîm, 1981),
jilid 1, h. 343.
6
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 543.
7
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 3, h. 541.
48
dalam kitabmu?”. Ia menjawab: “Tidak, demi Allah jika engkau tidak bersumpah
terlebih dahulu tidak akan kuterangkan, bahwa hukuman bagi orang yang berzina
di dalam kitab kami adalah rajam. Akan tetapi karena banyak pembesar-pembesar
kami yang melakukan zina, maka kami biarkan, dan apabila seseorang yang hina
berzina kami tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul
dan mengubah hukum tersebut dengan menetapkan hukum yang ringan untuk
Rasulullah saw. menetapkan hukum rajam, dan dirajamlah yahudi pezina itu.
sementara ada sebagian manusia yang berpaling darinya dan begitu bersemangat
dalam bersegera kepada kekafiran, Allah swt. pun menguatkan hati rasul-Nya
supaya ia bersabar dan tegar dalam menghadapi semua itu, serta menyuruhnya
untuk tidak bersedih hati karenanya. Dalam hal ini, Allah swt. berfirman ٓاأَيايُّ اها
نك ۡ
ول اَل اَي ُز ا
ُ ٱلر ُس.
َّ
Allah swt. memanggil Nabi-Nya, Muhammad saw. dengan menggunakan
Sedangkan panggilan yâ ayyuhâ al-Rasûl ini, tidak digunakan oleh Allah swt.
kecuali di dua tempat saja. Pertama dalam surat al-Mâ`idah Ayat 41, dan yang
8
Qomaruddin Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur‟an (Bandung: CV Diponegoro, 1995), h. 184.
49
kedua adalah dalam al-Mâ`idah Ayat 67. Hal ini merupakan panggilan
Ayat ini adalah peringatan secara umum sekaligus untuk menguatkan jiwa
padamu wahai nabi atas orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi itu. Karena
itu janganlah bersedih atas apa pun yang terjadi pada mereka selama keberadaan
kekafiran membuatmu sedih, sebab mereka adalah salahsatu dari dua golongan;
namun hati mereka tidak beriman, atau golongan yahudi yang serius
dusta tentang Nabi Muhammad saw. dan apa pun yang berkenaan dengan hukum-
Muhammad saw. yaitu supaya mereka memanggil beliau dengan titel beliau,
9
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 545.
10
Wahbah al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 462
11
QS. al-Nûr [24]: 63.
12
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 359.
50
Wahai rasul, kamu tidak usah bersusah hati memikirkan dan memperdulikan sikap
kekafiran dan memihak kepada musuh setiap kali ada kesempatan. Sesungguhnya
Kami adalah penolongmu terhadap mereka dan Kami adalah pelindungmu dari
sedang hati mereka sebenarnya tidak beriman, yaitu orang-orang munafik. Juga
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt. mewajibkan lidah untuk berkata dan
mengungkapkan segala yang diyakini hati. Itulah tugas dan kewajiban iman yang
dibebankan padanya. Kewajiban yang dibebankan oleh Allah swt. atas hati tidak
sama dengan kewajiban yang digariskan atas lidah. Kewajiban yang ditetapkan
oleh Allah swt. atas pendengaran tidak sama dengan kewajiban yang ditetapkan
atas kedua mata. Kewajiban yang digariskan oleh Allah swt. atas tangan bukan
kewajiban atas kedua kaki. Sesuatu yang diwajibkan atas kemaluan bukan sesuatu
yang diwajibkan atas wajah. Allah swt. mewajibkan hati untuk beriman,
mengakui, mengetahui, dan meyakini-Nya, serta ridha dan menerima bahwa tidak
ada yang layak untuk disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia
tidak mempunyai istri dan juga tidak mempunyai anak. Selain itu hati wajib untuk
ridha dan menerima bahwa Muhammad itu adalah hamba dan Rasul-Nya, serta
mengakui semua yang berasal dari Allah swt., baik melalui nabi-Nya atau yang
13
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 546.
51
terdapat dalam al-Qur‟an. Itulah yang diwajibkan Allah swt. atas hati. Kemudian
Allah swt. juga mewajibkan lidah untuk berkata, mengungkapkan, dan mengakui
ِِۗ ك ِم ان ٱلن ِ ٱَّلل ي ۡع ِ ۡ َّ ۡ ول ب لِّ ۡغ ماأ أُن ِزال إِلا ۡيك ِمن َّربِ َۖك وإِن ََّۡل ت ۡفع
َّاس ص ُم ا َّ و ۥ
ْۚ و تالا
ا ا ا ا ا ا ُ ا ُا
ا سر تغ ل ب ا مف
ا ل ّا ا ا ٱلر ُس ُ ا ا َّ ٓاأَيايُّ اها
ِ ِ ٱَّلل اَل ي ۡه ِدي ۡٱل اق ۡوم ۡٱل ٓاك ِ
.ينر ف إ َّن َّا ا
15
ا ا
“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan
Pemeliharamu. Dan jika tidak engkau kerjakan, maka engkau tidak
menyampaikan amanah-Nya. Allah memeliharamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”16
a. Mufradat Lughawiyyah
َۖ ِ ِ ۡ ِ ِۡ
ك ول بالّغ اماأ أُن ِزال إلاي ا
ك من َّربّ ا َّ ٓاأَيايُّ اها
ُ ٱلر ُس tanpa perlu memerhatikan, dan
memedulikan siapapun, dan tanpa perlu takut kamu akan tertimpa hal yang tidak
ِ ٱلن
menyampaikannya kepada manusia.َّاس ك ِم ان ِ ٱَّلل ي ۡع
ص ُم ا او َُّ ا Allah swt. menjaga,
dari musuh-musuhmu, dari usaha mereka untuk membunuhmu. Karena itu, kamu
tidak perlu memperdulikan mereka dan tidak ada alasan bagi kamu untuk
mewaspadai mereka. Ini merupakan janji Allah swt. untuk melindungi, merawat
ۡ
dan menjaga beliau, dan janji Allah swt. pasti terlaksana. ٱَّللا اَل يا ۡه ِدي ٱل اق ۡوام
َّ إِ َّن
14
Abî „Abdillâh Muhammad Ibn Idrîs al-Muttalabî al-Qurasyî , al-Tafsîr al-Imâm al-Syâfi‟î
(Riyadh: Dâr al-Tadmurayyah, 2006), Jilid 2, h. 741.
15
QS. Al-Mâ‟`idah [5]: 67.
16
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 119.
52
ينِ
ر ِ ۡٱل ٓاكsesungguhnya Allah swt. tidak akan memberikan orang-orang kafir untuk
ف
ا
merealisasikan keinginan mereka menimpakan kebinasaan kepada dirimu. 17
b. Asbâb al-Nuzûl
Dari Ibnu „Abbâs dari Nabi Muhammad saw. beliau bersabda, “Ketika aku
diutus Allah dengan risalah-Nya, hal itu menyempitkan dadaku, karena aku tahu
bahwa terdapat manusia yag mendustakanku.” Lalu Allah menurunkan ayat ini,
Ibn Abû Hâtim meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: “Tatkala turun ayat,
yâ ayyuhâ al-Rasûlu balligh mâ `unzila „ilaika min Rabbika, Rasulullah saw. pun
berkata, „Yâ rabbi, bagaimana aku harus berbuat, sementara aku sendirian dan
orang-orang yang lurus dan banyaknya jumlah orang-orang fasik dari kalangan
Ahlu al-Kitâb, serta tidak perlu khawatir dan takut terhadap berbagai ancaman
mereka. Dalam hal ini, Allah swt. pun berfirman: “ ”بالِّ ْغyang berarti sabar, teguh,
dan tabahlah kamu dalam menyampaikan apa yang Allah turunkan kepadamu,
17
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 613.
18
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 1, 355.
19
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 614.
53
seperti ayat yang menguak rahasia mereka. Sesungguhnya Allah swt. memelihara,
melindungi, dan menjaga keselamatanmu dari tipu daya, konpirasi, dan niat jahat
mereka.20
yang diturunkan Allah swt. kepada beliau. Ini adalah panggilan memuliakan.
Allah memanggil dengan semulia-mulia sifat risâlah rabbani atau gelar rasul.21
membimbing umat dengan sepenuh ketulusan. Allah swt. pun membalas beliau
menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan Allah swt. kepada mereka.
keniscayaan yang beliau tidak boleh berijtihad menunda sesuatu darinya dari
menjamin keselamatan beliau dan menjamin akan melindungi beliau dari usaha-
usaha pembunuhan terhadap beliau serta tidak akan membiarkan para musuh
20
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 616.
21
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 1, h. 355.
22
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 617.
54
melakukan pembunuhan kepada beliau dan rencana itu mereka kukuhkan di Dâru
al-Nadwâh sepeninggal Abu Thalib. Allah swt. pun menjaga dan melindungi
penjagaan dan pelindungan dari usaha pembunuhan. Oleh karena itu, tidak bisa
orang-orang musyrik ketika di Mekah dan di Thâ‟if, juga paska hijrah pada
kejadian perang Uhud, dimana waktu itu beliau terluka pada bagian wajah dan
tujuan melindungi diri. Ayat ini juga mengandung dalil yang menunjukkan
kekeliruan pandangan seperti ini yang dilontarkan oleh sekte al-Rafidhah. Ayat ini
sesuatu dari perkara agama sedikitpun kepada seseorang. Makna ayat ini adalah
wahai rasul, sampaikanlah semua apa yang diturunkan kepadamu secara terang
dan terbuka.
Ibn „Abbâs mengatakan makna ayat ini adalah “Wahai Rasul, sampaikanlah
menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu,
23
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 618.
55
pendidikan bagi Nabi Muhammad saw. dan para pengemban amanah ilmu dari
umat beliau untuk tidak menyembunyikan sesuatu dari perkara syari‟at beliau.
Allah swt. tentu sudah tahu dari perkara nabi-Nya bahwa ia tidak
ِ ك ِم ان ٱلن
َّاس ِ ٱَّلل ي ۡع
ص ُم ا
Ayat او َُّ ا mengandung bukti tentang kenabian Nabi
Muhammad saw. Allah swt. menginformasikan bahwa beliau adalah maksum, dan
meninggalkan sesuatu dari apa yang diperintahkan Allah swt. Ayat ٱَّللا اَل يا ۡه ِدي
َّ إِ َّن
ينِ
ر ِ ۡٱل اق ۡوم ۡٱل ٓاك
ف
ا ا menunjukkan bahwa orang-orang kafir terhalang dari mendapatkan
taufik dari Allah swt. kepada kebahagiaan, yang disebabkan kekufuran mereka,
dalam 13 ayat yang berbeda.26 Setelah penulis melakukan analisis dalam tafsir al-
lafaz yâ ayyuhâ al-Nabiy di beberapa ayat saja. Di sini penulis memilih tiga ayat,
24
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 620.
25
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 621.
26
Muhammad Fuad „Abdul Baqi, Mu‟jam al Mufahras li alfadz al-Qur‟an al-Karim
(Mesir: Dâr al-Hadis, 2007), h. 135-137.
27
QS. Al-Ahzâb [33]: 1.
56
a. Qira`ât
b. Mufradat Lughawiyyah
َّ َِّب ٱت َِّق
ٱَّللا ُّ ِٓاأَيايُّ اها ٱلن wahai nabi teguhlah kamu diatas ketakwaan kepada Allah
bahasa yang mengacu kepada yang lebih tinggi, yaitu Nabi Muhammad saw.
untuk menunjuk kepada yang lebih rendah, yaitu kaum mukminin. Ketika Allah
swt. memerintahkan Rasul-Nya untuk bertakwa, maka secara makna perintah ini
juga ditujukan kepada orang-orang mukmin yang posisinya lebih rendah dari
beliau.30
saw. dengan pangkat kenabian adalah perhatian akan keadaan beliau dan
bertakwa dan terus bertambah takwa, sebab takwa itu luas dan tidak terhingga
akhirnya.31
28
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 418.
29
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 246.
30
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 246.
31
Al-Sâbûnî, Shafwat al-Tafâsîr, jilid 2, h. 510.
57
c. Asbâb al-Nuzûl
al-Walid bin Mughirah dan Syaibah bin Rabi‟ah mengajak Nabi Muhammad saw.
dakwahnya. Maka turunlah ayat ini, yang memperingatkan Nabi Muhammad saw.
swt. dan takutlah kamu kepada hukuman-Nya, dengan cara menaati segala
waktu khusus bagi mereka serta menyuruh pergi orang-orang yang lemah dan
kesudahan dan konsekuensi segala urusan, lagi Maha Bijaksana dalam semua
firman dan perbuatan-Nya. Karena itu, Allah swt. yang paling pantas untuk kamu
32
Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, h. 391.
58
kamu.33
perintah takwa yang diminta Allah kepada nabi dengan kepada umatnya. Perintah
takwa kepada kita selaku umat beliau, artinya laksanakan apa yang diperintahkan
kepadamu, sedangkan perintah takwa bagi rasul adalah masuklah kamu ke dalam
maqam ihsan dan terus diperbarui. Karena pemberian tuhan itu tidak pernah
berakhir.35
pengetahuan tentang hal-hal yang disembunyikan hati mereka, dan tujuan mereka
yaitu memberikan nasihat kepadamu. Serta tentang rencana yang mereka simpan
untukmu. Allah juga Maha Nijaksana dalam mengatur urusanmu serta urusan
dari kemaksiatan juga diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah swt. pada ayat
ini, maka hal itu bertujuan untuk mengajari yang lain, menjadikannya sebagai
bimbingan dan tuntunan bagi yang lainnya. Di samping itu, juga untuk
33
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 247-248.
34
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît, jilid 3, h. 2053
35
Muhammad Mutawallî al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî (Kairo: Akhbâr al-Yaum, 1991),
jilid 19, h. 11889.
36
Abû Ja‟far Muhammad Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‟u al-Bayân „an Ta`wîl ay al-Qur`ân,
(Kairo: Dâr al-Hajar, 2001), jilid 19, h. 5.
59
menegaskan hukum keutamaan, yaitu jika nabi saja yang maksum saja
Ada hal yang perlu digaris bawahi di sini, yaitu bahwa Allah swt. tidak
nama beliau secara langsung, seperti yâ Muhammad. Hal ini sebagai bentuk
sekaligus untuk mengajarkan kepada kita semua agar menjaga adab, etika dan
ۡ ۡ ِ
38
ك ٓاَ ِهدا اوُمبا ِّشرا اونا ِذيرا ٓ ُّ ِٓاأَيايُّ اها ٱلن
َِّب إ ََّّنأ أار اس ا ا
ن ل
“Wahai Nabi (Muhammad saw.)! Sesungguhnya Kami mengutusmu (kepada
seluruh manusia) sebagai saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan.”39
a. Qirâ`at
َِّب إِ ََّّن
ُّ ِالن Nafi‟ membaca النَِِّبءُ إِ ََّّن dengan mentashîl hamzah kedua dan
b. Mufradat Lughawi
ِ َ sebagai saksi atas orang-orang yang kamu utus kepada mereka perihal
اىدا ا
sikap mereka apakah beriman dan membenarkan atau mengingkari dan
mendustakan. اوُمبا ِّشرا sebagai pembawa kabar gembira meraih surga bagi orang
37
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 249.
38
QS. Al-Ahzâb [33]: 45.
39
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanyai, h. 45.
40
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 368.
60
اونا ِذيْرا sebagai pemberi peringatan kepada orang yang mendustakanmu, durhaka
ُمبا ِّشراatau kabar gembira merupakan konsekuensi iman dan amal baik dalam
wujud pahala. Sedangkan نا ِذيْراatau kabar duka bagi orang yang tidak percaya
c. Persesuaian Ayat
berkaitan dengan segenap makhluk secara umum. Setiap kali Allah swt.
menyebutkan suatu adab atau etika bagi Nabi Muhammad saw. Allah swt. juga
kesesuaian hal itu. Ketika Allah swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad
adab bagi istri-istri beliau, Allah swt juga menyebutkan sesuatu yang bekaitan
Ayat ini sebenarnya merupakan hiburan kepada Nabi Muhammad saw. dan
kaum mukiminin secara umum, dam juga sebagai penghormatan bagi mereka
semua.44 Ibn „Abbâs meriwayatkan bahwa ketika diturunkan ayat ini, Nabi
Muhammad saw. memanggil Ali dan Mu‟adz, lalu beliau mengutus mereka
berdua untuk pergi ke negeri Yaman. Beliau juga berkata: “Pergilah kalian
41
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 369.
42
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 19, h. 12076.
43
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 370-371.
44
Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-
Qur`ân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006), jilid 17, h. 170.
61
berdua dan sampaikanlah kepada mereka berita gembira dan jangan membuat
penentangan keras dari kaum, tugas ini juga menuntut semangat, tanggung jawab,
takut lalai dalam beban yang dipikulkan Allah swt. dan ketenangan untuk
Dalam ayat ini, Allah swt. menyebutkan diantara fungsi dan tugas Nabi
ۡ ۡ ِ
Muhammad saw. ك ٓاَ ِهدا اوُمبا ِّشرا اونا ِذيرا ٓ ُّ ِ ٓاأَيايُّ اها ٱلنwahai nabi sesungguhnya
َِّب إ ََّّنأ أار اس ا ا
ن ل
Kami mengutus kamu sebagai saksi terhadap orang-orang yang kamu diutus
apakah mengikuti petunjuk dan bimbingan kamu ataukah menentang kamu. Yaitu
untuk menjadi saksi di dunia serta untuk bersaksi atau menyampaikan kesaksian
untuk menyampaikan berita gembira meraih surga bagi orang yang taat dan
Ayat ini merupakan panggilan yang bersifat khusus oleh Allah setelah Dia
memanggil orang-orang yang beriman dan Rasul mereka. Panggilan khusus ini
45
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 17, h. 171.
46
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Wasît,jilid 3, h. 2077.
47
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 371.
62
“Sungguh kami mengutusmu...” sebagai saksi bagi umat yang Kami utus engkau
kepada mereka pada hari kiamat.engkau bersaksi terhadap orang yang mengikuti
dakwahmu dan orang yang menolaknya. Sebagai pemberi kabar gembira bagi
orang yang mengikutimu lalu mereka beriman dan beramal shalih untuk
enggan untuk beriman dan tidak melakukan kebaikan dengan mendapatkan siksa
api neraka.48
48
Abû Bakar Jâbir al-Jazâirî, `Aisar Al-Tafâsîr Li Kalâm Al-„Aliyyi Al-Kabîr (Madinah: Al-
„Ulûm Wa Al-Hikâm, 1997), jilid 4, h. 277.
49
QS. Al-Talâq [65]: 1.
50
`Iddah adalah rentang waktu yang dijalani oleh seorang istri yang cerai hidup atau cerai
mati, sebelum ia diperbolehkan menikah lagi. Jika isetri tidak hamil sedangkan ia termasuk
perempuan yang haid, maka masa `iddah-nya adalah tiga quru` atau tiga kali sucian menurut Imam
Syafi‟i. Jika isteri hamil, maka `iddah-nya sampai melahirkan. Jika isteri tidak hamil sedangkan ia
sudah tidak bisa haid atau ia masih kecil belum haid, maka `iddah-nya empat bulan sepuluh hari.
Jika isteri di tinggal mati suaminya, maka `iddah-nya empat bulan sepuluh hari. Lihat Lilik Ummi
Kaltsum dan Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-ayat Ahkam, (Ciputat: UIN Press, 2015), h. 244-
247.
63
mengetahui, barang kali Allah mengadakan sesudah (perceraian) itu suatu hal
(yang baru dan tidak diperhitungkan sebelumnya).”51
a. Qira‟at
b. Mufradât Lughawi
namun pesan perkataan ini bersifat umum sehingga yang dimaksudkan adalah
umat beliau, karena beliau adalah imam bagi umat beliau. Sehingga memanggil
bahwa, ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., namun hukumnya
berlaku bagi beliau dan umatnya. Panggilan ini bersifat menghormati dan
memuliakan. Maknanya, hai umat manusia dan hai kaum muslimin, jika kalian
ingin menalak istri-istri, “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
c. Asbâb al-Nuzûl
padahal waktu itu istrinya sedang haid. Lalu hal itu dilaporkan oleh Umar bin
51
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 558.
52
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 647.
53
Al-Jazâirî, `Aisar Al-Tafâsîr, jilid 5, h. 372.
54
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 648.
55
Al-Sâbunî, Shafwatut Tafasir, jilid 5, h. 386.
64
Khattab ra. Kepada Rasulullah saw. mendengar hal itu, Rasulullah saw. pun
marah, kemudian beliau berkata, „Dia (Abdulllah bin Umar ra.) harus merujuknya,
dan mempertahankannya sampai istrinya itu suci dari haidnya, kemudian haid
lagi, lalu suci lagi. Kemudian, jika ia memang ingin menalak istrinya itu,
saw. kepada Hafshah, ketika beliau menceritakan sebuah rahasia kepadanya, lalu
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Ibnu Abbas, dikemukakan bahwa
Abdul Uazid telah mentalak istrinya, kemudian ia nikah lagi dengan seorang
wanita dari Madinah. Isterinya mengadu kepada Rasulullah saw. denga berkata:
“Ya Rasullah, tidak akan terjadi hal spereti ini kecuali karena si rambut pirang.”
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa itu yang menegaskan bahwa kewajiban
seorang suami terhadap istrinya yang ditalak tetap harus ditunaikan sampai habis
56
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 650.
57
Al-Sâbunî, Shafwatut Tafasir, jilid 5, 386.
58
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 21, h. 27.
59
Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, h. 531-532.
65
dengan aturan perceraian ini. Apalagi di zaman sebelum Islam, perceraian yang
Seorang suami dapat begitu saja menceraikan istrinya, apabila dia sudah tidak
iddah, agar masa iddah tersebut tidak menjadi terlalu panjang sehingga ia dapat
haram. Juga agar suami tidak terjatuh di dalam penyesalan apabila ia menjatuhkan
“Wahai rasul dan orang-orang yang yang beriman kepada beliau, apabila
kalian berkeinginan untuk menalak istri kalian, talaklah mereka dalam keadaan
mereka bisa menghadapi dan menyambut iddah mereka atau sebelum waktu
iddah mereka.” Maksudnya, perintah jika ingin menalak istri, harus dilakukan
ketika istri dalam masa suci yang selama masa suci itu belum pernah dicampuri,
namun pesan atau sisi hukum yang ada bersifat umum ditujukan kepada beliau
dan umat beliau. Hal ini sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad
60
M. Yunan Yusuf, Bun-Yânun Marshûsh (Ciputat: Lentera Hati, 2014), vol. 5, h. 534.
61
Al-Zuhailî, Tafsir Wasith, jilid 3, h. 668.
62
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 651.
66
seperti perkataan kepada kaum atau panglima pasukan, “Wahai Fulan, lakukanlah
begini dan begini.” Sebagai bentuk pengakuan terhadap kedudukan dan posisinya
ini menjadi dalil tentang keharaman menjatuhkan talak ketika istri dalam masa
haid.63
panggilan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dengan namanya, kecuali
hanya menyerunya dengan ciri dan sifat yang disematkan padanya, seperti “hai
rasul” atau “hai nabi”. Sedangkan para nabi yang lain diseru oleh Allah dengan
63
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 14, h. 651.
67
Nabi Muhammad saw. yaitu supaya mereka memanggil beliau dengan titel beliau.
saw. selaku rasul yang menunjukkan tugas dari seorang rasul itu sendiri yaitu al-
tanpa perlu memerhatikan, dan memedulikan siapapun, dan tanpa perlu takut
kamu akan tertimpa hal yang tidak diinginkan karena Allah swt telah berjanji di
ِ ك ِم ان ٱلن
َّاس ِ ٱَّلل ي ۡع
ص ُم ا
dalam al-Qur‟an او َُّ ا Allah swt. menjaga, memelihara dan
manusia.64
Muhammad saw., namun pesan atau sisi hukum yang ada bersifat umum
ditujukan kepada beliau dan umat beliau. Allah swt. memerintahkan kepada beliau
Setiap kali Allah swt. menyebutkan suatu adab atau etika bagi Nabi Muhammad
saw. Allah swt. juga menyebutkan untuk kaum mukminim sesuatu yang memiliki
relevansi dan keseuaian hal itu. Ketika Allah swt. memerintahkan kepada Nabi
Muhammad saw. untuk bertakwa, sebagai bandingan dan padanannya, Allah swt.
64
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 613.
68
adab bagi istri-istri beliau, Allah swt juga menyebutkan sesuatu yang bekaitan
Muhammad saw. dan tidak untuk umatnya, Allah swt mempertegas hal itu dengan
berlaku hanya untuk Nabi Muhammad saw. saja, bukan untuk semua kaum
mukminin. Karena kemuliaan dan kenabian Nabi Muhammad saw. dan statusnya
65
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 370-371.
66
QS. Al-Ahzâb [33]: 50.
67
Shihab, Al-Qur`an dan Maknanya, h. 424.
69
yang berhak dan layak untuk dimuliakan dan dihormati, yaitu menikah dengan
kata-kata hibah tanpa maskawin. Ayat ini dijadikan hujjah dan dasar dalil oleh
ulama Syafi‟iyyah bahwa akad nikah tidak tidak bisa terbentuk dengan
Muhammad saw. sehingga lafalnya juga terkhusus hanya bagi beliau saja secara
spesial.68
Allah itu merupakan khitab yang ditujukan kepada Nabi saw., namun yang
dimaksud darinya adalah umatnya. Allah swt. Allah membuat perbedaan antara
kedua lafaz tersebut, yakni bentuk dialog dan bentuk cerita, dan itu merupakan
Perkiraan susunan kalimat untuk firman Allah tersebut adalah: ُّ ِاَيأايُّ اها ٱلن
َِّب قُ ْل
وى َّن لِعِدَِّتِِ َّن ِ ِ ۡ
ُ “ اَلُْم إِ اذا طالَّقتُ ُم ٱلنّ اساأءا فاطالّ ُقHai Nabi, katakanlah kepada mereka: „apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
sesungguhnya khitab itu ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. seorang, namun
maknanya ditukukan kepada beliau dan juga kepada orang-orang yang beriman.
Sebab apabila Allah hendak mengkhitabi orang-orang yang beriman, maka Allah
68
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 11, h. 385.
69
QS. Yûnus [10]: 22.
70
Allah hendak mengkhitabi beliau dengan lafaz dan maknanya, maka Allah
berfirman ول
ُ ٱلر ُس
َّ “ ٓاأَيايُّ اهاHai rasul.”70
Nabiy
Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Isa71 dalam ayat:
يم ِ ۡ ِٓ ۡ ٓ أ
ُ اونا ادي ناوُ أان ٓاَيب ٓارى
72
“... Wahai Musa! Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan Pemelihara Seluruh
Alam.”77
ۡ
78
...يسى ۡٱب ان ام ۡراياِ َّ ال
ٱَّللُ يآع ا اوإِذ قا ا
70
Al-Qurtubî, Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur`ân, jilid 17, h. 26.
71
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 5, h. 3133.
72
QS. Ash-Shaffat [37]: 104.
73
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 450.
74
QS. Hud [11]: 48.
75
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 227.
76
QS. Al-Qasas [28]: 30.
77
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 389.
71
bahwa keseluruhan mereka semua adalah rasul-rasul Allah, tapi ada satu hal yang
hendak dinyatakan Allah swt., bahwa Muhammad adalah rasul yang menghapus
khusus untuk Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan wahyu dari Allah swt.
dan Allah swt. menjamin keselamatan diri Rasulullah saw. dari perbuatan dan
disini tidak hanya kepada orang-orang muslim saja, namun juga untuk orang-
panggilan yang ditujukan untuk Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Yang mana
dalam dua penafsiran diatas dijelaskan dan diperuntukan untuk Nabi Muhammad
78
QS. al-Maidah [5]: 116.
79
Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, h. 127.
80
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 19, h. 11887 .
81
Al-Sya‟râwî, Tafsîr al-Sya‟râwî, jilid 5, h. 3134.
82
Al-Zuhailî, al-Tafsîr al-Munîr, jilid 3, h. 541.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
dan pemuliaan serta pengkhususan kepada Nabi Muhammad saw. Berbeda dengan
rasul-rasul yang lain, seperti: Nabi Ibrahim as., Nabi Nuh as., Nabi Musa as., dan
Nabi Isa as., yang mana mereka ketika di panggil oleh Allah dengan identitas
mereka. identitas tersebut adalah nama, dan nama tidak memberikan ciri-ciri,
Nabiy yaitu lafaz yâ ayyuhâ al-Rasûl adalah suatu bentuk panggilan Allah swt.
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. dan pesan tersebut yang berupa
menyampaikan wahyu, itu bersifat khusus. Selain itu, Allah swt. menjamin
keselamatan diri Rasulullah saw. dari perbuatan dan gangguan manusia yang
orang-orang muslim saja, namun juga untuk orang-orang kafir. Sedangkan lafaz
yâ ayyuhâ al-Nabiy adalah suatu bentuk panggilan Allah swt. yang ditujukan
kepada Nabi Muhammad saw., namun pesan perkataan tersebut bersifat umum.
Sehingga ketika Allah swt. memanggil beliau dan memerintahkan suatu perkara,
maka perintah tersebut tidak hanya berlaku untuk Nabi Muhammad saw. semata,
melainkan juga berlaku untuk umat beliau. Karena Nabi Muhammad saw. adalah
72
73
B. Saran
saw., dengan sebagian besar data-data dari penafsiran mufassir kontemporer. Oleh
karena itu, dalam upaya pengembangan dan penelitian pada bidang ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir berikutnya, akan lebih baik jika mencoba menambahkannya dengan
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna
ataupun diharapkan. Sehingga penulis yakin bahwa penelitian ini masih memiliki
keterbatasan dalam pembahasannya, dan juga masih banyak yang perlu ditelaah
dan di analisis bagi dunia akademik Mahasiswa Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir secara
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimasyiqî, „Imâdu al-Dîn Abî al-Fidâ` „Ismâ‟îl Ibn „Umar Ibn Katsîr. Al-
Tafsîr Al-Qur`ân Al-„Azîm. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998.
Amalia, Tuti Nila. “Al-Munâdâ dalam Al-Qur‟an Surat Alî „Imrân, Al-Nisa` dan
Al-Mâ`idah.” Skripsi S1 Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Semarang, 2013.
Anwar, Rosihon dan Saehudin. Akidah Akhlak. Bandung: CV Pustaka Setia, 2016.
Arif, Saiful dan Hasan, Zainol. “Eksistensi, Klasifikasi, Dan Orientasi Ayat-Ayat
Nidâ` Makkî dan Madanî.” Nuansa, vol. 9 no. 1 (Januari - Juni 2012): h. 47-
74.
Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Rasul dan Risalah dalam al-Qur‟an dan Hadis.
penerjemah Munir F. Ridwan. Riyadh: International Islamic Publishing
House, 2008.
Baihaki. “Studi Kitab Tafsir Al-Munir Karya Wahbah Al-Zuhailî dan Contoh
Penafsirannya Tentang Pernikahan Beda Agama.” Analisis, vol. xvi no. 1
(Juni 2016): h. 125-152.
75
Kaltsum, Lilik Ummi dan Ghazali, Abdul Moqsith. Tafsir Ayat-ayat Ahkam.
Ciputat: UIN Press, 2015.
Mufid, Mohammad. Belajar Dari Tiga Ulama Syam. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2015.
Al-Qurtubî, Abû Abdillâh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abî Bakar. Al-Jami‟ Li
Ahkam Al-Qur`ân .Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2006.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafir Klasik-
Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011.
Al-Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad Ibn Jarîr. Jâmi‟u Al-Bayân „an Ta`wîl Ay Al-
Qur`ân. Kairo: Dâr al-Hajar, 2001.
Tim Ahli Ilmu Tauhid. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq, 1998.
77