Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh
Muhammad Idham Khalid
NIM 109011000163
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 7
D. Perumusan Masalah .............................................................................. 7
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 70
B. Saran ................................................................................................... 71
BAB I
PENDAHULUAN
1
Ari Wahyudi. Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif
Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan), Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44.
2
Herry Widyastono. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran.
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 15. November 2009. h. 1020.
3
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 91-92.
2
4
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.
5
F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam
Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132.
6
Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 12-13.
3
akan berdampak sekali dalam pembentukan akal, dan norma seorang anak, baik
dari segi budaya, imajinasi maupun bahasa kesehariannya. 7
Islam menyadari sifat alamiah manusia bahwa mereka menyukai cerita, dan
menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam
mengeksploitasi cerita tersebut untuk dijadikan salah satu metode pendidikan.
Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan pendidikan agama pada
anak adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa
dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-
Qur’an dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah
umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga
bagi anak-anak. Di dalam Al-Qur’anul karim banyak sekali cerita-cerita tentang
keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan
pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang
mendengarnya. Firman Allah SWT.
“Dan kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar
dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan
kepadamu (segala kebenaran), nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”
(QS. Hud: 120).
7
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2002), h. 4.
8
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.
9
Amini, op. Cit., h. 316.
4
Allah juga mensifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul
Qashash), sebagaimana Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:
Maksud ayat di atas ialah bahwa Allah akan menceritakan beberapa kisah
yang benar, jelas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Maka tinggalkanlah kisah-
kisah yang diceritakan selain dari Al-Qur’an yang periwayatannya tidak terjamin,
bercampur dengan kebohongan, serta berseberangan dengan kenyataan.10
Ciri khas cerita-cerita Al-Qur’an adalah ia selalu bersifat benar adanya,
kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di dalamnya serta
pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut. Cerita-cerita Al-
Qur’an mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau
masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk semata-
mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya.
Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kenamaan Mesir dalam
bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengungkapkan bahwa kisah-kisah
dalam Al-Qur’an pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya
pendidikan psikologis, tetapi aspek rasio juga. Melalui kisahnya, Al-Qur’an
bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak,
remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati
dirinya.11
Selanjutnya beliau juga menuturkan dalam buku al-Mahawir al-Khamsah li
al-Qur’an al-Karim, secara garis besar ada lima pokok isi kandungan Al-Qur’an.
10
Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.
11
Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 89.
5
Tauhid kepada Allah, alam semesta bukti adanya Allah, kebangkitan dan
pembalasan, hukum dan pendidikan, dan yang terakhir ialah qashash al-Qur’an
atau kisah-kisah Al-Qur’an. Kenapa kisah-kisah Al-Qur’an bisa menjadi isi pokok
kandungan Al-Qur’an, bukankah ia hanya sekadar cerita masa lampau saja yang
tidak berbeda dengan buku sejarah. Di dalam buku tersebut Syekh Muhammad
Al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita yang ada di dalam Al-Qur’an tidaklah
hanya sekadar cerita yang sudah usang. Kisah dalam Al-Qur’an merupakan sarana
pendidikan, nasihat dan petunjuk bagi manusia. Oleh setiap kisah umat-umat
terdahulu terdapat ibrah yang bisa diambil pelajaran dan hikmahnya. Ibarat kaset,
kisah tersebut mengingatkan bahwa yang terjadi pada saat ini merupakan
pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu, hanya pelaku, waktu dan tempat
saja yang berbeda. Al-Qur’an mengingatkan bahwa jauh sebelum ini pun sudah
ada peradaban-peradaban yang maju dengan ilmu pengetahuannya, tetapi karena
tidak diiringi dengan kemajuan akhlak dan ibadahnya kepada Allah maka dalam
sekejap peradaban tersebut hancur dan hilang. Bukankah itu sama dengan kondisi
saat ini? Seseorang yang telah kehilangan ingatannya bisa disebut dengan orang
gila. Ketidaksanggupan mengingat yang telah lalu akan membawa kepada
ketidakmampuan menghadapi yang akan datang. Oleh karena itulah Syekh
Muhammad Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada kisah-kisah Al-Qur’an.12
Bagaimana pentingnya kisah dalam Al-Qur’an bisa dilihat dari segi volume,
di mana kisah-kisah tersebut memiliki porsi yang tidak sedikit dari seluruh ayat-
ayat Al-Qur’an. Bahkan ada surat-surat Al-Qur’an yang dikhususkan untuk kisah
semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qasas, dan Nuh. Dari
keseluruhan surat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, kebanyakan
adalah surat-surat panjang.13 Cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang
cukup besar dalam Al-Qur’an yaitu sekitar 1600 ayat dari jumlah keseluruhan ayat
dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 6236. Jumlah tersebut cukup besar jika
dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat.
12
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra
Muslim, 2003), h. 111.
13
A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), h. 22.
6
Selain cerita tentang para nabi dan rasul, Al-Qur’an juga menceritakan kisah
tentang orang-orang selain nabi, baik orang mukmin maupun orang kafir, seperti
kisah perjuangan para nabi dalam memberikan pencerahan spiritual kepada
bangsa dan umatnya, usaha keras para nabi dalam membendung aktivitas kaum
kafir.
Kemudian, gaya bercerita Al-Qur’an juga berbeda dengan gaya bercerita
kisah yang lain pada umumnya. Kita akan menemukan bahwa tersebarnya kisah
dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan.
Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga
oleh keseluruhan gaya dan cara Al-Qur’an dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah
merupakan metode utama yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesannya.14
Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini
anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah
tentang Khulafau Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukmanul Hakim, Nabi
Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang mereka sangat baik untuk diketahui
anak-anak. Karena kisah-kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik
bagi anak.15
Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih
cenderung mengabaikan potensi cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an sebagai
metode pendidikan. Padahal dengan melihat fitrah kejiwaan manusia yang
menyenangi cerita, sudah seharusnya cerita-cerita tersebut dimanfaatkan oleh para
pendidik (guru, orang tua, dan lain-lain), sebagai metode pendidikan, khususnya
pendidikan agama yang merupakan pondasi awal bagi anak. Untuk itulah maka
penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya cerita-cerita dalam Al-Qur’an
dan bagaimana langkah-langkah serta gaya Al-Qur’an dalam bercerita melalui
14
Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.
15
Oos M. Anwas. Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan. (Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. h. 259.
7
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis perlu
untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan dibatasi hanya
pada:
1. Karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.
2. Penafsiran surat al-Qashash ayat 76-81.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya ialah, bagaimanakah
karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat
76-81?
16
Dalam Buku Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius Partanto dan M. Dahlan
Barry kata “karakteristik” berarti ciri khas/bentuk-bentuk watak/karakter yang dimiliki oleh setiap
individu; corak tingkah laku; tanda khusus. Kaitannya dengan judul skripsi ini, peneliti ingin
mengkaji ciri khas apa saja yang membedakan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra pada
umumnya.
8
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik
metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Umum
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.
2. Manfaat Khusus
a. Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam mudah-mudahan bisa menjadi
perbandingan dalam penulisan karya ilmiah.
b. Bagi guru maupun pendidik diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk
memperhatikan potensi cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
menjadikannya sebagai bagian dari metode pembelajaran.
9
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah sebuah konsep cara yang digunakan oleh
guru untuk mengelola pembelajaran agar materi pembelajaran dapat
tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dinginkan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tidak lepas dari muatan materi
pendidikan, guru dan metode. Penguasaan materi bagi guru merupakan hal
yang sangat menentukan, khususnya dalam proses belajar mengajar yang
melibatkan guru mata pelajaran, oleh karena itu diperlukan guru yang
profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang
keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
maksimal.1
Dalam keterkaitan dengan pendidikan Agama Islam, metode berperan
sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang,
sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu
metode, dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali
dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.2
Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara
efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan
pendidikan. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi
penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak
tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan
1
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995)
h. 15.
2
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 91-92.
10
seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil jika mampu digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.3
B. Cerita
1. Pengertian Cerita
Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.4
Cerita memiliki arti yang sama dengan kisah, di mana kisah merupakan kata
serapan yang berasal dari qishshah dalam bahasa Arab yang diambil dari kata
dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan.
Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, cerita adalah salah satu bentuk sastra
yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah
bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa
membaca.5
Sa’id Mursy menjelaskan bahwa cerita adalah pemaparan pengetahuan
kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. 6
A. Hanafi mengutip pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam
bukunya Al-Fannu Al-Qassiyu fi Al-Qur’an Al-Karim yang mendefinisikan
bahwa cerita ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayal
pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku
yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada,
tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak
benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi
dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian
peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya
disebutkan dan sebagian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang benar-
3
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Indisipliner. (Jakarta: Dunia Aksara, 1997) h. 197.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 283.
5
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip
Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8.
6
Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117.
11
benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-
lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari
kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali.7
2. Macam-Macam Cerita
a. Berdasarkan ciri-cirinya, menurut Dr. Wahyudi Siswanto cerita dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Cerita lama
Cerita lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini
bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan
beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya,
cerita itu diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan
sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang
ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Cerita rakyat, selain merupakan
hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek
moyang, jasa atau keteladanan kehidupan para pendahulu, hubungan
kekerabatan, asal mula tempat, adat-istiadat, dan sejarah benda
pusaka. Yang termasuk cerita lama adalah fabel, dongeng, legenda,
mitos, dan sage.8
a) Fabel
Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya
yang diceritakan seperti kehidupan manusia. Misalkan cerita
kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau
pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di
dalam cerita tersebut. Karena itu fabel mengandung unsur didaktif
dan edukatif.
7
A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.
8
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.140.
12
b) Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar
terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat
dan waktu. Dalam KBBI, dongeng adalah cerita yang tidak benar-
benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-
aneh.
c) Mitos
Mitos adalah cerita rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta
dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos merupakan
cerita yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia
yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang
ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya,
seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung
membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri.9
Contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul.
d) Legenda
Legenda adalah cerita tentang asal mula (nama suatu tempat, asal-
usul dunia tumbuhan, asal-usul dunia binatang). Legenda hampir
mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi
dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia
walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan
makhluk gaib. Contoh Legenda ialah cerita tentang terjadinya
Tangkuban Perahu, asal-usul Banyuwangi.
e) Sage
Adalah dongeng yang berisi kegagahberanian seorang pahlawan
yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti
cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Tutur Tinular, serta Lutung
Kasarung.
9
Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7 h.128.
13
2. Cerita baru
Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan
dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat
dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan
keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah
roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya.
Pembagian ini lebih dikarenakan perbedaan volume atau panjang
pendeknya cerita, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.10
b. Dari segi volume atau panjang pendeknya, cerita dapat dibagi menjadi:
1. Cerita pendek. Ialah cerita yang hanya terdiri dari beberapa halaman
saja. Lazimnya disebut dengan cerpen.
2. Cerita yang lebih panjang daripada cerita pertama. Cerita semacam
ini disebut novelette dalam bahasa Perancis. Contohnya ialah novel.
3. Cerita panjang. Contohnya ialah roman. Roman adalah cerita yang
paling panjang dari segi volume. Corak ceritanya bersifat romantis;
berkisar sekitar masalah percintaan, dan kadang-kadang jauh dari
kenyataan. Pada roman yang penting ialah peristiwa-peristiwa,
sehingga Saintsbury membedakan, bahwa roman adalah cerita
peristiwa, sedangkan novel (cerita biasa) adalah cerita pelaku
(pribadi) dan motif-motif. 11
12
Ibid., h.16-17.
13
Siswanto, op. cit., h.72-81.
14
Hanafi, op. cit., h.19.
15
a. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke
keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan
kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak.
Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh
dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.15
Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan
konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong
penting. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik
melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan
cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat,
dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan
konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang
disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi
semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan
sampai pada titik puncak, disebut klimaks.
Klimaks, menurut Santon, adalah saat konflik telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan
terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai
klimaks. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak
hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam
membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.16
b. Pelaku atau Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam cerita selalu
15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005) h. 117.
16
Nurgiyantoro, op. cit., h.127.
16
17
Siswanto, op. cit., h. 143.
18
Nurgiyantoro, op. cit., h.231.
17
19
Ibid., h.232-233.
20
Siswanto, op. cit., h. 158.
21
Nurgiyantoro, op. cit., h.310-311.
18
22
Siswanto, op. cit., h. 162.
23
Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2002), hal.4.
19
24
FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama
Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128.
25
Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.
26
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123.
27
Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.
21
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku"
28
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 2007), h. 437.
22
29
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 28-31.
30
Mursy, op. cit., h.118.
31
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.
23
Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat
ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula
kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah
mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa
yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk
Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi
Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat
gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (kami beritahukan
itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi
peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang
kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.
(QS Al-Qashash: 44-46)
Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi
keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut.
Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau
(Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah
Aku". (al-Anbiya: 25)
Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al-
Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu,
bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan
bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah
adalah satu.32
Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh
para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran.
Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang
akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta
memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu
menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan
bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud,
dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan
pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami
penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para
nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta.
Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk
membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat
32
Muhammad Hadi Ma’rifat. Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora,
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.
25
Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam Al-
Qur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai
luhur.34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam Al-
Qur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya.
Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan peristiwa-
peristiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan.
Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di angan-
angan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an
bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan
persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang
dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua
dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang.
Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan
leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita Al-
Qur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh.
Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan
peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan
umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng
33
Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni.
(Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.
34
Ma’rifat, Op. cit, h. 33.
26
37
Najati, Op. cit, h. 156.
38
Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1997), h. 188.
28
39
Ibid., h. 189.
29
c. Pengulangan Cerita
Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di
satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam
Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi
Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al-
Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi
hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan
dan tersebar di beberapa surah.
Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain:
al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26-
48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6
dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud,
dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa
surah yang dinamakan Ibrahim (surah ke-14), Nuh (surah ke-71) dan
Hud(surah ke-11), tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak
surah dalam Al-Qur’an.41
40
Ibid., h.190-191.
41
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012)
hlm 7.
30
42
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam
Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.
32
yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak
ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya.43
43
Ibid., h.381-382.
33
kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua
menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah
menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling
besar dengan meninggalkan kapak padanya.
Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa.
Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat
pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya
dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam
permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (al-Anbiyaa’: 78). Hukum
yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah
kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar.
44
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.181-184.
34
47
Ibid., h. 218-219.
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
B. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu literatur-literatur yang membahas objek
permasalahan pada penelitian ini, berupa tafsir Al-Qur’an surat al-Qashash
ayat 76-81 dari beberapa kitab tafsir.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data-data tertulis maupun sumber lain yang
memiliki relevansi dengan pembahasan pada penelitian ini. Adapun sumber
data sekunder yang dijadikan alat untuk membantu penelitian , berupa buku-
buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang teori cerita
sastra dan qashashul qur’an.
1
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), Cet. 1, h. 31.
39
E. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.
2
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 368.
41
BAB IV
METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-
QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku aniaya
terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah engkau terlalu
bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu
membanggakan diri".
Ayat di atas memulai kisah Qarun, tanpa menyebut kapan dan di mana
terjadinya peristiwa yang akan diuraikan ini. Menurut Ibn ‘Asyur,1 Firman-Nya:
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, bukan dengan menyatakan
termasuk kelompok Bani Israil, mengesankan adanya hubungan khusus antara
Musa dengan Qarun. Hubungan tersebut yakni hubungan kekerabatan. Qarun
hidup semasa dengan Nabi Musa dan konon adalah anak paman Nabi Musa.
Kendati demikian ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya terhadap mereka
yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadapa Bani
Israil. Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta, yakni tempat-
tempat gudang penyimpanan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul
oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Itu baru kuncinya, adapun harta
1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet VIII, Vol. 10. h. 403.
42
kekayaannya maka tidak mungkin dapat dipikul oleh orang yang sangat banyak
sekalipun.
Setelah ayat di atas menjelaskan sebab keangkuhannya, kini selanjutnya
beberapa orang dari Bani Israil menasihatinya, yakni ketika kaumnya berkata
kepadanya: “Hai Qarun! Janganlah engkau terlalu bangga dengan hartamu
sehingga melupakan Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri.2
Ayat 77
“Dan carilah - pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu - negeri
akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah,
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat
kerusakan.”
Beberapa orang dari kaum Nabi Musa itu melanjutkan nasihatnya kepada
Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan
melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan
pikiranmu sebatas yang dibenarkan Allah dalam memperoleh harta dan carilah
secara sungguh-sungguh pada, yakni melalui apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan
menginfakkannya di jalan Allah tanpa melupakan bagianmu dari kenikmatan
dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak.
Agar tidak terjerumus dalam kekeliruan ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi
merupakan satu kesatuan. Kedua, pentingnya mengarahkan pandangan kepada
2
Ibid.
43
akhirat sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Ketiga, ayat di
atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang
kebahagiaan akhirat, sedangkan perintah menyangkut kebahagiaan duniawi
berbentuk pasif yakni, jangan lupakan. Hal ini menunjukkan perbedaan penekanan
di antara keduanya.
Ayat 78
Ia berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberinya karena ilmu yang ada padaku"
dan apakah ia tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya, dan lebih banyak himpunan
(nya)? dan tidaklah ditanya tentang dosa-dosa mereka para pendurhaka itu.
3
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet I, h. 80.
44
Ayat 79-80
Maka keluarlah ia kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkata mereka yang
menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita memiliki seperti apa
yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
bagian yang besar". Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:
"Kebinasaan bagi kamu. Pahala Allah adalah jauh lebih baik bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh. Dan tidak diperolehnya kecuali oleh orang-
orang yang sabar".
4
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1993), h. 174-175.
45
Ayat 81
5
Shihab. Op. cit, h. 413-415.
6
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72.
46
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya (Al-Quran) itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).
7
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam
Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.343.
47
hanyalah selingan, bukan tujuan utama, karena tujuan utamanya ialah keindahan
dan hiburan, maka di dalam Al-Qur’an pesan-pesan moral keagamaan itulah yang
menjadi tujuan utama. Sehingga nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam cerita
Al-Qur’an hanyalah “selingan” agar manusia bisa memahami pesan-pesan
tersebut dengan cara yang lebih mudah dicerna. Karena memang pada hakikatnya
manusia senang dengan keindahan (cerita).
4. Bentuk dan Gaya yang Khas
Khas di sini dimaksudkan sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan
bentuk dan gaya non sastra. Khas di sini juga masih harus dibedakan atas genre
karya sastra (prosa, puisi, dan drama) yang setiap jenisnya memang mempunyai
bentuk sendiri. Kekhasan bentuk dan gaya ini telah dibahas pada pembahasan
sebelumnya. Bentuk dan gaya ini terus berubah berkembang hingga akhirnya
muncul genre-genre baru.8
Walaupun karya sastra mempunyai bentuk dan gaya yang khas, Al-Qur’an
juga mempunyai bentuk dan gaya yang khas yang membedakannya dengan karya
sastra pada umumnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan
selanjutnya.
5. Bahasa yang Digunakan Khas
Bahasa sastra lebih bersifat polisemantis (banyak makna) dan multitafsir
(banyak tafsir). Bahasa karya sastra lebih bersifat konotatif. Memang tidak
menutup kemungkinan adanya kesamaan bahasa dalam karya sastra dengan
bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.9
Bahasa yang digunakan Al-Qur’an juga memiliki banyak kesamaan
dengan sastra, di mana kalimatnya polisemantis dan multitafsir. Nilai-nilai
kesusastraan juga banyak terkandung di dalamnya. Namun hal ini tidak serta
merta membuat bahasa cerita Al-Qur’an sama dengan cerita sastra. Ada beberapa
hal yang membuat bahasa cerita Al-Qur’an mengungguli bahasa cerita sastra pada
umumnya.
8
Siswanto, op. cit., h.75.
9
Ibid. h.75-76.
48
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka
(untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-
daun yang dimakan (ulat).
10
Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora.
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33.
49
Pada Surat Al-Fil, bunyi terakhir dari setiap ayatnya sama, yakni huruf
lam. Ini sama dengan pantun, yang mana bunyi akhir dari tiap barisnya sama. Dan
juga dalam menceritakan cerita tentang pasukan gajah yang hendak
menghancurkan Ka’bah, Al-Qur’an hanya butuh 5 ayat yang terhimpun dalam
satu surat saja. Namun tidak serta merta yang demikian itu membuat Al-Qur’an
(Surat Al-Fil) disebut sebagai pantun atau cerpen. Al-Qur’an tetaplah kitab suci
yang mempunyai logika tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan karya
manusia.
7. Merupakaan Rekaan
Walaupun terkadang sebuah karya sastra merupakan hasil pengalaman
pengarangnya, namun tetap ada unsur rekaan yang terkandung di dalamnya. Hal
ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an yang mana peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam Al-Qur’an adalah perkara dan fakta-fakta objektif yang tidak
memuat dusta, kesalahan, atau pun kekaburan. Sebab ia merupakan wahyu Ilahi
dan tak ada hal sekecil apapun yang luput dari ilmu-Nya, baik di langit dan di
bumi.11
Mengenai kebenarannya, beberapa sarjana muslim ada yang meragukan
apakah kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu benar-benar terjadi.
Seperti Thaha Husein, sastrawan Mesir ternama, dalam bukunya Fi asy-Syi’ral-
Jahili berpendapat bisa saja kitab Taurat dan Al-Qur’an bercerita tentang Ibrahim
dan Ismail, tetapi tidak cukup kuat bukti untuk menyatakan kedua orang itu benar-
benar ada dalam sejarah. Atau Muhammad Khalaf dalam bukunya Al-Fann al-
Qasasi mengatakan cerita dalam Al-Qur’an merupakan seni bercerita yang lebih
menitikberatkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Cerita-
cerita Al-Qur’an tidak harus kisah nyata, karena banyak di antaranya yang tidak
ada bukti sejarahnya. Menurutnya tidak mengapa kalau kita mengatakan bahwa
cerita-cerita Al-Qur’an merupakan dongeng belaka. 12 Tentu pandangan ini
11
Ma’rifat, op. cit., h.36.
12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012)
hlm 6.
50
tidaklah benar, karena Al-Qur’an sendiri sudah menepis keraguan tersebut dengan
menyatakan,
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-
orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf:
111)
13
Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Qisthi
Press, 2004), h. 349.
51
Selain tak bermutu, syair itu pun tak jelas maksud dan tujuannya. Berbeda
dengan al-Qur`an yang setiap katanya dipilih secara cermat dan membawa pesan-
pesan tersendiri yang sering sekali menakjubkan. Al-Qur’an sendiri menantang
mereka untuk membuat yang seumpama Al-Qur’an satu ayat saja. Namun telah
ditegaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menandingi
keindahan Al-Qur’an sampai kapanpun.
Salah satu contoh mengenai nilai keindahan sastra yang dimiliki Al-Qur’an
ialah ketika al-Qur`an memilih kata "tâbut" untuk menyebut kotak yang
digunakan Ibu Nabi Musa saat membuangnya ke sungai Nil. Dalam mitos bangsa
Israel, "tâbut" bermakna "kotak kematian" dan identik dengan "sesuatu yang
kelam". Namun, kata itu justru digunakan al-Qur`an untuk membalik keyakinan
mereka. Yakni, justru dari kotak itulah akan terbit sebuah kehidupan yang
menjanjikan.
Lebih menakjubkan lagi, adalah fakta bahwa al-Qur`an tak pernah
menyebut sifat seorang tokoh secara transparan, tetapi justru dengan sebuah
deskripsi yang dapat melukiskan sifat itu secara lebih tepat. Saat al-Qur`an
melukiskan ketampanan Nabi Yusuf misalnya, tak ada satu pun kata "tampan"
dalam kisah itu. Akan tetapi, yang ada adalah sebuah deskripsi bahwa saat melihat
52
Yusuf, para wanita yang diundang Zulaikha menjadi lupa diri dan tak sadar telah
mengiris-iris jari mereka sendiri.14
9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu
Walaupun ada niatan dari pengarangnya untuk membuat karya sastra,
tetapi jika masyarakat (pembaca) menolaknya dan menganggap itu bukan karya
sastra, maka karya tersebut tidak bisa disebut dengan karya sastra.15 Al-Qur’an
bukan prosa, dan bukan puisi, tetapi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, tidak ada nama
lain yang sesuai untuk Al-Qur’an selain nama Al-Qur’an. Disebut bukan puisi
karena tidak terikat dengan aturan-aturan yang berlaku untuk penyusunan puisi.
Disebut bukan prosa, karena ternyata terikat dengan ketentuan-ketentuan khusus
yang tidak terdapat dalam prosa yang membuat Al-Qur’an bergaya puitis di akhir
ayat dan mengandung irama dan rima khusus Al-Qur’an.16
Umat Islam yang sehari-harinya membaca Al-Qur’an tidak lantas
menganggap Al-Qur’an yang dibacanya -dengan segala keindahannya- sebagai
sebuah karya sastra. Mereka tetap menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci
yang membawa kepada jalan kebenaran.
Dari penjelasan di atas jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an bukanlah karya
sastra. Kalaupun ada beberapa persamaan di dalamnya itu hanyalah sebagai alat
untuk membuat kagum bangsa Arab yang pada saat itu sangat maju dalam bidang
sastra, serta keistimewaan dan mukjizatnya. Juga sebagai alat bantu bagi manusia
dalam memahami isi kandungan yang terdapat di dalamnya. Karena memang sifat
alami manusia yang menyukai cerita.
14
Ibid., h. 23.
15
Siswanto, op. cit., h.81.
16
D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk
Semua), (Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002), h.71.
53
17
Hanafi, op. cit., h.53.
18
Hanafi, op. cit., h.57.
54
Itu adalah sinopsis cerita tentang ashabul kahfi, seakan-akan sinopsis ini
adalah pendahuluan yang mampu menimbulkan keinginan untuk mengetahui
cerita selanjutnya.
Kedua, ada yang disebutkan kesimpulan cerita dan maksudnya, kemudian
dimulai cerita tersebut dari awal sampai akhir. Seperti yang terdapat dalam cerita
Nabi Yusuf, di mana ceritanya dimulai dengan mimpi yang diceritakannya kepada
ayahnya, maka ayahnya memberitahukan bahwa dia akan memiliki kedudukan
yang besar. Firman Allah SWT.,
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya
aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya
sujud kepadaku." Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan
19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005), h.117.
55
20
Quthb, op. cit., h.206-211.
56
ini menjadi pelajaran bagi umat manusia agar tidak berlaku sombong sebagaimana
Qarun.
Unsur peristiwa dalam cerita Qarun termasuk dominan, karena pada cerita
tersebut Al-Qur’an bermaksud untuk mengancam atau menanamkan rasa takut,
seperti cerita kaum ‘Ad dalam surat Al-Qamar sebagai berikut:
Kaum 'Aad pun mendustakanKu. Maka bagaimana siksaKu dan ancaman-
ancamanKu. Sesungguhnya Kami telah mengirimkan kepada mereka angin dingin
yang menderu-deru pada hari celaka yang terus menerus. Ia mencabut manusia
seakan-akan mereka adalah akar pohon (korma) yang tercabut. Maka bagaimana
siksaKu dan ancaman-ancaman-Ku.(Al-Qamar: 18-21)
Jika diperhatikan isi cerita tersebut, maka akan terlihat bahwa Al-Qur’an
tidak menyebutkan perincian, seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan
Tuhan dan bagaimana keadaan rumah-rumah mereka. Sampai masalah pengutusan
Nabi Hud dan dialog yang terjadi antara kaum ‘Ad dengan Hud juga tidak
disebutkan. Tetapi Al-Qur’an dengan cepat menceritakan tentang siksa yang
ditimpakan kepada mereka dengan memakai gambaran seram yang menakutkan;
yaitu angin dingin yang menderu-deru, celaka yang terus menerus. Demikian
kuatnya angin yang mencabut dan menerbangkan mereka, sehingga seolah-olah
mereka itu pohon yang tidak berakar.
Cara demikian ditempuh Al-Qur’an, hanya dan semata-mata karena Al-
Qur’an bermaksud menanamkan rasa takut terhadap siksa pada diri orang-orang
yang hidup pada masa Nabi Muhammad. Diharapkan rasa takut tumbuh kuat
dalam jiwa mereka, sehingga gambaran di ataslah yang dipilih, dengan diawali
dan diakhiri pertanyaan yang menusuk hati dan retorik, yaitu: Coba lihat
bagaimana siksaKu dan ancaman-ancamanKu. Dari sini dapat dilihat bahwa Al-
Qur’an hanya memilih bahan-bahan cerita yang dapat mewujudkan tujuannya.
57
21
Hanafi, op. cit., h.25-26.
22
Hijazi, op. cit., h.117.
58
23
Hanafi, op. cit., h.65.
24
D. Hidayat, op. cit., h.66.
25
M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), jilid I, hal.1-2.
26
Ma’rifat, op. cit., h.56.
59
Pada ayat ini, tempat disebutkan secara eksplisit dikarenakan posisi khusus
yang dimilikinya. Di mana kedua masjid itu merupakan dua kiblat umat Islam
dalam shalat. Dengan demikian, jika waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa
dipandang tidak memiliki keistimewaan, maka Al-Qur’an tidak merasa butuh
untuk menyebutkannya secara eksplisit.27 Sebagaimana yang terjadi pada cerita
Qarun.
Dari ayat 76 sampai dengan ayat 81 surat Al-Qashash, tidak didapati
kalimat yang menjelaskan tahun berapakah masa hidupnya Qarun, apakah dua
ribu tahun sebelum masehi. Juga tidak ditemukan berapa usianya, apakah lima
27
Hijazi, op. cit., h.371-372.
60
puluh, atau sembilan puluh tahun. Dan juga tidak ditemukan kapan kejadian
Qarun ditenggelamkan ke perut bumi bersama harta bendanya, apakah pagi, siang
atau malam. Begitu juga dengan tempat tenggelamnya Qarun, di mana letak
istananya, tidak ada satu kalimat pun yang menjelaskan tentang itu.
Hal ini berbeda jika waktu atau tempat kejadian tersebut memiliki makna
khusus, seperti cerita isra’ Nabi Muhammad, pertemuan Musa dengan Allah di
Gunung Sinai, atau penyebutan nama Mesir, Madyan, Mekah, dan sebagainya
yang memiliki posisi penting dalam cerita secara keseluruhan. Ciri khusus lainnya
adalah, apabila suatu peristiwa yang diceritakan mengharuskan penyebutan waktu
dan tempat kejadian, maka yang pertama kali disebut adalah waktunya dan baru
kemudian tempatnya.28
28
Hijazi, op. cit., h.373.
29
Dahlan, op. cit., h.187.
61
30
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.189.
62
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali
tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri.
F. Pengulangan Cerita
Salah satu akibat dari pengaruh tunduknya cerita Al-Qur’an terhadap
maksud tujuan agama ialah pengulangan cerita. Kalau ada cerita yang diulang
pasti ada tujuan kenapa Al-Qur’an mengulang cerita tersebut dan tidak berbentuk
pengulangan mutlak (tanpa maksud dan tujuan). Pengulangan tersebut disesuaikan
dengan konteks kapan diturunkan dan keadaan pada saat nabi Muhammad
menerimanya. Sebaliknya jika ada cerita yang tidak diulang, pasti ada tujuan pula
mengapa Al-Qur’an tidak mengulang cerita tersebut. Kembali lagi hal ini karena
diulang atau tidak sebuah cerita itu merupakan bagian dari tujuan cerita Al-Qur’an
itu sendiri, yakni menyampaikan pesan-pesan agama. 31
Cerita dalam Al-Qur’an yang paling banyak mengalami pengulangan
adalah cerita Musa dan Firaun, dan sejarah Bani Israil. Yang perlu digarisbawahi
dalam pengulangan cerita Nabi Musa adalah adanya perbedaan antara spirit
universal dalam cerita Musa pada surat-surat Makkiyah, dan spiritnya dalam
31
Quthb, op. cit., h.171.
63
surat-surat madaniyah. Cerita tentang Qarun yang merupakan umat Nabi Musa
(Bani Israil) terdapat dalam surat Al-Qashash yang merupakan surat Makkiyah.
Cerita tentang Musa dalam surat-surat Makkiyah lebih menekankan hubungan
umum antara Musa di satu sisi, dan Firaun dengan para koleganya (Qarun) di sisi
lain, tanpa menyinggung keadaan Bani Israil di hadapan Musa. Sedangkan dalam
surat-surat Madaniyah, di mana dibicarakan hubungan antara Musa dengan Bani
Israil, juga hubungan dan kaitannya dengan problematika sosial dan politik.32
Orang yang mencermati dengan seksama cerita-cerita Al-Qur’an, akan
menemukan bahwa cerita-cerita yang diulang selalu membawa pesan tauhid, atau
untuk menunjukkan pertolongan Allah yang pasti diberikan kepada utusannya
dalam menghadapi musuh, atau untuk memantapkan pelajaran yang dapat dipetik
oleh kaum muslimin serta membungkam keangkuhan orang-orang kafir.33
Cerita Qarun di dalam Al-Qur’an merupakan jenis cerita yang habis
diceritakan dalam satu tempat. Artinya tidak didapati lagi selain di Surat Al-
Qashas ayat 76-81 cerita tentang Qarun. Kecuali hanya pengulangan penyebutan
nama Qarun yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40:
Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata.
akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-
orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali
32
Ma’rifat, op. cit., h.54.
33
Hijazi, op. cit., h.384.
64
tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri.
untuk apa diceritakan. Karena Al-Qur’an sekali lagi bukanlah buku cerita yang
harus menceritakan dengan detail tokoh-tokohnya, melainkan hanya bercerita
seperlunya saja, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an itu sendiri.
Hal ini berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana Al-Qur’an
menceritakan dari masa kelahirannya. Sebab kelahirannya terjadi di saat semua
bayi laki-laki dari Bani Israil dibunuh. Selamatnya bayi Musa, saat berada di
tengah-tengah keluarga Firaun, mempunyai nilai khusus dalam menjelaskan
pemeliharaan Allah terhadap Musa. Allah berkuasa untuk menyelamatkan Musa
dari pembunuhan sebagaimana yang dialami anak laki-laki dari Bani Israil yang
lainnya, bahkan memelihara Musa justru di dalam lingkungan istana Fir’aun. Di
mana kelak dari situlah Allah mempersiapkan Musa untuk melaksanakan misi
risalah.
Atau dengan cerita Nabi Yusuf yang ceritanya diawali saat dia kanak-
kanak, ketika menceritakan mimpi kepada ayahnya bahwa dia melihat sebelas
bintang, matahari, dan bulan sujud di hadapannya. Di mana kelak dari mimpi
itulah ternyata bahwa Nabi Yusuf sudah mendapat “isyarat” yang diketahui oleh
ayahnya (Nabi Yakub) bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin yang besar
(nabi).34
Cerita Qarun disebutkan dalam Al-Qur’an pada saat dewasa dan
kematiannya, karena memang pada bagian itulah terdapat ibrah dari cerita
tersebut. Al-Qur’an hendak menyampaikan bahwa orang yang sombong dan suka
berbuat kerusakan di muka bumi akan bernasib seperti Qarun yang mati ditelan
bumi bersama seluruh harta kekayaannya. Yang mana harta kekayaan tersebut
sedikit pun tidak dapat menolong dan membantunya.
Mengenai episode kematian yang diceritakan dalam Al-Qur’an, hal ini
juga terjadi pada cerita Firaun dan Nabi Sulaiman, di mana saat-saat kematiannya
diceritakan dalam Al-Qur’an, karena memang ada pelajaran yang dapat diambil
dari kematian mereka.
34
Quthb, op. cit., h.182.
66
“hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Yunus: 90)
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam
siksa yang menghinakan.” (Saba’: 14)
35
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif
Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), h. 8.
67
setelahnya, kecuali hanya penyebutan nama Qarun pada surat Al-Ankabut ayat
39-40 dan surat Al-Mu’min ayat 24 seperti yang sudah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya.
Diceritakan Qarun ialah kaum nabi Musa yang kaya raya (tanpa
diceritakan bagaimana proses ia mengumpulkan kekayaan tersebut), namun
bersikap sombong dengan kekayaannya tersebut. Kemudian ada kaumnya yang
berkata kepadanya, mengingatkan untuk tidak berbuat sombong. Namun
peringatan itu malah dijawab dengan ungkapan bahwa kekayaannya merupakan
hasil dari jerih payahnya sendiri. Hingga akhirnya ia keluar dari istananya dengan
segala kemewahannya, menunjukkannya kepada kaumnya, yang mana hal ini
membuat kaumnya terbagi dua. Yang menginginkan kekayaan sama sepertinya,
dan yang menganggap bahwa pahala dan keridhaan dari Allah lebih baik. Dan
kemudian akibat dari sifat sombongnya itu Allah mengazabnya dengan
menenggelamkan dirinya beserta seluruh harta bendanya ke dalam perut bumi.
Yang mana ini merupakan pelajaran bagi umat manusia bahwa akibat perbuatan
sombong ialah seperti itu. Tidak ada yang mampu menolongnya.
Ini tentu berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana sejak lahirnya Musa
hingga terhentinya Musa dengan kaumnya di depan Tanah Suci semua diceritakan
dengan jelas. Kenapa di dalam Al-Qur’an disebutkan semua episode kehidupan
Nabi Musa? Sebab, setiap episode itu memiliki maksud tujuan keagamaan.
Lagi pula kalau memang tidak ada kaitannya dengan hikmah-hikmah
keagamaan, untuk apa sebuah cerita diceritakan secara panjang lebar. Karena
memang kembali lagi, tujuan Al-Qur’an bercerita bukan lah sebagai cerita hiburan
semata. Melainkan sebagai petunjuk agama bagi manusia yang membacanya.
Gambar dan warna yang jelas Isi cerita Dengan bahasa dan
(untuk buku) (cerita lengkap) kalimat yang jelas
36
Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2012), h. 98.
69
37
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung:
Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306.
38
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2002), h. 26.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil kajian yang dilakukan penulis mengenai karakteristik metode
pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 76-81, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Cerita di dalam Al-Qur’an berbeda dengan cerita pada karya sastra pada
umumnya. Baik dari segi materi maupun isi. Hal ini dikarenakan tujuan
bercerita dari Al-Qur’an ialah sebagai media pembelajaran agama, bukan
sebagai hiburan semata seperti cerita sastra.
2. Cerita di dalam Al-Qur’an menekankan kepada kebenaran dan mengandung
hikmah atau pesan di setiap ceritanya. Semua cerita yang terkandung di
dalamnya adalah fakta rill, bukan dongeng yang palsu dan dibuat-buat.
3. Akibat dari berbedanya tujuan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra,
maka gaya bercerita Al-Qur’an pun berbeda dengan sastra. Salah satunya
ialah unsur cerita yang terdapat dalam cerita Al-Qur’an hanya tiga, yakni
peristiwa, pelaku, dan percakapan. Sedangkan unsur waktu dan tempat
terkadang muncul, tergantung berkaitan atau tidak dengan tujuan cerita
tersebut.
4. Pada intinya ciri khas Al-Qur’an dalam bercerita ialah tidak bertele-tele,
singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah dari setiap
cerita yang diceritakan. Menggunakan gaya dan bahasa yang mampu
menggugah hati pembacanya. Jika dirasa perlu, mengulang cerita yang sudah
pernah disebutkan tetapi dengan gaya yang berbeda, disesuaikan dengan
konteks ayat dan kondisi pada saat diturunkan.
5. Sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menandingi kemukjizatan Al-
Qur’an. Baik dari segi keindahan maupun isi.
71
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang
diharapkan menjadi salah satu bagian dalam upaya mengembangkan Pendidikan
Agama Islam di Indonesia.
1. Hendaknya para pendidik menggunakan cerita sebagai salah satu metode
pembelajaran dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam kepada anak.
Tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur’an lah
yang sangat perlu untuk diceritakan kepada anak-anak dalam rangka
mendidik mereka. Dengan menceritakan cerita-cerita keteladanan dalam Al-
Qur’an baik dari cerita para nabi atau selain nabi, anak-anak tidak saja
dikenalkan berbagai cerita dalam kitab suci-Nya, mendekatkan manusia
dengan sumber utama dalam agamanya sejak dini dan lebih jauh untuk
mendorong semangat mereka untuk mengkaji lebih mendalam ajaran-ajaran
dalam Al-Qur’an, tetapi juga diharapkan mereka dapat mengambil hikmah
dan teladan dari sifat, perilaku dan kondisi emosional para tokoh tersebut
ketika mereka dihadapkan pada situasi atau peristiwa tertentu.
Karena memang penyampaian pesan dengan jalan cerita lebih mengena ke
dalam hati, dan terkesan tidak menggurui. Sehingga lebih mudah diterima dan
diingat oleh anak.
2. Hendaknya para pendidik lebih sering lagi menceritakan tokoh-tokoh yang
terdapat dalam Al-Qur’an kepada anak-anak agar mereka mengenal tokoh-
tokoh tersebut. Dikhawatirkan mereka lebih mengenal cerita-cerita fiktif yang
banyak terdapat di media-media, baik film, televisi, novel, dan lain-lain.
Sedangkan cerita-cerita tentang para nabi yang mengandung pesan-pesan
yang baik tidak mereka ketahui.
72
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006.
Anwas, Oos M., Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan,
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16. Edisi Khusus III, Oktober
2010.
Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, Jakarta: Dunia Aksara, 1997.
Carr, F. Rene Van de, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam
Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000).
DS, Agus, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2012.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an, 2012.
Najati, Muhammad Utsman, Psikologi Qurani: dari Jiwa hingga Ilmu Laduni,
Bandung: Penerbit MARJA, 2010.
Shiddieqy, Teungku M. Hasbi ash-, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009.
Sugono (ed), Dendy, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1995.
A. Identitas Diri
1. Nama lengkap : Muhammad Idham Kholid
2. Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 2 Desember 1991
3. NIM : 109011000163
4. Alamat rumah : Kp. Buaran Ds. Lambangsari RT 04/02
Kec. Tambun Selatan Kab. Bekasi
5. HP : 08998481127
6. Email : idamcloud@gmail.com
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. TK Al-Ittihad Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 1997
b. SDIT An-Nadwah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2003
c. MTs Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi, 2003-2005
d. MTs Ar-Raudhah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2006
e. MA At-Taqwa Pusat Putra Ujung Harapan Bekasi, lulus tahun
2009
f. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, lulus tahun 2014
2. Pendidikan Non-Formal
a. Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pondok Pesantren Baitul Qurro’ Perumahan Ciputat Baru Ciputat