Anda di halaman 1dari 95

KARAKTERISTIK METODE PEMBELAJARAN CERITA

DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh
Muhammad Idham Khalid
NIM 109011000163

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK

Nama : Muhammad Idham Kholid


NIM : 109011000163
Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam
Judul : “Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-
Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 76-81”

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik


metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an, khususnya surat Al-Qashash ayat
76-81. Berawal dari kekhawatiran penulis akan semakin minimnya anak-anak di
sekolah yang mengetahui dan mendapatkan cerita-cerita yang baik dari guru-guru
mereka di sekolah. Maksud cerita yang baik di sini ialah cerita-cerita yang
bersumber dari Al-Qur’an. Al-Qur’an sudah mencontohkan bagaimana bercerita
yang baik, yang dapat membawa pesan dan pelajaran di setiap ceritanya, tidak
hanya sebagai hiburan semata.
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri data-
data kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli
tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam buku-buku, artikel, dan
dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif-analitis. Adapun metode penelitian yang
digunakan ialah penafsiran ayat dengan menggunakan metode tafsir tahlili
(analisis), yakni metode menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan, dengan
memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana dalam mushaf, serta
menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa ciri
khas Al-Qur’an dalam bercerita khususnya Surat Al-Qashash ayat 76-81 ialah
tidak bertele-tele, singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah
dari setiap cerita yang diceritakan dan menekankan kepada kebenaran serta ada
pesan yang disampaikan di tengah dan akhir cerita, sehingga cerita ini bukan
hanya sekadar media hiburan seperti kebanyakan cerita sastra, melainkan sebagai
metode pembelajaran yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabb al-alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT. Yang telah melimpahkan kekuatan lahir dan batin sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Skripsi berjudul “Karakeristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an
Surat Al-Qashash Ayat 76-81” ini merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi
untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari sumbangsih berbagai pihak yang
telah membantu dan memberi dukungan baik moril maupun materil. Untuk itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak M. Ma’ruf dan Ibu Himmatin yang telah
membesarkan, merawat, mendidik, dan memberi dukungan kepada
penulis. Serta adik-adik tercinta Muhammad Ainul Yaqin, Novia Nur
Adilla, dan Muhammad Zakhrof Albi.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA., Ph.D. beserta para
pembantu dekan dan segenap jajarannya.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak Dr. Abdul Majid Khon,
M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, Ibu Marhamah
Saleh, Lc., MA.
4. Dosen penasihat akademik penulis, Ibu Dra. Raudhah, M.Pd. atas
bimbingan yang selama ini telah diberikan.
5. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak M. Sholeh Hasan, Lc., MA.
yang telah memberikan saran dan arahan dalam penulisan skripsi
6. Seluruh dosen dan staf jurusan PAI.
7. Teman-teman mahasiswa PAI, khususnya kelas D angkatan 2009 atas
pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama
kuliah bersama.
8. Teman-teman dan senior-senior di HIQMA (Himpunan Qori dan Qoriah
Mahasiswa) UIN Jakarta yang penulis anggap sudah sebagai guru, yang
telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman berharga yang tidak
penulis dapatkan di tempat lain.
9. Segenap petugas perpustakaan Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) yang mana
penulis banyak mengambil referensi dari sana.
10. Guru-guru di Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta yang terus
mensupport penulis untuk menyelesaikan studinya sambil mengajar di
Madrasah Tsanawiyah Pembangunan UIN Jakarta.
11. Teman-teman santri Ponpes Baitul Qurro’ tempat penulis tinggal dan
belajar yang selalu mendoakan dan menyemangati.
12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan, dan informasi,
yang bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dan partisipasi dari semua pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan
pahala dari Allah SWT.

Jakarta, 22 April 2014


Penulis,

Muhammad Idham Khalid


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 7
D. Perumusan Masalah .............................................................................. 7
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8

BAB II KAJIAN TEORITIS


A. Metode Pembelajaran ............................................................................ 9
B. Cerita .................................................................................................... 10
1. Pengertian Cerita ................................................................................... 10
2. Macam-Macam Cerita ............................................................................ 11
a. Dari Ciri-Cirinya ................................................................................ 11
1. Cerita Lama ................................................................................. 11
2. Cerita Baru ................................................................................... 13
b. Dari Segi Volumenya ....................................................................... 13
1. Cerita Pendek ............................................................................... 13
2. Cerita yang Lebih Panjang ............................................................ 13
3. Cerita Panjang .............................................................................. 13
3. Karakteristik Umum Cerita ................................................................... 14
Sembilan Ciri Umum Sastra ................................................................. 14
Unsur-Unsur yang Ada dalam Cerita ..................................................... 14
a. Peristiwa ........................................................................................... 15
b. Pelaku ............................................................................................. 15
c. Waktu dan Tempat .......................................................................... 16
d. Gaya Bahasa dan Dialog .................................................................. 17
e. Gagasan Pikiran atau Tujuan ............................................................ 17
C. Cerita dalam Al-Qur’an ........................................................................ 18
1. Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an .............................................. 18
a. Ditinjau dari Segi Waktu ................................................................. 19
b. Ditinjau dari Segi Materi ................................................................. 19
2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an ........................................................... 20
3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an .................. 25
a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra ......................... 26
b. Penyampaian Pesan dalam Cerita ..................................................... 27
c. Pengulangan Cerita ......................................................................... 29
d. Episode Kemunculan Tokoh Utama ................................................. 32
1. Dari Awal Kelahiran ................................................................... 32
2. Dari Masa Kanak-Kanak ............................................................. 32
3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian ............................................ 33
e. Panjang Pendek Cerita ..................................................................... 33
1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar ......................................... 33
2. Cerita yang Perinciannya Sedang ................................................. 34
3. Cerita yang Disebutkan Singkat ................................................... 35
4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat ........................................ 35
f. Bentuk Dialog dalam Bercerita ........................................................ 36
D. Hasil Penelitian yang Relevan ............................................................... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Jenis dan Metode Penelitian .................................................................. 38
B. Sumber Data ......................................................................................... 38
C. Teknik Pengumpulan Data .................................................................... 39
D. Teknik Analisis Data ............................................................................ 39
E. Teknik Penulisan .................................................................................. 39
BAB IV METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-
QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81
A. Penafsiran Secara Ringkas ..................................................................... 41
B. Berbeda dengan Cerita Sastra ................................................................ 45
1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra ............... 45
2. Hasil Proses Kreatif ............................................................................... 46
3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis .... 46
4. Bentuk dan Gaya yang Khas .................................................................. 47
5. Bahasa yang Digunakan Khas ............................................................... 47
6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk ..................... 48
7. Merupakaan Rekaan .............................................................................. 49
8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri ............................................... 50
9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu ..................... 52
C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an .................................................... 52
1. Pelaku ................................................................................................... 53
2. Peristiwa .............................................................................................. 54
3. Percakapan ........................................................................................... 57
D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun ..................... 58
E. Penyampaian Pesan dalam Cerita .......................................................... 60
F. Pengulangan Cerita ............................................................................... 62
G. Episode Kemunculan Tokoh ................................................................ 64
H. Panjang Pendek Cerita .......................................................................... 66
I. Gaya Bercerita yang Baik ..................................................................... 67

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 70
B. Saran ................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 72


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.


Dalam dunia pendidikan, di samping potensi subjek didik cukup baik, kondisi
lingkungan belajar mengajar seyogyanya menunjang agar dapat menjamin
keberhasilan proses belajar mengajar. Oleh karena itu guru harus kreatif mencari
metode dan media yang sesuai dengan kondisi perkembangan belajar anak.1
Keberhasilan proses belajar mengajar kiranya akan sulit dicapai apabila guru
hanya menjelaskan atau memberikan ceramah secara panjang lebar materi itu.
Guru yang kreatif memiliki kemampuan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada
peserta didiknya secara kreatif, sehingga peserta didik menggemari ilmu
pengetahuan yang diajarkan kepadanya dan membuat peserta didik dapat berfikir
secara kreatif pula.2
Selanjutnya dalam keterkaitan dengan pendidikan pada umumnya atau
pendidikan agama Islam, metode sangat penting. Metode berperan sebagai jalan
untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang, sehingga terlibat
dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu metode dapat pula
membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali dan mengembangkan
ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.3
Cerita sebagai suatu metode pendidikan memang mempunyai daya tarik yang
menyentuh perasaan. Bercerita atau mendongeng adalah aktivitas pendidikan yang
dilakukan oleh siapa saja dan dari bangsa serta agama mana saja. Tidak ada yang
tidak menggemari dongeng atau cerita. Kelompok yang paling suka tentu saja
adalah anak-anak. Kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana cerianya mereka
ketika mendengarkan dongeng atau cerita dan mereka selalu mengharapkan ibu

1
Ari Wahyudi. Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah Afektif
Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan), Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni 2010. h. 43-44.
2
Herry Widyastono. Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran.
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 15. November 2009. h. 1020.
3
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 91-92.
2

bapaknya meluangkan waktu untuk menceritakan dongeng kepada mereka. Cerita


atau dongeng adalah salah satu sarana untuk membangun karakter anak didik,
karena bercerita mirip dengan memberikan contoh nyata dalam imajinasi anak.
Efek dari cerita ini memang sangat hebat, karena sebetulnya melalui cerita mereka
sedang dihujani nasihat demi nasihat, pesan demi pesan dan dorongan-dorongan
motivasi. 4
Dalam suatu penelitian, dilaporkan bahwa ada peningkatan perkembangan
intelektual dan kematangan terhadap bayi pralahir akibat pengaruh pembacaan
cerita. Seorang peneliti meminta muridnya yang sedang hamil untuk membacakan
cerita anak berulang-ulang dengan suara keras selama kehamilannya. Ketika
bayinya dilahirkan, bayi itu diuji apakah ia mengenali bunyi-bunyi cerita lain.
Ternyata ia mengenali bunyi cerita yang telah dibacakan ibunya. Diyakini bahwa
bercerita untuk bayi sebelum ia dilahirkan dapat berdampak baik bagi
perkembangan otak bayi. 5
Keunggulan cerita dapat melakukan dua tugas sekaligus dalam waktu
bersamaan. Pertama, cerita sangat efektif dalam mengomunikasikan informasi
dengan bentuk yang mudah diingat, dan kedua, cerita dapat mengarahkan
perasaan pendengarnya tentang informasi yang dikomunikasikan.6 Bagi anak-
anak, duduk manis menyimak penjelasan dan nasihat merupakan sesuatu yang
tidak menyenangkan. Sebaliknya, duduk berlama-lama menyimak cerita atau
kisah adalah aktivitas yang mengasyikkan. Oleh karenanya memberikan pelajaran
dan nasihat melalui cerita adalah cara mendidik yang cerdas dan bijak.
Dr. Abdul Aziz Abdul Majid dalam bukunya ‘’Mendidik Dengan Cerita‘’
mengatakan: ’’sebagian dari cerita-cerita yang ada, mengandung beberapa unsur
yang negatif. Hal ini dikarenakan pembawaan cerita tersebut tidak mengindahkan
nilai estetika dan norma’’. Mungkin si anak melakukan hal-hal buruk karena ia
selalu mendapatkan cerita-cerita yang negatif dan tidak mendidik. Hal ini
dikarenakan semua informasi dan peristiwa yang tercakup dalam sebuah cerita

4
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, (Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.
5
F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam
Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000), h. 132.
6
Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif, (Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 12-13.
3

akan berdampak sekali dalam pembentukan akal, dan norma seorang anak, baik
dari segi budaya, imajinasi maupun bahasa kesehariannya. 7
Islam menyadari sifat alamiah manusia bahwa mereka menyukai cerita, dan
menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam
mengeksploitasi cerita tersebut untuk dijadikan salah satu metode pendidikan.
Salah satu sumber cerita yang baik untuk mengajarkan pendidikan agama pada
anak adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an telah menunjukkan daya tarik yang luar biasa
dalam segala seginya termasuk kisah-kisah yang ada di dalamnya. Kisah-kisah Al-
Qur’an dikatakan menarik karena di dalamnya terdapat ayat-ayat mengenai kisah
umat manusia, yang bukan hanya menarik bagi orang dewasa, melainkan juga
bagi anak-anak. Di dalam Al-Qur’anul karim banyak sekali cerita-cerita tentang
keadaan umat-umat masa silam, yang sengaja dikemukakan untuk memberikan
pelajaran dan menampilkan peran pendidikan bagi pembacanya atau orang yang
mendengarnya. Firman Allah SWT.
“Dan kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar
dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan
kepadamu (segala kebenaran), nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman”
(QS. Hud: 120).

Allah telah memerintahkan kepada kita agar meneladani orang-orang shalih


(shalihin) dan penganjur kebaikan (muslihin) dari orang-orang terdahulu, yang
kisah-kisah mereka telah dipaparkan-Nya kepada kita serta telah diperlihatkan-
Nya kepada kita metode mereka dalam dakwah, perbaikan (ishlah), perlawanan
terhadap musuh-musuh Allah, perjuangan jihad, kesabaran dan keteguhan
mereka.8 Karena dari kisah orang-orang dahulu terdapat hikmah dan pelajaran
bagi orang-orang yang berakal yang mampu merenungi kisah-kisah itu,
menemukan padanya hikmah dan nasihat, serta menggali dari kisah-kisah itu
pelajaran dan petunjuk hidup.9

7
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2002), h. 4.
8
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.
9
Amini, op. Cit., h. 316.
4

Allah juga mensifati kisah-kisah ini sebagai kisah yang terbaik (ahsanul
Qashash), sebagaimana Firman Allah dalam Surat Yusuf ayat 3:

         

     


“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami
mewahyukannya) adalah orang-orang yang belum mengetahui” (Yusuf: 3)

Maksud ayat di atas ialah bahwa Allah akan menceritakan beberapa kisah
yang benar, jelas, dan berdasarkan bukti yang kuat. Maka tinggalkanlah kisah-
kisah yang diceritakan selain dari Al-Qur’an yang periwayatannya tidak terjamin,
bercampur dengan kebohongan, serta berseberangan dengan kenyataan.10
Ciri khas cerita-cerita Al-Qur’an adalah ia selalu bersifat benar adanya,
kejadian yang sesungguhnya, begitu pula isi yang terkandung di dalamnya serta
pemusatan pada tujuan yang diinginkan dari cerita tersebut. Cerita-cerita Al-
Qur’an mempunyai tujuan pendidikan, yaitu membentuk individu-individu atau
masyarakat manusia dengan nilai keislaman. Ia mendidik manusia untuk semata-
mata beriman kepada Allah SWT dan rela terhadap qadha dan qadar-Nya.
Syekh Muhammad Al-Ghazali, seorang ulama kenamaan Mesir dalam
bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-Qur’an mengungkapkan bahwa kisah-kisah
dalam Al-Qur’an pada prinsipnya memuat asas-asas pendidikan, tidak hanya
pendidikan psikologis, tetapi aspek rasio juga. Melalui kisahnya, Al-Qur’an
bertujuan mendidik manusia sejak masa penciptaan, kelahiran, kanak-kanak,
remaja, dewasa, dan tua hingga ajalnya, agar mereka senantiasa sadar akan jati
dirinya.11
Selanjutnya beliau juga menuturkan dalam buku al-Mahawir al-Khamsah li
al-Qur’an al-Karim, secara garis besar ada lima pokok isi kandungan Al-Qur’an.

10
Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.
11
Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 89.
5

Tauhid kepada Allah, alam semesta bukti adanya Allah, kebangkitan dan
pembalasan, hukum dan pendidikan, dan yang terakhir ialah qashash al-Qur’an
atau kisah-kisah Al-Qur’an. Kenapa kisah-kisah Al-Qur’an bisa menjadi isi pokok
kandungan Al-Qur’an, bukankah ia hanya sekadar cerita masa lampau saja yang
tidak berbeda dengan buku sejarah. Di dalam buku tersebut Syekh Muhammad
Al-Ghazali menjelaskan bahwa cerita yang ada di dalam Al-Qur’an tidaklah
hanya sekadar cerita yang sudah usang. Kisah dalam Al-Qur’an merupakan sarana
pendidikan, nasihat dan petunjuk bagi manusia. Oleh setiap kisah umat-umat
terdahulu terdapat ibrah yang bisa diambil pelajaran dan hikmahnya. Ibarat kaset,
kisah tersebut mengingatkan bahwa yang terjadi pada saat ini merupakan
pengulangan apa yang terjadi pada masa lalu, hanya pelaku, waktu dan tempat
saja yang berbeda. Al-Qur’an mengingatkan bahwa jauh sebelum ini pun sudah
ada peradaban-peradaban yang maju dengan ilmu pengetahuannya, tetapi karena
tidak diiringi dengan kemajuan akhlak dan ibadahnya kepada Allah maka dalam
sekejap peradaban tersebut hancur dan hilang. Bukankah itu sama dengan kondisi
saat ini? Seseorang yang telah kehilangan ingatannya bisa disebut dengan orang
gila. Ketidaksanggupan mengingat yang telah lalu akan membawa kepada
ketidakmampuan menghadapi yang akan datang. Oleh karena itulah Syekh
Muhammad Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada kisah-kisah Al-Qur’an.12
Bagaimana pentingnya kisah dalam Al-Qur’an bisa dilihat dari segi volume,
di mana kisah-kisah tersebut memiliki porsi yang tidak sedikit dari seluruh ayat-
ayat Al-Qur’an. Bahkan ada surat-surat Al-Qur’an yang dikhususkan untuk kisah
semata-mata, seperti surat Yusuf, Al-Anbiya’, Al-Qasas, dan Nuh. Dari
keseluruhan surat Al-Qur’an, terdapat 35 surat yang memuat kisah, kebanyakan
adalah surat-surat panjang.13 Cerita tentang para nabi mendapatkan porsi yang
cukup besar dalam Al-Qur’an yaitu sekitar 1600 ayat dari jumlah keseluruhan ayat
dalam Al-Qur’an yang terdiri dari 6236. Jumlah tersebut cukup besar jika
dibandingkan dengan ayat-ayat tentang hukum yang hanya terdiri dari 330 ayat.

12
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra
Muslim, 2003), h. 111.
13
A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), h. 22.
6

Selain cerita tentang para nabi dan rasul, Al-Qur’an juga menceritakan kisah
tentang orang-orang selain nabi, baik orang mukmin maupun orang kafir, seperti
kisah perjuangan para nabi dalam memberikan pencerahan spiritual kepada
bangsa dan umatnya, usaha keras para nabi dalam membendung aktivitas kaum
kafir.
Kemudian, gaya bercerita Al-Qur’an juga berbeda dengan gaya bercerita
kisah yang lain pada umumnya. Kita akan menemukan bahwa tersebarnya kisah
dalam ayat dan surat yang berbeda, tetap menunjukkan kesatuan hubungan.
Adanya hubungan tersebut bukan saja ditandai oleh tematisnya, melainkan juga
oleh keseluruhan gaya dan cara Al-Qur’an dalam berkisah. Dalam hal ini, kisah
merupakan metode utama yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesannya.14
Sekarang, akibat terlalu seringnya tayangan-tayangan di televisi muncul, kini
anak-anak tidak lagi mengetahui kisah para nabi, kisah Ashabul Kahfi, kisah
tentang Khulafau Rasyidin. Juga tidak kenal dengan Lukmanul Hakim, Nabi
Khidir, Siti Maryam, di mana kisah tentang mereka sangat baik untuk diketahui
anak-anak. Karena kisah-kisah tersebut memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik
bagi anak.15
Pengamatan sementara peneliti mendapatkan bahwa masyarakat kita masih
cenderung mengabaikan potensi cerita-cerita yang ada dalam Al-Qur’an sebagai
metode pendidikan. Padahal dengan melihat fitrah kejiwaan manusia yang
menyenangi cerita, sudah seharusnya cerita-cerita tersebut dimanfaatkan oleh para
pendidik (guru, orang tua, dan lain-lain), sebagai metode pendidikan, khususnya
pendidikan agama yang merupakan pondasi awal bagi anak. Untuk itulah maka
penulis berusaha menjabarkan betapa pentingnya cerita-cerita dalam Al-Qur’an
dan bagaimana langkah-langkah serta gaya Al-Qur’an dalam bercerita melalui

14
Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.
15
Oos M. Anwas. Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan. (Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III, Oktober 2010. h. 259.
7

penulisan skripsi dengan judul: “KARAKTERISTIK16 METODE


PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-QURAN SURAT AL-QASHASH
AYAT 76-81”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka
penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Belum banyak pendidik yang menggunakan cerita sebagai metode
pembelajarannya.
2. Banyaknya pendidik yang masih mengabaikan potensi cerita yang terdapat
di dalam Al-Qur’an.
3. Masih banyak orang yang menganggap sama antara cerita-cerita Al-
Qur’an dengan cerita-cerita sastra pada umumnya.

C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis perlu
untuk mengarahkan permasalahan yang akan diteliti dan akan dibatasi hanya
pada:
1. Karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.
2. Penafsiran surat al-Qashash ayat 76-81.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya ialah, bagaimanakah
karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat
76-81?

16
Dalam Buku Kamus Ilmiah Populer yang disusun oleh Pius Partanto dan M. Dahlan
Barry kata “karakteristik” berarti ciri khas/bentuk-bentuk watak/karakter yang dimiliki oleh setiap
individu; corak tingkah laku; tanda khusus. Kaitannya dengan judul skripsi ini, peneliti ingin
mengkaji ciri khas apa saja yang membedakan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra pada
umumnya.
8

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimanakah karakteristik
metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Umum
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
karakteristik metode pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an.
2. Manfaat Khusus
a. Bagi mahasiswa Pendidikan Agama Islam mudah-mudahan bisa menjadi
perbandingan dalam penulisan karya ilmiah.
b. Bagi guru maupun pendidik diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk
memperhatikan potensi cerita-cerita yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
menjadikannya sebagai bagian dari metode pembelajaran.
9

BAB II
KAJIAN TEORITIS

A. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran adalah sebuah konsep cara yang digunakan oleh
guru untuk mengelola pembelajaran agar materi pembelajaran dapat
tersampaikan dengan baik sesuai dengan tujuan yang dinginkan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tidak lepas dari muatan materi
pendidikan, guru dan metode. Penguasaan materi bagi guru merupakan hal
yang sangat menentukan, khususnya dalam proses belajar mengajar yang
melibatkan guru mata pelajaran, oleh karena itu diperlukan guru yang
profesional yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang
keguruan sehingga ia mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan
maksimal.1
Dalam keterkaitan dengan pendidikan Agama Islam, metode berperan
sebagai jalan untuk menanamkan pengetahuan agama pada diri seseorang,
sehingga terlibat dalam pribadi objek sasaran, yaitu pribadi Islam. Selain itu
metode, dapat pula membawa arti sebagai cara untuk memahami, menggali
dan mengembangkan ajaran Islam, sehingga terus berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman.2
Tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan dapat berproses secara
efisien dan efektif dalam kegiatan belajar mengajar menuju tujuan
pendidikan. Metode pendidikan yang tidak tepat guna akan menjadi
penghalang kelancaran jalannya proses belajar mengajar, sehingga banyak
tenaga dan waktu terbuang sia-sia. Oleh karena itu metode yang diterapkan

1
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995)
h. 15.
2
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 91-92.
10

seorang guru, baru berdaya guna dan berhasil jika mampu digunakan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.3

B. Cerita
1. Pengertian Cerita
Secara definisi bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
cerita ialah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal.4
Cerita memiliki arti yang sama dengan kisah, di mana kisah merupakan kata
serapan yang berasal dari qishshah dalam bahasa Arab yang diambil dari kata
dasar qa sha sha yang berarti kisah, cerita, berita atau keadaan.
Menurut Abdul Aziz Abdul Majid, cerita adalah salah satu bentuk sastra
yang memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri serta merupakan sebuah
bentuk sastra yang bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa
membaca.5
Sa’id Mursy menjelaskan bahwa cerita adalah pemaparan pengetahuan
kepada anak kecil dengan gaya bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. 6
A. Hanafi mengutip pendapat Dr. Muhammad Khalafullah dalam
bukunya Al-Fannu Al-Qassiyu fi Al-Qur’an Al-Karim yang mendefinisikan
bahwa cerita ialah suatu karya kesusasteraan yang merupakan hasil khayal
pembuat kisah terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi atas seorang pelaku
yang sebenarnya tidak ada. Atau, dari seorang pelaku yang benar-benar ada,
tetapi peristiwa-peristiwa yang berkisar pada dirinya dalam kisah itu tidak
benar-benar terjadi. Ataupun, peristiwa itu terjadi dalam diri pelaku, tetapi
dalam kisah itu disusun atas dasar seni yang indah, di mana sebagian
peristiwa didahulukan dan sebagian lagi dikemudiankan, sebagiannya
disebutkan dan sebagian lagi dibuang. Atau, terhadap peristiwa yang benar-

3
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Indisipliner. (Jakarta: Dunia Aksara, 1997) h. 197.
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 283.
5
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti dan Iip
Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8.
6
Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117.
11

benar terjadi itu ditambahkan peristiwa baru yang tidak terjadi atau dilebih-
lebihkan penggambarannya, sehingga pelaku-pelaku sejarah keluar dari
kebenaran yang biasa dan sudah menjadi para pelaku khayali.7

2. Macam-Macam Cerita
a. Berdasarkan ciri-cirinya, menurut Dr. Wahyudi Siswanto cerita dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Cerita lama
Cerita lama ini sering berwujud cerita rakyat (folktale). Cerita ini
bersifat anonim, tidak diketahui siapa yang mengarangnya dan
beredar secara lisan di tengah-tengah masyarakat. Pada umumnya,
cerita itu diperoleh pada waktu pelaksanaan perhelatan, percakapan
sehari-hari, sedang bekerja atau dalam perjalanan, dan seseorang
ingin mengetahui asal-usul sesuatu. Cerita rakyat, selain merupakan
hiburan, juga merupakan sarana untuk mengetahui asal-usul nenek
moyang, jasa atau keteladanan kehidupan para pendahulu, hubungan
kekerabatan, asal mula tempat, adat-istiadat, dan sejarah benda
pusaka. Yang termasuk cerita lama adalah fabel, dongeng, legenda,
mitos, dan sage.8
a) Fabel
Adalah cerita tentang kehidupan binatang sebagai tokoh utamanya
yang diceritakan seperti kehidupan manusia. Misalkan cerita
kancil di Indonesia. Fabel kebanyakan mengandung nasihat atau
pengajaran kepada anak-anak melalui kiasan yang terkandung di
dalam cerita tersebut. Karena itu fabel mengandung unsur didaktif
dan edukatif.

7
A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.
8
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.140.
12

b) Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar
terjadi oleh yang mempunyai cerita dan tidak terikat oleh tempat
dan waktu. Dalam KBBI, dongeng adalah cerita yang tidak benar-
benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-
aneh.
c) Mitos
Mitos adalah cerita rakyat yang benar-benar dianggap terjadi serta
dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos merupakan
cerita yang pada awal terbentuknya bermula dari pikiran manusia
yang tidak mau menerima begitu saja semua fenomena alam yang
ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Dalam usahanya,
seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung
membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri.9
Contohnya ialah cerita tentang Dewi Sri dan Nyi Roro Kidul.
d) Legenda
Legenda adalah cerita tentang asal mula (nama suatu tempat, asal-
usul dunia tumbuhan, asal-usul dunia binatang). Legenda hampir
mirip dengan mitos, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi
dianggap tidak suci. Tokoh dalam legenda adalah manusia
walaupun adakalanya mempunyai sifat luar biasa karena bantuan
makhluk gaib. Contoh Legenda ialah cerita tentang terjadinya
Tangkuban Perahu, asal-usul Banyuwangi.
e) Sage
Adalah dongeng yang berisi kegagahberanian seorang pahlawan
yang terdapat dalam sejarah, tetapi cerita bersifat khayal. Seperti
cerita Ken Arok dan Ken Dedes, Tutur Tinular, serta Lutung
Kasarung.

9
Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7 h.128.
13

2. Cerita baru
Cerita baru adalah bentuk karangan bebas yang tidak berkaitan
dengan sistem sosial dan struktur kehidupan lama. Cerita baru dapat
dikembangkan dengan menceritakan kehidupan saat ini dengan
keanekaragaman bentuk dan jenisnya. Contoh dari cerita baru adalah
roman, novel, cerita pendek, cerita bersambung dan sebagainya.
Pembagian ini lebih dikarenakan perbedaan volume atau panjang
pendeknya cerita, yang akan dibahas pada pembahasan setelah ini.10

b. Dari segi volume atau panjang pendeknya, cerita dapat dibagi menjadi:
1. Cerita pendek. Ialah cerita yang hanya terdiri dari beberapa halaman
saja. Lazimnya disebut dengan cerpen.
2. Cerita yang lebih panjang daripada cerita pertama. Cerita semacam
ini disebut novelette dalam bahasa Perancis. Contohnya ialah novel.
3. Cerita panjang. Contohnya ialah roman. Roman adalah cerita yang
paling panjang dari segi volume. Corak ceritanya bersifat romantis;
berkisar sekitar masalah percintaan, dan kadang-kadang jauh dari
kenyataan. Pada roman yang penting ialah peristiwa-peristiwa,
sehingga Saintsbury membedakan, bahwa roman adalah cerita
peristiwa, sedangkan novel (cerita biasa) adalah cerita pelaku
(pribadi) dan motif-motif. 11

Cerita pendek berbeda dengan cerita lainnya, karena ia


memungkinkan penulisnya untuk mencurahkan seluruh perhatiannya
pada satu peristiwa yang terpisah dari yang lainnya. sehingga penulis
dapat menyampaikan pikiran kepada pembaca atau pendengarnya dalam
bentuk yang lebih kuat daripada kalau pikiran itu merupakan bagian dari
cerita (riwayat) yang banyak peristiwanya.
Oleh karena itu, dalam penulisan cerita pendek (cerpen), ada caranya
sendiri, di mana perincian-perincian ditinggalkan, dan pelakunya harus
10
Siswanto, op. cit., h.140.
11
Hanafi, op. cit., h.15-16.
14

sedikit mungkin, dan tidak perlu diuraikan sifat-sifatnya secara


terperinci. Begitu pula peristiwa-peristiwanya harus bisa ditangkap
dengan mudah dari segi waktu dan tempat. Segala sesuatu yang
mengganggu pembaca atau pendengar dari inti cerita haru ditinggalkan.
Dari segi pelaku, cerita pendek lebih mengutamakan pelaku agar
jumlahnya sedikit mungkin, sedangkan novel atau roman banyak
pelakunya. Selain karena sempitnya ruang, juga karena cerita pendek
memang tidak dimaksudkan untuk menganalisa banyak pelaku.12

3. Karakteristik Umum Cerita


Cerita merupakan salah satu bagian dari sastra, di mana sastra memiliki
sembilan ciri umum, yakni:13
a. Ada niat dari pengarangnya untuk menciptakan karya sastra.
b. Hasil proses kreatif.
c. Diciptakan bukan semata-mata untuk tujuan praktis dan pragmatis.
d. Bentuk dan gaya yang khas.
e. Bahasa yang digunakan khas.
f. Mempunyai logika tersendiri, mencakup isi dan bentuk.
g. Merupakaan rekaan.
h. Mempunyai nilai keindahan tersendiri.
i. Nama yang diberikan masyarakat kepada hasil tertentu.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam cerita secara umum ialah
adanya kejadian atau peristiwa tertentu sebagai unsur pertama. Selanjutnya
ada pelaku sebagai unsur kedua. Peristiwa-peristiwa tersebut harus terjadi
dalam tempat dan waktu tertentu, dan hal ini merupakan unsur ketiga.
Kemudian ada gaya bahasa tertentu untuk menceritakan peristiwa-peristiwa
tersebut, lengkap dengan dialog-dialog yang terjadi antara para pelaku. Unsur
terakhir ialah gagasan pikiran (ide) atau segi pandangan atau tujuan. 14

12
Ibid., h.16-17.
13
Siswanto, op. cit., h.72-81.
14
Hanafi, op. cit., h.19.
15

a. Peristiwa
Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari satu keadaan ke
keadaan yang lain. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dibedakan
kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan peristiwa dengan yang tidak.
Misalnya, antara kalimat-kalimat yang mendeskripsikan tindakan tokoh
dengan yang mendeskripsikan ciri-ciri fisik tokoh.15
Dalam sebuah cerita, sebuah peristiwa erat kaitannya dengan
konflik dan klimaks. Konflik merupakan kejadian yang tergolong
penting. Kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik
melalui berbagai peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan
cerita yang dihasilkan. Peristiwa dan konflik biasanya berkaitan erat,
dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang lain, bahkan
konflik pun hakikatnya merupakan peristiwa. Konflik demi konflik yang
disusul oleh peristiwa demi peristiwa akan menyebabkan konflik menjadi
semakin meningkat. Konflik yang telah sedemikian meruncing, katakan
sampai pada titik puncak, disebut klimaks.
Klimaks, menurut Santon, adalah saat konflik telah mencapai
tingkat intensitas tertinggi, dan saat (hal) itu merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari terjadinya. Klimaks hanya dimungkinkan ada dan
terjadi jika ada konflik. Namun, tidak semua konflik harus mencapai
klimaks. Sebuah konflik akan menjadi klimaks atau tidak, dalam banyak
hal akan dipengaruhi oleh sikap, kemauan, dan tujuan pengarang dalam
membangun konflik sesuai dengan tuntutan cerita.16
b. Pelaku atau Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita
sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan
menampilkan tokoh disebut penokohan. Tokoh dalam cerita selalu

15
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005) h. 117.
16
Nurgiyantoro, op. cit., h.127.
16

mempunyai sifat, sikap, tingkah laku atau watak-watak tertentu.


Pemberian watak pada tokoh disebut perwatakan. 17
c. Waktu dan Tempat
Bersamaan dengan sosial, waktu dan tempat merupakan bagian dari
unsur latar dalam sebuah cerita. Waktu berhubungan dengan masalah
“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan
waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
Masalah waktu dalam karya naratif, kata Genette dapat bermakna
ganda; di satu pihak menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan
cerita, dan di pihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang
terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan
amat penting dilihat dari segi waktu penceritaannya. Tanpa kejelasan
(urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis
cerita-khususnya untuk cerita yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang
mengenal tenses seperti bahasa Inggris.18
Masalah waktu dalam cerita juga sering dihubungkan dengan
lamanya waktu yang dipergunakan dalam cerita. Ada yang membutuhkan
waktu sangat panjang, katakanlah (hampir) sepanjang hayat tokoh, ada
yang relatif agak panjang, membutuhkan waktu beberapa tahun, ada pula
yang relatif pendek.
Latar waktu haruslah berkaitan dengan latar tempat, karena tempat
inilah yang menunjukkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah cerita. Tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi
tertentu tanpa nama jelas. Penyebutan tempat yang tidak ditunjukkan

17
Siswanto, op. cit., h. 143.
18
Nurgiyantoro, op. cit., h.231.
17

secara jelas namanya, mungkin disebabkan perannya dalam cerita


tersebut kurang dominan.19
d. Gaya Bahasa dan Dialog
Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya
dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta
mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya
intelektual dan emosi pembaca.20 Karena bahasa dalam seni sastra dapat
disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekadar bahannya itu sendiri.
Sebuah cerita umumnya dikembangkan dalam dua bentuk
penuturan; narasi dan dialog. Kedua bentuk tersebut hadir secara
bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi variatif dan tidak
terkesan monoton. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi sering dapat
menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Pengarang
cenderung memilih peristiwa dan tindakan, konflik, atau hal-hal lain
yang menarik dari perjalanan hidup tokoh untuk diceritakan. Adapun
dalam pengungkapan bahasa bentuk percakapan, seolah-olah pengarang
membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata
seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya
dan apa isi percakapannya. Dialog tidak mungkin hadir sendiri tanpa
disertai (atau menyatu dengan) bentuk narasi.21
e. Gagasan Pikiran atau Tujuan
Sastrawan berkomunikasi dengan pembacanya dalam bentuk karya
sastra yang dibuatnya. Gagasan pikiran yang ada di dalam cerita rekaan
bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan,
hal ini biasa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari
karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca

19
Ibid., h.232-233.
20
Siswanto, op. cit., h. 158.
21
Nurgiyantoro, op. cit., h.310-311.
18

atau pendengarnya. Di dalam karya sastra modern ini biasanya tersirat; di


dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.22
Tujuan bercerita ini erat kaitannya dengan manfaat dari cerita itu
sendiri. Lilian Holewell dalam A Book for Children Literature mencatat
sedikitnya ada enam manfaat cerita. Yaitu (1) mengembangkan daya
imajinasi dan pengalaman emosional, (2) memuaskan kebutuhan ekspresi
diri melalui proses identifikasi, (3) memberikan pendidikan moral tanpa
menggurui si anak, (4) memperlebar cakrawala mental si anak dan
memberikan kesempatan untuk meresapi keindahan, (5) menumbuhkan
rasa humor dalam diri si anak, dan (6) memberikan persiapan apresiasi
sastra dalam kehidupan si anak setelah dia dewasa.23

C. Cerita dalam Al-Qur’an

Di dalam buku “Metode Dakwah” yang diterbitkan oleh Departemen Agama


RI dijelaskan bahwa Al-Qur’an banyak memuat cerita-cerita sejarah umat
terdahulu yang dapat dijadikan sebagai bahan yang dapat menjadikan
perbandingan untuk menjalankan aktivitas dalam berdakwah dan mendidik.
1. Macam-Macam Cerita dalam Al-Qur’an
Cerita-cerita Al-Qur’an ada yang terkait dengan kehidupan para nabi,
termasuk yang berkaitan dengan tokoh atau sesuatu yang berhubungan
dengan nabi, seperti Iblis, Qabil-Habil, Khidir, Qarun, Firaun, dan lainnya.
Ada pula yng tidak terkait dengan cerita para nabi, seperti penghuni gua
(Ashabul Kahfi), Zulqarnain, Ashabul Ukhdud, dan lainnya. Sebagian cerita
diceritakan berdasarkan pertanyaan para sahabat seperti Ashabul kahfi dan
Zulqarnain (Al-Kahfi: 9-20, dan 83), tetapi sebagian besar difirmankan tanpa
sebab atau permintaan. Secara keseluruhan tipe-tipe cerita Al-Qur’an

22
Siswanto, op. cit., h. 162.
23
Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2002), hal.4.
19

mengandung berbagai peringatan, contoh, tanda, dan pesan bagi umat


manusia. Adapun pembagian cerita Al-Qur’an sebagai berikut:
a. Ditinjau dari segi waktu terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam Al-
Qur’an, ada tiga macam:
1. Cerita hal-hal gaib pada masa lalu, yaitu cerita yang menceritakan
kejadian-kejadian gaib yang sudah tidak bisa ditangkap panca indra.
Seperti cerita-cerita Nabi.
2. Cerita hal-hal gaib pada masa kini, yaitu cerita yang menceritakan
kejadian-kejadian gaib pada masa sekarang (meski sudah ada sejak
dahulu dan akan tetap ada sampai pada masa yang akan datang), dan
yang menyingkap rahasia orang-orang munafik.
3. Cerita hal-hal gaib pada masa yang akan datang yang belum pernah
terjadi pada waktu turunnya Al-Qur’an, kemudian peristiwa itu
benar-benar terjadi.
b. Ditinjau dari segi materi, juga ada tiga macam:
1. Cerita para Nabi menyangkut dakwah mereka dan tahapan-tahapan
serta perkembangan, mu’jizat mereka, posisi para penentang, akibat
orang-orang yang percaya dan yang mendustakan mereka dan lain-
lain. Misalnya cerita Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, Isa, Muhammad,
dan nabi serta rasul lainnya.
2. Cerita orang-orang yang belum tentu nabi dan kelompok-kelompok
manusia tertentu seperti cerita Lukmanul Hakim, Ashabul Kahfi dan
lain-lain. peristiwa-peristiwa masa lalu dan pribadi-pribadi yang
tidak diketahui secara pasti apakah mereka nabi atau bukan,
misalnya cerita Thalut dan Jalut, dua putra Adam, Zulqarnain,
Qarun, Maryam, Ashabul Ukhdud, dan lain-lain.
3. Cerita mengenai kejadian-kejadian yang terjadi di masa Rasulullah
SAW, seperti perang Badar dan Uhud dalam surah Ali Imran, perang
20

Hunain dan Tabuk dalam surah at-Taubah, perang Ahzab dalam


surah al-Ahzab, peristiwa Hijrah, Isra’ Mi’raj dan lain-lain.24

2. Tujuan Cerita dalam Al-Qur’an


Orang-orang kafir menganggap bahwa cerita-cerita yang terkandung di
dalam Al-Qur’an sebagai mitos dan legenda. Di dalam Al-Qur’an didapati
banyak cerita nabi-nabi, rasul-rasul dan umat-umat terdahulu di mana maksud
cerita-cerita itu ialah sebagai pelajaran-pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang
berguna bagi penyeru kebenaran dan yang diseru kepada kebenaran. 25 Bagi
orang yang sedang menyeru kepada kebenaran, jalan-jalan yang harus
ditempuh dalam menghadapi kaum yang diseru oleh para penyeru kebenaran
bisa dilihat dari surat-surat yang mengandung cerita perjuangan para nabi dan
rasul dalam mendakwahkan tauhid kepada kaum-kaumnya. Umpamanya, Nuh
memulai seruannya dengan mempertakutkan. Hud memulai seruannya
dengan memberi kabar gembira. Sholeh memulai seruannya dengan
memperingatkan umat-umatnya kepada nikmat-nikmat Allah. Adapun Syuaib
dengan tandzir, tahsyir, dan tadzkir (mempertakutkan, memberi kabar
gembira, mengingatkan nikmat itu).26
Syaikh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Kayfa Nata’amal Ma’ al-
Qur’an mengkritik banyaknya orang yang menulis cerita-cerita Qurani terlalu
menampilkan segi keindahan sastranya, ketimbang muatan ceritanya.
Keindahan sastra seolah merupakan tujuan dalam penulisan mereka. Padahal
sastra hanyalah alat bukan tujuan. Hal ini yang menyebabkan tujuan utama
dari cerita-cerita Al-Qur’an sama sekali tidak mendapat perhatian karena alat
atau sarana tadi beralih menjadi pokok tujuan.27

24
FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama
Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004) hlm 128.
25
Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 72.
26
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 123.
27
Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.
21

Beberapa ahli memberikan pemaparan tersendiri tentang tujuan adanya


cerita-cerita tersebut. Menurut Manna Khalil al-Qatthan tujuan cerita-cerita
tersebut adalah:28
a. Menjelaskan prinsip dakwah agama Allah SWT dan keterangan pokok-
pokok syariat yang dibawa oleh masing-masing Nabi dan Rasul.
Contohnya dalam surat al-Anbiya: 25

             


“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku"

b. Memantapkan hati Rasulullah dan umatnya serta memperkuat keyakinan


kaum muslimin.
c. Mengoreksi pendapat para ahli kitab yang suka menyembunyikan
keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan
argumentasi-argumentasi yang terdapat pada kitab suci sebelum diubah
mereka sendiri.
d. Lebih meresapkan dan memantapkan keyakinan dalam jiwa.
e. Untuk memperlihatkan kemukjizatan Al-Qur’an dan kebenaran
Rasulullah di dalam dakwah dan pemberitaannya mengenai umat-umat
yang terdahulu ataupun keterangan beliau yang lain, dalam surat al-Fath:
27 Allah Berfirman:

       


  

        

 

28
Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 2007), h. 437.
22

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya,


tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa
Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya
Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut”
f. Menanamkan pendidikan akhlakul karimah, karena dari keterangan
cerita-cerita yang baik itu dapat meresap ke dalam hati nurani dengan
mudah.
Adapun Shalah Al-Khalidy berpendapat bahwa tujuan cerita-cerita Al-
Qur’an ialah:
a. Agar mereka berpikir (la’allahum yatafakkarun). Al-Qur’an
menginginkan kita untuk senantiasa berpikir dan mengambil pelajaran
dari setiap kisah yang diceritakan.
b. Untuk meneguhan hati Rasulullah dan orang-orang mukmin agar
konsisten dalam jalan kebenaran.
c. Pelajaran bagi orang-orang yang berakal. 29
Sedangkan menurut Muhammad Said Mursy, penceritaan Alqur‘an dan
para nabi bertujuan sebagai peringatan dan pelajaran bagi seluruh umat.30
Dari beberapa pendapat para pakar yang telah dikemukakan di atas, secara
keseluruhan terdapat kesamaan pendapat antara yang satu dengan lainnya. Di
antara maksud dan tujuan itu yakni:
Pertama, menegaskan bahwa Nabi Muhammad benar-benar seorang nabi
utusan Allah dan bahwa Al-Qur’an yang disampaikannya memang benar-
benar firman Allah yang diwahyukan kepadanya. Kalau bukan karena wahyu
dari Allah bagaimana mungkin Nabi Muhammad bisa menyampaikan cerita-
cerita di dalam Al-Qur’an dalam deskripsi yang sedemikian cermat dan narasi
yang amat indah tanpa ada distorsi dan penyelewengan. 31 Firman Allah SWT:

29
Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al-Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang Dahulu,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 28-31.
30
Mursy, op. cit., h.118.
31
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 159.
23

           

         

         

          

          


Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat
ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula
kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah
mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa
yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk
Madyan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi
Kami telah mengutus rasul-rasul. Dan tiadalah kamu berada di dekat
gunung Thur ketika Kami menyeru (Musa), tetapi (kami beritahukan
itu kepadamu) sebagai rahmat dari Tuhanmu, supaya kamu memberi
peringatan kepada kaum (Quraisy) yang sekali-kali belum datang
kepada mereka pemberi peringatan sebelum kamu agar mereka ingat.
(QS Al-Qashash: 44-46)

Kedua, menegaskan kesatuan agama-agama samawi, yakni seluruh para


nabi menyeru kepada akidah yang satu, yang berasal dari Allah. Tidak ada
perbedaaan pun di antara para nabi dan rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi
Muhammad. Kadang disebutkan sejumlah cerita para nabi dan rasul secara
terhimpun dalam satu surah, dinarasikan dengan gaya yang sangat
mengagumkan, untuk menegaskan kebenaran ini. Tengok misalnya surah al-
Anbiya, di mana cerita-cerita Musa dan Harun, Ibrahim, Luth, Nuh, Dawud,
Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, dan Dzulkifli disebutkan secara berantai. Lalu
masing-masing disertai dengan sebutan indah, dan diakhiri dengan,
Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka tunduk-sembahlah pada-Ku (QS Al-Anbiya: 48-92). Tujuan
ini pada dasarnya hendak menjelaskan hubungan yang erat antara syariat
24

Islam dengan seluruh syariat Ilahiah yang diserukan oleh para rasul dan nabi
keseluruhan, dan bahwa Islam sejatinya pelanjut syariat-syariat tersebut.
Allah berfirman,

            

 
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau
(Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah
Aku". (al-Anbiya: 25)
Ketiga, menegaskan kesatuan metode dan gaya dakwah para nabi. Al-
Qur’an menegaskan betapa metode dan gaya dakwah para nabi itu satu,
bahwa cara mereka dalam melawan dan menghadapi kaumnya itu serupa, dan
bahwa faktor-faktor, sebab dan fenomena-fenomena yang dihadapi dakwah
adalah satu.32
Keempat, mengabadikan ingatan mengenai peristiwa yang dialami oleh
para nabi dan tokoh-tokoh lain di masa silam agar tetap menjadi pelajaran.
Serta memberikan kabar gembira kepada para penyeru kebenaran tentang
akhir yang indah yang menunggu mereka di dunia dan di akhirat serta
memotifasi mereka agar bersabar dalam berdakwah. Cerita-cerita itu
menjelaskan bahwa orang yang mengingkari kebenaran risalah para nabi akan
bernasib sama seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud,
dan lainnya. Demikian juga para dai yang melanjutkan tugas nabi dan
pengikutnya, diharapkan bersabar dan tidak bersedih hati mengalami
penolakan dan perlawanan dari masyarakat karena Allah akan menolong para
nabi-Nya di penghujung peristiwa dan mengalahkan kaum pendusta.
Kelima, cerita adalah sarana penting yang digunakan Al-Qur’an untuk
membangkitkan motivasi belajar. Ia mempunyai pengaruh yang bersifat

32
Muhammad Hadi Ma’rifat. Kisah-Kisah Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora,
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.
25

mendidik, karena sejak dulu para pendidik mempergunakannya sebagai


sarana untuk mengajarkan akhlak baik, nilai agama, dan etika dengan cara
yang ringan dan menyenangkan, sehingga akal dan jiwa bisa mendapatkan
hikmah, nasihat, pelajaran, serta keteladanan. 33

3. Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an


Sesungguhnya pada cerita-cerita mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman. (QS Yusuf: 111).

Dari ayat tersebut dapat dipahami betapa cerita-cerita yang ada dalam Al-
Qur’an memiliki faktualitas, kebenaran, hikmah dan pendidikan nilai-nilai
luhur.34 Keempat hal inilah yang membuat cerita-cerita yang ada dalam Al-
Qur’an, berbeda dengan cerita pada umumnya.
Faktualitas, dalam arti bahwa Al-Qur’an menyampaikan peristiwa-
peristiwa, persoalan dan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dan kebutuhan hidup mereka dalam bentangan sejarah kemanusiaan.
Jadi, cerita dalam Al-Qur’an bukan sekedar cerita khayal yang ada di angan-
angan. Penuturan cerita dan peristiwa-peristiwa di dalam Al-Qur’an
bermaksud mengajak untuk “membaca ulang” sejarah kemanusiaan dan
persoalan-persoalan rill yang telah dijalani umat manusia sebelumnya, yang
dengan itu menjadi jelas hal-hal yang baik dari yang buruk, supaya itu semua
dijadikan pelajaran bagi kehidupan yang sekarang dan yang akan datang.
Sehingga umat dewasa ini tidak mengulang apa yang pernah dilakukan
leluhur mereka yang berujung pada penyesalan. Dalam uraiannya, cerita Al-
Qur’an juga memberikan penekanan lebih pada peristiwa, bukan tokoh.
Kebenaran, dalam arti memerhatikan sisi kebenaran dalam menuturkan
peristiwa-peristiwa dan fakta historis yang dihadapi oleh para nabi dan
umatnya dalam kehidupan. Ini berseberangan dengan dongeng-dongeng

33
Muhammad Utsman Najati. Psikologi Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni.
(Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h. 155.
34
Ma’rifat, Op. cit, h. 33.
26

bohong, mitos, serta penyimpangan dalam pemahaman yang menghiasi


cerita-cerita para nabi terdahulu dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru.35
Pendidikan nilai-nilai luhur, mungkin inilah salah satu fokus Al-Qur’an,
karena Rasulullah pun diutus untuk meluruskan akhlak manusia. Dalam Al-
Qur’an, cerita dituturkan dengan nuansa akhlak untuk beriman kepada Allah
serta beramal saleh dan berperilaku baik dalam hidup,baik secara pribadi
maupun sosial.
Hikmah, karena di antara tujuan diutusnya para utusan Allah ialah
mengajarkan kitab dan hikmah, sehingga dari cerita-cerita Al-Qur’an orang
dapat mengambil manfaat darinya dalam membuat hidupnya lebih bermakna.
Boleh jadi karena alasan ini Al-Qur’an membatasi diri dalam
mengetengahkan cerita dan peristiwa-peristiwa sejarah, sebatas dengan yang
memiliki kaitan dengan arah dan orientasinya itu sendiri. Tentu ini berbeda
dengan cerita yang disampaikan sebagai hiburan dan kodifikasi kejadian dan
peristiwa-peristiwa bersejarah, sebagaimana ciri khas buku-buku sejarah.36
Itulah keunikan cerita Al-Qur’an yang membuatnya berbeda dengan
cerita lainnya, bukan sekadar pemaparan cerita orang-orang yang telah mati
tetapi tidak membawa makna yang berarti dan kebaikan di dalamnya. Atas
dasar itu, Al-Qur’an disebut ahsan al-qashash, yakni “cerita terbaik” (QS
Yusuf: 3).

a. Gaya Penyampaiannya Berbeda dengan Cerita Sastra.


Metode cerita dalam Al-Qur’an berbeda dengan metode cerita dalam
tradisi literer-sastrawi dan humaniora pada umumnya. Gaya bahasa Al-
Qur’an menganut stilistika khithabi (retorikal), bukan kitabi (tulisan atau
buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan persoalan-persoalan
secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-detail,
sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu,
dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi
35
Ibid., h. 35
36
Ibid., h. 37-38.
27

waktu dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak


dan berpindah dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian
kembali mengulang lagi (tijwal) jika memang diperlukan. Malah
terkadang secara terputus-putus dan tidak ada kelanjutannya, karena yang
penting telah menunjukkan inti yang menjadi signifikansi dari cerita
tersebut (bayt al-qashid).
Hal ini dikarenakan posisi Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.
Karenanya, Al-Qur’an memanfaatkan cerita hanya untuk tujuan hidayah
(petunjuk) tersebut. Karena itu pula, untuk sampai pada tujuan utamanya,
Al-Qur’an membatasi diri pada pemaparan hal-hal yang perlu saja, tanpa
tergoda dengan aspek lain yang tidak berhubungan secara langsung
dengan tujuan asalnya. 37

b. Penyampaian Pesan dalam Cerita


Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa penyampaian
pesan-pesan agama melalui cerita mempunyai maksud dan tujuan
tersendiri. Karena cerita di dalam Al-Qur’an merupakan suatu metode
untuk mencapai tujuan yakni memberi pelajaran bagi manusia, maka agar
tujuan tersebut berhasil dengan baik, biasanya Al-Qur’an lebih dahulu
menyebutkan kandungan suatu cerita secara umum melalui beberapa kata
secara singkat. Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan secara luas.
Sementara itu jika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan-pesan
penting yang terdapat di dalam suatu cerita, cara yang digunakan adalah
mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi
penolakan maupun pengukuhan isi cerita.
Metode penyampaian pesan melalui cerita dapat dilihat antara lain
ketika Al-Qur’an menceritakan cerita Nabi Yusuf, Musa, Adam, dan
Penghuni Gua (Ashabul Kahfi).38

37
Najati, Op. cit, h. 156.
38
Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1997), h. 188.
28

Ketika bercerita tentang Nabi Yusuf AS., Al-Qur’an memulainya


dengan ayat berbunyi:
Kami menceritakan kepadamu cerita yang paling baik, dengan
mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu... (QS Yusuf: 3).

Setelah mengukuhkan kebaikan cerita yang hendak dikemukakan


dan menceritakan secara singkat rangkuman cerita Nabi Yusuf, Al-
Qur’an kemudian menegaskan:
Sesungguhnya terdapat beberapa tanda kekuasaan Allah pada Yusuf
dan saudara-saudaranya, bagi orang-orang yang bertanya (QS Yusuf:
7).
Setelah itu barulah Al-Qur’an menguraikan cerita Nabi Yusuf secara
deskriptif sampai selesai.
Adapun ketika Al-Qur’an hendak menyampaikan pesan penting di
dalam suatu cerita, digunakannyalah bentuk pernyataan bersifat
menegasikan atau mengukuhkan. Hal ini dapat dilihat antara lain ketika
Al-Qur’an membantah dan membatalkan keyakinan orang-orang yang
mempertuhankan berhala-berhala, di samping mengakui Allah sebagai
Tuhan mereka. 39 Al-Qur’an membantah keyakinan tersebut dengan
menegaskan:
Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu,
begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang
keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali
dusta. (QS Al-Kahfi: 5).

Demikian juga ketika ketika menegaskan kebenaran risalah Nabi


Muhammad SAW; mula-mula Al-Qur’an membantah tuduhan kaum
kafir Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sesat dan
mengada-ada:
Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat
dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya. (QS An-Najm: 1-3).

39
Ibid., h. 189.
29

Setelah menegasikan semua tuduhan negatif terhadap diri sang Nabi,


pada jenjang berikutnya barulah Al-Qur’an menyatakan secara terperinci
kedudukan beliau sebagai pembawa wahyu Allah:
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
(QS An-Najm: 4-5).

Demikian beberapa contoh pola yang digunakan Al-Qur’an untuk


menyampaikan pernyataan penting di dalam suatu cerita. Melalui pola-
pola tersebut, para pembaca ataupun pendengar akan mendapatkan
keterangan secara jelas tentang pesan yang disampaikan, sekaligus
merasakan kesan yang mendalam tentang alur cerita dari cerita tersebut.40

c. Pengulangan Cerita
Cerita di dalam Al-Qur’an ada yang disampaikan secara tuntas di
satu tempat dalam Surah Al-Qur’an, seperti cerita Zulqarnain dalam
Surah Al-Kahfi, cerita tentara gajah dalam surat Al-Fiil dan cerita Nabi
Yusuf dalam Surah Yusuf. Di sisi yang lain, sebagian besar cerita Al-
Qur’an tidak disampaikan secara utuh sekaligus dalam satu tempat, tetapi
hanya bagian tertentu yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan
dan tersebar di beberapa surah.
Cerita Nabi Adam misalnya tersebar di beberapa surah, antara lain:
al-Baqarah: 30-38, Ali Imran: 59, an-Nisa: 1, al-A’raf: 11-25, al-Hijr: 26-
48, al-Isra: 61-65, al-Kahfi: 50, Taha: 115-123. Sad: 72-85, az-Zumar: 6
dan ar-Rahman: 14-15. Begitu juga dengan cerita Nabi Nuh, Nabi Hud,
dan Nabi Ibrahim. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa
surah yang dinamakan Ibrahim (surah ke-14), Nuh (surah ke-71) dan
Hud(surah ke-11), tetapi cerita-cerita mereka bertiga tersebar di banyak
surah dalam Al-Qur’an.41

40
Ibid., h.190-191.
41
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012)
hlm 7.
30

Kajian para psikolog membuktikan bahwa pengulangan sangatlah


penting dalam proses pembelajaran, karena ini akan membuat pendapat
dan pemikiran yang ingin disampaikan menjadi lebih mudah untuk
diingat.
Dalam Al-Qur’an didapatkan pengulangan ayat yang berhubungan
dengan masalah akidah dan masalah gaib yang ingin ditanamkan pada
pikiran manusia seperti keimanan kepada hari akhir. Dalam Al-Qur’an,
cerita para nabi banyak diulang untuk mempertegas bahwa semua agama
(tauhid) berasal dari Allah. Allahlah yang telah mengutus para nabi dan
rasul dalam kurun waktu yang berbeda-beda untuk menyeru agar
mengesakan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Al-
Qur’an menjelaskan kepada kaum kafir Quraisy tentang nasib umat-umat
terdahulu yang mendustakan para nabi, untuk memberi peringatan bahwa
mereka pun akan mengalami nasib yang sama jika mendustakan Nabi
Muhammad SAW.
Dalam surat Al-Mursalat ada kalimat, “Kecelakaan besarlah pada
hari itu bagi orang-orang yang mendustakan” sebanyak sepuluh kali.
Surat ini mengingatkan terhadap nikmat dan azab Allah, agar mereka
tidak terus menerus mendustakan dan berada dalam kekafiran. Karena
cara yang demikian ialah hal biasa bagi bangsa Arab, baik dalam pidato
maupun dalam pembacaan syair.
Pengulangan cerita bukanlah pengulangan secara utuh. Sebab, Al-
Qur’an hanya menyebutkan peristiwa yang sesuai dengan konteks makna
yang terdapat dalam surat. Jika Al-Qur’an mengulangi satu bagian dari
cerita, maka biasanya pada bagian itu ditambahkan sesuatu yang baru
yang sebelumnya tidak disebutkan. Dalam penggunaan kata terkadang
juga mengalami perubahan, baik dalam susunan, mengedepankan atau
mengakhirkan, sesuai dengan tuntutan pengajaran yang dimaksudkan
cerita tersebut.
Mengenai pengulangan dalam cerita Al-Qur’an, Dr. Muhammad
Mahmud Hijazi mengutip pernyataan Imam asy-Syathibi dalam al-
31

Muwaafaqaat, “Secara umum, pemaparan cerita para Nabi seperti Nuh,


Hud, Shalih, Syu’aib, Musa, Harun, dan sebagainya adalah dalam rangka
menghibur Nabi Muhammad SAW. dan mengokohkan hati beliau dalam
menghadapi pembangkangan, pendustaan, maupun tindakan tidak terpuji
dari orang-orang kafir. Hal inilah yang membuat cerita-cerita tersebut
berisi hal-hal yang juga dihadapi oleh Rasulullah SAW. dalam perjalanan
dakwahnya.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika alur atau gaya
pemaparan suatu kisah sering kali tidak sama. Hal ini disesuaikan dengan
kondisi tertentu yang ketika itu dihadapi Rasulullah SAW. Walaupun
begitu, seluruh kisah tetap merupakan suatu yang hak dan tidak ada
keraguan terhadap keshahihannya. Lebih lanjut, siapa yang ingin
mengkaji dan mendapatkan pemahaman yang baik tentang Al-Qur’an,
maka tidak ada salahnya mengikuti metode atau model pemaparan
beberapa contoh yang telah dikemukakan.”42
Diulang-ulangnya penyampaian satu cerita tertentu di berbagai
tempat didasarkan pada beberapa sebab, di antaranya.
Sebab pertama, ada penambahan informasi baru yang tidak terdapat
pada uraian sebelumnya.
Sebab kedua, agar cerita yang diceritakan Rasulullah SAW. bisa
didengar oleh banyak orang. Karena tidak jarang ketika Rasulullah SAW.
menyampaikan cerita, pendengarnya ialah orang yang kebetulan lewat
dan kemudian pergi. Selanjutnya ketika turun wahyu yang lain, orang
yang mendengarnya lain lagi.
Sebab ketiga, dalam rangka menghibur hati nabi Muhammad SAW.
Sebab keempat, untuk menegaskan karakteristik cerita Al-Qur’an, di
mana ada cerita yang dihimpun dalam satu surah saja, tetapi ada juga

42
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam
Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h. 74.
32

yang diulang-ulang di tempat lain. Karena kalau semua sama maka tidak
ada bedanya Al-Qur’an dengan kitab-kitab suci sebelumnya.43

d. Episode Kemunculan Tokoh Utama


1. Dari Awal Kelahiran
Dalam bercerita adakalanya Al-Qur’an memunculkan tokoh utamanya
dari episode pertama: episode kelahiran pemeran utamanya, karena
dalam kelahirannya mengandung nasihat, seperti cerita Nabi Adam (sejak
awal kejadiannya). Di dalam cerita itu ada fenomena kekuasaan Allah
dan kesempurnaan ilmu-Nya serta nikmat-Nya kepada Nabi Adam dan
anak-cucunya. Juga ada dialog iblis dengan Nabi Adam, yang semuanya
mengandung pelajaran bagi umat manusia. Atau cerita kelahiran Nabi Isa
yang dipaparkan dengan rinci dan sempurna. Sebab, kelahiran Nabi Isa
merupakan salah satu mukjizat kenabiannya. Bahkan menjadi penyebab
terjadinya pertentangan yang berkenaan dengan Almasih, baik sebelum
maupun sesudah Islam datang.
Tidak ketinggalan cerita Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Sebab dalam
kelahiran itu terdapat pelajaran. Nabi Ismail adalah karunia yang
diberikan kepada Nabi Ibrahim, padahal dia sudah tua. Sedangkan Nabi
Ishaq merupakan kabar gembira yang diberikan kepada istrinya, padahal
dia sudah sangat tua. Begitu juga dengan kelahiran Yahya, di mana
ayahnya Zakaria sudah rapuh dan rambutnya beruban.

2. Dari Masa Kanak-Kanak


Tokoh utama di dalam cerita Al-Qur’an adakalanya dipaparkan tidak
dari awal kelahiran, tetapi setelahnya. Seperti cerita Ibrahim, ceritanya
berawal dari sejak dia masih muda. Memandang langit dan melihat
bintang, bulan, dan matahari dalam rangka pencarian kepada Tuhannya,
yang pada akhirnya dia ber-tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Allah
yang tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Lalu dia mengajak bapak dan

43
Ibid., h.381-382.
33

kaumnya untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa ini, namun semua
menolak. Hingga akhirnya strategi yang dilakukan Ibrahim ialah
menghancurkan semua berhala dan menyisakan satu berhala yang paling
besar dengan meninggalkan kapak padanya.
Cerita Nabi Dawud juga dimulai ketika dia di ambang dewasa.
Dimulai dengan dikalahkannya Jalut oleh Nabi Dawud berkat
pertolongan Allah. Begitu juga dengan Nabi Sulaiman, yang ceritanya
dimulai sejak dia seusia bapaknya, saat dia duduk sebagai hakim dalam
permasalahan mengenai tanaman, “Karena tanaman ini dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (al-Anbiyaa’: 78). Hukum
yang adil dari seorang pemuda inilah yang menjadi tanda bahwa Allah
kelak akan menjadikannya pemimpin kerajaan terbesar.

3. Sudah Dewasa atau Masa Kenabian


Kemudian juga terdapat beberapa cerita yang memunculkan tokohnya
saat berada dalam usia dewasa, dalam artian saat menjadi nabi atau rasul.
Seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib, dan
banyak lagi yang lainnya. Sebab, periode kenabian itulah yang terpenting
dari kehidupan mereka dan di dalamnya tersirat i’tibar.44

e. Panjang Pendek Cerita


1. Cerita yang Disebutkan Panjang Lebar
Selain dari sisi awal cerita, Al-Qur’an juga memiliki gaya tersendiri
dalam hal panjang atau pendeknya cerita. Ada beberapa cerita yang
disebutkan secara panjang lebar, termasuk rincian peristiwanya seperti
apa pun digambarkan. Seperti cerita Nabi Yusuf yang ceritanya sangat
jelas dan rinci dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surah yang menggunakan
namanya, Yusuf, untuk mempertegas hal ini. Mulai dari cerita dia dan

44
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.181-184.
34

saudara-saudaranya. Juga apa yang terjadi di Mesir setelah dia


diperjualbelikan dan dididik. Juga tentang cerita bujukan istri al-Aziz
terhadapnya, kisahnya di dalam penjara, tabir mimpi dua orang pelayan
rajanya. Kemudian tentang tabir mimpi raja, kesuksesan
kepemimpinannya, serta kedatangan saudara-saudaranya hingga akhirnya
kedatangan ayahnya. Sekali lagi, semua cerita itu dipaparkan dengan
rinci sekali.
Cerita Nabi Sulaiman juga dipaparkan dengan beberapa episode
panjang, dimulai dari keputusannya masalah tanaman, kerajaannya,
keterpedayaannya dengan kuda yang bagus dan permohonan ampunnya
kepada Allah atas hal itu serta tentang tunduknya setan angin di
hadapannya. Juga ceritanya dengan semut, burung hudhud, dan dengan
Ratu Balqis. Juga tentang kematiannya sambil berdiri memegang
tongkatnya dan para setan tidak menyadari akan hal itu. Semuanya
mempunyai tujuan yang dituju.

2. Cerita yang Perinciannya Sedang


Ada juga cerita-cerita di dalam Al-Qur’an yang perinciannya sedang-
sedang saja, seperti cerita Nabi Nuh. Cerita mengenai risalahnya, dakwah
kepada kaumnya, tentang pembuatan kapal, banjir besar hingga
menenggelamkan kaum bahkan anaknya sendiri yang membuatnya
memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya tetapi tidak
dikabulkan oleh Allah karena dia bukan bagian dari keluarganya
walaupun itu anaknya sendiri.
Juga cerita Nabi Adam dirincikan hanya pada saat penciptaannya,
kesalahannya, turun ke bumi, dan tobatnya. Begitu juga dengan cerita
Nabi Dawud tidak terlalu rinci, namun cukup banyak memuat cerita-
ceritanya.
35

3. Cerita yang Disebutkan Singkat


Ada juga beberapa cerita pendek, seperti cerita Nabi Huud, Shaleh,
Luth, Syu’aib. Hanya diceritakan saat kenabian saja, yakni mencakup
risalah, dialog dengan kaumnya, pendustaan kaum mereka, dan kemudian
tentang kebinasaan kaum mereka. Begitu juga dengan cerita Nabi Ismail
yang hanya diceritakan saat kelahirannya, penebusannya, dan
keikutsertaan dalam membangun Ka’bah bersama bapaknya. Juga cerita
Nabi Ya’qub hanya disebutkan dalam konteks cerita Nabi Yusuf. Lalu
disebut sekali lagi dalam ayat, ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda)
maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya:
"...Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab:
"Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu... ". (al-
Baqarah: 133).
Episode ini terpisah sendiri di sini dari yang lainnya karena ingin
menjelaskan pentingnya ketauhidan, seperti yang dipesankan oleh
Ya’qub.

4. Cerita yang Disebutkan Sangat Singkat


Ada lagi beberapa cerita yang sangat pendek sekali seperti cerita Nabi
Zakaria disebutkan ketika kelahiran Yahya dan ketika menanggung biaya
Maryam saja. Cerita Nabi Ayub disebutkan ketika dia terkena penyakit.
Dan cerita Nabi Yunus saat ditelan oleh ikan dan ceritanya terlempar di
padang tandus, serta dalam cerita tentang risalahnya kepada kaumnya
dan keimanan mereka dengannya.
Ada juga beberapa cerita yang tidak disebutkan kecuali hanya sekilas
sifat pelakunya. Seperti Nabi Idris, Ilyasa’, Zulkifli, serta yang lainnya
yang hanya nama mereka saja yang ada dalam pemaparan cerita-cerita
para nabi.
Sedangkan cerita-cerita lain yang terpisah-pisah, seperti Ashabul
Ukhdud, Ashabul Kahfi, Qabil dan Habil, Qarun, dan lain-lain, semua itu
36

adalah murni cerita-cerita yang bersifat nasihat. Maka hanya dipaparkan


sekadar nasihat sampai ke sasarannya.45

f. Bentuk Dialog dalam Bercerita


Mengenai format dialog dalam cerita-cerita Al-Qur’an, Sulaiman ath-
Tharawanah dalam bukunya Dirasah Nashshiyyah Adabiyyah fil
Qishshah al-Qur’aniyyah46 menjelaskan bahwa sering sekali dialog yang
terjadi dalam cerita-cerita Al-Qur’an diangkat dalam bentuk cerita, yaitu
cerita antara tokoh yang terlibat dalam percakapan yang diceritakan.
Percakapan yang ditampilkan dalam cerita-cerita Al-Qur’an kebanyakan
hanya berupa cerita percakapan. Artinya, tampilan dialog tersebut tidak
diiringi dengan isyarat-isyarat estetika yang menggambarkan sikap
perilaku dialog.
Bentuk percakapan dalam Al-Qur’an terdiri dari dua bentuk: pertama,
percakapan semi dialektis, yaitu percakapan yang cenderung mengarah
pada bentuk perdebatan. Dialog semacam ini biasanya membawa misi
keagamaan, yaitu untuk memberikan informasi kepada kita akan
kekerasan kaum terdahulu dalam menentang ajaran para nabi. Model
dialog seperti ini dapat dijumpai dalam cerita kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud,
dan Syu’aib. Kedua, model percakapan pengisahan, yaitu bentuk
percakapan di mana Al-Qur’an dengan sendirinya berperan sebagai
mediator yang mengajak pembaca masuk ke dalam peristiwa melalui
sela-sela tempo cerita.
Adapun beberapa kelebihan yang dimiliki Al-Qur’an dalam metode
dialog di antaranya. Pertama, dialog tersebut berfungsi menghidupkan
suasana berbagai peristiwa yang diceritakan. Kedua, dapat melukiskan
kepribadian tokoh-tokoh cerita dengan sangat baik, seperti pada cerita
Yusuf dan Musa dalam Surah al-Qashash. Ketiga, secara artistik sebagai
sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuan cerita, bahkan terkadang
45
Quthb, op. cit., h. 184-188.
46
Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Qisthi
Press, 2004), h. 217.
37

bermanfaat untuk mengungkap rahasia di balik peristiwa yang sedang


diceritakan.47

D. Hasil penelitian yang relevan

Hasil penelitian yang terkait dengan pembahasan karakteristik metode


pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat al-Qashash ayat 76-81 masih belum
ditemukan. Setidaknya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak
ditemukan skripsi yang membahas mengenai karakteristik cerita dalam Al-Qur’an,
sehingga tidak ada hasil penelitian yang dapat dijadikan perbandingan bagi
penelitian ini.

47
Ibid., h. 218-219.
38

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian


Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menelusuri data-
data kepustakaan (library research) dengan mengacu pada pendapat para ahli
tafsir, ahli pendidikan dan ahli sastra yang tertuang dalam kitab-kitab, buku-buku,
artikel, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini. Penelitian
ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis.
Adapun metode penelitian yang digunakan ialah penafsiran ayat dengan
menggunakan metode tafsir tahlili (analisis). Yakni, metode menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat-
ayat yang ditafsirkan, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an
sebagaimana dalam mushaf, serta menerangkan makna-makna yang tercakup
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut.1

B. Sumber Data
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu literatur-literatur yang membahas objek
permasalahan pada penelitian ini, berupa tafsir Al-Qur’an surat al-Qashash
ayat 76-81 dari beberapa kitab tafsir.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data-data tertulis maupun sumber lain yang
memiliki relevansi dengan pembahasan pada penelitian ini. Adapun sumber
data sekunder yang dijadikan alat untuk membantu penelitian , berupa buku-
buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang teori cerita
sastra dan qashashul qur’an.
1
Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), Cet. 1, h. 31.
39

C. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini ialah dengan teknik
dokumentasi. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya monumental dari
seseorang.2 Metode dokumentasi merupakan sumber non manusia, sumber ini
adalah sumber yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga relatif murah
pengeluaran biaya untuk memperolehnya, merupakan sumber yang stabil dan
akurat sebagai cermin situasi/kondisi yang sebenarnya, serta dapat dianalisis
secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan.
Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menelaah sumber referensi
berupa buku-buku, artikel, jurnal, dan literartur ilmiah lainnya yang berkaitan
dengan pembahasan skripsi ini.

D. Teknik Analisis Data


Mengingat objek penelitian ini adalah karakteristik cerita dalam Al-Qur’an,
berarti mengkaji teks Al-Qur’an itu sendiri, maka dalam menganalisis data yang
terkumpul, penulis menggunakan metode analisis isi, atau dalam kajian tafsir
dikenal dengan metode tafsir tahlili. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang
akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafadz yang terdapat di dalamnya,
menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat yang kemudian
dikaitkan dengan pembahasan pada skripsi ini.

E. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013”.

2
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h. 368.
41

BAB IV
METODE PEMBELAJARAN CERITA DALAM AL-
QUR’AN SURAT AL-QASHASH AYAT 76-81

A. Penafsiran Secara Ringkas


Ayat 76

             

               

 
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, lalu ia berlaku aniaya
terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta
yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah engkau terlalu
bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu
membanggakan diri".

Ayat di atas memulai kisah Qarun, tanpa menyebut kapan dan di mana
terjadinya peristiwa yang akan diuraikan ini. Menurut Ibn ‘Asyur,1 Firman-Nya:
Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, bukan dengan menyatakan
termasuk kelompok Bani Israil, mengesankan adanya hubungan khusus antara
Musa dengan Qarun. Hubungan tersebut yakni hubungan kekerabatan. Qarun
hidup semasa dengan Nabi Musa dan konon adalah anak paman Nabi Musa.
Kendati demikian ia durhaka lalu serta merta ia berlaku aniaya terhadap mereka
yakni dia melampaui batas dalam keangkuhan dan penghinaan terhadapa Bani
Israil. Kami telah menganugerahkan kepadanya tumpukan harta, yakni tempat-
tempat gudang penyimpanan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul
oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. Itu baru kuncinya, adapun harta

1
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet VIII, Vol. 10. h. 403.
42

kekayaannya maka tidak mungkin dapat dipikul oleh orang yang sangat banyak
sekalipun.
Setelah ayat di atas menjelaskan sebab keangkuhannya, kini selanjutnya
beberapa orang dari Bani Israil menasihatinya, yakni ketika kaumnya berkata
kepadanya: “Hai Qarun! Janganlah engkau terlalu bangga dengan hartamu
sehingga melupakan Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang terlalu membanggakan diri.2

Ayat 77

            

               

 
“Dan carilah - pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu - negeri
akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari dunia dan berbuat baiklah,
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat
kerusakan.”

Beberapa orang dari kaum Nabi Musa itu melanjutkan nasihatnya kepada
Qarun bahwa nasihat ini bukan berarti engkau hanya boleh beribadah murni dan
melarangmu memperhatikan dunia. Tidak! Berusahalah sekuat tenaga dan
pikiranmu sebatas yang dibenarkan Allah dalam memperoleh harta dan carilah
secara sungguh-sungguh pada, yakni melalui apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu dari hasil usahamu itu kebahagiaan negeri akhirat, dengan
menginfakkannya di jalan Allah tanpa melupakan bagianmu dari kenikmatan
dunia dan berbuat baiklah kepada semua pihak.
Agar tidak terjerumus dalam kekeliruan ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi. Pertama, dalam pandangan Islam, hidup duniawi dan ukhrawi
merupakan satu kesatuan. Kedua, pentingnya mengarahkan pandangan kepada

2
Ibid.
43

akhirat sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana mencapai tujuan. Ketiga, ayat di
atas menggunakan redaksi yang bersifat aktif ketika berbicara tentang
kebahagiaan akhirat, sedangkan perintah menyangkut kebahagiaan duniawi
berbentuk pasif yakni, jangan lupakan. Hal ini menunjukkan perbedaan penekanan
di antara keduanya.

Ayat 78

               

             


Ia berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberinya karena ilmu yang ada padaku"
dan apakah ia tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat dari padanya, dan lebih banyak himpunan
(nya)? dan tidaklah ditanya tentang dosa-dosa mereka para pendurhaka itu.

Selanjutnya pada ayat 78, setelah mendengar nasihat yang disampaikan di


atas, Qarun semakin lupa diri dan angkuh. Ia berkata: “Sesungguhnya aku
memperoleh harta itu, karena ilmu dan kepandaian yang mantap yang ada
padaku,” yakni tidak ada jasa siapa pun atas perolehanku itu. Pandangan ini
disanggah oleh lanjutan ayat yang bagaikan menyatakan Apakah ia begitu bodoh
dan lengah sehingga tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat yang hidup tidak jauh dari masa sebelum Qarun dan mereka itu lebih
kuat badan dan kemampuan serta lebih banyak himpunan harta serta pengikut
yang bersimpati padanya dibandingkan dengan si Qarun itu? Sungguh
kedurhakaan Qarun telah demikian jelas. 3

3
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007), Cet I, h. 80.
44

Ayat 79-80

            

            

           


Maka keluarlah ia kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkata mereka yang
menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita memiliki seperti apa
yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai
bagian yang besar". Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:
"Kebinasaan bagi kamu. Pahala Allah adalah jauh lebih baik bagi orang-orang
yang beriman dan beramal saleh. Dan tidak diperolehnya kecuali oleh orang-
orang yang sabar".

Nasihat yang disampaikan kepada Qarun tidak digubrisnya. Bahkan tidak


lama setelah dinasihati keangkuhannya lebih menjadi-jadi. Maka keluarlah ia
kepada kaumnya, yakni khalayak ramai dalam kemegahannya. Diceritakan bahwa
ia keluar pada kaumnya dengan mengenakan perhiasannya dan membanggakan
diri terhadap masyarakat. Pamer kekayaan ini telah membuat orang yang
menghendaki kehidupan dunia memiliki seperti apa yang diberikan kepada
Qarun. Mereka menganggap Qarun mempunyai bagian yang besar dari
keberuntungan dan kenikmatan duniawi. Sedangkan orang yang berilmu
menganggap aneh apa yang diharapkan oleh mereka yang ingin seperti Qarun. Hal
ini dikarenakan mereka yakin pahala yang disediakan Allah itu jauh lebih baik
dari yang dimiliki Qarun.4

4
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1993), h. 174-175.
45

Ayat 81

             

   


Maka Kami benamkanlah ia beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada
baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap siksa Allah, dan tiada
pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela (dirinya).

Kemudian ayat terakhir menjelaskan karena kedurhakaan Qarun itu Kami


benamkanlah ia yakni dilongsorkan tanah sehingga ia terbenam beserta rumahnya
serta seluruh kekayaan dan perhiasannya ke dalam perut bumi. Maka tidak ada
baginya suatu golongan pun yang dapat menolong terhadap siksa Allah, dan
tiada pula ia termasuk orang-orang yang mampu membela dirinya.
Jatuhnya siksa Allah atas diri dan harta benda Qarun mengingatkan semua
pihak bahwa kebahagiaan ukhrawi tidak mungkin dapat diraih oleh orang-orang
yang angkuh. Bukanlah karena ketaatan atau kekufuran yang menjadi penyebab
sempit atau luasnya rezeki. Tetapi karena adanya sunnatullah yang ditetapkan-
Nya di luar itu semua.5

B. Berbeda dengan Cerita Sastra


Di bawah ini akan disebutkan 9 ciri umum karya sastra menurut Dr.
Wahyudi Siswanto, dan perbandingannya dengan cerita Al-Qur’an.
1. Ada Niat dari Pengarangnya Untuk Menciptakan Karya Sastra
Sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai karya bila ada niat dari
sastrawan untuk menciptakan karya sastra. Ini berarti jika yang membuat tidak
berniatan menjadikan karyanya sebagai karya sastra, maka yang dibuatnya pun
bukan sebuah karya sastra.6 Allah jelas tidak berniat menjadikan Al-Qur’an hanya
sebagai karya sastra. Lebih dari itu, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa (Al-Baqarah: 2).

5
Shihab. Op. cit, h. 413-415.
6
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72.
46

2. Hasil Proses Kreatif


Karya sastra bukanlah hasil pekerjaan yang memerlukan keterampilan
semata, seperti membuat sepatu, kursi, atau meja. Karya sastra memerlukan
perenungan, pengendapan ide, pematangan, langkah-langkah tertentu yang akan
berbeda antara sastrawan satu dengan sastrawan yang lain.
Ketika turunnya wahyu pertama di Gua Hira, Nabi Muhammad memang
sedang berkhalwat; menyendiri dan merenungi keadaan bangsa Arab. Tetapi Al-
Qur’an bukanlah hasil dari perenungan itu, melainkan wahyu yang diturunkan
Allah melalui malaikat Jibril yang menampakkan wujud aslinya. Al-Qur’an
bukanlah syair yang dibuat oleh Nabi Muhammad sebagaimana yang dituduhkan
oleh orang-orang kafir Quraisy kepadanya, bukan juga perkataan yang berasal dari
hawa nafsunya, melainkan ialah wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah
melalui malaikat Jibril. Sebagaimana Firman-Nya dalam surat An-Najm ayat 3-4:

          
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya (Al-Quran) itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).

3. Diciptakan Bukan Semata-Mata Untuk Tujuan Praktis dan Pragmatis


Cerita Al-Qur’an tidak sama dengan cerita dalam pemahaman sastra. Hal
itu disebabkan tujuan dan penekanannya berbeda. Cerita Al-Qur’an dimaksudkan
untuk menggapai tujuan pendidikan, yaitu sebagai pelajaran atau ibrah bagi para
audiensnya, baik pada peristiwa itu sendiri maupun pada para pelakunya.
Sebaliknya, cerita dalam dunia sastra lebih dimaksudkan untuk membangkitkan
emosi dan perasaan suka serta pendominasian perasaan para pembacanya
sehingga mereka dapat digiring kepada keinginan penulisnya. 7
Meskipun di dalam cerita sastra terdapat ajaran moral, agama dan filsafat,
karya sastra tidak sama dengan buku-buku agama dan filsafat. Hal ini kebalikan
dari Al-Qur’an yang memang merupakan kitab suci umat Islam, yang isinya ialah
petunjuk dan aturan hidup beragama. Jika dalam cerita sastra ajaran tersebut

7
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema dalam
Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2010), h.343.
47

hanyalah selingan, bukan tujuan utama, karena tujuan utamanya ialah keindahan
dan hiburan, maka di dalam Al-Qur’an pesan-pesan moral keagamaan itulah yang
menjadi tujuan utama. Sehingga nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam cerita
Al-Qur’an hanyalah “selingan” agar manusia bisa memahami pesan-pesan
tersebut dengan cara yang lebih mudah dicerna. Karena memang pada hakikatnya
manusia senang dengan keindahan (cerita).
4. Bentuk dan Gaya yang Khas
Khas di sini dimaksudkan sebagai bentuk dan gaya yang berbeda dengan
bentuk dan gaya non sastra. Khas di sini juga masih harus dibedakan atas genre
karya sastra (prosa, puisi, dan drama) yang setiap jenisnya memang mempunyai
bentuk sendiri. Kekhasan bentuk dan gaya ini telah dibahas pada pembahasan
sebelumnya. Bentuk dan gaya ini terus berubah berkembang hingga akhirnya
muncul genre-genre baru.8
Walaupun karya sastra mempunyai bentuk dan gaya yang khas, Al-Qur’an
juga mempunyai bentuk dan gaya yang khas yang membedakannya dengan karya
sastra pada umumnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan
selanjutnya.
5. Bahasa yang Digunakan Khas
Bahasa sastra lebih bersifat polisemantis (banyak makna) dan multitafsir
(banyak tafsir). Bahasa karya sastra lebih bersifat konotatif. Memang tidak
menutup kemungkinan adanya kesamaan bahasa dalam karya sastra dengan
bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.9
Bahasa yang digunakan Al-Qur’an juga memiliki banyak kesamaan
dengan sastra, di mana kalimatnya polisemantis dan multitafsir. Nilai-nilai
kesusastraan juga banyak terkandung di dalamnya. Namun hal ini tidak serta
merta membuat bahasa cerita Al-Qur’an sama dengan cerita sastra. Ada beberapa
hal yang membuat bahasa cerita Al-Qur’an mengungguli bahasa cerita sastra pada
umumnya.

8
Siswanto, op. cit., h.75.
9
Ibid. h.75-76.
48

Selain itu, gaya bahasa Al-Qur’an menganut stilistika khithabi (retorikal),


bukan kitabi (tulisan atau buku). Sehingga Al-Qur’an tidak harus menjelaskan
persoalan-persoalan secara teratur dan sistematis, tidak perlu menjelaskan detail-
detail, sebagaimana menjadi sebuah keharusan dalam sebuah buku. Karena itu,
dalam menarasikan cerita, Al-Qur’an tidak perlu terjebak pada kronologi waktu
dan kesinambungan peristiwa. Tetapi, Al-Qur’an bebas bergerak dan berpindah
dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, kemudian kembali mengulang lagi jika
memang diperlukan. Dengan itu Al-Qur’an berbeda dari gaya tulis buku-buku
sehingga bisa mengkomparasikan antara kebenaran kosmologis dengan ajaran-
ajaran akidah, hukum-hukum syariat, nasihat, arahan, berita gembira, ancaman,
dan sensitifitas jiwa, rasa, dan indera dengan akal dan pengetahuan. 10
6. Mempunyai Logika Tersendiri, Mencakup Isi dan Bentuk
Bentuk puisi (pantun) sangat khas, ada bentuk-bentuk khusus yang
membuatnya seperti itu. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Misalnya
jika semua bait berisi makna maka akan disebut syair, bukan pantun lagi.
Banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an surat-surat maupun ayat-ayat yang
berbentuk seperti pantun, di mana akhir kalimatnya memiliki bunyi yang sama.
Atau ayat-ayat yang bercerita dengan alur yang singkat. Contoh dari kedua bentuk
ini salah satunya ialah surat Al-Fil.

             

           

 
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak
terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka
(untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka
burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu
(berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-
daun yang dimakan (ulat).

10
Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora.
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33.
49

Pada Surat Al-Fil, bunyi terakhir dari setiap ayatnya sama, yakni huruf
lam. Ini sama dengan pantun, yang mana bunyi akhir dari tiap barisnya sama. Dan
juga dalam menceritakan cerita tentang pasukan gajah yang hendak
menghancurkan Ka’bah, Al-Qur’an hanya butuh 5 ayat yang terhimpun dalam
satu surat saja. Namun tidak serta merta yang demikian itu membuat Al-Qur’an
(Surat Al-Fil) disebut sebagai pantun atau cerpen. Al-Qur’an tetaplah kitab suci
yang mempunyai logika tersendiri yang tidak dapat disamakan dengan karya
manusia.
7. Merupakaan Rekaan
Walaupun terkadang sebuah karya sastra merupakan hasil pengalaman
pengarangnya, namun tetap ada unsur rekaan yang terkandung di dalamnya. Hal
ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an yang mana peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dalam Al-Qur’an adalah perkara dan fakta-fakta objektif yang tidak
memuat dusta, kesalahan, atau pun kekaburan. Sebab ia merupakan wahyu Ilahi
dan tak ada hal sekecil apapun yang luput dari ilmu-Nya, baik di langit dan di
bumi.11
Mengenai kebenarannya, beberapa sarjana muslim ada yang meragukan
apakah kisah-kisah yang terdapat di dalam Al-Qur’an itu benar-benar terjadi.
Seperti Thaha Husein, sastrawan Mesir ternama, dalam bukunya Fi asy-Syi’ral-
Jahili berpendapat bisa saja kitab Taurat dan Al-Qur’an bercerita tentang Ibrahim
dan Ismail, tetapi tidak cukup kuat bukti untuk menyatakan kedua orang itu benar-
benar ada dalam sejarah. Atau Muhammad Khalaf dalam bukunya Al-Fann al-
Qasasi mengatakan cerita dalam Al-Qur’an merupakan seni bercerita yang lebih
menitikberatkan keindahan gaya, keterpautan ide dengan tujuan cerita. Cerita-
cerita Al-Qur’an tidak harus kisah nyata, karena banyak di antaranya yang tidak
ada bukti sejarahnya. Menurutnya tidak mengapa kalau kita mengatakan bahwa
cerita-cerita Al-Qur’an merupakan dongeng belaka. 12 Tentu pandangan ini

11
Ma’rifat, op. cit., h.36.
12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012)
hlm 6.
50

tidaklah benar, karena Al-Qur’an sendiri sudah menepis keraguan tersebut dengan
menyatakan,

        


    

         

 
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-
orang yang mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat,
akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (Yusuf:
111)

8. Mempunyai Nilai Keindahan Tersendiri


Ini artinya, karya yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Al-Qur’an,
meskipun kitab suci yang berisi petunjuk ajaran-ajaran agama, mempunyai nilai
kesusastraan yang tinggi. Tetapi bukan berarti Al-Qur’an adalah karya sastra.
Nilai-nilai kesusastraan yang terkandung di dalam Al-Qur’an hanyalah salah satu
mukjizat dari Al-Qur’an itu sendiri yang memang sebuah mukjizat.
Al-Qur’an diturunkan pada saat kondisi masyarakat Arab menjunjung
tinggi sastra lewat syair-syair yang indah. Seorang penyair yang hebat akan
dimuliakan dan diagung-agungkan. Ketika Nabi Muhammad menyampaikan
wahyu, yang mana wahyu tersebut memiliki gaya bahasa yang sangat indah,
orang-orang kafir Quraisy yang tidak percaya kepadanya menuduh Nabi
Muhammad sebagai seorang penyair. Banyak penyair yang mencoba menyaingi
keindahan Al-Qur’an, salah satunya ialah Musailamah yang membuat syair
dengan maksud meniru dan menandingi al-Qur`an sebagai berikut.13
"Hai katak: anak dari dua katak. Bersihkan apa-apa yang akan engkau bersihkan,
bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah"

13
Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta: Qisthi
Press, 2004), h. 349.
51

Selain tak bermutu, syair itu pun tak jelas maksud dan tujuannya. Berbeda
dengan al-Qur`an yang setiap katanya dipilih secara cermat dan membawa pesan-
pesan tersendiri yang sering sekali menakjubkan. Al-Qur’an sendiri menantang
mereka untuk membuat yang seumpama Al-Qur’an satu ayat saja. Namun telah
ditegaskan bahwa manusia tidak akan pernah mampu untuk menandingi
keindahan Al-Qur’an sampai kapanpun.

            

            

         


Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang
yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak
akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.(Al-Baqarah: 23-24).

Salah satu contoh mengenai nilai keindahan sastra yang dimiliki Al-Qur’an
ialah ketika al-Qur`an memilih kata "tâbut" untuk menyebut kotak yang
digunakan Ibu Nabi Musa saat membuangnya ke sungai Nil. Dalam mitos bangsa
Israel, "tâbut" bermakna "kotak kematian" dan identik dengan "sesuatu yang
kelam". Namun, kata itu justru digunakan al-Qur`an untuk membalik keyakinan
mereka. Yakni, justru dari kotak itulah akan terbit sebuah kehidupan yang
menjanjikan.
Lebih menakjubkan lagi, adalah fakta bahwa al-Qur`an tak pernah
menyebut sifat seorang tokoh secara transparan, tetapi justru dengan sebuah
deskripsi yang dapat melukiskan sifat itu secara lebih tepat. Saat al-Qur`an
melukiskan ketampanan Nabi Yusuf misalnya, tak ada satu pun kata "tampan"
dalam kisah itu. Akan tetapi, yang ada adalah sebuah deskripsi bahwa saat melihat
52

Yusuf, para wanita yang diundang Zulaikha menjadi lupa diri dan tak sadar telah
mengiris-iris jari mereka sendiri.14
9. Nama yang Diberikan Masyarakat Kepada Hasil Tertentu
Walaupun ada niatan dari pengarangnya untuk membuat karya sastra,
tetapi jika masyarakat (pembaca) menolaknya dan menganggap itu bukan karya
sastra, maka karya tersebut tidak bisa disebut dengan karya sastra.15 Al-Qur’an
bukan prosa, dan bukan puisi, tetapi Al-Qur’an adalah Al-Qur’an, tidak ada nama
lain yang sesuai untuk Al-Qur’an selain nama Al-Qur’an. Disebut bukan puisi
karena tidak terikat dengan aturan-aturan yang berlaku untuk penyusunan puisi.
Disebut bukan prosa, karena ternyata terikat dengan ketentuan-ketentuan khusus
yang tidak terdapat dalam prosa yang membuat Al-Qur’an bergaya puitis di akhir
ayat dan mengandung irama dan rima khusus Al-Qur’an.16
Umat Islam yang sehari-harinya membaca Al-Qur’an tidak lantas
menganggap Al-Qur’an yang dibacanya -dengan segala keindahannya- sebagai
sebuah karya sastra. Mereka tetap menganggap Al-Qur’an itu sebagai kitab suci
yang membawa kepada jalan kebenaran.
Dari penjelasan di atas jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an bukanlah karya
sastra. Kalaupun ada beberapa persamaan di dalamnya itu hanyalah sebagai alat
untuk membuat kagum bangsa Arab yang pada saat itu sangat maju dalam bidang
sastra, serta keistimewaan dan mukjizatnya. Juga sebagai alat bantu bagi manusia
dalam memahami isi kandungan yang terdapat di dalamnya. Karena memang sifat
alami manusia yang menyukai cerita.

C. Unsur-Unsur Cerita dalam Al-Qur’an


Pada pembahasan sebelumnya sudah disebutkan bahwa ada lima unsur
yang terkandung dalam cerita sastra. Yang pertama ialah unsur peristiwa, kedua
pelaku, ketiga waktu dan tempat, keempat gaya bahasa, dan terakhir gagasan
pikiran.

14
Ibid., h. 23.
15
Siswanto, op. cit., h.81.
16
D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah untuk
Semua), (Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qur’ani, 2002), h.71.
53

A. Hanafi MA dalam bukunya Segi-Segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah


Al-Qur’an menyebutkan hanya ada tiga unsur dalam cerita-cerita Al-Qur’an, yaitu
pelaku, peristiwa, dan percakapan, tanpa adanya unsur waktu dan tempat serta
unsur gagasan pikiran atau tujuan. Hal ini terjadi karena memang cerita dalam Al-
Qur’an itu sendiri berbeda dengan cerita sastra pada umumnya. Dalam cerita-
cerita Al-Qur’an, peranan ketiga unsur itu tidaklah sama, boleh jadi salah satunya
saja yang menonjol, sedangkan unsur yang lain hampir menghilang. Satu-satunya
pengecualian ialah cerita Nabi Yusuf.
Unsur peristiwa lebih dominan pada cerita yang dimaksudkan untuk
mengancam atau menakut-nakuti, seperti cerita kaum Tsamud dengan Nabi Saleh
dalam surat Asy-Syams dan Al-Qamar. Sedangkan unsur pelaku lebih dominan
pada cerita yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan moral dan kemantapan
hati Nabi beserta pengikutnya. Adapun pada cerita yang dimaksudkan untuk
mempertahankan dakwah Islamiyah dan membantah para penentangnya, unsur
yang lebih dominan ialah unsur percakapan.17
1. Pelaku
Dalam cerita-cerita Al-Qur’an, pelaku tidak hanya manusia, tetapi juga
malaikat, jin, bahkan hewan seperti semut dan burung. Dalam cerita Qarun ini,
pelakunya ialah manusia dalam bentuk orang laki-laki, yaitu Nabi Musa (hanya
disebutkan namanya di awal cerita), Qarun, dan umat-umat yang berdialog dengan
Qarun.
Para pelaku tersebut tidak disebutkan sifat-sifat fisiknya, seperti tinggi
badannya, warna kulit, raut muka dan sebagainya yang biasa dipakai untuk
membedakan seseorang dengan yang lainnya.18 Bahkan umat yang berdialog
kepada Qarun tidak disebutkan namanya. Yang terjadi justru penggambaran sifat
sombong dan kekayaan Qarun, bukan fisiknya itu sendiri. Hal ini menunjukkan
bahwa yang terpenting dari cerita Qarun ini bukan penggambaran fisiknya, tetapi
peristiwa yang terjadi dalam cerita tersebut.

17
Hanafi, op. cit., h.53.
18
Hanafi, op. cit., h.57.
54

Mengenai alasan dominannya unsur peristiwa dibanding unsur pelaku pada


cerita Qarun akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan tentang peristiwa sebagai
berikut.
2. Peristiwa
Peristiwa dalam cerita sastra erat kaitannya dengan prolog, konflik dan
klimaks. Di mana munculnya konflik dan klimaks membuat alur cerita menjadi
menarik dan tidak membosankan.19
Al-Qur’an memiliki keanekaragaman cara penyampaian ceritanya.
Pertama, ada yang disebutkan terlebih dahulu sinopsis ceritanya, kemudian
setelah itu dipaparkan rincian-rinciannya dari awal sampai selesai. Cara
penyampaian seperti itu terdapat dalam cerita ashabul kahfi yang ceritanya
dimulai seperti ini.
“atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang
mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang
mengherankan? (ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke
dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada
kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam
urusan kami (ini)." Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua
itu kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara
kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka
tinggal (dalam gua itu).” (Al-Kahfi: 9-12)

Itu adalah sinopsis cerita tentang ashabul kahfi, seakan-akan sinopsis ini
adalah pendahuluan yang mampu menimbulkan keinginan untuk mengetahui
cerita selanjutnya.
Kedua, ada yang disebutkan kesimpulan cerita dan maksudnya, kemudian
dimulai cerita tersebut dari awal sampai akhir. Seperti yang terdapat dalam cerita
Nabi Yusuf, di mana ceritanya dimulai dengan mimpi yang diceritakannya kepada
ayahnya, maka ayahnya memberitahukan bahwa dia akan memiliki kedudukan
yang besar. Firman Allah SWT.,
“(ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya
aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya
sujud kepadaku." Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan

19
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005), h.117.
55

mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk


membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia." dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan
diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan
disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub,
sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu
sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Yusuf: 4-6)

Ketiga, ada yang disebutkan ceritanya langsung tanpa adanya pendahuluan


atau sinopsis terlebih dahulu. Seperti cerita Maryam saat melahirkan Isa.
Keempat, ada yang seolah-olah cerita itu seperti sandiwara, karena hanya
disebutkan beberapa kalimat yang menjadi prolog, dan selebihnya dialog antar
pelaku yang dominan.20 Model semacam ini yang banyak sekali terdapat dalam
cerita-cerita Al-Qur’an, salah satunya ialah cerita tentang Qarun.
Ayat 76 surat Al-Qashash menjadi prolog cerita Qarun, yang menjelaskan
bagaimana keadaan Qarun yang merupakan kaum nabi Musa dengan segala
kekayaannya yang melimpah, yang diibaratkan kunci-kuncinya saja sungguh berat
dipikul oleh orang yang kuat-kuat. Hanya segitu saja kalimat yang menjelaskan
keadaan Qarun, karena selanjutnya dialog antar pelaku saja yang dominan, yakni
antara Qarun dengan kaumnya.
Dari pertengahan ayat 76 sampai ayat 80, bentuk cerita berubah menjadi
dialog antara Qarun dengan kaumnya. Di sini muncul konflik ketika kaumnya
mengingatkannya agar tidak sombong. Tetapi kesombongan Qarun malah
semakin menjadi-jadi. Sampai pada Qarun keluar kepada kaumnya dengan segala
kemegahannya. Yang mana hal ini membuat kaumnya terbagi dua. Yang pertama
ialah mereka yang menginginkan harta yang banyak seperti Qarun dan
menganggap Qarun ialah orang yang sangat beruntung. Dan yang kedua ialah
mereka yang menganggap bahwa kesombongan Qarun akan membawa
kebinasaan baginya. Pahala dan keridhaan Allah jauh lebih baik.
Puncaknya (klimaks) pada ayat 81, di mana Allah membenamkan Qarun
beserta segala harta benda yang dimilikinya dikarenakan sifat sombongnya. Hal

20
Quthb, op. cit., h.206-211.
56

ini menjadi pelajaran bagi umat manusia agar tidak berlaku sombong sebagaimana
Qarun.
Unsur peristiwa dalam cerita Qarun termasuk dominan, karena pada cerita
tersebut Al-Qur’an bermaksud untuk mengancam atau menanamkan rasa takut,
seperti cerita kaum ‘Ad dalam surat Al-Qamar sebagai berikut:

             

            

 
Kaum 'Aad pun mendustakanKu. Maka bagaimana siksaKu dan ancaman-
ancamanKu. Sesungguhnya Kami telah mengirimkan kepada mereka angin dingin
yang menderu-deru pada hari celaka yang terus menerus. Ia mencabut manusia
seakan-akan mereka adalah akar pohon (korma) yang tercabut. Maka bagaimana
siksaKu dan ancaman-ancaman-Ku.(Al-Qamar: 18-21)

Jika diperhatikan isi cerita tersebut, maka akan terlihat bahwa Al-Qur’an
tidak menyebutkan perincian, seperti keadaan kaum ‘Ad sebelum mendustakan
Tuhan dan bagaimana keadaan rumah-rumah mereka. Sampai masalah pengutusan
Nabi Hud dan dialog yang terjadi antara kaum ‘Ad dengan Hud juga tidak
disebutkan. Tetapi Al-Qur’an dengan cepat menceritakan tentang siksa yang
ditimpakan kepada mereka dengan memakai gambaran seram yang menakutkan;
yaitu angin dingin yang menderu-deru, celaka yang terus menerus. Demikian
kuatnya angin yang mencabut dan menerbangkan mereka, sehingga seolah-olah
mereka itu pohon yang tidak berakar.
Cara demikian ditempuh Al-Qur’an, hanya dan semata-mata karena Al-
Qur’an bermaksud menanamkan rasa takut terhadap siksa pada diri orang-orang
yang hidup pada masa Nabi Muhammad. Diharapkan rasa takut tumbuh kuat
dalam jiwa mereka, sehingga gambaran di ataslah yang dipilih, dengan diawali
dan diakhiri pertanyaan yang menusuk hati dan retorik, yaitu: Coba lihat
bagaimana siksaKu dan ancaman-ancamanKu. Dari sini dapat dilihat bahwa Al-
Qur’an hanya memilih bahan-bahan cerita yang dapat mewujudkan tujuannya.
57

Sedangkan peristiwa-peristiwa, para pelaku dan perincian-perincian yang tidak


mempunyai hubungan dengan tujuan tersebut tidak perlu disebutkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita Al-
Qur’an tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah, seperti halnya
buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan dari cerita Al-Qur’an ialah memberi
nasihat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa.21
3. Percakapan
Tidak pada setiap cerita harus ada percakapan, sebab cerita-cerita pendek
sering hanya berisi gambaran pelaku atau peristiwa semata. Cara semacam ini
lazim ditemui pada cerita yang bermaksud mengancam. Namun pada cerita Al-
Qur’an yang lainnya, percakapan merupakan unsur yang sangat menonjol, yang
biasanya terdapat dalam cerita yang banyak pelakunya. Melalui dialog, cerita akan
terasa hidup dan menarik perhatian pembacanya.22
Pada surat Al-Qashash ayat 76-81 ini, terlihat bahwa cerita Qarun
didominasi oleh unsur percakapan. Hanya permulaan ayat 76 dan 79, serta
keseluruhan ayat 81 saja yang bukan percakapan. Selebihnya dari pertengahan
ayat 76 sampai akhir ayat 80 semuanya berbentuk percakapan, di mana di situlah
terjadinya konflik cerita. Artinya kurang lebih 4 dari 6 ayat yang menceritakan
tentang Qarun itu berbentuk percakapan. Hal ini dikarenakan pesan atau pelajaran
yang ingin disampaikan lebih banyak terdapat dalam percakapan dalam cerita
tersebut. Sehingga penggambaran pelaku dan peristiwa tidak banyak disebutkan.
Isi percakapan yang terdapat dalam cerita tersebut ialah nasihat-nasihat
agama, seperti perkataan kaumnya yang mengingatkan Qarun agar tidak sombong
dan menjadikan harta benda malah menjadi penyebab melalaikan diri kepada
Allah. Lalu perkataan Qarun menjawab nasihat kaumnya dengan kesombongan
yang semakin menjadi-jadi, hingga ia keluar dari istananya dengan segala
kemewahannya yang membuat kaumnya terbagi menjadi dua (yang menginginkan
sama sepertinya dan yang tidak tergoda dengan kekayaan tersebut), dan memang
kenyataannya manusia kini pun terbagi dua seperti itu.

21
Hanafi, op. cit., h.25-26.
22
Hijazi, op. cit., h.117.
58

Adapun cara Al-Qur’an dalam menggambarkan percakapan didasarkan


atas riwayat, atau menurut istilah tata bahasa ialah “direct speech” (percakapan
langsung). Jadi Al-Qur’an menceritakan kata-kata pelaku dalam bentuk aslinya,
seperti “Ia berkata ...”, “mereka berkata ...” dan sebagainya. 23
Meski begitu, pada hakikatnya mutakallim dalam Al-Qur’an jelas adalah
Allah SWT. Allah dalam menyampaikan suatu makna, ada yang secara langsung,
atau melalui lisan para rasul-Nya, atau tokoh-tokoh yang namanya diabadikan
dalam kitab suci ini, seperti Luqman al-Hakim, Maryam, dan sebagainya. 24

D. Hilangnya Unsur Waktu dan Tempat dalam Cerita Qarun


Cara penuturan cerita dalam Al-Qur’an ada yang ditunjukkan nama tempat
dan tokoh pelakunya serta gambaran peristiwanya, ada yang hanya disebut
peristiwanya tanpa ditunjukkan tempat pelakunya. Ini karena kisah di dalam al-
Qur’an dimaksudkan untuk menarik pelajaran darinya, bukan untuk menguraikan
sejarah kejadiannya. 25
Saat menuturkan cerita, Al-Qur’an banyak menghilangkan unsur waktu
dan tempat, bahkan terkadang juga pelaku-pelakunya. Di dalam Al-Qur’an tidak
ada satu cerita pun yang fokus terhadap waktu (kapan peristiwa itu terjadi). Untuk
tempat, hampir-hampir Al-Qur’an mengabaikannya juga. Hanya beberapa tempat
saja yang disebutkan karena memang pengetahuan tentang tempat tersebut
berkaitan dengan ajaran yang ingin disampaikan.26
Cerita-cerita Al-Qur’an merupakan penginformasian kembali terhadap
peristiwa tertentu yang telah terjadi pada kurun waktu yang lama, bahkan
sebagiannya sangat lama. Akan tetapi, Al-Qur’an tidak begitu menekankan secara
detail kapan peristiwa itu terjadi; apakah seribu atau dua ribu tahun sebelum Nabi
Muhammad diutus, atau sesudahnya, dan sebagainya. Penekanan lebih diberikan
kepada jalannya peristiwa itu sendiri, guna menyingkap berbagai pelajaran yang

23
Hanafi, op. cit., h.65.
24
D. Hidayat, op. cit., h.66.
25
M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya, (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), jilid I, hal.1-2.
26
Ma’rifat, op. cit., h.56.
59

terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an bukan buku sejarah,


melainkan kitab yang diturunkan sebagai petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang
yang bertakwa.
Walaupun demikian, setiap cerita yang diceritakan tetap dirunut secara
kronologis dengan alur yang bergulir ke depan secara alami. Lebih lanjut,
adakalanya waktu kejadian disinggung jika memang dipandang perlu dalam
rangka pencapaian misi ibarah di atas. Seperti pada cerita Nabi Nuh, Al-Qur’an
tidak menyebut kapan pastinya ia diutus sebagai rasul, namun menerangkan
lamanya misi tersebut dijalankan, yaitu sembilan ratus lima puluh tahun. Pada
cerita Nabi Yusuf disebutkan, "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)
sebagaimana biasa; Maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.” (Yusuf: 47). Juga pada cerita
tentang ashabul kahfi disebutkan, “dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga
ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).”
Adapun masalah tempat juga tidak disinggung secara detail, kecuali pada
saat-saat tertentu di mana penyebutannya dibutuhkan dalam cerita atau
keberadaannya memiliki arti tersendiri. Sebagai contoh Firman Allah SWT dalam
hal Isra’ Nbi Muhammad SAW., yaitu,
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha....” (Al-Isra’: 1)

Pada ayat ini, tempat disebutkan secara eksplisit dikarenakan posisi khusus
yang dimilikinya. Di mana kedua masjid itu merupakan dua kiblat umat Islam
dalam shalat. Dengan demikian, jika waktu dan tempat terjadinya suatu peristiwa
dipandang tidak memiliki keistimewaan, maka Al-Qur’an tidak merasa butuh
untuk menyebutkannya secara eksplisit.27 Sebagaimana yang terjadi pada cerita
Qarun.
Dari ayat 76 sampai dengan ayat 81 surat Al-Qashash, tidak didapati
kalimat yang menjelaskan tahun berapakah masa hidupnya Qarun, apakah dua
ribu tahun sebelum masehi. Juga tidak ditemukan berapa usianya, apakah lima

27
Hijazi, op. cit., h.371-372.
60

puluh, atau sembilan puluh tahun. Dan juga tidak ditemukan kapan kejadian
Qarun ditenggelamkan ke perut bumi bersama harta bendanya, apakah pagi, siang
atau malam. Begitu juga dengan tempat tenggelamnya Qarun, di mana letak
istananya, tidak ada satu kalimat pun yang menjelaskan tentang itu.
Hal ini berbeda jika waktu atau tempat kejadian tersebut memiliki makna
khusus, seperti cerita isra’ Nabi Muhammad, pertemuan Musa dengan Allah di
Gunung Sinai, atau penyebutan nama Mesir, Madyan, Mekah, dan sebagainya
yang memiliki posisi penting dalam cerita secara keseluruhan. Ciri khusus lainnya
adalah, apabila suatu peristiwa yang diceritakan mengharuskan penyebutan waktu
dan tempat kejadian, maka yang pertama kali disebut adalah waktunya dan baru
kemudian tempatnya.28

E. Penyampaian Pesan dalam Cerita


Cerita di dalam Al-Qur’an merupakan salah satu cara yang digunakan Al-
Qur’an untuk memberi pelajaran bagi manusia. Ketika Al-Qur’an hendak
menyampaikan pesan penting di dalam suatu cerita, cara yang digunakan ialah
mengemukakan pernyataan tegas secara berjenjang, baik berisi penolakan maupun
pengukuhan isi cerita.29 Letak pesan ini bisa di awal, di akhir, maupun di tengah-
tengah cerita, tergantung dengan konteks ceritanya.
Di dalam cerita Qarun ini, penyampaian pesan terletak di tengah-tengah
dan akhir cerita. Penyampaian pesan yang pertama terdapat dalam ayat 76, ucapan
kaumnya yang mengingatkan Qarun Janganlah kamu terlalu bangga,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang terlalu membanggakan diri.
Pesan selanjutnya terdapat pada ayat 77, memperkuat pesan di ayat 76, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
para pembuat kerusakan.
Di akhir ayat 81, disebutkan pesan penting terakhir yang hendak
disampaikan, yakni orang-orang yang sombong tidak akan mendapat pertolongan.
Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa Allah. Hal ini

28
Hijazi, op. cit., h.373.
29
Dahlan, op. cit., h.187.
61

kemudian dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orang-orang


yang mampu membela (dirinya). Pesan yang tersebar di tengah dan akhir cerita
seolah hendak memberitahu bahwa siksa Allah itu adil. Dia tidak akan menyiksa
suatu kaum kecuali setelah ada peringatan.30
Jika diperhatikan, kedua pesan yang terdapat pada ayat 76 dan 77
Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
terlalu membanggakan diri., dan dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan itu merupakan
ucapan kaumnya yang mengingatkan Qarun. Peringatan-peringatan tersebut
sayangnya tidak mengubah sikap Qarun yang sombong, malah membuatnya
semakin menjadi-jadi hingga Allah kemudian mengazabnya. Dan pesan terakhir,
yakni ayat 81 Tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya terhadap siksa
Allah yang dikukuhkan dengan pernyataan dan tidak pula ia termasuk orang-
orang yang mampu membela (dirinya) merupakan pernyataan Al-Qur’an yang
memuat pesan terakhir.
Dua pesan di awal, yakni ayat 76 dan 77 seakan-akan hanya dikhususkan
kepada Qarun, karena memang dalam dialog tersebut ucapan itu ditujukan
langsung kepadanya untuk mengingatkannya agar tidak bersikap sombong. Meski
begitu tetap dalam hal ini Al-Qur’an pada hakikatnya tidak hanya mengingatkan
Qarun saja, melainkan semua manusia. Selanjutnya, setelah dua peringatan
tersebut diabaikan Qarun, maka Allah menurunkan azab kepadanya hingga pada
ayat 81 kali ini Al-Qur’an yang seolah-olah langsung mengatakan kepada semua
manusia bahwa begitulah kesudahan orang yang menyombongkan diri.
Pola penyampaian pesan di akhir cerita pada cerita Qarun di atas sama
dengan yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40:
Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang
nyata. akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka
orang-orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu)
Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras

30
Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.189.
62

yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali
tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri.

Allah terlebih dahulu memberi peringatan kepada Qarun, Firaun, dan


Haman lewat Nabi Musa. Namun mereka tetap berlaku sombong dan yang terjadi
setelahnya ialah Allah mengazab mereka dengan cara yang bermacam-macam. Di
akhir ayat pesan tersebut disampaikan bahwa Allah sekali-kali tidak hendak
menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri
lewat sikap sombong tersebut.
Dengan adanya penyampaian pesan seperti ini membuat orang yang
membaca cerita Qarun bisa mendapatkan pesan yang ingin disampaikan dari
cerita tersebut berupa hikmah dan pelajaran mengenai akhlak. Tidak hanya
sekadar cerita yang dijelaskan panjang lebar, tetapi tidak tahu isi pesan yang
terkandung di dalamnya.

F. Pengulangan Cerita
Salah satu akibat dari pengaruh tunduknya cerita Al-Qur’an terhadap
maksud tujuan agama ialah pengulangan cerita. Kalau ada cerita yang diulang
pasti ada tujuan kenapa Al-Qur’an mengulang cerita tersebut dan tidak berbentuk
pengulangan mutlak (tanpa maksud dan tujuan). Pengulangan tersebut disesuaikan
dengan konteks kapan diturunkan dan keadaan pada saat nabi Muhammad
menerimanya. Sebaliknya jika ada cerita yang tidak diulang, pasti ada tujuan pula
mengapa Al-Qur’an tidak mengulang cerita tersebut. Kembali lagi hal ini karena
diulang atau tidak sebuah cerita itu merupakan bagian dari tujuan cerita Al-Qur’an
itu sendiri, yakni menyampaikan pesan-pesan agama. 31
Cerita dalam Al-Qur’an yang paling banyak mengalami pengulangan
adalah cerita Musa dan Firaun, dan sejarah Bani Israil. Yang perlu digarisbawahi
dalam pengulangan cerita Nabi Musa adalah adanya perbedaan antara spirit
universal dalam cerita Musa pada surat-surat Makkiyah, dan spiritnya dalam

31
Quthb, op. cit., h.171.
63

surat-surat madaniyah. Cerita tentang Qarun yang merupakan umat Nabi Musa
(Bani Israil) terdapat dalam surat Al-Qashash yang merupakan surat Makkiyah.
Cerita tentang Musa dalam surat-surat Makkiyah lebih menekankan hubungan
umum antara Musa di satu sisi, dan Firaun dengan para koleganya (Qarun) di sisi
lain, tanpa menyinggung keadaan Bani Israil di hadapan Musa. Sedangkan dalam
surat-surat Madaniyah, di mana dibicarakan hubungan antara Musa dengan Bani
Israil, juga hubungan dan kaitannya dengan problematika sosial dan politik.32
Orang yang mencermati dengan seksama cerita-cerita Al-Qur’an, akan
menemukan bahwa cerita-cerita yang diulang selalu membawa pesan tauhid, atau
untuk menunjukkan pertolongan Allah yang pasti diberikan kepada utusannya
dalam menghadapi musuh, atau untuk memantapkan pelajaran yang dapat dipetik
oleh kaum muslimin serta membungkam keangkuhan orang-orang kafir.33
Cerita Qarun di dalam Al-Qur’an merupakan jenis cerita yang habis
diceritakan dalam satu tempat. Artinya tidak didapati lagi selain di Surat Al-
Qashas ayat 76-81 cerita tentang Qarun. Kecuali hanya pengulangan penyebutan
nama Qarun yang terdapat dalam surat Al-Ankabut ayat 39-40:

    


     

            

          

           
Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada
mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata.
akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-
orang yang luput (dari kehancuran itu). Maka masing-masing (mereka itu) Kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam
bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali

32
Ma’rifat, op. cit., h.54.
33
Hijazi, op. cit., h.384.
64

tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri
mereka sendiri.

Juga yang terdapat dalam suratAl-Mu’min ayat 24:

       


Kepada Fir'aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: "(Musa) adalah
seorang ahli sihir yang pendusta".

Kedua pengulangan nama Qarun itu tidaklah mengulang cerita Qarun


secara khusus, karena penyebutan nama Qarun juga disandingkan dengan Firaun
dan Haman, yang mana mereka adalah umat Nabi Musa yang sama-sama
mengingkari ajaran Nabi Musa, yang pada akhirnya Allah mengazab mereka
akibat perbuatan mereka sendiri. Ini berarti cerita tentang Qarun memang hanya
ada dan habis di satu tempat saja, Surat Al-Qashas ayat 76-81. Karena cerita
tentang kaum yang binasa akibat ingkar dengan ajaran Nabinya sudah banyak di
ulang dalam cerita Al-Qur’an. Sehingga cerita Qarun ini hanyalah “pengulangan”
dari sekian cerita yang sama sebetulnya, hanya pelakunya saja yang berbeda.

G. Episode Kemunculan Tokoh


Dalam Al-Qur’an, tokoh Qarun diceritakan ‘tiba-tiba” sebagai seorang
laki-laki dewasa yang kaya raya. Tidak disebutkan bagaimana kelahirannya, masa
kecilnya, bahkan bagaimana usahanya sehingga menjadi kaya raya. Hal semacam
ini banyak dijumpai di dalam cerita Al-Qur’an di mana tokoh-tokoh yang
disebutkan dalam cerita Al-Qur’an tiba-tiba muncul dalam keadaan sudah dewasa.
Masa kelahiran, kanak-kanak, dan remajanya tidak diceritakan. Seperti Nabi Nuh,
Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syua’ib dari kalangan para nabi, atau
Firaun dari kalangan orang-orang durhaka. Tentunya hal ini mempunyai tujuan
tersendiri.
Mungkin saja kalau tokoh Qarun diceritakan dari masa kelahiran, kanak-
kanak, remaja hingga dewasa dan bagaimana ia mengumpulkan kekayaannya, hal
ini akan mengurangi nilai keindahan bercerita Al-Qur’an. Lagi pula kalau tidak
ada yang istimewa dan bisa diambil sebagai pelajaran pada masa-masa tersebut
65

untuk apa diceritakan. Karena Al-Qur’an sekali lagi bukanlah buku cerita yang
harus menceritakan dengan detail tokoh-tokohnya, melainkan hanya bercerita
seperlunya saja, sesuai dengan tujuan Al-Qur’an itu sendiri.
Hal ini berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana Al-Qur’an
menceritakan dari masa kelahirannya. Sebab kelahirannya terjadi di saat semua
bayi laki-laki dari Bani Israil dibunuh. Selamatnya bayi Musa, saat berada di
tengah-tengah keluarga Firaun, mempunyai nilai khusus dalam menjelaskan
pemeliharaan Allah terhadap Musa. Allah berkuasa untuk menyelamatkan Musa
dari pembunuhan sebagaimana yang dialami anak laki-laki dari Bani Israil yang
lainnya, bahkan memelihara Musa justru di dalam lingkungan istana Fir’aun. Di
mana kelak dari situlah Allah mempersiapkan Musa untuk melaksanakan misi
risalah.
Atau dengan cerita Nabi Yusuf yang ceritanya diawali saat dia kanak-
kanak, ketika menceritakan mimpi kepada ayahnya bahwa dia melihat sebelas
bintang, matahari, dan bulan sujud di hadapannya. Di mana kelak dari mimpi
itulah ternyata bahwa Nabi Yusuf sudah mendapat “isyarat” yang diketahui oleh
ayahnya (Nabi Yakub) bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin yang besar
(nabi).34
Cerita Qarun disebutkan dalam Al-Qur’an pada saat dewasa dan
kematiannya, karena memang pada bagian itulah terdapat ibrah dari cerita
tersebut. Al-Qur’an hendak menyampaikan bahwa orang yang sombong dan suka
berbuat kerusakan di muka bumi akan bernasib seperti Qarun yang mati ditelan
bumi bersama seluruh harta kekayaannya. Yang mana harta kekayaan tersebut
sedikit pun tidak dapat menolong dan membantunya.
Mengenai episode kematian yang diceritakan dalam Al-Qur’an, hal ini
juga terjadi pada cerita Firaun dan Nabi Sulaiman, di mana saat-saat kematiannya
diceritakan dalam Al-Qur’an, karena memang ada pelajaran yang dapat diambil
dari kematian mereka.

34
Quthb, op. cit., h.182.
66

“hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan
saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Yunus: 90)

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan
tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau
sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam
siksa yang menghinakan.” (Saba’: 14)

H. Panjang Pendek Cerita


Cerita Al-Qur’an pada umumnya disampaikan secara singkat, bahkan tidak
jarang sangat singkat, tetapi padat makna. Ini karena tujuan pemaparan cerita
bukanlah sebagai bacaan hiburan, tetapi lebih sebagai penyampai pelajaran atau
ibrah yang terkandung di dalamnya. Penekanan pada ibrah inilah yang membuat
hal-hal yang tidak mendukung tujuan itu tidak perlu dirinci atau dijabarkan secara
panjang lebar. Sebagai contoh, dalam cerita Nabi Nuh tidak ditemukan rincian
mengenai besar kapal yang dibuat, karena tujuan dari pemaparan cerita itu adalah
untuk menjelaskan bahwa orang yang ingkar terhadap Allah akan
ditenggelamkan; bukan pembuatan kapal itu sendiri.
Ini agak berbeda dengan Taurat yang memberikan keterangan panjang
lebar tentang ukuran kapal Nabi Nuh. Dalam kitab kejadian disebutkan.
“Buatlah bagimu sebuah bahtera dari kayu gofir; bahtera itu harus kau buat
berpetak-petak dan harus kau tutup dengan pangkal dari luar dan dari dalam.
Beginilah engkau harus membuat kapal itu: tiga ratus hasta panjangnya, lima
puluh hasta lebarnya, dan tiga puluh hasta tingginya. Buatlah atap pada bahtera
itu dan selesaikanlah bahtera itu sampai sehasta dari atas, dan pasanglah
pintunya pada lambungnya; buatlah bahtera itu bertingkat bawah, tengah dan
atas.”
Menurut Al-Qur’an, hal-hal teknis semacam itu tidak lebih penting
dibandingkan pelajaran yang terkandung di dalamnya. 35
Mengenai panjang pendek cerita, cerita tentang Qarun di dalam Al-Qur’an
termasuk cerita yang dalam penyebutannya pendek. Karena hanya terdapat dalam
surat Al-Qashash dari ayat 76-81, di mana tidak ada pengulangan cerita

35
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam Perspektif
Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2012), h. 8.
67

setelahnya, kecuali hanya penyebutan nama Qarun pada surat Al-Ankabut ayat
39-40 dan surat Al-Mu’min ayat 24 seperti yang sudah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya.
Diceritakan Qarun ialah kaum nabi Musa yang kaya raya (tanpa
diceritakan bagaimana proses ia mengumpulkan kekayaan tersebut), namun
bersikap sombong dengan kekayaannya tersebut. Kemudian ada kaumnya yang
berkata kepadanya, mengingatkan untuk tidak berbuat sombong. Namun
peringatan itu malah dijawab dengan ungkapan bahwa kekayaannya merupakan
hasil dari jerih payahnya sendiri. Hingga akhirnya ia keluar dari istananya dengan
segala kemewahannya, menunjukkannya kepada kaumnya, yang mana hal ini
membuat kaumnya terbagi dua. Yang menginginkan kekayaan sama sepertinya,
dan yang menganggap bahwa pahala dan keridhaan dari Allah lebih baik. Dan
kemudian akibat dari sifat sombongnya itu Allah mengazabnya dengan
menenggelamkan dirinya beserta seluruh harta bendanya ke dalam perut bumi.
Yang mana ini merupakan pelajaran bagi umat manusia bahwa akibat perbuatan
sombong ialah seperti itu. Tidak ada yang mampu menolongnya.
Ini tentu berbeda dengan cerita Nabi Musa, di mana sejak lahirnya Musa
hingga terhentinya Musa dengan kaumnya di depan Tanah Suci semua diceritakan
dengan jelas. Kenapa di dalam Al-Qur’an disebutkan semua episode kehidupan
Nabi Musa? Sebab, setiap episode itu memiliki maksud tujuan keagamaan.
Lagi pula kalau memang tidak ada kaitannya dengan hikmah-hikmah
keagamaan, untuk apa sebuah cerita diceritakan secara panjang lebar. Karena
memang kembali lagi, tujuan Al-Qur’an bercerita bukan lah sebagai cerita hiburan
semata. Melainkan sebagai petunjuk agama bagi manusia yang membacanya.

I. Gaya Bercerita yang Baik


Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa Al-Qur’an sudah
mencontohkan bagaimana bercerita yang baik, efektif, menyentuh perasaan, dan
bermakna, yang mana ini sangat bermanfaat bagi para pendidik, baik orang tua
maupun guru dalam menyampaikan cerita kepada anak. Al-Qur’an sudah banyak
menyediakan bahan cerita yang tidak hanya menarik, tetapi juga sangat baik untuk
68

mendidik akhlak anak karena di dalamnya terkandung pesan-pesan yang


menuntun manusia ke jalan yang benar. Sudah seharusnya bagi orang tua dan guru
untuk memberdayakan potensi yang sangat besar yang sudah disediakan Al-
Qur’an ini dengan menjadikannya sebagai metode pembelajaran.
Agus DS, seorang pendongeng profesional dalam bukunya, “Mendongeng
Bareng Kak Agus DS, Yuk...” menuliskan bagan bagaimana merancang sebuah
cerita sederhana. 36

Mengerti akan estetika


(kriteria-kriteria membuat cerita)

Buat pendahuluan cerita yang singkat

Gambar dan warna yang jelas Isi cerita Dengan bahasa dan
(untuk buku) (cerita lengkap) kalimat yang jelas

Pesan moral di akhir cerita


(penutup)

Dalam bercerita hendaknya kalimat-kalimatnya dibuat singkat, sehingga


memudahan pembaca atau pendengar untuk memahami rangkaian peristiwa dalam
cerita, tidak bertele-tele. Jika bahasa dalam cerita untuk anak-anak maka dalam
penyampaiannya haru disederhanakan. Rasulullah SAW tidak pernah berbelit-
belit saat berbicara dengan anak-anak, beliau selalu langsung menuju pokok
pernasalahan, tanpa basa-basi yang membingungkan. Hal tersebut sesuai dengan
karakter jiwa anak yang membutuhkan kata-kata yang singkat namun bermakna,

36
Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2012), h. 98.
69

karena kalimat yang terlalu berbelit-belit dapat membosankan, sehingga anak


tidak dapat menerima pesan kita dengan baik. 37
Berbeda dengan cerita untuk orang dewasa, gaya bahasa konotatif dan
majaz lebih baik dari gaya denotatif dan lugas. Penyampaian cerita dengan
menggunakan gaya bahasa yang tepat akan membuat pendengarnya tergugah
emosinya, dan seolah-olah larut dalam cerita. Terkadang diperlukan pengulangan
kata untuk mendapatkan kesan yang lebih kuat pada jiwa pendengar jika memang
hal tersebut dibutuhkan dan sesuai dengan konteks cerita.38
Uraian kaidah ini menjadi penting karena dengan mengetahuinya, selain
mendapatkan pelajaran dari kandungan cerita-cerita yang diceritakan Al-Qur’an,
juga akan mengetahui cara terbaik dalam menyampaikan pelajaran melalui
penguraian cerita. Suatu cerita yang disampaikan dengan metode sebagaimana
yang ditempuh Al-Qur’an akan menimbulkan kesan mendalam bagi para pembaca
dan pendengarnya. Sebaliknya jika suatu cerita disampaikan dengan cara lain,
akan sangat sulit memberikan perincian-perincian pesan yang hendak
disampaikan dalam cerita tersebut. Itu seperti mengemukakan cerita panjang tanpa
terlebih dahulu memberikan ringkasan ceritanya.

37
Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung:
Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306.
38
Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja Rosda
Karya, 2002), h. 26.
70

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil kajian yang dilakukan penulis mengenai karakteristik metode
pembelajaran cerita dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 76-81, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Cerita di dalam Al-Qur’an berbeda dengan cerita pada karya sastra pada
umumnya. Baik dari segi materi maupun isi. Hal ini dikarenakan tujuan
bercerita dari Al-Qur’an ialah sebagai media pembelajaran agama, bukan
sebagai hiburan semata seperti cerita sastra.
2. Cerita di dalam Al-Qur’an menekankan kepada kebenaran dan mengandung
hikmah atau pesan di setiap ceritanya. Semua cerita yang terkandung di
dalamnya adalah fakta rill, bukan dongeng yang palsu dan dibuat-buat.
3. Akibat dari berbedanya tujuan antara cerita Al-Qur’an dengan cerita sastra,
maka gaya bercerita Al-Qur’an pun berbeda dengan sastra. Salah satunya
ialah unsur cerita yang terdapat dalam cerita Al-Qur’an hanya tiga, yakni
peristiwa, pelaku, dan percakapan. Sedangkan unsur waktu dan tempat
terkadang muncul, tergantung berkaitan atau tidak dengan tujuan cerita
tersebut.
4. Pada intinya ciri khas Al-Qur’an dalam bercerita ialah tidak bertele-tele,
singkat tetapi jelas dan mengena. Selalu mengandung hikmah dari setiap
cerita yang diceritakan. Menggunakan gaya dan bahasa yang mampu
menggugah hati pembacanya. Jika dirasa perlu, mengulang cerita yang sudah
pernah disebutkan tetapi dengan gaya yang berbeda, disesuaikan dengan
konteks ayat dan kondisi pada saat diturunkan.
5. Sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menandingi kemukjizatan Al-
Qur’an. Baik dari segi keindahan maupun isi.
71

B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran yang
diharapkan menjadi salah satu bagian dalam upaya mengembangkan Pendidikan
Agama Islam di Indonesia.
1. Hendaknya para pendidik menggunakan cerita sebagai salah satu metode
pembelajaran dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam kepada anak.
Tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur’an lah
yang sangat perlu untuk diceritakan kepada anak-anak dalam rangka
mendidik mereka. Dengan menceritakan cerita-cerita keteladanan dalam Al-
Qur’an baik dari cerita para nabi atau selain nabi, anak-anak tidak saja
dikenalkan berbagai cerita dalam kitab suci-Nya, mendekatkan manusia
dengan sumber utama dalam agamanya sejak dini dan lebih jauh untuk
mendorong semangat mereka untuk mengkaji lebih mendalam ajaran-ajaran
dalam Al-Qur’an, tetapi juga diharapkan mereka dapat mengambil hikmah
dan teladan dari sifat, perilaku dan kondisi emosional para tokoh tersebut
ketika mereka dihadapkan pada situasi atau peristiwa tertentu.
Karena memang penyampaian pesan dengan jalan cerita lebih mengena ke
dalam hati, dan terkesan tidak menggurui. Sehingga lebih mudah diterima dan
diingat oleh anak.
2. Hendaknya para pendidik lebih sering lagi menceritakan tokoh-tokoh yang
terdapat dalam Al-Qur’an kepada anak-anak agar mereka mengenal tokoh-
tokoh tersebut. Dikhawatirkan mereka lebih mengenal cerita-cerita fiktif yang
banyak terdapat di media-media, baik film, televisi, novel, dan lain-lain.
Sedangkan cerita-cerita tentang para nabi yang mengandung pesan-pesan
yang baik tidak mereka ketahui.
72

DAFTAR PUSTAKA

Achdiat, Nunu, Seni berkisah: Memandu Anak Memahami Al-Qur’an, Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya, 1998.

Al-Ghazali, Syekh Muhammad, Induk Al-Qur’an, Jakarta: CV. Cendekia Sentra


Muslim, 2003.

-------------------------------------, Al-Qur’an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan


Pesan Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini, Bandung: PT Mizan Pustaka,
2008.

Al-Khalidy, Shalah, Kisah-Kisah Al qur’an Pelajaran dari Orang-orang Dahulu,


Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT Karya Toha


Putra, 1993.

Al-Qarni, Aidh bin Abdullah, Al-Qur’an Menjadikan Hidup Lebih Berarti,


Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2005.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: PT Pustaka Litera


AntarNusa, 2007.

Ath-Tharawanah, Sulaiman, Rahasia Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, Jakarta:


Qisthi Press, 2004.

Amini, Ibrahim, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006.

Anwas, Oos M., Televisi Mendidik Karakter Bangsa: Harapan dan Tantangan,
(Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan), Vol. 16. Edisi Khusus III, Oktober
2010.

Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, Jakarta: Dunia Aksara, 1997.

Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1998.

Carr, F. Rene Van de, dan Marc Lehrer, Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam
Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa, 2000).

Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an, Bandung: Penerbit


Mizan, 1997.
73

DS, Agus, Mendongeng Bareng Kak Agus DS, Yuk..., Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2012.

Egan, Kieran, Pengajaran yang Imajinatif, Jakarta: PT Indeks, 2009.

FKMT Penamas Departemen Agama Dki Jakarta dan Direktorat Pendidikan


Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Direktur Jenderal
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Metode Dakwah,
Jakarta: Departemen Agama RI, 2004.

Hafizh, Muhammad Nur Abdul, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung:


Penerbit Al-Bayan, 1997.

Hanafi, A., Segi-segi Kesusastraan Pada Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka


Alhusna, 1984.

Hidayat, D, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah


untuk Semua), Tangerang Selatan: PT. Karya Toha Putra & Bina
Masyarakat Qur’ani, 2002.

Hijazi, Muhammad Mahmud, Fenomena Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema


dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2010.

Kumpulan Artikel KOMPAS, ‘Sekolah’ Alternatif untuk Anak, Jakarta: PT


Kompas Media Nusantara, 2002.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an, 2012.

Majid, Abdul Aziz Abdul, Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2002.

Ma’rifat, Muhammad Hadi, Cerita-Cerita Al-Qur’an: Antara Fakta dan


Metafora, Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013.

Mursy, Muhammad Sa’id, Seni Mendidik Anak, Jakarta: Arroyan, 2001.

Najati, Muhammad Utsman, Psikologi Qurani: dari Jiwa hingga Ilmu Laduni,
Bandung: Penerbit MARJA, 2010.

Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan Multidisipliner, Jakarta: Rajawali


Pers, 2009.

-------------------, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.


74

Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,


Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Quthb, Sayyid, Indahnya Al-Qur’an Berkisah, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Shiddieqy, Teungku M. Hasbi ash-, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,


Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet. Ke-8. Vol. 10.

--------------------------, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah


Al-Qur’an, Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007, Cet I.

Shihab, M. Quraish, dkk, Ensiklopedi Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya,


Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002, jilid I.

Siswanto, Wahyudi, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasindo, 2008.

Sugono (ed), Dendy, Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 2, Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011.

Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1995.

Wahyudi, Ari, Model Pembelajaran Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah


Afektif Pada Pendidikan Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16. Edisi Khusus I, Juni
2010.

Widyastono, Herry, Mengembangkan Kreativitas Peserta Didik Dalam


Pembelajaran, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 15. November
2009.

Yahya, Harun, Misinterpretasi Terhadap Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan


dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2001.
UJI REFERENSI

Seluruh referensi yang digunakan dalam penelitian skripsi dengan judul


“Karakteristik Metode Pembelajaran Cerita dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash
Ayat 76-81” yang disusun oleh MUHAMMAD IDHAM KHALID, NIM.
109011000163, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah disetujui
kebenarannya oleh dosen pembimbing skripsi pada hari Jumat, 31 Januari 2014.

Jakarta, 31 Januari 2014


Dosen Pembimbing

M. Sholeh Hasan, Lc., MA.


NIP. 19710214 2006041 018
DAFTAR REFERENSI

No No Bab Halaman Referensi Paraf


Footnote Skripsi
1. 1 1 1 Ari Wahyudi. Model Pembelajaran
Berbasis Komik Untuk Mencapai Ranah
Afektif Pada Pendidikan
Kewarganegaraan Bagi Anak Berkesulitan
Belajar. (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus I, Juni
2010. h. 43-44.
2. 2 1 1 Herry Widyastono. Mengembangkan
Kreativitas Peserta Didik Dalam
Pembelajaran. (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan) Vol. 15. November 2009. h.
1020.
3. 3 1 1 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam.
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 91-
92.
4. 4 1 2 Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik,
(Jakarta: Penerbit Alhuda, 2006), h. 315.
5. 5 1 2 F. Rene Van de Carr, dan Marc Lehrer,
Cara Baru Mendidik Anak Sejak Dalam
Kandungan. (Bandung: Penerbit Kaifa,
2000), h. 132.
6. 6 1 2 Kieran Egan, Pengajaran Yang Imajinatif,
(Jakarta: PT Indeks, 2009), h. 12-13.
7 7 1 3 Shalah Al-Khalidy, Kisah-Kisah Al qur’an
Pelajaran dari Orang-orang Dahulu.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 16.
8 8 1 3 Amini, op. Cit., h. 316.
9 9 1 4 Aidh bin Abdullah Al-Qarni, Al-Qur’an
Menjadikan Hidup Lebih Berarti, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim, 2005), h. 21.
10 10 1 5 Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-
Qur’an, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra
Muslim, 2003), h. 111.
11 11 1 5 A. Hanafi, Segi-segi Kesusastraan Pada
Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), h. 22.
12 12 1 6 Nunu Achdiat, Seni Berkisah: Memandu
Anak Memahami Al-Qur’an, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 78.
13 13 1 6 Ibid.
14 14 1 6 Oos M. Anwas. Televisi Mendidik
Karakter Bangsa: Harapan dan
Tantangan. (Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan) Vol. 16 Edisi Khusus III,
Oktober 2010. h. 259.

15 1 2 10 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan


Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 283.
16 2 2 10 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik
dengan Cerita, Terjemah Neneng Yanti
dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT
Remaja Rosda Kalya, 2001), h. 8.
17 3 2 10 Muhammad Sa’id Mursy, Seni Mendidik
Anak, (Jakarta: Arroyan, 2001), h. 117.
18 4 2 11 A. Hanafi, Segi-Segi Kesusastraan Pada
Kisah-Kisah Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1984), Cet.1 h.15.
19 5 2 11 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori
Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008),
h.140.
20 6 2 12 Dendy Sugono (ed), Buku Praktis Bahasa
Indonesia Jilid 2, (Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2011), Cet.7
h.126.
21 7 2 14 Hanafi, op. cit., h.15-17.
22 8 2 14 Siswanto, op. cit., h.72-81.
23 9 2 14 Hanafi, op. cit., h.19.
24 10 2 15 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian
Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005) h. 117.
25 11 2 15 Nurgiyantoro, op. cit., h.127.
26 12 2 15 Siswanto, op. cit., h. 143.
27 13 2 16 Nurgiyantoro, op. cit., h.227-232
28 14 2 17 Siswanto, op. cit., h. 158.
29 15 2 17 Nurgiyantoro, op. cit., h.310-311.
30 16 2 17 Siswanto, op. cit., h. 162.
31 17 2 18 Kumpulan Artikel KOMPAS. ‘Sekolah’
Alternatif untuk Anak, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2002), hal.4.
32 18 2 19 FKMT Penamas Departemen Agama Dki
Jakarta dan Direktorat Pendidikan Agama
Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan
Masjid Direktur Jenderal Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama RI,
Metode Dakwah, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2004) hlm 128.
33 19 2 20 Harun Yahya. Misinterpretasi Terhadap
Al-Qur’an Mewaspadai Penyimpangan
dalam Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta:
Robbani Press, 2001), h. 72.
34 20 2 20 Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 123.
35 21 2 20 Syaikh Muhammad Al-Ghazali. Al-Qur’an
Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan
Kitab Suci Dalam Konteks Masa Kini,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 88.
36 22 2 20 Manna’ Khalil al-Qattan. Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera
AntarNusa, 2007), h. 437.
37 23 2 22 Shalah Al Khalidy, Cerita-Cerita Al-
Qur’an: Pelajaran dari Orang-Orang
Terdahulu, (Jakarta: Gema Insani Press,
2000), h. 52.
38 24 2 22 Mursy, op. cit., h.118.
39 25 2 22 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.
159.
40 26 2 24 Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita
Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora,
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 47.
41 27 2 25 Muhammad Utsman Najati. Psikologi
Qurani: Dari Jiwa hingga Ilmu Laduni.
(Bandung: Penerbit MARJA, 2010), h.
155.
42 28 2 25 Ma’rifat, Op. cit, h. 33.
43 29 2 26 Ma’rifat, Op. cit, h. 33-38.
44 30 2 27 Najati, Op. cit, h. 156.
45 31 2 27 Abd. Rahman Dahlan. Kaidah-Kaidah
Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Mizan, 1997), h. 188.
46 32 2 29 Dahlan, op. cit., h.191.
47 33 2 31 Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena
Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema
dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), h. 74.
48 34 2 33 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
h.181-184.
49 35 2 35 Quthb, op. cit., h. 184-188.
50 36 2 36 Sulaiman ath-Tharawanah, Rahasia
Pilihan Kata dalam Al-Qur’an, (Jakarta:
Qisthi Press, 2004), h. 217-219.

51 1 3 37 Nashiruddin Baidan, Metodologi


Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, h. 31.
52 2 3 38 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam
dengan Multidisipliner, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 368.
53 1 4 42 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
(Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2007),
Cet VIII, Vol. 10. h. 403.
54 2 4 43 M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna,
Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah
Al-Qur’an, (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2007), Cet I, h. 80.
55 3 4 44 Ahmad Mustafa Al-Maraghi , Tafsir Al-
MAraghi, (Semarang: PT Karya Toha
Putra, 1993), h. 174-175.
56 4 4 45 Shihab. Op. cit, h. 413-415.
57 5 4 45 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori
Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h.72.
58 6 4 46 Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena
Keajaiban Al-Qur’an, Kesatuan Tema
dalam Al-Qur’an Al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani, 2010), h.343.
59 7 4 47 Siswanto, op. cit., h.75.
60 8 4 48 Muhammad Hadi Ma’rifat. Cerita-Cerita
Al-Qur’an: Antara Fakta dan Metafora.
(Yogyakarta: Penerbit Citra, 2013), h. 33.
61 9 4 49 Ma’rifat, op. cit., h.36.
62 10 4 49 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
Tafsir Ilmi Kisah Para Nabi Pra-Ibrahim
Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an, 2012) hlm 6.
63 11 4 51 Sulaiman ath-Tharawanah. Rahasia
Pilihan Kata dalam Al-Qur’an. (Jakarta:
Qisthi Press, 2004), h. 364.
64 12 4 52 Siswanto, op. cit., h.81.
65 13 4 52 D. Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-
Syawahid min Kalamil-Badi’ (Balaghah
untuk Semua), (Tangerang Selatan: PT.
Karya Toha Putra & Bina Masyarakat
Qur’ani, 2002), h.71.
66 14 4 53 Hanafi, op. cit., h.53.
67 15 4 53 Hanafi, op. cit., h.57.
68 16 4 54 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian
Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2005), h.117.
69 17 4 55 Quthb, op. cit., h.206-211.
70 18 4 57 Hanafi, op. cit., h.25-26.
71 19 4 57 Hijazi, op. cit., h.117.
72 20 4 58 Hanafi, op. cit., h.65.
73 21 4 58 D. Hidayat, op. cit., h.66.
74 22 4 58 M. Quraish Shihab, dkk. Ensiklopedi
Alquran Kajian Kosakata dan Tafsirnya,
(Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid I,
hal.1-2.
75 23 4 58 Ma’rifat, op. cit., h.56.
76 24 4 59 Hijazi, op. cit., h.371-372.
77 25 4 60 Hijazi, op. cit., h.373.
78 26 4 60 Dahlan, op. cit., h.187.
79 27 4 61 Sayyid Quthb, Indahnya Al-Qur’an
Berkisah, (Jakarta: Gema Insani, 2004),
h.189.
80 28 4 62 Quthb, op. cit., h.171.
81 29 4 63 Ma’rifat, op. cit., h.54.
82 30 4 63 Hijazi, op. cit., h.384.
83 31 4 65 Quthb, op. cit., h.182.
84 32 4 66 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
Kisah Para Nabi Pra Ibrahim dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
2012), h. 8.
85 33 4 68 Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru
Profesional. (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1995) h. 15.
86 34 4 68 Agus DS, Mendongeng Bareng Kak Agus
DS, Yuk..., (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2012), h. 98.
87 35 4 69 Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah, (Bandung:
Penerbit Al-Bayan, 1997), h. 306.
88 36 4 69 Abdul Aziz Abdul Majid, Mendidik
dengan Cerita, (Bandung: PT Remaja
Rosda Kalya, 2001), h. 26.
RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
1. Nama lengkap : Muhammad Idham Kholid
2. Tempat, tanggal lahir : Bekasi, 2 Desember 1991
3. NIM : 109011000163
4. Alamat rumah : Kp. Buaran Ds. Lambangsari RT 04/02
Kec. Tambun Selatan Kab. Bekasi
5. HP : 08998481127
6. Email : idamcloud@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. TK Al-Ittihad Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 1997
b. SDIT An-Nadwah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2003
c. MTs Al-Masthuriyah Cisaat Sukabumi, 2003-2005
d. MTs Ar-Raudhah Tambun Selatan Bekasi, lulus tahun 2006
e. MA At-Taqwa Pusat Putra Ujung Harapan Bekasi, lulus tahun
2009
f. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, lulus tahun 2014
2. Pendidikan Non-Formal
a. Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Pondok Pesantren Baitul Qurro’ Perumahan Ciputat Baru Ciputat

Jakarta, 30 April 2014

Muhammad Idham Khalid

Anda mungkin juga menyukai