Anda di halaman 1dari 87

“ JUAL BELI SALAM DALAM PERSPEKTIF HADIS

(Studi Kajian Tematik Hadis) “

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh :
Agus Maulana Yusuf
109034000075

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan sebagai salah satu

persyaratan untuk memenuhi gelar strata satu (S1) di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 17 April 2014

Agus Maulana Yusuf


ABSTRAK

Agus Maulana Yusuf

Jual Beli Salam dalam Perspektif Hadis

Jual beli salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannya


dilaksanakan ketika akad berlangsung dan penyerahan barang dilaksanakan di
akhir, sesuai dengan perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Jual beli salam telah diaplikasikan pada zaman Rasulullah, dan sampai
saat ini masih terus dilakukan dengan berbagai modifikasi dengan mengacu pada
hukum Islam.
Dalam skripsi ini penelitian tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan
jual beli salam ditelaah melalui al-Kutub al-Sittah yang diperjelas dengan
pendapat para ulama hadis mengenai jual beli salam dengan menggunakan
metode tematik.
Tujuan dari ditelitinya hadis tentang jual beli salam yaitu agar diketahui
hadis apa saja yang membahas tentang jual beli salam agar didapat pemahaman
yang mendalam tentang jual beli salam.

Kata kunci: Jual Beli Salam, Hadis, al-Kutub al-Sittah

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah yang maha

Esa yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah pada Nabi akhir zaman

dan kekasih Allah Muhammad SAW. keluarga beserta sahabatnya juga umatnya

yang mengharap syafa’at darinya sampai hari kebangkitan nanti.

Dengan Rahmat Allah SWT, penulis bersyukur karena telah

menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul “Jual Beli Salam Dalam

Perspektif Hadis (Studi Kajian Tematik Hadis)”.

Dalam proses menyelesaikan skripsi ini ada banyak motivasi dan doa dari

semua pihak, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk

itu perkenankanlah penulis mengucapkan kata terimakasih yang sedalam-

dalamnya kepada::

1. Dr. M. Isa HA. Salam, MA. Selaku dosen pembimbing yang senantiasa

membimbing, membantu dan meluangkan waktunya untuk memberikan

arahan, saran-saran, serta pengalaman yang sarat ilmu sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk

Bapak sekeluarga.

2. Dr.Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan

Jauhar Azizy, MA. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.

ii
3. Prof.Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof.Dr.Komarudin Hidayat, MA. Selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Para Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa

kuliah, semoga amal kebaikannya mendapat balasan di sisi Allah SWT.

6. Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Suwandi dan Ibunda Suhaebatul

Aslamiyah yang tak henti-hentinya memberikan dukungan baik secara

moril maupun materil serta doa demi lancarnya studi dan penulisan skripsi

ini, Semoga Allah menghadiahi mereka surga dan mengganjar kebaikan

mereka dengan pahala.

7. Kepada kakak saya Nurul Laelani dan adik saya Nur Syifa Hanifa yang

selalu memberi motivasi dan dukungannya kepada penulis

8. Para staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Pusat

Studi Quran dan Perpustakaan Islam Iman Jama’. terima kasih atas segala

referensi yang ada sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Terima kasih kepada Fitri Yunindya yang banyak membantu baik waktu,

tenaga, dan juga motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2009 khususnya

Tafsir Hadis C : Dimas Yediya Satria Adiguna, Sahlan Shohri Badawi,

Ahmad Damanhuri AR, Heri, Ahmad Gunawan, Mukmin Mulyana,

iii
Muhammadun, Taufik Akbar, Zaenal Muid, Ayu, Lia, Azizatul Iffah dan

Nasroh.

Dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak, semoga kebaikan dan

bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah SWT.

Penulis meminta maaf karena terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam

skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat memperbaiki skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya.

Jakarta , 17 April 2014

Agus Maulana Yusuf

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 6

C. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8

E. Metode Penelitian.................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan.............................................................. 9

BAB II LANDASAN TEORI

A. Jual Beli

1. Pengertian Jual beli .......................................................... 11

2. Macam-macam Jual Beli .................................................. 13

3. Rukun Jual Beli ................................................................ 15

4. Syarat Jual Beli................................................................. 16

5. Skema Jual Beli ................................................................ 21

6. Hukum Jual Beli ............................................................... 21

v
B. Jual Beli Salam

1. Pengertian Jual Beli Salam ............................................... 22

2. Dasar Hukum Jual Beli Salam .......................................... 24

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Salam.................................... 26

BAB III HADIS-HADIS TENTANG JUAL BELI SALAM

A. Hadis Jual Beli Salam Dengan Takaran, Timbangan dan Waktu

yang Diketahui

1. Teks Hadis ........................................................................ 35

2. Asbabul Wurud Hadis ...................................................... 36

3. Syarah Hadis .................................................................... 37

4. Analisa Hadis ................................................................... 39

B. Hadis tentang kepemilikan pokok dalam jual beli salam

1. Teks Hadis ........................................................................ 42

2. Asbabul Wurud Hadis ...................................................... 44

3. Syarah Hadis .................................................................... 44

4. Analisa Hadis ................................................................... 47

C. Hadis Tentang Larangan Mengalihkan Akad Jual Beli Salam

1. Teks Hadis ........................................................................ 48

2. Syarah Hadis ..................................................................... 48

3. Analisa Hadis .................................................................... 49

vi
D. Hadis Jual Beli Salam Pada Kurma

1. Teks Hadis ........................................................................ 51

2. Asbabul Wurud Hadis....................................................... 52

3. Syarah Hadis ..................................................................... 53

4. Analisa Hadis .................................................................... 55

E. Pendapat Ulama Tentang Jual Beli Salam ............................. 56


F. Aplikasi Jual Beli Salam Dalam Bisnis Kontemporer ........... 62
G. Hikmah Jual Beli Salam ......................................................... 64

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 66

B. Saran ....................................................................................... 67

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 68

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini


berpedoman pada buku pedoman akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013/2014.
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ Ts Te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H H dengan garis bawah

‫خ‬ Kh Ka dan ha

‫د‬ D Da

‫ذ‬ Dz De dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy Es dan ye

‫ص‬ S Es dengan garis bawah

‫ض‬ D De dengan garis bawah

‫ط‬ T Te dengan garis bawah

‫ظ‬ Z Zet dengan garis bawah

‫ع‬ ‘ Koma terbalik keatas, menghadap kekanan

‫غ‬ Gh Ge dan ha
‫ف‬ F Ef
‫ق‬ Q Ki

viii
‫ك‬ K Ka
‫ل‬ L El
‫م‬ M Em
‫ن‬ N En
‫و‬ W We
H Ha
‫ء‬ ‘ Apostrop
Y Ye

Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal
alihaksaranya adalah sebagaiberikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Dammah

Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :


TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
_______ ai a dan i
_______ au a dan u

Vokal Panjang(Madd)
Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
‫ـــــﺄ‬ â a dengan topi diatas
‫ـــــﻲ‬ î i dengan topi diatas
‫ــــــﻮ‬ û u dengan topi diatas

ix
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf
Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan
ad-diwan.
Syaddah (Tashdid).
Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.Misalnya yang
secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-
darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh :
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طريقة‬ Tarîqah
2 ‫الجامعة االسالمية‬ al-jâmiah al-islâmiyah
3 ‫وحدة الﻮجﻮد‬ Wahdat al-wujud

Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara
ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain

x
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu
Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena jual beli dalam kehidupan sehari-hari merupakan kegiatan yang

menjadi kebiasaan masyarakat. Masyarakat Indonesia khususnya, banyak sekali

yang berprofesi sebagai pedagang. Jual beli diatur juga dalam Islam. Secara

bahasa jual beli ) ( artinya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan

sesuatu yang lain). Kata ) ( dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk

pengertian lawannya, yaitu kata ) ( (beli). Dengan demikian kata ) ( berarti

kata “Jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.1

Secara terminologi jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang

yang lain dengan cara tertentu (akad).2 Islam mendorong jual-beli sebagai jalan

untuk memenuhi kebutuhan hidup dan merumuskan tata-cara untuk memperoleh

harta.

Salah satu cara pengembangan dan pemanfaatan harta milik pribadi adalah

dengan berbagai transaksi bisnis secara syariah salah satunya dengan jual beli.

Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan dengan catatan sesuai dengan

1
M. Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ( Jakarta:
Rajawali Press, 2002), h. 113
2
Ibrahim Lubis. “Ekonomi Islam Suatu Pengantar II” (Jakarta: Kalam Mulia , 2005)
h.336

1
2

tuntunan ajaran Islam.3 Sebagaimana tercantum didalam al-Quran (QS al-

Baqarah : 275)

         

            

            

           
Artinya;
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu. (Q.S al-Baqarah ayat 275)4.

Dalam praktik jual beli terkadang seorang penjual menemui pembeli yang

mencari barang sesuai dengan spesifikasi tertentu dan barang tersebut tidak

dimiliki oleh pedagang tersebut. Dalam situasi seperti ini, pedagang tidak jarang

langsung melakukan jual-beli dengan konsumen, seolah-olah dia telah memiliki

barang yang dikehendaki, kemudian ia mencari barang tersebut ke pedagang lain.

Setelah barang didapat, baru ia serahkan kepada si pembeli. Praktek seperti ini

dilarang oleh Rasulullah Saw. karena menjual sesuatu yang belum dimiliki,

sebagaimana diterangkan dalam hadits:

3
http://enambelas-blog.blogspot.com/2012/02/hukum-bisnis-online-menurut-islam.html
diakses pada Maret 2013.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung : Sigma
Examedia,2009.
3

Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami
Abû `Awânah, dari Abî Bisyri, dari Yûsuf bin Mâhak, dari Hakîm bin Hizâm,
beliau berkata: Aku berkata, “wahai Rasulullah, ada seseorang yang
mendatangiku, kemudian dia ingin membeli barang yang belum aku miliki.
Bolehkah aku membelikan untuknya barang yang dia inginkan di pasar?”
Kemudian, Nabi bersabda, “Janganlah kau menjual barang yang belum kau
miliki”. (H.R Abû Dâud).

Syariah Islam memberikan solusi, yaitu konsep jual-beli salam atau salaf.

Dengan jual-beli seperti ini, penjual harus jujur kepada calon pembeli bahwa

barang yang dia inginkan tidak ada, namun penjual boleh memberi tawaran

kepada calon pembeli apakah mau memesan barang tersebut kepadanya sehingga

penjual itu dapat menyerahkan barang tersebut pada masa yang akan datang.

Kalau pembeli menolak maka jual beli berakhir, tapi jika menerima maka

dilakukan jual-beli salam (pemesanan dengan pembayaran di muka).

Secara umum, bisnis dalam Islam menjelaskan adanya transaksi yang

bersifat fisik, dengan menghadirkan benda tersebut ketika transaksi, atau tanpa

menghadirkan benda yang dipesan, tetapi dengan ketentuan harus dinyatakan sifat

benda secara nyata, baik diserahkan langsung atau diserahkan kemudian sampai

batas waktu tertentu, seperti dalam transaksi as-salam dan transaksi al-istishna.

5
Sulaiman bin al-Asy’ats Sijistany, Abû Dâud Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), juz 3, h. 302.
4

Jual beli salam secara terminologi berarti menjual suatu barang yang ciri-

cirinya disebutkan secara jelas dengan pembayaran terlebih dahulu, sedangkan

barangnya diserahkan di kemudian hari.6 Di dalam masyarakat, transaksi ini lebih

dikenal dengan jual beli pesanan atau indent. Banyak orang yang menyamakan

bai’ salam dengan ijon, padahal terdapat perbedaan besar terhadap keduanya.

Dalam ijon, barang yang diberi tidak dapat diukur atau ditimbang secara pasti,

demikian pula penetapan harga beli yang sangat bergantung kepada keputusan

sepihak dan tengkulak. Dalam transaksi salam mengharuskan adanya pengukuran

atau spesifikasi barang yang jelas dan keridhaan para pihak.7

Sedangkan transaksi al-istishna‟ merupakan bentuk transaksi dengan sistem

pembayaran secara disegerakan atau secara ditangguhkan sesuai kesepakatan dan

penyerahan barang yang ditangguhkan8.

Rasulullah SAW bersabda :

6
M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam-Fiqh Muamalat, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2003). h. 143
7
Gemala Dewi, Aspek-aspek hukum dalam perbankan & perasuransian syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 9
8
Andri Soemitra, M.A Bank & Lembaga Keuangan Syariah , (Jakarta: Kencana, 2009) h.
81
9
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Bairut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1987. Kitab Tijarat
Juz III h. 382
5

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami Hisyâm bin Ammâr, Sufyân bin Uyainah ,
dari Ibn Abî Najîh ,dari Abdullâh bin Katsîr, dari Abî al-minhâl, Dari Ibnu Abbâs,
Berkata: “Rasulullah datang ke Madinah pada saat penduduknya menyerahkan
salaf (menyerahkan uang terlebih dahulu sebelum menerima barang) berupa
kurma selama satu dan dua tahun.-Atau dia berkata dua atau tiga tahun”.
Rasulullah SAW pun bersabda: “barang siapa melakukan salaf, maka hendaklah
dia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan dengan
waktu yang sudah ditentukan. (HR. Ibnu Mâjah)
Islam sebagai suatu agama yang rahmatan lil „âlamîn tidak hanya memuat

tentang hablum minâllah saja, tetapi juga mengatur tentang hablum minannâs

yang baik kepada sesama manusia khususnya dalam hal bermuamalat.

Penerapan jual beli salam pada awal perkembangan Islam masih bersifat

sederhana dibandingkan dengan aplikasinya yang saat ini lebih modern dan

kontemporer. Transaksi salam, sebagaimana model transaksi jual beli lainnya

telah ada, bahkan sebelum kedatangan Nabi Muhammad, sebagai bentuk transaksi

yang ada sejak lama, dan dipraktekkan dalam masyarakat luas. Dalam transaksi

ini terlampir seperangkat aturan yang tercantum dalam Al-Qur’an, Hadis, dan

Ijma’ para Ulama’ akan tetapi dengan berkembangnya kemajuan zaman, yang

ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, membawa manusia

pada perubahan yang signifikan yaitu perkembangan transaksi salam dengan

media elektronik seperti internet.

Atas dasar pertimbangan tersebut, maka penulis tertarik untuk

mengungkapkan kajian penulisan skripsi dengan judul “JUAL BELI SALAM

DALAM PERSPEKTIF HADIS (Studi Kajian Tematik Hadis)”.


6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam mengkaji dan meneliti suatu masalah baik berupa data ataupun yang

lainnya, diperlukan pembatasan dan perumusan masalah, agar lebih jelas dan

terfokus arah pembahasan yang akan diuraikan nanti

1. Pembatasan masalah

Penulis melakukan pengumpulan hadis-hadis tentang jual beli salam

dengan metode Takhrij Hadis melalui matan, yaitu metode penulusuran kata atau

lafal pada salah satu kamus hadis yang penulis gunakan, yaitu “Mu`jam al-

Mufahrâs li al-Fâz al-Hadîs”. Kata kunci yang digunakan ialah , karena

kata memiliki makna yang sama dengan yang memiliki arti

mendahulukan.

Setelah dilakukan penelusuran, penulis menemukan hadis-hadis yang

membahas jual beli salam sebanyak 129 hadis. Penulis membatasi penelusuran

hanya pada al-kutub al-sittah saja, yang berjumlah 20 hadis, karena enam kitab

inilah yang mu‟tabarah atau induk-induk dari hadis, yang lebih didapati

keunggulannya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana jual beli salam menurut perspektif hadis ditinjau dari kajian

tematik ?

2. Bagaimana aplikasi jual beli salam dalam bisnis kontemporer ?


7

C. Tinjauan Pustaka

Dari penelusuran pustaka yang penulis lakukan, terdapat dua skripsi yang

berbicara tentang jual beli yaitu :

1. ”Hadis-hadis tentang praktik-praktik yang terlarang dalam jual beli”

karya Maman Firmansyah, jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini

menjelaskan tentang:

a. Tinjauan umum jual beli menurut hukum islam, hadis-hadis

tentang praktik-praktik yang terlarang dalam jual beli, analisis

pemahaman teks hadis dan hikmah larangan menipu dalam jual-

beli.

b. Pemahaman ulama mengenai hadis-hadis rasul tentang transaksi

yang terlarang sudah sangat jelas, bahwa unsur kejelasan pada

nilai, kadar, jenis dan kondisi barang sebagai syarat sah dalam jual

beli.

c. Rasul melarang praktik-praktik yang tidak adil dan menjurus

kepada tindakan tidak jujur dan zalim, seperti penipuan,

ketidakpastian, keragu-raguan dan pengambilan untung yang

berlebih.

d. Prinsip jual beli adalah saling ridha.

2. “Takhrij hadis kitab syarh sullâm al-taufiq sebuah kajian sanad dalam

bab al-manhiyât min al-buyû` (larangan-larangan dalam jual beli)”.

Karya Ahmad Fatahillah Tahun 2009, jurusan Tafsir Hadis. Skripsi ini

membahas kajian analisis sanad dalam bab al-manhiyât min al-buyû‟


8

dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh: al-Baihaqi, Ibnu Hibbân, Abu

Dawud, al-Turmuzî, Ibn Mâjah, al-Darimi, al-Tabrânî, Ibn Asâkir dan

al-Dailami. Dari penelitiian terhadap kualitas sanad hadis bab larangan

dalam jual beli dalam kitab Syarh sullâm at-Taufiq yang berjumlah 10

hadis, ternyata terindikasi adanya hadis yang dhaif sehingga hadis

tersebut tidak dapat dijadikan argumentasi dalam kehidupan sehari-

hadis.

Dari karya ilmiah yang telah ditelusuri penulis, tidak ditemukan adanya

tulisan yang membahas tentang jual beli salam. Perbedaan kajian dalam skripsi ini

dari karya tulis lain, adalah titik fokus penulis pada jual beli salam perspektif

hadis menggunakan studi tematik serta aplikasinya dalam transaksi bisnis

kontemporer.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari skripsi ini adalah guna mengembangkan

ilmu pengetahuan juga untuk menambah khazanah keilmuan penulis (khususnya)

dalam bidang ilmu hadis. Serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana

strata satu (S1) pada program studi Tafsir hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian yang penulis lakukan mempunyai manfaat :

1. Memberikan informasi tentang jual beli salam dalam tinjauan hadis.

2. Memberikan inspirasi bagi kajian Islam terutama dikajian hadis yang

penulis lakukan sekarang ini.


9

E. Metodologi Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan sepenuhnya studi

kepustakaan (Library Research) dan terdiri dari dua sumber, sumber utama

(primary resource) dan sumber kedua (secondary resource). sumber utama seperti

kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fadz al-Hadis al-Nabawi karya A.J. Wensink,

Sahîh Bukhârî karya Imam Bukhari, Sahîh Muslim karya Imam Muslim, Sunan

al-Tirmidzî karya Imam Tirmidzi, Sunan Abû Daud karya Abu Daud, Sunan Nasâi

karya Imam Nasâi, Sunan Ibnu Mâjah karya Ibnu Majah.

Sedangkan sumber kedua merupakan sumber pendukung yang masih ada

relevansinya dengan topik di atas berupa buku-buku yang memuat keterangan

tentang hadis tersebut dan sumber-sumber informasi lainnya.

Dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan

metode deskripsi analitis, yakni melalui pengumpulan data dan pendapat

muhadditsin untuk kemudian dijadikan sebuah kesimpulan. Dan dalam teknik

penulisan skripsi ini penulis mengacu kepada buku Pedoman Akademik UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013/2014.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari empat bab dan dari masing-masing bab terdiri dari

sub-sub bab. Adapun sistematika yang penulis buat adalah sebagai berikut :

Bab I, Pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat penulisan metodologi

penulisan dan sistematika penulisan.


10

Bab II, Menjelaskan masalah seputar jual beli; pengertian jual beli, macam-

macam jual beli dan syarat-syarat jual beli. Kemudian akan di bahas juga

mengenai jual beli salam; pengertian jual beli salam, syarat-syarat jual beli salam

dan hukum jual beli salam dalam islam.

Bab III, Teks-teks hadis tentang jual beli salam dalam al-Kutub al-Sittah, Asbabul

Wurud Hadis, Kualitas Hadis, Syarah Hadis tentang jual beli salam, Pendapat

Ulama Tentang Jual Beli Salam serta aplikasi salam dalam bisnis kontemporer

Bab IV, merupakan bab akhir yang memuat tentang kesimpulan dan saran-saran

dari penulis kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang

penulis gunakan sebagai sumber dalam penelitian ini.


BAB II

LANDASAN TEORI JUAL BELI SALAM

A. Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Secara terminologi kata memiliki beberapa definisi. Ada yang

mengartikannya menjual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang

lain).Karena kata dalam bahasa arab terkadang digunakan untuk pengertian

lawannya, yaitu kata (beli). Dengan demikian kata berarti kata

“Jual” dan sekaligus juga berarti kata “beli”.1

Adapula definisi lain yang mengartikan kata mengambil sesuatu dan

menyerahkan sesuatu, walaupun pengambilan dan penyerahan tersebut dalam

rangka peminjaman atau penitipan, karena kata berasal dari kata /

lengan( karena pada proses jual beli, masing-masing pelakunya menjulurkan

lengannya kepada yang lain.2

1
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002, h. 113.
2
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 53.

11
12

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata jual beli memiliki

arti: Persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan

barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.3

Secara Etimologi makna jual beli sangat banyak ragamnya, antara lain:

a. Oleh Ulama Hanafiyah: “ Saling menukarkan harta dengan harta melalui

cara tertentu”, atau “Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang

sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”

b. Said Sabiq : “Saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka”

c. Imam al-Nawawî : “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk

pemindahan milik”

d. Abu Qudamah : “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk

pemindahan milik dan kepemilikan”4

e. Menurut Arief Masdoeki dan Tirta Amidjaja, “ Jual beli adalah suatu

persetujuan antara dua pihak; dimana pihak kesatu berjanji akan

menyerahkan suatu barang dan pihak lain akan membayar harga yang telah

disetujuinya”5

f. Ahmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata I B menyebutkan, “Jual beli

adalah suatu persetujuan antara si penjual dan si pembeli dalam mana si

penjual berjanji akan menyerahkan suatu benda dengan harga yang telah

3
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Cet. 1, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, abjad J,h.366
4
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002, h. 114
5
Arief Masdoeki dan Tirta Amidjaja, Azas dan Dasar Hukum Perdata, (Jakarta:
Djambatan, 1963), h.142 dalam buku Drs. H. Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif
Hukum Perdata dan Hukum Islam (Jakarta:Kiswah,2004) h.11
13

ditentukan, sedangkan si penjual berjanji akan membayar harga benda itu

kepada si penjual.”6

g. Ahmad Subekti menyatakan, “Jual beli menurut hukum perdata adalah suatu

perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji

untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang

lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah

uang sebagai imbalan dari peralihan hak milik tersebut.”7

Dari Ragam makna jual beli yang telah diungkapkan diatas, dapat

disimpulkan bahwa jual beli adalah proses menukar suatu barang dengan barang

atau menukar barang dengan uang, yaitu dengan jalan melepaskan hak

kepemilikan dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.

2. Macam-macam Jual Beli

Jual beli dari sisi objek dagangan,ditinjau dari sisi ini, jual beli dibagi

menjadi tiga jenis:

a) Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.

b) Jual beli al-sarf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang.

6
Achmad Ichsan, Hukum Perdata I B, (t.t.:Pembimbing Masa, 1967). H.101 Drs. H.
Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam
(Jakarta:Kiswah,2004)h.12
7
Ahmad Subekti, Aneka Perjanjian , (Bandung: Alumni,1975) h.11 dalam buku Drs. H.
Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam
(Jakarta:Kiswah,2004) h.13
14

c) Jual beli Muqâyadah atau barter, yakni menukar barang dengan barang.8

1) Jual beli dari sisi Standarisasi Harga

a. Jual beli Bargaen (Tawar-Menawar). Yakni jual beli dimana

penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

b. Jual beli Amânah. Yakni jual beli dimana penjual

memberitahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli

ini, jenis jual beli tersebut terbagi menjadi 5 jenis lain:

1. Jual beli Murâbahah, yakni jual beli dengan modal dan

prosentase keuntungan yang diketahui.

2. Jual beli Wadi’ah, yakni jual beli dengan harga dibawah

modal dan jumlah kerugian yang diketahui.

3. Jual beli tauliyah, yakni jual beli dengan menjual arang

dengan harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.

4. Jual beli Isyrak, yakni menjual sebagian barang dengan

sebagian uang bayaran.

5. Jual beli Mustarsal, yakni Jual beli dengan harga pasar.9

c. Jual beli Muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual

menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling

menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli

8
Shalah as-Shawi, dan Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul
Haq, 2004. h.88.
9
Shalah as-Shawi, dan Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul
Haq, 2004. h.89.
15

sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi

dari para pembeli tersebut.

Kebalikannya disebut jual beli munaqâsah (obral). Yakni si pembeli

menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual

berlomba menawarkan dagangannya, kemudian si pembeli akan membeli dengan

harga termurah yang mereka tawarkan.10

2) Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran

Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:

a) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

b) Jual beli dengan pembayaran tertunda

c) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda

d) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran yang sama-sama

tertunda.11

3.Rukun Jual Beli

Menurut Jumhur ulama rukun jual beli itu ada empat:

1. Orang yang berakad (Penjual dan Pembeli)

2. Ijab dan Qabul

3. Ada barang yang dibeli

4. Ada nilai tukar pengganti barang12

10
Shalah as-Shawi, dan Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul
Haq, 2004. h.89.
11
Shalah as-Shawi, dan Abdullah Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta:
Darul Haq, 2004. h.89.
16

4. Syarat-syarat jual beli

a. Ijab dan Qabul

Yang dimaksud dengan ijab ialah: Perkataan yang diucapkan oleh penjual

atau yang mewakilinya. Dan yang dimaksud Qabul ialah perkataan yang

diucapkan oleh pembeli atau yang mewakilinya13.

b. Kedua pihak (penjual dan pembeli) saling ridha

Kedua belah pihak yang menjalankan akad jual beli harus sama sama suka

dan rela, maksudnya masing-masing dari penjual dan pembeli sama sama ridha

dengan akad tersebut, tanpa ada unsur paksaan14. Dasar persyaratan ini adalah:

          

             

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Qs an-Nisa:29)

Artinya kedua pihak saling sepakat. Mengenai “sepakat”, Subekti

menjelaskan “ Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan dimaksudkan

12
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002, h. 118.
13
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 119.
14
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 123.
17

bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau

seiya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. 15

Dalam perjanjian jual beli, kata sepakat antara kedua belah pihak

merupakan suatu hal yang paling penting. Oleh sebab itu, tanpa syarat sepakat ini

perjanjian jual beli tidak sah dan tidak akan terjadi.16

c. Jual beli dilakukan oleh orang yang dibenarkan untuk melakukannya

Orang yang dibolehkan untuk menjalankan akad jual beli ialah orang yang

memenuhi empat kriteria; merdeka, telah baligh, berakal sehat dan Rasyid

(mampu membelanjakan hartanya dengan baik dalam hal-hal yang berguna).17

Penjualan dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa(baligh). Tidak

sah perjanjian jual beli itu dilakukan oleh orang-orang yang belum dewasa atau

masih anak-anak kecuali dalam hal-hal tertentu.

Sehat akal dan mental. Penjual atau pembeli tidak dalam keadaan gila,

mabuk atau terganggu mentalnya.

15
Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam
Jakarta: Kiswah, 2004, h. 17.
16
Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam
Jakarta: Kiswah, 2004, h. 18.
17
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 126.
18

d. Barang yang diperjual belikan kegunaannya halal

Kegunaan barang yang hendak diperjual belikan harus dihalalkan dalam

syariat, dan kehalalan tersebut berlaku pada setiap saat, walau tidak dalam

keadaan terpaksa. Dengan demikian persyaratan ini pada hakekatnya terdiri dari

tiga poin:

1) Barang tersebut memiliki kegunaan atau manfaat.

2) Kegunaan barang tersebut dihalalkan

3) Dihalalkannya kegunaan barang tersebut dalam segala keadaan dan situasi

bukan dalam keadaan tertentu, yaitu bila dalam keadaan terpaksa saja, atau

hanya bila diperlukan saja dan dengan penggunaan yang terbatas pula.18

e. Yang menjalankan Akad jual beli adalah pemilik atau yang

mewakilinya

Orang yang berhak mewakili pemilik hak/barang, ada empat orang:

Perwakilan, yang diwasiati, wali dan pengurus wakaf (an-Nadzir) mereka itulah

yang berhak mewakili pemilik barang.

f. Barang yang diperjual belikan dapat diserah-terimakan

Barang yang diperjual belikan dapat diserah-terimakan kepada yang

berhak menerimanya, sehingga masing-masing dari penjual dan pembeli dapat

18
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 131.
19

menerima barang yang menjadi miliknya dan menyerahkan barang yang

berpindah kepemilikan darinya.19

g. Barang yang diperjual-belikan telah diketahui oleh kedua belah pihak

Masing-masing dari penjual dan pembeli ketika hendak mengadakan akad

jual beli, maka mereka harus mengetahui barang yang akan mereka perjual-

belikan, baik dengan cara dilihat atau disebutkan sifatnya atau dengan cara

lainnya.20

Dalil yang menunjukkan bahwa pengetahuan terhadap barang, cukup

diperoleh melalui pengetahuan tentang kriteria barang adalah:

Rasulullah SAW bersabda :

21

Artinya:

Telah menceritakan kepada kami Hisyâm bin Ammâr, Sufyân bin Uyainah ,
dari Ibn Abî Najîh ,dari Abdullâh bin Katsîr, dari Abî al-Minhâl, Dari Ibnu Abbâs,
Berkata: Rasulullah datang ke Madinah pada saat penduduknya menyerahkan
salaf (menyerahkan uang terlebih dahulu sebelum menerima barang) berupa
kurma selama satu dan dua tahun.-Atau dia berkata dua atau tiga tahun”.

19
Muhammad Arifin bin Badri. Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 169.
20
Muhammad Arifin bin Badri. Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 177.
21
Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majâh. Bairut: Dȃ r al-Kitab al-Lubnani, 1987. Kitab
Tijarat Juz III h. 382.
20

Rasulullah SAW pun bersabda: “barang siapa melakukan salaf, maka hendaklah
dia melakukannya dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan waktu
yang sudah ditentukan.” (HR. Ibnu Mâjah)
h. Harga Barang ditentukan dengan jelas ketika Akad

Harga barang yang diperjual-belikan harus jelas ketika akad berlangsung.

Sehingga tidak dibenarkan bagi mereka untuk berpisah sebelum harga barang

yang mereka perjual-belikan telah disepakati dengan jelas, dan tidak ada

sedikitpun perbedaan antara keduanya. Bila ketika kedua belah pihak berpisah dan

barang telah dibawa pembeli, akan tetapi harga barang belum disepakati oleh

keduanya, maka penjualan ini tidak sah, sebab penjualan dengan cara seperti ini

termasuk salah satu bentuk ketidak-jelasan yang akan memicu terjadinya

perselisihan dan pertentangan.22

22
Muhammad Arifin bin Badri, Sifat Perniagaan Nabi SAW Panduan Praktis Fiqih
Perniagaan Islam Bogor: DARUL ILMI PUBLISHING, 2012, h. 188.
21

1. Skema Jual Beli23

2. Penyerahan Barang Sekarang

1. Akad Bai’
Penjual ( al- Pembeli (al-
B`âi) Musytarî`)

3.pembayaran secara tunai, tangguh, ataupun dicicil

Pada skema diatas penyerahan barang dari penjual ke pembeli berlangsung

saat itu juga. Sedangkan pembayarannya dapat dilakukan dalam tiga hal: tunai,

tangguh dan dicicil.

5. Hukum Jual Beli

Secara asalnya, jual beli merupakan hal yang hukumnya mubah atau

dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Imam Al-Syâfi`I : dasar hukum jual beli itu

seluruhnya mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua belah pihak.

Kecuali apabila jual beli itu dilarang oleh Rasul SAW, atau yang maknanya

termasuk yang dilarang beliau.24

23
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2007, h. 39
24
Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Zuhaili jilid 4 h. 364
22

B. Jual Beli Salam

1. Pengertian Jual Beli Salam

salam dalam istilah Fiqih disebut juga salaf. Secara etimologi, kedua kata

memiliki makna yang sama, yaitu mendahulukan pembayaran dan mengakhirkan

barang. Penggunaan kata salam biasanya digunakan oleh orang-orang Hijaz,

sedangkan penggunaan kata salaf biasanya digunakan oleh orang-orang Irak.25

Secara terminologi, jual beli salam memiliki ragam makna, antara lain:

a. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanbal : “Akad yang disepakati

dengan menentukan ciri-ciri tertentu dengan membayar harganya

lebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan kemudian dalam

suatu majlis akad”.26

b. Menurut Ulama Malikiyah : “Suatu akad jual beli yang modalnya

dibayar terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan

kemudian hari”27

c. Menurut Sayyid Sabiq, salam atau salaf (pendahuluan) adalah

penjualan sesuatu dengan kriteria tertentu (yang masih berada)

dalam tanggungan dengan pembayaran segera atau disegerakan.28

25
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002, h.143.
26
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz IV , (Damaskus: Darul
Fikr,2008), h. 359.
27
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002,h.144.
28
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah , Juz 12 , (Bandung: Al-Ma’arif, 1988). 110.
23

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

jual beli salam adalah transaksi jual beli yang pembayarannya dilaksanakan ketika

akad berlangsung dan penyerahan barang dilaksanakan di akhir, sesuai dengan

perjanjian yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Berbeda dengan jual beli kredit yang pembayarannya dicicil, jual beli

salam mengharuskan pembeli membayar dimuka, kemudian barangnya

diserahkan di kemudian hari.

Dalam menggunakan akad salam, hendaknya menyebutkan sifat-sifat dari

objek jual beli salam yang mungkin bisa dijangkau oleh pembeli, baik berupa

barang yang bisa ditakar, ditimbang maupun diukur. Disebutkan juga jenisnya dan

semua identitas yang melekat pada barang yang dipertukarkan yang menyangkut

kualitas barang tersebut. Jual beli salam juga dapat berlaku untuk mengimport

barang-barang dari luar negeri dengan menyebutkan sifat-sifatnya, kualitasnya

dan kuantitasnya. Penyerahan uang muka dan penyerahan barangnya dapat

dibicarakan bersama dan biasanya dibuat dalam suatu perjanjian. 29 Dalam dunia

bisnis modern, bentuk jual beli salam dikenal dengan pembelian dengan cara

pesan (indent)30. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk saling membantu

dan menguntungkan antara konsumen dan produsen.

29
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat ) Jakarta:
Rajawali Press, 2002, h.144.
30
Mustafa Kemal, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), h.356.
24

2. Dasar Hukum Jual beli salam

a. Al-Quran, Surat al-Baqarah ayat 282 :

…           

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.31.
b. Hadis Rasulullah SAW

32

Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hisyâm bin Ammâr, Sufyân bin Uyainah ,
dari Ibn Abî Najîh ,dari Abdullâh bin Katsîr, dari Abî al-minhâl, Dari Ibnu Abbâs,
Berkata: Rasulullah datang ke madinah pada saat penduduknya menyerahkan
salaf (menyerahkan uang terlebih dahulu sebelum menerima barang) berupa
kurma selama satu dan dua tahun.-Atau dia berkata dua atau tiga tahun”.
Rasulullah SAW pun bersabda: “barang siapa melakukan salaf, maka hendaklah
dia melakukannya dengan takaran dan timbangan yang jelas hingga waktu yang
sudah ditentukan”. (HR.Ibnu Mâjah)
Sabda Rasulullah SAW ini muncul ketika beliau pertama kali hijrah ke

Madinah, dan mendapati para penduduk Madinah melakukan transaksi jual beli

31
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,h.70.
32
Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Majâh. Bairut: Dȃ r al-Kitab al-Lubnani, 1987. Kitab
Tijarat Juz III h. 382.
25

salam. Jadi Rasulullah SAW membolehkan jual beli salam asal akad yang

dipergunakan jelas, ciri-ciri barang yang dipesan jelas dan ditentukan waktunya.33

Berdasarkan hadis tersebut, jual beli salam ini hukumnya dibolehkan,

selama ada kejelasan ukuran, timbangan dan waktunya ditentukan. Dasar hukum

jual beli ini telah sesuai dengan tuntutan syariat dan kaidah-kaidahnya. Bahkan

dalam praketknya, jual beli salam juga tidak menyalahi qiyas yang membolehkan

penangguhan penyerahan barang seperti halnya dibolehkannya penangguhan

dalam pembayaran.34

c. Ijma`

Ibnu Mundzir dan lainnya meriwayatkan adanya Ijma` Ulama atas

kebolehan transaksi jual beli salam. Kebutuhan manusia untuk bertransaksi itulah

yang mendorong diperbolehkannya jual beli salam. Karena satu pihak yang

bertransaksi ingin mendapatkan pembayaran yang dipercepat, sementara pihak

yang lain ingin mendapatkan barang yang jelas atau pasti.35 Transaksi salam juga

memberikan kemudahan kepada manusia yang berkepentingan terhadap bentuk

transaksi jual beli salam ini. Selain itu, transaksi salam memberi keringanan bagi

manusia yang di dalamnya juga terdapat unsur yang sejalan dengan upaya

merealisasikan kemaslahatan perekonomian.

3. Rukun dan syarat Jual beli salam

33
Nasroen Haroen, Fiqih Muamalah, h. 148.
34
Burhanuddin S., Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE, 2009), h. 213.
35
Saleh al-Fauzan, Fikih Sehari-hari, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2005). h. 407.
26

Adapun rukun jual beli salam menurut jumhur ulama, selain Hanafiyah

terdiri atas:

a. al-âqid

al-âqid adalah orang yang melakukan akad. Dalam perjanjian salam, pihak

penjual disebut al-Muslam Ilaih (orang yang diserahi) dan pihak pembeli disebut

al-Muslam atau pemilik as-salam (yang menyerahkan).36

b. Objek jual beli salam

Yaitu harga dan barang yang dipesan. Barang yang dijadikan sebagai

objek jual beli disebut dengan al-Muslam Fih. Barang yang dipesan harus jelas

ciri-cirinya dan waktu penyerahannya. Harga (ra’su malis salam) dalam jual beli

salam harus jelas serta diserahkan waktu akad.37

c. Sigat (Ijab dan Qabul)

Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan

ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan.

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh

perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh, apabila tidak

sejalan dengan kehendak syara’.

Misalnya, untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau

merampok kekayaan orang lain. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh

36
Chairuman pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1994) , h. 48.
37
Ahmad Mujahidin, Kewenangan dan prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Indonesia, Cet.1 Bogor: Penerbit Ghalian Indoensia, 2010 hal.176.
27

pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari

satu pihak (yang melakukan Ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan qabul).

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli salam adalah

sebagai berikut:

a. Syarat orang yang berakad (Al-Aqid)

Ulama Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni

sudah mumayyiz, anak yang agak besar yang pembicaraan dan jawaban yang

dilontarkannya dapat dipahami, serta berumur minimal 17 tahun. Oleh karena

itu,anak kecil, orang gila dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun

miliknya.38

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 5 :

        


   
 

    

Artinya;
dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu)
dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.39
Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid harus baligh

(terkena perintah syara’), berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya.

Dengan demikian, ulama Hanabilah membolehkan seorang anak kecil membeli

38
Hendi Suhendi, Fiqih Mua’malah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 74
39
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, h.115.
28

barang yang sederhana atas seizin walinya.40 Kecakapan yang sempurna yang

dimiliki oleh orang yang telah baligh itu dititik beratkan pada adanya

pertimbangan akal yang sempurna, bukan pada bilangan umur atau bilangan tahun

yang dilaluinya. Kualitas kekuatan akal pikiran juga dapat mempengaruhi secara

signifikan kecakapan sesorang untuk melakukan perbuatan hukum atau hal-hal

yang membawa dampak akan tanggung jawab yang dipikulnya nanti dikemudian

hari, seiring dengan pengambilan posisi sebagai personal yang melakukan

perbuatan itu.41

b. Syarat yang terkait dengan pembayaran atau harga, antara lain:

1) Alat bayar harus diketahui dengan jelas jumlah dan jenisnya oleh

pihak yang terlibat dalam transaksi. Ketentuan tersebut

dimaksudkan untuk menghilangkan ketidakjelasan dalam transaksi

yang akhirnya dikhawatirkan dapat menimbulkan perselisihan

dikemudian hari.

2) Pembayaran harus dilakukan seluruhnya ketika akad telah

disepakati. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga maksud utama jual

beli salam, yaitu membantu pihak yang butuh modal untuk biaya

produksi.

3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.42

40
Rahmat Syafi’I, Fiqih Mua’malah, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 54
41
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mua’malat (Hukum Perdata Islam),
(Yogyakarta: UII Press, 2000) , h.31.
42
Muhammad, Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan Teknis
Pembuatan Akad atau Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah), (Yogyakarta: UII Press,
2009), h. 79.
29

c. Syarat yang terkait dengan barang, di antaranya:

1) Barangnya menjadi utang atau tanggungan bagi penjual. Dengan

demikian, barang pesanan yang telah menjadi tanggungan pihak

penjual, keberadaannya tidak boleh diserahkan kepada pihak lain.

Rasul SAW bersabda:

Artinya :
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Isa, telah becerita
kepada kami Abu Badar,dari Ziyad bin Khutsaimah, dari Said
(yaitu at-Tha’i), dari Athiyyah bin Said dari Abi Said al-Khudri
berkata, Rasul SAW bersabda: “Barang siapa mengadakan salam
terhadap sesuatu, maka janganlah ia memberikannya kepada orang
lain. “43

2) Komoditinya harus dengan sifat-sifat yang jelas, misalnya dengan

disebutkan jenis, warna, ciri-ciri, macam dan ukurannya.44 Hal ini

dilakukan agar tidak terjadi konflik antara seorang Muslim dengan

saudaranya yang menyebabkan dendam dan permusuhan diantara

keduanya.45 Pada era modern seperti sekarang, untuk menambah

kejelasan spesifikasi pengetahuan tentang macam komoditi yang

akan dijadikan al-muslam fih dapat ditambahkan dengan

menghadirkan bentuk visual dari al-muslam fih.

43
Sulaiman Bin al-Asy’ats al-Sijistani. Abȗ Daud, Sunan Abȗ Daud. Bab salaf , juz
III, hadis no. 3470.(Lebanon: Dȃ r al-A’lam,2003.)
44
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Kifayatul AKhyar Terjemahan Ringkas Fiqih Islam
Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 141.
45
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, ( Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 511.
30

3) Barang yang dipesan harus selalu tersedia dipasaran sejak akad

berlangsung sampai tiba waktu penyerahan. Aturan ini ditetapkan

guna menjamin sebuah kepastian dapat diserahkannya barang

tersebut tepat pada waktunya. Karena kesanggupan penjual untuk

penyerahan barang didasarkan pada upayanya untuk menyediakan

barang tersebut.

4) Barang yang dipesan dalam akad salam harus berupa al-misliyat,

yakni barang yang banyak padanannya di pasaran yang

kuantitasnya dapat dinyatakan melalui hitungan, takaran atau

timbangan. Pendapat ini menurut Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan

Hanabilah. Sedangkan menurut Malikiyah, akad salam dibolehkan

atas barang al-qimiyyah yaitu yang dapat dinyatakan dengan

kriteria tertentu.46

5) Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.47

6) Disebutkan tempat penyerahan barang pesanannya.48

46
Ghufron Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
, h. 148.
47
Dr. Ahmad Mujahidin, M.H., Kewenangan dan prosedur Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah di Indonesia, Cet.1 Bogor: Penerbit Ghalian Indoensia, 2010 hal.177
48
Dewi Gemala,et, al., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h.
114.
31

d. Syarat tentang waktu dan tempat penyerahan barang

1. Syarat tentang waktu penyerahan barang

Mengenai tenggang waktu penyerahan barang dapat saja ditentukan

tanggal dan harinya, tetapi tidak semua jenis barang dapat ditentukan demikian.49

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan satu bulan. Sedangkan ulama

Malikiyah memberi waktu setengah bulan. Wahbah az-Zuhayli (guru besar fiqih

Islam Universitas Damaskus) menyatakan, bahwa tenggang waktu penyerahan

barang itu sangat bergantung pada keadaan barang yang dipesan dan sebaliknya

diserahkan kepada kesepakatan kedua belah pihak yang berakad dan tradisi yang

berlaku pada suatu daerah.50

2. Syarat tentang tempat penyerahan barang

Pihak-pihak yang bertransaksi harus menunjuk tempat untuk penyerahan

barang yang dipesan. Ketentuan ini ditetapkan apabila untuk membawa barang

pesanan diperlukan biaya pengiriman atau tempat terjadinya transaksi tidak layak

dijadikan tempat penyerahan barang pesanan seperti ditengah gurun. Namun,

apabila tempat terjadinya transaksi itu layak dijadikan tempat penyerahan atau

untuk membawanya tidak diperlukan biaya pengiriman, maka tidak harus

menunjuk tempat penyerahan barang.

Jika kedua belah pihak yang berakad tidak mencantumkan penentuan

tempat serah terima, jual beli salam tetap dinyatakan sah, dan tempat penyerahan

49
Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001) h. 93
50
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam,h. 146
32

bisa ditentukan kemudian. Hal ini dikarenakan tidak ada hadis yang

menjelaskannya. Apabila penyerahan barang merupakan syarat sah jual beli

salam, maka Rasulullah akan menyebutkannya seperti beliau menyebutkan

takaran, timbangan dan waktu.51

Yang perlu diperhatikan adalah dalam melakukan akad salam syarat tentang

waktu dan tempat penyerahan barang tergantung pada kesepakatan diantara kedua

belah pihak, agar lebih memberikan rasa aman dan lebih menjaga agar tidak

terjadi perselisihan.

Apabila penyerahan barang pada saat tenggang waktu yang disepakati

sudah jatuh tempo, maka pihak penjual atau produsen wajib menyerahkan barang

itu pada waktu dan tempat yang telah disepakati. Jika barang yang ditransaksikan

itu tidak kunjung ditemukan hingga waktu penyerahannya, maka pihak konsumen

atau pemesan hendaknya bersabar hingga barang yang dipesannya itu tersedia

atau konsumen boleh membatalkan transaksinya dan meminta kembali uangnya.

Karena jika transaksi itu gagal, maka harganya harus dikembalikan. Dan jika

uangnya hilang, maka produsen harus menggantinya.52

Apabila barang yang dipesan telah diterima dan kemudian terdapat cacat pada

barang itu atau tidak sesuai dengan sifat-sifat, ciri-ciri, kualitas, kuantitas barang

yang dipesan, maka pihak pemesan atau konsumen boleh meminta ganti rugi atau

menyatakan apakah ia menerima atau tidak, sekalipun dalam jual beli pesanan ini

51
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah, Juz 12, h. 122
52
Saleh al-Fauzan, Fikih sehari-hari, h. 409
33

tidak ada hak khiyar.53 Dalam Fiqih Islam juga menyebutkan bahwa apabila pada

barang yang dibeli terdapat cacat, kerusakan dan ketidaksesuaian dengan apa yang

dipesan, maka barang yang dibeli dapat dikembalikan kepada penjualnya.

Ketentuan ini sesungguhnya untuk menjamin hak-hak pembeli atau konsumen

agar mendapatkan barang yang sesuai dengan yang dipesan.54

53
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, h. 146-147
54
Samsul Ma’arif, Fiqih Progresif Menjawab Tantangan Modernitas (Jakarta: FKKU
Press, 2003) , h. 133-134
BAB III

HADIS-HADIS TENTANG JUAL BELI SALAM

Penulis melakukan pengumpulan hadis-hadis tentang jual beli salam

dengan metode Takhrij Hadis melalui matan, yaitu metode penulusuran kata atau

lafal pada salah satu kamus hadis yang penulis gunakan, yaitu “Mu`jam al-

Mufahrâs li al-Fâz al-Hadîs”. Kata kunci yang digunakan ialah , karena

kata memiliki makna yang sama dengan yang memiliki arti

mendahulukan.

Setelah dilakukan penelusuran, penulis menemukan hadis-hadis yang

membahas jual beli salam sebanyak 129 hadis. Penulis membatasi penelusuran

hanya pada al-Kutub al-Sittah saja, yang berjumlah 20 hadis. Dari 20 hadis

tersebut, penulis membaginya dalam 4 tema:

1. Hadis jual beli salam dengan takaran, timbangan dan waktu yang

diketahui

2. Tentang kepemilikan pokok dalam jual beli salam

3. Larangan mengalihkan akad salam

4. Jual beli salam pada kurma.

34
35

A. Hadis jual beli salam dengan takaran dan waktu yang diketahui

Terdapat 8 hadis yang membahas tema jual beli salam dengan takaran,

timbangan dan waktu yang diketahui. Yang diriwayatkan oleh Bukhârî dalam

kitab Sahîh Bukhârî dan Muslim dalam kitab Sahîh Muslim 2 hadis. Sedangkan

yang diriwayatkan al-Tirmizî dalam Sunan al-Tirmizî, Abu Dâud dalam kitab

Sunan Abî Dâud, al-Nasâi dalam kitab Sunan al-Nasâi dan Ibnu Mâjah dalam

Sunan Ibnu Mâjah masing-masing sebanyak 1 hadis.

1.Teks Hadis

a. Bukhâri

Artinya:
Telah bercerita kepada kami Amr Ibn Zurârah, telah mengabarkan kepada
kami Ismâîl Ibn `Ulyah, telah mengabarkan kepada kami Ibn Abi Najîh, dari
``Abd Allah Ibn Katsîr, dari Abî Minhâl, dari Ibn Abbâs RA, dia berkata, “Nabi

1
al-Bukhâri, Al Imam `Abd Allah Muhammad Ibn Ismâil. Sahîh Bukhârî “Shahih
Bukhari” Juz 1, Kitab Salam , h. 111. Darul Fikri. Lihat juga di al-NaisAbîri,Muslim Ibn al-Hajjaj
Abî al-Husaini al-Qusyairi. Sahîh Muslim. kitab Musaqat Bab Salam , dengan lafaz

Hadis no 1604, Dar Kutub al-Ilmiyah hal. 624, yang kedua dengan lafaz Hadis no
1605, Dar Kutub al-Ilmiyah hal. 624. lihat juga di Abû Isâ Muhammad Ibn Mûsa Ibn al-Dahâq al-
Sulami al-Bughi al-Tirmîdzi,.Sunan al-Tirmidzi Juz III Kitab Buyu‟ bab Salam pada Buah-buahan,
Hadis no. 1311, Darul fikri, h. 54 lihat juga di Sulaiman Ibn al-Asy‟ats al-Sijistani, Sunan Abû
Daud. kitab Upah, bab salaf Hadis no. 3463. Juz 3. Dar el fikri. Hal.275 lihat juga di Ahmad Ibn
Syaib Abû Abd al-Rahman.Sunan al-Nasâi jilid IV hadis no 4625 . bab salaf pada buah-buahan
Darul Fikri, h. 310-311. Lihat juga di Ibn Mâjah,` Abî `Abd Allah Muhammad ibn Yazîd ibn
Mâjah al-Rabî`I al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah bab perdagangan, juz 2 hadis no. 2280, Darul
ihyaul mathbaul arabiyah. h. 765.
36

SAW datang ke Madinah dan orang-orang madinah terbiasa melakukan jual-beli


sistem salaf (pesanan) pada buah dalam jangka waktu setahun atau dua tahun
(atau dia mengatakan dua atau tiga tahun), Ismail ragu, maka beliau bersabda,
„Barangsiapa melakukan jual-beli salaf pada kurma, maka hendaklah dia
melakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui.”

Kualitas Hadis: menurut Abû `Îsa hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas

hasan sahîh2, sedangkan menurut syekh albani hadis yang diriwayatkan Ibnu

Abbas statusnya sahîh.3

1. Asbabul Wurud Hadis

Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, Penduduk Madinah

terbiasa melakukan transaksi salam; seseorang dari mereka sebagai contohnya

mengatakan kepada yang lainnya, “Jualkanlah kepadaku dengan uang dinarku ini

buah kurma yang masak hasil tahun depan atau dua tahun kemudian, tetapi tanpa

takaran atau timbangan yang dimaklumi. Bahkan adakalanya hal tersebut

menyebabkan mereka bersengketa; maka Rasul SAW bersabda kepada mereka.

“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaklah ia memesannya dalam

timbangan atau takaran yang dimaklumi.” Termasuk pula dalam pengertian ini

barang yang jumlahnya dihitung atau diukur.4

2
Abî Ula Muhammad Abdul-Rahman ibn Abdul-Rahman al-Mubarakfuri “Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi” Juz 4 , Darul Fikri h. 539.
3
Muhammad Nâsir al-Din al-Bânî, sahîh al-Jami` al-Saghîr wa ziyâdatuhu (al-fath al-
kabir) Beirut: Maktabah al-Islami, 1988. h. 1042.
4
Ibrahim ibn Muhammad ibn Kamaludin “al-Bayân wa al-Ta’rif al-Asbâb Wurud al-
Hadîs al-Syarîf” Jilid 3, Huruf “Mim” hal. 201. Beirut Lebanon, Maktabah Ilmiyah. Lihat juga di
Manshur Ali Nashif, Penterjemah: Bahrun Abî Bakar,LC. “Mahkota Pokok-Pokok Hadis”. Sinar
Baru Algensindo, Bandung , 1993. h. 646-647
37

2. Syarah Hadis

Ibn Hajar al-Asqalânî: Kata “salam” juga bermakna “salaf”. Al Mawardi

menyebutkan bahwa kata “salaf” adalah bahasa penduduk Irak, sedangkan

“salam” adalah bahasa penduduk Hijaz. Sebagian lagi mengatakan bahwa pada

jual-beli sistem salaf harga diserahkan terlebih dahulu, sedangkan dalam sistem

salam harga diserahkan saat transaksi. Dari sisi ini, maka pengertian “salaf” lebih

luas. Adapun “salam” menurut syariat adalah jual-beli sesuatu yang berada dalam

tanggungan (dzimmah). Adapun mereka yang membatasinya dengan kata

“salam”, mereka menambahkannya pada definisi tersebut.5

al-jazarî: salam adalah memberi emas atau perak dalam suatu transaksi

yang telah ditentukan, sampai tempo yang telah ditentukan. Seperti anda berkata: :

aku melakukan salam kepada pedagang hingga waktunya.”6

Abû Ulâ al-Mubârakfurî : “dalam transaksi salam harga yang disegerakan

dinamakan Ra‟sul Mal, objek yang ditangguhkan dinamakan Muslam Fih,

pembeli disebut Muslam Ilaih.7

Akad salam dibolehkan karena (akad salam ini ) diqiyaskan dengan jual

beli yang objeknya belum ada.

5
Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqolani “Fath al-Bari Syarh Al-Bukhari” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam dengan menggunakan takaran yang diketahui.
Maktabah salafiyah, h. 428
6
Abî Ula Muhammad Abdul-Rahman ibn Abdul-Rahman al-Mubarakfuri “Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi” Juz 4 , Darul Fikri h. 538
7
Abî Ula Muhammad Abdul-Rahman ibn Abdul-Rahman al-Mubarakfuri “Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi” Juz 4 , Darul Fikri h. 539
38

Ayat Madaniyah dalam surat al-Baqârah menunjukkan kebolehan (akad

salam) sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbâs: (ketika Rasul SAW datang

kemadinah) yaitu hijrah dari mekah (dan mereka melakukan salaf pada buah-

buahan) yaitu menentukan pesanan dahulu, namun buahnya akan diambil

dikemudian hari. (barang siapa bersalaf maka hendaklah bersalaf pada takaran

yang ditentukan, timbangan yang ditentukan). Kata-kata tersebut menunjukkan

kewajiban untuk menentukan takaran, timbangan dan penentuan waktu. Jika salah

satunya tidak terpenuhi maka batal akad salam tersebut.”8

Menurut Imam Nawâwi, Bolehnya jual beli salam ini karena memiliki

syarat kadarnya diketahui, timbangannya diketahui dan lain sebagainya. Adapun

sesuatu yang dapat diukur seperti baju, maka ukurannya harus diketahui. Namun,

jika sesuatu yang terbilang seperti hewan maka bilangannya harus diketahui. .

Ulama berbeda pendapat dalam penentuan waktu. Menurut Syafi‟I boleh

menerima barang transaksi diawal. Namun menurut Hanafi, Maliki dan Hanbal

tidak boleh.9

Menurut Ibn Hajar al-Asqalânî, Adapun perkataan Imam Bukhârî “Bab

Jual-Beli Sistem salam dengan menggunakan takaran yang diketahui”. Yakni

pada barang yang biasa ditakar. Yaitu dengan disyaratkannya menentukan takaran

yang digunakan pada barang yang dijual dengan sistem salam ,apabila barang itu

adalah sesuatu yang dijual dengan menggunakan ukuran takaran, merupakan

8
Abî Ula Muhammad Abdul-Rahman ibn Abdul-Rahman al-Mubarakfuri “Tuhfatul
Ahwadzi Syarh Jami’ al-Tirmidzi” Juz 4 , Darul Fikri h. 539
9
Abî Tayîb Muhammad Syams al-Haq `Abadi, “Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abû Dâud ”
jilid 9-10, Dar al-Kutub al-`Arabiyah, Beirut Lebanon.. hal. 251
39

perkara yang disepakati oleh para ulama, karena adanya perbedaan volume

takaran, kecuali apabila dinegeri itu hanya ada satu takaran standar. Maka, jika

disebutkan “takaran” secara mutlak (tanpa batasan), dapat dipahami bahwa yang

dimaksud adalah takaran standar tersebut.10

Para ulama sepakat mensyaratkan penentuan standar takaran yang

digunakan apabila barang tersebut adalah sesuatu yang diukur dengan takaran,

seperti sha‟ Hijaz, qafiz Iraq dan Ardab mesir. Bahkan, volume takaran dinegeri-

negeri ini juga berbeda-beda. Bila disebutkan tanpa dikaitkan dengan sesuatu,

maka yang dimaksud adalah takaran standar yang umum digunakan11.

Ibnu Batâl berkata: “Para ulama sepakat bahwa apabila barang yang dijual

dengan sistem salam adalah barang yang ditakar atau ditimbang, maka saat

transaksi harus menyebutkan takaran atau timbangan yang digunakan. Apabila

barang itu bukan sesuatu yang ditakar atau ditimbang, maka harus disebutkan

jumlahnya secara pasti.”12

3. Analisa Hadis

Pada teks hadis di atas, dapat diketahui bahwa jual beli salam sudah

dilakukan dizaman Nabi Muhammad SAW. Objek pada transaksi salam dimasa

itu terbatas pada komoditi pertanian dan perkebunan seperti buah kurma.
10
Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqalani “Fath al-Barî Syarh Al-Bukhâri” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam dengan menggunakan takaran yang diketahui.
Maktabah salafiyah, h. 428-429
11
Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalânî “Fathul Bari Syarah Al-Bukhari” Juz 4 Kitab
Jual Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam dengan menggunakan takaran yang diketahui.
Maktabah salafiyah, h. 430
12
Ahmad Ibn Ali Ibn Hâjar al-Asqalânî “Fathul Bari Syarah Al-Bukhari” Juz 4 Kitab
Jual Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam dengan menggunakan takaran yang diketahui.
Maktabah salafiyah, h. 430
40

Dari kumpulan hadis tentang salam yang ditemukan dalam al-Kutub al-

Sittah di atas, terdapat kesamaan isi antara hadis yang diriwayatkan oleh Bukhârî,

Muslim, Tirmidzi, Abû Dâud , al-Nasâi dan Ibnu Mâjah yaitu jual beli salam pada

kurma pada zaman nabi diperbolehkan dengan takaran yang tertentu, timbangan

tertentu, dan waktu tertentu yang telah disepakati.

Dalam tafsir al Qurtubî, beliau menyatakan bahwa seluruh ulama Islam

sepakat bahwa transaksi salam itu diperbolehkan , yakni: mereka membolehkan

jika ada seseorang yang menyerahkan (menjual) barang dengan kapasitas yang

diketahui timbangan dan waktunya.13

Dalam kaitannya dengan objek lain yang dapat dijadikan objek jual beli

salam, jika mengacu pada lafaz ( ), maka diperbolehkan.

Dapat dipahami, bahwa objek salam adalah sesuatu yang jenis dan ukurannya

dapat diketahui. Oleh sebab itu, jika mengamati perkembangan pada saat ini,

objek salam tidak hanya meliputi komoditi pertanian saja melainkan segala

sesuatu yang dapat ditransaksikan dengan sistem pemesanan yang ditangguhkan

dimana takaran barang tersebut dapat diketahui dengan jelas, timbangan dan

waktu yang ditentukan juga jelas.

Dalam praktiknya di perbankan Indonesia, fatwa DPS (Dewan Pengawas

Syariah) Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli salam menggunakan

hadis di atas sebagai landasan diperbolehkannya transaksi salam di industri

13
Al-Qurthubi,Tafsir al Qurtubî, penerjemah Faturahman, Jakarta Pustaka Azzam 2007.
h. 838
41

keuangan syariah. Fatwa tersebut mengatur tentang ketentuan pembayaran,

barang, salam paralel, waktu penyerahan dan syarat pembatalan kontrak.

Penegasan tentang takaran yang diketahui dan timbangan serta waktu yang di

tentukan tertulis jelas dalam isi hadis di atas yaitu

Artinya:
“Nabi SAW datang ke Madinah dan manusia melakukan jual-beli salaf
pada kurma setahun atau dua tahun--- atau dia mengatakan dua atau tiga tahun,
Ismail ragu ---maka beliau bersabda, „Barangsiapa melakukan jual-beli salaf pada
kurma, maka hendaklah dia melakukannyan dengan takaran yang diketahui dan
timbangan yang diketahui.”
Dalam melakukan transaksi salam, terdapat syarat jual beli yaitu harus

terdapat kejelasan objek yang ditransaksikan. Hadis di ataspun mengatakan bahwa

transaksi salam harus jelas takaran dan timbangannya. Hal ini dimaksud agar jual

beli yang dilakukan tidak menimbulkan kesalahpahaman antara pihak pemesan

dan penjual.

Kejelasan dalam takaran dan timbangan dalam hadis di atas juga

menyatakan bahwa objek transaksi salam mengandung kejelasan spesifikasi

barang, waktu penyerahan, harga barang, dan juga pihak yang bertransaksi. Hal

ini dimaksud agar saat akad salam selesai, antar pihak dapat memenuhi hak dan

14
Hadis ini terdapat di “Sahîh Bukhârî” Juz 1, Kitab Salam , hal. 111. lihat juga di
“Sunan al-Tirmidzî “ Juz III bab Salam pada Buah-buahan, Hadis no. 1311, Darul fikri, hal. 54.
Lihat juga di “Sunan Abû Daud , kitab Upah, bab salaf pada buah. Hadis no. 3467. Juz 3. Dar el
fikri. Hal.255 lihat juga di “Sunan Nasâi” jilid IV hadis no 4625 . Darul Fikri, hal. 310-311. Lihat
juga di Ibn Mâjah, “Sunan Ibnu Mâjah,” bab perdagangan, juz 2 hadis no. 2280 , , Dâr ihyâu
Matba`u al-`Arabiyah. hal. 765
42

kewajibannya masing-masing, sehingga kesalahpahaman dapat dihindari atau

diminimalkan.

B. Hadis Tentang Kepemilikan Pokok dalam Jual Beli Salam

Ada 7 hadis yang membahas tentang kepemilikan pokok dalam jual beli

salam. Yang diriwayatkan oleh Bukhârî dalam kitab Sahîh Bukhâri, Abu Dâud

dalam kitab Sunan Abu Daud dan Nasâi dalam kitab Sunan Nasâi yang masing-

masing sebanyak 2 hadis. Sedangkan yang diriwayatkan Ibnu Mâjah dalam kitab

Sunan Ibn Mâjah sebanyak 1 hadis.

1. Teks Hadis

a. Bukhârî
43

Artinya:
Dari Muhammad bin Abî Mujâlid, dia berkata, “Aku diutus oleh Abdullah
bin Syadad dan Abu Burdah kepada Abdullah bin Abi Aufa RA, keduanya
berkata, “Tanyakan kepadanya apakah para sahabat Nabi SAW dimasa Nabi SAW
biasa menjual gandum dengan sistem salaf? Abdullah berkata, „Kami biasa
melakukan jual beli dengan sistem salaf kepada kaum Nabith penduduk syam, ;
Baik berupa biji gandum, jewawut dan minyak dengan menggunakan takaran
yang diketahui hingga waktu yang diketahui.‟ Aku berkata, „Apakah dengan
orang yang memiliki pokoknya?‟ Dia berkata, „Kami tidak pernah bertanya
kepada mereka mengenai hal itu‟. Kemudian keduanya mengutusku kepada
Abdurrahman bin Abza dan aku bertanya kepadanya. Dia berkata, „Biasanya para
sahabat Nabi SAW melakukan jual beli dengan sistem salaf pada masa Nabi
SAW, dan kami tidak bertanya kepada mereka apakah mereka meiliki kebun atau
tidak.”
Ishaq telah menceritakan kepada kami, Khalid bin Abdullah telah
menceritakan kepada kami dari Al-Syaibânî dari Muhammad bin Abî Mujâlid
sama seperti ini, dan dia berkata, “Kami melakukan jual beli dengan sistem salaf
terhadap mereka pada gandum dan sya‟ir.” Abdullah bin Walid berkata dari
Sufyan, Al-Syaibânî telah menceritakan kepada kami, dan dia berkata, “Dan
anggur kering”. Qutaibah telah menceritakan kepada kami, Jarir telah
menceritakan kepada kami dari Al-Syaibânî dan dia berkata , “Pada biji gandum,
jewawut dan anggur kering (kismis).” (HR. Bukhari)

Kualitas hadis: menurut syekh al-bânî hadis yang diriwayatkan Abu Daud

statusnya sahîh bi ghairihi, dengan lafaz Mâ kunna Nas’aluhum.16

15
Al Imam ibn Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughiroh ibn
bardazabah Al-Bukhari “Sahîh Bukhâri” Juz 1, Kitab Salam , hadis no. 2244-2245 hal. 112. Darul
Fikri. Lihat juga di Abû Dâud , Sunan Abû Dâud , yang pertama dengan lafaz kitab
Upah, bab salaf pada buah. Hadis no. 3464. Juz 3. Maktabah Ashriyah, Beirut Lebanon Hal.275,
yang kedua dengan lafaz dengan lafaz hal 276. Lihat juga di Abdul-Rahman Ahmad ibn
Ali ibn Syuaib ibn Ali Sinan ibn Bahr al-Khurasani al-Qadi an-Nasai, “Sunan Nasa’I” yang
pertama dengan lafaz jilid IV hadis no 4625 . Darul Fikri, hal. 310, yang kedua dengan

lafaz hal 311. Lihat juga di Abî `Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan
Ibnu Mâjah, Juz II Kitab perdagangan, hadis no. 2282. Dar Ihyâu kutub al-Arâbiyah h. 766
44

2. Asbabul Wurud Hadis:

Sebab turun hadis yaitu saat Abi Mujalid diutus oleh Abdullah bin Syadad

dan Abu Burdah kepada Abdullah bin Abi Aufa RA, keduanya berkata,

“Tanyakan kepadanya apakah para sahabat Nabi SAW dimasa Nabi SAW biasa

menjual gandum dengan sistem salaf? Abdullah berkata, „Kami biasa melakukan

jual beli dengan sistem salaf kepada kaum Nabith penduduk syam, ; Baik berupa

gandum, jewawut dan minyak dengan menggunakan takaran yang diketahui

hingga waktu yang diketahui.‟ Aku berkata, „Apakah dengan orang yang memiliki

pokoknya?‟ Dia berkata, „Kami tidak pernah bertanya kepada mereka mengenai

hal itu‟. Kemudian keduanya mengutusku kepada Abdurrahman bin Abza dan

aku bertanta kepadanya. Dia berkata, „Biasanya para sahabat Nabi SAW

melakukan jual beli dengan sistem salaf pada masa Nabi SAW, dan kami tidak

bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki kebun atau tidak.”17

3. Syarah Hadis:

(Bab jual beli sistem salam dengan orang yang tidak memiliki

pokok/asalnya), yakni apa yang diserahkan. Namun, ada pula yang mengatakan

bahwa yang dimaksud dengan “pokok/asal” adalah barang yang diserahkan.

16
Abû Dâud , Sahih Sunan Abû Dâud Syarh al-Bânî, bab salaf pada buah. Hadis no. 3464.
Juz 3. Maktabah `Asriyah, Beirut Lebanon h.275.
17
Abî `Abd Allah Muhammad ibn Yazîd al-Qazwini, Sunan Ibnu Mâjah, Juz II Kitab
perdagangan hadis no. 2282. Dar Ihayu kutubil Arabiyah h. 766.
45

Pokok/asal biji-bijian adalah tanaman, sedangkan pokok/asal buah-buahan adalah

pohon, dan demikian seterusnya.18

Imam Bukhârî menyebutkan hadis Ibnu Abî Aufâmelalui jalur al-

Syaibânî. Pertama kali, dia menukil dari jalur Abdul Wâhid bin Ziyâd yang

menyebutkan gandum, jewawut dan minyak. Kemudian melalui jalur Khalid dari

al-Syaibânî, tanpa menyebutkan kata “minyak”. Lalu dari jalur Jarir, dari al-

Syaibânî, dengan menyebutkan “anggur kering” sebagai ganti “minyak”. Yang

terakhir dari jalur Sufyân, dari al-Syaibânî (seperti akan disebutkan oleh Imam

Bukhârî setelah tiga bab), sama seperti itu.

(kaum Nabith penduduk syam) Mereka adalah kaum dari bangsa Arab

yang masuk ke negeri non-Arab dan Romawi. Nasab mereka bercampur dengan

penduduk setempat, dan bahasa air (sungai) di antara penduduk Irak. Sedangkan

kelompok yang bercampur dengan bangsa Romawi menetap dilembah Syam.

Mereka biasa disebut kaum Nabt, Nabît atau Anbât. Dikatakan bahwa sebab

penamaan mereka seperti itu adalah karena pengetahuan mereka dalam

mengeluarkan air dari tanah, akibat seringnya mereka bercocok tanam.19

Ulama berbeda pendapat tentang bolehnya salam pada orang yang tidak

punya pokok. yang membolehkan beralasan: “hal tersebut tidak merusak atau

merugikan sebelum penyerahan barang.”

18
Ahmad Ibn Ali Ibn Hâjar al-Asqalânî “Fath al-Bârî Syar Al-Bukhâri” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam pada orang yang tidak memiliki pokok. Maktabah
salafiyah, h. 431.
19
Ahmad Ibn Ali Ibn Hâjar al-Asqalânî “Fath al-Bârî Syarh Al-Bukhâri” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam pada orang yang tidak memiliki pokok. Maktabah
salafiyah, h. 431
46

Sedangkan Abî Hanifah, al-Tsaurî dan al-Auzâi sepakat bahwa tidak sah

jual beli sistem salam yang mengandung kerugian sebelum penyerahan barang20.

Menurut Ibn Hajar al-Asqalânî, hadis ini dijadikan dalil tentang sahnya

jual beli dengan sistem salam, meski tidak disebutkan tempat pelunasannya. Ini

adalah pendapat Imam Ahmad, Ishaq dan Abî Tsaur. Demikian pula pendapat

Imam Malik, hanya saja dia menambahkan, “Hendaklah diserah terimakan

ditempat transaksi. Apabila keduanya berbeda pendapat, maka yang dijadikan

pedoman adalah perkataan penjual.”

Hadis ini dijadikan pula sebagai dalil tentang bolehnya melakukan jual

beli dengan sistem salam pada barang yang tidak ada pada saat transaksi, jika

dimungkinkan barang itu ada pada waktu penyerahan, ini adalah pendapat

mayoritas ulama.

Hadis ini dijadikan pula sebagai dalil tentang bolehnya berpisah sebelum

serah terima pada jual beli dengan sistem salam, karena persyaratan untuk serah-

terima sebelum meninggalkan majelis tidak disinggung di dalam hadis ini. Ini

adalah pendapat Imam Malik apabila tanpa syarat. Sementara Imam Syafi‟I dan

Ulama Kuffah berkata, “Jual beli dianggap rusak apabila transaksi berpisah

sebelum melakukan serah-terima, sebab yang demikian itu termasuk kategori jual

beli utang.”21

20
Abî Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim `Abadi “`Aunul Ma’bud bi Syarh Sunan
Abi Daud ” Juz 9, Maktabah Salafiyah. h. 350.
21
Ahmad Ibn Ali Ibn Hâjar al-Asqalânî “Fath al-Bârî Syarh Al-Bukhâri” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam pada orang yang tidak memiliki pokok. Maktabah
salafiyah, hal. 431
47

4. Analisa Hadis

Pada hadis di atas disebutkan adanya objek salam pada zaman nabi yaitu

gandum, sa`îr dan anggur. Artinya seseorang biasa melakukan pemesanan

terhadap barang tersebut dengan syarat adanya kejelasan timbangan dan ukuran.

Namun menurut hadis di atas, bibit atau pokok dari barang pesanan tidak

dijelaskan berasal dari pemesan atau pembuat pesanan.

Pada perkembangannya saat ini, dimana jual beli salam tidak terbatas

hanya komoditas perkebunan dan pertanian, maka bibit atau pokok yang

dimaksud dalam hadis di atas adalah merupakan material atau bahan yang akan

dibuat sebagai barang pesanan.

Dalam proses pembuatan objek jual beli salam pada dasarnya memerlukan

material atau bahan yang nantinya akan dibuat atau dijadikan sesuai dengan

spesifikasi barang pesanan. Dan merujuk pada hadis di atas, kebolehan material

atau bahan yang akan diolah boleh berasal dari pemesan atau dari pembuat

pesanan, walaupun pada praktiknya, kebanyakan berasal dari si pembuat barang

pesanan dengan modal atau uang yang diserahkan terlebih dahulu oleh pemesan.
48

C. Hadis tentang Larangan mengalihkan akad jual beli Salam

Ada 2 hadis yang membahas tentang larangan mengalihkan akad jual beli

salam, yang diriwayatkan oleh Abu Dâud dalam kitab Sunan Abu Dâud sebanyak

1 hadis, dan Ibnu Mâjah dalam Sunan Ibnu Mâjah sebanyak 1 hadis.

1. Teks Hadis
a. Abû Dâud

Artinya:
Dari Abu S`aîd al-Khudrî RA, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang
mengadakan Salam terhadap sesuatu, janganlah ia memberikannya kepada orang
lain.
Kualitas Hadis: hadis ini menurut Syekh al-Bânî memiliki kualitas daîf.23

2. Syarah Hadis

Al-Sindî: yang dimaksud hadis ini ialah mengganti penjual sebelum

barang diterima, dengan penjual lainnya. Sedangkan menurut al-Tayyibi: yang

dimaksud hadis ini ialah boleh mengembalikan pengganti dengan selainnya

kepada seseorang yang mengucapkan “ siapa yang melakukan salaf”. Yaitu

22
Abû Dâud , Sunan Abû Dâud , Kitab upah,bab larangan mengalihkan akad salam. Hadis
no. 3468 Juz III darul fikri. 1994. Beirut Lebanon, h. 256. Lihat juga di Abî `Abd Allah
Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah al-Rabî`I al-Qazwînî, Sunan Ibnu Mâjah, Juz II Kitab
perdagangan dengan lafaz hadis no. 2283. Dar Ihyâu kutub al-`Arabiyah h.766.
23
Muhammad Nâsir al-Din al-Bânî, daîf al-Jami` al-Saghîr wa ziyâdatuhu (al-fath al-
kabir) Beirut: Maktabah al-Islami, 1990. h. 781.
49

dengan tidak menjual kepada selainnya sebelum menerimanya dengan sesuatu

yang lain24.

Al-Qamî: “Hadis dhaif ini menunjukkan tidak sah mengganti muslam fih

baik dari jenisnya, bagiannya.

Artinya:
“Barang siapa memesan sesuatu, maka janganlah ia mengambil (menerima)
kecuali apa yang telah dipesannya atau modalnya (kembali uang)”.
Dapat diketahui, dengan larangan mengganti ini bahwa tidak boleh

mengganti muslam fîh sebelum barang yang dipesan tiba, yang tidak mewakilkan

di dalamnya dan tidak ada persekutuan serta tidak mengandung maslahat.”25

3. Analisa Hadis

Terpenuhinya rukun suatu akad jual beli adalah adanya pihak-pihak yang

bertransaksi. Di mana pihak-pihak tersebut akan terlibat satu sama lain sampai

berakhirnya akad tersebut.

Adapun jual beli salam merupakan akad yang sifatnya mengikat, di mana

di dalam akad tersebut terdapat ketentuan bahwa akad tidak dapat berakhir

manakala hanya satu pihak yang menarik diri dari akad tersebut. Oleh sebab itu,

24
Abî Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim Abadi “Aunul Ma’bud bi Syarhi Sunan
Abi Daud Juz 9, Maktabah Salafiyah. hl. 354
25
Abî Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim `Abadi “Aunul Ma’bud bi Syarh Sunan
Abi Daud ” Juz 9, Maktabah Salafiyah. h. 357
50

dari mulai akad salam terjadi hingga berakhirnya akad hanya pihak-pihak tertentu

yang boleh terlibat, dan hal tersebut menyebabkan akad salam tidak dapat

dialihkan kepada pihak lain.

Konsekuensi yang timbul dari dialihkannya akad salam membuat akad

tersebut batal dan fasad, karena nantinya akan timbul kesalahpahaman antara

pihak-pihak yang bertransaksi serta timbulnya hak-hak pihak lain yang tidak

terpenuhi.

Misalnya, A melakukan akad salam dengan B, dimana A sebagai pihak

yang memesan dan B adalah pihak yang membuat pesanan. B selaku pihak yang

menyanggupi permintaan A, tidak boleh mengalihkan akad salam kepada pihak

lain tanpa persetujuan dan pengetahuan A. Dalam kasus A mengetahui bahwa B

mengalihkan akad tersebut kepada C sesuai dengan persetujuan A, maka akad

salam pertama (antara A dan B) berakhir, dan digantikan dengan akad salam

kedua (A dengan C).

Jika di masa yang akan datang dikhawatirkan akan terjadi kerugian yang

besar bagi pihak A, maka B dilarang melakukan pemindahan akad kepada pihak

lain, dan B tetap bertanggung jawab menyelesaikan pesanan A.


51

D. Hadis jual beli salam pada kurma

Ada 3 hadis yang membahas jual beli salam pada kurma. Yang

diriwayatkan oleh Bukhârî dalam kitab Sahîh Bukhârî, Abu Dâud dalam kitab

Sunan Abî Dâud, dan Ibnu Mâjah dalam Sunan Ibnu Mâjah masing-masing

sebanyak 1 hadis.

1. Teks Hadis

a. Bukhârî

26

Telah menceritakan Muhammad bin Basyar, telah menceritakan Gundar,


telah menceritakan Syu‟bah Dari Amr, dari Abî Al-Bakhtari, “Aku bertanya
kepada Ibnu Umar RA tentang jual beli sistem salam, maka dia berkata „Nabi
SAW melarang jual beli kurma basah hingga masak, dan melarang menjual perak
dengan emas yang salah satunya diserahkan kemudian dan yang lain secara tunai‟.
Lalu aku bertanya kepada Ibn Abbâs, maka dia berkata, „Nabi SAW melarang jual
beli kurma hingga dia makan atau dapat dimakan dan hingga ditimbang‟. Aku
berkata, „Apakah maksud ditimbang?‟ Seorang laki-laki disisinya berkata,
„Hingga ia terpelihara‟.

26
Al Imam ibn Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughiroh ibn
barzabah Al-Bukhari “Sahîh Bukhârî” Juz 1, Kitab Salam , hadis no. 2249. Darul Fikri, t.t hal.
112. Al Imam ibn Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughiroh ibn barzabah Al-
Bukhari “Sahîh Bukhârî” Juz 1, Kitab Salam , hadis no. 2249. Darul Fikri, t.t h. 112.
52

Terdapat hadis serupa yang diriwayatkan oleh dâud dan ibnu Majah.

Melalui jalur pemuda najran seperti dibawah berikut ini:

b. Abû Dâud

Artinya:
Telah bercerita kepada kami Muhammad Ibn Katsîr, telah mengabarkan
kepada kami Sufyân, dari Abî Ishâq,d ari pemuda Najrân ,dari Ibnu Umar RA
bahwasannya seorang pemuda melakukan jual beli pesanan (salaf) pada kurma,
namun pada tahun itu tidak keluar sesuatu apapun. Kemudian keduanya (penjual
dan pembeli) melapor pada Nabi SAW. maka Nabi SAW berkata pada si penjual:
“dengan apa kamu mengakuisisi hartanya? Kembalikan padanya hartanya.”
Kemudian beliau melanjutkan :‟ janganlah kalian melakukan jual beli salaf pada
kurma hingga terlihat layak (matang).”

Kualitas hadis: menurut al-Bânî hadis yang diriwayatkan Abî Dâud

kualitasnya daîf.28

2. Asbabul Wurud Hadis

Sebab turunnya hadis ini yaitu saat Abî Al-Bakhtari bertanya kepada Ibnu

Umar RA tentang jual beli sistem salam, lalu Ibnu umar berkata „Nabi SAW

melarang jual beli kurma basah hingga masak, dan melarang menjual perak

27
Abû Dâud , Sunan Abû Dâud , kitab Upah, bab salaf pada buah Hadis no. 3467. Juz 3.
Dar el fikri. Hal.255. lihat juga di Abî `Abd Allah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu
Mâjah, Juz II Kitab perdagangan dengan lafaz hadis no. 2284 . (Beirut: Dar al-Fikr,
1415 H/1995 M) h. 767.
28
Muhammad Nâsir al-Din al-Bânî, daîf al-Jami` al-Saghîr wa ziyâdatuhu (al-fath al-
kabir) Beirut: Maktabah al-Islami, 1990.h. 899.
53

dengan emas yang salah satunya diserahkan kemudian dan yang lain secara tunai‟.

Lalu ia bertanya kepada Ibn Abbâs, maka dia berkata, „Nabi SAW melarang jual

beli kurma hingga dia makan atau dapat dimakan dan hingga ditimbang‟. Aku

berkata, „Apakah maksud ditimbang?‟ Seorang laki-laki disebelahnya berkata,

„Hingga ia terpelihara‟.

Pada hadis yang diriwayatkan Abû Dâud dan Ibn Mâjah, hadis ini muncul

ketika seorang dari pemuda Najran bertanya pada Ibnu Umar: “ apakah engkau

pernah melakukan jual beli salam pada kurma sebelum kurmanya berbuah?”. Ibnu

Umar berkata:”tidak”. Aku berkata: “mengapa”? Ibnu Umar berkata: “dimasa

rasul SAW, ada seorang pemuda yang melakukan transaksi salam dikebun kurma

sebelum kurmanya matang.” Saat ia ingin mengambil kurmanya, tidak ada

sesuatu yang tumbuh pada tahun itu. Maka si pembeli itu berkata: “ini milikku

hingga tumbuh”. Si penjual berkata; “sesungguhnya aku menjual kurma ini

3. Syarah Hadis

Ada pendapat yang menyatakan hadis di atas justru melarang salam pada

bidang pertanian seperti kurma. Menurut Ibnu Mundzir mayoritas ulama sepakat

tidak membolehkan menjual buah dikebun tertentu dengan sistem salam, sebab

yang demikian itu mengandung unsur penipuan29.

29
Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqolani “Fathul Bari Syarah Al-Bukhari” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam pada kurma Maktabah salafiyah, hal. 433.
54

Namun,menurut para Ulama Maliki Hadis di atas menjadi dalil tentang

bolehnya menjual buah pohon tertentu di kebun yang tertentu dengan sistem

salam, akan tetapi setelah buahnya tampak masak.30

Kebanyakan ulama memahami hadis di atas dalam konteks jual beli sistem

salam yang dilakukan secara tunai. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, al Hakim dan

al Baihaqi dari hadis `Abd Allah bin Salam tentang kisah masuk islamnya Zaid

bin Sa‟nah, bahwa dia bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah engkau

berkenan menjual kurma kepadaku dengan ukuran tertentu dan hingga waktu

tertentu dari kebun Bani Fulan? “ Beliau bersabda, “Tidak, aku menjual

kepadamu dari kebun tertentu , bahkan aku akan menjual kepadamu ukuran

tertentu hingga waktu yang tertentu pula”. 31

Menurut al-Suyuthi, yang dimaksud Pemuda Najran dalam hadis riwayat

Dâud dan Ibnu Mâjah ialah pemuda pertengahan Yaman dan Hijr.

Menurut Imam As-Syaukani:”pada hadis yang diriwayatkan dari pemuda

Najran adalah shahih, akan tetapi terdapat pemuda majhul dalam sanadnya,

sehingga tidak bisa dijadikan hujjah”32.

Mereka yang membolehkan berkata: “Hadis ini menunjukkan jual beli

pada buah yang matang atau jual beli sistem salaf pada buah yang hampir matang.

30
Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al-Asqolani “Fathul Bari Syarah Al-Bukhari” Juz 4 Kitab Jual
Beli Sistem Salam, Bab jual beli sistem salam pada kurma. Maktabah salafiyah, hal. 433
31
Al-Imam Hafizh Ibn Hajar al-Asqalânî, Al-Imam Hafizh “ Fathul Bari Syarah: Shahih
Bukhari “ Penerjemah , Amirudin , Jakarta: Pustaka Azzam , 2010. Hal.17
32
Abî Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim `Abadi “`Aunul Ma’bud bi Syarh Sunan
Abi Daud ” Juz 9, Maktabah Salafiyah. Hal. 351
55

Pada hadis yang sebelumnya menunjukkan bahwa mereka (Penduduk madinah)

melakukan salaf pada buah-buahan selama 2 sampai 3 tahun.

Dapat diketahui bahwa buah-buahan tidak dapat diketahui dengan tempo,

oleh karena itu tidak sah salam pada buah kurma yang matang dengan sistem

tempo seperti ini”33

4. Analisa Hadis

Hadis di atas menyatakan adanya larangan jual beli salam dengan kurma

yang basah sebelum ia matang dan siap dipetik, karena dalam jual beli semacam

itu terdapat unsur ketidakjelasan objek jual beli.

Konsekuensi dari kurma yang belum matang tetapi sudah ditransaksikan

mengakibatkan jual beli tidak dapat dipastikan kadar dan timbangannya.

Kalimat penegasan ini terlihat pada sabda Nabi yang mengatakan: “Jangan

menjual kurma hingga ia masak atau matang. Hadis ini mengandung arti bahwa

segala objek salam harus terukur baik waktunya maupun objeknya.

Matang dalam hadis di atas merupakan salah satu indikator dari jelasnya

barang yang ditransaksikan. Sehingga, apabila terdapat komoditas lain selain

kurma yang ditransaksikan, hal tersebut diperbolehkan asal jelas barangnya.

Hadis di atas juga menjelaskan tentang diperbolehkannya jual beli salam

pada komoditas perkebunan atau pertanian asalkan syarat-syarat objek yang

33
Abî Tayyib Muhammad Syamsul Haq al-Azhim `Abadi “`Aunul Ma’bud bi Syarh Sunan
Abi Daud ” Juz 9, Maktabah Salafiyah. Hal. 351
56

diperjual belikan dapat diukur kadarnya, jelas kualitasnya, dan jelas

timbangannya.

E. Pendapat Ulama Tentang Jual Beli Salam

Para ulama sepakat bahwa jual beli salam itu boleh, asalkan memenuhi

syarat jual beli salam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang sebagian syarat-

syaratnya. Para ulama tersebut antara lain:

1. Imam Syafi‟i

Menurut Imam Syafi‟I salam hanya sah pada barang yang dapat dibatasi

dengan sifat-sifat tertentu. Seperti pada barang yang dapat diperjual belikan

dengan takaran, timbangan, hitungan atau meteran. Karena hal-hal tersebut dapat

dibatasi dan ditentukan34.

Menurut Syafi‟I, Salam itu sah asalkan memenuhi beberapa syarat yang

disebutkan dalam akad, antara lain:

a. Menjelaskan jenis barang dan modal yang dipesan.

b. Menjelaskan macamnya

c. Menjelaskan sifatnya

d. Menjelaskan bilangan, pada sesuatu yang bisa dihitumg dan menjelaskan

ukuran pada sesuatu yang bisa diukur.

e. Hendaknya barang yang dipesan itu ditangguhkan hingga masa tertentu,

sedikitnya satu bulan.

34
`Abd al-Rahman al-Jazîri, Penterjemah: Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. A. Ghazali “Fiqih
Empat Mazhab” Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1994 hal. 590
57

Menurut Syafi‟I, Transaksi ini tidak mesti Tunai. Ia beralasan jika dengan

penentuan waktu salam itu dibolehkan, maka terlebih lagi salam tunai, tentu

lebih dibolehkan. Karena lebih sedikit segi unsur penipuannya.

2. Imam Hanbal

Sementara Imam Hanbal menyatakan bahwa Salam itu sah asalkan

memenuhi tujuh syarat:

a. Barang yang dipesan harus jelas sifat dan jenisnya.

b. Disebutkan kadarnya, dan alat takarannya telah dikenal dimasyarakat

umum.

c. Disyaratkan jatuh tempo yang telah ditentukan.

d. Barang yang dipesan harus ada pada saat jatuh tempo.

e. Pembayaran harus diselesaikan terlebih dahulu.

f. Barang yang dipesan berupa hutang yang masih dalam tanggungan35.

3. Imam Hanafi

Imam Hanafi menyatakan bahwa syarat sah jual beli salam sebagai berikut:

a. Dijelaskan jenisnya

b. Dijelaskan macamnya

c. Dijelaskan sifatnya

d. Dijelaskan kadarnya

e. Barangnya ditangguhkan

35
`Abd al-Rahman Al-Jaziri, Penterjemah: Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. A. Ghazali
“Fiqih Empat Mazhab” Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1994 hal. 597-598
58

f. Macamnya ada dipasar

g. Termasuk sesuatu yang dapat ditentukan

h. Dijelaskan tempat penyerahan barang pesanannya

i. Tidak mengandung illat riba fadhlin36

Menurut Imam Hanafi dan Imam Hanbal, tempo jual beli sistem

salam selama satu bulan. Dan penentuan masa merupakan syarat sahnya

salam tanpa diperselisihkan.

4. Imam Malik

Imam Malik membagi syarat sah salam ketujuh bagian:

a. Diterimanya seluruh modal

b. Ra‟sul mal bukan makanan,uang, dan tidak buruk.

c. c.Ditangguhkan hingga waktu tertentu oleh kedua orang yang melakukan

akad (15 hari)

d. d.Penimbangan,penakaran dan penghitungan dilakukan dengan standar

yang berlaku dimasyarakat.

e. e.Menjelaskan sifat-sifat barang yang dipesan37

menurut imam Malik, masa tempo jual beli sistem salam sekurang-

kurangnya setengah bulan.

36
Abd al-Rahman Al-Jaziri, Penterjemah: Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. A. Ghazali “Fiqih
Empat Mazhab” Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1994 hal. 594
37
Abd al-Rahman Al-Jaziri, Penterjemah: Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. A. Ghazali “Fiqih
Empat Mazhab” Juz III, Semarang: Asy-Syifa‟, 1994 hal. 605-606
59

5. Ibnu Mundzir

Sebagaimana yang tertulis dalam karyanya “al-Ijma”, Menurut Ibnu

Mundzir jual beli salam sah, asalkan memenuhi 6 syarat:

a. adanya kepastian sifat-sifat barang yang ditransaksikan.

b. menyebutkan jenis dan macam barang yang ditransaksikan dengan akad

salam

c. disebutkannya volume barang yang ditransaksikan dengan akad salam itu,

seperti takarannya atau timbangannya atau meterannya.

d. disebutkan waktu penyerahan barang.

e. agar barang yang ditransaksikan itu biasanya tersedia pada waktu

penyerahan barang seperti yang ditetapkan, sehingga dapat diserahkan

pada waktunya.

f. agar harga pembeliannya sudah diterima secara sempurna dan diketahui

jumlahnya pada saat akad/transaksi.

g. agar barang yang ditransaksikan itu bukan sesuatu yang tertentu tapi

hendaknya ia berbentuk semacam utang yang tertanggung38.

38
Saleh Al-Fauzan, “Fikih Sehari-hari” , Jakarta: 2006, Gema Insani Press. Hal. 408-409
60

6. Wahbah Zuhaili

Jual beli salam memudahkan manusia dalam bertransaksi, sebagaimana

yang dikatakan Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqhu Wa Adillatuhu :

“Dibolehkannya jual beli salam merupakan suatu Rukhsah (keringanan) dalam

memenuhi kebutuhan manusia, tentunya dengan memenuhi syarat-syarat

khusus jual beli salam, yang syaratnya berbeda dengan akad jual beli biasa.”39

Yaitu: 1. Jenisnya diketahui; 2. Sifatnya diketahui; 3. Waktu

penangguhannya diketahui; 4. Standar harganya jelas; 5. Tempat penyerahan

barangnya jelas.

7. Yusuf Qardhawi

Terkait masalah jual beli salam,Yusuf Qardhawi berpendapat

diperbolehkan jual beli sistem salam karena ini adalah salah satu bentuk

muamalah yang biasa berlaku di Madinah. Akan tetapi Nabi SAW

memasukkan beberapa perubahan dan persyaratan, untuk disesuaikan dengan

tuntutan syari‟at dibidang muamalat.

Ibn Abbâs berkata,”Nabi SAW datang di Madinah, kemudian

menjumpai orang-orang membayar di muka untuk buah-buahan dalam jangka

waktu setahun dan dua tahun- yakni memberikan uang lebih dahulu pada

waktu itu untuk pembelian buah-buahan pada waktu setahun atau dua tahun

yang akan datang. Lalu beliau bersabda:

39
Wahbah Zuhaili “al-Fiqhu al-Islâm wa Adillatuhu” Juz 4 Bab Jual Beli Salam, Dar el-
Fikr 1984 M, hal. 619
61

.40

Artinya:
“Barang siapa membayar di muka, maka hendaklah ia membayar di muka dengan
suatu takaran tertentu dan timbangan tertentu hingga waktu tertentu.”
Dengan adanya pembatasan (penentuan) pada takaran, timbangan atau

waktu tertentu ini, maka hilanglah pertentangan dan kesamaran.

Tetapi di samping itu mereka juga mengadakan pembayaran di muka

untuk jenis buah kurma yang masih ada di pohon, kemudian hal itu beliau larang

karena terdapat unsur kesamaran. Sebab bisa saja pohon kurma itu ditimpa

bencana sehingga tidak berbuah.

Bentuk yang paling selamat dalam muamalah seperti ini ialah tidak

mensyaratkan jenis kurma atau gandumnya, melainkan hanya mensyaratkan

takaran dan timbangannya saja.

Tetapi apabila terdapat unsur-unsur eksploitasi (kezaliman) yang jelas

terhadap pemilik kurma atau kebun, karena didorong oleh keperluan lantas yang

bersangkutan menerima transaksi itu, maka pada kasus itu dinyatakan haram.41

40
Hadis ini terdapat di “Sahîh Bukhârî” Juz 1, Kitab Salam , hal. 111. lihat juga di
“Sunan al-Tirmidzî “ Juz III bab Salam pada Buah-buahan, Hadis no. 1311, Darul fikri, hal. 54.
Lihat juga di “Sunan Abû Daud , kitab Upah, bab salaf pada buah. Hadis no. 3467. Juz 3. Dar el
fikri. Hal.255 lihat juga di “Sunan Nasâi” jilid IV hadis no 4625 . Darul Fikri, hal. 310-311. Lihat
juga di Ibn Mâjah, “Sunan Ibnu Mâjah,” bab perdagangan, juz 2 hadis no. 2280, Dâr Ihyâ al-Kutub
al-`Arabiyah.h. 765.
41
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram. Penerjemah Abî Sa‟id al-Falahi dan Aunur Rafiq
Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 312.
62

F. Aplikasi Jual Beli Salam dalam Bisnis Kontemporer

Jual beli Salam biasanya digunakan pada pembiayaan bagi petani dengan

jangka waktu relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah

barang seperti padi, jagung dan cabai, bank tidak berniat untuk menjadikan

barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, dilakukanlah akad salam

kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk atau grosir.

Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai Salam Paralel.42

Jual beli Salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang Industri,

misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah

dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan

garmen, bank mereferensikan penggunaan akad tersebut. Hal ini berarti bahwa

bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayarnya pada waktu

pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua, pembeli tersebut

bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut.

Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada

rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara angsur

maupun tunai.43

Dalam praktiknya pada industri keuangan, akad salam berlaku pada barang

barang pertanian seperti beras, kentang, sayuran, jagung dsb. Namun, menurut

data yang diambil dalam statistik Bank Indonesia, akad salam memiliki persentase

42
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press, Cet.I, 2001, hal.111.
43
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani Press, Cet.I, 2001, hal.112
63

paling rendah dibandingkan dengan pembiayaan lainnya.44 Hal ini disebabkan

karena akad salam kurang mendapat perhatian baik oleh nasabah maupun bagi

bank.

Dalam analisis pembiayaan yang dilakukan oleh bank, akad salam

merupakan akad yang paling beresiko dibandingkan dengan akad pembiayaan

lainnya karena akad ini terbatas objeknya pada baranng pertanian.

Hal yang menyebabkan akad ini beresiko adalah tidak pastinya atau tidak

menentunya iklim yang ada di Indonesia dalam mendukung terlaksananya akad

salam di perbankan. Melihat objek yang menjadi tujuan akad ini adalah barang-

barang pertanian yang rawan gagal akibat pengaruh cuaca.

Namun, kedepannya akad ini butuh penyempurnaan atau inovasi dalam

pelaksanaannya agar akad ini dapat lebih memberikan manfaat bagi masyarakat

luas.

Jika dalam perbankan aplikasi salam tidak terlalu banyak di praktekkan oleh

praktisi industri keuangan, namun dalam kehidupan sehari-hari jual beli salam

banyak dilakukan pada jual beli online, khususnya jual beli online pada

pemesanan barang yang belum diproduksi (pre order) yang saat ini sangat

berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa jual beli salam sangat bermanfaat bagi

penjual dan pembeli. Bagi penjual, jual beli pre order dalam online membuat

resiko barang tidak terjual menjadi minim. Hal tersebut dikarenakan penjual

hanya memproduksi barang sesuai jumlah pesanan pembeli. Sedangkan bagi


44
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Pages/SPS_okt2013.aspx diakses
pada tanggal 12 maret 2014 pukul 20.00.
64

pembeli, jual beli pre order dalam online akan mempermudah pembeli

mendapatkan barang sesuai yang diinginkan.

Jual beli online memang belum dilakukan pada masa Nabi Muhammad

SAW, namun mekanisme jual beli salam dapat diaplikasikan pada jual beli online

khususnya pada barang pre order.

G. Hikmah Jual beli sistem salam

Adanya akad salam dapat memudahkan masyarakat dalam mendapatkan

barang yang dibutuhkannya dimana barang tersebut memerlukan proses dalam

pembuatannya.

Akad ini juga turut mensejahterakan para pengrajin atau pembuat pesanan

karena dengan adanya akad ini, pembuat pesanan dapat dengan mudah memenuhi

kebutuhan pelanggannya tanpa harus memiliki modal

Akad salam ini dibolehkan dalam syariah Islam karena mempunyai hikmah

dan manfaat besar, dimana kebutuhan manusia dalam bermuamalat seringkali

tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan atas akad ini. Kedua belah pihak, yaitu

penjual dan pembeli bisa sama-sama mendapatkan keuntungan dan manfaat

dengan menggunakan akad salam.

Pembeli mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan

barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan

sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila

dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan barang tersebut.


65

Sedangkan penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya

dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan

usahanya tanpa harus membayar bunga. Dengan demikian selama belum jatuh

tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan

usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban

apapun.

Penjual dapat memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli,

karena biasanya tenggang waktu transaksi dan penyerahan berjarak cukup lama.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka terdapat 2


kesimpulan yang dapat dikemukakan yaitu sebagai berikut:

1. Jual beli salam dalam perspektif hadis ialah suatu akad yang mengikat

antara penjual dengan pembeli dalam melakukan transaksi barang yang

belum ada. Yaitu dengan menyebutkan ciri barang yang dipesan,

pembayaran yang dilakukan secara penuh diawal, serta ditentukannya

waktu pengambilan barang. Hal ini penting, untuk menjaga kenyamanan

pembeli serta menghindari aksi penipuan.

2. Seiring berkembangnya zaman, jual beli salam dapat diaplikasikan pada

bisnis modern.

66
67

B. Saran-Saran

1. Bagi pemerintah melalui otoritas Bank Indonesia agar mensosialisasikan

akad salam kepada masyarakat luas, khusus nya kepada para petani agar

akad ini dapat di aplikasikan pada kegiatan ekonomi di masyarakat.

2. Kepada MUI (Majelis Ulama Indonesia) agar terus berupaya mengedukasi

masyarakat agar dapat diketahuinya mekanisme akad salam yang baik dan

benar sesuai syariat.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, Sulaiman bin al-Asy`ats Sijistânî. Sunan Abi Dawud (Beirut: Dar al-

Fikr, 1994).

Asqalânî, Ahmad bin Ali bin Hajar. “Fathul Bari Syarah Al-Bukhari” Maktabah

Salafiyah. T.t

`Abadi , Abu Tayyib Muhammad Syam al-Haq al-Azhim. “Aunul Ma’bud Syarah

Sunan Abu Daud” Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut Lebanon.

Ahmad, Aiyub. Transaksi Ekonomi Perspektif Hukum Perdata dan Hukum Islam

Jakarta: Kiswah, 2004.

Arifin, Muhammad. Sifat Perniagaan Nabi SAW panduan praktis Fiqih

Perniagaan Islam,Darul Ilmi 2008.

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema

Insani Press, Cet.I, 2001.

Bukhari,Abdullah Bin Ismail. Shahih Bukhari. Bairut:Dar al-Fikr, 1994.

Bânî, Muhammad Nâsir al-Din. daîf al-Jami` al-Saghîr wa ziyâdatuhu (al-fath

al-kabir). Beirut: Maktabah al-Islami, 1990.

Basyir, Ahmad Azhar. Asas-asas Hukum Mua’malat. (Hukum Perdata Islam).

Yogyakarta: UII Press, 2000.

Dewi, Gemala. Aspek-aspek hukum dalam perbankan & perasuransian syariah di

Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

68
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Sigma

Examedia, 2009.

Fauzan, Saleh. Fikih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press, 2005

Hasan, M Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat).

(Jakarta: Rajawali Press, 2002).

Ichsan, Achmad. Hukum Perdata I B, (t.t.: Pembimbing Masa, 1967).

Idris, Abdul Fatah dan Ahmad, Abu. Kifayatul Akhyar Terjemahan Ringkas Fiqih

Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Jaziri, Abdul Rahman. Penterjemah: Drs. H. Moh. Zuhri dan Drs. A. Ghazali

“Fiqih Empat Mazhab”. Semarang: Asy-Syifa’, 1994

Jaziri, Abu Bakr Jabir. Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Darul Falah, 2000

Kemal, Mustafa. Fikih Islam. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.

Kamaludin ,Ibrahim bin Muhammad. “Al-Bayân wa al-Ta’rif Asbab al-Wurûd al-

Hadîs al-Syarîf” Jilid 3. Beirut Lebanon, Maktabah `Ilmiyah.

Karim, Adiwarman Aswar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. (Jakarta:

Gema Insani Press, 2001)

Lubis, Ibrahim. “Ekonomi Islam Suatu Pengantar II”. Jakarta: Kalam Mulia ,

2005.

Mâjah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1987.

69
Mubarakfuri, Abu Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahman. “Tuhfatul

Ahwadzi Syarah Jami’ al-Tirmidzi”. Dar al-Fikri. T.t

Mujahidin, Ahmad. Kewenangan dan prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah di Indonesia. Cet.1 Bogor: Penerbit Ghalian Indonensia, 2010.

Muhammad. Model-model Akad Pembiayaan di Bank Syariah (Panduan Teknis

Pembuatan Akad atau Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Syariah).

(Yogyakarta: UII Press, 2009).

Masdoeki, Arief dan Amidjaja, Tirta. Azas dan Dasar Hukum Perdata. (Jakarta:

Djambatan, 1963).

Mas’adi, Gufron. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002.

Ma’arif, Samsul. Fiqih Progresif Menjawab Tantangan Modernitas. Jakarta:

FKKU Press, 2003.

Nasâi, Ahmad Bin Syaib Abi `Abd al-Rahman. Sunan Al-Nasâi. Libanon : Dar

Al-Ihyâ al-Turas. T.t.

Nashif, Manshur Ali. Penterjemah: Bahrun Abu Bakar,LC. Mahkota Pokok-Pokok

Hadis. Sinar Baru Algensindo, Bandung , 1993.

Pasaribu, Chairuman dan K. Lubis, Suhrawadi. Hukum Perjanjian dalam Islam.

Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Qardawî, Yusuf . Halal dan Haram. Robbani press: Jakarta , 2011.

70
Qurthubi, Tafsir al Qurtubhi. penerjemah Faturahman, Jakarta Pustaka Azzam

2007.

Sabiq, Sayyid Fiqih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif, 1988.

S, Burhanuddin. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE, 2009.

Suhendi, Hendi. Fiqih Mua’malah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Syafi’I, Rahmat. Fiqih Mua’malah. Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Shawi,Shalah dan Muslih, Abdullah. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta:

Darul Haq, 2004.

Soemitra, Andri. Bank & Lembaga Keuangan Syariah , Jakarta: Kencana, 2009.

Sholahuddin, M. Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2007.

Subekti, Ahmad Aneka Perjanjian. (Bandung: Alumni,1975).

Tirmizî, Abi Isa Muhammad Ibn Musa Ibn al-Dahaq al-Sulami al-Bughi. Sunan

Al-Tirmidzi. Bairut: Dar Fikr, 1988.

Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa. Kamus Besar

Bahasa Indonesia Cet. 1. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Wensink, AJ. Mujam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al-Hadis Al-Nabawi. Leiden:

Maktabah Bril,1936.

71
Zulkifli, Sunarto. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Jakarta: Zikrul

Hakim, 2007.

Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh Dar el-Fikr 1984.

http://enambelas-blog.blogspot.com/2012/02/hukum-bisnis-online-menurut-

islam.html diakses pada Maret 2013

72

Anda mungkin juga menyukai