UIN ALAUDDIN
MAKASSAR
2014
Buku Daras :
Copyright@Penulis 2014
Layout :
vi + 255, 15,5 x 23 cm
ISBN:
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini tanpa izin
tertulis penerbit
Alauddin University Press
Email : au_press@yahoo.com
iii
SAMBUTAN REKTOR
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
(Prof. Dr. H.A. Qadir Gassing, H.T.,M.S.)
iii
pengetahuan agama dan umum yang marak diperbincangkan dewasa
ini.
Amin Ya Rabbal-Alamin.
iv
KATA PENGANTAR
v
Makassar, September 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
iii
A. Firqoh Jabariyah......................................................................... 53
1. Sejarah Munculnya ............................................................ 53
2. Pokok-pokok Ajarannya .................................................. 54
B. Firqoh Qadariyah....................................................................... 55
1. Sejarah Munculnya ............................................................ 55
2. Pokok-pokok Ajarannya ................................................... 56
BAB VI FIRQOH SYI’AH ........................................................................... 60
A. Sejarah Munculnya .................................................................... 61
B. Sekte Syi’ah dan Ajarannya....................................................... 64
1. Syi’ah Imamiyah ................................................................. 64
2. Syi’ah Sab’iah ...................................................................... 69
3. Syi’ah Zaidiyah ................................................................... 72
4. Syi’ah Ghulat ...................................................................... 73
BAB VII FIRQOH MU’TAZILAH ............................................................ 80
A. Sejarah Munculnya .................................................................... 81
B. Ajarannya .................................................................................... 82
C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah........................................................... 85
BAB VIII FIRQOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH .................... 91
A. Pengertian ................................................................................... 92
B. Aliran Asy’ariyah ........................................................................ 92
1. Sejarahnya Munculnya Asy’ariyah ................................... 92
2. Corak Pemikirannya .......................................................... 94
3. Pemikiran Kalamnya ......................................................... 95
4. Tokoh-tokoh Asy’ariyah ................................................... 98
C. Aliran Maturidiyah ..................................................................... 101
1. Maturidiyah Samarkand .................................................... 101
2. Maturidiyah Bukhara (al-Bazdawi) .................................. 104
BAB IX GERAKAN SALAF.......................................................................
A. Sejarahnya ................................................................................... 110
B. Pokok-pokok Pikirannya .......................................................... 111
C. Tokoh-tokohnya ........................................................................ 112
BAB X GERAKAN AHMADIYAH.......................................................... 125
A. Sejarah Aliran Ahmadiyah ........................................................ 126
B. Ajaran-ajaran Ahmadiyah ......................................................... 127
C. Perkembangannya...................................................................... 129
iv
BAB XI PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN-ALIRAN ................... 139
A. Akal dan Wahyu......................................................................... 140
B. Iman dan Kufur ......................................................................... 143
C. Perbuatan Manusia .................................................................... 146
D. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan ................................. 152
BAB XII PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN (ABDUH,
AHMAD KHAN, DAN IQBAL) .............................................. 167
A. Syekh Muhammad Abduh ....................................................... 168
B. Sayyid Ahmad Khan ................................................................. 173
C. Muhammad Iqbal...................................................................... 176
BAB XIII PEMIKIRAN KALAM MASA KINI ..................................... 184
A. Hasan Hanafi.............................................................................. 185
B. H.M. Rasyidi ............................................................................... 188
C. Harun Nasution ......................................................................... 191
DAFTAR KEPUSTAKAAN ....................................................................... 197
v
BAB I
PENGENALAN TERHADAP TEOLOGI ISLAM
Tujuan Pembelajaran:
1
PENDAHULUAN
2
demikian Teologi Islam adalah satu nama atau sebutan untuk ilmu yang
membahas tentang ajaran dasar agama Islam.
3
menamakan bukunya yang membahas tentang kepercayaan agama
dengan judul “al-Fiqhul Akbar”.7
2. Hadis
Hadis Nabi SAW. pun banyak membicarakan masalah-masalah
yang dibahas ilmu kalam. Di antaranya adalah hadis Nabi yang kemudian
dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai kemunculan
berbagai golongan dalam Ilmu Kalam di antaranya adalah:
“Hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “Orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi
7 Ahmad Amin, Dhuha ‘I-Islam, Juz III, (Bairut: Darul Kitabi al-Arabiyah, t.t.),
h. 10.
4
tujuh puluh dua golongan: dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh
golongan”.
“Hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan
bahwa Rasulullah bersabda, “Akan menimpa umatku apa yang pernah
menimpa Bani Israil. Bani Israil telah terpecah-belah menjadi 72 golongan
dan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan
masuk neraka, kecuali satu golongan saja. “Siapa mereka itu. Wahai
Rasulullah?” Tanya para sahabat. Rasulullah menjawab, ‘Mereka adalah
yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahjabatku’.
3. Pemikiran Manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat
Islam sendiri atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum
filsafat Yunani masuk dan berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri
telah menggunakan pemikiran rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang belum jelas
maksudnya (al-mutasyabihat). Keharusan untuk menggunakan rasio
ternyata mendapat pijakan dari beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya:
4. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu,
kepercayaan adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia
pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad mengatakan bahwa keberadaan
dan Pemikiran Manusia. Terj. A . Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 14.
10 Lihat Al-Akkad, h. 15.
11 Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz III, cet. VII, (Kairo: Maktabah Nahdhah
al-Mishriyyah, t.t.), h. 1
7
mengenai kebebasan manusia dan keterikatannya. Demikian pula dengan
ayat-ayat mutasyabihat. Kedua: Sesungguhnya kaum muslimin setelah
menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah
ruah rezekinya, disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama,
dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempertemukan
nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti ini
hampir merupakan gejala umum bagi tiap-tiap agama. Pada mulanya
agama-agama itu hanyalah merupakan kepercayaan yang sederhana dan
kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan.
Pemeluk-pemeluknya melaksanakan (menerima) bulat-bulat apa yang
diajarkan agama, kemudian dianutnya dan beriman dengan sepenuh hati
tanpa ada kecenderungan pembahasan dan pemfilsafatan. Kemudian
setelah itu datang fase pemfilsafatan dan pemikiran dalam membicarakan
soal-soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh
agama mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan
penjelasan-penjelasannya.12
Ketiga: Karena peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam tubuh kaum
muslimin khususnya dalam masalah politik yang melahirkan beberapa
golongan. Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi titik tolak yang jelas
dari permulaan berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan diantara
kaum muslimin sendiri. Sejak saat itu timbullah orang yang menilai
tentang peristiwa pembunuhan itu, di samping menilai amal perbuatan
Utsman sendiri sewaktu hidupnya. Segolongan kecil mengatakan bahwa
Utsman dianggapnya salah kebijaksanaannya pada akhir masa jabatannya.
Pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Utsman itu adalah
kejahatan besar dan pembunuhnya adalah kafir. Persoalan dosa tersebut,
dilanjutkan lagi yaitu mengenai sumber kejahatan dan perbuatan manusia.
Karena adanya penentuan sumber ini, maka dengan mudah diberikan
vonis kepada pelakunya itu sebagai orang yang salah.13
Kalau manusia itu sendiri sebagai sumber perbuatan, maka
soalnya sudah jelas. Akan tetapi kalau sumber perbuatan itu Tuhan,
manusia itu hanya sebagai pelaku semata-mata, maka keputusan manusia
itu dosa atau kafir, hal itu masih belum jelas. Inilah yang menyebabkan
timbulnya golongan Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyah.
2. Faktor Ekstern
Adapun faktor-faktor dari luar (extern) antara lain:
Pertama:14 Kebudayaan-kebudayaan luar yang ditemui oleh kaum
muslimin ketika berhasil mengembangkan daerah Islam ke wilayah-
wilayah luar semenanjung Arabiah, sesungguhnya kebanyakan orang-
orang yang memeluk Islam sesudah kemenangannya, semula mereka
8
itu telah memeluk berbagai agama. Mereka dilahirkan dan dibesarkan
dalam ajaran-ajaran agama itu. Setelah memegang teguh agamanya
yang baru, yaitu agama Islam, mulailah mereka memikirkan ajaran-
ajaran yang terdahulu dan membangkitkan persolan-persoalan dari
persoalan agamanya serta diberinya dengan corak baju ke-Islaman.
Kedua: Sesungguhnya golongan Islam yang dahulu, terutama
golongan Mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang terpenting
adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang
memusuhi Islam. Mereka tidak akan bisa menolak lawan-lawannya
kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-pendapatnya serta
alasan-alasannya. Maka akhirnya negeri Islam itu menjadi medan
perdebatan bermacam-macam pendapat dan agama. Tidak dapat
diragukan lagi bahwa perdebatan bisa membawa (menyebabkan)
berfikir dan membangkitkan persoalan yang bisa mengajak
memerhatikan tersebut. Hal ini sudah barang tentu (mendorong)
golongan Mu’tazilah mempergunakan senjata yang dipakai lawannya
(yaitu filsafat, pen) dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam
golongan Mu’tazilah dan aliran-aliran golongan lainnya.15
Ketiga: Faktor ini merupakan kelanjutan factor kedua. Yaitu
sesungguhnya kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu
adalah untuk mengalahkan (mengimbangi, pen) musuh-musuhnya,
mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama,
maka mereka terpaksa mempelajari filsafat Yunani dalam mengambil
manfaat ilmu logika, terutama dari segi ketuhanannya.16
Demikian pembahasan kita terhadap faktor-faktor dari dalam
maupun faktor-faktor dari luar yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam
(teologi Islam). Barang siapa yang mengatakan yang mengatakan bahwa
ilmu kalam itu ilmu ke-Islam-an yang murni, yang tidak terpengaruh oleh
filsafat dan agama-agama yang lain, hal itu tidaklah benar. Tetapi orang-
orang yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat Yunani
semata-mata itu juga tidak benar. Karena Islam menjadi dasarnya dan
sumber-sumber pembahasannya. Nash-nash agama banyak dijadikan dalil,
disamping filsafat Yunani, tetapi kepribadian Islam adalah menonjol.
1990), h. 174.
20 Lihat Philip Bob Cock Gove (Ed.), Webster’s Third New International Dictionary
Rangkuman
Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan
pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun
berdasarkan penyelidikan akal murni. Secara historis, teologi Islam
bersumber pada al-Qur’an, Hadis, pemikiran manusia, dan insting.
Munculannya teologi Islam disebabkan oleh beberapa faktor dapat dibagi
menjadi dua, yaitu factor dari dalam (intern) yaitu posisi al-Qur'an sebagai
seruan dakwah yang bersifat universal, kondisi pemikiran kaum muslim
setelah penaklukan negeri-negeri baru, dan kondisi politik di kalangan
kaum muslim sedangkan factor dari luar (extern) yaitu pengaruh
kebudayaan-kebudayaan dari luar yang ditemui umat muslim, factor
perdebatan pemikiran antar golongan. Teologi Islam juga mempunyai
relevansi dengan ilmu filsafat dan tasawuf. Hal tersebut dapat kita lihat
pada titik persamaan, titik perbedaan, titik singgung antara teologi islam
dan ilmu tasawuf.
13
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Jelaskan pengertian Teologi Islam
2. Terangkan nama-nama lain dari Teologi Islam
3. Kemukakan sumber-sumber Teologi Islam
4. Jelaskan faktor-faktor pendorong lahirnya teologi Islam
5. Jelaskan Relevansi Teologi Islam, Filsafat, dan Tasawuf, baik
perbedaan maupun persamaannya.
14
BAB II
KERANGKA BERPIKIR ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mempelajari materi ini, maka diharapkan mahasiswa mampu:
1. Memahami sebab yang memicu perbedaan pendapat para sahabat
dan tabi’in dalam mengkaji suatu masalah tertentu.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip metode berfikir Rasional.
3. Menjelaskan prinsip-prinsip metode berfikir Tradisional.
4. Mengemukakan kerangka berfikir antar aliran dalam
menyelesaikan persoalan-pesoalan kalam.
15
PENDAHULUAN
Akar Masalah dan Solusinya, Terj. Abu Fahmi, (Jakarta: Wacana Lazuardi Amanah), h. 39-
55.
16
Bertolak dari ketiga padangan diatas, perbedaan pendapat di
dalam masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara
(metode) berpikir aliran-aliran Ilmu Kalam dalam menguraikan objek
pengkajian (persoalan-persoalan kalam). Perbedaan metode berpikir
secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka
berpkir rasional dan metode berpikir tradisional. Metode berpikir rasional
memiliki prinsip-prinsip berikut ini:4
1. Hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas
disebut dalam Al-Qu’an dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i
(teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti
harfiahnya).
2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan
berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
A. Aliran Antroposentris
Aliran antroposentris menganggap bahwa hakekat realitas
transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat
dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang supranatural
dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos. Unsur
supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Tugas
manusia adalah melepaskan unsur natural yang jahat. Dengan demikian,
manusia harus mampu menghapus kepribadian kemanusiaannya untuk
meraih kemerdekaan dari lilitan naturalnya. Orang yang tergolong dalam
19
Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada
kemampuannya membuat pendulum agar selalu berada tidak jauh ke
kanan atau ke kiri, tetapi tetap di tengah-tengah antara berbagai
ekstrimitas. Dilihat dari sisi ini, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap,
atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan
makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk
merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan sebagaimana keterpaduan
antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya,
kemerdekaan kehendak manusia yang profan selalu berdampingan
dengan determinisme transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam
daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini
adalah Asy’ariyah.
D. Aliran Nihilis
Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental
hanyalah ilusi. Aliran inipun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi
menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil
dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan.
Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu
melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya, manusia
mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral
perjuangan seluruh manusia.8
Rangkuman
Perbedaan pendapat yang terjadi pada aliran-aliran kalam di dalam
masalah objek teologi sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode)
berpikir aliran-aliran ilmu kalam dalam menguraikan objek pengkajian
(persoalan-persoalan kalam). Perbedaan metode berpikir secara garis
besar ini dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu metode berpikir
rasional dan metode berpikir tradisional. Di samping pengkategorian
teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengkategorian akibat adanya
perbedaan kerangka berpikir dalam menyelesaikan persoalan-persolan
kalam, yaitu: aliran antroposentris, aliran teosentris, aliran konvergensi
atau sintesis, aliran nihilis. Aliran antroposentris menganggap bahwa hakekat
realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan
erat dengan masyarakat kosmos, baik yang natural maupun yang
supranatural dalam arti unsur-unsurnya. Manusia adalah anak kosmos.
Unsur supranatural dalam dirinya merupakan sumber kekuatannya. Aliran
teosentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
suprakosmos, personal, dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala
sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya mampu
21
Tes Formatif:
Jawablah pertanyaan beikut ini dengan baik dan benar !
1. Jelaskan apa sebab yang memicu perbedaan pendapat para
sahabat dan tabi’in dalam mengkaji suatu masalah tertentu?
2. Kemukakan prinsip-prinsip metode berfikir Rasional !
3. Kemukakan prinsip-prinsip metode berfikir Tradisional !
4. Jelaskan perbedaan kerangka berfikir antar aliran dalam
meyelesaikan persoalan persolan kalam!
22
BAB III
PERPECAHAN UMAT ISLAM SESUDAH WAFATNYA
RASULULLAH SAW.
Tujuan Pembelajaran:
Setelah perkuliahan disajikan, maka diharapkan mahasiswa
Mampu :
23
PENDAHULUAN
1 Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
h. 57
24
rumah Umar sewaktu menjabat khalifah. Sesudah Umar wafat, maka
mushaf itu disimpan di rumah Hafsah binti Umar, salah seorang istri
Rasulullah Saw.
Khalifah Abu Bakar juga menghadapkan seluruh niatnya
menaklukkan beberapa negeri untuk memperluas penyiaran agama
dan guna memalingkan pikiran umat Islam dari perselisihan sesame
mereka. Untuk itu, maka dikirimlah pasukan untuk menaklukkan
negeri Persia dan Roma.
Khaliafah Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M), seorang
bangsawan dan pahlawan berhasil menaklukkan beberapa negeri
secara gemilang. Pada masa pemerintahannya adalah masa ekspansi
dan pembangunan. Dia menaklukkan negeri-negeri Syam (639 M),
Persia (624 M), Irak (636 M), Mesir (641 M).2
Di bidang pemerintahan, dia memperbaiki dan
menyempurnakan administrasi Negara, jabatan-jabatan kehakiman,
masala-masalah sosial dan sebagainya. Dia memang banyak
mempunyai inisiatif dan mampu merealisasinya. Suatu hal yang tidak
kalah pentingnya ialah penetapan “tahun hijriyah” sebagai tahun
resmi bagi umat Islam.
Memerhatikan kesibukan-kesibukan pada masa kedua khalifah
tersebut, menyebabkan keadaan umat bersatu dalam akidah dan
masalah-masalah agama. Kalau toh ada hal-hal yang diperselisihkan
oleh umat, maka khalifah memutuskan persoalan tersebut, sesudah
mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh sahabat. Seandainya
ada, perselisihan itu hanya pada masalah furu’iyah saja, bukan masalah
ushuliyah akidah.
A. Kesatuan Akidah
Telah berlalu zaman Nabi, di mana beliau telah melenyapkan
segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Abu
Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khattab, berjuang sepanjang usianya
untuk melawan musuh-musuh Islam sambil memadu tekat bulat
dengan para sahabat, sehingga tidak ada sedikit pun peluang bagi
orang untuk memperdayakan dan mengutak-atik masalah akidah.
Apabila timbul perbedaan pendapat, maka khalifah cepat-cepat
mengatasi persoalan.
Biasanya perselisihan-perselisihan itu timbul sekitar masalah-
masalah furu’iyah saja, tidak mengenai ushuliyah akidah. Keadaan umat
zaman khalifah Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab itu cukup
mengerti akan isyarat-isyarat Al-Qur’an dan nash-nashnya. Terhadap
ayat mutasyabihat, mereka serahkan kepada Allah Swt. dan sama
sekali tidak mau menakwilkannya. Ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-
28
dan pertengkaran mereka yang telah berlarut-larut itu, mereka
mengingini seorang hakam, yaitu pengantara yang netral.
Seketika pemuka-pemuka kedua suku-bangsa ini pergi naik haji
ke Mekkah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi
Muhammad dan dalam satu perjumpaan dengan beliau mereka
meminta supaya Nabi pindah ke Yasrib. Melihat kerasnya tantangan
yang beliau hadapi dari pihak pedagang Mekkah, beliau akhirnya
berhijrah ke Yasrib. Di kota ini, yang setelah Nabi pindah ke sana
diberi nama Madinah al-Nabi, beliau bertindak sebagai pengantara
antara kedua suku-bangsa yang bertentangan itu. Lambat laun dari
pengantara, Nabi menjadi kepala masyarakat Madinah, apalagi setelah
masyarakat itu, kecuali penduduk Yahudinya , masuk Islam.
Dari sejarah singkat ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa
selama di Mekkah Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala
agama, dan tak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, karena
kekuasaan politik yang ada disana belum dapat dijatuhkan pada waktu
itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad, di samping mejadi
kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang
mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Sebelum itu di
Madinah tak ada kekuasaan politik.
Saat beliau wafat tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah
bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan
meliputi seluruh Semenanjung Arabiah. Negara Islam di waktu itu,
seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah merupakan kumpulan
suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan
(Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat
Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya.7
Islam sendiri, sebagai kata R. Strothmann, di samping merupakan
sistem agama telah pula merupakan sistem politik, dan Nabi
Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi seorang ahli
Negara.8
Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada
waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau
untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan
Nabi merupakan soal kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal
pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau
Rasul, Nabi tentu tak dapat digantikan.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh
masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi
dalam mengepalai Negara mereka. Kemudian Abu Bakar digantikan
oleh ‘Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Utsman Ibn Affan.
‘Utsman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya.
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS.al-Maidah [5]: 44).
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa
lillah. Karena keempat pemuka Islam diatas telah dipandang kafir
dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam, yaitu murtad atau
apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil
keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut
sejarah hanya orang yang dibebani membunuh ‘Ali Ibn Abi Thalib
yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum Khawarij terpecah menjadi beberapa sekte.
Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir
bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-
Qur’an, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir
atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang kemudian
mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya
dalam Islam. Persoalannya ialah: Masihkah ia bisa dipandang orang
mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar
itu? Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam.
Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang
berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya
murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran kedua ialah aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa
orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir.
Adapun soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah Swt.
untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Rangkuman
Setelah wafatnya Rasulullah Saw. kekompakan kaum muslim pada
persoalan akidah masih tampak kompak pada zaman pemerintahan
khalifah Abu Bakar as-Shiddiq dan khalifah Umar bin Khattab.
Namun kekompakan tersebut mulai sirna pada masa pemerintahan
khalifah Utsman bin Affan. Hal ini terjadi disebabkan oleh Abdullah
bin Saba’ (pendeta agama Yahudi berasal dari Persia yang pura-pura
masuk Islam), yang melakukan fitnah dikalangan umat Islam. Pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Saba’ menyebarkan
fitnah lagi, menyebarkan ajaran-ajaran yang menodai tauhid Islam,
antara lain menganggap Sayyidina Ali sebagai penitisan Tuhan,
menonjol-nonjolkan dan sanjungan yang berlebih-lebihan. Semuanya
itu dilakukan bertujuan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib terjadi sebuah peristiwa yang
mengakibatkan timbulnya perpecahan pada persoalan teologi yakni
terjadi pada saat perang Siffin. Dalam pertempuran yang terjadi antara
kedua golongan ini di Siffin, tentara ‘Ali dapat mendesak tentara
Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersiap-siap untuk lari.
Tetapi tangan kanan Mu’awiyah, ‘Amr Ibn al-As yang terkenal sebagai
orang licik, minta berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas.
Qurra’ yang ada di pihak ‘Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran
itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan
arbitrase. Sikap ‘Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-As untuk
mengadakan arbitrase inilah sehingga ‘Ali dianggap bersalah dan
berbuat dosa. Persolan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik
inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persolan-persoalan
teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan
kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang
masih tetap dalam Islam.
35
Tes Formatif
1. Jelaskan bagaimana tentang kesatuan akidah?
2. Jelaskan bagaimana infiltrasi yang dilakukan oleh Abdullah bin
Saba’?
3. Jelaskan sejarah munculnya persolan-persolan Teologi dalam
Islam !
37
BAB IV
FIRQOH KHAWARIJ DAN FIRQOH MUR’JIAH
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mempelajari materi ini, maka diharapkan mahasiswa
mampu :
1. Mengetahui sejarah munculnya firqoh Khawarij.
2. Mengetahui sekte-sekte dan ajaran-ajaran Khawarij.
3. Mengetahui latar belakang munculnya firqoh Murji’ah.
4. Mengetahui sekte-sekte dan ajaran-ajaran Murji’ah.
38
PENDAHULUAN
A. Firqoh Khawarij
1. Sejarah Munculnya
Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung
Sayyidina Ali. Akan tetapi, akhirnya mereka membencinya karena
dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim
yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci
Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka
menuntut agar Sayyidina Ali mengakui kesalahannya, karena mau
menerima tahkim. Bila Sayyidina Ali mau bertobat, maka mereka mau
bersedia lagi bergabung dengannya untuk menghadapi Mu’awiyah. Tetapi
bila dia tidak bersedia bertobat, maka orang-orang khawarij menyatakan
perang terhadapnya, sekaligus juga manyatakan perang terhadap
Mu’awiyah. Semboyan mereka “la hukma illa Allah” (tidak ada hukum
kecuali dari Allah).
Sikap Ali yang menerima arbitrase (tahkim) tak disetujui oleh
sebagian pengikutnya dengan alasan arbitrase adalah keputusan manusia.
Keputusan hanya datang dari Allah dengan dasar QS. Al-Maidah ayat 44.
Terjemahnya:
39
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Mereka memandang Ali telah bersalah, sehingga mereka keluar
dari barisan Ali, dalam sejarah disebut dengan golongan Khawarij.
Kawarij berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar”. Nama ini
diberikan kepada orang yang keluar dari barisan Ali, namun ada pendapat
yang mengatakan bahwa nama itu di berikan atas dasar surah al-Nisa ayat
100.
Terjemahnya:
Barang siapa berhijrah dijalan Allah, niscaya mereka mendapati dimuka
bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak, barang siapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ketempat yang dituju), maka sungguh telah
tetap pahalanya di sisi Allah, dan adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang.
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang meninggalkan rumahnya
untuk mengabdikan diri kepada Allah dan RasulNya akan mendapatkan
pahala dari Allah swt. Orang-orang Khawarij menganggap dirinya
melakukan hal tersebut sehingga dinamakan khawarij.
Kaum khawarij kadang-kadang menyebut dirinya Syurah yang
berarti “golongan yang mengorbankan dirinya untuk Allah”. Penamaan
ini bersumber dari surah al-Baqarah ayat 207.
Terjemahnya:
Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-
Nya.
a. Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali
disebut golongan al-Muhakkimah. Bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua
perantara Amr Ibn al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang
menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hokum kafir
ini mereka luaskan artinya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang
berbuat dosa besar.
Berbuat Zina, dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka
menurut paham golongan ini orang yang mengerjakan zina telah menjadi
kafir dan keluar dari Islam. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa
sebab yang sah adalah dosa besar. Maka perbuatan membunuh manusia
menjadikan si pembunuh keluar dari Islam dan menjadi kafir.5
Demikianlah seterusnya dengan dosa-dosa besar lainnya.
d. Al-Ajaridah
Al-Ajaridah adalah pengikut Abu ‘Al-Ajaridah adalah pengikut
Abdu ‘Al-Karim bin Ajrad. Pendapat mereka antara lain:
6 Al-Syahrastani., h. 120.
7 Al-Syahrastani., h. 120-122.
42
1) Orang Ajaridah tidak dianggap kafir walaupun tinggal diluar
perkampungan mereka, dan hijrah adalah keutamaan dan
bukan suatu kewajiban.
2) Anak-anak orang musyrik akan masuk neraka bersama orang
tua mereka.
3) Harta yang boleh diambil sebagao rampasn perang kalau
pemiliknya telah terbunuh.
4) Surat Ysusuf dianggap bukan bagian dari al-Quran sebab
mengandung cerita tentang cinta, sedang menurut mereka al-
Quran sebagai kitab suci tidak boleh mengandung cerita cinta.8
e. Al-Ibadiyah
Sekte al-Ibadiyah ini diambil diambil dari nama tokohnya yaitu
Abdullah bin Ibad. Golongan moderat, diantara ajarannya ialah:
1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah
mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam
demikian itu boleh diadakan hubungan perkawinan dan
hubungan warisan, dan syahadat mereka dapat diterima.
Membunuh mereka adalah haram.
2) Darah orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka,
kecuali markas pemerintah merupakan daru ‘l-Tauhid (daerah
orang yang meng-Esa-kan Allah) dan tidak boleh diperangi.
Yang merupakan daru ‘l-Kufr, yaitu yang harus diperangi,
hanyalah markas pemerintah.
3) Orang Islam yang berbuat dosa besar adlah muwahhid (yang
meng-Esa-kan Allah), tetapi bukan mukmin, dan kalaupun
kafir hanyalah merupakan kafir al-ni’mah dan bukan kafir al-
millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa
besar tidak membuat seseorang keluar dari Islam.
4) Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan
senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada orang
yang empunya.9
f. Al-Sufriyah
Golongan ini merupakan juga sekte yang ekstrim;
Pemimpinnya bernama Ziyad bin Al-Ashfar. Diantara pendapatnya
ada juga yang kurang ekstrim, misalnya:
1) Orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
2) Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik
boleh dibunuh.
3) Selanjutnya tidak semua mereka berpendapat bahwa orang
yang berbuat dosa besar dalam dua golongan, dosa yang ada
sangsinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa
yang tidak ada sangsinya didunia, seperti meninggalkan sholat
8 Al-Syahrastani., h. 125-127.
9 Al-Baghdadi., h. 103.
43
dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak
dipandang kafir. Yang menjadi kafir hanyalah orang yang
melaksanakan dosa golongan kedua.
4) Darah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka
bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang
diperangi hanyalah markas atau camp pemerintah sedang anak-
anak dan perempuan tak boleh dijadikan tawanan.
5) Kufr dibagi dua: Kufr bi inkar al ni’mah yaitu mengingkari rahmat
Tuhan dan kufr bi inkar al rububiah yaitu mengingkari Tuhan.10
Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti
keluar dari Islam.
Di samping pendapat-pendapat diatas terdapat pendapat-
pendapat yang spesifik bagi mereka :
1) Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam
bentuk perbuatan.
2) Tetapi sungguhpun demikian, untuk keamanan dirinya
perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah
yang bukan Islam.11
B. Firqoh Murji’ah
1. Latar Belakang Munculnya
Kemunculan aliran Mur’jiah merupakan reaksi keras terhadap
aliran Khawarij, dan mereka membawa paham yang sama sekali
bertentangan dengan pendapat Khawarij. Bagi Mur’jiah, orang Islam yang
berdosa besar, tidak menjadi kafir tetapi tetap mukmin, soal dosa
bersarnya itu diserahkan kepada keputusan Tuhan kelak di hari akhirat.12
Satu hal yang sulit diketahui dengan pasti ialah siapa sebenarnya
pendiri atau tokoh utama aliran ini. Menurut al-Syahrastani, Husein bin
Muhammad bin Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang menyebut
irja’.13Akan tetapi, hal ini belum menunjukkan bahwa ia adalah pendiri
Murji’ah.
Term murji’ah memberikan pengertian menangguhkan hukum
perbuatan seseorang sampai dihadapan Allah swt. Golongan ini memang
berpendapat bahwa muslim yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan
kafir, tetapi mukmin. Mengenai dosa besar yang dilakukannya diserahkan
kepada keputusan Allah swt. nanti Allah bisa mengampuni dosa itu, bisa
pula tidak, semuanya merupakan urusan Allah swt. Dengan demikian,
muslim yang berdosa besar masih mempunyai harapan mendapat
ampunan Allah swt. Salah satu ayat yang dimaksud adalah Q.S. An-
Nisa’[4]:93.
10 Al-Baghdadi., h. 125
11 Al-Syahrastani., h. 137.
12 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 34.
13 Al-Baghdadi., h. 323.
44
14 Al-Syahrastani., h. 144.
15 Al-Syahrastani., h. 145
45
perincian; iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan
tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.16
Keterangan Abu Hanifah tersebut menggambarkan bahwa
semua iman semua orang Islam sama, tidak ada perbedaan antara iman
orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh
menjalankan perintah-perintah Allah. Ini boleh pula membawa kepada
kesimpulan bahwa Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perbutan
kurang penting dibandingkan dengan iman. Jalan pemikiran seperti ini
rasanya sulit diterima, mengingat Abu Hanifah sebagai seorang Imam
Mazhab yang banyak berpegang pada logika. Abu Hanifah tidak
mungkin berpendapat bahwa perbuatan atau amal tidak penting bagi
orang Islam. Sebagaimana kata al-Syahrastani: Bagaimana mungkin
seorang yang dididik beramal sampai besarnya, dapat menganjurkan
untuk meninggalkan amal?17
Bertolak dari kesimpulan Abu Hanifah tersebut yaitu bahwa
amal perbuatan tidak penting, ada ulama-ulama yang menyetujui
dimasukkan Abu Hanifah kedalam golongann kaum Murji’ah. Untuk
memasusukkannya dalam kelompok ekstrim, memang tidak mungkin,
tetapi memasukkannya kedalam kelompok moderat, rasanya tidak ada
salahnya. Sekali-kali tidak akan merugikan bagi Abu Hanifah, kata
Ahmad Amin, kalau ia dimasukkan kedalam kelompok Murji’ah, yang
dimaksud oleh Ahmad Amin, tentunya Murji’ah Moderat. Tetapi Abu
Zahrah berpendapat bahwa karena tidak adanya kesatuan pendapat
tentang siapa sebenarnya yang dimaksud sebenarnya dengan kaum
Murji’ah. Murji’ah moderat atau Murji’ah ekstrim, sebaiknya Abu
Hanifah dan imam-imam lainnya janganlah dimasukkan ke dalam
golongan Murji’ah.18
Bagaimanapun juga Abu Hanifah berpendapat bahwa orang
Islam yang berdosa besar bukanlah kafir, tetapi tetap mukmin. Kaum
Murji’ah yang pertama kali mengeluarkan pendapat yang demikian itu.
b) Golongan Ekstrim
Yang tergolong ekstim dari aliran Murji’ah antara lain:
(1) Murji’ah al-Jahmiah (pengikut Jahm Ibn Shafwan), mereka
berpendapat bahwa kekufuran secara lisan tidaklah menjadi
kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati,
bukan bahagian lain dari tubuh manusia.19Bahkan orang
demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah
berhala, menjalankan ajaran agama Yahudi atau Kristen
dengan menyembah salib, menyatakan percaya kepada trinity,
16 Al-Baghdadi., h. 203.
17 Al-Syahrastani., h. 146.
18 Abu Zahrah., h. 206.
19 Al-Syahrastani., h. 197.
46
dan kemudian mati. Orang yang demikian itu, bagi Allah tetap
merupakan mukmin yang sempurna imannya.
(2) Al-Shalihiah (pengikut Abu Hasan Al-Shalih) mereka
berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur
adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian mereka shalat
bukanlah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang disebut
ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengetahui
Tuhan.20Ibadah seperti shalat, zakat, haji dan lain sebagainya
hanyalah mengabarkan kepatuhan dan tidak merupakan
ibadah.
(3) Al-Yunusiah, mereka berpendapat bahwa iman hanyalah
mengetahui Tuhan serta tunduk kepada-Nya, tidak takabbur,
serta mencintainya dalam hati. Adapun amalan lainnya tidaklah
termasuk iman. Olehnya itu, jika tidak sholat, puasa dan
sebagainya tidaklah merusak iman. Sehingga mereka
berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat
tidaklah merusak iman seseorang.21
(4) Al-Khassaniah, Jika seseorang mengatakan, “Saya tahu bahwa
Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu
apakah Ka’bah di India atau ditempat lain”, orang demikian
juga tetap mukmin.22
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan diatas timbul dari
pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang
kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang
penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya
seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal
ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati seseorang
tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia
tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh
karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak
mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting
ialah iman yang di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan
perbuatan-perbuatan tidak merusak iman seseorang.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada
moral attitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat
yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolerir
penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang
berlaku.Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma
akhlak bisa dipandang kurang penting dan diabaikan oleh orang-orang
yang menganut paham demikian.
20 Al-Syahrastani., h. 198
21 Al-Syahrastani., h. 140.
22 Al-Syahrastani., h. 144.
47
Rangkuman
Kaum Khawarij adalah orang-orang yang mendukung
Sayyidina Ali pada awalnya. Akan tetapi, akhirnya mereka
membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran,
mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana
mereka juga membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali
khalifah yang sah. Nama lain bagi Khawarij adalah Haruriyah. Istilah
ini mereka gunakan untuk menamakan diri mereka, yang dinisbahkan
kepada perkataan “Harura”, nama sebuah tempat dekat Kufah.
Semboyan mereka “la hukma illa Allah” (tidak ada hukum kecuali dari
Allah). Sebagai reaksi keras terhadap aliran Khawarij, muncullah aliran
Mur’jiah dan mereka membawa paham yang sama sekali bertentangan
dengan pendapat Khawarij. Bagi Mur’jiah, orang Islam yang berdosa
besar, tidak menjadi kafir tetapi tetap mukmin, soal dosa bersarnya itu
diserahkan kepada keputusan Tuhan kelak di hari akhirat.
48
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan baik dan benar:
1. Jelaskan sejarah munculnya firqoh Khawarij!
2. Kemukakan sekte-sekte dan ajaran-ajaran Khawarij
3. Jelaskan latar belakang munculnya Murji’ah
4. Kemukakan sekte-sekte dan ajaran-ajaran Murji’ah
51
BAB V
FIRQOH JABARIYAH DAN FIRQOH QADARIYAH
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mempelajari materi ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mengetahui sejarah munculnya Jabariyah
2. Mengetahui Pokok-pokok ajaran Jabariyah
3. Mengetahui sejarah munculnya Qadariyah
4. Mengetahui pokok-pokok ajaran Qadariyah.
52
PENDAHULUAN
A. Firqoh Jabariyah
1. Sejarah Munculnya
Jabariyah adalah paham yang mengingkari hakekat
perbuatan manusia dan menyandarkannya kepada Tuhan.1 Dalam
keyakinan kaum Jabariayah, manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
manusia terikat kepada kehendak mutlak Tuhan. Hal ini sejalan
dengan nama Jabariyah itu yang berasal dari kata jabara, yang
mengandanung arti memaksa, dan menurut paham ini manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah
Inggeris, paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar
Tuhan.2
Berkaitan deng ini al-Syahrastani menyatakan bahwa aliran
Jabariyah terbagi dua: Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat.
Yang pertama menyatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan dan kekuasaan untuk berbuat, dan
perbuatan yang dilakukannya tidak disandarkan pada dirinya.
Paham inilah yang dikenal secara umum. Adapun yang kedua
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan kekuasaan
untuk melakukan perbuatannya, dalam arti bukan karena dipaksa.
Kemampuan yang telah diciptakan dalam diri manusia
memantulkan diri pada perbuatan-perbuatannya. Inilah yang
disebut kasab.3
Tokoh yang dikenal sebagai pencetus paham Jabariyah
adalah Ja’ad Ibn Dirham (wafat 124 H) di Zandaq,4 kemudian
paham ini disebarluaskan oleh Jahm Ibn Shafwan yang dalam
perkembangannya paham Jabariyah menjadi terkenal dengan
nama Jahmiyah.
Jahm Ibn Shafwan pada mulanya dikenal sebagai seorang
budak yang telah di merdekakan dari Khurasan dan bermukim di
Kufah (Iraq). Aliran ini lahir di Tirmiz (Iran Utara). Jahm Ibn
Shafwan terkenal sebagai seorang yang pintar berbicara sehingga
pendapatnya mudah diterima orang lain.
Perlu dicatat bahwa Jahm ibn Shafwan juga mempunyai
hubungan kerja dengan al-Harits ibn Suriah yakni sebagai
sekretaris yang menentang kepemimpinan Bani Umayyah di
1 Al-Syahrastani., h. 85.
2 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 31.
3 Al-Syahrastani., h. 85.
4 Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1993. h. 499.
53
Khurasan. Perlawanan al-Harits dapat dipatahkan, sehingga ia
sendiri dijatuhi hukuman mati pada tahun 128 H/ 745 M.5
Sementara Jahm diperlakukan sebagai tawanan yang pada
akhirnya juga dibunuh. Pembunuhan pada dirinya bukan karena
motif mengembangkan paham Jabariyah, tetapi karena
keterikatannya dengan pemberontakannya melawan pemerintaha
Bani Umayyah bersama dengan al-Harits.
Pembunuhan Jahm Ibn Shafwan kurang lebih dua tahun
setelah kematian al-Harits yakni pada 747 M, yang pada saat itu
pemerintah Bani Umayyah dipimpin oleh Khalifah Marwan bin
Muhammad (744-750 M).6
2. Pokok-pokok Ajarannya
Paham ini pada mulanya dianut oleh kaum Yahudi
kemudian diajarkan kepada kelompok kaum muslimin yang
kemudian menyiarkannya. Akan tetapi, orang yang pertama
menyiarkan paham ini dari kalangan umat Islam adalah Ja’ad ibn
Dirham dari Syam kemudian menyiarkannya di Bashrah; diantara
pengikutnya adalah Jahm bin Shafwan (w. 131 H) yang
mengembangkan ajaran ini di Khurasan.7 Beberapa ajarannya
antara lain: Beberapa
1) Surga dan neraka akan fana, tidak ada sesuatupun yang kekal
selamanya. Kekekalan yang disebut dalam al-Quran adalah
masa yang panjang, tetapi setelah itu akan binasa, bukan kekal
mutlak.
2) Iman adalah pengenalan (ma’rifah) dan kekufuran adalah
ketidak tahuan (al-Jahl). Konsekuensi pandangan seperti itu
ialah orang-orang Yahudi yang mengenal sifat-sifat Nabi
adalah orang mukmin, demikian pula halnya dengan orang-
orang musyrik yang menentangnya tetapi di dalam hati mereka
meyakininya.
3) Al-Quran adalah makhluk (baru), tidak Qadim.
4) Allah bukan sesuatu, tidak pula mempunyai sifat.
5) Tuhan tidak dapat dilihat di hari kemudian.8
Meskipun ada beberapa paham yang diajarkan oleh Jahm
bin Shafwan, akan tetapi yang besar pengaruhnya adalah paham
yang tidak mengakui adanya kebebasan dan kemerdekaan untuk
memilih dan melakukan perbuatan bagi manusia. Semua telah
Abd Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul “Aliran Politik dan Aqidah dlam
Islam”, Jakarta: Logos Publishing House, 1996. H. 123.
8 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, h. 124.
54
ditentukan oleh Tuhan, sehingga jika disebut Jabariyah, maka
orientasinya adalah manusia terpaksa dalam melakukan
perbuatannya.
Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai
kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki
kemampuan untuk memilih, segala gerak dan perbutan yang
dilakukan manusia pada hakekatnya adalah dari Allah semata.
Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa
karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Paham
bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya
adalah perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
Menurut paham ini manusia tidak hanya bagaikan wayang
yang digerakkan oleh dalang, tetapi manusia tidak mempunyai
bagian samasekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat dalam al-
Quran, seperti dalam QS. Al-Anfal [8] :17.
Terjemahnya
“Bukanlah engkau yang melontar ketika melontar (musuh), tetapi
Allahlah yang melontar mereka”.
B. Firqah Qadariyah
1. Sejarah Munculnya
Paham Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M).
Ajaran-ajaran paham ini banyak persamaannya dengan ajaran
Mu’tazilah. Mereka berpendapat sama, misalnya, manusia mampu
mewujudkan tindakan atau perbuatannya. Tuhan tidak campur
tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
Tokoh utama Qadariyah ialah Ma’bad al-Juhani dan
Ghailan al-Dimasyqi, kedua tokoh inilah yang pertama kali
mempersolkan tentang qadar.9 Semasa hidupnya, Ma’bad al-juhani
berguru pada Hasan al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha’; tokoh
pendiri Mu’tazilah, jadi Ma’bad termasuk tabi’in atau generasi
kedua sesudah Nabi, sedangkan Ghailan semula tinggal di
Damaskus, ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang
9Al-Ghurabi,
Ali Musthafa, Tarikhu ‘l-Firaqi ‘l-Islamiyah. Al-Azhar: Maktabah
wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, t.t. h. 21.
55
tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maula
(pembantu) Usman bin Affan.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh, Ma’bad al-
Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hajjaj tahun 80
H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung Gubernur
Sajistan, Abdurrahman al-Asy’ats, menentang kekuasaan Bani
Umayyah, sedangkan Ghailan al-Dimasyqi di hokum bunuh pada
masa pemerintahan Hisyam bin Abdullah Malik (105-125 H/724-
743 M), yaitu khalifah dinasti Umayyah yang ke sepuluh.
Hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus
menyebarluaskan paham Qadariyah yang dinilai membahayakan
pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan paham Qadariyah di
Damaskus sehingga mendapat tekanan dari Khalifah Umar bin
Abdul Azis (717-720 M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan
tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh
Yazid II (720-724 M).
Ditinjau dari segi politik, keberadaan Qadariyah
merupakan tantangan bagi Dinasti Bani Umayyah, sebab dengan
paham yang disebarluaskannya dapat membangkitkan
pemberontakan. Dengan paham Qadariyah bahwa manusia
mewujudkan perbuatannya dan bertanggung jawab atas perbuatan
itu, maka setiap tindakan dinasti Bani Umayyah yang negatif akan
mendapat reaksi keras dari masyarakat. Berbeda dengan paham
Murji’ah yang menguntungkan pemerintah.
Karena kehadiran Qadariyah merupakan isyarat
penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran
ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham
Qadariyah tetap berkembang, Dalam perkembangannya paham ini
tertampung dalam paham Mu’tazilah.
2. Pokok-pokok Ajarannya
Menurut paham Qadariyah perbuatan manusia merupakan
ciptaan dan pilihan manusia sendiri, bukan ciptaan atau pilihan
Tuhan. Hal ini didasarkan atas kemampuan manusia membedakan
antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, tidak ada kekuasaan
dan daya (yang datang dari luar dirinya) yang menentukan atas
perbuatannya.10
Dalam tinjauan sejarah paham ini pertama kali
dikemukakan oleh seorang penduduk Irak yang beragama Kristen,
dari dialah Ma’bad al Juhani (w. 80 H) dan Ghailan al-Dimasyqi
(105 H). menerima paham Qadariyah. Ma’bad menyebarkan
10 Al-Ghurabi., h. 23
56
paham ini di Irak sementara Ghailan menyebarkannnya di Syam
dan mendapat tantangan dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz.11
Selain itu, Ghailan juga menganut paham bahwa iman
tidak bertambah dan berkurang, sehingga manusia tidak perlu
berusaha untuk meraihnya. Ia termasuk salah seorang tokoh aliran
Murji’ah sekte al-Shalihiah. Meskipun demikian, Qadariyah hanya
diidentikkan dengan manusia memiliki kebebasan dan
kemerdekaan dalam memilih dan melakukan perbuatan, sehingga
dikenal juga dengan sebutan Free will dan Free ect.
Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-
perbuatannya, ia melakukan perbuatannya atas kehendaknya
sendiri, baik perbuatan itu adalah perbuatan baik maupun
perbuatan buruk.12
Dalam paham ini, manusia merdeka dalam segala tingkah
lakunya, berdasarkan kemauan dan daya yang dimiliki. Dialah
yang menentukan nasibnya, bukan Tuhan yang menentukan,
pandangan tersebut didasarkan pada beberapa ayat al-Quran,
antara lain QS. Al-Ra’d [13] ayat 11:
Rangkuman
Pada mulanya Jabariyah dianut oleh kaum Yahudi
kemudian diajarkan kepada kelompok kaum muslimin yang
kemudian menyiarkannya. Akan tetapi, orang yang pertama
menyiarkan paham ini dari kalangan umat Islam adalah Ja’ad ibn
Dirham dari Syam kemudian menyiarkannya di Bashrah; diantara
pengikutnya adalah Jahm bin Shafwan (w. 131 H) yang
mengembangkan ajaran ini di Khurasan. Jabariyah adalah paham
yang mengingkari hakekat perbuatan manusia dan
menyandarkannya kepada Tuhan. Dalam keyakinan kaum
11 Teologi., h. 34-35.
12 Al-Baghdadi., h. 33.
57
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya, manusia terikat kepada
kehendak mutlak Tuhan. Sedangkan Qadariyah dalam tinjauan
sejarah paham ini pertama kali dikemukakan oleh seorang
penduduk Irak yang beragama Kristen, dari dialah Ma’bad al
Juhani (w. 80 H) dan Ghailan al-Dimasyqi (105 H). menerima
paham Qadariyah. Ma’bad menyebarkan paham ini di Irak
sementara Ghailan menyebarkannnya di Syam dan mendapat
tantangan dari Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Ajaran-ajaran
paham ini banyak persamaannya dengan ajaran Mu’tazilah.
Mereka berpendapat sama, misalnya, manusia mampu
mewujudkan tindakan atau perbuatannya. Tuhan tidak campur
tangan dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala
sesuatu terjadi karena qada dan qadar Allah swt.
58
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan baik dan benar:
1. Jelaskan bagaimana sejarah munculnya firqoh Jabariyah?
2. Kemukakan pokok-pokok ajaran Jabariyah.
3. Jelaskan bagaimana sejarah munculnya Firqoh Qadariyah?
4. Kemukakan pokok-pokok ajaran Qadariyah.
59
BAB VI
FIRQOH SYI’AH
Tujuan Pembelajaran :
Setelah perkuliahan disajikan, maka diharapkan mahasiswa
mampu :
1. Mengetahui sejarah munculnya Syi’ah
2. Mengetahui Syi’ah Imamiyah dan ajarannya
3. Mengetahui Syi’ah Sab’iyah dan ajarannya
4. Mengetahu Syi’ah Zaidiyah dan ajarannya
5. Mengetahui Syi’ah Ghulat dan ajarannya
60
PENDAHULUAN
A. Sejarah Munculnya
Syi’ah berarti “kelompok yang mempunyai ikatan
kebersamaan mendukung ide, prinsip atau tokoh”.1
Munculnya istilah Syi’ah, ada beberapa pendapat; sebagian
orang menganggap bahwa sejak Rasulullah saw. wafat, Ali bin Abi
Thalib memang mempunyai pendukung yang memperjuangkan
kursi kekhalifahan buat Ali yang disebut dengan Syi’ah Ali, antara
lain:
1). Sebagian menganggap bahwa pada peristiwa terbunuhnya
Usman bin Affan, kaum muslimin terbagi menjadi dua
golongan, sebagian besar menjadi Syi’ah Ali dan sebagian
kecil menjadi Syi’ah Muawiyah.2
2.) Sebagian lain mengatakan bahwa munculnya Syi’ah akibat
gagalnya perundingan antara pihak Khalifah Ali dengan
pemberontak Muawiyah yang disebut dengan peristiwa
tahkim. Akibat kegagalan itu, maka sejumlah pasukan Ali
berontak terhadap pimpinannya atau keluar dari barisan Ali
yang disebut Khawarij. Dan sebagian besar tetap setia kepada
Khalifah Ali, mereka ininlah yang disebut Syi’ah Ali.3
Sedangkan sejalan dengan perkembangan zaman, istilah
Syi’ah lebih dinisbatkan kepada kelompok pengikut Ali dan
pemihakan kepada Ali berubah menjadi mengutamakan Ali dan
anak cucunya, sehingga lambat laun tumbuh keyakinan bahwa
khalifah dan kepemimpinan umat adalah hak mutlak bagi
keturunan Ali.
Secara historis, awal mula lahirnya Syi’ah adalah pada
peristiwa Saqifah, segera setelah terbetik berita kematian
Rasulullah, sekelompok Muhajirin memaksakan kehendak mereka
kepada kaum Anshar untuk menerima Abu Bakar sebagai
pemimpin tunggal umat. Pada saat itu ada sebagian suara diajukan
dalam menuntut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sebab bagi
mereka Ali lebih berhak menjadi khalifah dengan berbagai
pertimbangan; Ali masuk Islam dalam keadaan bersih karena tidak
pernah menyembah berhala, dan Ali diangkat Nabi saw. Tapi
1Abd. Munem Al-Nemr. Sejarah dan Dokumen Syi’ah. Yayasan Alumni Timur
diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi Asmian dengan judul “Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1995., h. 88.
5 A. Syalabi, Mausuat Tarikh al-Islamiy wa al-Hadarat al-Islamiyah, Diterjemahkan
oleh Muhtar Jaya dengan judul “Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Jaya Murni. h. 377.
62
itu meledak dalam pemberontakan dan penyerbuan Madinah yang
menewaskan Usman. Kematian Usman memberikan peluang bagi
Ali untuk naik diatas kursi kekhalifahan. Ali adalah satu-satunya
kandidat yang diterima oleh Anshar, Muhajirin dan para
pemberontak.
Akan tetapi, dalam kondisi peralihan kekhalifahan ini,
Mu’awiyah Gubernur Damaskus yang diangkat pada masa Usman
mempunyai ambisi menjadi Khalifah kaum muslimin, maka
dengan semboyan ‘menuntut balas atas kematian Usman’
dijadikan alasan untuk menolak kekhalifahan Ali. Mu’awiyah
menuntut Ali supaya mengadili dan menghukum para pembunuh
Usman bahkan Mu’awiyah menuduh Ali turut campur dalam
usaha pembunuhan tersebut.6
Melihat kondisi seperti itu tentu sulit bagi Ali untuk
menghukum pembunuh Usman yang sekaligus sebagai
pendukungnya. Karena itu, terjadilah konflik antara Ali dan
Mu’awiyah, dimana Shiffin adalah arena pertempuran kedua
golongan ini sampai akhirnya konflik ini menghasilkan arbitrase
(tahkim), akibatnya terjadi kemelut antara sesama pasukan Ali
yaitu antara pasukan yang keluar dari barisan Ali karena tidak
setuju adanya arbitrase dan pasukan Ali yang tetap setia pada Ali,
karena berpendapat bahwa tak seorangpun yang berhak menjadi
Khalifah dibanding Ali.
Dari sini nyata bagi kita, bahwa telah terjadi segitiga
pertentangan yaitu: antara Golongan Mu’awiyah, pasukan Ali yang
membangkang (keluar dari barisan Ali) yang disebut dengan
Khawarij dan yang tetap setia pada Ali. Golongan yang terakhir
inilah yang disebut dengan Syi’ah.
Konflik yang terjadi antar umat Islam ini menewaskan Ali,
sehingga terjadi perebutan kekuasaan politik antar pendukung Ali
dan Mu’awiyah. Pendukung Ali (Syi’ah) menuntut agar jabatan
kekhalifahan tetap dipegang keluarga ahl al-bait, mereka
merealisasikan tuntutan ini dengan menobatkan Hasan bin Ali
sebagai Khalifah.
Dari uraian diatas tampaknya istilah Syi’ah sebagai suatu
kekuatan politik tampil pada akhir masa pemerintahan Usman bin
Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali bin Abi
Thalib, sehingga Abu Zahrah mengungkapkan bahwa Syi’ah
adalah mazhab politik yang pertama lahir di dalam Islam.
Walaupun pada asalnya Syi’ah lebih di dominasi dengan
paham politik, akan tetapi mazhab-mazhab politik itu sendiri pada
orientasinya sering melakukan pembahasan terhadap masala-
1976.h. 707.
11 Lihat Ahmad Mahmud Shubhi, Nadhariyyatu ‘l-Imamah, Mesir: Daru ‘l-
66
(2) Setiap yang dikatakan oleh penerus wasiat (Imam-
imam) itu adalah bernilai syariat (hukum Islam),
karena sesungguhnya hal itu menyempurnakan ajaran
Nabi. Sebab ucapan-ucapan para Imam itu sama
nilainya dengan perkataan/sabda Rasulullah SAW..
(3) Para Imam itu mempunyai hak untuk mentakhsiskan
nash-nash yang umum dan menyempurnakan nash
yang qath’i.15
Para Imam itu, disamping keberadaannya untuk
meneruskan dan menjelaskan syariat kepada umatnya,
yang terpenting adalah mempertahankan dan
memelihara agama dari kebinasaannya, menjaga
kemurniannya, dan mereka adalah penegak syariat
setelah wafatnya Rasulullah, hanya perbedaannya
dengan Rasulullah adalah bahwa Imam itu tidak lagi
menerima wahyu.16
(d) Ajaran Pokok Syi’ah Dua Belas
Ajaran pokok Syi’ah 12 ini sangat berkaitan dengan
kekhalifahan atau keimaman yaitu:
(a) Al-Ishmah; bahwa para Imam itu seperti dengan Nabi,
mereka dalam hidupnya sudah terpelihara dari dosa, baik dosa
kecil maupun dosa besar. Mereka senantiasa terpelihara dari
perbuatan maksiat, tidak pernah dihinggapi kesalahan dan
kekhilafan dalam hidupnya. Mereka memandang bahwa
Imam-imam itu pelaksana hukum, menolak kerusakan dan
memelihara dunia Islam serta memelihara syariat.17 Mereka
memandang bahwa Imam-imam itu adalah perantara serta
syifa’ antara Allah dengan manusia, dan mempercayai Imam-
imam itu dipandang cukup untuk menghapuskan dosa, dan
mengangkat derajat manusia.
Terjemahannya:
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], Karena
kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya. (Q.S.Ali Imran [3]: 79
67
Syi’ah yang ke 12, yang menghilang masuk kedalam sebuah
lubang dirumah bapaknya dan belum kembali sampai
sekarang. Kaum syi’ah berbeda pendapat tentang
kehilangannya, ada yang mengatakan bahwa waktu itu ia
berumur 4 Tahun, dan adapula yang mengatakan berumur 8
tahun.18 Beliau adalah Imam yang ditunggu-tunggu
kedatangannya, yang akan meratakan kemakmuran dan
keadilan di muka bumi setelah bumi ini penuh dengan
kegoncangan dan kezholiman.19
(c) Al-Taqiyah; adalah salah satu bagian yang menyempurnakan
ajaran mereka, yang merupakan sumber wasiat dalam
kehidupan mereka dan merupakan salah satu ruh dari ajaran
mereka ialah masalah Taqiyat.20 Hal ini merupakan siasat
pemutarbalikan dan perbuatan berpura-pura yang dianggap
ajaran yang fundamental dari sebahagian ajaran agama Islam
yang harus mereka sembunyikan dari manusia terutama yang
memegang pemerintahan yang mereka anggap tidak sesuai
dengan pendiriannya.
Taqiyat ini merupakan disiplin yang mereka harus
lakukan untuk melaksanakan ajaran-ajarannya. Dengan
demikian mereka lakukan dakwah secara terselubung,
mentaati Imam-pun mereka lakukan secara tersembunyi pula.
Mereka berbuat seolah-olah orang berkuasa, dan apabila
mereka telah menjadi kuat, barulah mereka balik keadaan dan
menyataka revolusi bersenjata melawan penguasa yang
menurut anggapan mereka berbuat zhalim.21
Dapat dipahami bahwa Taqiyat itu berarti
menyembunyikan paham yang sebenarnya dan melahirkan
yang lain dari apa yang ada dalam hati. Hal ini bukan tidak
sengaja, tetapi prinsip itu wajib dilakukan sebagai salah satu
dasar kepercayaan. Orang kalau belum bisa melakukannya
belum boleh dinamakan orang Syi’ah. Rupanya mereka
mengadakan Taqiyat ini karena kaum Syi’ah sejak pada abad
pertama Islam selalu dikejar (dimusuhi) oleh pihak penguasa.
Maka demi menjaga pahamnya dan memelihara
keselamatannya, maka mereka memakai dasar Taqiyat ini.22
(d) Al-Raj’ah; adalah sesuatu yang berkaitan dengan kepercayaan
terhadap al-Mahdi. Mereka memastikan bahwa Al-Mahdi al-
Muntazhar itu akan menampakkan dirinya ditengah-tengah
68
masyarakat kaum muslimin di kemudian hari. Sesudah itu
Nabi Muhammad juga akan kembali ke dunia, diikuti oleh Ali,
Hasan dan Husein, bahkan diikuti pula oleh Imam-imam yang
lain. Lalu dating pula penentang-penentang mereka seperti
Abu Bakar, Umar dan Usman. Kemudian Imam-imam
mereka akan menuntut balas kepada musuhnya itu. Setelah itu
barulah mereka mati seluruhnya, lalu kemudian mereka akan
hidup kembali pada hari kiamat.23
Selain yang telah disebutkan diatas, salah satu fatwa
kaum Syi’ah yang sangat kontroversial ialah menghalalkan
kain mut’ah. Adapun cara nikah mut’ah itu ialah bahwa dua
orang lain jenis (laki-laki dan perempuan) tanpa wali dan saksi
nikah, dengan akad: aku mengawini kamu selama seminggu
(umpamanya) dengan upah Rp 10.000,-. Lalu mereka bergaul
seminggu dan sesudah itu nikahnya tercerai dengan
sendirinya. Adapun iddah wanita yang tercerai dari nikah
mut’ah ini adalah dua kali haid bagi wanita yang masih haid,
dan 45 hari bagi wanita yang tidak berhaid. Nikah mut’ah ini
boleh saja dengan banyak wanita, tidak mesti hanya sampai
empat orang saja sebagai ukuran kawin biasa.
1967. h. 192.
70
menakwilkan al-Quran meskipun jauh menyimpang dari ajaran
yang sebenarnya.28
Kembali kepada penentuan Imam, seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa Imam itu ditentukan dengan cara wasiat dan
turun-temurun, ternyata pada perkembangan selanjutnya
ketentuan tersebut mulai pudar. Hal ini dapat ditelusuri ketika
Ismailiyah tampil di masa Dinasti Fatimiyah, ini dapat dibuktikan
dengan melihat kasus yang dialami Muiz Li Dinillah. Pada awalnya
Muiz Li Dinillah memberikan wasiat kepada puteranya yang
berhak meneruskan tampuk kepemimpinan, yaitu Abdullah.
Namun karena Abdullah meninggal dunia, wasiat itu akhirnya
dialihkan kepada puteranya yang lain, yaitu al Aziz, dengan
demikian jelas menyalahi dan menyimpang dari aqidah
Ismailiyah.29
(c) Ajaran Syi’ah Sab’iyah lainnya
Adapun ajaran-ajarannya adalah Ismaliyah meyakini
bahwa setiap yang zahir pasti ada yang batin atau tersembunyi,
setiap ayat yang diturunkan pasti dapat ditakwilkan secara lahir
dan batin. Karena itu, kelompok ini juga dinamakan Bathiniyyah.30
Ajaran Sab’iyah lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran
sekte Syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep
kemaksuman Imam, adanya aspek batin pada setiap yang lahir,
dan penolakannya terhadap Al-Mahdi Al-Muntazar. Bila
dibandingkan dengan sekte Syi’ah lainnya, Sab’iyah sangat ekstrim
dalam menjelaskan kemaksuman Imam. Sebagaimana telah
dijelaskan, kelompok ini berpendapat bahwa imam, walaupun
kelihatan melakukan kesalahan dan menyimpang dari syariat, ia
tidaklah menyimpang karena mempunyai pengetahuan yang tidak
dimiliki manusia biasa. Konsep kemaksuman Imam seperti itu
merupakan kosekuensi logis dari doktrin Sab’iyah tentang
pengetahuan imam akan ilmu batin.
Ada satu sekte dalam Sab’iyah yang berpendapat bahwa
Tuhan mengambil tempat dalam diri Imam. Oleh karena itu,
Imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti Fatimiyah,
Al-Hakim bin Amrillah, berkeyakinan bahwa dalam dirinya
terdapat Tuhan sehingga ia memaksa rakyat untuk
menyembahnya.31
1994. h. 80.
30 Muhammad Husein al Zahabi, al Tafsir wa al Mufassirun., 1976. h. 9.
31 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986.
h. 102.
71
Menurut Sab’iyah, al-Quran memiliki makna batin selain
makna lahir. Dikatakan bahwa segi-segi lahir atau tersurat dari
syariat itu diperuntukkan bagi orang awam yang kecerdasannya
terbatas dan tidak memiliki kesempurnaan rohani. Bagi orang-
orang tertentu, mungkin saja terjadi perubahan dan peralihan
bahkan penolakan terhadap pelaksanaan syariat tersebut karena
mendasarkan pada yang batin tadi. Yang dimaksud dengan orang-
orang tertentu ialah para Imam yang memiliki ilmu zahir dan ilmu
batin.32
Dengan prinsip takwil. Sab’iyah menakwilkan, misalnya,
ayat al-Quran tentang puasa dengan menahan diri dari menyiarkan
rahasia-rahasia Imam; dan ayat al-Quran tentang haji ditakwilkan
dengan mengunjungi Imam. Bahkan diantara mereka ada yang
menggugurkan kewajiban ibadah. Mereka itu adalah orang-orang
yang telah mengenal Imam dan telah mengetahui takwil (melalui
Imam). Mengenai sifat Allah, Sab’iyah meniadakan sifat dari dzat
Allah. Menurut mereka penetapan sifat merupakan penyerupaan
dengan makhluk.33
3.) SYI’AH ZAIDIYAH
(a) Sejarah Syi’ah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid
bin Ali sebagai Imam ke lima, putra imam keempat, Ali
Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah
lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal
Abidin yang lain, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid
bin Ali inilah nama Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah
merupakan sekte Syi’ah yang moderat.34Abu Zahrah
menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang
paling dekat dengan Sunni.
(b) Doktrin Imamah Menurut Syi’ah Zaidiyah
Imamah, sebagaimana telah disebutkan
merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah secara
umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang
dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiyah
mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Kaum
Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa
seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi SAW.
telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi
73
sosok pria masuk Islam bernama Abdullah bin
Saba’.38Dengan mencermati kondisi seperti itu, memicu
Abdullah bin Saba’ untuk melahirkan gagasan-gagasannya
yang bisa dijadikan dasar dalam rangka menarik perhatian
masyarakat Islam saat itu.
Abdullah bin Saba’ menindak lanjuti gagasan-
gagasannya dengan berlindung dibalik kebesaran Islam
kemudian mengambil dua langkah penting dengan dua
sasaran pokok:
1) Mengorganisir kaum oposisi dengan slogan mencintai
serta mendukung ahl al bait dengan tujuan terciptanya
simpati dari kaum muslimin.
2) Mengadakan asimilasi pendapat dan filsafat dalam
alam pikiran Syi’ah, membuat riwayat-riwayat, hadis-
hadis serta menaburkan benih-benih pikiran sesat
kemudian dianggap sebagai pandangan Syi’ah.
(b) Doktrin-doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani, ada empat doktrin yang
membuat mereka ekstrim, yaitu tanasukh, bada’, raj’ah dan
tasbih.39Moojan Momen menambahkannya dengan hulul
dan ghayba.40 Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad
dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paha mini
diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu
berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah
ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala
dengan cara berpindah dari satu kehidupan kepada
kehidupan yang lebih tinggi.41 Syi’ah Ghulat menerapkan
faham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang
menyatakan seperti Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah
bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam
seterusnya kepada Imam-imam secara turun-temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah
kehendak-Nya sejalan dengan perubahan ilmu-Nya, serta
dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian
memerintahkan yang sebaliknya.42 Syahrastani
menjelaskan lebih lanjut bahwa bada’, dalam pandangan
Syi’ah Ghulat, mempunyai beberapa arti. Bila berkaitan
dengan ilmu, artinya menampakkan sesuatu yang bertentangan
74
dengan sesuatu yang di ketahui Allah.Bila berkaitan dengan
kehendak, artinya memperlihatkan yang benar dengan menyalahi
yang dikehendaki dan hokum yang diterapkan-Nya. Bila
berkaitan dengan perintah, artinya memerintahkan hal lain
yang bertentangan dengan perintah sebelumnya.43Paham ini
dipilih oleh Al-Mukhtar ketika mendakwakan dirinya
mengetahui hal-hal yang akan terjadi, baik melalui wahyu
yang diturunkan kepadanya atau melalui surat dari Imam.
Jika ia menjanjikan kepada pengikutnya akan terjadi
sesuatu, lalu hal itu benar-benar terjadi seperti yang
diucapkannya. Namun, jika terjadi sebaliknya, ia
mengatakan bahwa Tuhan menghendaki bada’.
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah
Ghulat mempercayai bahwa imam Mahdi al-Muntzhar akan
datang ke bumi. Paham raj’ah dan Mahdiyah ini merupakan
ajaran seluruh Syi’ah. Namun, mereka berbeda pendapat
tentang siapa yang akan kembali. Sebagian menyatakan
bahwa yang akan kembali itu adaah Ali, sedangkan
sebagian lainnya menyatakan Ja’far Ash-Shadiq,
Muhammad bin Al-Hanafiyah, bahkan ada yang
mengatakan Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan.
Syi’ah Ghulat merupakan salah seorang imam mereka
dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan
makhluk. Tasbih ini diambil dari paham hululiyah dan
tanasukh dengan khalik.44
Hulul artinya Tuhan berada pada setiap tempat,
berbicara dengan semua bahasa, dan ada pada setiap
individu manusia.45 Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan
menjelma dalam diri Imam sehingga Imam harus
disembah.
Ghayba (occultation) artinya menghilangnya Imam
Mahdi. Ghayba merupakan kepercayaan orang Syi’ah
bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam negeri ini dan tidak
dapat dilihat oleh mata biasa. Konsep Ghayba pertama
kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66
H/686 M. di Kufa ketika mempropogandakan
Muhammad bin Hanafiyah sebagai Imam Mahdi.
75
Rangkuman
Secara historis, awal mula lahirnya Syi’ah adalah pada
peristiwa Saqifah, segera setelah terbetik berita kematian
Rasulullah, sekelompok Muhajirin memaksakan kehendak mereka
kepada kaum Anshar untuk menerima Abu Bakar sebagai
pemimpin tunggal umat. Pada saat itu ada sebagian suara diajukan
dalam menuntut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sebab bagi
mereka Ali lebih berhak menjadi khalifah dengan berbagai
pertimbangan; Ali masuk Islam dalam keadaan bersih karena tidak
pernah menyembah berhala, dan Ali diangkat Nabi saw. Sejalan
dengan perkembangan zaman, istilah Syi’ah lebih dinisbatkan
kepada kelompok pengikut Ali dan pemihakan kepada Ali
berubah menjadi mengutamakan Ali dan anak cucunya, sehingga
lambat laun tumbuh keyakinan bahwa khalifah dan
kepemimpinan umat adalah hak mutlak bagi keturunan Ali.
Melihat perjalanan sejarah, Syi’ah tidak hanya satu, mereka pecah
menjadi beberapa sekte antara lain Syi’ah Imamiyah, Syi’ah
Sab’iah, Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ghulat
76
Tes Formatif :
Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa
mampu :
1. Mengetahui sejarah munculnya firqoh Syi’ah.
2. Mengetahui Syi’ah Imamiyah dan ajarannya
3. Mengetahui Syi’ah Sab’iyah dan ajarannya
4. Mengetahui Syi’ah Zaidiyah dan ajarannya
5. Mengetahui Syi’ah Ghulat dan ajarannya
77
3. Berbicara tentang Syi’ah Sab’iah berarti berbicara tentang
Syi’ah Ismailiyah, karena itu merupakan salah satu namanya
yang lain. Mereka dikatakan Syi’ah Sab’iah karena mereka
hanya mengakui sampai Imam yang ke-7. Yaitu Ismail bin Abi
Abdillah bin Ja’far Shadiq. Namun didalam urutan nama-
nama Imam (terutama pada Syi’ah 12), nama Imam yang ke-7
itu adalah Musa al-Kazim. Musa al-Kazim adalah saudara
Ismail sendiri, tetapi tidak diakui oleh Syi’ah Sab’iah sebagai
Imam yang ke-7, mengingat Ismail adalah kakak dari Musa.
Akan tetapi Syi’ah 12 berpendapat bahwa Ismail meninggal
sebelum ayahnya meninggal, sehingga ia tidak mewarisi
keimaman itu, karena keimaman itu masih dipegang oleh
ayahnya. Oleh karena itu keimaman harus pindah kepada
adiknya (Musa). Itulah sebabnya Syi’ah Sab’iah juga disebut
Syi’ah Ismailiah, karena para pendukungnya mengakui Ismail-
lah sebagai Imam yang terakhir. Dan menurut mereka inilah
yang disebut Imam Muntazhar.
4. Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali
sebagai Imam ke lima, putra imam keempat, Ali Zainal
Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang
mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain,
sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah nama
Zaidiyah diambil. Syi’ah Zaidiyah merupakan sekte Syi’ah yang
moderat.46Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni. Mereka
berpendapat bahwa Imam itu harus dari keturunan Ali
Fatimah, namun tidak menolak dari golongan lain apabila
memang memenuhi syarat-syarat yang diperlukan. Oleh
karena itu mereka mengakui Abu Bakar dan Umar menjadi
Khalifah, walaupun menurut urutan prioritas seharusnya Ali
yang harus menjadi Khalifah.
46
Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam., terj. Abd
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos. 1996. h. 45.
78
dapat memerintahkan suatu perbuatan kemudian
memerintahkan yang sebaliknya. Raj’ah ada hubungannya
dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat mempercayai bahwa imam
Mahdi al-Muntzhar akan datang ke bumi. Ghayba merupakan
kepercayaan orang Syi’ah bahwa Imam Mahdi itu ada di dalam
negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh mata biasa.
79
BAB VII
FIRQOH MU’TAZILAH
Tujuan Pembelajaran:
Setelah mempelajari materi ini, maka diharapkan
mahasiswa mampu :
1. Mengetahui sejarah munculnya Mu’tazilah.
2. Memahami pokok-pokok ajaran Mu’tazilah
3. Mengetahui tokoh-tokohnya.
80
PENDAHULUAN
3 Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, h. 48. Lihat juga Ahmad Amin Fajr, al-
Islam, h. 48.
82
dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian
Kemahaesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Hal ini tidak berarti
Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari
ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan:
1) Sifat-sifat yang merupakan Esensi Tuhan, disebut sifat
dzatiyah, seperti al-Wujud-al-Qadim-al-Hayy dan lain
sebagainya.
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga
dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara
Tuhan dengan makhlukNya, seperti al-Iradah—al-Kalam—al-
Adl dan lain-lain.4
Kedua sifat tersebut tak terpisahatau berada diluar Zat
Tuhan, Tuhan berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya
semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak
terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang
dikemukakan oleh Aristoteles bahwa; penggerak pertama adalah
akal, sekaligus subjek yang berfikir.5
(2) Al-Adl
Paham keadilan yang dimaksud untuk mensucikan Tuhan
dari perbuatanya. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena
Tuhan tidak mungkin berbuat zhalim, bahkan semua perbuatan
Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan,
Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan
yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sinilah muncul paham
as-Shalah wa al-Ashlah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan.
Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia., misalnya
mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi
manusia.6
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena
tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul
kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam
pandangan Mu,tazilah, Manusia bebas menentukan perbuatannya.
83
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan,
Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada
orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat
buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah
[99] ayat 7-8.
Terjemahnya:
“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya
dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan
seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
Kaum Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa seorang
Mukmin apabila meninggal dalam keadaan taat dan tobat, dia
berhak untuk mendapatkan pahala. Juga berhak untuk
mendapatkan tafadduhul (karunia Tuhan), yaitu suatu pengertian
lain dibalik pahala. Dan apabila seorang Mukmin meninggal tanpa
bertobat lebih dahulu dari sesuatu dosa besar yang telah
diperbuatnya, maka dia ditempatkan dalam neraka selama-
lamanya, akan tetapi siksa yang diterimanya lebih ringan dari pada
siksa orang yang kafir. Inilah yang mereka sebut janji dan
ancaman.
84
Perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah
suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar ma’ruf nahi
munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memunkinkan
dapat dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan
pedang. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang artinya:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia
mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya,
dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya
Iman”.
C. Tokoh-tokoh Mu’tazilah
(1) Washil bin Atha’
Washil bin Atha’ lahir sekitar tahun 70 H di Madinah.
Dari Madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru dengan
Hasan al-Bashri, seorang tokoh dan ualam besar yang sangat
terkenal. Washil termasuk murid yang pandai, cerdas, dan tekun
belajar. Ketika belajar dengan Hasan al-Bashri inilah ia pertama
kali melontarkan pendapat yang berbeda dengan gurunya sehingga
ia dan pengikutnya disebut Mu’tazilah.
Pokok-pokok pikiran teologis Washil bin Atha’ dapat
disimpulkan pada tiga hal penting: Masalah muslim yang
membuat dosa besar, kekuasaan berbuat bagi manusia (free will)
dan tentang sifat Tuhan. Tentang muslim yang berbuat dosa
besar, Washil berpendapat, orang itu tidak mukmin, tidak pula
kafir, tapi fasiq. Kedudukannya berada diantara mukmin dan kafir
(al-manzilah bain al-manzilatain), dengan klasifikasi tersendiri.
Mengenai perbuatan manusia, Washil berpendapat,
manusia memiliki kebebasan, kemampuan, dan kekuasaan untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Kebebasan
memilih, kekuasaan, dan kemampuan berbuat yang ada pada
manusia itu merupakan pemberian Tuhan kepadanya. Karena itu,
manusialah yang menciptakan perbuatannya dan harus
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan itu. Jika
perbuatannya baik, di akhirat akan mendaoat pahala. Sebaliknya,
jika jahat, ia akan mendapat siksa.
Tentang sifat Allah, Washil menolak paham bahwa Tuhan
memilki sifat. Menurut Washil Tuhan tidak mempunyai sifat. Apa
yang dianggap orang sebagai sifat tidak lain kecuali zat Allah itu
sendiri. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
pengetahuan-Nya itu adalah zat-Nya. Tuhan mendengar dengan
pendengaran-Nya, dan pendengaran-Nya itu adalah zat-Nya, dan
seterusnya. Jadi Tuhan mendengar bukan dengan sifat sama’-Nya,
Tuhan melihat bukan dengan sifat bashar-Nya, dan seterusnya;
tapi dengan zat-Nya.
85
Pemikiran-pemikiran Washil bin Atha’ di atas merupakan
dasar dari lima prinsip dasar dalam ajaran Mu’tazilah (al-ushul al
Khamzah) yang belakangan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf.
(3) Al-Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sayyar, tapi ia lebih dikenal
dengan sebutan al-Nazzam. Ia adalah salah seorang murid Abu
Huzail al-Allaf. Pada waktu kecil ia banyak bergaul dengan orang-
orang non-muslim dan setelah dewasa ia banyak bergaul dengan
para ahli filsafat serta mempelajari dan menekuni ilmu ini.
(4) Al-Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab.
Ia lahir tahun 235 H/849 M di Juba’, wafat tahun 303 H/915 M
di Bashrah. Situasi politik pada zamannya tidak stabil. Gerakan-
gerakan sparatis dibanyak daerah bermunculan dan dinasti-dinasti
kecil lahir dimana-mana sehingga kekuasaan pemerintahan pusat
jauh menurun dan kewibawaannya berkurang. Meskipun
demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab
masing-masing dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga
tetap turut memajukan ilmu pengetahuan. Di samping itu, para
ilmuwan tidak banyak terpengaruh dengan situasi dan kondisi
politik. Al-Jubba’i berguru dengan al-Syahham, salah seorang
murid Abu Huzail al-Allaf.
Di samping empat tokoh Mu’tazilah yang disebutkan
diatas, masih banyak lagi tokoh yang lain. Di samping persamaan,
masing-masing tokoh itu juga memiliki perbedaan pendapat,
namun perbedaan itu tidak terlalu besar, dan justru saling
melengkapi ajaran Mu’tazilah. Mereka memiliki pola berfikir yang
sama’ yaitu mengutamakan penggunaan akal dalam memahami
dan memecahkan persolan teologi. Pembahasan teologi Islam
secara detail dan bercorak filosofis sebelum Mu’tazilah tidak ada.
86
Kaum Mu’tazilalah yang memulai pembahasan tersebut dan
merintis jalan menuju filsafat Islam.
Paham Mu’tazilah makin hari makin berkembang. Kaum
intelektual senang dan banyak yang menjadi pengikut aliran ini
karena jalan pikirannya yang rasional sesuai dengan pemikiran
Mu’tazilah yang rasional pula. Kejayaan Mu’tazilah terjadi pada
zaman Khalifah al-Makmun (813-833 M) ketika aliran ini resmi
dijadikan sebagai mazhab resmi Negara. Namun, setelah al-
Makmun wafat, secara perlahan Mu’tazilah mengalami
kemunduran. Kemunduran tersebut sangat terlihat setelah
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M) membatalkan Mu’tazilah
sebagai mazhab Negara. Bahkan banyak kitab yang berisi ajaran
Mu’tazilah dibakar.
Kemarahan masyarakat dan sejumlah tokoh/ulama
terhadap kaum Mu’tazilah disebabkan oleh sikap keras mereka
terhadap ulama dan tokoh-tokoh yang tidak sepaham dengan
mereka. Sejak zaman al-Makmun, setelah al-Makmun menjadikan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara, tokoh-tokoh Mu’tazilah
memaksakan paham mereka kepada ulama dan masyarakat.
Banyak ulama yang dihukum, ditekan, dan dimasukkan kepenjara
hanya karena berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah, padahal,
dibanding dengan kaum Mu’tazilah, masyarakat non-Mu’tazili
lebih banyak. Karena itu, wajar jika masyarakat yang mayoritas
memberikan reaksi keras terhadap sikap dan perlakuan kaum
Mu’tazilah tersebut. Dan ketika al-Mutawakkil membatalkan/
mencabut ketetapan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara,
kaum non-Mu’tazili menyambutnya dengan riang gembira.
Meskipun Mu’tazilah mengalami kemunduran, terutama
sesudah al-Mutawakkil berkuasa di Baghdad, namun tidak berarti
aliran ini hilang atau lenyap. Beberapa tokohnya masih berusaha
mempertahankan bahkan menyebar luaskan paham Mu’tazilah.
Pada akhir abad ketiga Hijriyah muncul seorang tokoh besar
Mu’tazilah, bernama al-Hayyat. Tokoh inilah yang dianggap
sumber asli untuk orang yang ingin mengetahui ajaran-ajaran
Mu’tazilah. Ia sangat terkenal, bukan saja dikalangan Mu’tazilah
sendiri, tetapi juga dikalangan penganut aliran teologi Islam yang
lain. Dari karya-karyanyalah banyak diketahui ajaran-ajaran
Mu’tazilah.sudah hilang dan tenggelam dalam gelombang sejarah.
Yang tinggal cuma namanya saja. Namun, pada saat arus
rasionalisasi masuk kedunia Islam di abad ke-20 ini, pemikiran-
pemikiran rasional Mu’tazilah ditengok dan digali kembali oleh
sejumlah cendekiawan, baik dikalangan muslim sendiri maupun
non-muslim, khususnya kaum orientalis yang memiliki minat
besar mengetahui dan mendalami masalah-masalah keislaman.
87
Rangkuman
Mu’tazilah adalah aliran yang membawa persoalan-
persoalan teologi Islam yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dari pada persolan-persoalan yang dibawah oleh Khawarij dan
Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”. Pada
awalnya Mu’tazilah dalam bentuk pertama (abad pertama Hijriyah)
tidak berkembang dan bukan merupakan aliran teologi dalam
Islam. Namun Mu’tazilah mulai berkembang dan menjadi salah
satu aliran teologi ialah Mu’tazilah bentuk kedua yakni pada
kepemimpinan Washil bin Atha’. Prinsip ajaran Mu’tazilah adalah
Al-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’d wa al-Wa’id, Manzilah Baina al-
Manzilatain, Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
88
Tes Formatif
1. Jelaskan bagaimana sejarah munculnya firqoh Mu’tazilah ?
2. Kemukakan pokok-pokok ajarannya
3. Sebutkan siapa saja tokoh-tokoh Mu’tazilah?
90
BAB VIII
FIRQOH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Tujuan Pembelajaran :
Setelah selesai mengikuti mata kuliah ini, maka diharapkan
mahasiswa mampu :
1. Memahami pengertian Ahlussunnah Wa al-Jama’ah.
2. Mengetahui sejarah munculnya aliran Asy’ariyah.
3. Mengetahui corak pemikiran Asy’ariyah
4. Memahami aliran Maturidy Samarkand
5. Mengetahui pemikiran teologi Maturidy Samarkand
6. Memahami Pemikiran Kalam Aliran Maturidy
Bukhara.
91
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi
Muhammad saw, dan jama’ah berarti sahabat Nabi. Jadi, Ahl
ussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut sunnah
(I’tikad) Nabi dan para sahabat beliau.
Term Ahl al-Sunnah, kelihatannya banyak dipakai setelah
timbulnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Meski demikian,
kata Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah telah dijumpai jauh sebelum itu,
misalnya di dalam surat al-Ma’mun kepada Gubernur Ishak bin
Ibrahim, dimana termaktub kata-kata ‘nasaba anfusahum ila Ahl
al-Sunnah dan kata-kata ahl al-haq wa al-din wa al-jama’ah.1
Kata sunnah dalam term ini berarti ‘cara atau jalan’, yaitu
jalan yang ditempuh oleh para sahabat dan tabi’in dalam
menghadapi ayat-ayat mutasyabih. Tapi boleh juga yang dimaksud
adalah ‘hadis Nabi’ sehingga ahlu al-Sunnah adalah orang yng
mengakui serta mempercayai hadis Nabi tanpa menolaknya,
sedangkan kata al-Jama’ah berarti golongan kaum muslimin atau
golongan mayoritas.2
Untuk mengetahui lebih jelas pokok-pokok pikiran atau
ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka akan dikemukakan
masing-masing aliran yang tergabung di dalamnya yaitu: aliran
Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah.
B. Aliran Asy’ariyah
1. Sejarahnya Munculnya Asy’ariyah
Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi yang dipelopori oleh
Abu Hasan al- Asy’ari (330 H/935 M). Pada mulanya al-Asy’ari
adalah penganut paham Mu’tazilah dan pernah berguru pada
tokoh Mu’tazilah yaitu al-Jubba’i. Karena kefasihan dan
kepintarannya dalam bersilat lidah, ia dipercayakan oleh gurunya
untuk menghadapi lawan-lawan Mu’tazilah dalam perdebatan.
Tetapi kemudian al-Asy’ari keluar dari barisan Mu’tazilah karena
ia merasa bahwa dalam pikirannya terdapat hal-hal yang dapat
menunjauhkan diri dari Mu’tazilah yang telah dinikmati sekian
lama. Setelah itu tumbuhlah kecenderungan dalam dirinya untuk
berbalik kepaham teologi yang dianut oleh para fuqaha dan
muhaddisin, meskipun tidak pernah berguru kepada mereka.3
92
Jadi al-Asy’ariyah adalah aliran teologi tradisional yang
disusun oleh Abu Hasan al-Asy’ari, sebagai reaksi atas teologi
Mu’tazilah. Asy’ariyah banyak dianut oleh umat Islam yang
bermazhab Sunni. Menurut Asy’ariyah akal manusia tidak dapat
sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, tetapi hanya melalui
wahyu. Wahyu lah yang akan mengatakan kepada manusia bahwa
ia berkewajiban mengetahui Tuhan. Iman adalah al-Tashdiq bi
Allah.
Abu Hasan al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 873 M.
dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Beliau menjadi pengikut
Mu’tazilah selama 40 tahun. Keluarnya Abu Hasan al-Asy’ari
dalam barisan Mu’tazilah tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya, tidak begitu jelas. Ada beberapa komentar dalam
hal ini antara lain:
1) Dari al-Subhi dan Ibn Asakir, bahwa pada suatu malam al-
Asy’ari bermimpi, dan didalam mimpi itu Nabi Muhammad
SAW mengatakan padanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang
benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.
2) Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab keluarnya
al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara al-
Asy’ari dengan gurunya al-Jubbai. Al-Asy’ari bertanya
bagaimana kedudukan diakhirat orang mukmin, orang kafir,
dan anak kecil? Al-Jubba’i menjawab bahwa orang mukmin
masuk syurga, orang kafir masuk neraka, dan anak kecil
terlepas dari bahaya neraka. Lalu Asy”ri bertanya lagi, kalau
suatu waktu anak kecil ingin masuk syurga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’I menjawab: tidak mungkin, untuk maduk syurga
karena kepatuhan kepada Tuhan dan anak kecil itu belum
punya kepatuhan. Al-Asy’ari bertanya lagi, bagaimana kalau
anak kecil itu protes, itu bukan salahku kenapa tidak
diabiarkan hidup sehingga dapat melaksanakan perbuatan baik
seperti orang mukmin yang dewasa? Al-Jubba’I menjawab
bahwa jika Tuhan membiarkan anak kecil terus hidup, pasti
akan berbuat dosa dan masuk neraka. Oleh karena itu, demi
kepentingan anak kecil tadi, maka tidak dibiarkan hidup
sampai kepada umur dewasa yang mukallaf. Al-Asy’ari
bertanya lagi: sekiranya orang kafir juga mengatakan, Engkau
Ya Tuhan mengetahui masa depan anak kecil, seperti Engkau
mengetahui masa depanku, mengapa Engkau membiarkan
aku hidup, tidak menjaga kepentinganku? Disinilah al-Jubba’I
tampak diam.4
2. Corak Pemikirannya
Dalam berargumantasi, Asy’ari menggunakan dalil aqli
dan naqli secara bersama-sama. Setelah mempercayai isi al-Quran
dan Hadis, ia menggunakan argumentasi rasional untuk
memperkuatnya. Jadi akal bukanlah hakim atas nash, melainkan
sebagai pelayan dan penguat arti lahir nash.7
Menurut al-Ghazali, hubungan antara aql dan naql laksan
bangunan, akal adalah fundamen dari bangunan itu sendiri,
Fundamen tidak ada gunanya jika tidak ada bangunan diatasnya
94
sebagaimana bangunan itu tidak akan kokoh jika tidak ada
fundamen.8
Menurut Fazlur Rahman, ketentuan dogma Asy’ariyah
pada intinya mencerminkan upaya sintesa posisi ortodoks, yang
hingga sekarang tidak terumuskan dan juga sintesa Mu’tazilah.
Golongan ortodoks adalah orang-orang yang membiarkan dirinya
terperangkap dalam ruang lingkup hadis yang dapat diterima
sebagai suatu kerangka materal yang otoratif.9
Asy’ari juga telah berusaha membuat semacam modus
overendi antara paham qadariyah dan jabariyah. Jabariyah adalah
paham yang mengakui manusia tidak berkuasa melakukan atau
menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, bahkan ia
laksana bulu yang bergerak kesana kemari menurut arah angin
yang meniupnya. Qadariyah adalah paham yang mengakui bahwa
manusialah yang mengerjakan perbuatannya dengan daya yang
diberikan Tuhan kepadanya. Datanglah Asy’ari untuk
mengatakan, manusia berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu
perbuatan.10
Menurut kalangan kaum orientalis berpendapat bahwa,
darah Arab padang pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy’ri
yang mungkin membawanya keoada perubahan mazhab itu. Arab
padang pasir bersifat tradisional dan fatalis sedang kaum
Mu’tazilah bersifat rasional dan percaya kepada kebebasan
berbuat dan berkehendak.
3. Pemikiran Kalamnya
Ajaran-ajaran dan pemikiran Asy’ari sendiri dapat
diketahui dari buku-bukunya yaitu : Kitab Al-Luma’ dan Al-Ibanah
‘an Ushul al-Diniyah. Sebagai penentang Mu’tazilah, tentu saja
ajaran pemikirannya berbeda. Adapun pemikiran kalamnya Asy’ari
sebagai berikut:
1) Sifat-sifat Tuhan
Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, tetapi berusaha
menghindar dari paham antropomorphisme dengan mengatakan
bahwa sifat-sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat-sifat manusia.
Tuhan mengetahui dengan sifat Pengetahun-Nya, berkehendak
dengan sifat Kehendak-Nya, dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut
bukanlah ZatNya, tetapi bukan pula lain dari ZatNya. Menurut al-
Asy’ari, ayat-ayat al-Qu’an tentang sifat-sifat Tuhan dan bahwa
29
95
Tuhan punya muka, tangan, mata, dan sebagainya tidak dapat
dipahami bagaimana hakikatnya (bila kasyf).11
Pernyataan al-Asy’ari tentang sifat Tuhan bukan lain dari
zatNya adalah diambil dari ajaran Mu’tazilah.12 Ajaran Asy’ariyah
sangat bertolak belakang dengan Mu’tazilah. Mu’tazilah menolak
adanya sifat Tuhan diluar zatNya, maka Asy’aiyah menetapkan
sifat Tuhan diluar zatNya, meskipun mengakui bahwa sifat Tuhan
itu tidak lain dari zatNya.
2) Kekuasaan Tuhan
Mengenai kekuasaan Tuhan, Asy’ariyah berpendapat
bahwa kekuasaan Tuhan bersifat mutlak dan absolute, tidak
terbatas. Mereka menolak konsep keadilan Tuhan seperti yang
diajarkan Mu’tazilah, sehingga mereka pun berpendapat bahwa
dengan kekuasaan mutlak-Nya, Tuhan dapat saja memasukkan
segenap mukmin ke dalam neraka.13 Dengan demikian Asy’ariyah
menolak paham Mu’tazilah tentang al-wa’ad wa al-wa’id.
3) Perbuatan Manusia
Bagi al-Asy’ari, perbuatan manusia bukanlah diwujudkan
oleh manusia sendiri, tetapi diciptakan oleh Tuhan, manusia
hanya memperoleh perbutannya sendiri.14 Perbuatan kufr adalah
buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufur itu
sebenarnya bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini
tidak dapat diwujudkannya. Perbuatan Iman bersifat baik, tetapi
berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya perbuatan iman itu
janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya itu tidak
dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang diwujudkan
perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tidak sanggup
berbuat kufr bersifat baik. Tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya
dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.
Mereka menolak ajaran Mu’tazilah mengenai pelaku dosa
besar itu bukan mukmin dan bukan kafir. Bagi Asy’ariyah,
seseorang tetap saja mukmin meskipun telah melakukan dosa
besar.15
4) Keadilan Tuhan
Al-Asy’ariyah menentang paham keadilan Tuhan seperti
yang diyakini Mu’tazilah. Menurut Asy’ariyah, Tuhan berkuasa
11 Al-Asy’ari, Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diniyah, Kairo: Idarah al-Taba’ah al-
Muniriyah., t. th. h. 9.
12 Fazlur Rahman, Islam., h. 105.
13 Asy’ary, Kitab al-Luma’, Kairo: Maktabah al-Khanijiy, 1955. h. 70.
14 Asy’ariy, Kitab al-Luma’, h. 37.
15 Asy’ariy, Kitab al-Luma’, h. 76.
96
mutlak dan tidak satu pun yang wajib bagiNya. Tuhan berbuat
sekehendakNya, sehingga kalau ia memasukkan seluruh manusia
kedalam syurga bukanlah Ia bersifat tidak adil, dan jika Ia
memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka, maka tidaklah Ia
bersifat zalim.16
5) Al-Quran
Asy’ariyah berpendapat bahwa al-Quran bukanlah
makhluk Tuhan, melainkan kalam (perkataanNya). Seandainya al-
Quran iru adalah makhluk, niscaya didahului oleh penciptaan Kun
(jadilah), padahal al-Qur’an tidak didahului oleh kata penciptaan,
sebab al-Quran itu sendiri adalah perkataan Tuhan.17 Seperti
firman Allah dalam QS. Al-Nahl [16] ayat 40:
97
meskipun pendapatnya tidak selamanya sama dengan pendapat
Asy’ariyah.
4. Tokoh-tokoh Asy’ariyah
a) Al-Baqillani
Nama lengkapnya Muhammad Ibnu al-Thayyibah Ibnu
Muhammad Abu Bakar Al-Baqillani, Ia terkenal cerdas, simpatik
dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Bukunya yang
terkenal ialah Al-Tamhid, yang berarti pengantar. Menurut al-
Baqillani tiap ‘aradh mempunyai aradh’ pula. Misalnya hidup
lawannya mati, baik lawannya buruk, panas lawannya dingin dan
seterusnya. Dua aradh yang berbeda tidak mungkin berkumpul
pada sesuatu benda dari satu segi dan satu waktu (bersamaan
waktunya). Akibat yang terpenting dari teori ini bahwa dalam alam
ini tidak ada hokum alam yang pasti, sebab menurut al-Baqillani,
penggabungan atom dan pergantian aradh tidak terjadi dengan
sendirinya (karena tabiatnya), melainkan karena kehendak Allah
semata. Kalau Allah menghendaki perubahan hokum, tentu saja
bisa berubah. Disinilah terjadinya mukjizat, yaitu terjadinya
penyimpangan dari kebiasaan. Jadi hokum causalitas (sebab
akibat) tidak ada. Yang ada hanyalah pergantian phenomena, yang
boleh jadi tetap dan boleh juga jadi berubah macamnya, sesuai
dengan kehendak Allah.20
Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Al-
Asy’ari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan Asy’ari. Apa
yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi al-Baqillani bukanlah
sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari
Mu’tazilah. Selanjutnya ia juga tidak sepaham dengan Asy’ari
mengenai perbuatan manusia. Kalau Asy’ari perbuatan manusia
adalah diciptakan Allah seluruhnya, sedang menurut al-Baqillani
manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan
perbuatannya. Yang diwujudkan Allah ialah gerak yang terdapat
dalam diri manusia;
Adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh
manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia
mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berjalan dan
sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis), adalah ciptaan Allah, tetapi
duduk, berdiri merupakan spectes (naw’) dari gerak, adalah
perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang
diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan
sebagainya.21 Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia
30 Abd al-Qadir bin Tahir al-Baghdady, Kitab Ushul al-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-
103
Terjemahannya:
Tangan Allah di atas tangan mereka.
105
timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk
mewujudkan dan daya untuk melakukan.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidiyah dan juga
Asy’ariyah berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang
sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal
harus tunduk kepada wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka
terpadu dengan satu alian besar (Ahlu Sunnah Wa al-Jama’ah). Di
samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja
Asy’ariyah berhadapan langsung dengan pikiran yang
bertentangan dengan Mu’tazilah.
Rangkuman
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi
Muhammad SAW, dan jama’ah berarti sahabat Nabi. Jadi,
Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut sunnah
(I’tikad) Nabi dan para sahabat beliau. Ahlus Sunnah wal Jama’ah
terbagi atas dua aliran yakni aliran Asy’ariyah dan aliran
Maturidiyah. Al-Asy’ariyah adalah aliran teologi yang dipelopori
oleh Abu Hasan al- Asy’ari (330 H/935 M). Pada mulanya al-
Asy’ari adalah penganut paham Mu’tazilah dan pernah berguru
pada tokoh Mu’tazilah yaitu al-Jubba’i. Asy’ari menggunakan dalil
aqli dan naqli secara bersama-sama. Setelah mempercayai isi al-
Quran dan Hadis, ia menggunakan argumentasi rasional untuk
memperkuatnya. Jadi akal bukanlah hakim atas nash, melainkan
sebagai pelayan dan penguat arti lahir nash. Sedangkan
Maturidiyah memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal
manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian
dikalangan Maturidiyah sendiri ada dua kelompok yang juga
memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok
Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri yang
paham-paham teologinya lebih dekat dengan paham Mu’tazilah
dan kelompok Bukhara yaitu kelompok al-Bazdawi yang condong
kepada Asy’ariyah.
106
Tes Formatif
1. Jelaskan apa pengertian ahlussunnah wa al-jamaah?
2. Jelaskan sejarah munculnya Asy’ariyah?
3. Kemukakan corak pemikiran Asy’ariyah
4. Jelaskan apa itu aliran Maturidy Samarkand?
5. Bagaimana pemikiran teologi Maturidy Samarkand?
6. Jelaskan aliran dan pemikiran Kalam Maturidy Bukhara?
41 Abd al-Qadir bin Tahir al-Baghdady, Kitab Ushul al-Din, Kairo: ‘Isa al-Babi al-
Salabi, 1963.,h. 207.
108
BAB IX
ALIRAN SALAFIYAH
Tujuan Pembelajaran :
Setelah mengikuti materi perkuliahan ini, maka diharapkan
mahasiswa mampu:
1. Memahami aliran Salafiyah
2. Mengemukakan pokok-pokok pikiran Salafiyah
3. Menjelaskan system pemikiran Ibnu Taimiyah
4. Mengemukakan bagaimana ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah.
5. Mengemukakan ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab
6. Menjelaskan cara penyiaran aqidah Wahabiyah.
109
PENDAHULUAN
A. Sejarahnya
Salaf artinya terdahulu dan Ahlu Salaf adalah orang-orang yang
terdahulu. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah sahabat-
sahabat Nabi dan golongan Muhajirin dan Anshar yang mengikuti
Sunnah Nabi. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Taubah ayat 100.
Terjemahnya:
“Orang-orang yang terdahulu (Muhajirin dan Anshar yang pertama)
dan mereka mengikuti orang-orang itu dalam segala kebaikannya,
semua diridhai Allah dan mereka pun ridha kepada Allah, yang
menyediakan bagi orang-orang itu syurga, dengan sungai-sungai yang
mengalir simpang siur, semua mereka akan abadi menempatinya.
Itulah suatu kejayaan yang besar”.
1Aboe Bakar Atjeh, Salaf (al Salaf al Shalih) Islam Dalam Masa Murni, Jakarta:
Permata. 1970., h. 6.
2 Atjeh, Salaf., h. 13.
110
kembali. Usaha tersebut terjadi abad ke IV H, yaitu masa hanabilah.
Pada masa ini kemajuan berfikir berkembang dengan pesat ditandai
dengan munculnya berbagai aliran dan paham.
Kelompok hanabilah terkadang bertentangan dengan kelompok
lain seperti Asy’ariyah dan menamakan dirinya orang yang mewakili
ulama salaf karena mempertalikan dirinya dengan pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal.
B. Pokok-pokok Pikirannya
1. Masalah Aqidah
Aliran Salaf mengakui keesaan Tuhan, mereka berusaha untuk
mensucikan Tuhan dari segala sesuatu yang menyeruapaiNya tanpa
menghilangkan sifat-sifat yang dimilikiNya. Tuhan tetap mempunyai
beberapa sifat dan nama tanpa mempermasalahkan lebih jauh. Begitu
pula tentang keyakinan sepenuhnya terhadap kerasulan Muhammad
saw dan syafa’atnya bagi orang-orang yang beriman di hari kemudian.
Selanjurnya mereka juga meyakini adanya hari kebangkitan
sebagaimana yang diberitakan oleh al-Quran dan Hadis-hadis Nabi
tanpa mempertanyakan lebih jauh. Begitu pila terhdap rukun Iman
yang lain, mereka yakini sepenuhnya.3
2. Masalah Muamalat
Hukum mengenai masyarakat yang di bawah oleh Nabi
Muhammad saw, berdasarkan pada:
a) Al-Quran dan Sunnah mewajibkan permusyawaratan dalam
menetapkan hokum.
b) Al-Quran memerintahkan berbuat adil, kebajikan, menciptakan
rasa persamaan dan persaudaraan dengan memperhatikan
prikemanusiaan.
c) Al-Quran dan Sunnah mencegah peperangan yang bersifat
permusuhan antara satu golongan dengan yang lainnya.
d) Al-Quran dan Sunnah berusaha memperbaiki nasib kaum wanita
dan orang-orang yang miskin.
e) Al-Quran dan Sunnah sudah menjelaskan perbedaan hak dalam
masyarakat.
Adapun praktek dasar tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah,
sahabat-sahabat dan tabi’in serta tabi’ tabi’in, dan dapat disesuaikan
dengan perkembangan masyarakat tanpa menyalahi prinsif tersebut
diatas.
3. Masalah Ilmu
C. Tokoh-tokohnya
Ada dua tokoh yang sangat besar pengaruhnya dalam
mengembangkan aliran ini:
1. Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin
Taimiyah, lahir tahun 66i H di Harran, sebuah kota di Iraq.
Tampilnya Ibnu Taimiyah pada abad VII H merupakan kekuatan
baru bagi aliran Salafiyah, karena selain menghidupkan prinsip
pemikiran Salafiyah, juga mengembangkan ajaran-ajaran khususnya
dalam hal keyakinan atau aqidah.
a) Sistem Pemikirannya
Kita telah mengetahui bahwa aliran Mu’tazilah dalam
memahami aqidah Islam menggunakan metode filsafat dan banyak
pula yang mengambil pikiran-pikran filsafat, meskipun sikap itu
timbul karena keinginan hendak mempertahankan Islam dari
serangan-serangan lawannya yang befilsafat pula. Aliran-aliran yang
datang kemudian, yaitu aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, juga tidak
terhindar dari metode tersebut, meskipun tidak sama tingkatan
pemakaiannya.
Ibnu Taimiyah membagi metode ulama-ulama Islam
dalam lapangan aqidah menjadi empat:
(1) Aliran filsafat yang mengatakan bahwa al-Quran berisi dalil
“khutabi dan iqna’i” (dlil penenang dan pemuas hati, bukan pemuas
pikiran) yang sesuai untuk orang banyak, sedang filosof-filosof
menganggap dirinya ahli pembuktian rasional (burhan) dan
keyakinan suatu cara yang lazim dipakai dalam lapangan aqidah.
(2) Aliran Mu’tazilah terlebih dahulu memegangi dalil akal yang
rasionil, sebelum mempelajari dalil-dalil al-Quran. Mereka
memang mengambil kedua macam dalil tersebut, akan tetapi
mereka lebih mengutamakan dalil-dalil akal pikiran, sehingga
mereka harus menakwilkan dalil-dalil al-Quran untuk disesuaikan
b) Ajaran-ajarannya
Adapun ajaran yang ditanamkan oleh Ibnu Taimiyah adalah
terkait dengan masalah aqidah, yakni:
(1) Keesaan Zat dan Sifat
Semua kaum muslimin sepakat pendapatnya tentang
Keesaan Tuhan, tidak ada yang menyerupaiNya. Akan tetapi
menurut Ibnu Taimiyah, conotasi (kandungan) perkataan
‘Keesaan’ (tauhid) dan perkataan-perkataan lainnya yang ada
hubungannya dengan perkataan tersebut, yaitu ‘penyucian’
(tanzih), ‘penyerupaan’ (tasybih), dan ‘penjisiman’ (tajsim
anthropomorphis) dapat berbeda-beda menurut perbedaan orang
yang memakainya, sebab tiap-tiap golongan mengartikannya
dengan arti yang berlainan.
Arti ‘pengesaan’ dan ‘penyucian’ bagi aliran Mu’tazilah
ialah meniadakan semua sifat-sifat dan arti ‘penyerupaan’ dan
‘penjisiman’ ialah menetapkan sebagian sifat-sifat itu, sehingga
orang yang mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat Kalam,
dianggap telah menjisimkan Tuhan.8
Golongan lain mengartikan ‘pengesaan’ dan ‘penyucian’
dengan meniadakan semua atau sebagian sifat-sifat khabariah
(yang diberitakan oleh Tuhan atau bukan Zat sifat-sifat ma’ani)
seperti memberi rizqi, marah, kasih sayang dan sebagainya,
sendang arti ‘penyerupaan’ dan ‘penjisiman’ ialah menetapkan
semua atau sebagian sifat-sifat itu.
‘Pengesaan’ menurut golongan filosof, sama dengan yang
diartikan oleh aliran Mu’tazilah, bahkan lebih lagi, karena mereka
mengatakan, bahwa yang ada pada Tuhan hanya sifat-sifat salabi
(negatif) atau ifadhah (seperti Rabbul Alamin) atau yang tersusun
dari keduanya (seperti mukhalifah lil hawaditsi—berbeda dengan
semua yang baru).9
Perbedaan ulama tentang connotasi (kandungan arti)
perkataan-perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi
alasan untuk menuduh orang lain telah kafir, sebab perbedaan
tersebut timbul karena perbedaan tinjauan, bukan perbedaan
114
dalam arti yang sebenarnya. Aliran Salaf tidak pernah
mengkafirkan lawan-lawannya, melainkan hanya memandang
mereka telah sesat, seperti golongan filosof, aliran Mu’tazilah dan
golongan Tasawuf yang mempercayai persatuan diri dengan
Tuhan (ittihad) atau peleburan diri pada ZatNya (fana’).
Bagaimanakah pendirian yang tidak mengandung
kesesatan? Tidak lain hanyalah pendirian aliran Salaf, menurut
pengakuan mereka sendiri. Aliran Salaf menetapkan sifat-sifat,
nama-nama perbuatan-perbuatan dan keadaan (ahwal) yang
termuat dalam al-Quran dan hadis-hadis, seperti: Al-Hayyu, al-
Qayyum, al-Shamad, al-‘Alim, al-Hakim, al-Sami’, al-Bashir,al-
Qadir, al-Ghafur, al-Rahim, Dzul ‘Arsyil Majid, Marah dan Suka
(baca QS. Al-Maidah: 80, 119 dan QS. Al-Nisa: 93), Tuhan turun
kepada manusia dalam gumpalan awan (baca QS. Al-Baqarah:
210), Bertempat di langit (baca QS. Fusshilat: 11), mempunyai
muka (baca QS. Al-Baqarah:115), dan mempunyai tangan (baca
QS. Ali Imran: 73) berada di atas, di bawah dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf dengan
memegangi arti letterleknya, meskipun dengan pengertian bahwa
sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.10
Jadi tangan Tuhan tidak sama dengan tangan manusia,
dan begitu seterusnya, karena Tuhan suci dari yang semacam itu.
Dengan perkataan lain, aqidah aliran Salaf terletak di antara ta’thil
(peniadaan sifat) sama sekali dan tasybih (penyerupaan Tuhan
dengan makhlukNya).
Penafsiran bukan inderawi terhadap sifat-sifat Tuhan yang
sesuai dengan keagungan Tuhan tidak akan merugikan agama, dan
lebih baik dari pada penafsiran inderawi. Jadi ‘tangan’ ditafsirkan
dengan kekuatan atau nikmat, ‘turun dari langit’ ditafsirkan
dengan ‘dekat Tuhan kepada hambaNya’. Dari segi bahasa,
tafsiran-tafsiran itu masih dimungkinkan dan kata-kata itu sendiri
masih bisa menerima pengertian-pengertian tersebut. Penakwilan
tersebut juga dikerjakan oleh ulama Kalam lainnya seperti al-
Ghazali dalam bukunya ‘Iljamul Awwam’.11
(2) Keesaan Penciptaan
Dasar Keesaan Penciptaan ialah bahwa Tuhan menjadikan
langit dan bumi, apa yang ada di dalamnya atau yang terletak di
antara keduanya, tanpa sekutu dalam penciptaannya, dan tidak ada
pula yang mempersengketakan kekuasaanNya, tidak ada kemauan
makhluk yang mempersengketakan kemauan Tuhan, atau
bersama-sama dngan Dia dalam menciptakan segala sesuatu,
116
telah mati. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan
sebagai berikut:
“Kita tidak boleh meminta sesuatu kepada Nabi-
nabi dan orang-orang saleh sesudah mereka wafat.
Meskipun mereka hidup di kuburnya dan andaikan
mereka dapat mendo’akan untuk orang-orang yang masih
hidup, namun seseorang tidak boleh minta kepada
mereka. Seorang Salaf tidak berbuat demikian, karena
perbuatan itu mendapatkan syirik dan berarti mrnyembah
selain Tuhan. Lain halnya dengan permintaan kepada
mereka waktu hidupnya, maka tidak mendatangkan
syirik”.15
Minta pertolongan (istighatsah) kepada selain Allah
juga tidak boleh, sebab yang berhak dimintai pertolongan
hanya Zat yang sanggup mengadakan perubahan dan hal
ini hanya dimiliki oleh Tuhan semata-mata.
Ibnu Taimiyah mengutip perkataan Abu Jazid al-Bustami
sebagai berikut:
“Permintaan tolong seseorang makhluk kepada makhluk
yang lain bagaikan permintaan tolong dari orang yang mau tenggelam
kepada orang yang tenggelam pula.16
b.) Larangan memberikan nazar kepada kuburan atau penghuni
kuburan atau penjaga kuburan.
Perbuatan ini haram karena tidak ada bedanya dengan nazar
kepada patung berhala. Dlam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa: “Siapa yang percaya bahwa kuburan mempunyai daya guna
atau mendatangkan pahala, maka ia bodoh atau sesat”. Bahkan ia
lebih keras mengatakan sebagai berikut: “Siapa yang percaya bahwa
nazar itu merupakan kunci untuk mendapatkan kebutuhan dari
Tuhan dan dapat menghilangkan bahaya, membuka rizqi atau
menjaga pagar batas, maka ia menjadi musyrik yang harus dihukum
mati”.17
c.) Larangan ziarah ke kubur-kubur orang saleh dan Nabi.
Kelanjutan yang logis dari kedua hal tersebut diatas ialah larangan
ziarah kubur orang-orang saleh dengan maksud minta berkah atau
mendekatkan diri kepada Allah. Sedang kalau untuk maksud mencari
suri tauladan dan nasehat (al-‘izhah wa al-I’tibar), maka dibolehkan,
bahkan dianjurkan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ziarah ke
kubur Nabi untuk minta berkah juga tidak boleh karena:
Nabi melarang kuburnya dijadikan masjid, supaya jangan menjadi
tempat ziarah orang. Karena itu kuburnya terletak di rumah
117
isterinya, yaitu Siti Aisyah. Nabi sendiri pernah berkata ketika
hendak meninggal dunia: “Tuhan mengutuk orang-orang Yahudi dan
Msehi, karena menjadikan kubur Nabi-nabinya sebagai masjid”.
Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabatnya apabila hendak memberi
salam dan berdoa, mereka menghadap kiblat. Juga apabila mereka
hendak bepergian atau datang dari bepergian, mereka hanya
mengarahkan diri ke kubur Nabi.18
b. Ajaran-ajarannya
(1) Ketauhidan
Dalam bidang ketauhidan mereka berpendirian sebagai berikut:
Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang
berbuat demikian ia dibunuh.
Rangkuman
Istilah Salafiyah dihubungkan dengan golongan ulama yang
ingin menghidupkan kembali sifat-sifat Nabi dan sahabat-sahabatnya
serta mengamalkannya dengan harapan kejayaan dan kemurnian Islam
kembali. Usaha tersebut terjadi abad ke IV H, yaitu masa hanabilah.
Pada masa ini kemajuan berfikir berkembang dengan pesat ditandai
dengan munculnya berbagai aliran dan paham. Pokok pikiran Salafiyah
dalam masalah aqidah, yaitu mengakui keesaan Tuhan, mereka
berusaha untuk mensucikan Tuhan dari segala sesuatu yang
menyeruapaiNya tanpa menghilangkan sifat-sifat yang dimilikiNya.
Tuhan tetap mempunyai beberapa sifat dan nama tanpa
mempermasalahkan lebih jauh. Begitu pula tentang keyakinan
sepenuhnya terhadap kerasulan Muhammad saw dan syafa’atnya bagi
orang-orang yang beriman di hari kemudian. Terkait masalah
Muamalat/Hukum mengenai masyarakat yang di bawah oleh Nabi
Muhammad saw, berdasarkan pada al-Quran dan sunnah, dalam
masalah ilmu, menurut mereka hanya ada tiga macam ilmu yaitu: Al-
Quran, Hadis dan apa yang telah disepakati oleh orang-orang Islam.
124
BAB X
ALIRAN AHMADIYAH
125
PENDAHULUAN
Ada satu golongan yang muncul di Qadiyan, India (sekarang
daerah Pakistan), bernama Golongan/aliran Ahmadiyah, atau kaum
Ahmadiyah. Aliran Ahmadiyah merupakan ajaran Mirza Ghulam
Ahmad. Dia dilahirkan di Qadiyan, distrik Gusdaspur, Punjab wilayah
India, pada 1836 M dan meninggal pada 1908 M. Menurut suatu
riwayat, leluhurnya berasal dari Mongolia. Pada 4 Maret 1889 M.
Ghulam Ahmad mengaku dan mengumumkan bahwa dirinya
menerima wahyu langsung dari Tuhan, menunjuknya sebagai Al-Mahdi
Al-Mau’ud, artinya Imam Mahdi yang dijanjikan, agar masyarakat
berbaiat (sumpah setia) kepadanya.
Adapun isi baiatnya ialah keyakinan atas ikrar untuk menjauhi
berbuat syirik, melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari semalam,
beriman kepada Allah Swt . dan Nabi Muhammad saw., taat kepada
ajaran al-Quran, bersikap sopan santun. Sampai di sini, ajarannya
masih wajar, tidak ada yang menyimpang dengan ajaran Islam yang
dikenal masyarakat.
A. Sejarah Aliran Ahmadiyah
Pendiri aliran ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, setelah ia
berusia 54 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza Ghulam Ahmad
mendakwahkan, bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi Muhammad saw.
dan pula Nabi yang paling terakhir. Bukan saja Nabi, tetapi juga
Imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan Juru Selamat.1
Sudah terang, bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini terpengaruh
pengajaran Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab,
yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi
yang ‘adil, yang akan membawa keadilan untuk seluruh dunia, yang
pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari
Tuhan. Memang kaum Syi’ah berfaham bahwa ke Nabian dan ke
Rasulan belum putus, Imam-imam mereka dianggapnya masih
menerima wahyu langsung dari Tuhan.
Mirza Ghulam Ahmad bertindak lebih jauh, ia bukan lagi Imam,
bukan saja Imam Mahdi, tetapi Nabi benar-benar yang mendapat
wahyu dari Tuhan, tetapi ajaran bahwa ada Nabi sesudah Nabi
Muhammad, bertentangan pula dengan kaum Syi’ah. Bagi mereka
yang ada ialah Imam, bukan Nabi baru, sedang Imam itu harus dari
keturunan Saidina ‘Ali ra. Karena itu Mirza Ghulam Ahmad bukan
127
sebagai Al-Mahdi Al-Mau’ud, kemudian mengaku sebagai Al-Masih Al-
Mau’ud, artinya sebagai penjelmaan Nabi Isa al-Masih yang dijanjikan.
Dalam ajarannya, dia beranggapan bahwa Nabi Isa setelah dapat
menyelamatkan diri dari salib yang dilakukan oleh laskar Romawi.
Mula-mula Nabi Isa bersembunyi di Taman Getsemani, kemudian
ditangkap lascar Romawi dan digiring dengan memikul kayu salib.
Setelah Nabi Isa dapat menyelamatkan diri, lalu melarikan diri kearah
timur, dan akhirnya sampai di daerah Lahore, hidup sampai berumur
120 tahun dan di makamkan di sana.5
Ajaran Ahmadiyah mengakui kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad saw. juga diakui sebagai Khatam an-Nabiyyin, bahkan
menurut ajaran ini, mengingkarinya berarti kafir. Tetapi Khatama an-
Nabiyyin diartikan sebagai Nabi yang termulia, Nabi tertinggi diantara
seorang Nabi, sedangkan dalam keimanan Islam pada umumnya
diartikan sebagai Nabi terakhir, tidak akan ada manusia yang menerima
wahyu sesudah Nabi Muhammad saw.
Ghulam Ahmad juga mengakui bahwa wahyu yang dia terima itu
tidak setinggi martabat wahyu yang diterima Nabi Muhammad saw.
Oleh sebab itu, al-Quran Ahmadiyah adalah al-Quran yang dipakai
oleh Sunni pada umumnya. Demikian juga hadis yang di pakai
Ahmadiyah adalah hadis yang dipandang shahih menurut ilmu hadis
pada umumnya.
Ajaran Ahmadiyah yang cukup kontroversial ialah tentang Nabi
Isa as., dalam bukunya Masih Hindustan Man (Seorang Hindustan yang
Suci), Ghulam Ahmad mengatakan bahwa Nabi Isa (Yesus) tidak mati
di tiang salib di bukit Golgota itu, melainkan hanya pingsan. Dia
memang dikubur dalam keadaan demikian, lalu para sahabatnya pada
malam hari segera mengambilnya dan dengan penuh kasih sayang
mengobati luka-luka itu dengan diolesi salep ramuan mereka sampai
sembuh. Kuburannya, menurut Mirza Ghulam Ahmad, terdapat di
Khan Yar, Srinagar. Ketika di Kashmir, Nabi Isa as. Disebut Yus
Asaf. Tujuan dikemukakannya teori tentang perjalanan hidup Nabi
Isa as. Itu ialah untuk menguatkan penempatan posisi dirinya sebagai
Al-Masih dan Al-Mahdi.6
Pada ayat 40, surat al-Ahzab, Ahmadiyah Qadiyan memaknai
bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah Nabi yang paling sempurna,
pemegang cincin kenabian para Nabi, bukan Nabi reakhir atau Nabi
128
penutup. Sebab sesudahnya, masih ada Nabi lagi yaitu Mirza Ghulam
Ahmad itu sendiri. Pemahamannya tentang surat al-Ahzab, ayat 40,
merupakan pemahaman jalan lain. Tak satu pun kitab tafsir yang
mu’tabar yang beredar menerangkan hal seperti itu. Jelaslah hal itu
merupakan ambisi pribadi sendiri. Dalam kitab tafsir al-Quran Al-
Adzim, karangan Imam Abi Al-Fida’ Al-Hafidz Ibnu Katsir Al-
Damasqi (w. 774 H), Jilid III, menerangkan: 7
“Firman-Nya: Tetapi dia (Muhammad) adalah Rasulullah dan penutup
Nabi-nabi. Dan adalah Allah maha mengetahui segala sesuatu). Seperti firman-
Nya Azza Wa Jallah: (Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan
tugas kerasulan)-Al-An’am, ayat 124. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada
seorang pun Nabi sesudahnya. Dan tidak ada pula seorang pun Rasul. Karena
sesungguhnya kedudukan kerasulan itu lebih istimewa dari pada kedudukan
kenabian. Maka sesungguhnya setiap Rasul itu tentu Nabi, dan tidak
sebaliknya (seorang Nabi belum tentu Rasul). Karena itu terdapat beberapa
hadis mutawatir, diriwayatkan dari Rasulullah, dari riwayat sejumlah sahabat,
Imam Ahmad berkata: Menerangkan kepada kami Abu ‘Amir Al-Azdi,
menerangkan kepada kami Zuhair bin Muhammad, dari Abdullah bin
Muhammad bin Aqil, dari Thufail bin Ubai bin Ka’ab, dari ayahnya ra., dari
Nabi saw., bersabda: Perumpamaan diriku terhadap Nabi-nabi itu seperti
seseorang laki-laki yang membangun rumah. Maka aku lalu membaguskan dan
menyempurnakannya. Tertinggal padanya meletakkan satu batu bata yang
belum ditaruh-letakkan pada tempatnya. Maka umat manusia bertawaf
mengelilingi bangunan rumah itu, mereka terkejut heran, lalu berkata:
Alangkah indahnya seandainya sempurna peletakan batu bata itu.
Kedudukanku terhadap Nabi-nabi laksana seperti untuk mengisi batu bata
yang masih tersisa kosong itu”. (HR. At-Tirmidzi, hadis Hasan Shahih).
C. Perkembangannya
Setelah Ghulam Ahmad meninggal pada 1908 M. gerakan
Ahmadiyah terpecah menjadi dua golongan:
1) Ahmadiyah Qadiyan; menegaskan bahwa Ghulam Ahmad itu Nabi
sesudah Nabi Muhammad. Dia adalah Nabi pengiring bagi
beliau, bagaikan Nabi Harun, pemgiring bagi Nabi Musa as,
mereka tinggal di daerah Gulf, berdampingan dengan orang-orang
Muslim lainnya yang tetap tidak mengakui Ghulam Ahmad
sebagai Nabi. Mereka yang tidak percaya terhadap kenabian
Mirza, dipandangnya sebagai orang kafir. Golongan Sunni
menolak ajaran tersebut, dengan mengeluarkan pernyataan resmi
7Ibnu Katsir, Tafsi Al-Quran al-Hakim, Juz III (Beirut: Dar Al-Khutub Al-
Alamiyah, t.t), h. 459.
129
pengadilan agama yang menetapkan bahwa pengikut Qadiyan
bukanlah termasuk golongan Muslim.
2) Ahmadiyah Lahore; tidak terlalu menyimpang jauh seperti
Qodi’ani, tetapi tetap heterodox artinya menyimpang dari paham
Sunni. Mereka beranggapan sebagai mujaddid atau pembaru. Mereka
mendasarkan pada hadis berikut:8
“Sesungguhnya Allah Ta’ala bakal membangkitkan di kalangan umat ini
pada setiap awal seratus tahun orang yang memperbarui baginya akan
agamanya”. (Hadis Shahih).
Ajaran Ahmadiyah ini mendapat tantangan dari ulama-ulama
Sunni, diantaranya dari Abdul Haqq al-Gaznawi, seorang mualwi dari
Amritsar. Tantangan yang paling keras muncul dari Muhammad
Husein, seorang tokoh pimpinan Ahlulhadis dari Batala (kota di
distrik Gusdaspur) dan editor Koran berbahasa Urdu Isha’at-i Sunnah.
Pada awalnya Muhammad Husein merupakan pendukung kuat
Ghulam Ahmad ketika pertama kali membaca Barahin-i Ahmadiyah,
tetapi kemudian menentangnya dengan keras ketika Ghulam Ahmad
mengaku sebagai al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Mau’ud.
Puncak perdebatan terjadi pada 1897-1898 ketika artikel-artikel
Isha’at-i Sunnah menyerang Ghulam Ahmad yang dijawabnya melalui
harian al-Hakam, koran gerakan Ahmadiyah. Ketika Ghulam Ahmad
menantang Muhammad Husein untuk mengadakan perdebatan
umum, tantangan itu diladeni oleh penantang baru, yaitu Mullan
Muhammad Bakhsh (seorang ulama dari Lahore dan editor surat
kabar Ja’far Zatali). Perdebatan dan pertentangan ini harus menjadi
meluas, bukan hanya mengenai klaim-klaim Ghulam Ahmad dalam
bidang agama, melainkan juga mengenai kepemimpinan Islam.
Apakah umat ini loyal kepada khalifah Turki Usmani atau loyal
kepada pemerintahan penjajah Inggeris.
Dalam pengakuannya, Ahmadiyah percaya kepada Al-Quran dan
hadis Nabi. Tetapi masih menambah lagi kitab yang dalam
kenyataannya justru dipandang lebih utama, yaitu Kitab Tadzkirah,
Haqiqah Al-Wahyi dan lain-lain. Dalam kitab tersebut, terdapat
potongan ayat-ayat Al-Quran bercampur dengan yang lain.
Contohnya:
1) Kitab Tadzkirah, hlm 224, menerangkan:
“Wahai Ahmad-Ku, engkau adalah tujuan-Ku dan bersama-Ku, engkau
terhormat pada pandangan-Ku. Aku memilih engkau untuk diri-Ku.
8 Busthomi Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, (Kuawait: Dar Al-Da;wah,
1984), h. 13.
130
Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah
aku, dan Dia mengasihi kalian. Dan Dia Maha Penyayang di antara
penyayang”.9
Ayat tersebut, merupakan bajakan dari al-Quran, surat Yusuf,
ayat 64.
2) Kitab Tdzkirah, hlm. 219, menerangkan:
“Dia memanggilku dan berkata: Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku
sesungguhnya aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama dari
orang yang beriman. Tuhanku memanggilku dari langit, agar aku
membuat perahu (Jemaat Ahmadiyah) atas pengetahuan dan wahyu
Kami”.10
Ayat tersebut merupakan bajakan dari Surat Hud, ayat 37.
Di samping itu, mereka memercayai kota-kota suci Makkah,
Madinah, Qadiyan, dan Rabwah. Kenyataannya, mereka lebih
menempatkan keutamaan Qadiyan dan Rabwah dari pada Makkah dan
Madinah. Ghulam Ahmad dalam baiatnya tidak menyinggung kewajiban
menunaikan ibadah haji, dan sampai meninggal pada 26 Mei 1908 M, dia
tidak pernah melakukan ibadah haji. Mirza menegaskan kepada murid-
muridnya ketika membaiatnya pada bulan oktober 1888 M. sebagai
berikut:
“Apabila engkau (Mirza) berniat untuk mengerjakan pekerjaan yang
besar, maka bertawakkallah kepada Allah, dan jadikanlah perahu (jema’at) di
hadapan Kami menurut wahyu Kami. Orang-orang yang mengambil baiat kepada
engkau (yakni murid-murid engkau), mereka baiat kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka”. (Kitab “suci” Tadzkirah, hlm. 163).
Dan ayat tersebut merupakan bajakan dari potongan beberapa
ayat Al-Quran al-Karim dari surat Ali Imran ayat 159, surat Hud ayat 37
dan surat Al-Fath ayat 10 yang disambung menjadi satu “Wahyu”
tersebut di atas menguatkan Mirza untuk membentuk jamaah Ahmadiyah
dengan suatu keyakinan jamaah Ahmadiyah itu identik dengan perahu
Nabi Nuh as. Menurut Mirza, barang siapa yang tidak mau masuk dalam
jamaah Ahmadiyah sama saja dengan orang yang tidak mau naik (masuk)
dalam perahu Nabi Nuh as, akan tenggelam semuanya yaitu akan masuk
neraka. Dengan demikian, timbullah keyakinan dikalangan mereka bahwa
Ahmadiyah adalah satu-satunya penyelamat umat agar tidak masuk neraka
seperti perahunya Nabi Nuh as. Dahulunya adalah satu-satunya
penyelamat makhluk hidup agar tidak tenggelam.11
131
Ahmadiyah Qadiyan masuk ke Indonesia pada 1925, dibawah
oleh Rahmat Ali, ahli dakwah Ahmadiyah. Mula-mula tinggal di
Tapaktuan (Aceh), kemudian pindah ke Padang hingga 1930, dan
akhirnya di Jakarta. Ajarannya banyak mendapatkan tantangan. Serangan
paling keras bagi Rahmat Ali datang dari Ahmad Hassan, tokoh pembaru
Islam dari Bandung (Persia). Mereka berdebat secara terbuka pada 1933
di Bandung dan 1934 di Jakarta mengenai beberapa ayat Al-Quran
(terutama surah Ali Imran, ayat 55) yang menjadi dasar kepercayaan
Ahmadiyah tentang Yesus.
Walaupun mendapat banyak tantangan, gerakan ini tumbuh terus.
Untuk menyebarkan ajarannya, mereka mempunyai 6 muballig dari India
dan Pakistan serta 10 muballig Indonesia. Dakwahnya terkenal di Jawa,
Sumatra dan Sulawesi (terutama Ujung Pandang dan Gorontalo). Ajaran-
ajaran Ahmadiyah juga disebarkan melalui penerbitan buku-buku
berbahasa Indonesia, seperti Nabi Isa as. Dengan salib (1983), keberadaan
al-Masih Akhir Zaman (1947), Koeboeran Al-Masih Israili (1948), dan
Mi’raj Nabi Muhammad dan Djihad dalam Islam (1945). Pada 1947 juga
diterbitkan terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia.
Ajaran Ahmadiyah Lahore di bawah ke Indonesia oleh Mirza Wali
Ahmad Baig dan Maulana Ahmad pada 1924. Kedua muballig ini pertama
kali tinggal di Yokyakarta. Maulana Ahmad kemudian kembali ke Lahore,
tetapi Mirza Wali Ahmad Baig tetap tinggal di Jawa hingga 1936. Dialah
yang dianggap berjasa mengembangkan ajaran Ahmadiyah Lahore di
Indonesia.
Semula Mirza Wali dikenal sebagai guru bahasa Arab yang
memakai buku pengajaran berbahasa Inggeris. Pengajarannya bertujuan
untuk memahami Al-Quran. Teman akrabnya, Mas Ngabehi Joyosugito,
guru di Purwokerto, mendirikan Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Pada
akhir 1930 jumlah anggotanya 170 orang dengan cabang-cabang di
Purbalingga, Pliken, Surakarta, dan Yokyakarta. Purwokerto menjadi
pusatnya. Mirza wali berpindah ke kota ini, menghindari serangan yang
semakin banyak di Yokyakarta.12
Di Indonesia, terdapat dua golongan Ahmadiyah. Golongan
Qadiyan disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) berdiri tahun 1925, kini
berpusat di Parung Bogor, sedangkan Golongan Lahore berdiri tahun
1928, disebut Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), berpusat di Yogyakarta.
Tentang Mujaddid, pembaru, memang diakui bahwa dari sekian
banyak buku-buku tentang Pembaruan Pemikiran Dalam Islam, tidak ada
12
A. Hafidz Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam, Jilid I,(Jakarta: Ichtiar Baru
Vanhove), 1994. h. 91-92.
132
yang disebutkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu sebagai pembaru.
Padahal dari negeri India dan Pakistan itu terdapat banyak tokoh-tokoh
pemikir pembaruan , antar lain: Sayid Ahmad Syahid (1786-1831), Sayid
Ahmad Khan (1817-1898), Sayid Ameer Ali (1849-1928), Abdul Kalam
Azad (1888-1958), Muhammad Iqbal (1876-1936), Muhammad Ali Jinnah
(1876-1948), dan lain-lain. Busthomi Muhammad Said menjelaskan
tentang pengertian Tajdid, Mujaddid dan tokoh-tokoh mujaddid dari abad ke
abad mempunyai pemahaman yang berbeda dengan golongan
Ahmadiyah. Adapun mujaddid-mujaddid setiap abad Hjriyah, menurut
suatu pendapat sebagai berikut:13
Abad I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, abad II, Imam Asy-Syafi’i, abad
III, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, abad IV, Imam al-Qodhi Abu Bakar
al-Baqillani, abad V, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali, abadVI, Imam al-Rozi, abad VII, Imam Ibnu Diqiq al-‘Id, abad
VIII, Sirojuddin Al-Bulqini, abad IX, Imam Asy-Syuyuthi, dan
selanjutnya nanti pada abad XIV, ialah Syaikh Muhammad Abduh (1266-
1323 H/ 1849-1905 M). Pandangan kita terhadap mujaddid-mujaddid
tersebut tidak sampai pada tingkat kultus yang mana berbeda dengan
pandangan orang-orang Ahmadiyah Qadiyan maupun Lahore terhadap
Mirza Ghulam Ahmad.
Reaksi terutama terhadap ajaran-ajaran Ahmadiyah Qadiyan telah
berlangsung sejak lama, bahkan sejak Ghulam Ahmad masih hidup. Di
Indonesia, reaksi telah dilakukan oleh Ustad Ahmad Hassan Bandung.
Tentang kesesatan paham Ahmadiyah telah terbit buku-buku, bisa
menjadi referensi kita dalam memahami persoalannya. Sebenarnya
periode kepempinan MUI oleh Buya Prof. Dr. Hamka, tanggal 1 Juni
1980, pada Munas ke-II MUI, telah memfatwakan bahwa Jamaah
Ahmadiyah itu di luar Islam,sesat dan menyesatkan. Dan Munas ke-VII
MUI pada 25-30 Juli 2005 di Jakarta, Fatwa tentang Ahmadiyah adalah
bersifat mengulangi dan memperkuat fatwa tahun 1980. Sewaktu Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) di bentuk pada 21 September 1937 di
Surabaya, Ahmadiyah ingin bergabung menjadi anggotanya, tetapi
ditolak.14
Rapat Rabitha Alam Islami pada 14 s/d 18 Rabi’ul Awal 1394 H
di Makkah, menentukan bahwa Ahmadiyah Qadiyan itu laisa minal Islam,
tidak boleh menunaikan haji.
Berita terakhir Halaqah dan Rapat Pleno PBNU pada 7 s/d 10
September 2005, di Hotel Salak Bogor Jawa Barat memandangnya sebagai
Terjemahnya;
“Hari ini (Hari Haji Wada’ bulan Zulhijjah tahun 10 H,) telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan ni’mat-Ku bagimu dan
Aku telah menyukai Islam menjadi agamamu”. (Al Maidah : 3).
Jadi agama Islam sudah cukup pada tahun ke 10 H., tidak perlu
dicukupkan lagi oleh Mirza Ghulam Ahmad yang lahir lebih dari 1200
tahun di belakang Nabi Muhammad saw.
Rangkuman
Mirza Ghulam Ahmad mendakwahkan, bahwa ia adalah Nabi
sesudah Nabi Muhammad saw. dan pula Nabi yang paling terakhir.
Bukan saja Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan
Juru Selamat. Sudah terang, bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini terpengaruh
pengajaran Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak di daerah Punjab,
yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir zaman Imam Mahdi yang
‘adil, yang akan membawa keadilan untuk seluruh dunia, yang pangkatnya
tidak kalah dari Nabi dan juga menerima wahyu dari Tuhan. Memang
kaum Syi’ah berfaham bahwa ke Nabian dan ke Rasulan belum putus,
Imam-imam mereka dianggapnya masih menerima wahyu langsung dari
Tuhan.
135
Ajaran bai’at pada ajaran Ghulam Ahmad tidak menerangkan
kewajiban zakat dan menuanaikan haji bahkan Ghulam Ahmad sendiri,
seumur hidup tidak pernah haji, dengan alasan tidak berkemampuan, tidak
istitho’ah. Di samping itu, ada ikrar dalam bai’at, bila seorang anggotanya
meninggal, maka semua harta kekayaannya dikelola oleh Ghulam Ahmad.
Bentuk persaudaraan ini merupakan ajaran tertinggi di kalangan
Ahmadiyah. Ajaran Ahmadiyah mengakui kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad saw. juga diakui sebagai Khatam an-Nabiyyin, bahkan menurut
ajaran ini, mengingkarinya berarti kafir. Tetapi Khatama an-Nabiyyin
diartikan sebagai Nabi yang termulia, Nabi tertinggi diantara seorang
Nabi, sedangkan dalam keimanan Islam pada umumnya diartikan sebagai
Nabi terakhir, tidak akan ada manusia yang menerima wahyu sesudah Nabi
Muhammad saw. Ajaran Ahmadiyah yang cukup kontroversial ialah
tentang Nabi Isa as., dalam bukunya Masih Hindustan Man (Seorang
Hindustan yang Suci), Ghulam Ahmad mengatakan bahwa Nabi Isa
(Yesus) tidak mati di tiang salib di bukit Golgota itu, melainkan hanya
pingsan. Dia memang dikubur dalam keadaan demikian, lalu para
sahabatnya pada malam hari segera mengambilnya dan dengan penuh
kasih sayang mengobati luka-luka itu dengan diolesi salep ramuan mereka
sampai sembuh. Kuburannya, menurut Mirza Ghulam Ahmad, terdapat
di Khan Yar, Srinagar. Ketika di Kashmir, Nabi Isa as. Disebut Yus Asaf.
Tujuan dikemukakannya teori tentang perjalanan hidup Nabi Isa as. Itu
ialah untuk menguatkan penempatan posisi dirinya sebagai Al-Masih dan
Al-Mahdi.
136
Tes Formatif
Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
1. Jelaskan bagaimana sejarah aliran Ahmadiyah?
2. Jelaskan ajaran-ajaran Ahmadiyah!
3. Jelaskan bagaimana pandangan Ahmadiyah Qadiyan?
4. Jelaskan bagaimana pandangan Ahmadiyah Lahore?
5. Jelaskan bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Indonesia?
Kunci Jawaban Tes Formatif
1. Pendiri aliran ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, setelah ia
berusia 54 tahun, yaitu pada tahun 1950 M. Mirza Ghulam
Ahmad mendakwahkan, bahwa ia adalah Nabi sesudah Nabi
Muhammad saw. dan pula Nabi yang paling terakhir. Bukan saja
Nabi, tetapi juga Imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan Juru
Selamat. Sudah terang, bahwa Mirza Ghulam Ahmad ini
terpengaruh pengajaran Syi’ah Isma’iliyah yang ketika itu banyak
di daerah Punjab, yang mempercayai bahwa akan lahir pada akhir
zaman Imam Mahdi yang ‘adil, yang akan membawa keadilan
untuk seluruh dunia, yang pangkatnya tidak kalah dari Nabi dan
juga menerima wahyu dari Tuhan. Memang kaum Syi’ah
berfaham bahwa ke Nabian dan ke Rasulan belum putus, Imam-
imam mereka dianggapnya masih menerima wahyu langsung dari
Tuhan.
2. Ajaran bai’at itu tidak menerangkan kewajiban zakat dan
menuanaikan haji bahkan Ghulam Ahmad sendiri, seumur hidup
tidak pernah haji, dengan alasan tidak berkemampuan, tidak
istitho’ah. Di samping itu, ada ikrar dalam bai’at, bila seorang
anggotanya meninggal, maka semua harta kekayaannya dikelola
oleh Ghulam Ahmad. Bentuk persaudaraan ini merupakan ajaran
tertinggi di kalangan Ahmadiyah. Ajaran Ahmadiyah mengakui
kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. juga diakui sebagai
Khatam an-Nabiyyin, bahkan menurut ajaran ini, mengingkarinya
berarti kafir. Tetapi Khatama an-Nabiyyin diartikan sebagai Nabi
yang termulia, Nabi tertinggi diantara seorang Nabi, sedangkan
dalam keimanan Islam pada umumnya diartikan sebagai Nabi
terakhir, tidak akan ada manusia yang menerima wahyu sesudah
Nabi Muhammad saw. Ajaran Ahmadiyah yang cukup
kontroversial ialah tentang Nabi Isa as., dalam bukunya Masih
Hindustan Man (Seorang Hindustan yang Suci), Ghulam Ahmad
mengatakan bahwa Nabi Isa (Yesus) tidak mati di tiang salib di
bukit Golgota itu, melainkan hanya pingsan. Dia memang dikubur
dalam keadaan demikian, lalu para sahabatnya pada malam hari
137
segera mengambilnya dan dengan penuh kasih sayang mengobati
luka-luka itu dengan diolesi salep ramuan mereka sampai sembuh.
Kuburannya, menurut Mirza Ghulam Ahmad, terdapat di Khan
Yar, Srinagar. Ketika di Kashmir, Nabi Isa as. Disebut Yus Asaf.
Tujuan dikemukakannya teori tentang perjalanan hidup Nabi Isa
as. Itu ialah untuk menguatkan penempatan posisi dirinya sebagai
Al-Masih dan Al-Mahdi.
3. Ahmadiyah Qadiyan; menegaskan bahwa Ghulam Ahmad itu
Nabi sesudah Nabi Muhammad. Dia adalah Nabi pengiring bagi
beliau, bagaikan Nabi Harun, pemgiring bagi Nabi Musa as,
mereka tinggal di daerah Gulf, berdampingan dengan orang-orang
Muslim lainnya yang tetap tidak mengakui Ghulam Ahmad
sebagai Nabi. Mereka yang tidak percaya terhadap kenabian
Mirza, dipandangnya sebagai orang kafir. Golongan Sunni
menolak ajaran tersebut, dengan mengeluarkan pernyataan resmi
pengadilan agama yang menetapkan bahwa pengikut Qadiyan
bukanlah termasuk golongan Muslim.
4. Ahmadiyah Lahore; tidak terlalu menyimpang jauh seperti
Qodi’ani, tetapi tetap heterodox artinya menyimpang dari paham
Sunni. Mereka beranggapan sebagai mujaddid atau pembaru. Mereka
mendasarkan pada hadis berikut: “Sesungguhnya Allah Ta’ala bakal
membangkitkan di kalangan umat ini pada setiap awal seratus tahun orang
yang memperbarui baginya akan agamanya”. (Hadis Shahih).
5. Ahmadiyah Qadiyan masuk ke Indonesia pada 1925, dibawah
oleh Rahmat Ali, ahli dakwah Ahmadiyah. Mula-mula tinggal di
Tapaktuan (Aceh), kemudian pindah ke Padang hingga 1930, dan
akhirnya di Jakarta. Ajarannya banyak mendapatkan tantangan.
Serangan paling keras bagi Rahmat Ali datang dari Ahmad
Hassan, tokoh pembaru Islam dari Bandung (Persia). Mereka
berdebat secara terbuka pada 1933 di Bandung dan 1934 di
Jakarta mengenai beberapa ayat Al-Quran (terutama surah Ali
Imran, ayat 55) yang menjadi dasar kepercayaan Ahmadiyah
tentang Yesus. Ajaran Ahmadiyah Lahore di bawah ke
Indonesia oleh Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad
pada 1924. Kedua muballig ini pertama kali tinggal di Yokyakarta.
Maulana Ahmad kemudian kembali ke Lahore, tetapi Mirza Wali
Ahmad Baig tetap tinggal di Jawa hingga 1936. Dialah yang
dianggap berjasa mengembangkan ajaran Ahmadiyah Lahore di
Indonesia. Di Indonesia, terdapat dua golongan Ahmadiyah.
Golongan Qadiyan disebut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
berdiri tahun 1925, kini berpusat di Parung Bogor, sedangkan
Golongan Lahore berdiri tahun 1928, disebut Gerakan
Ahmadiyah Indonesia (GAI), berpusat di Yogyakarta.
138
BAB XI
PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN
139
PENDAHULUAN
A. Akal dan Wahyu
1. Pengertian Akal dan Wahyu
Dalam ajaran agama wahyu, ada dua jalan yang ditempuh untuk
memperoleh pengetahuan. Pertama, melalui wahyu yang merupakan
komunikasi dari Allah melalui Rasul-Nya. Kedua, melalui akal yang
dianugerahkan kepada umat manusia.1
Menurut segi istilah terdapat beberapa pandangan, diantaranya
Muhammad al Bahi mengemukakan bahwa: Akal merupakan daya pikir
yang memberikan manusia kekuatan merancang dan mengoreksi serta
mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan diantara berbagai
macam hal yang ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.
Dengan demikian, akal yang ada dalam diri manusi merupakan suatu daya
yang dengannya manusia hidup bermutu dan dinamis, karena tingkah laku
perbuatan manusia dilakukan atas dasar pengertian dan motivasi yang
melahirkan niat dan tujuan.
Wahyu berarti isyarat, kitab dan risalah atas segala apa yang
disampaikan kepada orang lain sehingga orang itu mengetahuinya. Dari
sini dapat dipahami bahwa: wahyu adalah segala pemberitaan yang berasal
dari Tuhan kemudian disampaikan kepada NabiNya dan Nabi dapat
mengetahuinya. Pembertaan itu berisi ajaran yang tertulis sehingga
dinamai kitab dan risalah.
Sehubungan dengan itu Muhammad Abduh menjelaskan bahwa:
wahyu adalah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri
dengan keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt.2 Maka
dari itu akal dan wahyu merupakan sumber pengetahuan bagi manusia,
Perbedaannya terletak pada sumbernya yakni wahyu bersumber dari
Tuhan dan akal bersumber dari manusia.
2. Fungsi Akal dan Wahyu
Kalau di selidiki permasalahan yang dibicarakan oleh ahli pikir
Islam, khususnya Mutakallimin tentang fungsi akal dan wahyu, maka
pada umumnya mereka menghubungkan kepada empat masalah yaitu:
1. Mengetahui Tuhan
1 Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI-Press, 1986,
h. 1.
2
Syekh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid. Terjemahan Firdaus A.N., Jakarta:
Bulan Bintang, 1979. h. 96.
140
2. Mengetahui baik dan buruk
3. Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan
4. Mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang buruk, mana yang diketahui lewat akal dan mana yang
diketahui melalui wahyu.3
Dalam hal ini mendapat jawaban yang berbeda dari beberapa
aliran yang ada dalam teologi.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa: Sebelum datang wahyu,
akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa
yang buruk, sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan
penalaran yang mendalam dapat mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari
empat masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui
melalui akal.
Kemampuan mengetahui keempat masalah di atas diperuntukkan
bagi yang sudah mencapai tingkat mukallaf, karena pada tingkatan ini akal
manusia sudah mencapai kesempurnaan.4 Akal yang sudah sempurna
merupakan sumber pengetahuan, bahkan dapat mengetahui apa yang
mendatangkan manfaat dan pahala bila dikerjakan serta mengetahui
perbuatan yang mendatangkan malapetaka dan dosa.5
Namun demikian, pengetahuan akal manusia terbatas, tidak dapat
mengetahui perincian apa yang baik dan buruk termasuk perincian apa
yang baik dan buruk termasuk perincian terhadap kewajiban manusia.6
Justru itu wahyu sangat dibutuhkan memberi informasi apa yang belum
dapat diketahui oleh akal, demi tercapainya kebahagiaan manusia di dunia
dan di akhirat,
Al-jabbar salah seorang tokoh aliran Mu’tazilah mengemukakan
bahwa : akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk ,
sebahagian kewajiban manusia wahyulah yang menyempurnakan
pengetahuan akal termasuk cara yang ditempuh dalam berterima kasih
kepada Tuhan, seperti shalat, zakat dan lain-lain.7 Akal dapat mengetahui
apa yang mendatangkan pahala dan dosa, akan tetapi perincian balasan
yang akan diterima di hari kemudian di jelaskan oleh wahyu.8 Maka dari
itu, ada pengetahuan yang baik dan buruk diketahui oleh akal dan ada
141
yang diketahui melalui wahyu. Ada kewajiban yang diketahui dengan
perantaraan wahyu dan ada dengan pemikiran yang mendalam.
Fungsi lain dari wahyu bagi aliran Mu’tazilah dijelaskan oleh al-
syahrastani bahwa : untuk mengingatkan manusia tentang kewajibannya
dan mempercepat untuk mengetahuinya.9 Jika melalui akal memerlukan
waktu lama, karena penalaran yang mendalam harus melalui proses,
dimana prose situ tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Harun Nasution mengatakan bahwa : Fungsi wahyu terhadap akal
bagi aliran Mu’tazilah adalah sebagai alat informasi dan konfirmasi.10
Meskipun aliran Mu’tazilah termasuk rasional, akan tetapi tidak
meninggalkan wahyu, bahkan wahyu dianggap sangat diperlukan untuk
melengkapi pengetahuan yang diperoleh akal. Maka dari itu Tuhan wajib
mengutus Rasul untuk memberi bimbingan kepada manusia agar apa yang
di cita-citakan manusia bisa tercapai.
Aliran Asy’ariyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan
Mu’tazilah. Dari empat persoalan di atas, hanya satu yang dapat diketahui
oleh akal yaitu mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban
manusia hanya diketahui dengan wahyu.11 Jadi fungsi wahyu sangat besar
sekali bagi aliran Asy’ariyah bila dibandingkan dengan aliran Mu’tazilah,
karena tiga persoalan diketahui dengan pemberian wahyu, tanpa wahyu
manusia tidak bisa berbuat banyak, sebab pengeetahun akal sangat
terbatas.
Asy’ari menjelaskan bahwa :Wahyu lah yang menentukan baik dan
buruk , menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban
melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan
dalam hal tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk
karena wahyulah yang menetapkannya.12 Begitu pula dengan pandangan
al-Ghazali bahwa : Akal dan wahyu berfungsi sebagai petunjuk, akal
memberi petunjuk untuk dapat mengetahui Tuhan, sedang wahyu
memberi petunjuk mengetahui apa yang baik dan buruk, mengetahui
kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan
menjauhi yang buruk.13 Kewajiban yang di tetapkan oleh wahyu hanya
berlaku bagi yang sudah mukallaf.14
142
Aliran Maturadiyah, antara Abu Mansur dengan al-Badzawi
berbeda. Abu Mansur menjelaskan bahwa : Akal dapat mengetahui
Tuhan, baik dan buruk serta mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan
tetapi wahyulah yang menetapkannya.15 Begitu pula tidak semua yang baik
dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan wahyu. Termasuk
menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang
buruk.
Adapun pendapat al-Badzawi seperti yang dijelaskan oleh Abu
Zahrah bahwa : semua pengetahuan dapat dicapai oleh akal sedang
kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.16 Nampaknya Maturidi
Bukhara lebih mendekati paham Asy’ariyah yang kurang memberi fungsi
terhadap akal. Akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta baik dan buruk,
sehingga wahyu sangat dibutuhkan untuk menjelaskan kewajiban
terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi
yang buruk.
Maturidi Samarkand lebih dekat dengan paham Mu’tazilah yang
memberi fungsi terhadap akal lebih besar di banding dengan Maturidi
Bukhara. Namun keduanya melihat betapa pentingnya wahyu untuk
menjelaskan apa yang tidak diketahui oleh akal, karena kemampuan akal
terbatas.
Berdasarkan pandangan beberapa aliran tersebut di atas, maka
dapat di pahami bahwa : manusia pandangan Mu’tazilah adalah manusi
yang kuat (dewasa), mampu memecahkan masalah sendiri, sementara bagi
aliran Maturidiyah manusia sudah menempati tingkat menengah (remaja),
hanya sebagian masalah yang mampu di selesaikannya. Adapun dalam
pandangan aliran Asy’ariyah manusia itu adalah makhluk lemah, masih
banyak memerlukan bimbingan. Namun demikian ketiga aliran terrsebut
sama-sama membutuhkan wahyu dan memakai akal, perbedaannya adalah
terletak pada kemampuan yang diberikan akal.
B. Iman dan Kufur
1. Pengertian Iman dan Kufur
Iman berarti mempercayai dan membenarkan.17 Dari segi istilah
dapat dikatakan bahwa: iman adalah menyatakan penerimaan dan
kepatuhan terhadap apa yang terdapat dalam sya’riat yang dibawa oleh
Rasulullah saw.
143
Sedang kufur dari segi bahasa berarti menutupi. Maksudnya
adalah menutupi kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Dari
segi istilah terdapat beberapa pendapat di antaranya adalah di kemukakan
oleh Harifuddin Cawidu bahwa : Kufr adalah pengingkaran terhadap
Tuhan, rasul-rasulNya, khususnya Nabi Muhammad saw dan ajaran-
ajaran yang dibawanya.18
Dengan demikian iman dan kufr merupakan dua istilah yang
bertolak belakang. Iman adalah pengakuan terhadap kebenaran Nabi
Muhammad saw dan risalahnya, sedang kufr adala pengingkaran terhadap
kebenaran Nabi Muhammad saw dan risalah yang dibawanya.
2. Beberapa Pandangan Tentang Iman dan Kufr
Jika diperhatikan pandangan yang berkembang dikalangan
mutakallimin mengenai iman dan kufr, mereka mempermasalahkan
apakah iman sebatas pengakuan dan pembenaran atau pengamalan?
Batasan ini sangat penting karena erat kaitannya dengan kufr.19
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran khawarij
memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir.20 Bagi aliran
khawarij, iman adalah ‘ketaatan’.21 Maksudnya iman tidak cukup hanya
diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan
perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka dari itu
bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
Aliran murji’ah yang ada pada saat itu mempunyai pandangan
yang berbeda. Iman adalah ma’rifah sama dengan lkrar dan tashdiq, amal
tidak termasuk unsur iman. Sedang kufr adalah mengingkari.22 Oleh
karena itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi
imannya, sekalipun berbuat dosa.
Aliran mu’tazilah mengemukakan bahwa: Iman adalah ketaatan
kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan.23 Ini berarti bahwa unsur
iman bagi mu’tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga
pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang
beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih
ada unsur lain yang dimiliki, yaitu : pengakuan atau ikrar dan tashdiq.
144
Pelaku dosa besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin
secara mutlak dan bukan kafir secara mutlak.24 Sedang kufr adalah;
menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya, menolak hukum-hukumNya
dan mendustakan-Nya serta mengingkari atau menolak kebenaran
Rasulullah SAW. dan ajaran-ajarannya.25 Dikatakan kafir manakala unsur-
unsur iman tidak dimiliki.
Sedang aliran asy’ariyah membedakan antara iman dan islam.
Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar dan tashdiq.
Sementara islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi syariat atau
pengalaman, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena melakukan
dosa besar.26 Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman
tidak cukup dengan Iman atau Islam saja, melainkan keduanya harus
dipadukan, karena secara hakiki Iman dan Islam tidak dapat dipisahkan.
Sekalipun pengamalan tidak termasuk unsur iman, tetapi tidak bisa bebas
berbuat dosa sebab bila melanggar, akan tetap dihitung sebagai orang
yang berdosa.
Al-Baghdadi mengemukakan istilah yang dipakai oleh Ahlu
sunnah Wal Jama’ah dalam kasus tersebut adalah : pelakunya mukmin,
perbuatannya fasiiq.27 Asy’ari menjelaskan bahwa : perbuatan itu dapat
menjadikan iman itu kuat dan lemah.28 Sejalan dengan al Juwaini
menambahkan bahwa : Iman adalah tashdiq yang merupakan kalam nafs
bagi manusia, sifatnya tidak kekal dan tidak kuat kecuali dengan ilmu dan
keyakinan. Untuk memperkokoh iman itu harus dengan unsur yang
berkaitan dengannya, itu ketaatan.29 Iman yang kuat menjadi penghalang
dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk
melakukan pelanggaran.
Adapun kufr adalah mengingkari atau menolak.30 Mengingkari
kebenaran Tuhan dan Nabi-Nya serta ajaran yang dibawanya. Al-
Baghdadi menjelaskan konsep bagi aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
adalah : Ma’rifah dan Tashdiq.31 Begitu pula pendapat Jarallah bahwa :
Hakikat iman bagi aliran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah : ‘Tashdiq’.32
Aliran Maturidiyah termasuk dalam kelompok Ahlu Sunnah Wal Jama’ah,
24 Al Mu'tazilah., h. 54.
25 Maqalat., h. 213.
26 Al Ibanah., h. 10.
27 Al Farq Baina al Firaq., h. 343.
28 Al Ibanah., h. 10.
29 Kitab al Irshad Ila Qawati al Adillah Fi Ushul al I'tiqad., h. 296-299.
30 Al Syamil Fi Ushul al Din., h. 28.
31 Al Farq Baina al Firaq., h. 343.
32 Mu'tazilah., h. 15.
145
maka prinsip keimanannya tidak terlepas dari ketentuan tersebut yakni
ma’rifah dan tashdiq.
Namun dalam hal ini Harun Nasution membedakan antara
Maturidi Bukhara dengan Maturidi Samarkand. Maturidi Bukhara
mempunyai pandangan yang sama dengan aliran Asy’ariyah dengan
pertimbangan bahwa : akal bagi mereka tidak dapat mengetahui kewajiban
manusia.33 Sedang Abu Mansur menjelaskan bahwa : Iman adalah
Ma’rifah dan Tashdiq. Ma’rifah merupakan sebab adanya tashdiq, yakni
dengan hati mengakui Tuhan dan RasulNya serta ajarannya. Kufr adalah
mengingkari dan mendustakan.34
C. Perbuatan Manusia
1. Aliran Jabariyah
Aliran Jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka dari
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Aliran ini dalam
istilah Inggris disebut Fatalism atau predestination. Ia memandang manusia
tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam perbuatannya adalah Majbur
(terpaksa). Manusia digerakkan Tuhan, sebagaimana benda-benda yang
mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya karena digerakkan oleh
Tuhan.35
Manusia tidak ubahnya bulu burung yang ditiup angin. Oleh
karena itu, manusia dalam perbuatannya bukanlah timbul dari
kemauannya, tetapi perbuatan yang dipaksakan kepada dirinya. Kalau
seorang mencuri, pekerjaan mencuri itu bukanlah kemauannya, tetapi
qada dan qadar atau takdir Tuhan. Jadi gerak gerik yang ada pada manusia
bukanlah gerak gerik manusia itu sendiri, tetap gerak gerik dari Tuhan
termasuk mengerjakan kewajiban., menerima pahala dan menerima siksa36
adalah paksaan Tuhan.
Tetapi di samping paham Jabariyah ekstrim yag dibawa oleh
Jahm, menurut paham ini bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bahagian
dari perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya dan inilah yang
disebut dengan kasb atau acquisition.37 Menurut paham ini, Manusia dan
Tuhan bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
Manusia tidak dipaksakan mewujudkan perbuatannya.
Paham ini bukanlah suatu paham yang baru dalam Islam
melainkan mempunyai sejarah panjang sejak beberapa abad sebelumnya.
146
Paham ini telah menjadi anutan aliran filsafat. Staik dan Zeno (324-262
SM) dan juga menjadi suatu anutan dalam dunia Kristen berdasarkan
ajaran St. Augustinus (354-430 M). Kemudian paham ini terus hidup di
Khurasan (Persia) sampai datangnya al Maturidiyah di abad IX M.
Di samping paham ini mengemukakan dalil aqli dalam
memperkuat pendapatnya, juga mengemukakan dalil-dalil naqli dari al-
Qur’an. Di antaranya : QS. Al-Anfal (18) : 17; QS. Al-Insan (76) : 30 ; QS.
Al-Hadid (57) :22.
147
berbuat baik atau jelek dengan orang yang baik atau orang yang jelek
wajahnya.
Perbuatan manusia itu haruslah terjadi menurut maksud dan
motivasi, اﻟﻘﺼﻮدواﻟﺮواﻋﻰmanusia. Kalau hal itu tidak demikian, maka hal
itu dikarenakan keengganan dan penolakannya. Kalau sekiranya
perbuatan itu bukan kepadanya atau bergantung padanya, maka perbuatan
itu tidak bergantung pada kedua hal itu.41
Argumen lain yang dikemukakan oleh Qadariyah Mu’tazilah
adalah bahwa perbuatan jelek dan aniaya, kalau sekiranya Allah
menciptakannya, maka mestilah Dia zalim dan aniaya, sedangkan Allah
Maha Suci dari hal tersebut.42 Kalau Tuhan menciptakan perbuatan aniaya
berarti Dia juga Zalim. Di sisi lain, Dia menciptakan perbuatan jelek
manusia dan manusia sendiri yang harus mempertanggung jawabkan apa
yang diciptakan padanya. Yang demikian itu merupakan tindak
kedzaliman padahal Tuhan menegaskan bahwa Dia tidak pernah berlaku
zalim kepada hambanya.43
Aliran Qadariyah Mu’tazilah bukan berarti bahwa kebebasan
manusia tidak terbatas, akan tetapi kebebasan itu terkait dengan keadilan
Tuhan atau balasan bagi manusia yang merupakan haknya. Manusia
merdeka untuk memilih untuk berbuat itu mendapat balasan yang baik
dan pahala. Berbuat kejelekan mendapat siksaan dan kehinaan.44 Allah
memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan hidupnya
dan menghimbau untuk melakukan kebaikan dan menghindari kejelekan.
Seorang yang berakal sehat, sudah pasti berbuat baik. Dengan demikian,
kemerdekaan manusia sangat terpengaruh oleh faktor rasional dan
himbauanNya. Kalau dalam masalah filsafat, kontrol masalah etika
berpengaruh, maka dalam Mu’tazilah yang berpengaruh adalah kontrol
teologi.
Selain alasan-alasan rasional, Mu’tazilah juga mengajukan
beberapa dalil naqli (ayat-ayat al-Quran) untuk memperkuat alasan-alasan
rasional tersebut yaitu :
- QS. al-Fusshilat (41) : 40
148
Terjemahnya ;
…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.
- QS. al-Kahfi (18) : 29
Terjemahnya :
29. Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
Dari keterangan diatas, jelaslah bahwa menurut Qadariyah
Mu’tazilah, kehendak dan daya untuk mewujudkan perbuatan manusia
adalah ditentukan oleh manusia sendiri, tidak ada campur tangan Allah.
3. Aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah adalah aliran versus Mu’tazilah yang ingin
mempertemukan antara paham Qadariyah dan Jabariyah dalam
penentuan perbuatan manusia, namun kelihatannya tetap condong ke
Jabariyah daripada ke Qadariyah.
Paham Asy’ariyah ini nampaknya kelanjutan dari paham Jabariyah.
Paham ini memandang manusia lemah, banyak bergantung kehendak dan
kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan kehendak
dan kemauan Tuhan. Dalam menggambarkan hubungan perbuatan
manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al Asy’ari memakai
istilah kasb (perolehan).
Menurut al-asy’ari, inti kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul
dari yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Tuhan
ّ ).45
(أن اﻟﺸﻲءوﻗﻊ ﻣﻦ اﻟﻤﻜﺘﺴﺐ ﻟﮫ ﺑﻘ ّﻮةﻣﺤﺪث
Asy’ari dalam penciptaan perbuatan manusia dengan analogi
(qiyas). Disebutkan bahwa kekafiran adalah suatu yang jelek meskipun
dikehendaki oleh orang kafir baik dan benar. Keimanan adalah sesuatu
yang baik, melelahkan dan menyiksa. Kekafiran dan keimanan terjadi
tidak sesuai dengan kehendak pelakunya. Jadi perbuatan itu tidak terjadi
dengan sendirinya ( )ﻻﯾﺤﺪث ﻋﻠﻰ ﺣﻘﯿﻘﺘﮫmelainkan karena pencipta
menciptakannya ()ﺑﻞ ﻣﻦ ﻣﺤﺪث اﺣﺪ ﺛﮫ ﻋﻠﯿﮫ. Pencipta keimanan dan kekafiran
yang sesungguhnya bukanlah manusia, melainkan haruslah Allah yang
menghendaki kekafiran itu salah dan keimanan itu melelahkan.46
4. Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah adalah salah satu aliran yang mempersoalkan
tentang perbuatan manusia. Aliran ini dalam perkembangan selanjutnya
terbagi kepada dua golongan yaitu golongan Maturidi Bukhara dan
golongan Maturidi Samarkand.
Maturidiyah Samarkand dipimpin oleh Imam Abu Mansur al-
Maturidi, sedangkan Maturidiyah Bukhara dipimpin oleh al-Bazdawi.
Golongan Maturidiyah Samarkand agak dekat dengan paham
Mu’tazilah seperti dinyatakan bahwa perbuatan itu ada dua macam, yaitu
perbuatan manusia dan Tuhan. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk
penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri
merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersamaan dengan
perbuatan, bukan sebelum perbuatan sebagaimana dikemukakan oleh
Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia secara hakiki
dan bukan majazi. Pemberian upah dan hukuman didasarkan atas
pemakaian daya yang diciptakan.50 Jadi dalam pemberian hukuman dan
upah itu tergantung dari pemakaian daya itu. Jika pemakaian daya itu baik
maka mendapat upah dan kalau pemakaian manusia tidak baik, maka
mendapat hukuman.
Nampaknya Muhammad Abduh juga mengemukakan bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan absolute. Ia menjelaskan bahwa
manusia sungguhpun berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri,
tidaklah sempurna daya, kemampuan dan pengetahuannya. Kebebasan
manusia mempunyai batas-batas.51
Seseorang umpamanya ingin menyenangkan hati temannya, tetapi
yang terjadi ialah sebaliknya, ia malah membuat temannya marah; atau
seseorang ingin melepaskan dirinya dari bahaya, tetapi ia malah jatuh ke
dalamnya. Sebab kegagalannya menurut Muhammad Abduh terletak
dalam diri manusia sendiri karena ia tidak memperhitungkan dengan
151
baik.52 Jadi kebebasan manusia dalam kemauannya dibatasi oleh
perhitungannya sendiri.
Jadi kebebasan manusia menurut paham Maturidi tidak sebesar
dengan paham kebebasan manusia menurut paham Mu’tazilah karena
menurut Mu’tazilah daya manusia diciptakan oleh Tuhan sekaligus untuk
bermacam-macam perbuatan. Sedangkan menurut maturidi daya manusia
itu selalu baru untuk setiap perbuatannya. Pendapat Maturidi ini menurut
A. Hanafi hanyalah karena alasan etis untuk mengembangkan sikap
manusia yang selalu merasa butuh kepada Tuhannya.53
Adapun golongan Maturidiyah Bukhara, menurut apa yang
dikemukakan oleh al-Bazdawi, bahwa kehendak berbuat adalah sama
dengan kehendak yang terdapat dalam paham Maturidiyah Samarkand.
Mereka mengikuti paham kehendak dan kerelaan hati menurut paham
Abu Hanifah. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah juga kebebasan
untuk berbuat tidak dengan kerelaan Tuhan. Daya juga sama yaitu daya
diciptakan bersamaan dengan perbuatan.54 Jadi salah besar menurut al
Bazdawi jika daya diciptakan sebelum perbuatan karena akan membawa
suatu pengertian bahwa manusia yang menciptakan perbuatannya, hal ini
mustahil.
Berbeda dengan Maturidi Samarkand yang dekat dengan
Mu’tazilah golongan Maturidi Bukhara yang dipelopori oleh al Bazdawi
berpendapat bahwa dalam permujudan perbuatan terdapat dua perbuatan,
perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan menurut al
Bazdawi adalah penciptaan perbuatan manusia, bukan penciptaan
manusia, perbuatan ini disebut maf’ul. Perbuatan manusia hanyalah
melakukan perbuatan yang diciptakan fa’il. Dengan demikian, jelas bahwa
perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan karena perbuatan Tuhan
adalah pencipta perbuatan, sehingga dapat dikatakan al Bazdawi sama
dengan Asy’ari yang berpendapat bahwa daya manusia tidak efektif dalam
mewujudkan perbuatan.
D. Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan
1. Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Tuhan itu tidak berkuasa
mutlak. Kemutlakan kekuasaan Tuhan dibatasi oleh beberapa hal yang
telah ditetapkan oleh Tuhan sendiri, yang mana Tuhan tidak akan
melanggarnya berdasarkan kemauannya sendiri.
152
Dari kerangka berpikir kaum Mu’tazilah dapat dipahami bahwa
hal-hal yang membatasi kekuasaan Tuhan sehingga tidak lagi menjadi
mutlak adalah kebebasan yang dimiliki oleh manusia dalam menentukan
kemauan dan perbuatannya. Keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan terhadap
manusia dan natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami
perubahan.
Dalam hal ini kebebasan manusia menentukan kemauan dan
perbuatannya, kaum Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu
menciptakan perbutannya baik dan buruk.55
Amr bin ‘Ubaid (tokoh Mu’tazilah) berkata bahwa sesungguhnya
Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa manusia bebas dalam
perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikan maka keadilan
Tuhan terwujud.56 Hal yang sama dikemukakan pula oleh al-Jubba’i dan
anaknya Abu Hasan ibn Salam (keduanya dari tokoh Mu’tazilah Bashrah).
Keduanya menyetujui bahwa manusialah yang berbuat baik atau buruk,
patuh dan tidak patuh. Kepatuhan adalah atas kemauan dan kehendak itu
telah ada dalam diri manusia sebelum terwujudnya perbuatan.57
Paham kaum Mu’tazilah mengenai kebebasan manusia
nampaknya didasari oleh paham mereka tentang keadilan Tuhan. Sebab
tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya atau
tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan
kepadanya. Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih
perbuatan yang diinginkannya dan diberi kemampuan untuk
melaksanakan apa yang dikehendakinya. Dan atas perbuatannya itulah
maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa sesuai dengan
ancamannya.
Agar yang baik dan yang terbaik bagi kemaslahatan dan
terlaksana, maka Huzail dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan wajib
memberi perlindungan (lutf) kepada manusia, sehingga manusia menjadi
taat kepada Tuhan dan menjauhi maksiat. Dengan demikian para Nabi
yang diutus oleh Tuhan untuk memberikan petunjuk kepada jalan
kebaikan dan menjauhkannya dari jalan kemaksiatan, adalah wajib bagi
Tuhan. Selain itu wajib pula bagi Tuhan memberi pahala kepada orang
yang taat untuk mewujudkan keadilannya, agar orang yang tidak baik tidak
setara dengan orang yang baik, orang durhaka dengan orang taat. Atas
dasar itulah maka Tuhan bagi paham al Huzail wajib memasukkan orang
155
Dengan demikian, Tuhanlah yang menghendaki segala sesuatu yang
terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau buruk.66 Jelasnya
Tuhanlah yang berkuasa mutlak terhadap perbuatan manusia dan manusia
tidak mempunyai kebebasan sedikit pun dalam memilih dan menentukan
perbuatan-perbuatannya.
Demikian pula tentang keadilan Tuhan yang bagi kaum
Mu’tazilah, membatasi kuasa mutlak Tuhan, oleh kaum Asy’ariyah tidak
disetujuinya. Hal ini dapat dipahami dari konsep pemikiran mereka yang
menyatakan bahwa Tuhan itu berkuasa mutlak, seperti di uraikan di atas.
Konskuensi logis konsep kuasa mutlak Tuhan tersebut dapatlah dipahami
bahwa tidak sesuatupun yang wajib bagi Tuhan; dapat saja Tuhan berbuat
sekehendakNya, menyiksa orang jahat atau memberi nikmat orang baik
atau sebaliknya. Karena itu memasukkan orang baik ke dalam syurga dan
orang jahat di neraka yang bagi kaum Mu’tazilah adalah wajib bagi Tuhan
karena keadilanNya, maka bagi kaum Asy’ari, tidak wajib bagi Tuhan.
Sebab keadilan Tuhan bagi kaum Asy’ari tidak diukur dari hak manusia
tetapi diukur dari kuasa mutlak Tuhan. Olehnya itu walaupun Tuhan
memasukkan seluruh manusia di syurga Dia tetap adil dan kalaupun
Tuhan memasukkan seluruh manusia ke neraka, Dia tidak zalim, karena
kezaliman terjadi kalau seseorang melakukan perbuatan bukan hanya atau
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.67
Persoalan kewajiban-kewajiban Tuhan yang oleh kaum Mu’tazilah
dinyatakan ada dan membatasi kuasa mutlak Tuhan, maka oleh Asy’ari
ditolakya, karena menurut mereka Tuhan tidak mempunyai kewajiban
apa-apa. Perbedan pandangan ini disebabkan karena berbedanya
pandangan mereka terhadap tujuan Tuhan dalam perbuatanNya, yang di
satu pihak kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-perbuatanNya, dan di lain pihak kaum Asy’ari
memandang bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dalam perbuatanNya,
tujuan dalam arti sebab yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.68
Karena itu mereka menolak pendirian kaum Mu’tazilah yang menyatakan
bahwa Tuhan wajib memberikan perlindungan (al lutf) kepada manusia.69
Dengan demikian, maka tertolaklah pemikiran adanya kewajiban bagi
Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban terhadap hamba-
hambaNya.
Persoalan lain yang menyebabkan terjadinya perbedaan
pandangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah dalam
melihat kuasa Tuhan adalah konsep janji dan ancaman Tuhan (al-wa’d wa
al-wa’id). Berdasarkan konsep janji dan ancaman inilah maka kaum
Mu’tazilah memandang bahwa dimasukkannya manusia ke dalam surga
156
atau ke neraka adalah berdasarkan amal perbuatannya. Bagi kaum
Asy’ariyah pandangan seperti ini ditolak. Mereka memandang bahwa
dimasukkannya manusia ke surga dan neraka bukan karena akibat
perbuatan baik dan jahatnya, tetapi karena rahmat Tuhan semata.70
Tuhan dapat memberi atau tidak memberi rahmat kepada siapa saja yang
diinginkannya. Jelasnya janji dan ancaman Tuhan bagi kaum Asy’ariyah
sama sekali tidak membatasi kuasa Tuhan.
Rangkuman
Menurut Aliran Mu’tazilah, Sebelum datang wahyu, akal dapat
dijadikan pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk,
sehingga melakukan penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran
158
yang mendalam dapat mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari empat
masalah tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui
akal. Fungsi wahyu terhadap akal bagi aliran Mu’tazilah adalah sebagai alat
informasi dan konfirmasi. Meskipun aliran Mu’tazilah termasuk rasional,
akan tetapi tidak meninggalkan wahyu, bahkan wahyu dianggap sangat
diperlukan untuk melengkapi pengetahuan yang diperoleh akal. Maka dari
itu Tuhan wajib mengutus Rasul untuk memberi bimbingan kepada
manusia agar apa yang di cita-citakan manusia bisa tercapai. Aliran
Asy’ariyah mempunyai pandangan yang berbeda dengan Mu’tazilah. Dari
empat persoalan, hanya satu yang dapat diketahui oleh akal yaitu
mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta kewajiban manusia hanya
diketahui dengan wahyu.75 Jadi fungsi wahyu sangat besar sekali bagi
aliran As’ariyah bila dibandingkan dengan aliran Mu’tazilah, karena tiga
persoalan diketahui dengan pemberian wahyu, tanpa wahyu manusia tidak
bisa berbuat banyak, sebab pengeetahun akal sangat terbatas. Maturidi
Bukhara lebih mendekati paham Asy’ariyah yang kurang memberi fungsi
terhadap akal. Akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta baik dan buruk,
sehingga wahyu sangat dibutuhkan untuk menjelaskan kewajiban
terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi
yang buruk. Maturidi Samarkand lebih dekat dengan paham Mu’tazilah
yang memberi fungsi terhadap akal lebih besar di banding dengan
Maturidi Bukhara. Namun keduanya melihat betapa pentingnya wahyu
untuk menjelaskan apa yang tidak diketahui oleh akal, karena kemampuan
akal terbatas.
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran khawarij
memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir. Bagi aliran
khawarij, iman adalah ‘ketaatan’. Maksudnya iman tidak cukup hanya
diucapkan atau dibenarkan melainkan harus dibuktikan dengan
perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman. Maka dari itu
bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir. Aliran murji’ah yang ada
pada saat itu mempunyai pandangan yang berbeda. Iman adalah ma’rifah
sama dengan lkrar dan tashdiq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang
kufr adalah mengingkari. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh
seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun berbuat dosa. Aliran
mu’tazilah mengemukakan bahwa: Iman adalah ketaatan kepada apa yang
diwajibkan dan disunatkan. Ini berarti bahwa unsur iman bagi mu’tazilah
tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi juga pengamalan sangat berpengaruh
terhadap iman, sehingga seseorang yang beriman melakukan dosa besar
tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada unsur lain yang dimiliki,
yaitu : pengakuan atau ikrar dan tashdiq.Pelaku dosa besar hanya
dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan bukan kafir
secara mutlak. Sedang kufr adalah; menyerupakan Tuhan dengan
160
Tes Formatif
1. Jelaskan fungsi akal dan wahyu menurut aliran-aliran kalam!
2. Jelaskan pandangan aliran-aliran kalam tentang Iman dan kufur!
3. Jelaskan bagaimana pendapat aliran-aliran kalam tentang
perbuatan manusia?
4. Jelaskan tentang kehendak mutlak dan keadilan Tuhan menurut
aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah!
Kunci Jawaban Tes Formatif
1. Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa: Sebelum datang
wahyu, akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan apa
yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan penalaran
adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban. Dari empat masalah
tersebut di atas, bagi aliran Mu’tazilah dapat diketahui melalui
akal. Fungsi wahyu terhadap akal bagi aliran Mu’tazilah adalah
sebagai alat informasi dan konfirmasi. Meskipun aliran
Mu’tazilah termasuk rasional, akan tetapi tidak meninggalkan
wahyu, bahkan wahyu dianggap sangat diperlukan untuk
melengkapi pengetahuan yang diperoleh akal. Maka dari itu
Tuhan wajib mengutus Rasul untuk memberi bimbingan
kepada manusia agar apa yang di cita-citakan manusia bisa
tercapai. Aliran Asy’ariyah mempunyai pandangan yang
berbeda dengan Mu’tazilah. Dari empat persoalan, hanya satu
yang dapat diketahui oleh akal yaitu mengetahui Tuhan, baik
dan buruk serta kewajiban manusia hanya diketahui dengan
wahyu.76 Jadi fungsi wahyu sangat besar sekali bagi aliran
As’ariyah bila dibandingkan dengan aliran Mu’tazilah, karena
tiga persoalan diketahui dengan pemberian wahyu, tanpa
wahyu manusia tidak bisa berbuat banyak, sebab pengeetahun
akal sangat terbatas. Maturidi Bukhara lebih mendekati
paham Asy’ariyah yang kurang memberi fungsi terhadap akal.
Akal hanya dapat mengetahui Tuhan serta baik dan buruk,
sehingga wahyu sangat dibutuhkan untuk menjelaskan
kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban melaksanakan yang
baik dan menjauhi yang buruk. Maturidi Samarkand lebih
dekat dengan paham Mu’tazilah yang memberi fungsi
terhadap akal lebih besar di banding dengan Maturidi
Bukhara. Namun keduanya melihat betapa pentingnya wahyu
untuk menjelaskan apa yang tidak diketahui oleh akal, karena
kemampuan akal terbatas.
166
BAB XII
PEMIKIRAN KALAM ULAMA MODERN
(ABDUH, AHMAD KHAN, DAN IQBAL)
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti materi perkuliahan ini, maka diharapkan
mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pemikiran kalam Muhammad Abduh.
2. Menjelaskan pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan
3. Menjelaskan pemikiran Muhammad Iqbal.
167
PENDAHULUAN
A. SYEKH MUHAMMAD ABDUH
225.
4 Albert Hourani, Arabic Thougght in the Liberal Age: 1798-1939. Cambridge:
1994, h. 19.
169
haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah),
sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari
sumber pokoknya, Al-Quran.
(2) Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam
tulisan-tulisan di media massa.
Dua persolan pokok itu muncul ketika ia meratapi
perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan
Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai
“suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu
ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah
atau meng-istimbat-kan hokum-hukum, karena mereka telah merasa
cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam
masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-
khurafat”.9
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh
memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Begitu besarnya
peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution
menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kekuatan
yang lebih tinggi kepada akal dari pada Mu’tazilah.10 Menurut Abduh,
akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
(1) Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
(2) Keberadaan hidup di akhirat;
(3) Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal
Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung
pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan
jahat;
(4) Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
(5) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
(6) Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.11
Jika memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang
peranan akal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu
baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia
pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan
kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya; mentempurnakan
pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui
170
cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.12 Dengan
demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu
untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan
informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal
merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna
kalau tidak di dasarkan pada akal. Islam, katanya, adalah agama yang
pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama.
Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan
akal. Wahyu yang dibawah Nabi tidak mungkin bertentangan dengan
akal, kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan,
menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi
sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada
penyesuaian.13
b) Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia
juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar
alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan
dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia
dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang
dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya
sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya
yang ada dalam dirinya.14
Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah
mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk
mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan manusia
atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad
Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berfikir dan
kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut.
Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebebasan
mutlak sebagai orang yang angkuh.15
c) Sifat-sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun
mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang
lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan
171
manusia.16 Sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa
Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi
Tuhan, walaupun tidak secara tegas mengatakannya.17
d) Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia,
Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah
membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-
perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah
secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang
telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan
dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan
sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.18
e) Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan
manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan
meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan,
tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia
berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia
dan tidak satu pun ciptaan Tuhan yang tidak membawa manfaat bagi
manusia. Adapun masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan
hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran
rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada
Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan
aturan alam semesta.19
f) Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak
dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa
tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh
atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk, dan
sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan
orang Arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam
al-Quran berarti kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti
pengetahuan.20
172
g) Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah
Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan
mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan
bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada
satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan
bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan
kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada
orang-orang tertentu di akhirat.21
h) Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang
wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa
wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.22
B. SAYYID AHMAD KHAN
1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut
suatu keterangan, ia berasal dai keturunan Husein, cucu nabi
Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi,
adalah pembesar istana pada zaman Alamghair II (1754-1759). Sejak
kecil, Ahmad Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan
agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Ia rajin
membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.23 Ketika
berusia delapan belas tahun, ia bekerja pada Serikat India Timur.
Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi pada tahun 1846 ia
kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk
belajar.24
173
tetap mengarang buku-buku penting islam di India. Pada tahun 1857
terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang
menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika
melihat keadaan rakyat Delhi, ia sempat berfikir untuk meninggalkan
india menuju Mesir, tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan
umat islam india agar menjadi maju.25 Ia berusaha mencegah
terjadinya kerusakan dan banyak menolong orang Inggris dari
pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya. Pada
tahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad. Hingga
akhir ayatnya ia selalu mementingkan pendidikan umat islam India.
Pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo
Oriental Collage (MAOC) di Aligarh yang merupakan karya-karyanya
yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memjukan umat islam
India.26
25 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan,
1993, h. 65-66.
26 Nasution, Pembaharuan…, h. 169-170.
27Nasution, Pembaharuan., h.167
174
kehendaknya.28 Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam
dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap
kafir oleh sebagian umat islam. Bahkan ketika datang ke India pada
tahun 1869, Jamaluddin Al-Ghafani menerima keluhan itu. Sebagai
tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah
buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (jawaban bagi kaum
materialis).
175
kedua sewaktu hadis tersebut dikumpulkan. Sedangkan hukum fiqh,
menurutnya, berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai
timbulnya mazhab-mazhab. Ia menolak taklid dan membawa Al-
Quran untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru
pada zaman itu.32
C. MUHAMMAD IQBAL
176
Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi
ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada
tahun 1931 dan tahun 1932, ia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di
London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan
Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun1935, ia jatuh sakit dan
bertambah parah setelah isterinya meninggal dunia pada tahun itu
pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.36
2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal
sesunggusnya lebih terkenal sebagai seorang filosof eksistensialis.
Oleh karena iru, agak sulit untuk menemukan pandangannya
mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan
wahyu, perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-
kewajiban Tuhan. Itu bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak
menyinggung ilmu kalam. Bahkan, ia sering menyinggung beberapa
aliran kalam yang pernah muncul dalam sejarah Islam.
Sebagai seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat
Islam untuk melakukan pembaruan agar keluar dari kemundurannya.
Kemunduran umat Islam, katanya, disebabkan kebekuan umat Islam
dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad. Mereka, seperti kaum
konservatif, menolak kebiasaan berfikir rasional kaum Mu’tazilah
karena hal tersebut dianggapnya membawa disintegrasi umat Islam
dan membahayakan kestabilan politik mereka.37 Hal inilah yang
dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangat Islam, semangat
dinamis dan kreatif. Islam tidak statis, tetapi dapat disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
karena ijtihad merupakan ciri dari dinamika yang harus dilambangkan
dalam Islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada
prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon
kebutuhan individu dan masyarakat karena Islam selalu mendorong
terwujudnya perkembangan.38
Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang
mengatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya,
mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia.39 Oleh karena itu,
39.
39 Nasution, Pembaharuan., h. 192.
177
manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan
perubahan.
Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan
ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Quran dan
hukum Islam. Tujuan diturunkannya al-Quran, menurutnya adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu
menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash Al-Quran yang masih
global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia
dan dinamika masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam
rumusan fiqih disebut ijtihad yang oleh Iqbal disebutnya sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam.40
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika
Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hukum Islam, ijtihad
harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut Iqbal, peralihan
kekuasaan ijtihad individu yang mewakili mazhab tertentu kepada
lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling
tepat untuk menggerakkan spirit dalam system hokum Islam yang
selama ini hilang dari umat Islam,41dan menyerukan kepada kaum
muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil
realisme tersebut.42
a) Hakekat Teologi
Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang
berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (Universal
dan inclusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa
“persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”.43
Pandangannya tentang ontologi teologi membuatnya
berhasil melihat anomaly (penyimpangan) yang melekat pada
literature ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah, umpamanya,
meggunakan cara dan pola pikir ortodoksi Islam. Mu’tazilah
sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka
tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama,
pemisahan antara pemikiran keagamaan dan pengalaman kongkrit
merupakan kesalahan besar.44
b) Pembuktian Tuhan
324.
43 Iqbal, The Reconstruction., h. 154.
44 Amin Abdullah, Falsafah Kalam, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. h. 87.
178
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Iqbal menolak
argument kosmologis maupun ontologis. Ia juga menolak argument
teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang
mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, ia
menerima landasan teleologis yang imanen (tetap ada). Untuk
menopang hal ini, Iqbal menolak pandangan yang statis tentang
matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai
struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter
nyata konsep tersebut ditemukan Iqbal dalam “jangka waktu murni”
nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam “jangka
waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).
Kesatuannya seperti kesatuan kuman yang di dalamnya terdapat
pengalaman-pengalaman nenek moyang para individu, bukan sebagai
suatu kumpulan, tetapi sebagai suatu kesatuan yang di dalamnya
mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya.
Dan dari individu, “jangka waktu murni” ini kemudian ditransfer ke
alam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang
“dibicarakan” Iqbal ke dalam al-Quran. Jadi, Iqbal telah menafsirkan
Tuhan yang imanen bagi alam.45
c) Jati Diri Manusia
Faham dinamisme Iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri
manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini
dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran
filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup
untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang
menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.46 Pada hakekatnya
menafikan diri bukanlah ajaran Islam karena hakekat hidup adalah
bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampaknya
merupakan reaksi terhadap kondisi umat Islam yang ketika itu telah
dibawah oleh kaum sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud Islam
yang sebenarnya. Dengan ajaran khudinya, ia mengemukakan
pandangan yang dinamis tentang kehidupan dunia.
d) Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya
bahwa al-Quran menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia
yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita
tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai
45 Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir dan Kontekstual Al-
Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, Bandung: Mizan, 1989. h. 21-22.
46 Azzam, Iqbal: Siratuh…, h. 56.
179
kisah yang berisi pelajaran tentang “ kebangkitan manusia dari
kondisi primitive yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada
pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar,
sehingga mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk
membangkang” dan timbulnya ego terbatas yang memilki
kemampuan untuk memilih”. “Allah telah menyerahkan tanggung
jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang
besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah
membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap
kemandirian (manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua
ketidak sempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.47
e) Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata Iqbal adalah keadaan, bukan tempat.
Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam al-Quran adalah
penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya
Neraka, menurut rumusan al-Quran, adalah “api Allah yang
menyala-nyala dan yang membumbung keatas hati”, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah
kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi
berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada
kutukan abadi dalam Islam. Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam
al-Quran, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan
Tuhan. Ia adalah pengalama kolektif yang dapat memperkeras ego
sekali lagi agar lebih sensitive terhadap tiupan angin sejuk dari
kemahamurahan Allah. Surga juga bahkan merupakan tempat
berlibur. Kehidupan itu hanya satu dan berkesinambungan.48
Rangkuman
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama
pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaiman haknya
salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriyah), sebelum
timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber
pokoknya, Al-Quran. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah
maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
47 H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein, Jakarta:
Rajawali Press. 1995. h. 131-132.
48 Gibb, Aliran-aliran Modern…, h. 133-134.
180
Sebagai konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, khan
memandang perlu diadakannya ijtihad-ijtihad baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan
kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan
ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Quran dan
hukum Islam. Tujuan diturunkannya al-Quran, menurutnya adalah
membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu
menerjemahkan dan menjabarkan nash-nash Al-Quran yang masih
global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia
dan dinamika masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam
rumusan fiqih disebut ijtihad yang oleh Iqbal disebutnya sebagai prinsip
gerak dalam struktur Islam.
181
Tes Formatif
183
BAB XIII
PEMIKIRAN KALAM MASA KINI
Tujuan Pembelajaran:
Setelah selesai mengikuti materi perkuliahan ini, maka
diharapkan mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pemikiran kalam Hasan Hanafi
2. Menjelaskan pemikiran kalam H.M. Rasyidi
3. Menjelaskan pemikiran kalam Harun Nasution
184
PENDAHULUAN
A. HASAN HANAFI
1. Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo.
Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun
1948. Dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan
melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiayah Khalil Agha Kairo,
yang diselesaikan selama empat tahun. Semasa di Tsanawiyah, ia
aktif mengikuti diskusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin. Oleh
karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang
dikembangkan kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi
tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang
keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami
pemikiran agama,revolusi, dan perubahan sosial.1
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri Islam
(Al-Yasar Al-Islam) yang merupakan salah satu puncak sublimasi
pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru
memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini
telah mempormulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal
tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi
kesejahteraan umat manusia.
2. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a) Kritik terhadap teologi tradisional
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi
tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi
perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata
Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sitem
kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil dari
sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk
mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan
pertempuran sepanjang kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka
konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari
kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual
baru yang berasal dari kebudayaan modern.2
Selanjutnya, Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah
pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan,
186
konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme
dan sosialisme (ekonomi).6
Secara historis, teologi telah menyingkap adanya benturan
berbagai kepentingan dan ia sarat dengan konflik sosial-politik.
Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama, pada tingkat teoretis,
yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis, dan kedua:
pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan
apatisme dan negativisme.7
b) Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu
mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah
mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang
bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi
dan revisi, serta membangun kembali epistemology lama yang
rancu dan palsu menuju epistemology baru yang sahih dan
signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi Hanafilah menjadikan
teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong,
melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang
menjadikan keimanan-keimana tradisional memilik fungsi secara
aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.8
Sistem kepercayaan sesungguhnya mengekspresikan
bangunan sosial tertentu.Sistem kepercayaan menjadikan gerakan
sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-
aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga sistemkepercayaan
memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final
rekonstruksi teologi tradisional adalah revolusi sosial. Menilai
revolusi dengan agama dimasa sekarang sama halnya dengan
mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat
menjadi tuntutan zaman saat itu.9
Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-
kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal berikut:
Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas
ditengah-tengah pertarungan global antara berbagai
ideology.
Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi
teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan
praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology
sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan
6 Ridwan, Reformasi., h. 47
7 Ridwan, Reformasi., h. 48.
8 Ridwan, Reformasi., h. 49.
9 Rdwan, Reformasi., h. 49.
187
teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan
tanah di Negara-negara muslim.
Ketiga. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah
fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas
melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi
menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru
yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu
orde.10
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah
satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi
dapat memberkani sumbangan yang kongkrit bagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-tama untuk
mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan
teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara
eksistensial, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk
memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam yaitu:
Pertama, analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi
tradisional adalah warisan nenek moyang di bidang
teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah
menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional
memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, Iman, akhirat.
Menurut Hanafi, semua ini sebenarnya menyingkapkan
sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-
rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang
historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik
seperti llah dan akhirat.
Kedua, analisis realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
latar belakang historis-Sosiologis munculnya teologi di
masa lalu, mendeskripsikan pengaruh-pengaruh nyata
teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku
para pendukungnya. Analisis realitas ini berguna untuk
menentukan stressing kea rah mana teologi kontemporer
harus diorientasikan.11
B. H.M. RASYIDI
1. Sekilas tentang H.M. Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di
Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M.
Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang
melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman
189
bahwa menonjolkan perbedaan pendapat antara Asy’ariyah
dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan
melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama
yang mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan
menggambarkan bahwa akal dapat mengetahui baik dan
buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan
pikiran manusia bersifat absolute-universal,berarti
meremehkan ayat-ayat al-Quran seperti, Wallahu ya’lamu wa
antum la ta’lamun (Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui, sedangkan
kamu tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah :232). Rasyidi
kemudian menegaskan pada saat ini, di Barat sudah dirasakan
bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk.
Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme.15
Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah
diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada
yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah
tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi
menguraikan, yang masih dirasakan oleh umat Islam pada
umumnya adalah keberadaan Syi’ah.16
c) Hakikat Iman.
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman
yang diberikan Nurchalis Madjid, yakni “percaya dan menaruh
kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada
Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang.
Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang
kontinyu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan menumbuhkan
kesadaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga
menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.17
Menanggapi pernyataan diatas, Rasyidi mengatakan bahwa
iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan
Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau
hubungan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam
masyarakat. perlu dijelaskan disini bahwa bersatunya
seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah
dicapai, mungkin hanya seorang saja dari sejuta orang. Jadi,
yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah
kepercayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.18
190
C. HARUN NASUTION
1. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919
di Sumatera. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama
yang mengetahui kitab-kitab Jawi. Pendidikan formalnya dimulai
di sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia
meneruskan ke MIK (Modern Islamietische Kweekschool) di
Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan ke
Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah
pula di Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu
dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada, pada tahun 1962.19
Setiba di tanah air pada tahun 1969, Harun Nasution
langsung mencemplungkan diri dalam bidang akademis dengan
menjadi dosen pada IAIN Jakarta. IKIP Jakarta, dan kemudian
juga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya
dengan kegiatan administrasi (tetapi tetap dalam rangka akademis)
ketika ia memimpin IAIN, ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan
Agama IKIP Jakarta, dan terakhir pimpinan Fakultas Pascasarjana
IAIN Jakarta. Dengan bekal Ph.D. yang diraihnya pada tahun
1968 di McGill University, ia pun mempunyai bekal yang berbeda
dengan pakar sebelumnya di Indonesia tentang studi Islam.
Perbedaan latar belakang ini agaknya perlu diperhatikan.20
Harun Nasution adalah figure sentral dalam semacam
jaringan intelektual yang terbentuk di kawasan IAIN Ciputat
semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun
Nasution di dalam jaringan itu tentu saja ditopang oleh kapasitas
intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan formalnya sebagai
rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam kapasitas
terakhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama
menyangkut sejarah perkembangan pemikiran- yang terbukti
menjadi salah satu sarana awal menuju pembentukan jaringan
antara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.21
19 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia. 2007.
h. 240.
20 Abdul Rozak, Ilmu kalam., h. 240-241.
21 Abdul Rozak, Ilmu Kalam., h. 241
191
seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun
Nasution menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan
manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupan untuk
menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Bertambah tinggi
akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk
mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal
manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupannya menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut”.22
Tema Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat
bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution, terutama dalam
buku Akal dan wahyu dalam Islam, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi
dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakaian
akal dalam Islam diperintahkan Al-Quran sendiri. Bukanlah tidak
ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam
sendiri maupun dikalangan non Islam, yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama rasional?23
b) Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun
Nasution, pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga
dimana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi
mereka. Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis
lain pendahulunya (Muhahhad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani,
Sayed Amer Ali, dan lainnya) yang memandang perlu untuk
kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini
mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi
fatalistic, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah
membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib
umat Islam, menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah
mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will,
rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini
selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah Islam klasik
sendiri yakni teologi Mu’tazilah.24
Rangkuman
Menurut Hasan Hanafi, Teologi itu dimaksudkan untuk
mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah.
Islam mengalami berbagai kekalahan di berbagai medan
pertempuran sepanjang kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka
konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari
kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual
baru yang berasal dari kebudayaan modern. Menurut Hanafi,
rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh
jika mengharapkan agar teologi dapat memberkani sumbangan
yang kongkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan
rekonstruksi itu pertama-tama untuk mentransformasikan teologi
menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang
menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Menurutnya,
orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid
196
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syaikh Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairo Mesir: Al-Manar,
1969.
Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlussunnah Waljamaah, Jakatra: Pustaka
Tarbiyah, 1981.
Abdullah, Amin, Falsafah Kalam, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Aceh, Abu Bakar, Perbandingan Mazhab Syi’ah Rasionalisme Islam, Semarang:
Ramadhani, 1972.
Ad-Dahlawiy, Waliyullah, Al-inshaf fi Bayan Asbab Al-Ikhtilaf. Beirut: Dar
An-Nafais, 1978
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan, 1993.
Ali Mustafa, Al-Ghurabi, , Tarikhu ‘l-Firaqi ‘l-Islamiyah. Al-Azhar:
Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, t.t.
Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Mesir: Maktabah wa Mathba’at al-
Halab, 1967.
Amal,Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir dan Kontekstual
Al-Quran: Sebuah Kerangka Konseptual, Bandung: Mizan, 1989.
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Juz III, Cet. VII, Kairo: Maktabah
Nahdhah Al-Misriyyah, t.t.
Asy-Syaqaf, Umar Sulaiman, Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat:
Perpecahan, Akar Masalah dan Solusinya, Terj. Abu Fahmi, Jakarta:
Wacana Lazuardi Amanah.
Azzam,Abdul Wahab, Iqbal: Siratuh wa Falsafah wa Syi’ruh, terj. Bandung:
Pustaka, 1985.
Asy’ari, Abu al-Hasan, al-Maqalat al-Islamiyyin, Kairo: Maktabah al-
Nahdhah al-Mishriyyah,t.t
------------, Al-Ibanat ‘An Ushul al-Diyanah, Mesir: Idarah at-Thiba’ah al-
Muniriyyah, t.t.
------------, Kitab al-Luma’ Fi-Radd ‘Ala Ahl al-Zaygh Wa al-Bida’, Bairut: Al-
Maktabah al-Katulikiyyah, 1953.
Bannerman, Patrick, Islam in Perspective: a Guide to Islamic Society, Politics and
Law, London: Routledge London and New York for the Royal
Institute of International Affairs.
Dasuki, Hafizh, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Vanhoeve. 1994.
Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1993
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Juz III, Cet. VII, Kairo: Maktabah
Nahdhah Al-Misriyyah, t.t.
Ferm, Vergiluus, An Encyclopedia of Religion, USA: Green Wood Press,
1976.
Gibb, H.A.R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein,
Jakarta: Rajawali Press. 1995.
-------------, Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah Nahdhah Al-Misriyyah, t.t.
197
Effendi, Djohan, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya.1983
Esposito, John L, ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung:
Mizan, 2001.
Fahruddin, Fuad Muhammad, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam
Islam, Jakarta:Yayasan Yasaguna, 1990.
Gove, Philip Bob Cock Gove (Ed.), Webster’s Third New International
Dictionary of The English Language, G & C Merviam Company
Publishers, 1966.
Hourani, Albert, Arabic Thougght in the Liberal Age: 1798-1939. Cambridge:
University Press. 1993.
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
-------------, Pengantar Theology Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna,1980.
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religion Thought in Islam, New
Delhi: Kitab Bravan, 1981.
Kusnadiningrat, E., Teologi dan Pembebasan: Gagasan Islam Kiri Hasan
Hanafi, Jakarta: Logos. 1999.
L. Resee William, Dictionary of Philosophy and Religion, USA: Humanitas
Press, 1980
Madjid , Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta: Paramadina.
1997.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1995.
Momen, Moojan, An Introduction To Shi’I Islam, London: Yale University
Press. 1985.
Mustafa al Sya’keh, Islam bi la Mazahib, diterjemahkan oleh AM.
Basalamah dengan judul, Islam tidak Bermazhab, Jakarta: Gema
Insani, 1994.
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Jakarta: UI-Press, 1986.
-------------, Teologi Islam:Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI Press, 1986.
-------------, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1980.
-------------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran, dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
----------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1987.
Nasir, A. Sahilun, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Suryawan.M.A, Ahmadiyah; Bukan Sekedar Hitam Putih, Jakarta: 1992.
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1984.
------------, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso Ridwan dkk.
Bandung: Risalah, 1984.
Rasyidi, H. M, Apakah Syi’ah itu?, Jakarta: PELITA, 1984.
-------------, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang “Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya”, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
-------------, Koreksi terhadap Dr. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
198
Rozak, Abdul dan Anwar Rosihon, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia,
2007.
Ridwan, A.H., Reformasi Intelektual Islam, Yokyakarta: Ittaqa Press.
1998.
Shihab, Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah,
1994.
Syaltut, Syaikh Mahmud, Al-Islam Akidah Wa Syari’ah, Mesir: Dar al-
Qalam, 1966.
Watt, Montgomey W, Islamic Philosophy and Theology, Harrassowitz:
Edinburg University, 1992.
Ysuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990.
Zahrah, Syaikh Muhammad Abu, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah, al-Juz’a
al-Anwal, Fi al-Siyasah Wa al-‘Aqaid, Mesir: Dar al-Fikri al-‘Arabi,
t.t.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Jakarta, 1997.
199