Skripsi
Oleh :
NIM. 11140340000113
FAKULTAS USHULUDDIN
JAKARTA
1440 H/2018 M
ABTRAK
Penelitian ini membahas tentang rûh di dalam al-Qur‟an dan juga berbagai masalah
seputar rûh dalam pandangan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, melalui kitab tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Jîlânî, seorang ulama kharismatik yang populer dengan gelarnya sulthonul
auliya atau rajanya para wali,dikarenakan kedalaman ilmu beliau dan pengalaman spritual
yang konsisten sampai kepada tingkat tertinggi dalam penghambaan. pendekatan penelitian
ilmiah ini menggunakan sudut pandang sufistik, yang dimana merupakan salah satu corak
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan melihat sisi lain dalam sebuah ayat yang
ditafsirkan baik melalui ilham maupun yang laiinya.
Di dalam al-Qur‟an kata rûh sering kali di ulang-ulang dalam ayat dan surat yang
berbeda, dan juga dalam konteks yang berbeda, sehingga makna kata rûh itu pun mempunyai
perbedaan arti sesuai dengan konteks ayat tersebut,pada satu ayat kata rûh itu diartikan
sebagai dzat atau sesuatu yang menyebabkan kehidupan, dan di ayat lain terkadang diartikan
sebagai malaikat jibril a.s sang pembawa wahyu dan sebagai perantara Allah Swt dalam
menyampaikan berbagai hal yang Allah Swt perintahkan ke alam dunia, dan pada ayat yang
lain kata rûh juga dapat diartikan sebagai wahyu atau al-Qur’an dan beberapa makna lainnya.
dan pembahasan lainnya mengenai ayat-ayat tentang rûh seperti perbedaan makna kata rûh
dengan kata nafs, permasalahan mengenai eksistensi rûh , dan macam-macam perrmasalahan
laiinya mengenai rûh yang perlu untuk didiskusikan dan dikaji kembali dalam satu kajian
khusus.
Dalam hal ini penulis mengkaji tentang rûh di dalam al-Qur‟an melalui sudut
pandang penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, karena ketika para mufassir yang
menafsirkan kata rûh di dalam al-Qur‟an lebih mengedepankan kepatuhan atas sebuah
keterangan yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai rûh adalah domain yang hanya
Allah Swt miliki, tanpa menginterpretasikan sisi lainnya. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan kata rûh dengan sisi laiinya dengan tidak melupakan bahwa rûh itu adalah
domain yang hanya Allah Swt ketahui. Dan penulis juga mengkorelasikan antara penafsiran
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dengan salah satu kitab sufistik nya yang berjudul Sirrur al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang memuat berbagai pengetahuan mengenai rūḥ dan
menyingkap berbagai masalah seputar rûh, seperti hakikat muhammadiyah, nur
muhammadiyah dan yang laiinya.
Jadi penulis menemukan arti kata rûh dalam makna yang lebih luas seperti rûh
diartikan sebagai dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt, yang mempresentasikan
seluruh nama-namaNya dan sifat-sifatNya di alam dunia. Kemudian, arti kata rûh yang
bermakna Jibril a.s, yang diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih,
tidak tercampur dengan sifat nashûtiyah yang kuat, dan makna laiinya.
Kata kunci: Rūḥ, Nafs, Dzat, Jibril a.s, Wahyu, Hakikat Muhammadiyah.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt adalah kalimat yang patut dalam
mengawali kata pengantar ini, dengan segala ni‟mat, hidayah dan inayah dariNya yang
kesenangan adalah karunia yang wajib untuk disyukuri. Sholawat serta salam juga semoga
tercurahkan kepada panutan seluruh manusia, manusia yang paling sempurna yakni Nabi
Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, tabi‟in dan para umatnya sampai hari kiamat
nanti.
Dengan rasa penuh syukur dan bahagia atas segala hidayah Allah Swt dalam
penulisan skrispi ini dari awal dan sampai akhir penulisan, penulis selalu ingat terhadap satu
hadits dari Rasulullah Saw yang mengatakan “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah Swt”, karena tanpa bantuan dari pihak lain
maka akan sulit skripsi ini diselesaikan tepat dalam waktunya. Maka penulis ingin
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.pd., selaku Sekretaris Program
ii
4. Bapak M. Anwar Syarifuddin, S.Ag.MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang
tak pernah lelah dalam memberikan motivasinya dan arahan yang terbaik untuk
penulis, juga yang selalu sabar dalam membimbing penulisan skripsi ini sampai
5. Segenap jajaran para dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu tetapi
6. Kedua Orang Tuaku yang tercinta, ayahanda Edi Kusnanto yang tak pernah lelah
dan bersabar dalam mendidik anaknya untuk menjadi yang lebih baik, dan Ibunda
Maesaroh yang selalu mendukung dan memberikan nasihat yang terbaik, tanpa
do‟a dan dukungan dari keduanya niscaya penulis tidak akan mampu
kampung setu maupun yang di kampung gobang dan terkhusus untuk kakaku dan
adikku yang di alam surga sana, skripsi ini didedikasikan untukmu dan akan
8. Semua teman-teman IQTAF 2014 yang penulis banggakan dan semoga selalu
dalam lindungan Allah Swt, juga teman-teman KKN PETA 2017 yang senantiasa
9. Dan Juga kepada keluarga Ponpes Riyadhul Mufakkirin Bogor, komunitas Fakta
Bahasa Jaksel, Volunteer Asian Games 2018, bekasi yang selalu mensupport dan
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan tak akan lupa segala
10. Dan terkahir untuk my best friend Iip, Gepeng, Sona, Bongsang, Bewok, Indry,
Jalal Syehu, Jundi, My boss, Rusli, Mujahidin dan laiinya yang selalu mendorong
iii
agar skrispi ini cepat kelar dan untuk my best patner dalam kehdiupan yang tidak
bisa disebutkan namanya, tapi hanya ucapan terimakasih kepada semua yang
Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak akan
kekuranganya, kesalahan dan yang laiinya, maka dari itu penulis mengaharapkan
dari segala pihak yang membaca skripsi ini dapat memberikan saran, kritikan yang
membuat skripsi ini jauh lebih baik nantinya. dengan memohon ridho dari Allah
Swt, semoga skripi ini akan bermanfa‟at khusunya bagi penulis dan umumnya
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1
D. Kajian Pustaka........................................................................................................ 8
E. Metodologi Penelitian............................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan.............................................................................................. 10
TAFSIR AL-JÎLÂNÎ
v
BAB IV PENAFSIRAN RȖH DALAM AL-QUR’AN MENURUT ‘ABDUL
QÂDÎR AL-JÎLÂNÎ DALAM TAFSIR AL-JÎLÂNÎ
B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 79
B. Saran...................................................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 82
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol
dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
ب B Be
ت T Te
ث Ts Te dan es
ج J Je
vii
خ Kh Ka dan Ha
د D De
ر R Er
ز Z Zet
س S Es
ش Sy Es dan Ye
ع ‘
Koma terbalik di atas hadap
kanan
غ Gh Ge dan ha
ف F Ef
ق Q Ki
ك K Ka
ل L El
م M Em
ن N En
و W We
ه H Ha
ء ` Apostrof
ي Y Ye
viii
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
ﹷ a Fathah
ﹻ i Kasrah
ﹹ u Dammah
ﹷي ai a dan i
ﹷو au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
ix
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ( )الضرورةtidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
1 طريقة Ṯarîqah
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, antara ilmu, filsafat dan agama terjalin menjadi
satu, tidak terpisah antara satu sama lain. Apa yang tidak bisa ditembus oleh ilmu,
akan diteruskan oleh filsafat dan apa yang tidak ditembus oleh filsafat diteruskan
oleh agama.1
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt melalui
sumber utama dalam hukum islam serta menjadi pedoman dalam kehidupan
terhadap hal yang berkaitan dengan agama, maka harus dikembalikan kepada al-
sebagai material terpenting di dunia ini dan sebagai pelaku dari setiap hal apapun
mengenai manusia itu sendiri mulai dari awal penciptaanya hingga pada akhir
hidup nya.
bahwasanya manusia itu diciptakan dari dua unsur yakni jiwa dan raga atau
jasmani dan rohani. Maka dari hal ini manusia tidak hanya dapat mementingkan
salah satu dari dua aspek tersebut, seperti hanya mementingkan aspek jasmani
mengabaikan aspek rohani atau pun sebaliknya mementingkan aspek rohani dan
1
. Halimuddin, Kehidupan di Alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 5.
1
2
mengabaikan aspek jasmani, akibatnya manusia tidak akan mencapai tujuan dari
maksud penciptaanya. Dan dari kedua unsur tersebut, unsur rûh atau rohani lah
11.
Adam itu (dalam bentuk arwah ) bersamaan dengan diciptakannya Malaikat.2 Dan
menurut Plato jiwa/ rûh itu bersifat baka, dalam arti bahwa jiwa/ rûh tidak akan
mati pada saat kematian badan (immortal), melainkan juga bersifat kekal, karena
ada sebelum hidup di bumi ini. Jiwa sudah mengalami pra-eksistensi, di mana ia
memandang ide-ide.3
Pada saat lain juga manusia sebagai mahkluk yang diciptakan dari dua
unsur rûh dan badan harus berinteraksi dengan sesamanya yang lain (Hablum min
nannâs) dan juga berinteraksi dengan Sang PenciptaNya yaitu Allah Swt
(Hamblum minallah). Adapun ayat lain yang menyatakan bahwa unsur rûh yang
2
Halimuddin, Kehidupan di alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.10.
3
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1999), h.137.
3
tahap awal penciptaan nya yakni di alam rûh bersaksi, bahwasannya mereka akan
mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya kelak di dunia, dan kesaksian tersebut
terjadi antara mereka dengan Allah Swt ketika berada di alam rûh, adapun ketika
mereka berada di dunia maka sebagian dari mereka ada yang mengakui dan
bersaksi bahwasanya Allah Swt sebagai Tuhannya dan sebagian dari mereka tidak
Perihal mengenai rûh itu sendiri memang masih menjadi misteri sampai
saat ini baik di kalangan para ilmuan maupun di masyarakat itu sendiri. Ketika
para Filusuf dan para Ahli Tafsir bersilang pendapat mengenai hakikat rûh itu
sendiri dan menjadikan pembahasan mengenai rûh menjadi hal yang teramat sulit
untuk dikupas tuntaskan. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam QS. al-
Isrâ‟(17) : 85
rûh itu merupakan hak priogatifNya yang tidak dapat diketahui, hanya Allah Swt
yang mengetahuinya. Akan tetapi para Ahli Tafsir berbeda pendapat mengenai
hakikat rûh dalam ayat di atas pada penggalan kalimat “Dan tidaklah kamu di
bahwasannya ada ruang yang terbuka dalam mengetahui hakikat rûh itu sendiri
berpendapat bahwasanya tidak ada ruang dalam mengetahui hakikat rûh.4 Dan
pendapat yang kedua, berdasarkan Hadits yang di riwatkan oleh Ibn Mas‟ûd yang
berbunyi:
م ان يتكلم فيها وال ان. ض قال ومل يؤذن لرسو ل اهلل ص.حديث ابن مسعود د
)يقول الروح من امر ريب (متفق عليه
“Hadits Ibnu Mas‟d r.a katanya, kami tidak di izinkan oleh nabi
Saw membicarakan masalah arwah. Jangan di tambah firman tuhan yang
berbunyi‟ roh itu itu urusan tuhanku (mutafaq alaih).”
Dan ketika sebagian para Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa rûh dapat
ditafsirkan secara luas, maka mereka mencoba menyingkap hakikat rûh yang
dijelaskan dalam al-Qur‟an, sehingga terjadi berbagai macam definisi dan makna
dari kata rûh tersebut. salah satunya yang dikemukakan oleh al-Qusyairî yang
Malaikat dan Iblis ) yang merupakan tempat ahlak terpuji.5 rûh sebagaimana di
4
Abu al-Fadâ Ismâil Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟ânul al-„Azhîm (Beirut : Dar
Tayyibah,1999), h.177.
5
Nassirudin, Pendidikan Tasawuf (Semarang : Rasail, 2010), h.51.
5
tegaskan kepada kita, adalah unsur terakhir yang masuk dalam tubuh manusia
Setelah rûh sebagai unsur yang diciptakan oleh Allah Swt yang lebih
dahulu, maka kemudian rūḥ tersebut disematkan kedalam badan atau jasmani
Dan ketika unsur rûh dan Jasmani bersatu padu dan berada di dunia, maka
ada dua sisi unsur yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, yakni ketika
unsur rûh yang begitu sakral dan suci, yang ketika awal diciptakan
6
Mutawalli Sya‟rawi, Esensi Hidup dan Mati ( Jakarta: Gema Insani,2008),
h.21.
6
bermukallamah dengan Allah Swt, bersatu dengan jasad atau unsur jasmani yang
mempunyai nafsu yang beraneka ragam dan salah satunya lebih cenderung
Dan fenomena saat ini, banyak sekali manusia yang lupa akan hakikat
dirinya, hakikat awal penciptaanya dan lebih cenderung kepada hal buruk yang
diinginkan oleh nafsunya sehingga banyak terjadi pembunuhan, kejahatan dan hal
yang buruk lainnya, sehingga melupakan untuk apa mereka diciptakan dan untuk
apa mereka hidup di dunia ini, yang hakikat nya sebagai bagian dari tahap
dari masalah tersebut dan masih adanya ruang penafsiran mengenai makna rûh
maupun hakikat rûh dalam al-Qur‟an maka penulis ingin membahas persoalan
hakikat rûh ini yang dijelaskan oleh imam nya para wali yakni Syeikh „Abdul
JILANI” Meliputi pengertian rûh itu sendiri dan bagaimana makna dan hakikat
rûh dalam al-Qur‟an Yang dijelaskan secara teratur dalam kitab Tafsir al-Jîlânî
makna rûh itu sendiri dan hakikatnya,sehingga mereka tidak akan cenderung
mengenai hakikat rûh dan konsep rûh, dan akan kemana rûh tersebut serta
menjelaskan sisi lain dari berbagai hal yang berkaitan dengan rûh.
sekian banyaknya kajian mengenai rûh yang dapat dibahas. akan tetapi, penulis
memilih pembahasan yang pokok dan lebih penting untuk dibahas. maka penulis
Ada dua tujuan pokok dari skripsi mengenai rûh dalam al-Qur‟an ini,
yakni secara teoritis maupun praktis, disamping untuk mengetahui hakikat rûh itu
sendiri dan bagaimana rûh yang dijelaskan dalam al-Qur‟an oleh „Abdul Qâdir al-
Jîlânî.
Dan semua dari tujuan penelitian ilmiah ini dirinci sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
b. Mengetahui penafsiran ayat tentang rûh menurut oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî.
2. Secara Praktis
b. Sebagai referensi bagi Akademisi yang ingin melakukan kajian mengenai rûh
D. Kajian Pustaka
yang berkaitan dengan tema atau judul yang akan diteliti guna sebagai acuan
penyusunan dan laiinya. Maka penulis mencoba melakukan kajian pustaka dan
antaranya:
1. Rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran Prof.Dr. M. Quraish Shihab atas QS.
al-Isrâ‟ ayat 85. penelitian ini berbentuk skripsi yang ditulis oleh Atti Nurliati
dengan skripsi yang di tulis oleh penulis yakni dalam perspektif tokoh yang
berbeda dan pada konsep, rûh skripsi “rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran
Prof.Dr. M. Quraish shihab atas QS. al-Isrâ‟ ayat 85” mengemukan pendapat
Quraish shihab mengenai rûh dan memberikan penafsiran ulama yang lain
mengenai rûh sedangkan skripsi penulis dengan judul rûh dalam al-Qur‟an
telaah penafsiran „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-Jîlânî yang menjelaskan
makna rûh menurut beliau dan sekaligus menjelaskan konsep dan relevansi rûh
dalam al-Qur‟an yang dijelaskan oleh beliau di dalam kitab Sirrūr al-Asrâr wa
Mazharul al-Anwâr.
2. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi penelitian ini juga berbentuk
skirpsi oleh Abdul Rahman Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits tahun
9
2002 yang perbedaan nya terletak pada objek penelitian yang dibahas secara
umum dan spesifik, skripsi rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi
membahas secara umum tanpa merujuk pada ayat tertentu dalam al-Qur‟an.
3. Konsep rûh dalam perspektif hadits (Pemahaman hadits tentang rûh dalam kitab
ar-Rûh karya Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah). Karya ilmiah ini berbentuk skripsi
oleh M.Iqbal Alam Islami Fakultas Ushuluddin tahun 2010. Perbedaan dengan
skripsi penulis terletak pada objek kajian dan pembahasan rûh dalam al-Qur‟an
dan Hadits.
4. Rûh manusia dalam al-Qur‟an dan Sains (studi korelatif fenomena manusia
menurut penafsiran M.Quraish shihab dan Tantawi Jauhari dalam sains). Karya
ilmiah ini berbentuk skripsi oleh Ahmad Dani El-Rasyad Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2016 dalam skripsi ini
ulama tersebut di dalam al-Qur‟an mengenai rûh dan perbedaaan dengan skripsi
yang penulis akan tulis dari sisi topik pembahasan mengenai rûh yang lebih
fokus kepada pengertian rûh dan hakikat rûh menurut„Abdul Qâdir al-Jîlânî.
5. Rûh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains modern, karya ilmiah ini berbentuk
jurnal oleh Zaenatul Hakamah yang membahas seputar masalah rûh dan
relevansi nya dengan sains modern yang berkembang di zaman ini dan
membahas mengenai definisi rûh dari sisi sains. Dan perbedaan dengan skripsi
penulis pada sisi relevansi rûh yang dikaitkan pada kehidupan sosial masyarakat
saat ini dan makna rûh itu sendiri. Dan banyak lagi Karya-Karya ilmiah baik
berupa artikel, jurnal dan yang laiinya yang berkaitan mengenai rûh. Tetapi
10
E. Metedologi Penelitian
laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.7 Dan dalam pengumpulan data
mengenai konsep rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî penulis menggunakan data
primer dalam hal ini kitab Tafsir al- al-Jîlânî karya „Abdul Qâdir al-Jîlânî dan
al-Jîlânî, skripsi, artikel-artikel, jurnal dan makalah yang berkaitan dengan topik
pembahasan.
metode Deskriptif Analitis yaitu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun
data dan kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.8 Maka penulis akan
„Abdul Qâdir al-Jîlânî kemudian dianalisis oleh penulis. Adapun teknik dalam
penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi,tesis dan
F. Sistematika Penulisan
7
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya
Jakarta:Ghalia,2002), h. 11.
8
Winarto Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik
(Jakarta : Tarsita, 1990), h. 139.
11
Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan terdapat sub-sub bab, disetiap bab
nya. Satu bab dengan bab yang yang lain saling berkorelasi. Adapun sistem
Ilmiahnya.
Bab III: Membahas rûh dalam al-Qur‟an, Ayat-Ayat Tentang rûh dalam al-
Bab IV: Pengertian Kata rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsirnya ,
Relevansi Penafsiran Ayat Tentang rûh dengan Konsep rûh dalam kitab Sirrûr
JÎLÂNÎ
menerangkan makna yang abstrak,di dalam kitab Lisânul al-Arab kata al-Fasr
diartikan menyingkap sesuatu lafadz yang musykil atau pelik.1 Sedangkan kata
tafsir secara istilah diartikan sebagai “Ilmu dalam memahami kitab Allah Swt
Dan perkembangan tafsir dari dulu sampai sekarang dilakukan empat cara
maudhui (tematik). Menurut Baidan, metode ijmali merupakan metode tafsir yang
pertama kali muncul, dengan alasan bahwa Nabi Saw dan para sahabat
kemudian metode tahlili adalah metode yang ada setelah ijmali dengan
kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fiqh, tasawuf, bahasa dan laiinya.3
1
Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab (Beirut :
Dar Shadir,1990), vol.2 juz.5 h.156.
2
Manna Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an (Jakarta : PT.Pustaka Litera
AntarNusa,2015), h.28
3
Nasruddin Baydan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2000), h.3
12
13
menurut „Abdûl Qâdir al-Jîlânî4 dalam Tafsir al-Jîlânî, timbulnya tasawuf dalam
islam karena belum merasa puasnya segolongan umat islam dalam mendekatkan
diri kepada Allah Swt, mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan
dengan cara hidup menuju Allah Swt dan membebaskan diri dari ketertarikan
tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak awal islam, Nabi Muhammad Saw
banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam
zuhud dan ibadah laiinya. Pada angkatan berikutnya yakni abad ke-2 Hijriyah dan
sederhana lebih dikenal dengan kaum suffah. Pada masa ini pulalah istilah
tasawuf dikenal.5
sampai masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat islam mengalami
pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami
4
„Abdul Qâdir al-Jîlânî nama lengkapnya adalah Syeikh Muhyiddīn Abū Muhammad
„Abd al-Qâdîr bin Shâlih Mûsa Zangi Dost bin „Abdullah bin Yahyâ az-Zâhid bin Muhammad bin
Dâud bin Mûsa bin „Abdullah bin Mûsa al-Juwaini bin „Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Matsani
bin Hasan bin Ali bin Abi Muthalib R.A,. Beliau juga di nasabkan kepada al-Majal bin Hasan al-
Mutsanna bin Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir pada 2 Ramadhan 470 H (1077-1078) di Negeri
Jīlan yaitu sebuah daerah terpencil dibelakang Thabaristan. kini termasuk wilayah Iran. Daerah
tersebut juga biasa disebut dengan Kaila dan Kailāni serta dinisbahkan dengan Jailī, Jîlānī dan
Kailānī. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia 18
tahun ketika tiba di Bagdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal, al-Tamimi, pada
488 H.
5
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
14
perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi
mulai ditandai dengan berkembanganya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak
menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini
apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi, nazari dan tasawuf amali. Tasawuf
nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun
tasawuf amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan prakti-praktik zuhud kepada
Allah Swt.
tafsir yang muncul pada abad pertengahan (sekitar abad ke-3 H sampai abad ke-
4/5 H). Hal ini ditandai dengan bergesernya tafsir bil ma‟thur menjadi bil al-ra‟yi.
Dilihat dari pemetaaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi
menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran, metode penafsiran, dan corak
penafsiran sufistik adalah tafsri bil al-ra‟yi. Metode yang mayoritas digunakan
contohnya adalah corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam
tafsirnya. Dan corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi
sebagai reaksi dari kecenderungan dari berbagai pihak terhadap materi, telah
mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakanya dengan tafsir lain.6
nazari (teoritis) dan tasawuf amali (praktis). Tasawuf nazari adalah tasawuf yang
berdasarkan pada wacana analisis dan studi kajian. Sedangkan tasawuf amali
6
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
15
adalah tasawuf yang bersndar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi dan
zuhud serta mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah Swt. Tafsir corak ini
dapat ditemukan untuk meligitimasi poin-poin ajaran sufi yang plural dan juga
dalam kitab-kitab metodologi tafsir yang menafsrikan al-Qur‟an dari abgian awal
Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat
diajukan produknya dari tafsir al-Qur‟an adalah tafir al-Qur‟an al-„Azhîm karya
Sahl al-Tustari (w. 276 H) yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan
(manuskrip). Selain itu juga kitab tafsir yang paling menonjol dalam disiplin tafsir
sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas dunia islam, yaitu kitab tafsir
sarjana sufi Andalusia Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638 H). Kitab Tafsir al-Futûhât
beliau beberapa kali telah mengalami cetak ulang di timur tengah. Selain itu juga
ada kitab Haqâîq al-Tafsir karya al-Salami, kitab al-Raîs al-Bayân fi Haqâiq al-
Qur‟an karya Abî Muhammad as-Syairâzi. Dan kitab tafsir al-Ta‟wîlât al-
Nazmiyah karya an-Najm al-Din Dayah dan Ula al-Daulah al-Samani. Ada satu
karya laiinya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma‟âni karya Al-
Alusi, Namun al-Dhahabi dikutip juga oleh Abdul Mustaqim mengatakan bahwa
tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bil al-ra‟yi al-mahmûd dengan metode tahlili,
meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak
sufi. Kemudian ada kitab Latâif al-Isyârat karya Abdul Karîm Ibn Hawazan Ibn
Abd Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh
mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab
tertentu.
16
Adapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi
nazari sebagai turunan tasawuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud
Tuhan dalam makhluknya) dan tafsir sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawuf
amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah Swt, bahkan ingin
menyatu.7
Pengertian tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode
simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja, tafsir ini sering
digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Al-
1. Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an.
akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah
ini diabaikan. Dengan kata lai, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan
ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan maknanya yang dhahir berdasarkan isyarat
(petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi. Tafsir model ini dinisbatkan
kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Qur‟an
berupa intuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat
7
Muhammad Husain ad-Dzahabi, al-Tafsîr wal al-Mufassirûn (Kairo : Dar al-
Haditsah,2005), v.2 h.292
17
al-Qur‟an. Atau dengan kata lain, tafsir sufi isyari ini merupakan usaha mentakwil
rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat
dua bagian, yaitu pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana
yang memperolehnya hanya ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Qur‟an,
4. Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadikan makna batin
Perbedaan tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, menurut al-Dzahabi
ada dua aspek perbedaan anntara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, yaitu:
1. Tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang
sufi isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi
8
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 13
18
berdasarkan riyâdhah rûhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang sufi
(petunjuk) kesucian.
2. Ahli sufi dalam tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur‟an
Sedangkan tafsir sufi isyari seballiknya yaitu ada makna lain yang dikandung
ayat, artinya ayat al-Qur‟an memiliki makna dhahir dan juga makna bathin.9
Dan sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi dan teori filsafat,
intuisi diperoleh dari kasyf (penyiingkapan) dan mujahadah yang telah mencapai
pengetahuan sufistik laiinya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari
metode ta‟wil nazari yang dipadukan dengan dasar keilmuan ahli sufi yang
Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk dalam metode
semakin diperkaya dengan terbitnya Tafsir Jîlânî karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî.
9
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 15
19
Vatikan, Italia, perpustakaan Qadiriah, Bagdhad dan India. Tafsir al-Jîlânî terdiri
dari enam volume (VI juz) dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-
masing volume. Penyuting kitab tafsir tersebut adalah salah satu keturunan beliau
dilahirkan pada tahun 1954 dan kini menetap di kota eksotik Istanbul, Turki. 10
penulis biografi Syekh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekaligus pakar yang otoritatif
al-Jîlânî tidak pernah memberi isyarat bahwa „Abdûl Qâdir al-Jîlânî memiliki
karya dalam bidang tafsir. Masih menurutnya, „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sendiri
dalam beberapa karyanya, tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang
tafsir. Kesimpulan Thâha Zaydan ini diperkuat Khairuddin al-Zirkili dalam al-
Mahmûd al-Nakhjuwani (w.920 H). Atau lebih populer dengan panggilan Syekh
10
Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.89.
20
dengan Armenia, Turki dan Iran. Pendapat al-Zirkili senada dengan catalog,
tersebut pernah dicetak pada 1325 M/1907 di Istanbul Turki, kitab tafsir ni terdiri
atas II volume, bukan IV volume seperti versi Markaz al-Jîlânî li al-Buhûts al-
Program digital dan situs maktabah syamilah juga memuat tafsir tersebut
syamilah mrupakan copy paste dari terbitan Dar Rikabi, Cairo, Mesir yang
menerbitkan tafsir tersebut pada 1999 M. Perlu dicatat, naskah versi Dar al-Rikabi
adalah versi lengkap hingga surat an-Nâs. Asumsi penisbatan al-Fawâtih al-
al-Nakhjuwani dikukuhkan pula oleh situs Multaqa‟ ahli hadits. Pendapat yang
Mathbû‟ah karya Yusuf Alyan Sarkis, Mu‟jam Muallifîn karya Umar Ridha
Kahalah, Kasuf al-Durum karya Haji Khalifah dan Hidayah al-Arifin karya al-
Jika versi pertama dengan tegas menyimpulkan tafsir tersebut adalah karya
al-Nakhjuwani, maka tidak demikian halnya dengan versi kedua. Versi yang
11
Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.92.
21
kedua diwakili oleh Dr. Abdul al-Razzâq al-Kaylâni, menyatakan bahwa karya
„Abdûl Qâdir al-Jîlânî judulnya adalah Misk al-Khitâm. Tafsir ini terdapat di
perpustakaan Tripoli dan India dengan naskah tahun 622 H. Kemudian versi
Istanbul, Turki, yang meyakini tafsir al- al-Jîlânî benar-benar karya otentik„Abdûl
Qâdir al-Jîlânî. Argumentasi lembaga ini riset ini dikemukakan oleh Muhammad
masing mendapatkan keterangan di pojok bawah “telah selesai juz I/II/III dari
mengindikasikan bahwa tafsir tersebut ditulis oleh orang lain, bukan oleh „Abdûl
Qâdir al-Jîlânî sendiri. Tetapi keraguan penyuting segera tertepis karena terdapat
informasi dari Abdul Muthalib al-Kaylâni yang bersumber dari Haj Nuri
madrasah Waktiyah serta Syeikh Umar Rifâ‟i yang bersumber dari Syekh yusuf,
sumber ini menginformasikan bahwa pernah terdapat tafsir dengan tulisan tangan
itu hilang dan ditemukan lagi di Syam kemudian hilang untu kedua kalinya.
“Salah satu karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî yang ditulis dengan tangan beliau adalah
menguatkan upaya kami untuk mempublikasikan tafsir tersebut atas nama Syaikh
tersebut ditulis oleh Syeikh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekitar tahun 521 hingga 501 di
Baghdad, kemudian disalin dan digandakan oleh beberapa pihak, antara lain al-
Nakhjuwani yang wafat pada tahun 920 H, kemudian naskah aslinya hilang di
dapat disandarkan pada sebuah penemuan manuskrip india yang ditulis pada tahun
622 H atas nama„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Asumsi ini pun muncul karena al-
Nakhjuwani di akhir setiap juz menisbatkan tafsir tersebut kepada „Abdûl Qâdir
al-Jîlânî melalui pernyataan “Telah selesai juz I/II/III dari tafsir milik tuanku,
Syeikh„Abdûl Qâdir al-Jîlânî”. Lebih jauh lagi, al-Nakhjuwani adalah ulama sufi
dari Nakhicevan Azerbaijan. Oleh sebab itu, tafsir tersebut sangat populer di
kalangan Syaikh Iran dan Turki. Kemudian dapat diasumsikan tafsir tersebut
tahun 1999. Asumsi ini layaka dipertimbangkan lebih lanjut mengingat dalam
Perlu juga digarisbawahi bahwa tidak disebutkan tafsir tersebut oleh „Abdûl Qâdir
sufi dan kriteria tafsir apa saja yang dikategorikan kedalam tafsir sufi, maka
penulis mencoba untuk menelusuri Tafsir al-Jîlânî sebagai kitab tafsir yang
bercorak sufistik, pada kitab Tafsir al-Jîlânî cetakan edisi kedua tahun 2014 yang
terdiri dari lima jilid, yang masing-masing jilidnya rata-rata berjumlah 480
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, dan pada setelahnya beliau melampirkan tiga lembar
manuskrip atau tulisan asli dari Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî sebagai bukti bahwa
Melihat metode dan penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir
al-Jîlânî, ketika beliau menafsirkan kata rûh dalam Qs. al-Hijr(15) :29, bahwa rûh
itu berasal dari percikan wujudnya Allah Swt agar kelak nanti ruh itu dapat
rahasia syariat ilahiyah akan memahami di dalam hukum Qisas ada hakikat
rahasia yang agung,13 dan beberapa contoh penafsiran dalam ayat yang lain.
12
Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.441.
13
Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.183.
24
penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan beliau dalam Tafsir al-
dengan terperinci. Adapun corak Tafsir al-Jîlânî adalah corak sufi isyari, yaitu
penafsiran yang dihasilkan melalui perenungan yang mendalam pada ayat-ayat al-
Qur‟an dengan latihan spritual dan mujahadah. Akan tetapi corak penafsiran
bakar al-Anbâry berpendapat bahwa kata rûh dan nafs itu sama, tetapi kata rûh itu
mudzakkar sedangkan kata al-nafs mua‟nnâs menurut orang arab. di dalam kitab
ar-Raud oleh imam as-Suhaili mengatakan bahwa kata rûh itu mua‟nas karena rûh
itu bermakna nafs, kemudian rûh dinamakan al-Qur‟an menurut abu abbas karena
Kemudian rûh bermakna jibril dan rûh bermakna Isa a.s. rûh juga diartikan
sebagai tiupan ( )الىفخkarena rûh adalah angin yang keluar dari rûh itu sendiri,
jamaknya )(الزوحاويون.1
Kata rûh juga di jelaskan didalam Kitab Tâjul al-Arûs min Jauhari al-
Qamûs Imam adz-Zabadi menjelaskan asal kata rûh yang mempunyai banyak arti
1
Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-Arab (Beirut :
Dar Shâdir,1990) vol.2 h.455
25
26
ayat yusuf 87, juga terkadang diartikan sebagai kesejukan ( )بزد وسيم الزيحangin
diartikan dengan ) (اتساع بيه الزجليهjarak antara dua paha atau kaki , dan jamaknya
kepada ) (روحrûh dan rawh) (روحyang dinisbatkan kepada malaikat dan jin.
hawa yang berada dilangit dan dibumi dengan bentuk jamaknya )(ارواح. Ada yang
yang bermakna khamr ) (الخمز, juga terkadang bermakna bagian dalam telapak
tangan) (بطه الكف,kata ) (اراحyang bermakna air dan daging, dan bermakan juga
rahmat ) (الزحمة, dan kata ) (والزائحةbermakna angin yang sejuk, dan kata
2
Muhammad Murtadha Ibn Muhammad Husaini al-Zabîdi, Tâjul al-Arûs min Jauhari al-
Qâmus (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiah,1999), vol.2 h.236
27
rahmat jamaknya )(ارواح. Dan yang dimaksud didalam pembahasan ini adalah kata
rûh yang bermakna nafs/jiwa yang berasal dari kata ))راح – يزوح – ارواح.3
Dan di dalam jurnal rûh menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, berasal dari huruf
yang sama yaitu ra,wq dan ha. Tetapi, penggunanan rûh lebih banyak merujuk
kepada nafs juga istilah bagi sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak,
memperoleh manfaat dan juga mengelak dari pada kemudharatan. Kata rûh
mempunyai pelbagai makna, rûh boleh diartikan dengan makna nyawa, malaikat
Jibril, satu malaikat yang besar yang apabila berdiri dengan satu shaf malaikat
yang lain, hembusaan angin. Nabi Isa al-Masih, kalam Allah Swt dan rahmat
Allah Swt.4
Kata rûh dan rawh dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 22 kali, masing-
masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 22 ayat. Amin Abdul Samad
bahwasannya kata rûh didalam tiga ayat mempunyai makna pertolongan atau
rahmat Allah Swt, dalam sebelas ayat bermakna Jibril dan dalam satu ayat
bermakna wahyu atau al-Qur‟an. Selain itu lima ayat lain, rûh mempunyai makna
yang berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis dan ruh yang ada pada
manusia. Dalam buku rûh karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dijelaskan terdapat
lima arti kata rûh dalam al-Qur‟an. Diantaranya bermakna al-Wahyu yang
terdapat dalam QS. Ghâfir : 15, kemudian kata rûh juga dapat bermakna Jibril
seperti dalam QS. al-Shuarâ‟ : 101, QS. al-Baqarah : 91 dan QS. an-Nahl : 102.
3
Muhammad Farîd Wajdi, Ma‟ârif al-Qur‟ân (Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah,1995)
vol.2 cet.1 h.375
4
Rohaida Abdul Rahim, “Al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah” Jurnal
Ushuluddin, Bil 26 (2007): h. 150.
28
rûh juga dapat bermakna rûh yang ditanyakan oleh yahudi yaitu rûh yang telah
dikabarkan oleh Allah Swt akan dibangkitkan pada hari kiamat bersamaan dengan
para malaikat seperti dalam QS. an-Naba : 38 dan QS. al-Qadr : 4 dan rûh juga
bermakna al-Masih seperti QS. al-Nisa : 171, QS. al-Fajr : 37, QS al-Qiyâmah : 2,
perintahNya ) (حكم هللا وامزيdan adakalanya diartikan Malaikat ) (المالكdan juga kata
rûh dapat dimaknai sebagai Intisari, Hakikat ) (الخالصةdan rûh al-Quds diartikan
sebagai Malaikat Jibril6. Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI) rûh
diartikan sebagai sesuatu (unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan
Sedangkan kata Jiwa di dalam al-Qur‟an diwakili dengan kata nafs. Meskipun
makna nafs ini, secara umum bisa diartikan sebagai „diri‟. Penggunaan dengan
makna „Jiwa‟ ini difirmankan Allah Swt di dalam al-Qur‟an tidak kurang dari 31
kali. Sedangkan kata nafs (anfûs) yang bermakna „diri‟ difirmankan tidak kurang
dari 279 kali. Sementara itu, kata rûh di dalam al-Qur‟an di ulang-ulang oleh
Allah Swt sebanyak 20 kali. Jadi lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan
kata „jiwa‟ dan „diri‟. 8Dalam al-Qur‟an kata rûh dinyatakan dalam beberapa term
5
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.247.
6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka
Progressif,1997), h.545.
7
Di akses dari https://kbbi.web.id./roh.html
8
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 7.
29
yakni dengan kata rūḥ ) (روح, rûh al-Quds ) (روح القذسdan rûh al-Amien (روح
)االميه.
kehidupan dalam alam yang hidup yang berupa tumbuh-tumbuhan, binatang dan
manusia.ia telah menguasai panca indera dan gerak pikiran dan akal, lalu ia di
dua definisi tentang rûh. pertama, rûh suatu jisim yang halus yang berasal dari
nadi. Kedua, rûh adalah jisim halus yang dapat mengenal, yang disebutkan oleh
katakanlah, Rûh itu urusan Tuhanku.”(QS. al-Isra : 85). rûh menurut al-Ghazali
terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut rûh hewani, yakni jauhar yang halus
yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan,
perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti
natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. al-
maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam
tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau
9
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.10.
30
ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat;
Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan hati yang
menikmati titik pandang cahaya Allah Swt, yang pada bagian itu Allah Swt
dan rûh adalah mutiara.11 Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa
kekuatan-kekuatan yang terdapat di badan juga di sebut rûh, sehingga rûh lah
yang melihat, mendengar dan lain-lain, tetapi secara khusus merupakan kekuatan
dan bersamaNya.12
Menurut Imam al-Alûsi mengenai rûh, beliau mengatakan bahwa rûh adalah
wujud cahaya tinggi yang hidup yang bertentangan dengan benda dari tubuh yang
mawar, ia tidak dapat rusak dan tidak dapat terpisah, ia menambah kehidupan
Sedangkan „Abd Ibnu Humaid dan Abu Syaikh meriwatkan dari Ibnu Abbâs
yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari ciptaan Allah Swt dan Dia
membentuknya sebagaimana gambar bani Adam, dan tiada malaikat pun yang
turun dari langit kecuali ia bersama rûh. Kemudian ia membaca firmanNya, “dan
10
Diakses_dari_http://ppssn.malang.pesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi
_ruhsingleartikel keislaman
11
Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1.
h.36.
12
Rahmi Damis, “Falsafah Manusia dalam al-Qur‟an” Sipakalebbi‟ Vol.1 no.2
(Desember 2014): h.208.
13
Al-Alusi, , Rūḥ al-Ma'âni fi Tafsir al-Qur'anul al-Azhim wa Sab'ūl al-Matsâni (Beirut
: Dar al-Ihya, 1990), Juz ke 2. h.203.
31
pada hari ketika Rûh dan para malaikat bangkit”.14 Abû Syaikh juga
meriwayatkan dari sayyidina „Ali r.a bahwa ia berkata rûh adalah seorang
Malaikat yang mempunyai 70 ribu wajah dimana setiap wajah darinya memiliki
70 ribu nulut, setiap mulut darinya memiliki 70 ribu bahasa yang semuanya
bertasbih kepada Allah Swt dengan berbagai bahasa itu. Dan Allah Swt
menciptakan dari setiap tasbih seorang malaikat yang terbang bersama malaikat
Mujâhid yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari malaikat namun para
malaikat.15Muhammad Abduh menafsirkan kata rûh sebagai jisim latif yaitu suatu
528) yang mengatakan bahwa rûh adalah udara yang halus sekali. Udara yang
halus inilah yang memelihara keutuhan badan, sekalipu akhirnya badan akan
dalam tafsir beliau yang berjudul Tafsir Al-Misbah, beliau mengatakan “banyak
ulama yang memahami kata rûh dalam arti potensi pada diri makhluk yang
menjadikan dapat hidup. Ada juga yang ulama yang memahami kata rûh dalam
14
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.100.
15
Ibid, h.101.
16
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.244.
17
Wawan Hernawan, “Posisi Ruh dalam Realitas menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah”
Syifa al-Qulub Vol.1 no.2 (Januari 2017): h.76.
32
arti Jibril, atau malaikat tertentu yang sangat agung. Salah satu pendapat yang
wajar mendapat tempat adalah yang memahami kata rûh pada ayat ini adalah al-
hewan (manusia dan binatang) merasa dan memiliki gerak yang dikehendakinya.
Ia juga digunakan untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan,
seperti ilmu yang dinilai sebagai kehidupan jiwa, sejalan dengan firmanNya QS.
al-An‟âm(6) : 122. 18
Atas dasar pemahaman makna rûh dengan hal-hal yang berdampak baik
menggunakan kata rûh dipahami dalam arti wahyu dan firmany-Nya QS. as-
Syûrâ(42) : 52 yang juga menggunakan kata rûh dipahami dalam arti al-Qur‟an
yang merupakan wahyu ilahi. Penamaan itu demikian, karena dengan wahyu dan
dengan al-Qur‟an jiwa yang mati bisa hidup, sebagaimana rûh dalam arti sumber
ulang di sebut pada ayat-ayat yang turun sebelum dan sesudah hijrah, tetapi tidak
ditemukan pada ayat-ayat itu pengertian yang bermakna sumber hidup. Di sisi
lain, sekian banyak ayat yang menggunakan kata rûh dan secara jelas
atau QS. al-Ma‟ârij(70) : 4, juga ada yang bermakna sesuatu yang dihembuskan
18
Muhammad Husein At-Thabathabâi, Al-Mīzan fi Tafsir al-Qur‟ân (Beirut : Dar al-
Fikr, 2002), h.176
33
pada diri manusia secara umum QS. al-Hijr(15) : 29, ada juga yang dianugerahkan
berkesimpulan mengenai rûh adalah sedikit dari banyak, rûh mempunyai wilayah
dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya
ini yang sungguh indah dan menganggumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi
maka katakanlah rûh itu adalah urusan Tuhanku, adanya karena kekuasaanNya
dan pengetahuan mengenai rûh itu disamarkan, hanya Allah Swt yang
mengetahui rûh dengan meyadari adanya rûh di dalam tubuh dan hanya apa yang
dirasakan oleh anggota tubuh,. Adapum selain itu maka kalian tidak akan mampu
mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat rûh itu.20
pendapat pertama bahwa rûh adalah dzat yang luas dan halus, dan jism nurani
bertentangan dengan tabiat jism yang mempunyai rasa, pendapat ini yang
tidaklah berjism juga tidak berjasmani, ia lah dzat yang menyatu dengan badan,
19
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta :
Lentera Hati,2002) cet.1 h.
20
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Muîīr fi al-Aqīdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 162.
34
yang menggerakan dan mengatur badan itu sendiri, pendapat ini dikemukakan
ketika Allah Swt menutup ayat sebelumnya “kullu ya‟malu ala sâkilatih” dan
bermaksud dengan ayat ini, yakni masalah dan macam-macam bentuk mengenai
inti rûh dan hakikat rûh itu sendiri”, dan beliau menjelaskannya dalam beberapa
masalah tentang rûh, pertama beliau menjelaskan bahwa para ahli tafsir
mempunyai beberapa pandangan mengenai rūḥ tetapi yang di maksud dengan rûh
disini adalah sebab kehidupan, dan beliau menjelaskan tentang asbâb an-
nuzûl(sebab turun)nya ayat ini, beliau memgatakan bahwa ketika para yahudi
berkata kepada kaum quraish “tanyakanlah kepada Muhammad dari tiga perkara,
maka apabila ia hanya memberitahukan dua dan tidak menjawab perihal yang
ketiga maka sungguh dia seorang nabi, tanyakanlah kepadanya mengenai ashabul
kahfi, dan mengenai zul qarnain, dan mengenai rûh,” maka mereka pun
menanyakan kepada Rasulullah Saw mengenai ketiga hal tersebut maka Nabi pun
menjawab “esok hari akan aku beritahukan kepada kalian” dan Nabi tidak
mengatakan insyaallah, maka pada saat itu wahyu terputus selama 40 hari
lamanya, barulah setelah itu turun wahyu “Dan janganlah kalian mengatakan
terhadap sesuatu “sesungguhnya aku akan melakukan itu esok, kecuali Allah Swt
21
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 168.
35
kisah ashabul kahfi dan kisah zul qarnain, tetapi Nabi tidak memberitahukan
Jabbabaie berpendapat bahwa rûh itu jisim dan bukan hidup, karena hidup
itu adalah sifat sedangkan rûh tidak boleh dari sifat. Aristoteles berkata bahwa rûh
adalah kekuatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu yakni kekuatan yang
bersifat potensil menuju ke arah aktuil, pokok fungsinya yaitu berfikir dan
Menurut Hasan dan Qatādah yang dimaksud dengan rūḥ adalah Jibril
sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasan al-Basri di dalam Tafsirnya23. Dalam al-
Qur‟an Jibril disebut dengan ar- rûh al-Amin sebagaimana firmanNya QS asy-
Syu‟ara(26) : 193
Dan di dalam al-Qur‟an term rûh dan Jiwa disebutkan dalam tempat yang
berbeda di dalam al-Qur‟an. Dan yang dimaksud di dalam pembahasan skripsi ini
memfokuskan terhadap masalah rûh dan hal-hal yang berkaitan seputar rûh.
Term rûh di dalam al-Qur‟an mempunyai beberapa arti dengan kata lain
22
Fakhruddin ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib (Beirut : Dar al-Ihya, 2012), h. 157
23
Hasan al-Basri, Tafsir al-Hasan al-Basri (Beirut : Dar al-Hadits, 1990), vol.2 h. 77.
36
dan kata rûh juga digunakan untuk menggambarkan malaikat, dalam bentukan
itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan rûh itu pula ia menjadi
bijaksana, memiliki perasaan cinta , dan kasih sayang serta berbagai sifat
ketuhanan, dalam skala manusia, ya rûh adalah Dzat yang menjadi media
Informasi mengenai kata rûh dan nafs/jiwa tersebar di dalam al-Qur‟an dalam
kadar yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan jumlah ayat yang
Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh pemikir Islam murid pemikir terkenal Ibnu
Taimīyah, di dalam bukunya yang berjudul ar- rûh lil Ibnil Qayyîm yang
diterjemahkan dalam judul rûh beliau mengatakan bahwa rûh adalah bentuk lain
dari jiwa atau sebaliknya, Jiwa bentuk lain dari rûh itu sendiri.24
al-Jawhâri dalam memberi makna pada salah satu syair di mana terdapat
kalimat an-Nafs yang di katakan bermaksud diri (ayn). Walau bagaimanapun Ibnu
Qayyim lebih cenderung kepada makna rûh. Oleh itu, maksudnya an-Nafs adalah
ar- rûh. Beliau membawa dalil dari pada ayat al-Qur‟an dari pada surah an-Nûr
ayat 61, surat an-nahl ayat 111, Surah al-Mudhatsir ayat 38, Surah al-Fajr ayat 27,
Surah al-An‟am ayat 93, dan Surah Yusuf ayat 53. Beliau menyatakan bahwa rûh
dicabut dari pada jasad dan menyebabkan kematian ialah an-Nafs. Sementara
kekuatan yang terdapat pada jasad di sebut sebagai rûh al-bashîrah (kekuatan
dan sebagainya.
Berbeda dengan para filosof pada umumnya seperti Ikhwan al-Shafâ dan
Mc Dodald yang yang menyamakan antara rûh dan jasad. Sedangkan Abu Bakar
al-Anbari menekankan pada aspek kebahasaan yang mana kata rûh digunakan
untuk mudhakkar (bentuk laki-laki) dan nafs untuk muannas (bentuk perempuan).
Dengan demikian mengutip disertasi Abdul Mujib tentang rûh yang tinjau dari
segi psikologi, maka rûh adalah substansi tersendiri yang dapat berdiri sendiri dari
jasad. Sedangkan, jiwa adalah gabungan antara rûh dan jasad. Hal ini sesuai
24
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 5.
38
dengan QS. al-Imran : 185 , yang mana seseorang yang berjiwa atau mempunyai
nafs (yaitu gabungan antara jasad dan rûh), maka ia kan menemui kematian.25
Sedangkan Kata nafs yang berakar dari huruf na, fa dan sa yang berarti
keluarnya angin atau keluar dan masuknya angin lewat mulut dan hidung. Abdul
Karîm Khâtib mengatakan bahwa nafs adalah sesuatu yang merupakan hasil
perpaduan antara jasmani dan rohani manusia, perpaduan ini yang menjadikan
dengan yang lainnya. Dan bila di perhatikan kata nafs yang sebanyak 75 kali
wujud seorang manusia di hadapan Allah Swt dan di dalam masyarakat dengan
menggunakan kata nafs seperti pembunuhan yang terjadi atas diri seseorang QS.
al-Maidah(5) : 32. Selain itu, ditemukan pula gambaran bahwa nafs itu ada tiga
Ibnu Sina mendefinisikan rûh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa
sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (rûh) merupakan kesempurnaan awal,
spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa
prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam
tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat
tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan
berbagai fungsi psikologis. Ibnu Sina membagi daya jiwa (rûh) menjadi 3 bagian
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh
yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan
makan.
2. Jiwa (rûh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia
mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah
yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan
Jiwa (rûh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini
sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana
pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua
arti:
1. Jiwa yang menyatukan antara daya dan amarah dengan daya nafsu, jiwa yang
muthmainnah,27
hasilkan oleh interaksi antara dan jasad, bukan struktur psikologis yang bersifat
statis. Sama sekali tidak ada yang salah dengan rûh dan jasad. Namun proses yang
immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Dengan demikian, rûh menjadi
dalam jasad dan rûh, maka ia mencakup kecenderungan material dan spritual.
Pada mulanya aspek material mendominasi nafs, sehingga nafs tertarik kepada
kesenangan dan keuntungan duniawi. Apa yang bersifat alamiah selalu cenderung
lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertari kepada dunia. Jadi, nafs berubah
26
Diakses_dari_http://pssnhmalangpesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi_
ruhsingleartikelkeislaman
27
Al-Ghazāli, Ihya al-Ulumuddin ( Beirut : Dar Ma'rifah, 1998), Juz ke 3. h.158
41
ubah dan dan berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya. 28 Makna Jiwa
Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang bisa ada dan tidak ada, atau bisa keluar dan
masuk pada seorang manusia ketika dia masih hidup QS. asy-Syam(91) : 7-10
Ia dihadirkan pertama kalinya dengan kondisi yang lemah, jauh dari sempurna.
28
Sudirman Tebba, Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1. h.16-
17.
42
atau sebaliknya pada keburukan. Dalam istilah ayat di atas manusia bisa
beruntunglah kita. Karena jiwa yang bersih akan memberikan manfaat kepada
manusia itu saat hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Sedangkan orang yang
mengotorinya bakal merugi, karena jiwa yang kotor itu akan memunculkan
1. Pelatihan lahiriah melalui pelaksanaan hukum-hukum ilahi yang berupa shalat dan
4. Kefanaannya dala Dzat Ilahi serta penyaksiaan kebesaran Tuhan semesta alam.30
Ada tiga hal yang menyebabkan rûh dan jiwa berbeda. Pertama, karena
substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.
Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan rûh berbeda dari
segi kualitas „dzatnya‟. Jiwa di gambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah
kualitas naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan sseterusnya.
Sedangkan rûh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas
29
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 14-16
30
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.116-121
43
Perbedaan yang kedua, antara jiwa dan rûh adalah pada fungsinya. Jiwa
manusia, melainkan jiwa. Sedangkan rûh adalah dzat yang selalu baik dan
berkualitas tinggi. Sebaliknya hawa nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan
selalu mengajak kepada, keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa
Dan yang ketiga, perbedaan itu ada pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan
dan kedamaian. Sedangkan rûh bersifat stabil dalam kebaikan tanpa mengenal
perbandingan. rûh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagian lawan
mempermudah para pembaca dalam membedakan makna kata rûh di dalam al-
6 QS. Shâd(38) : 72 “Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah
kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".(QS
Shad(38) : 72
7 QS at-Tahrîm(66) : 12
“Dan (ingatlah) Maryam
binti Imran yang memelihara
kehormatannya, Maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan)
Kami, dan Dia membenarkan
kalimat Rabbnya dan Kitab-
KitabNya, dan Dia adalah
46
3 QS al-Maidah(10) : 110 “(ingatlah), ketika Allah
mengatakan: "Hai Isa putra
Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu
di waktu aku menguatkan kamu
dengan Ruhul qudus. kamu
dapat berbicara dengan
manusia di waktu masih dalam
buaian dan sesudah dewasa;
dan (ingatlah) di waktu aku
mengajar kamu menulis,
hikmah, Taurat dan Injil, dan
(ingatlah pula) diwaktu kamu
membentuk dari tanah (suatu
bentuk) yang berupa burung
dengan ijin-Ku, kemudian
kamu meniup kepadanya, lalu
bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan
seizin-Ku. dan (ingatlah) di
waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam
kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di
waktu kamu mengeluarkan
orang mati dari kubur
(menjadi hidup) dengan seizin-
Ku, dan (ingatlah) di waktu
aku menghalangi Bani Israil
(dari keinginan mereka
membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang
nyata, lalu orang-orang kafir
diantara mereka berkata: "Ini
48
4 QS an-Nahl(16) : 102
“Katakanlah: "Ruhul
Qudus (Jibril) menurunkan Al
Quran itu dari Tuhanmu
dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-
orang yang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta kabar
gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada
Allah)".(Q.S An-Nahl(16) :
102)
6 QS asy-Syu’âra(26) : 193 “Dia dibawa turun oleh Ar-
Ruh Al-Amin (Jibril).”(QS
asy-Syu’āra(26) : 193)
9 Q.S Al-Qadr(97) : 4 “Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan
roh Malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur
segala urusan.”(Q.S Al-
Qadr(78) : 4)
1 QS. al-Wâqi’ah(56) : 89 “Maka Dia memperoleh(rawh)
ketenteraman dan rezki serta
jannah kenikmatan”.(QS. al-
Wāqi’ah(56) : 89)
BAB IV
Kata rûh di dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 22 dengan kata )ُ (رُوُحdi ulang
sebanyak 20 kali dan dengan )ُ (رُوُحsebanyak 2 kali.1 Dan kata rûh mempunyai
banyak makna yang tersebar dibeberapa ayat di dalam al-Qur‟an, dan dapat
Qur‟an, rahmat Allah Swt, pertolongan Allah Swt dan ketentaraman jiwa.
Dan ayat-ayat dengan menggunakan kata rûh tersebar dalam QS. al-
Baqarah(2) : 87, QS. al-Baqarah(2) : 253, QS. an-Nisa(4) : 171, QS. al-Mâidah(5)
: 110, QS. Yusuf(12) : 87, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. an-Nahl(16) : 2, QS. an-
Nahl(16) : 102, QS. al-Isra‟(17) : 85, QS. Maryam(19) : 17, QS. al-Anbiyâ(21) :
91, QS. as-Syua‟râ(26) : 193, QS. as-Sajadah(32) : 9, QS. Shâd(38) : 72, QS. al-
Ghâfir(40) : 15, QS. as-Shûra(42) : 52, QS. al-Wâqi‟ah(56) : 89, QS. al-
Dari beberapa ayat mengenai rûh di dalam al-Qur‟an , Syekh „Abdul Qâdir al-
1
Muhammad Fuâd Abdul al-Bâni, Al-Mu‟jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur‟ânul al-
Karîm (Beirut : Dar al-Fikr,1981), h.326
52
53
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Rūḥ
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S Al-Isra‟(17) : 8)
Beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan Allah Swt kepada Nabi
kaum Nasrani dan Yahudi dan kaum yang yang laiinya sebelum Nabi
Muhammad Saw terpecah belah akibat dari menanyakan perihal tentang rûh.
Beliau mengatakan rûh yang ditanyakan dalam ayat ini adalah dzat yang menyatu
dengan jasad dan yang menjadi sumber penghidup/penggerak jasad itu sendiri,
baik bergeraknya dengan diatur maupun dengan kehedak nya sendiri. Dan apabila
dzat(rûh) itu berpisah dengan jasad maka jasad akan mati dan tidak akan dapat
bergerak dan hilang semua apa yang dirasakan oleh jasad. Beliau menegaskan
kembali bahwa yang ditanyakan oleh orang-orang saat itu adalah dzat rûh itu dan
bagaimana menyatu dengan jasad dan juga bagaimana hubungan dengan jasad itu
rûh, juga bagaimana rûh menyatu dengan jasad dan bagaimana rûh berpisah
dengan jasad adalah rahasia Allah Swt. dan perihal rûh itu merupakan dalil atau
petunjuk ketika Allah Swt ingin menjadikan sesuatu dengan seketika, maka itu hal
yang mudah bagiNya, sehingga persoalan mengenai bagaimana adanya rûh dan
terpisah nya rûh dari jasad adalah sesuatu yang hanya diketahui Allah Swt dan
2
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
54
tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya. sehingga di akhir ayat Allah Swt
dan hal yang berkaitan dengan rûh, tetapi hanyalah sedikit yakni hanya penjelasan
mengenai rûh bukan zat rûh itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa manusia
hanya dapat mempelajari sesuatu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang
terbatas. Dan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan juga di akhir ayat ini
dengan mengatakan bahwa para ahli mukasyifīn (para orang sholeh yang
tersingkap hijab nya) berkata “adanya sesuatu di dunia ini, kemudian hidup dan
Dan dalam ayat lain yang berkaitan rûh sebagai sumber atau sebab
kehidupan yaitu di dalam QS. al-Hijr(15) : 29, ayat yang menceritakan tentang
penciptaan manusia pada awalnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat
jasad manusia dari tanah yang kering yaitu tanah yang hitam juga menyengat bau
nya lalu menciptakan jin dari sejenisnya yang diciptakan sebelum manusia dari
unsur yang kualitasnya di bawah unsur manusia, yang terbuat dari api yang sangat
panas. Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat-Nya bahwa Dia telah
menciptakan manusia dengan sedemikian itu, maka ketika telah sempurna bentuk
manusia yang Allah Swt ciptakan, kemudian Allah Swt memercikan percikan rûh
(cahaya wujud-Nya) ke dalam ciptaan itu, agar nanti kelak manusia itu hidup
karena adanya unsur maha hidupnya Allah Swt, dan sebagai media atau wakil
3
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
55
dunia. Dan saat itu pun para malaikat sujud atas perintah-Nya sebagai bentuk
penghormatan tanpa ada interupsi apapun kepada Allah Swt, kecuali iblis yang
enggan untuk melakukan sujud karena menganggap dirinya lebih baik dari pada
manusia, karena diciptakan dari unsur yang yang lebih baik oleh Allah Swt di
dari unsur tanah sampai di tiupkan rûhNya, beliau Shultonul auliya Syekh „Abdul
Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini bahwasannya Allah Swt adalah Tuhan yang
sebab tanah adalah unsur pertama yang ada di alam materi (dunia). Lalu Allah
Swt menjadikan keturunan manusia dari air mani yang bersifat hina dan kotor,
dan ketika Allah Swt telah menjadikan bentuk manusia yang pertama (adam) dan
menciptakan keturunannya melalui air mani dari manusia yang pertama (adam),
dengan bentuk paling sempurna lalu Allah Swt meniupkan rûhNya yaitu
bahwa manusia adalah ciptaan yang luar biasa dan untuk memberitahukan bahwa
4
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 441-442.
56
berbagai ni‟mat yang telah Allah Swt berikan, tetapi Allah Swt berfirman dalam
QS. Shād(38) : 72, beliau menjelaskan Allah Swt berfirman di dalam al-Qur‟an
dari tanah dan ketika telah sempurna bentuk jasadnya maka kemudian Allah Swt
meniupkan rûh dari rûhNya untuk menghimpun seluruh sifat-sifat dan nama-
nya di dunia. Maka pada saat itu pun malaikat sujud atas perintahnya sebagai
Sama seperti ayat-ayat yang di atas yang menjelaskan makna rûh sebagai
sumber kehidupan di dalam QS. an-Nisa(4) : 171, yakni ayat yang menceritakan
tentang ahli kitab yang menyembunyikan kebenaran Nabi Isa a.s sebagai seorang
5
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 55-56.
6
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 265-266.
57
Nabi yang diutus oleh Allah Swt, yang dilahirkan dari seorang perempuan yang
bernama Maryam dan Nabi Isa a.s sendiri tidak pernah mengatakan dirinya
sebagai Tuhan, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa
para ahli kitab diperintahkan oleh Allah Swt untuk tidak mengatakan akan sesuatu
kecuali dengan mengatakan yang sebenarnya, dan juga Allah Swt memerintahkan
mereka untuk tidak mennyekutukan Allah Swt Tuhan yang maha Esa dan Tuhan
yang tidak mempunyai anak, dan mengatakan bahwa sesungguhnya Isa al-Masih
anak laki-laki dari Maryam adalah Rasul Allah sama seperti Rasul-Rasul
sebelumnya dan juga mengenai perkara yang agung mengenai Isa yakni, ketika
Allah Swt menyampaikan kalimat kepada Maryam lalu Dia meniupkan rûh Nya
penjelasan ayat ini, beliau mengatakan “sehingga sebab semua itulah para Nabi
diberikan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dijangkau oleh akal nalar
manusia umumnya”7
Dan masih dalam penjelasan ayat mengenai rûh dalam arti sebab
kehidupan di dalam QS. al-Anbiya(21) : 91, ayat yang menjelaskan tentang Nabi
Isa a.s yang dilahirkan tanpa ayah, hanya melalui seorang ibu yakni Maryam,
„Abdul Qâdir al-Jîlânî menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Nabi
Maryam, sebagai perempuan yang selalu menjaga kemaluannya dari yang halal
maupun yang haram, dan sebagai perempuan yang sabar di masa keperawanannya
dan tidak sedikitpun condong kepada hal-hal yang berkaitan dengan syahwat, itu
7
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 418-419.
58
semua ia lakukan karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
meskipun memikul kesulitan dan rintangan yang amat berat dalam rangka
perempuan yang telah sampai pada tingkat keterjagaan atau kesucian yang paling
sempurna. maka oleh karena itu Allah Swt melalui Malaikat Jibril sang pembawa
rûhNya (Allah Swt) meniupkannya ke dalam hati Maryam. Dan setelah rûh itu
masuk ke dalam hatinya maka Maryam pun mengandung Nabi Isa a.s. Syekh
„Abdul Qâdir al-Jîlânî juga menjelaskan bahwa Allah Swt menjadikan Maryam
dan Nabi Isa a.s sebagai ayat atau tanda yang luar biasa bagi seluruh alam, yang
berasal dari kekuasaan Allah Swt yang telah menjadikan seorang perempuan
dapat hamil tanpa melalui seorang ayah dan tanpa pernah disentuh oleh seorang
laki-laki.8
Dalam hal yang sama mengenai ayat tentng rûh, dalam hal ini kasus
mengenai Nabi Isa a.s di dalam QS. at-Tahrîm(66) : 12, Syekh „Abdul Qâdir al-
untuk orang-orang yang beriman yakni kisah mengenai Maryam, anak perempuan
hanya Allah Swt berikan hanya kepada sebagian perempuan di dunia. Dimana
Allah Swt meniupkan ke dalam hatinya rûhNya (Allah Swt) sama halnya seperti
yang Allah Swt tiupkan ke dalam hati Nabi Adam a.s, sehingga dengan tiupan
itulah Maryam mengandung Nabi Isa a.s dan karena itu juga lah Nabi Isa a.s
8
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 201-102.
59
menjadi orang pilihan seperti Nabi Adam a.s, dan juga Allah Swt memberikan
mukjizat kepadanya, sama halnya seperti mukjizat yang Allah Swt berikan kepada
Nabi yang lain. lalu beliau menjelaskan perihal Maryam membenarkan kalimat
Allah Swt yang menciptakan Isa a.s dari tiupan itu juga membenarkan kitab-kitab-
nya dan juga mengatakan Maryam adalah termasuk orang-orang yang taat kepada
Allah Swt.9
dalam al-Qur‟an juga terdapat ayat-ayat mengenai rûh dengan makna yang lain,
salah satunya kata rûh yang diartikan sebagai Malaikat Jibril, dimana ayat-ayat
tersebut diulang sebanyak 8 kali di dalam al-Qur‟an, ayat yang pertama terdapat di
dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat
kelakuan umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw yakni para ahli kitab, yang
dimana Allah Swt telah memberikan kitab Taurat kepada Nabi Isa a.s akan tetapi
kaumnya mendustakannya dan Allah Swt juga telah memberikan kitab kepada
para rasul sesudah Nabi Isa a.s yang berisi tentang ajakan-ajakan, ayat-ayat dan
mukjizat, sama halnya mereka pun didustakan oleh kaumnya sendiri lalu juga
Allah Swt juga telah memberikan Isa putra Maryam akan bukti-bukti (ayat-ayat)
mengkhususkannya dengan rûh al-Quds yakni rûh yang suci dari segala sifat yang
membunuhnya. dan apabila datang seorang Rasul kepada mereka dari sisi Allah
9
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 233-235.
60
Swt dengan apa yang diri mereka tidak inginkan, mereka niscaya akan
Musa a.s dan Isa a.s dan di antara para Rasul yang dibunuh oleh kaum mereka
sendiri seperti yang di alami oleh Nabi Zakariya a.s dan Yahya a.s, kemudian
Selanjutnya ayat mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril a.s juga terdapat
di dalam QS. al-Baqarah(2) : 253, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan bahwa Allah Swt telah mengkhusukan para Rasul yang telah
diberikan wahyu, yakni diantara mereka Allah Swt unggulkan sebagian dari yang
lain dengan berbagai macam keistimewaan, dan diantara mereka ada yang dapat
bermukalammah (berinteraksi) dengan Allah Swt yakni Nabi Isa a.s dan sebagian
ada yang Allah Swt tinggikan derajatnya. Beliau menjelaskan mereka adalah para
rasul yang Allah Swt sebutkan di dalam kitab-Nya pada beberapa ayat diantaranya
mengatakan bahwa Allah Swt memberikan Isa putra Maryam bukti-bukti yang
dengan rûh al-Quds yang Allah Swt bersihkan dari segala sifat keburukan yang
menipu, yaitu dzat yang murni dan bersih dari seluruh perumpamaan. beliau
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa banyak sekali Allah Swt di
dalam al-Qur‟an mennyebutkan keutamaan Nabi Isa a.s dan keutamaan Nabi
Muhammad Saw. Salah satu di antara nya Allah Swt berfirman dalam QS. al-
Baqarah(2) : 87 pada kalimat “Dan Kami kuatkan Isa dengan rûh al-Quds”, dan
10
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 127-128.
61
Kemudian kata rûh yang mengandung arti Malaikat Jibril terdapat juga di
dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini
dengan berkata ketika Allah Swt berfirman kepada Isa bin Maryam (sebagai
kepada ibumu ketika Aku (Allah Swt) menguatkanmu dengan rûh al-Quds yakni,
dzat yang suci, yang bersifat lahûthiyah yang bersih dari tercampurnya sifat
nasûthiah yang kuat, dan oleh sebab itu lah kamu dapat berbicara kepada manusia
ketika dalam buaian (bayi) dan ketika dewasa, dan juga ingatlah ketika Aku
(Allah Swt) mengajarkan kamu kitab (injil) yang bekaitan dengan syariat yang
dzahir dan hikmah yang berkaitan dengan bathin dan juga Taurat dan Injil yang
Dalam ayat lain, dalam QS. an-Nahl(16) : 102, beliau menjelaskan bahwa
Allah Swt berfirman kepada Nabi Muhammad Saw “wahai Rasul yang paling
mulya, katakanlah “tidaklah aku berbohong dengan naskh (penyalinan) dan badal
(perubahan), dan mengenai rûh al-Quds yang menurunkan al-Qur‟an yakni Jibril
a.s kepadaku dan dia adalah dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan
dan keburukan, maka tidak lah ada kedustaan yang telah diwasiatkan kepadaku,
bahwa al-Qur‟an itu diturunkan dari Rabbmu (Muhammad) yang telah mendidik
kamu dengan segala bentuk pendidikan dan yang telah menguatkan kamu dengan
11
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229.
12
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229.
62
kalam mukjizat ini al-Qur‟an) dengan kebenaran yang sesuai dengan apa yang
terjadi, tanpa ada sedikit noda keraguan pun di dalamnya”. Dan beliau
orang-orang yang beriman dan juga sebagai penguat di dalam tingkatan al-yaqîn
(keyakinan) dan sebagai petunjuk untuk orang yang makrifat (mengenal) Allah
Swt di dalam tingkatan al-yaqîn al-ilmi dan juga sebagai kabar gembira untuk
para ahli kasyaf (orang yang tersingkap hijabnya) di dalam tingkatan al-yaqîn al-
haq dan semua itu untuk para muslimin.13 Kemudian dalam ayat lain seperti di
dalam QS. Maryam(19) : 111, beliau menjelaksan ketika Allah Swt mengutus ke
Pengertian kata rûh yang bermakna malaikat Jibril a.s juga ditemukan di
bahwa Allah Swt berfirman sesungguhnya al-Qur‟an itu adalah kitab yang di
turunkan dari sisiNya, seperti kitab-kitab yang lain yang Allah Swt turunkan
kepada Rasul-Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, kitab yang diturunkan oleh
rûh al-Amin yakni Malaikat Jibril a.s. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan
alasan mengapa dinamakan rûh al-Amin, dengan jawaban karena amanat atas
wahyu ilahi (al-Qur‟an) itu harus sampai kepada orang yang diturunkan kepada
13
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 493-495.
14
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 111.112.
15
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 385.
63
azab Allah Swt pada hari kiamat nanti yang pasti akan terjadi, beliau menjelaskan
juga bahwa azab Allah Swt akan diberikan kepada orang-orang yang kafir, yaitu
mereka yang terhijab (terhalang) dari kebenaran seperti orang yang terhijab
(terhalang) dari tirai yang kuat lagi kokoh, dan tidak akan ada seorang pun yang
dapat menolak azab dari Allah Swt, dimana azab yang diberikan oleh Allah Swt
itu merupakan ketetapan dariNya yang ditetapkan untuk para musuh-musuh Allah
Swt, dan sesungguhnya Allah Swt juga mempunyai derajat-derajat yang luhur dan
tempat-tempat yang terpuji untuk para kekasihNya. Dan juga para MalaikatNya
yang membawa jejak sifat-sifat dan nama-nama ilahiyah dan rûh (Malaikat Jibril
a.s), dia adalah dzat yang diturunkan dari sisiNya dalam bentuk yang luar biasa ke
alam dunia, dengan membawa jejak sifat-sifat keluhuran dari sifat dan nama Allah
Swt, kemudian naik menuju ke hadapanNya dalam waktu sehari di dunia, yang
Dan dalam ayat lain mengenai ayat yang mengandung kata rûh dalam arti
Malaikat Jibril a.s terdapat di dalam QS. an-Naba(78) : 38, Syekh „Abdul Qâdir
al-Jîlânî juga sama menjelasakan bahwasannya pada suatu hari di mana rûh yakni
Malaikat Jibril a.s (wujud yang disandarkan kepada bentuk yang luar biasa dari
cahaya wujud yang mutlak) dan para Malaikat yang berbaris dengan lurus serta
dalam keadaan hening dan tenang, karena pada hari itu terjadi sangat dahsyatnya
pengaruh (kekuasaan) Allah Swt, mereka tidak dapat menyangkal dengan ucapan
dan maupun dengan berbagai cara laiinya, kecuali orang yang telah Allah Swt
16
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270.
64
izinkan dengan syafaat yang telah diberikan oleh Allah Swt kepadanya, maka ia
dapat berbicara dengan perkataan yang pasti benar dan di ridhai oleh Allah Swt.17
dan dalam ayat terakhir mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril yaitu terdapat di
menjelaskan mengenai malam lailatul qadr, bahwa malam lailaltul qadr itu lebih
baik dari pada seribu bulan dari hari-hari di alam syahâdah , ketika para malaikat
turun dan rûh yakni al-Amîn (Jibril a.s) yang mengurus segala urusan rûh alam
nasuth (manusia) dan di malam itu juga mereka (para malaikat) turun dengan
perintah dari Allah Swt dengan membawa berbagai macam perkara di alam
syahâdah.18
Setelah beberapa ayat yang mengandung kata rûh yang bermakna sebab
kehidupan dan Malaikat Jibril a.s, juga terdapat ayat yang mengandung kata rûh
bahwa ketetapan Allah Swt pasti akan datang pada hari yang telah Allah Swt
janjikan, dan pada hari itu akan terbuka semua tirai dan rahasia sehingga
tersingkap semua hijab (penghalang), yang kemudian akan hancur semua tipu
daya dan kebohongan, maka jangalah kalian (orang-orang yang ragu di dalam
agama Allah Swt) meminta dipercepat datangnya hari itu, mahasuci Allah Swt
17
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270.
18
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
65
dari apa yang mereka sekutukan, Dia lah Allah yang maha Esa yang menurukan
mereka adalah para Nabi, para Rasul yang diperintahkan untuk mengingatkan para
Dan ayat berikutnya mengenai ayat tentang rûh yang bermakna wahyu
atau al-Qur‟an dalam QS. al-Ghâfir(40) : 15, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menjelaskan perihal orang-orang kafir yang tidak menyembah kepada Allah Swt
padahal telah jelas bahwa Allah Swt Sang Maha Peninggi derajat para hamba-
hambaNya ke sisiNya, yang memiliki arsy yang agung, yang menurunkan rûh
perintah dan larangan, baik dari sisi ubûdiyah (ibadah), ulûhiyah (ketuhanan) dan
rububiyahnya (pencipta). Dan rûh (wahyu) itu untuk mengingatkan para hamba-
hamba Allah Swt akan waktu kembali mereka, di saat amanat-amanat yang di
19
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 458-459.
20
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 310-311.
66
Dan juga di dalam QS. as-Shûra(42) : 52, beliau menjelaskan bahwa Allah
Swt mewahyukan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad
Saw, Allah Swt juga mewahyukan kepada sebaik-baiknya Rasul yakni Nabi
serta kekhususan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk Nabi Saw menyampaikan
ajaran tauhid yang ada di dalamnya atas perintah Allah Swt. Beliau menjelaskan
segala yang mati, kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa Allah Swt
tidak mengetahui sebelumnya kitab (al-Qur‟an) itu, yang berisi tentang hukum-
hukum yang dzahir maupun yang bathin, dan juga Nabi Saw tidak mengetahui
tentang iman (tauhid). Tetapi Kami (Allah Swt) menjadikan al-Qur‟an sebagai
sebuah cahaya, yang dengan cahaya itu Kami beri petunjuk kepada hamba-hamba
petunjuk kepada seluruh umat manusia ke jalan yang tidak ada kesesatan dan
Malaikat Jibril dan wahyu/al-Qur‟an, terdapat juga kata rûh yang memiliki makna
yang berbeda dari makna itu semua, seperti kata rûh yang bermakna pertolongan
Allah Swt yang terdapat di dalam QS. al-Mujâdalah(58) : 22, Syekh „Abdul Qâdir
suatu kaum yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, hari yang
21
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 388-389.
67
dipersiapkan untuk hisab (penghitungan amal) dan pembalasan. dan kamu juga
tidak akan menemukan mereka saling berkasih sayang satu sama lain. mereka
itulah orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya sekalipun orang-orang itu
adalah bapaknya maksudnya bapak para orang mukmin atau anak mereka atau
saudara mereka atau pun sanak keluarga mereka, para kerabat dan orang yang
memiliki ikatan darah dengan mereka, dan orang-orang yang menerima dan
menahan dengan cinta dan kasih sayang kepada musuh-musuh Allah Swt dan
RasulNya karena mencari keridhaan Allah Swt dan RasulNya sehingga Allah Swt
pun mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka. Dan karena sebab itu Allah
Swt menguatkan mereka dengan rûh (pertolongan) dari-Nya yang selalu hidup
selamanya, karena orang yang hidup dengan keimanan sungguh dia telah hidup
selamanya dan tidak akan pernah mati. Dan Allah Swt akan memasukan mereka
yang terserap dari lautan kehidupan yang azali yakni wujud mutlak Allah Swt,
mereka kekal di dalamnya dan Allah Swt senantiasa ridha kepada mereka dan
mereka pun tunduk dan pasrah pula kepadaNya. Mereka itu lah orang-orang yang
meninggalkan jejak sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt dan ingatlah bahwa
rûh tidak hanya menggunakan bentuk kata rûh yaitu dengan huruf râ berharakat
dhammah tetapi juga ada kata رُوُحdengan huruf râ dengan harakat fathah, yang
memiliki arti Rahmat Allah Swt, seperti halnya di dalam QS. Yusuf(7) : 87, Syekh
„Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini dengan penjelasan bahwa ketika Nabi
22
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
68
ke mesir sekali lagi, carilah berita mengenai Yusuf dan saudara nya (benyamin)
dan janganlah kalian berputus asa wahai anakku dari rawh (pertolongan) Allah
Swt. karena kita adalah golongan dari para nabi yang tidak layak bagi kita untuk
sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rawh (pertolongan) Allah Swt melainkan
Ada juga di dalam al-Qur‟an kata rawh yang memiliki arti ketenteraman,
seperti yang terdapat di dalam QS. al-Wâqiah(56) : 89, belau menjelaskan ayat ini
sisiNya, maka ketika dia mengalami kematian dia akan memperoleh kematian
dengan rawh (tenteram) dan dengan rahmatNya, dan akan ditempatkan di alam
lahût dan di tempat sekumpulan orang-orang yang berada di sisiNya meskipun dia
masih menggunakan pakaian alam nasûth, dan akan mendapatkan rezeki dari
Allah Swt serta ni‟mat syurga yang penuh dengan berbagai keni‟matan yang dapat
nikmati selamanya.24
mengenai rûh yang bercorak sufi yang hanya mengartikan kata rûh sesuai dengan
konteks ayatnya dan tidak menafsirkan pada sisi lain dari makna kata rûh hal itu
sendiri dalam hal hakikatnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî mencoba dengan
penjelasan yang lebih luas dalam menafsirkan kata-kata rûh dan menjelaskan
23
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 372.
24
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 132.
69
secara konteks ayatnya dengan pengalaman spiritual beliau yang tinggi tanpa
melupakan bahwa hakikat rûh itu hanya Allah Swt yang tahu.
B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr al-
Ketika Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan makna kata rûh di dalam al-
Qur‟an, beliau lebih banyak menafsirkan kata rûh yang bermakna sebab
kehidupan atau sesuatu yang menghidupkan benda mati, dengan dzat yang tersirat
dari Dzat yang Maha Hidup yakni Allah Swt dan sebagai wujud yang mewakili
nama-nama dan sifat-sifatNya di alam dunia dan ketika menafsirkan kata rûh
yang bermakna Malaikat Jibril a.s dengan wujud yang bersih dari segala sifat
Muhammad Saw dan kepada para Nabi dan Rasul yang laiinya juga membawa
rûh ke dalam hati Maryam binti Imran dan ketika menafsirkan kata rûh yang
dinamakan dengan kata rûh, dan penafsiran yang lain-lain nya mengenai kata rûh
dalam al-Qur‟an.
tahlili atau terperinci tetapi terpisah satu sama lain sehingga tidak ada uraian yang
menjelaskan bagaimana rûh itu ketika awal penciptaan dan juga bagaimana
tahapan-tahapan rûh dan hal-hal yang berkaitan dengan rûh. Dan penulis
menggunakan salah satu karangan buku yang beliau tulis dengan judul Sirrûr al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang bukunya tidak terlalu tebal tetapi merangkum
beberapa fashal atau bagian dari seluruh bagian dari buku tersebut, yang berkaitan
menjelaskan, ketika Allah Swt menciptakan rûh Muhammad Saw dari cahaya
DzatNya, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Saw “Sesuatu yang pertama
kali Allah Swt ciptakan adalah rûhku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah
Swt adalah cahayaku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah Swt adalah
kalam dan sesuatu yang pertama Allah Swt adalah akal” dan beliau pun
menjelaskan bahwa maksud dari perkataan Nabi Saw ini dengan maksud dan
menerangi dari segala kegelapan (kesesatan) yang jelas, dan alasan mengapa
dinamakan akal, jawabanya karena akal yang dapat mencapai semua yang ada di
dunia, dan alasan mengapa dinamakan kalam karena kalam adalah perantara untuk
sumber dari segala yang ada, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Saw “Aku
berasal dari Allah Swt dan para Mukmin berasal dariku” , kemudian beliau
25
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6.
26
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6.
71
menjelaskan Allah Swt menciptakan semua rûh di suatu tempat yang bernama
alam lahût, dan ciptakan dalam bentuk yang paling sempurna secara hakikat, dan
alam lahût itu adalah tempat asal semua rûh. dan 4000 tahun kemudian Allah Swt
sebagian ciptaaan yang laiinya dari cahaya Nabi Saw, lalu setelah itu rûh - rûh
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. at-Tîn (95) : 4 “kemudian Kami
alam jabarût , setelah itu Allah Swt memakaikan kepada rûh di alam jabarut
selanjutnya Allah Swt menurunkan rûh - rûh itu dengan pakaian tersebut ke alam
malakût dan juga Allah Swt memakaikan mereka pakaian di alam malakut
namanya rûh ar-ruhâni kemudian Allah Swt menurunkan mereka ke alam mulk
dan memakaiakan mereka pakaian di alam mulk, namanya rûh al-jasmâni, setelah
semua rûh - rûh menjalani tahapan tersebut, kemudian Allah Swt menciptakan
jasad-jasad untuk rūḥ- rūḥ itu. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.
kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan
mengeluarkan kamu pada waktu yang lain”. setelah itu beliau menjelaskan ketika
rûh - rûh itu masuk ke dalam jasad Allah Swt memerintahkan para rûh dengan
Dan ketika rûh - rûh itu telah masuk ke dalam jasad dan mereka merasa
tenang di dalamnya dan apabila mereka melupakan janji yang pernah mereka
72
ucapkan, ketika mereka berada di tempat asal mereka yakni di alam lahut
sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-A‟raf(7) : 172, “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
Swt mengambil kesaksian terhadap rūḥ mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu”
mereka menjawab “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi” Kami lakukan
yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “sesunggguhnya
ketika itu kami lengah terhadap ini” , maka beliau menjelaskan rûh - rûh itu tidak
akan dapat kembali ke tempat asal mereka apabila tidak menunaikan janji mereka
dan melupakan janji yang telah mereka ucapkan di alam lahût dengan Allah Swt.
Maka agar rûh - rûh itu dapat kembali ke tempat asal mereka dengan mudah,
para Nabi dan RasulNya untuk mengingatkan mereka tentang awal tempat mereka
dan perjanjian yang mereka ucapkan, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah” sungguh pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabara dan banyak
mereka (rûh) , kemudian beliau mengatakan bahwa para Nabi diutus ke alam
dunia dan pergi ke alam akhirat untuk mengingatkan mereka dengan peringatan
ini, beliau menjelaskan “katakanlah barang siapa yang ingat dengan hari-hari itu
maka di akan kembali ke tempat asalnya” , maka Allah Swt mengutus Nabi
Muhammad Saw untuk seluruh manusia agar dengan Nabi Saw dapat membuka
73
mata hati mereka dari kegelapan (kesesatan) dan mengajak mereka untuk dapat
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan alam lahût sebagai tempat awal di
mana diciptakannya rûh al-Quds dalam bentuk yang sempurna yang dimaksud
adalah rûh al-Quds al-Insâni al-Haqiqi yang dititipkan di dalam bagian hati yang
tempat asalnya dengan mudah, dengan mengatakan manusia itu terdiri dari dua
unsur yakni jasmani dan ruhani, jasmani adalah insân „âm dan ruhani adalah insân
khâs, kembalinya insân „âm (jasmani) ke tempat asalnya memiliki tahapan dengan
mengamalkan ilmu syariat, tharîqat dan makrifat , beliau menjelaksan ada tiga
tingkatan derajat yang pertama, surga di alam mulk yakni surga ma‟wâ, yang
kedua surga di alam malakût yakni surga na‟îm, dan yang ketiga surga di alam
jabarût yakni surga firdaus, maka ketiga inilah keni‟matan yang dirasakan oleh
jasmani. Sedangkan kembali nya insân khâs (ruhani) kembali ke sisiNya dengan
manusia ke posisi yang paling rendah, beliau menjelaskan ketika Allah Swt
menciptakan rûh al-Quds dalam bentuk yang paling sempurna di alam lahut,
maka Allah Swt berkehendak untuk menempatkan rûh al-Quds ke posisi yang
paling rendah ke alam dunia dengan tujuan agar bertambah sifat kemanusiaannya
dan kedekatakan dengan Allah Swt di tempat shiddîq (kebenaran) di sisi Allah
27
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 7-8.
74
Swt Sang maha raja yang berkuasa, yaitu di tempat para waliNya, NabiNya. maka
oleh karena itu Allah Swt menurunkan rûh al-Quds terlebih dahulu ke alam
jabarut dengan menyertakan benih tauhid yang disematkan ke dalam rûh al-Quds
yang berasal dari cahaya alam jabarût dengan memakaikan pakaian di antara dua
haram. begitupun ketika Allah Swt menurunkan rûh al-Quds ke alam mulk maka
Allah Swt memakaikan pakaian bersifat unsur agar tidak hancur ketika berada di
alam mulk yakni jasad yang kuat dan tebal , maka pakaian yang dipakai oleh rûh
al-Quds dinamakan dengan rûh sulthoni bila berada di alam jabarût, dan rûh
ketika berada di alam mulk, maka ketika maksud Allah Swt menurunkan rûh al-
Quds ke tempat yang paling rendah untuk ia mencari kedekatan dan derajat yang
Dan Allah Swt memerintahkan kepada rûh - rûh itu semua memasuki jasad,
dan Allah Swt membagi setiap dari mereka tempat di dalamnya, tempat rûh al-
jasmani di dalam dua bagian jasad yakni di dalam daging dan darah, dan tempat
dalam Tafsirnya dengan penjelasan mengenai rûh di dalam kitab Sirrûr al-Asrâr
sebagai Dzat yang diciptakan dan bersumber dari rembasan Dzat nya Allah Swt,
yang Maha Hidup agar senantiasa rûh ketika berada di alam dunia dapat mewakili
nama-nama dan sifat-sifatNya sebagai dijelaskan di alam QS. al-Hijr(15) : 29, QS.
75
as-Sajadah(32) : 9, dan QS. Shâd(38) 72. Dan hal ini berdasarkan yang beliau
Muhammad Saw yang pertama kalinya dari cahaya keelokan DzatNya, kemudian
beliau mengutip sabda Nabi Saw, bahwa Nabi Saw bersabda “aku berasal dari
Allah Swt dan para mukminin berasal dariku”, jadi rûh yang dimaksud di dalam
al-Qur‟an yang merupakan sesuatu yang pertama yang diciptakan olehNya adalah
rûh Nabi Muhammad Saw, atau disebut dengan Hakikat Muhammadiyyah, yaitu
segala sesuatu yang ada bersumber kepada rûh Nabi Muhammad Saw. Dan
sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah makhluk yang paling sempurna baik
khalq (bentuk fisiknya) maupun khulûq (budi pekertinya), dan beliaulah satu-
miliki oleh seorang manusia sehingga menjadi manusia paripurna atau insân al-
kâmil sehingga dapat mewakili nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt di alam
dunia.
Ketika seseorang merenungi segala ciptaan Allah Swt di alam dunia ini, maka
akan timbul sebuah kekaguman atas segala sesuatu yang ada yang diciptakan
dengan sangat teratur dan indah, seperti matahari yang setiap hari bahkan detiknya
selalu berada di dalam poros nya tidak pernah berubah bahkan keluar sedikitpun.
Dan begitupun ciptaan Allah Swt yang lainnya, ketika manusia merenungi dan
memikirkannya maka tidak ada sesuatu yang diciptakan melainkan keindahan dan
Dan seluruh yang diciptakan di dunia ini bersumber dari satu cahaya, yakni
insân kâmil atau manusia paripurna, manusia yang mewakili nama-nama dan
potensi yang dia miliki, yakni Nabi Muhammad Saw penutup para Nabi dan
Rasul. Sebagaimana sabda beliau “awal sesuatu yang Allah Swt adalah rūḥku”.
Dan manusia sebagai elemen terpenting di alam dunia ini, sebagai pelaku dari
setiap kejadian yang terjadi di alam dunia, maka sudah barang tentu baik dan
memelihara alam ini, manusia sendiri mempunyai dua unsur dan dua sisi
kehidupan, yang unsur rûh yang mewakili sisi kebaikan dan yang kedua, unsur
yang menuju keburukan lalu ia memilihnya maka ia akan celaka. Sama halnya
ketika manusia diberikan potensi yang sempurna berupa akal, maka ia diberikan
pilihan mau tidak nya ia memaksimalkan potensi akal yang telah diberikan oleh
Allah Swt.
Fenomena yang terjadi di alam dunia ini, manusia yang diciptakan dari dua
mengabaikan unsur rûh maka akan berdampak buruk baginya dan lingkungannya,
nafsu yang cenderung memerintahkan akan keburukan, dan ketika manusia hanya
77
cenderung dengan unsur rûh dan mengabaikan unsurr jasad, maka akan
berdampak tidak baik juga, karena unsur rûh tidak didukung dengan kesehatan
jasmani maka tidak akan mampu menjalankan segala apa yang telah diperintahkan
oleh Allah Swt dan RasulNya. Dan banyak terjadi saat ini banyak manusia yang
lupa akan salah satu unsur pencipataannya, yakni unsur rûh. mereka rela
tingginya tahta dan jabatan baik dengan cara yang benar maupun dengan cara
yang tidak benar dan mengabaikan ibadah kepada Allah Swt, melupakan
hubungan yang harus di jalin dengan Allah Swt, melupakan hak-hak yang harus
ditunaikan dengan sesamanya yang lain, maka dampak negatif yang akan di
mempunyai banyak harta, jabatan yang tinggi dan yang laiinya, dikarenakan unsur
sehari-hari yang ia jalani, tidak ada rasa bersyukur dan rasa kebahagiaan yang
dirasakan.
Maka beliau menjelaskan makna rûh di beberapa ayat di dalam ayat al-Qur‟an
yang menunjukan arti kehdiupan, yakni bahwa rûh itu diciptakan dari rembusan
NamaNya dan Sifat-SifatNya, yang menjadi Khalifah di muka bumi ini, yang
dengan berbagai tahapannya dan sampai ke dalam jasad di alam dunia ini utntuk
menjadikan manusia lebih dekat di sisiNya nanti, dan tentunya hanya manusia
senantiasa menjaga dan melestarikan segala ciptaanNya di alam dunia ini dan
78
menjaga hak-hak sesamanya sehingga dapat mewakili nama dan sifatNya dan
Maka dengan didasarkan dengan fenomena saat ini, penulis mengajak kepada
para pembaca skripsi ini agar senantiasa selalu mengingat Allah Swt, senantiasa
mengingat dari apa kita diciptakan dan untuk apa kita diciptakan di alam dunia
ini, dan mari senantiasa kita manfaatkan segala potensi yang telah diberikan Allah
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pembahasan kata rûh di dalam al-Qur’an akan ditemukan arti yang berbeda,
dimana konteks yang berbeda dapat menghasilkan makna yang berbeda pada suatu
kata. Dengan menggunakan corak sufi dalam menafsirkan ayat-ayat mengenai rûh di
dalam al-Qur’an, tentu para mufassir yang menggunakan pendekatan seperti itu akan
mengungkap makna sisi lain dari literatur makan kata rûh itu sendiri, di dalam Tafsir
al-Jîlânî penulis menemukan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang bercorak
sufistik pada umumnya, ada beberapa kata rûh itu diartikan dalam arti yang lebih luas
Yang pertama, penulis menemukan arti rûh yang umumnya diartikan sebagai
penyebab kehidupan, diartikan dengan suatu dzat yang menyatu dengan jasad dan
menjadi sumber kehidupan, di dalam QS. al-Isra’(17) : 85, kemudian diartikan dalam
ayat lain, bahwa rûh itu adalah dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt,
dalam QS. al-Hijr(15) : 29 lalu dalam QS. as-Sajadah(32 ) : 9 , rûh adalah unsur yang
berasal dari Dzat Allah Swt atau yang mempunyai ikatan dengan dengan Dzat Allah
Swt, yang menghimpun segala sifat dan nama Allah Swt, agar senantiasa manusia
berakhlak dengan akhlakNya dan senantiasa menjaga hak-hakNya Allah Swt. Itu
beberapa arti dari kata rûh yang bermakna sebab kehidupan pada umumnya, di
samping ada kata rūḥ yang dirujukan kepada nabi Isa a.s, seperti di dalam QS. an-
Nisa(4) : 171, bahwa rûh (Isa a.s) itu adalah bentuk dari tajalliNya Allah Swt, yang
79
80
(kemanusiaan) ,yang menjadikan nabi Isa a.s mendapatkan berbagai mukjizat yang luar
biasa.
Yang kedua, makna kata rûh yang biasa diartikan sebagai malaikat Jibril a.s pada
tafsir umumnya, penulis menemukan arti yang lebih luas dalam menafsrikan kata rûh
yang bermakna malaikat Jibril a.s, seperti di dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, rûh al-
Quds diartikan sebagai malaikat Jibril a.s sebagai dzat yang suci dari segala sifat yang
buruk, lagi menipu. Juga di dalam QS. Maryam(19) : 17,diartikan sebagai dzat yang
murni dan bersih dari dari segala perumpamaan, dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Jibril
a.s diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih, tidak tercampur
dengan sifat nashûtiyah yang kuat. Dan di dalam QS. an-Nahl(16) : 102,diartikan
sebagai dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan dan keburukan. Kata rûh al-
Amin dalam QS. as-Syua’arâ(26) : 193 , yang bermakna Jibril a.s, dinamakan seperti itu
dikarenakan besarnya amanat atas wahyu ilahi yang harus disampaikan kepada orang
yang diturunkannya wahyu itu tanpa ada perubahan sedikit pun. Dan dalam ayat lain
dalam QS. an-Naba(78) : 38, rûh di artikan Jibril a.s sebagai wujud yang disandarkan
kepada bentuk yang luar biasa dari cahaya wujud yang hakiki (mutlak).
Yang ketiga, arti kata rûh dan rawh yang terdapat di dalam al-Qur’an yang
bermakna wahyu dan pertolongan serta ketentraman di dalam Tafsir al-Jîlânî sama
dengan kitab tafsir yang lain pada umumnya tanpa ada penjelasan yang lebih luas.
Maka kesimpulan yang penulis dapatkan dari pembahasan mengenai kata rûh di
dalam Tafsir al-Jîlânî, bahwa yang dimaksud dengan kata rūḥ di dalam al-Qur’an
seperti dalam QS. al-Isra’(17) : 85, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. as-Sajadah(32) : 9, dan
yang laiinya, adalah Nabi Muhammad Saw atau hakikat Muhammadiyah, karena
beliaulah manusia paripurna atau disebut insan kamil, manusia yang dapat
81
mempresentasikan seluruh sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt di muka bumi ini, dan
beliau segala sumber apa yang diciptakan oleh Allah Swt di seluruh alam.
B. Saran
Pembahasan mengenai persoalan tentang rûh memang sudah banyak sekali yang
melakukan kajian terhadapnya, baik dari kalangan muslim itu sendiri maupun non
muslim, hal yang sangat misterius sampai saat ini, akan tetapi seiringnya zaman yang
semakin berkembang dengan teknologi dan segala kemajuanya, harus dilakukan sebuh
kajian yang tidak melupakan akan hakikat sebenarnya kehidupan di alam dunia ini. dan
di dalam kajian tentang rûh ini masih banyak yang harus dikembangkan, dan masih
banyak akan kekurangan baik dari sistem penulisan, pembahasan maupun berbagai
referensi yang penulis gunakan. Maka kritik dan saran yang penulis harapkan dari
berbagai pihak, agar kajian seperti dapat diteruskan dan dikembangkan pada masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Al-Alusi, Abû Sana' Syihabuddin al-Sayyid Mahmûd Afandi. Rûh al-Ma'âni fi Tafsir al-
Qur'anul al-Azhim wa Sab'ûl al-Matsâni. Beirut : Dar al-Ihya, (1990).
Aziz, Muhammad Abdul al-Hillawi. Roh Itu Misterius. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2001.
Al-Bāni, Muhammad Fuâd Abdul. Al-Mu'jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur'ân al-Karîm.
Beirut : Dar al-Fikr. 1981.
Al-Ghazâli, Abû Hâmîd Muhammad bin Muhammad. Ihya al-Ulumuddin. Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1998.
Dzulfikar, Achmad. Keramat Al-Allamah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Depok : Keira
Publishing, 2015.
Al-Jîlânî,Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Tafsir al-Jîlânî al-Ghaus ar-Rabbâni wa al-Imam
as-Shamadâni. Beirut : Dar al-Kotob, 2014.
Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Al-Ghunyah li Thâriqil al-Haq Azza wa Jalla.
Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1971.
Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Sirrur al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr.Tangerang
: Ciliongok Press, 2012.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyīm. Ar-Ruh li Ibnil Qayyîm al-Jauziyyah. Beirut : Dar al-Qolam al-
Ilmiah, 1403 H.
82
83
Katsir, Abū al-Fadâ Ismail Ibn Katsir . Tafsir al-Qur'ân al-â'zhim. Beirut: Dar Tayyibah,
1999.
Manaqib Syekh Abdul Qâdir Al-Jîlânî Perjalanan Spiritual Sulthonul Auliya. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
Mandzûr, Abî Fadli Jamaluddin Muhammd bin Makram Ibnu. Lisân al-Arab. Beirut: Dar
Shâdir. 1990.
Musthofa, Agus Muhammad. Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh. Surabaya : Padma
Press, 2015.
As-Suyuthi, Al Imām Jalaluddin Abd Rahman Ibn Abi Bakr. Al-Itqân fi Ulûmil al-Qur'an.
As-Sakaky, Abu Hamas. Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Khatulistiwa Press, 2009.
As-Shalabi, Ali Muhammad. Biografi Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Jakarta: Beirut Publishing, 2015.
Ar-Râzi, Abû Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan At-Taimi. Mafâtih al-Ghaib. Beirut
: Dar al-Ihya, 1420 H.
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Surachman, Winarto Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik. Jakarta:
Tarsita, 1990.
Sya'rawi, Mutawalli Esensi Hidup dan Mati . Jakarta: Gema Insani, 2008.
84
Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Maha Dahsyat. Bandung: Pustaka Hidayah, 2004.
al-Zabîdi, Muhammad Murtadhâ al-Husaini. Tâjul al-Arûs min Jauhari al-Qur'ân. Beirut:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah. 1999.
Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munîr fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhâj. Beirut: Dar al-
Fikr, 2014.
Skripsi :
El-Rasyad, Ahmad Dhani. "Ruh Manusia dalam al-Qur'an dan Sains (Studi Korelatif
Fenomena Ruh Manusia Menurut Penafsiran M.Quraish Shihab dan Tantawi Jauhari
dengan Sains." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islan Negeri Sunan
Ampel, 2016.
Islami, Muhammad Iqbal ." Konsep Ruh dalam Perspektif Hadits (Pemahaman Hadits
tentang ruh dalam Kitab ar-Ruh Karya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah." Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.
Nurliati, Atti. "Ruh dalam al-Qur'an Analisis Penafsiran Prof.Dr.M.Quraish Shihab Atas
Surat al-Isra ayat 85." Skripi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Rahman, Abdul. "Ruh dalam Perspektif Imam Fakhruddin ar-Razi." Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, (2002)
Jurnal :
Damis, Rahmi. “Falsafah Manusia dalam al-Qur'an.” Sipakalabbi V.1, no.2 (2017).
Lestari, Lenna. “Epistemologi Corak Tafsir Sufi.” Jurnal Syahadah V.2 no.1 (April,2014).
Hakamah, Zaenatul. “Ruh dalam Perspektif al-Qur'an dan Sains Modern.” Universum V.9,
no.2 (Juli 2015).
Hermawan, Wawan. “Posisi Ruh dalam Realitas Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.” Syifa
al-Qulub V.1, no.2 (Januari 2017).
Masduqi, Irwan. “Menyoal Otentisitas dan Epitemologi Tafsir al-Jilani.” Jurnal Analisa V.19
no.1 (Januari-Juli,2012).
85
Rahim, Rohada Abdul. “al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah.” Jurnal Ushuluddin, Bil
26 (2007).
Website:
http ://KBBI.WEB.ID./ROH.HTML. Di akes pada tanggal 20 Juli 2018
http//PPSN.MALANG.PESANTREN.WEB.ID/CGIBIN/CONTENT.CGL/ARTIKEL/EKSIS
TENSI_RUSHINGARTIKELKEISLAMAN. Di akses pada tanggal 28 Juli 2018