Anda di halaman 1dari 100

Rûh Dalam al-Qur’ân

(Telaah Penafsiran Syekh‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-Jîlânî)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuludddin untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Muhammad Iman Maedi

NIM. 11140340000113

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2018 M
ABTRAK

Muhammad Iman Maedi


Rûh Dalam al-Qur’ân (Telaah Penafsiran Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-
Jîlânî)

Penelitian ini membahas tentang rûh di dalam al-Qur‟an dan juga berbagai masalah
seputar rûh dalam pandangan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, melalui kitab tafsirnya yang
berjudul Tafsir al-Jîlânî, seorang ulama kharismatik yang populer dengan gelarnya sulthonul
auliya atau rajanya para wali,dikarenakan kedalaman ilmu beliau dan pengalaman spritual
yang konsisten sampai kepada tingkat tertinggi dalam penghambaan. pendekatan penelitian
ilmiah ini menggunakan sudut pandang sufistik, yang dimana merupakan salah satu corak
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan melihat sisi lain dalam sebuah ayat yang
ditafsirkan baik melalui ilham maupun yang laiinya.
Di dalam al-Qur‟an kata rûh sering kali di ulang-ulang dalam ayat dan surat yang
berbeda, dan juga dalam konteks yang berbeda, sehingga makna kata rûh itu pun mempunyai
perbedaan arti sesuai dengan konteks ayat tersebut,pada satu ayat kata rûh itu diartikan
sebagai dzat atau sesuatu yang menyebabkan kehidupan, dan di ayat lain terkadang diartikan
sebagai malaikat jibril a.s sang pembawa wahyu dan sebagai perantara Allah Swt dalam
menyampaikan berbagai hal yang Allah Swt perintahkan ke alam dunia, dan pada ayat yang
lain kata rûh juga dapat diartikan sebagai wahyu atau al-Qur’an dan beberapa makna lainnya.
dan pembahasan lainnya mengenai ayat-ayat tentang rûh seperti perbedaan makna kata rûh
dengan kata nafs, permasalahan mengenai eksistensi rûh , dan macam-macam perrmasalahan
laiinya mengenai rûh yang perlu untuk didiskusikan dan dikaji kembali dalam satu kajian
khusus.
Dalam hal ini penulis mengkaji tentang rûh di dalam al-Qur‟an melalui sudut
pandang penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî, karena ketika para mufassir yang
menafsirkan kata rûh di dalam al-Qur‟an lebih mengedepankan kepatuhan atas sebuah
keterangan yang menyatakan bahwa pengetahuan mengenai rûh adalah domain yang hanya
Allah Swt miliki, tanpa menginterpretasikan sisi lainnya. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî
menafsirkan kata rûh dengan sisi laiinya dengan tidak melupakan bahwa rûh itu adalah
domain yang hanya Allah Swt ketahui. Dan penulis juga mengkorelasikan antara penafsiran
Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dengan salah satu kitab sufistik nya yang berjudul Sirrur al-
Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang memuat berbagai pengetahuan mengenai rūḥ dan
menyingkap berbagai masalah seputar rûh, seperti hakikat muhammadiyah, nur
muhammadiyah dan yang laiinya.
Jadi penulis menemukan arti kata rûh dalam makna yang lebih luas seperti rûh
diartikan sebagai dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt, yang mempresentasikan
seluruh nama-namaNya dan sifat-sifatNya di alam dunia. Kemudian, arti kata rûh yang
bermakna Jibril a.s, yang diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih,
tidak tercampur dengan sifat nashûtiyah yang kuat, dan makna laiinya.

Kata kunci: Rūḥ, Nafs, Dzat, Jibril a.s, Wahyu, Hakikat Muhammadiyah.

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt adalah kalimat yang patut dalam

mengawali kata pengantar ini, dengan segala ni‟mat, hidayah dan inayah dariNya yang

senantiasa mengiringi penyelesaian skripsi ini, berbagai kemudahan, keberkahan dan

kesenangan adalah karunia yang wajib untuk disyukuri. Sholawat serta salam juga semoga

tercurahkan kepada panutan seluruh manusia, manusia yang paling sempurna yakni Nabi

Muhammad Saw, kepada keluarga, sahabat, tabi‟in dan para umatnya sampai hari kiamat

nanti.

Dengan rasa penuh syukur dan bahagia atas segala hidayah Allah Swt dalam

penulisan skrispi ini dari awal dan sampai akhir penulisan, penulis selalu ingat terhadap satu

hadits dari Rasulullah Saw yang mengatakan “Barang siapa yang tidak bersyukur kepada

manusia, berarti ia tidak bersyukur kepada Allah Swt”, karena tanpa bantuan dari pihak lain

maka akan sulit skripsi ini diselesaikan tepat dalam waktunya. Maka penulis ingin

menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansur, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf pembantu

dekan.

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qur‟an

dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.pd., selaku Sekretaris Program

Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir UIN Jakarta.

ii
4. Bapak M. Anwar Syarifuddin, S.Ag.MA., selaku dosen pembimbing skripsi yang

tak pernah lelah dalam memberikan motivasinya dan arahan yang terbaik untuk

penulis, juga yang selalu sabar dalam membimbing penulisan skripsi ini sampai

akhir penulisan dengan dedikasi yang terbaik.

5. Segenap jajaran para dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu tetapi

tidak menghilangkan rasa hormat dan bangga penulis.

6. Kedua Orang Tuaku yang tercinta, ayahanda Edi Kusnanto yang tak pernah lelah

dan bersabar dalam mendidik anaknya untuk menjadi yang lebih baik, dan Ibunda

Maesaroh yang selalu mendukung dan memberikan nasihat yang terbaik, tanpa

do‟a dan dukungan dari keduanya niscaya penulis tidak akan mampu

menyelesaiakan penulisan skiripsi ini.

7. Kepada guru-guruku yang selalu mendoa‟kan penulis , juga saudara-saudara ku, di

kampung setu maupun yang di kampung gobang dan terkhusus untuk kakaku dan

adikku yang di alam surga sana, skripsi ini didedikasikan untukmu dan akan

menjadi motivasi dalam hidupku dalam membahagiakan orang tua kita.

8. Semua teman-teman IQTAF 2014 yang penulis banggakan dan semoga selalu

dalam lindungan Allah Swt, juga teman-teman KKN PETA 2017 yang senantiasa

memotivasi penulis dalam menyelsaikan studi.

9. Dan Juga kepada keluarga Ponpes Riyadhul Mufakkirin Bogor, komunitas Fakta

Bahasa Jaksel, Volunteer Asian Games 2018, bekasi yang selalu mensupport dan

mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan tak akan lupa segala

kenangan yang tak terlupakan.

10. Dan terkahir untuk my best friend Iip, Gepeng, Sona, Bongsang, Bewok, Indry,

Jalal Syehu, Jundi, My boss, Rusli, Mujahidin dan laiinya yang selalu mendorong

iii
agar skrispi ini cepat kelar dan untuk my best patner dalam kehdiupan yang tidak

bisa disebutkan namanya, tapi hanya ucapan terimakasih kepada semua yang

dapat penulis haturkan.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak akan

kekuranganya, kesalahan dan yang laiinya, maka dari itu penulis mengaharapkan

dari segala pihak yang membaca skripsi ini dapat memberikan saran, kritikan yang

membuat skripsi ini jauh lebih baik nantinya. dengan memohon ridho dari Allah

Swt, semoga skripi ini akan bermanfa‟at khusunya bagi penulis dan umumnya

untuk para pembaca di dunia dan di akhirat. Āmīn ya rabbal ālamīn....

Ciputat, 09 Oktober 2018

Muhammad Iman Maedi

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................ i

KATA PENGANTAR................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah..................................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................................................... 7

D. Kajian Pustaka........................................................................................................ 8

E. Metodologi Penelitian............................................................................................. 10

F. Sistematika Penulisan.............................................................................................. 10

BAB II PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI DAN PROFIL SINGKAT

TAFSIR AL-JÎLÂNÎ

A. Perkembangan Tafsir Sufi.................................................................................... 12

B. Profil Tafsir al-Jîlânî............................................................................................ 18

C. Metode dan Metode Tafsir al-Jîlânî.................................................................... 23

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RŪḤ DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Rûh di dalam al-Qur’an.............................................................................. 25

B. Perbedaan Rûh dengan Nafs.................................................................................... 36

C. Ayat-Ayat Tentang Rûh dalam al-Qur’an................................................................ 43

v
BAB IV PENAFSIRAN RȖH DALAM AL-QUR’AN MENURUT ‘ABDUL
QÂDÎR AL-JÎLÂNÎ DALAM TAFSIR AL-JÎLÂNÎ

A. Pengertian Kata Rûh dalam al-Qur’an.................................................................. 52

B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr

al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr........................................................................... 69

C. Relevansi Penafsiran Rûh ‘Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................................................................ 79

B. Saran...................................................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 82

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Pengetahuan tentang ketentuan ini harus diketahui dan dipahami, tidak saja
oleh mahasiswa yang akan menulis tugas akhir, melainkan juga oleh dosen,
khususnya dosen pembimbing dan dosen penguji, agar terjadi saling kontrol
dalam penerapan dan konsistensinya.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama.

1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ Tidak dilambangkan

‫ب‬ B Be

‫ت‬ T Te

‫ث‬ Ts Te dan es

‫ج‬ J Je

‫ح‬ H H dengan garis bawah

vii
‫خ‬ Kh Ka dan Ha

‫د‬ D De

‫ذ‬ Dz De dan zet

‫ر‬ R Er

‫ز‬ Z Zet

‫س‬ S Es

‫ش‬ Sy Es dan Ye

‫ص‬ S Es dengan garis di bawah)

‫ض‬ D De dengan garis di bawah)

‫ط‬ T Te dengan garis di bawah)

‫ظ‬ Z Zet dengan garis di bawah

‫ع‬ ‘
Koma terbalik di atas hadap
kanan
‫غ‬ Gh Ge dan ha

‫ف‬ F Ef

‫ق‬ Q Ki

‫ك‬ K Ka

‫ل‬ L El

‫م‬ M Em

‫ن‬ N En

‫و‬ W We

‫ه‬ H Ha

‫ء‬ ` Apostrof

‫ي‬ Y Ye

viii
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷ‬ a Fathah

‫ﹻ‬ i Kasrah

‫ﹹ‬ u Dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai


berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷي‬ ai a dan i

‫ﹷو‬ au a dan u

3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ﹷﺎ‬ â a dan garis di atas

ْ‫ﹻﻲ‬ î i dan garis di atas

‫ﹹﻮ‬ û u dan garis di atas

4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah
maupun huruf kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.

ix
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydīd dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata (‫ )الضرورة‬tidak ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah,
demikian seterusnya.

6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫طريقة‬ Ṯarîqah

2 ‫اجلﺎمعة اإلسالمية‬ al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah

3 ‫وحدة الﻮجﻮد‬ Wahdat al-wujûd

7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû
Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi.

x
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

‫ذهب األستﺎد‬ Dzahaba al-ustâdzu

‫ثبت األجر‬ Tsabata al-ajru

‫احلركة العصرية‬ Al-harakah al-‘asriyyah

‫أشهد أن ال إله إال اهلل‬ Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh

‫مﻮالنﺎ ملك الصﺎحل‬ Maulânâ Malik al-Sâlih

‫يؤثركم اهلل‬ yu`atstsirukum Allâh

‫املظﺎهر العقلية‬ Al-maẕâhir al-‘aqliyyah

Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd;
Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Rahmân.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, antara ilmu, filsafat dan agama terjalin menjadi

satu, tidak terpisah antara satu sama lain. Apa yang tidak bisa ditembus oleh ilmu,

akan diteruskan oleh filsafat dan apa yang tidak ditembus oleh filsafat diteruskan

oleh agama.1

Al-Qur‟an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt melalui

Rasul-Nya yang berisi tuntunan dalam sendi-sendi kehidupan sekaligus sebagai

sumber utama dalam hukum islam serta menjadi pedoman dalam kehidupan

beragama. Maka, ketika seorang muslim ingin melakukan sebuah penelitian

terhadap hal yang berkaitan dengan agama, maka harus dikembalikan kepada al-

Qur‟an dan as-Sunnah. Seperti halnya ketika membicarakan tentang manusia,

sebagai material terpenting di dunia ini dan sebagai pelaku dari setiap hal apapun

yang terjadi di dunia, maka al-Qur‟an menjelaskan banyak perihal penting

mengenai manusia itu sendiri mulai dari awal penciptaanya hingga pada akhir

hidup nya.

Ketika Allah Swt berfirman dalam al-Qur‟an, yang menyatakan

bahwasanya manusia itu diciptakan dari dua unsur yakni jiwa dan raga atau

jasmani dan rohani. Maka dari hal ini manusia tidak hanya dapat mementingkan

salah satu dari dua aspek tersebut, seperti hanya mementingkan aspek jasmani

mengabaikan aspek rohani atau pun sebaliknya mementingkan aspek rohani dan

1
. Halimuddin, Kehidupan di Alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 5.

1
2

mengabaikan aspek jasmani, akibatnya manusia tidak akan mencapai tujuan dari

maksud penciptaanya. Dan dari kedua unsur tersebut, unsur rûh atau rohani lah

yang dahulu diciptakan, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam QS al-A‟râf(7) :

11.

           

    

“ Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami


bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat:
"Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud”.(QS Al-A‟râf(7) : 11)

Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa diciptakan

Adam itu (dalam bentuk arwah ) bersamaan dengan diciptakannya Malaikat.2 Dan

menurut Plato jiwa/ rûh itu bersifat baka, dalam arti bahwa jiwa/ rûh tidak akan

mati pada saat kematian badan (immortal), melainkan juga bersifat kekal, karena

ada sebelum hidup di bumi ini. Jiwa sudah mengalami pra-eksistensi, di mana ia

memandang ide-ide.3

Pada saat lain juga manusia sebagai mahkluk yang diciptakan dari dua

unsur rûh dan badan harus berinteraksi dengan sesamanya yang lain (Hablum min

nannâs) dan juga berinteraksi dengan Sang PenciptaNya yaitu Allah Swt

(Hamblum minallah). Adapun ayat lain yang menyatakan bahwa unsur rûh yang

pertama kali di ciptakan, di jelaskan dalam QS. al-A‟râf(7) : 172

2
Halimuddin, Kehidupan di alam Barzakh ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h.10.
3
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1999), h.137.
3

             

               

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-


anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)".(QS al-A‟raf(7) : 172)

Ayat di atas dengan jelas menyatakan, bahwa manusia ketika berada di

tahap awal penciptaan nya yakni di alam rûh bersaksi, bahwasannya mereka akan

mengakui Allah Swt sebagai Tuhannya kelak di dunia, dan kesaksian tersebut

terjadi antara mereka dengan Allah Swt ketika berada di alam rûh, adapun ketika

mereka berada di dunia maka sebagian dari mereka ada yang mengakui dan

bersaksi bahwasanya Allah Swt sebagai Tuhannya dan sebagian dari mereka tidak

mengakui dan bersaksi bahwa Allah Swt sebagai Tuhannya.

Perihal mengenai rûh itu sendiri memang masih menjadi misteri sampai

saat ini baik di kalangan para ilmuan maupun di masyarakat itu sendiri. Ketika

para Filusuf dan para Ahli Tafsir bersilang pendapat mengenai hakikat rûh itu

sendiri dan menjadikan pembahasan mengenai rûh menjadi hal yang teramat sulit

untuk dikupas tuntaskan. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam QS. al-

Isrâ‟(17) : 85

               

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh


itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".(QS. al-Isra‟(17) : 85)
4

Dalam ayat di atas Allah Swt menyatakan bahwasanya domain mengenai

rûh itu merupakan hak priogatifNya yang tidak dapat diketahui, hanya Allah Swt

yang mengetahuinya. Akan tetapi para Ahli Tafsir berbeda pendapat mengenai

hakikat rûh dalam ayat di atas pada penggalan kalimat “Dan tidaklah kamu di

beri pengetahuan melainkan sedikit”. Sebagian Ahli Tafsir berpendapat

bahwasannya ada ruang yang terbuka dalam mengetahui hakikat rûh itu sendiri

sekalipun terbatas dalam mengetahuinya. Dan sebagian ahli tafsir lain

berpendapat bahwasanya tidak ada ruang dalam mengetahui hakikat rûh.4 Dan

pendapat yang kedua, berdasarkan Hadits yang di riwatkan oleh Ibn Mas‟ûd yang

berbunyi:

‫م ان يتكلم فيها وال ان‬.‫ ض قال ومل يؤذن لرسو ل اهلل ص‬.‫حديث ابن مسعود د‬
)‫يقول الروح من امر ريب (متفق عليه‬

“Hadits Ibnu Mas‟d r.a katanya, kami tidak di izinkan oleh nabi
Saw membicarakan masalah arwah. Jangan di tambah firman tuhan yang
berbunyi‟ roh itu itu urusan tuhanku (mutafaq alaih).”

Dan ketika sebagian para Ahli Tafsir yang menyatakan bahwa rûh dapat

ditafsirkan secara luas, maka mereka mencoba menyingkap hakikat rûh yang

dijelaskan dalam al-Qur‟an, sehingga terjadi berbagai macam definisi dan makna

dari kata rûh tersebut. salah satunya yang dikemukakan oleh al-Qusyairî yang

mengatakan bahwasanya rûh adalah jisim yang halus bentuknya (sebagaimana

Malaikat dan Iblis ) yang merupakan tempat ahlak terpuji.5 rûh sebagaimana di

4
Abu al-Fadâ Ismâil Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur‟ânul al-„Azhîm (Beirut : Dar
Tayyibah,1999), h.177.
5
Nassirudin, Pendidikan Tasawuf (Semarang : Rasail, 2010), h.51.
5

tegaskan kepada kita, adalah unsur terakhir yang masuk dalam tubuh manusia

(saat proses penciptaan).6

Setelah rûh sebagai unsur yang diciptakan oleh Allah Swt yang lebih

dahulu, maka kemudian rūḥ tersebut disematkan kedalam badan atau jasmani

dan mengalami tahap-tahap berikutnya yang dijelaskan dalam QS. al-Hajj(22) : 5

                

                

            

              

          

“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan


(dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal
darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan
yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami
tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang
sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian
(dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di
antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini
kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-
tumbuhan yang indah”.(Q.S Al-Hajj(22) : 5)

Dan ketika unsur rûh dan Jasmani bersatu padu dan berada di dunia, maka

ada dua sisi unsur yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, yakni ketika

unsur rûh yang begitu sakral dan suci, yang ketika awal diciptakan

6
Mutawalli Sya‟rawi, Esensi Hidup dan Mati ( Jakarta: Gema Insani,2008),
h.21.
6

bermukallamah dengan Allah Swt, bersatu dengan jasad atau unsur jasmani yang

mempunyai nafsu yang beraneka ragam dan salah satunya lebih cenderung

mendorong terhadap keburukan sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yusuf(12) : 53

                 

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena


Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang”.(Q.S Yusuf(12) : 53)

Dan fenomena saat ini, banyak sekali manusia yang lupa akan hakikat

dirinya, hakikat awal penciptaanya dan lebih cenderung kepada hal buruk yang

diinginkan oleh nafsunya sehingga banyak terjadi pembunuhan, kejahatan dan hal

yang buruk lainnya, sehingga melupakan untuk apa mereka diciptakan dan untuk

apa mereka hidup di dunia ini, yang hakikat nya sebagai bagian dari tahap

kehidupannya yang masih akan berlanjut ke tahap berikutnya. Dan berdasarkan

dari masalah tersebut dan masih adanya ruang penafsiran mengenai makna rûh

maupun hakikat rûh dalam al-Qur‟an maka penulis ingin membahas persoalan

hakikat rûh ini yang dijelaskan oleh imam nya para wali yakni Syeikh „Abdul

Qâdir al-Jîlânî dalam judul :“RUH DALAM AL-QUR‟AN; TELAAH

PENAFSIRAN SYEKH „ABDUL QADIR AL-JILANI DALAM TAFSIR AL-

JILANI” Meliputi pengertian rûh itu sendiri dan bagaimana makna dan hakikat

rûh dalam al-Qur‟an Yang dijelaskan secara teratur dalam kitab Tafsir al-Jîlânî

karangan„Abdul Qâdir al-Jîlânî.

Dengan tulisan ini penulis berharap bahwa masyarakat dapat memahami

makna rûh itu sendiri dan hakikatnya,sehingga mereka tidak akan cenderung

hanya kepada kehidupan yang sedang dijalaninya di dunia tetapi memahami


7

mengenai hakikat rûh dan konsep rûh, dan akan kemana rûh tersebut serta

menjelaskan sisi lain dari berbagai hal yang berkaitan dengan rûh.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis hanya membahas sebagian dari

sekian banyaknya kajian mengenai rûh yang dapat dibahas. akan tetapi, penulis

memilih pembahasan yang pokok dan lebih penting untuk dibahas. maka penulis

membatasi dan merumuskan masalah yakni Bagaimana „Abdul Qâdir al-Jîlânî

menafsirkan ayat-ayat mengenai rûh dalam al-Qur‟an.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada dua tujuan pokok dari skripsi mengenai rûh dalam al-Qur‟an ini,

yakni secara teoritis maupun praktis, disamping untuk mengetahui hakikat rûh itu

sendiri dan bagaimana rûh yang dijelaskan dalam al-Qur‟an oleh „Abdul Qâdir al-

Jîlânî.

Dan semua dari tujuan penelitian ilmiah ini dirinci sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Mengetahui makna rûh dalam al-Qur‟an.

b. Mengetahui penafsiran ayat tentang rûh menurut oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî.

c. Mengetahui penjelasan mengenai rûh dan relevansi dengan kehidupan sehari-

hari yang dijelaskan oleh„Abdul Qâdir al-Jîlânî.

2. Secara Praktis

a. Mengetahui berbagai masalah mengenai rûh dan relevansinya.

b. Sebagai referensi bagi Akademisi yang ingin melakukan kajian mengenai rûh

dalam penelitian maupun bacaan tersendiri.


8

c. Menyumbang khazanah ilmiah mengenai rûh dalam al-Qur‟an pada karya-karya

ilmiah di lingkungan Akademisi dan masyarakat umumnya.

D. Kajian Pustaka

Dalam dunia akademisi ketika seorang peneliti akan membahas suatu

penelitian maka hendaknya terlebih dahulu mencari karya ilmiah sebelumnya,

yang berkaitan dengan tema atau judul yang akan diteliti guna sebagai acuan

dalam melakukan penelitian baik dari segi metode, sumber penelitian,

penyusunan dan laiinya. Maka penulis mencoba melakukan kajian pustaka dan

menemukan beberapa karya ilmiah yang telah membahas mengenai rûh di

antaranya:

1. Rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran Prof.Dr. M. Quraish Shihab atas QS.

al-Isrâ‟ ayat 85. penelitian ini berbentuk skripsi yang ditulis oleh Atti Nurliati

Fakultas Ushuluddin program Tafsir Hadits, adapun perbedaan penelitian

dengan skripsi yang di tulis oleh penulis yakni dalam perspektif tokoh yang

berbeda dan pada konsep, rûh skripsi “rûh dalam Al-Qur‟an analisis penafsiran

Prof.Dr. M. Quraish shihab atas QS. al-Isrâ‟ ayat 85” mengemukan pendapat

Quraish shihab mengenai rûh dan memberikan penafsiran ulama yang lain

mengenai rûh sedangkan skripsi penulis dengan judul rûh dalam al-Qur‟an

telaah penafsiran „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir al-Jîlânî yang menjelaskan

makna rûh menurut beliau dan sekaligus menjelaskan konsep dan relevansi rûh

dalam al-Qur‟an yang dijelaskan oleh beliau di dalam kitab Sirrūr al-Asrâr wa

Mazharul al-Anwâr.

2. Rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi penelitian ini juga berbentuk

skirpsi oleh Abdul Rahman Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits tahun
9

2002 yang perbedaan nya terletak pada objek penelitian yang dibahas secara

umum dan spesifik, skripsi rûh dalam perspektif Imam Fakhruddin ar-Râzi

membahas secara umum tanpa merujuk pada ayat tertentu dalam al-Qur‟an.

3. Konsep rûh dalam perspektif hadits (Pemahaman hadits tentang rûh dalam kitab

ar-Rûh karya Ibnu al-Qayyim Al-Jauziyah). Karya ilmiah ini berbentuk skripsi

oleh M.Iqbal Alam Islami Fakultas Ushuluddin tahun 2010. Perbedaan dengan

skripsi penulis terletak pada objek kajian dan pembahasan rûh dalam al-Qur‟an

dan Hadits.

4. Rûh manusia dalam al-Qur‟an dan Sains (studi korelatif fenomena manusia

menurut penafsiran M.Quraish shihab dan Tantawi Jauhari dalam sains). Karya

ilmiah ini berbentuk skripsi oleh Ahmad Dani El-Rasyad Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2016 dalam skripsi ini

membahas rûh dalam perspektif sains dan membandingkan dengan penafsiran

ulama tersebut di dalam al-Qur‟an mengenai rûh dan perbedaaan dengan skripsi

yang penulis akan tulis dari sisi topik pembahasan mengenai rûh yang lebih

fokus kepada pengertian rûh dan hakikat rûh menurut„Abdul Qâdir al-Jîlânî.

5. Rûh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains modern, karya ilmiah ini berbentuk

jurnal oleh Zaenatul Hakamah yang membahas seputar masalah rûh dan

relevansi nya dengan sains modern yang berkembang di zaman ini dan

membahas mengenai definisi rûh dari sisi sains. Dan perbedaan dengan skripsi

penulis pada sisi relevansi rûh yang dikaitkan pada kehidupan sosial masyarakat

saat ini dan makna rûh itu sendiri. Dan banyak lagi Karya-Karya ilmiah baik

berupa artikel, jurnal dan yang laiinya yang berkaitan mengenai rûh. Tetapi
10

penulis disini lebih memfokuskan terhadap pembahasan rûh dan persoalannya

menurut„Abdul Qâdir al-Jîlânî.

E. Metedologi Penelitian

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan metode Peneletian

Kepustakaan (Library Reseach) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan

menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan, maupun

laporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.7 Dan dalam pengumpulan data

mengenai konsep rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî penulis menggunakan data

primer dalam hal ini kitab Tafsir al- al-Jîlânî karya „Abdul Qâdir al-Jîlânî dan

kemudian menggunakan data sekunder yakni buku-buku karangan„Abdul Qâdir

al-Jîlânî, skripsi, artikel-artikel, jurnal dan makalah yang berkaitan dengan topik

pembahasan.

Dan dalam tehnik pembahasan dalam skrispi ini penulis mengunnakan

metode Deskriptif Analitis yaitu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun

data dan kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.8 Maka penulis akan

mengemukakan penjelasan mengenai makna rûh dan hakikat rûh menurut

„Abdul Qâdir al-Jîlânî kemudian dianalisis oleh penulis. Adapun teknik dalam

penulisan skripsi ini berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi,tesis dan

disertasi UIN Jakarta 2017.

F. Sistematika Penulisan

7
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya
Jakarta:Ghalia,2002), h. 11.
8
Winarto Surachman, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik
(Jakarta : Tarsita, 1990), h. 139.
11

Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan terdapat sub-sub bab, disetiap bab

nya. Satu bab dengan bab yang yang lain saling berkorelasi. Adapun sistem

penulisan ini sebagai berikut:

Bab I: Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, metedologi penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II: Terdiri dari ,Biografi„Abdul Qâdir al-Jîlânî,Sejarah Intelektual„Abdul

Qâdir al-Jîlânî, Karakteristik Pemikiran „Abdul Qâdir al-Jîlânî dan Karya-Karya

Ilmiahnya.

Bab III: Membahas rûh dalam al-Qur‟an, Ayat-Ayat Tentang rûh dalam al-

Qur‟an ,Penafsiran Makna rûh dalam Al-Qur‟an

Bab IV: Pengertian Kata rûh oleh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsirnya ,

Relevansi Penafsiran Ayat Tentang rûh dengan Konsep rûh dalam kitab Sirrûr

al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, Relevansi Penafsiran rûh „Abdul Qâdir al-

Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari.

Bab V : Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-Saran.


BAB II

PERKEMBANGAN TAFSIR SUFI DAN PROFIL SINGKAT TAFSIR AL-

JÎLÂNÎ

A. Perkembangan Tafsir Sufi

Tafsir secara bahasa mengikuti wajan taf‟îl )‫ (تفعيل‬berasal dari kata

fa)‫(ف‬,sa)‫(س‬,ra)‫(ر‬, yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau

menerangkan makna yang abstrak,di dalam kitab Lisânul al-Arab kata al-Fasr

diartikan menyingkap sesuatu lafadz yang musykil atau pelik.1 Sedangkan kata

tafsir secara istilah diartikan sebagai “Ilmu dalam memahami kitab Allah Swt

yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dalam menjelaskan maknanya

dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya.2

Dan perkembangan tafsir dari dulu sampai sekarang dilakukan empat cara

atau metode yaitu ijmali (global), tahlili (analitis), muqarrin (perbandingan),

maudhui (tematik). Menurut Baidan, metode ijmali merupakan metode tafsir yang

pertama kali muncul, dengan alasan bahwa Nabi Saw dan para sahabat

menafsirkan al-Qur‟an secara ijmali tidak memberikan rincian yang memadai,

kemudian metode tahlili adalah metode yang ada setelah ijmali dengan

mengambil bentuk al-Ma‟tsur yang kemudian berkembang menjadi bentuk al-

ra‟yi. Bentuk terakhir inilah yang berkembang pesat sehingga mengkhusukan

kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fiqh, tasawuf, bahasa dan laiinya.3

1
Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-„Arab (Beirut :
Dar Shadir,1990), vol.2 juz.5 h.156.
2
Manna Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an (Jakarta : PT.Pustaka Litera
AntarNusa,2015), h.28
3
Nasruddin Baydan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2000), h.3

12
13

Dan penulis di sini menggunakan pembahasan rûh dalam dimensi tasawuf

menurut „Abdûl Qâdir al-Jîlânî4 dalam Tafsir al-Jîlânî, timbulnya tasawuf dalam

islam karena belum merasa puasnya segolongan umat islam dalam mendekatkan

diri kepada Allah Swt, mereka ingin merasa lebih dekat lagi dengan Tuhan

dengan cara hidup menuju Allah Swt dan membebaskan diri dari ketertarikan

mutlak pada kehidupan duniawi. Al-Dzahabi membenarkan bahwa praktik

tasawuf semacam di atas telah dikenal sejak awal islam, Nabi Muhammad Saw

merupakan orang yang pertama kali mencotohkan praktik kehidupan sederhana,

banyak di antara sahabat yang melakukan praktik tasawuf yaitu hidup dalam

zuhud dan ibadah laiinya. Pada angkatan berikutnya yakni abad ke-2 Hijriyah dan

seterusnya secara berangsur-angsur kehidupan dunia menjadi lebih berat, ketika

itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup

sederhana lebih dikenal dengan kaum suffah. Pada masa ini pulalah istilah

tasawuf dikenal.5

Praktik-praktik zuhud yang dilakukan ulama angkatan I dan II berlanjut

sampai masa pemerintahan Abbasiyah (4 H), ketika itu umat islam mengalami

kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat

pola kehidupan mewah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami

4
„Abdul Qâdir al-Jîlânî nama lengkapnya adalah Syeikh Muhyiddīn Abū Muhammad
„Abd al-Qâdîr bin Shâlih Mûsa Zangi Dost bin „Abdullah bin Yahyâ az-Zâhid bin Muhammad bin
Dâud bin Mûsa bin „Abdullah bin Mûsa al-Juwaini bin „Abdullah al-Mahdi bin Hasan al-Matsani
bin Hasan bin Ali bin Abi Muthalib R.A,. Beliau juga di nasabkan kepada al-Majal bin Hasan al-
Mutsanna bin Ali bin Abi Thalib. Beliau lahir pada 2 Ramadhan 470 H (1077-1078) di Negeri
Jīlan yaitu sebuah daerah terpencil dibelakang Thabaristan. kini termasuk wilayah Iran. Daerah
tersebut juga biasa disebut dengan Kaila dan Kailāni serta dinisbahkan dengan Jailī, Jîlānī dan
Kailānī. Tahun kelahirannya ini didasarkan atas ucapannya kepada putranya bahwa ia berusia 18
tahun ketika tiba di Bagdad, bertepatan dengan wafatnya seorang ulama terkenal, al-Tamimi, pada
488 H.
5
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
14

perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup sederhana saja, tetapi

mulai ditandai dengan berkembanganya suatu cara penjelasan teoritis yang kelak

menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut dengan ilmu tasawuf. Pada masa ini

tasawuf mengalami pencampuran dengan filsafat dan kalam, sehingga muncullah

apa yang dikenal dengan tasawuf falsafi, nazari dan tasawuf amali. Tasawuf

nazari yaitu yang menjadikan tasawuf sebagai kajian dan pembahasan. Adapun

tasawuf amali yaitu tasawuf yang dibangun dengan prakti-praktik zuhud kepada

Allah Swt.

Berdasarkan pemetaan Abdul Mustaqim, tafsir corak sufi termasuk dalam

tafsir yang muncul pada abad pertengahan (sekitar abad ke-3 H sampai abad ke-

4/5 H). Hal ini ditandai dengan bergesernya tafsir bil ma‟thur menjadi bil al-ra‟yi.

Dilihat dari pemetaaan ilmu tafsir secara umum, posisi tafsir sufistik terbagi

menjadi tiga, yaitu berdasarkan bentuk penafsiran, metode penafsiran, dan corak

penafsirannya. Berdasarkan pembagian ini, maka dapat dikatakan bahwa bentuk

penafsiran sufistik adalah tafsri bil al-ra‟yi. Metode yang mayoritas digunakan

dalam menyajikan hasil penafsirannya adalah metode tahlili. Sedangkan

contohnya adalah corak sufi atau tasawuf yang dominan digunakan dalam

tafsirnya. Dan corak tafsir yang lahir akibat dari timbulnya gerakan-gerakan sufi

sebagai reaksi dari kecenderungan dari berbagai pihak terhadap materi, telah

mempunyai ciri khusus dan karakter yang membedakanya dengan tafsir lain.6

Sebagian ulama membagi tasawuf menjadi dua bagian, yaitu tasawuf

nazari (teoritis) dan tasawuf amali (praktis). Tasawuf nazari adalah tasawuf yang

berdasarkan pada wacana analisis dan studi kajian. Sedangkan tasawuf amali

6
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 10
15

adalah tasawuf yang bersndar pada sikap meninggalkan kesenangan duniawi dan

zuhud serta mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah Swt. Tafsir corak ini

dapat ditemukan untuk meligitimasi poin-poin ajaran sufi yang plural dan juga

dalam kitab-kitab metodologi tafsir yang menafsrikan al-Qur‟an dari abgian awal

hingga paling akhir supaya lingkaran pemikirannya dapat berjalan sistematis.

Porsi terbesar yang cukup mencolok dalam literatur awal corak ini yang dapat

diajukan produknya dari tafsir al-Qur‟an adalah tafir al-Qur‟an al-„Azhîm karya

Sahl al-Tustari (w. 276 H) yang masih tersimpan dalam bentuk tulisan tangan

(manuskrip). Selain itu juga kitab tafsir yang paling menonjol dalam disiplin tafsir

sufi terutama karakteristiknya yang tersebar luas dunia islam, yaitu kitab tafsir

sarjana sufi Andalusia Muhyiddin Ibn Arabi (w. 638 H). Kitab Tafsir al-Futûhât

beliau beberapa kali telah mengalami cetak ulang di timur tengah. Selain itu juga

ada kitab Haqâîq al-Tafsir karya al-Salami, kitab al-Raîs al-Bayân fi Haqâiq al-

Qur‟an karya Abî Muhammad as-Syairâzi. Dan kitab tafsir al-Ta‟wîlât al-

Nazmiyah karya an-Najm al-Din Dayah dan Ula al-Daulah al-Samani. Ada satu

karya laiinya yang dikenal sebagai tafsir sufi, yaitu tafsir Ruh al-Ma‟âni karya Al-

Alusi, Namun al-Dhahabi dikutip juga oleh Abdul Mustaqim mengatakan bahwa

tafsir ini termasuk kitab corak tafsir bil al-ra‟yi al-mahmûd dengan metode tahlili,

meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai kitab tafsir bercorak

sufi. Kemudian ada kitab Latâif al-Isyârat karya Abdul Karîm Ibn Hawazan Ibn

Abd Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad al-Qusyairi. Kitab ini dinilai positif oleh

para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang, selalu berusaha

mempertemukan antara syariat dan hakikat serta steril dari ideologi mazhab

tertentu.
16

Adapun kategorisasi corak tafsir sufi terbagi menjadi dua, yaitu tafsir sufi

nazari sebagai turunan tasawuf nazari (aliran yang berusaha menemukan wujud

Tuhan dalam makhluknya) dan tafsir sufi al-Isyari sebagai turunan dari tasawuf

amali (aliran yang berusaha lebih dekat dengan Allah Swt, bahkan ingin

menyatu.7

Pengertian tafsir sufi nazari adalah tafsir yang berpegang pada metode

simbolis yang tidak berhenti hanya pada aspek kebahasaan saja, tafsir ini sering

digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari kalangan ahli sufi. Al-

Dhahabi memeberikan beberapa kriteria dalam penafsiran nazari, yaitu:

1. Menjadikan teori filsafat sebagai asas (dasar) dalam penafsiran ayat-ayat al-

Qur‟an.

2. Memberikan perumpamaan terhadap sesuatu yang ghaib (abstrak) kepada

sesuatu yang syâhid (jelas/tampak).

3. Terkadang tidak memperhatikan kaidah nahwu atau balaghah. Kaidah ini

akan digunakan jika senada dengan pemikirannya. Jika tidak, maka kaidah

ini diabaikan. Dengan kata lai, kaidah nahwu atau balaghah akan digunakan

bila membenarkan atau menguatkan teori tasawufnya.

Sedangkan tafsir sufi Isyari menurut al-Dhahabi adalah menakwilkan ayat-

ayat al-Qur‟an yang berbeda dengan maknanya yang dhahir berdasarkan isyarat

(petunjuk) khusus yang diterima oleh para ahli sufi. Tafsir model ini dinisbatkan

kepada para pelaku sufi amali dimana mereka ketika menafsirkan al-Qur‟an

berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah Swt kepada hambanya

berupa intuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi makna ayat-ayat

7
Muhammad Husain ad-Dzahabi, al-Tafsîr wal al-Mufassirûn (Kairo : Dar al-
Haditsah,2005), v.2 h.292
17

al-Qur‟an. Atau dengan kata lain, tafsir sufi isyari ini merupakan usaha mentakwil

ayat-ayat al-Qur‟an yang berbeda dari makna lahirnya menurut isyarat-isyarat

rahasia yang ditangkap oleh para pelaku suluk atau ahli ilmu, dan maknanya dapat

disesuaikan dengan kehendak makna lahir dari ayat al-Qur‟an.8

Khalid Abdurrahman membagi tafsir isyari berdasarkan isyaratnya dalam

dua bagian, yaitu pertama, isyarat khafiyah (indikasi yang tersembunyi) dimana

yang memperolehnya hanya ahli taqwa dan ulama di dalam membaca al-Qur‟an,

kemudian mendapat intuisi-intuisi mistik yang bermakna. Kedua, isyarat jaliyah

(indikasi jelas) yang dikandung ayat-ayat kauniyah didalam al-Qur‟an yang

mengisyaratkan dengan jelas adanya ilmu-ilmu seperti era modern. Al-Dzahabi

menetapkan beberapa syarat diterima tafsir isyari, yaitu:

1. Penafsirannya sesuai dengan makna lahir yang ditetapkan dalam bahasa

arab. Sekiranya sesuai maksud bahasanya, maka tidak berusaha melebih-

lebihkan makna lahir.

2. Harus ada bukti syar‟i yang bisa menguatkan.

3. Tidak menimbulkan kontradiksi, baik secara syar‟i maupun aqli.

4. Harus mengakui makna lahirnya ayat dan tidak menjadikan makna batin

sebagai satu-satunya makna yang berlaku sehingga menafikan makna lahir.

Perbedaan tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, menurut al-Dzahabi

ada dua aspek perbedaan anntara tafsir sufi nazari dengan tafsir sufi isyari, yaitu:

1. Tafsir sufi nazari diawali dengan premis-premis yang ada di dalam diri seorang

sufi yang kemudian dituangkan ke dalam penafsiran al-Qur‟an. Sedangkan tafsir

sufi isyari tidak berlandaskan premis-premis ilmiah terlebih dahulu, akan tetapi

8
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 13
18

berdasarkan riyâdhah rûhiyah (olah jiwa) yang dilakukan oleh seorang sufi

terhadap dirinya hingga mencapai tingaktan terungkapnya tabir syariat isyarat

(petunjuk) kesucian.

2. Ahli sufi dalam tafsir sufi nazari berpendapat bahwa ayat-ayat al-Qur‟an

mempunyai makna tertentu dan penafsirannya sebagai pembawa makna.

Sedangkan tafsir sufi isyari seballiknya yaitu ada makna lain yang dikandung

ayat, artinya ayat al-Qur‟an memiliki makna dhahir dan juga makna bathin.9

Dan sumber pengetahuan tafsir sufistik adalah intuisi dan teori filsafat,

intuisi diperoleh dari kasyf (penyiingkapan) dan mujahadah yang telah mencapai

ahwal (pengalaman spiritual karena kesungguhan beribadah). Sedangkan sumber

pengetahuan sufistik laiinya adalah teori-teori filsafat. Teori ini diperoleh dari

metode ta‟wil nazari yang dipadukan dengan dasar keilmuan ahli sufi yang

mencari teori-teori mistik untuk mempromosikan kelompok atau mazhab tertentu

ini digunakan dalam tafsir sufu nazari.

Dilihat dari metode penafsiran, tafsir corak sufi termasuk dalam metode

tahlili yaitu menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya

dengan mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang tersusun di dalam mushaf.

B. Profil Tafsir al-Jîlânî

Penemuan Tafsir Jîlânî pada awal 2009, khazanah tafsir al-Qur‟an

semakin diperkaya dengan terbitnya Tafsir Jîlânî karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî.

Markaz al-Jîlânî li al-buhûts al-ilmiah, Instanbul, Turki. Mengklaim bahwa

penerbitan tafsir tersebut adalah yang pertama kalinya sepanjang sejarah

9
Lenni Lestari, “Epistimologi Tafsir Corak Sufi” Jurnal Syahadah Vol.2 no.1 (April
2014): h. 15
19

kebudayaan islam. Sebelum diterbitkan, tafsir ditemukan manuskripnya di

Vatikan, Italia, perpustakaan Qadiriah, Bagdhad dan India. Tafsir al-Jîlânî terdiri

dari enam volume (VI juz) dengan ketebalan sekitar 550 halaman untuk masing-

masing volume. Penyuting kitab tafsir tersebut adalah salah satu keturunan beliau

sendiri, yaitu Dr. Muhammad Fadhil al-Jîlânî al-Hasani at-Taylâni al-Jamazraqi.

Dr.Muhammad Fadhil al-Jîlânî berasal dari Jimzaraq, Turki Timur, yang

dilahirkan pada tahun 1954 dan kini menetap di kota eksotik Istanbul, Turki. 10

Tafsir al-Jîlânî yang judul lengkapnya adalah al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa

al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah, masih diperdebatkan oleh

beberapa kalangan terkait otentisitasnya. Dr. Muhammad Yusuf Thâha Zaydan,

penulis biografi Syekh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekaligus pakar yang otoritatif

dalam bidang mansukrip tasawuf, menginformasikan bahwa perpustakaan Rasyid

di Tripoli dan India mengoleksi tafsir al-Qur‟an yang diklaim sebagai

karya„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Namun, menurutnya tafsir tersebut adalah “karya

pseudo” (muallaf manhul), karena para penulis manaqib-manaqib „Abdûl Qâdir

al-Jîlânî tidak pernah memberi isyarat bahwa „Abdûl Qâdir al-Jîlânî memiliki

karya dalam bidang tafsir. Masih menurutnya, „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sendiri

dalam beberapa karyanya, tidak pernah menyatakan memiliki karya dalam bidang

tafsir. Kesimpulan Thâha Zaydan ini diperkuat Khairuddin al-Zirkili dalam al-

A‟lam yang dengan tegas menyatakan bahawa al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-

Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah adalah karya Ni‟matullah bin

Mahmûd al-Nakhjuwani (w.920 H). Atau lebih populer dengan panggilan Syekh

Ilwani. Nama al-Nakhjuwani dinisbatkan karena ia berasal dari Nakhicevan

10
Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.89.
20

(bahasa Azeri), sebuah kawasan Azerbaijan seluas 5.500 km yang berbatasan

dengan Armenia, Turki dan Iran. Pendapat al-Zirkili senada dengan catalog,

Biblioteca Alex Adrina yang mensibatkan tafsir tersebut pada al-Nakhjuwani.

Catalog Biblioteca Alexandria juga memberikan informasi penting bahwa tafsir

tersebut pernah dicetak pada 1325 M/1907 di Istanbul Turki, kitab tafsir ni terdiri

atas II volume, bukan IV volume seperti versi Markaz al-Jîlânî li al-Buhûts al-

Ilmiyah, Istanbul, Turki.

Program digital dan situs maktabah syamilah juga memuat tafsir tersebut

dengan penisbatan kepada al-Nakhjuwani sebagai pengarangnya. File maktabah

syamilah mrupakan copy paste dari terbitan Dar Rikabi, Cairo, Mesir yang

menerbitkan tafsir tersebut pada 1999 M. Perlu dicatat, naskah versi Dar al-Rikabi

adalah versi lengkap hingga surat an-Nâs. Asumsi penisbatan al-Fawâtih al-

Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah sebagai karya

al-Nakhjuwani dikukuhkan pula oleh situs Multaqa‟ ahli hadits. Pendapat yang

seirama dikemukakan pula oleh sumber-sumber otoritatif seperti Mu‟jam

Mathbû‟ah karya Yusuf Alyan Sarkis, Mu‟jam Muallifîn karya Umar Ridha

Kahalah, Kasuf al-Durum karya Haji Khalifah dan Hidayah al-Arifin karya al-

Babani. Menurut sumber-sumber ini, al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-

Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah ditulis oleh al-Nakhjuwani pada tahun

902 M berdasarkan pancaran-pancaran cahaya sufistik dan tanpa merujuk pada

referensi tafsir apapun.11

Jika versi pertama dengan tegas menyimpulkan tafsir tersebut adalah karya

al-Nakhjuwani, maka tidak demikian halnya dengan versi kedua. Versi yang

11
Irwan Masduqi “Menyoal Otentisitas dan Epistemologi Tafsir al-Jilani” Jurnal Analisa
Vol.19 no.1 (Januari-Juni,2012): h.92.
21

kedua diwakili oleh Dr. Abdul al-Razzâq al-Kaylâni, menyatakan bahwa karya

„Abdûl Qâdir al-Jîlânî judulnya adalah Misk al-Khitâm. Tafsir ini terdapat di

perpustakaan Tripoli dan India dengan naskah tahun 622 H. Kemudian versi

ketiga adalah pendapat lembaga riset Markaz al-Jîlânî al-Buhûts al-Ilmiyah,

Istanbul, Turki, yang meyakini tafsir al- al-Jîlânî benar-benar karya otentik„Abdûl

Qâdir al-Jîlânî. Argumentasi lembaga ini riset ini dikemukakan oleh Muhammad

Fadhil, penyuting tafsir tersebut.awalnya ia mengunjungi 20 perpustakaan, antara

lain Vatikan, kemudian penyuting menemukan tiga manuskrip yang masing-

masing mendapatkan keterangan di pojok bawah “telah selesai juz I/II/III dari

tafsir al-Qur‟an milik sayiddina„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Redaksi ini rupanya

menyebabkan penyuting meragukan otentisitas tafsir tersebut, sebab redaksi

semacam itu (dengan penisbatan milik kepada„Abdûl Qâdir al-Jîlânî)

mengindikasikan bahwa tafsir tersebut ditulis oleh orang lain, bukan oleh „Abdûl

Qâdir al-Jîlânî sendiri. Tetapi keraguan penyuting segera tertepis karena terdapat

informasi dari Abdul Muthalib al-Kaylâni yang bersumber dari Haj Nuri

(pengelola maktabah Qadiriyah Bagdhad) keluarga „Abdûl Qâdir al-Jîlânî di

madrasah Waktiyah serta Syeikh Umar Rifâ‟i yang bersumber dari Syekh yusuf,

dan dari Musthafa al-Halbi (pemilik sebuah perpustakaan di Bagdhad). Sumber-

sumber ini menginformasikan bahwa pernah terdapat tafsir dengan tulisan tangan

„Abdûl Qâdir al-Jîlânî di perpustakaan Qadiriyah Bagdhad. Namun naskah tafsir

itu hilang dan ditemukan lagi di Syam kemudian hilang untu kedua kalinya.

Sayyid Nuri ikut menguatkan otentisitas Tafsir al-Jîlânî melalui pernyataanya

“Salah satu karya „Abdûl Qâdir al-Jîlânî yang ditulis dengan tangan beliau adalah

kitab tafsir berjudul al-Fawâtih al-Ilâhiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-


22

Hikam al-Furqâniyah dengan demikian kata penyunting “informasi-informasi ini

menguatkan upaya kami untuk mempublikasikan tafsir tersebut atas nama Syaikh

„Abdûl Qâdir al-Jîlânî.

Meskipun pendapat mayoritas menisbatkan tafsir al-Fawâtih al-Ilâhiyyah

wa al-Mafâtih al-Ghaybiyah wa al-Hikam al-Furqâniyah kepada al-Nakhjuwani ,

namun tidak menutup kemungkinan muculnya asumsi-asumsi bahwa tafsir

tersebut ditulis oleh Syeikh „Abdûl Qâdir al-Jîlânî sekitar tahun 521 hingga 501 di

Baghdad, kemudian disalin dan digandakan oleh beberapa pihak, antara lain al-

Nakhjuwani yang wafat pada tahun 920 H, kemudian naskah aslinya hilang di

Bagdhad, sebagaimana informasi yang diberikan oleh pihak perpustakaan

Bagdhad. Asumsi bahwa al-Nakhjuwani hanyalah penyalin atau pengganda juga

dapat disandarkan pada sebuah penemuan manuskrip india yang ditulis pada tahun

622 H atas nama„Abdûl Qâdir al-Jîlânî. Asumsi ini pun muncul karena al-

Nakhjuwani di akhir setiap juz menisbatkan tafsir tersebut kepada „Abdûl Qâdir

al-Jîlânî melalui pernyataan “Telah selesai juz I/II/III dari tafsir milik tuanku,

Syeikh„Abdûl Qâdir al-Jîlânî”. Lebih jauh lagi, al-Nakhjuwani adalah ulama sufi

dari Nakhicevan Azerbaijan. Oleh sebab itu, tafsir tersebut sangat populer di

kalangan Syaikh Iran dan Turki. Kemudian dapat diasumsikan tafsir tersebut

dinisbatkan kepada al-Nakhjuwani oleh penerbit pertama di Istanbul Turki, pada

tahun 1999. Asumsi ini layaka dipertimbangkan lebih lanjut mengingat dalam

Tabâqat Tafsir karya al-Adnawari terdapat keterangan bahwa kitab al-

Nakhjuwani judulnya adalah Fawâtih al-Maqîsat, bukan Fawâtih al-Ilâhiyah.

Perlu juga digarisbawahi bahwa tidak disebutkan tafsir tersebut oleh „Abdûl Qâdir

al-Jîlânî dalam beberapa karyanya, tidak menutup kemungkinan, dikarenakan


23

tafsir tersebut merupakan karya terakhir dalam periode kehidupannya.

Berdasarkan penelusuran panjang tersebut dapat disimpulkan bahwa Tafsir al-

Jîlânî masih diperdebatkan otentitisitasnya.

C. Metode dan Metode Tafsir al-Jîlânî

Seperti pembahasan di bagian awal yang membahas apa definisi Tafsir

sufi dan kriteria tafsir apa saja yang dikategorikan kedalam tafsir sufi, maka

penulis mencoba untuk menelusuri Tafsir al-Jîlânî sebagai kitab tafsir yang

bercorak sufistik, pada kitab Tafsir al-Jîlânî cetakan edisi kedua tahun 2014 yang

terdiri dari lima jilid, yang masing-masing jilidnya rata-rata berjumlah 480

halaman, dengan pentahkiknya Syeikh Ahmad Farîd al-Mazidi. Pada bagian

pendahuluan beliau menjelaskan biografi dan yang laiinya mengenai Syekh

„Abdul Qâdir al-Jîlânî, dan pada setelahnya beliau melampirkan tiga lembar

manuskrip atau tulisan asli dari Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî sebagai bukti bahwa

karya ini adalah benar-benar karangan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî.

Melihat metode dan penafsiran Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Tafsir

al-Jîlânî, ketika beliau menafsirkan kata rûh dalam Qs. al-Hijr(15) :29, bahwa rûh

itu berasal dari percikan wujudnya Allah Swt agar kelak nanti ruh itu dapat

mewakili nama-namaNya dan sifat-sifatNya.12 Dan penafsiran beliau dalam Qs.

al-Baqarah(2) : 179, ayat mengenai Qisâs beliau menafsirkan bahwa para

mukminin yang mentauhidkan Allah Swt, yang mukasyifin dengan rahasia-

rahasia syariat ilahiyah akan memahami di dalam hukum Qisas ada hakikat

rahasia yang agung,13 dan beberapa contoh penafsiran dalam ayat yang lain.

12
Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.441.
13
Syeikh Muyhiddîn „Abdul Qādir al-Jīlānī, Tafsir al-Jīlānī ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2014), jilid. 1 h.183.
24

penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan beliau dalam Tafsir al-

Jîlânî adalah metode tahlili, metode yang menguraikan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan terperinci. Adapun corak Tafsir al-Jîlânî adalah corak sufi isyari, yaitu

penafsiran yang dihasilkan melalui perenungan yang mendalam pada ayat-ayat al-

Qur‟an dengan latihan spritual dan mujahadah. Akan tetapi corak penafsiran

seperti ini tidak semua diaplikasikan dalam Tafsir beliau.


BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG RȖH DALAM AL-QUR’AN

A. Definisi Rûh di dalam al-Qur‟an

Kata rûh )‫ )روح‬dengan harakah dommah bermakna al-nafs, Imam abû

bakar al-Anbâry berpendapat bahwa kata rûh dan nafs itu sama, tetapi kata rûh itu

mudzakkar sedangkan kata al-nafs mua‟nnâs menurut orang arab. di dalam kitab

ar-Raud oleh imam as-Suhaili mengatakan bahwa kata rûh itu mua‟nas karena rûh

itu bermakna nafs, kemudian rûh dinamakan al-Qur‟an menurut abu abbas karena

al-Qur‟an kehidupan dari kematian kekafiran maka kemudian al-Qur‟an

menghidupkan manusia seperti rûh yang menjadi penyebab hidupnya jasad.

Kemudian rûh bermakna jibril dan rûh bermakna Isa a.s. rûh juga diartikan

sebagai tiupan (‫ )الىفخ‬karena rûh adalah angin yang keluar dari rûh itu sendiri,

kemudian rûh juga diartikan sebagai hukum-hukum Allah dan perintahNya.

Di dalam Kitab Lisân al-Arab, Ibnu Mandzûr menjelaskan kata )‫(روح‬

bermakna nafs, berbentuk muzakkar )‫ (مذكز‬dan muannas )‫(مؤوث‬dengan jamaknya

)‫ (ارواح‬Sedangkan kata )‫ (روحاوي‬dinisbatkan kepada malaikat dan jin dan

jamaknya )‫(الزوحاويون‬.1

Kata rûh juga di jelaskan didalam Kitab Tâjul al-Arûs min Jauhari al-

Qamûs Imam adz-Zabadi menjelaskan asal kata rûh yang mempunyai banyak arti

secara bahasa, Seperti rûh dengan harakah fathah )‫ (روح‬bermakna kesenangan

(‫)الزاحة‬, )‫(والفزح) (والسزور‬. Juga terkadang bermakna rahmah )‫(رحمة‬seperti dalam

1
Abî Fadhli Jamaluddin Muhammad bin Makram Ibn Mandzûr, Lisân al-Arab (Beirut :
Dar Shâdir,1990) vol.2 h.455

25
26

ayat yusuf 87, juga terkadang diartikan sebagai kesejukan (‫ )بزد وسيم الزيح‬angin

kesejukan. Juga terkadang diartikan sebagai keleluasaan (‫)والسعة‬,

Kemudian ada kata )‫ (راح‬dengan harakat fathah pada huruf ra dapat

diartikan dengan )‫ (اتساع بيه الزجليه‬jarak antara dua paha atau kaki , dan jamaknya

)‫(رائح‬. Sedangkan kata )‫ (روحاوي‬dengan harakat dommah dan fathah dinisbatkan

kepada )‫ (روح‬rûh dan rawh)‫ (روح‬yang dinisbatkan kepada malaikat dan jin.

Sedangkankan jamaknya )‫(روحاويون‬. selanjutnya kata )‫ (الزيح‬bermakna angin atau

hawa yang berada dilangit dan dibumi dengan bentuk jamaknya )‫(ارواح‬. Ada yang

mengatakan )‫ (ارياح‬Terkadang dimaknai dengan perkara yang baik )‫(الشئ الطيب‬

Selanjutnya kata )‫ (ريحان‬yang bermakna pohon yang wangi, kata )‫(الزاح‬

yang bermakna khamr )‫ (الخمز‬, juga terkadang bermakna bagian dalam telapak

tangan)‫ (بطه الكف‬,kata )‫ (اراح‬yang bermakna air dan daging, dan bermakan juga

kematian)‫ (الموت‬dan hidup )‫)الحياة‬, kata )‫ (االرتياح‬bermakna semangat )‫ (الىشا ط‬dan

rahmat )‫ (الزحمة‬, dan kata )‫ (والزائحة‬bermakna angin yang sejuk, dan kata

)‫(راح‬bermkana ditemukan )‫(وجذ‬, jamakny )‫(المواريح‬.2

Di dalam Kitab Mâ‟ariful al-Qur‟an, kata rûh di artikan sebagai sesuatu

yang menyebabkan manusia hidup, Allah Swt tidak memberitahukan kepada

siapapun dari makhluknya dan tidak memebri pengetahuan kepada hambanya.

Abu al-haisam mengatakan bahwa )‫ )الزوح‬adalah nafs yang dengannya manusia

bernafas (hidup). Al-Juzaz di dalam tafsirnya mengatakan bahwa )‫ )الزوح‬bermakna

wahyu, atau perkara kenabian,sedangkan al-Araby mengatakan )‫ )الزوح‬adalah

kesenangan, al-Qur‟an, perkara agung, nafs.Sedangkan kata )‫ )روح‬bermakna

2
Muhammad Murtadha Ibn Muhammad Husaini al-Zabîdi, Tâjul al-Arûs min Jauhari al-
Qâmus (Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiah,1999), vol.2 h.236
27

rahmat jamaknya )‫(ارواح‬. Dan yang dimaksud didalam pembahasan ini adalah kata

rûh yang bermakna nafs/jiwa yang berasal dari kata )‫)راح – يزوح – ارواح‬.3

Dan di dalam jurnal rûh menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, berasal dari huruf

yang sama yaitu ra,wq dan ha. Tetapi, penggunanan rûh lebih banyak merujuk

kepada nafs juga istilah bagi sesuatu yang menyebabkan hidup, bergerak,

memperoleh manfaat dan juga mengelak dari pada kemudharatan. Kata rûh

mempunyai pelbagai makna, rûh boleh diartikan dengan makna nyawa, malaikat

Jibril, satu malaikat yang besar yang apabila berdiri dengan satu shaf malaikat

yang lain, hembusaan angin. Nabi Isa al-Masih, kalam Allah Swt dan rahmat

Allah Swt.4

Kata rûh dan rawh dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 22 kali, masing-

masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 22 ayat. Amin Abdul Samad

mengatakan dalam karyanya yang berjudul memahami shalat khusyu,

bahwasannya kata rûh didalam tiga ayat mempunyai makna pertolongan atau

rahmat Allah Swt, dalam sebelas ayat bermakna Jibril dan dalam satu ayat

bermakna wahyu atau al-Qur‟an. Selain itu lima ayat lain, rûh mempunyai makna

yang berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis dan ruh yang ada pada

manusia. Dalam buku rûh karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dijelaskan terdapat

lima arti kata rûh dalam al-Qur‟an. Diantaranya bermakna al-Wahyu yang

terdapat dalam QS. Ghâfir : 15, kemudian kata rûh juga dapat bermakna Jibril

seperti dalam QS. al-Shuarâ‟ : 101, QS. al-Baqarah : 91 dan QS. an-Nahl : 102.

3
Muhammad Farîd Wajdi, Ma‟ârif al-Qur‟ân (Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah,1995)
vol.2 cet.1 h.375
4
Rohaida Abdul Rahim, “Al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah” Jurnal
Ushuluddin, Bil 26 (2007): h. 150.
28

rûh juga dapat bermakna rûh yang ditanyakan oleh yahudi yaitu rûh yang telah

dikabarkan oleh Allah Swt akan dibangkitkan pada hari kiamat bersamaan dengan

para malaikat seperti dalam QS. an-Naba : 38 dan QS. al-Qadr : 4 dan rûh juga

bermakna al-Masih seperti QS. al-Nisa : 171, QS. al-Fajr : 37, QS al-Qiyâmah : 2,

QS. Yusuf : 53, QS. al-An‟âm : 93 dan QS. al-Shams : 8.5

Di dalam Kamus al-Munawwir kata rûh terkadang dimaknai dengan

wahyu )‫ )الوحي‬dan juga terkadang diartikan sebagai Hukum Allah dan

perintahNya )‫ (حكم هللا وامزي‬dan adakalanya diartikan Malaikat )‫ (المالك‬dan juga kata

rûh dapat dimaknai sebagai Intisari, Hakikat )‫ (الخالصة‬dan rûh al-Quds diartikan

sebagai Malaikat Jibril6. Sedangkan dalam Kamus Besar Indonesia (KBBI) rûh

diartikan sebagai sesuatu (unsur) yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan

sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan).7

Sedangkan kata Jiwa di dalam al-Qur‟an diwakili dengan kata nafs. Meskipun

makna nafs ini, secara umum bisa diartikan sebagai „diri‟. Penggunaan dengan

makna „Jiwa‟ ini difirmankan Allah Swt di dalam al-Qur‟an tidak kurang dari 31

kali. Sedangkan kata nafs (anfûs) yang bermakna „diri‟ difirmankan tidak kurang

dari 279 kali. Sementara itu, kata rûh di dalam al-Qur‟an di ulang-ulang oleh

Allah Swt sebanyak 20 kali. Jadi lebih sedikit dibandingkan dengan penggunaan

kata „jiwa‟ dan „diri‟. 8Dalam al-Qur‟an kata rûh dinyatakan dalam beberapa term

5
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.247.
6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya : Pustaka
Progressif,1997), h.545.
7
Di akses dari https://kbbi.web.id./roh.html
8
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 7.
29

yakni dengan kata rūḥ )‫ (روح‬, rûh al-Quds )‫ (روح القذس‬dan rûh al-Amien ‫(روح‬

)‫االميه‬.

Rûh menurut Syekh Muhammad Syaltût adalah kekuatan yang menghadirkan

kehidupan dalam alam yang hidup yang berupa tumbuh-tumbuhan, binatang dan

manusia.ia telah menguasai panca indera dan gerak pikiran dan akal, lalu ia di

sandarkan kepada binatang dan manusia.9Abû Hâmid al-Ghazâli mengemukakan

dua definisi tentang rûh. pertama, rûh suatu jisim yang halus yang berasal dari

rongga jantung yang menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh-pembuluh

nadi. Kedua, rûh adalah jisim halus yang dapat mengenal, yang disebutkan oleh

Allah Swt dalam firman-Nya “Mereka bertanya kepadamu tentang Rûh,

katakanlah, Rûh itu urusan Tuhanku.”(QS. al-Isra : 85). rûh menurut al-Ghazali

terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut rûh hewani, yakni jauhar yang halus

yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan,

perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti

menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs

natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. al-

Ghazâli berkesimpulan bahwa hubungan rûh dengan jasad merupakan hubungan

yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazâli mengemukakan hubungan dari segi

maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam

tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau

9
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.10.
30

ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat;

itulah yanmg dinamakan manusia.10

Sedangkan Javad Nurbakhsy berpendapat bahwa rûh adalah lapisan hati yang

menikmati titik pandang cahaya Allah Swt, yang pada bagian itu Allah Swt

memperlihatkan wujudNya tanpa tabir penghalang, hati merupakan kulit kerang

dan rûh adalah mutiara.11 Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah bahwa

kekuatan-kekuatan yang terdapat di badan juga di sebut rûh, sehingga rûh lah

yang melihat, mendengar dan lain-lain, tetapi secara khusus merupakan kekuatan

berma‟rifatullah, kembali kepadaNya, mencintaiNya dan keinginan untuk mencari

dan bersamaNya.12

Menurut Imam al-Alûsi mengenai rûh, beliau mengatakan bahwa rûh adalah

wujud cahaya tinggi yang hidup yang bertentangan dengan benda dari tubuh yang

realistis dimana ia berjalan di dalamnya seperti berjalannya air pada bunga

mawar, ia tidak dapat rusak dan tidak dapat terpisah, ia menambah kehidupan

tubuh dan kesegarannya selama tubuh layak untuk menerima pemberiannya.13

Sedangkan „Abd Ibnu Humaid dan Abu Syaikh meriwatkan dari Ibnu Abbâs

yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari ciptaan Allah Swt dan Dia

membentuknya sebagaimana gambar bani Adam, dan tiada malaikat pun yang

turun dari langit kecuali ia bersama rûh. Kemudian ia membaca firmanNya, “dan

10
Diakses_dari_http://ppssn.malang.pesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi
_ruhsingleartikel keislaman
11
Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1.
h.36.
12
Rahmi Damis, “Falsafah Manusia dalam al-Qur‟an” Sipakalebbi‟ Vol.1 no.2
(Desember 2014): h.208.
13
Al-Alusi, , Rūḥ al-Ma'âni fi Tafsir al-Qur'anul al-Azhim wa Sab'ūl al-Matsâni (Beirut
: Dar al-Ihya, 1990), Juz ke 2. h.203.
31

pada hari ketika Rûh dan para malaikat bangkit”.14 Abû Syaikh juga

meriwayatkan dari sayyidina „Ali r.a bahwa ia berkata rûh adalah seorang

Malaikat yang mempunyai 70 ribu wajah dimana setiap wajah darinya memiliki

70 ribu nulut, setiap mulut darinya memiliki 70 ribu bahasa yang semuanya

bertasbih kepada Allah Swt dengan berbagai bahasa itu. Dan Allah Swt

menciptakan dari setiap tasbih seorang malaikat yang terbang bersama malaikat

sampai hari kiamat.

Adapun menurut Ibnu Anbari meriwayatkan dalam kitab al-Adhdâd dari

Mujâhid yang berkata bahwa rûh adalah ciptaan dari malaikat namun para

malaikat tidak melihat mereka sebagaimana kalian tidak melihat

malaikat.15Muhammad Abduh menafsirkan kata rûh sebagai jisim latif yaitu suatu

yang bergerak dan menggerakkan.16

Para filosof yunani mengungkapkan makna rûh, seperti Anaximenes (585-

528) yang mengatakan bahwa rûh adalah udara yang halus sekali. Udara yang

halus inilah yang memelihara keutuhan badan, sekalipu akhirnya badan akan

hancur secara perlahan.17

Penafsiran rûh menurut Prof.Dr.M.Quraish Syihab, beliau menjelaskan di

dalam tafsir beliau yang berjudul Tafsir Al-Misbah, beliau mengatakan “banyak

ulama yang memahami kata rûh dalam arti potensi pada diri makhluk yang

menjadikan dapat hidup. Ada juga yang ulama yang memahami kata rûh dalam

14
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.100.
15
Ibid, h.101.
16
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.244.
17
Wawan Hernawan, “Posisi Ruh dalam Realitas menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah”
Syifa al-Qulub Vol.1 no.2 (Januari 2017): h.76.
32

arti Jibril, atau malaikat tertentu yang sangat agung. Salah satu pendapat yang

wajar mendapat tempat adalah yang memahami kata rûh pada ayat ini adalah al-

Qur‟an. Muhammad Izzât Darwazah, salah seorang ulama kontermporer yang

menggunakan pendapat tersebut.

Thabâthabâ‟i membahas makna rûh yaitu sumber hidup yang dengannya

hewan (manusia dan binatang) merasa dan memiliki gerak yang dikehendakinya.

Ia juga digunakan untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan,

seperti ilmu yang dinilai sebagai kehidupan jiwa, sejalan dengan firmanNya QS.

al-An‟âm(6) : 122. 18

Atas dasar pemahaman makna rûh dengan hal-hal yang berdampak baik

lagi diinginkan itulah sehingga firmanNya dalam QS. an-Nahl(16) : 2 yang

menggunakan kata rûh dipahami dalam arti wahyu dan firmany-Nya QS. as-

Syûrâ(42) : 52 yang juga menggunakan kata rûh dipahami dalam arti al-Qur‟an

yang merupakan wahyu ilahi. Penamaan itu demikian, karena dengan wahyu dan

dengan al-Qur‟an jiwa yang mati bisa hidup, sebagaimana rûh dalam arti sumber

hidup menghidupkan jasad makhluk yang tidak bernyawa.

Selanjutnya Thabâthabâ‟i menggarisbawahi bahwa kata rûh berulang-

ulang di sebut pada ayat-ayat yang turun sebelum dan sesudah hijrah, tetapi tidak

ditemukan pada ayat-ayat itu pengertian yang bermakna sumber hidup. Di sisi

lain, sekian banyak ayat yang menggunakan kata rûh dan secara jelas

dimaksudkan adalah wahyu, seperti firmanNya dalam QS. ash-Shu‟arâ(26) : 193,

atau QS. al-Ma‟ârij(70) : 4, juga ada yang bermakna sesuatu yang dihembuskan

18
Muhammad Husein At-Thabathabâi, Al-Mīzan fi Tafsir al-Qur‟ân (Beirut : Dar al-
Fikr, 2002), h.176
33

pada diri manusia secara umum QS. al-Hijr(15) : 29, ada juga yang dianugerahkan

secara khusus kepada orang-orang mukmin seperti dalam QS al-Mujâdalah(58) :

22 dan lain-lain. kemudian beliau mengatakan bahwa dari sini Thabâthabâ‟i

berkesimpulan mengenai rûh adalah sedikit dari banyak, rûh mempunyai wilayah

dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya

ini yang sungguh indah dan menganggumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi

kamu mengetahuinya.19 Dr. Wahbah Zuhaili di dalam kitab tafsirnya yang

berjudul Tafsir al-Munîr para musyrikin akan menanyakan perihal mengenai

hakikat rûh kepadamu (Muhammad), yang menyebabkan badan menjadi hidup,

maka katakanlah rûh itu adalah urusan Tuhanku, adanya karena kekuasaanNya

dan pengetahuan mengenai rûh itu disamarkan, hanya Allah Swt yang

mengetahuinya dan tidak akan mampu siapapun selainNya, maka tidaklah

diberikan pengetahuan kalian mengenai rûh kecuali hanya sedikit. Sumber

mengetahui rûh dengan meyadari adanya rûh di dalam tubuh dan hanya apa yang

dirasakan oleh anggota tubuh,. Adapum selain itu maka kalian tidak akan mampu

mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat rûh itu.20

Dan beliau mengatakan mengenai hakikat rûh, terdapat dua pendapat,

pendapat pertama bahwa rûh adalah dzat yang luas dan halus, dan jism nurani

bertentangan dengan tabiat jism yang mempunyai rasa, pendapat ini yang

dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Râzi. Pendapat kedua mengatakan bahwa rûh

tidaklah berjism juga tidak berjasmani, ia lah dzat yang menyatu dengan badan,

19
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an (Jakarta :
Lentera Hati,2002) cet.1 h.
20
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Muîīr fi al-Aqīdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 162.
34

yang menggerakan dan mengatur badan itu sendiri, pendapat ini dikemukakan

oleh al-Ghazâli dan Abi Qâsim al-Ashfahâni.21

Sedangkan Imam Fakhruddin ar-Râzi di dalam kitab tafsirnya yang

berjudul Mafâtih al-Ghaib menjelaskan tentang QS. al-Isra‟(17) : 85, bahwa

ketika Allah Swt menutup ayat sebelumnya “kullu ya‟malu ala sâkilatih” dan

bermaksud dengan ayat ini, yakni masalah dan macam-macam bentuk mengenai

rûh, kemudian beliau mengatakan “maka seharusnya kita membahas mengenai

inti rûh dan hakikat rûh itu sendiri”, dan beliau menjelaskannya dalam beberapa

masalah tentang rûh, pertama beliau menjelaskan bahwa para ahli tafsir

mempunyai beberapa pandangan mengenai rūḥ tetapi yang di maksud dengan rûh

disini adalah sebab kehidupan, dan beliau menjelaskan tentang asbâb an-

nuzûl(sebab turun)nya ayat ini, beliau memgatakan bahwa ketika para yahudi

berkata kepada kaum quraish “tanyakanlah kepada Muhammad dari tiga perkara,

maka apabila ia hanya memberitahukan dua dan tidak menjawab perihal yang

ketiga maka sungguh dia seorang nabi, tanyakanlah kepadanya mengenai ashabul

kahfi, dan mengenai zul qarnain, dan mengenai rûh,” maka mereka pun

menanyakan kepada Rasulullah Saw mengenai ketiga hal tersebut maka Nabi pun

menjawab “esok hari akan aku beritahukan kepada kalian” dan Nabi tidak

mengatakan insyaallah, maka pada saat itu wahyu terputus selama 40 hari

lamanya, barulah setelah itu turun wahyu “Dan janganlah kalian mengatakan

terhadap sesuatu “sesungguhnya aku akan melakukan itu esok, kecuali Allah Swt

menghendakinya” dan setelah itu Nabi menjelaskan kepada mereka mengenai

21
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî‟ah wa al-Manhaj (Beirut :
Dar al-Fikr,2014) jilid. 7 h. 168.
35

kisah ashabul kahfi dan kisah zul qarnain, tetapi Nabi tidak memberitahukan

perihal mengenai rûh maka Allah Swt menurunkan ayat ini.22

Jabbabaie berpendapat bahwa rûh itu jisim dan bukan hidup, karena hidup

itu adalah sifat sedangkan rûh tidak boleh dari sifat. Aristoteles berkata bahwa rûh

adalah kekuatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu yakni kekuatan yang

bersifat potensil menuju ke arah aktuil, pokok fungsinya yaitu berfikir dan

berkehendak(dichotomi). pada tiap-tiap benda(morphe) ada rûh yang tidak dapat

disebut sebagai benda.

Menurut Hasan dan Qatādah yang dimaksud dengan rūḥ adalah Jibril

sebagaimana yang dijelaskan oleh Hasan al-Basri di dalam Tafsirnya23. Dalam al-

Qur‟an Jibril disebut dengan ar- rûh al-Amin sebagaimana firmanNya QS asy-

Syu‟ara(26) : 193

    

“Dia dibawa turun oleh Ar-rūḥ Al-Amin (Jibril).”(Q.S Asy-


Syu‟ara(26) : 193)

Dan di dalam al-Qur‟an term rûh dan Jiwa disebutkan dalam tempat yang

berbeda di dalam al-Qur‟an. Dan yang dimaksud di dalam pembahasan skripsi ini

memfokuskan terhadap masalah rûh dan hal-hal yang berkaitan seputar rûh.

Term rûh di dalam al-Qur‟an mempunyai beberapa arti dengan kata lain

mengammbarkan beberapa hal yang berbeda, di antaranya adalah untuk

mengambarkan sesuatu yang menyebabkan munculnya kehidupan pada benda-

22
Fakhruddin ar-Rāzi, Mafātih al-Ghaib (Beirut : Dar al-Ihya, 2012), h. 157
23
Hasan al-Basri, Tafsir al-Hasan al-Basri (Beirut : Dar al-Hadits, 1990), vol.2 h. 77.
36

benda yang tadinya mati, sekaligus menularkan sifat-sifat ketuhanan kepadanya,

dan kata rûh juga digunakan untuk menggambarkan malaikat, dalam bentukan

kata rûh al-Quds dan rûh al-Amīn.

Kata rûh yang mengammbarkan sesuatu yang menyebabkan munculnya


kehidupan pada benda-benda yang tadinya mati, seperti dalam QS. as-Sajadah(32)
: 9 dan di dalam QS. al-Hijr(15) : 29

              

 

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh


(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”(Q.S As-
Sajadah(32) : 9)

         

“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah


meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.” (Q.S Al-Hijr(15) : 29)
Dengan rûh itulah manusia menjadi memiliki kehendak bergerak. Dengan

itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan rûh itu pula ia menjadi

bijaksana, memiliki perasaan cinta , dan kasih sayang serta berbagai sifat

ketuhanan, dalam skala manusia, ya rûh adalah Dzat yang menjadi media

penyampai sifat-sifat ketuhanan di dalam kehidupan manusia.

B. Perbedaan Rûh dengan Nafs

Informasi mengenai kata rûh dan nafs/jiwa tersebar di dalam al-Qur‟an dalam

kadar yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan jumlah ayat yang

menerangkannya maupun makna dalam penggunaanya.


37

Pendapat tentang persamaan rûh dan Jiwa di kemukakan oleh Ibnu

Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh pemikir Islam murid pemikir terkenal Ibnu

Taimīyah, di dalam bukunya yang berjudul ar- rûh lil Ibnil Qayyîm yang

diterjemahkan dalam judul rûh beliau mengatakan bahwa rûh adalah bentuk lain

dari jiwa atau sebaliknya, Jiwa bentuk lain dari rûh itu sendiri.24

al-Jawhâri dalam memberi makna pada salah satu syair di mana terdapat

kalimat an-Nafs yang di katakan bermaksud diri (ayn). Walau bagaimanapun Ibnu

Qayyim lebih cenderung kepada makna rûh. Oleh itu, maksudnya an-Nafs adalah

ar- rûh. Beliau membawa dalil dari pada ayat al-Qur‟an dari pada surah an-Nûr

ayat 61, surat an-nahl ayat 111, Surah al-Mudhatsir ayat 38, Surah al-Fajr ayat 27,

Surah al-An‟am ayat 93, dan Surah Yusuf ayat 53. Beliau menyatakan bahwa rûh

dicabut dari pada jasad dan menyebabkan kematian ialah an-Nafs. Sementara

kekuatan yang terdapat pada jasad di sebut sebagai rûh al-bashîrah (kekuatan

melihat), rûh as-Sâmi‟( kekuatan mendengar), rûh as-Sham(kekuatan berbicara)

dan sebagainya.

Berbeda dengan para filosof pada umumnya seperti Ikhwan al-Shafâ dan

Mc Dodald yang yang menyamakan antara rûh dan jasad. Sedangkan Abu Bakar

al-Anbari menekankan pada aspek kebahasaan yang mana kata rûh digunakan

untuk mudhakkar (bentuk laki-laki) dan nafs untuk muannas (bentuk perempuan).

Dengan demikian mengutip disertasi Abdul Mujib tentang rûh yang tinjau dari

segi psikologi, maka rûh adalah substansi tersendiri yang dapat berdiri sendiri dari

jasad. Sedangkan, jiwa adalah gabungan antara rûh dan jasad. Hal ini sesuai

24
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 5.
38

dengan QS. al-Imran : 185 , yang mana seseorang yang berjiwa atau mempunyai

nafs (yaitu gabungan antara jasad dan rûh), maka ia kan menemui kematian.25

Sedangkan Kata nafs yang berakar dari huruf na, fa dan sa yang berarti

keluarnya angin atau keluar dan masuknya angin lewat mulut dan hidung. Abdul

Karîm Khâtib mengatakan bahwa nafs adalah sesuatu yang merupakan hasil

perpaduan antara jasmani dan rohani manusia, perpaduan ini yang menjadikan

manusia mengenal perasaan, emosi, pengetahuan dan membedakan manusia

dengan yang lainnya. Dan bila di perhatikan kata nafs yang sebanyak 75 kali

dalam al-Qur‟an mempunyai makna yang bergama:

1. Diri Tuhan seperti QS. al-An‟am(6) : 12.

2. Hati seperti QS. al-Isra(17) : 25.

3. Jenis seperti QS. al-Taubah(9) : 128.

4. rûh seperti dalam QS al-Zumar(39) : 42.

5. Totalitas Manusia seperti QS. al-Maidah(5) : 32.

Berbeda dengan kata rûh, tidak ditemukan pengertian yang menunjukan

diri manusia. Dari sekian banyak ayat al-Qur‟an yang mempersonafikasikan

wujud seorang manusia di hadapan Allah Swt dan di dalam masyarakat dengan

menggunakan kata nafs seperti pembunuhan yang terjadi atas diri seseorang QS.

al-Maidah(5) : 32. Selain itu, ditemukan pula gambaran bahwa nafs itu ada tiga

macam yaitu nafs ammarah, nafs lawwamah dan nafs mutmainnah.

Ibnu Sina mendefinisikan rûh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa

adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna


25
Zaenatul Hakamah, “Ruh dalam perspektif al-Qur‟an dan Sains Modern” Universum
V.9 no.2 (Juli 2015): h.247.
39

sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (rûh) merupakan kesempurnaan awal,

dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu

spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa

merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan

prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam

tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat

tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan

berbagai fungsi psikologis. Ibnu Sina membagi daya jiwa (rûh) menjadi 3 bagian

yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu:

1. Jiwa (rûh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia,

hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh

yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan

makan.

2. Jiwa (rûh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia

mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah

yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan

bergerak karena keinginan.

Jiwa (rûh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini

melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya

sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana

ûpada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar


40

pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua

persoalan yang bersifat universal.26

Sedangkan menurut Abu Hâmid al-Ghazâli, kata nafs mengandung dua

arti:

1. Jiwa yang menyatukan antara daya dan amarah dengan daya nafsu, jiwa yang

selalu mendorong kepada kejahatan (an-nafs al-ammârah bi sū)

2. Jiwa dan esensi manusia yang di rujuk sebagai ammârah bi s, lawwâmah,

muthmainnah,27

Sedangkan menurut Robert Frager¸ nafs merupakan proses yang di

hasilkan oleh interaksi antara dan jasad, bukan struktur psikologis yang bersifat

statis. Sama sekali tidak ada yang salah dengan rûh dan jasad. Namun proses yang

dihasilkan kedua nya dapat saja menyimpang.

Ketika rûh memasuki jasad, ia terbuang dari asalnya yang bersifat

immateri, kemudian nafs pun mulai terbentuk. Dengan demikian, rûh menjadi

terpenjara di dalam materi dan menyerap aspek-aspeknya. Karena nafs berakar

dalam jasad dan rûh, maka ia mencakup kecenderungan material dan spritual.

Pada mulanya aspek material mendominasi nafs, sehingga nafs tertarik kepada

kesenangan dan keuntungan duniawi. Apa yang bersifat alamiah selalu cenderung

tertarik kepada dunia materi. Ketika nafs mengalami transformasi, ia menjadi

lebih tertarik kepada Tuhan dan kurang tertari kepada dunia. Jadi, nafs berubah

26
Diakses_dari_http://pssnhmalangpesantren.web.id/cgibin/content.cgi/artikel/eksistensi_
ruhsingleartikelkeislaman
27
Al-Ghazāli, Ihya al-Ulumuddin ( Beirut : Dar Ma'rifah, 1998), Juz ke 3. h.158
41

ubah dan dan berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan lainnya. 28 Makna Jiwa

di dalam al-Qur‟an dijelaskan dalam QS az-Zumar(39) : 42.

              

             

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang)


jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa
(orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa
yang lain sampai waktu yang ditetapkan[1313]. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir”.(Q.S Az-Zumar(39) : 42)

Ayat di atas memberikan pemahaman kepada kita tentang makna Jiwa.

Bahwa Jiwa adalah sesuatu yang bisa ada dan tidak ada, atau bisa keluar dan

masuk pada seorang manusia ketika dia masih hidup QS. asy-Syam(91) : 7-10

             

   

“(7)Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)(8)Maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya(9)Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu(10)Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.(Q.S
Asy-Syam(91) : 7-10)
Dengan tegas Allah menjelaskan bahwa jiwa mengalami penyempurnaan.

Ia dihadirkan pertama kalinya dengan kondisi yang lemah, jauh dari sempurna.

setelah melewati proses kehidupan, pengalaman, pembelajaran, maka jiwa akan

menjadi sempurna padausia dewasanya.

28
Sudirman Tebba, Misteri Mahadahsyat (Bandung : Pustaka Hidayah,2004), cet.1. h.16-
17.
42

Dalam proses penyempurnaan itu jiwa bisa mengarah kepada kebaikan,

atau sebaliknya pada keburukan. Dalam istilah ayat di atas manusia bisa

membersihkan jiwanya, atau mengotorinya. Jika membersihkan jiwa, maka

beruntunglah kita. Karena jiwa yang bersih akan memberikan manfaat kepada

manusia itu saat hidup di dunia maupun di akhirat nanti. Sedangkan orang yang

mengotorinya bakal merugi, karena jiwa yang kotor itu akan memunculkan

masalah dan penderitaan sepanjang kehidupannya di dunia sampai akhirat.29Jiwa

mempunyai beberapa tingkatan yang harus di lalui:

1. Pelatihan lahiriah melalui pelaksanaan hukum-hukum ilahi yang berupa shalat dan

puasa serta lain-lainya.

2. Pelatihan batiniah melalui usaha menghilangkan sifat-sifat tercela.

3. Menghiasi jiwa dengan berbagai gambar yang suci.

4. Kefanaannya dala Dzat Ilahi serta penyaksiaan kebesaran Tuhan semesta alam.30

Ada tiga hal yang menyebabkan rûh dan jiwa berbeda. Pertama, karena

substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.

Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan rûh berbeda dari

segi kualitas „dzatnya‟. Jiwa di gambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah

kualitas naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan sseterusnya.

Sedangkan rûh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas

tinggi. Bahkan digambarkan sebagai turunan dari Dzat Ketuhanan.

29
Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya : Padma Press,2015),
h. 14-16
30
Muhammad Abdul Aziz al-Hillawi, Roh Itu Misterius (Jakarta : Cendikia Sentra
Muslim,2001), h.116-121
43

Perbedaan yang kedua, antara jiwa dan rûh adalah pada fungsinya. Jiwa

digambarkan sebagai sosok yang bertanggungjawab atas segala perbuatan

kemanusiaanya. Bukan rūḥ yang bertanggung jawab atas segala perbuatan

manusia, melainkan jiwa. Sedangkan rûh adalah dzat yang selalu baik dan

berkualitas tinggi. Sebaliknya hawa nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan

selalu mengajak kepada, keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa

memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka jiwa harus bertanggungjawab

terhadap pilihan itu.

Dan yang ketiga, perbedaan itu ada pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan

kesedihan, kekecewaaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan,

dan kedamaian. Sedangkan rûh bersifat stabil dalam kebaikan tanpa mengenal

perbandingan. rûh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagian lawan

dari sifat setan yang negatif.

C. Ayat-Ayat Tentang Rûh dalam al-Qur‟an

Penulis membuat table ayat-ayat mengenai rûh di dalam al-Qur‟an untuk

mempermudah para pembaca dalam membedakan makna kata rûh di dalam al-

Qur‟an, sebagai berikut :


44

NO NAMA SURAT AYAT TERJEMAH


I Kata Rûh yang di
artikan sebagai sesuatu
(unsur) yang ada dalam
jasad yang di ciptakan
Tuhan sebagai penyebab
adanya hidup
(kehidupan).

1 QS.an-Nisa(4) : 171  


     “Wahai ahli Kitab,
janganlah kamu melampaui
batas dalam agamamu, dan
     janganlah kamu mengatakan
terhadap Allah kecuali yang
      benar. Sesungguhnya Al
Masih, Isa putera Maryam itu,
    adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan) kalimat-
    Nya yang disampaikan-Nya
kepada Maryam, dan (dengan
tiupan) roh dari-Nya. Maka
     berimanlah kamu kepada Allah
dan rasul-rasul-Nya dan
      janganlah kamu mengatakan:
"(Tuhan itu) tiga", berhentilah
      (dari Ucapan itu). (Itu) lebih
baik bagimu. Sesungguhnya
     Allah Tuhan yang Maha Esa,
Maha suci Allah dari
mempunyai anak, segala yang
      
di langit dan di bumi adalah
kepunyaan-Nya. cukuplah
     Allah menjadi
Pemelihara.”(QS.an-Nisa :
    171)

      “Maka


apabila aku
2 QS al-Hijr(15) : 29
telah menyempurnakan
    kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-
Ku, Maka tunduklah kamu
kepadanya dengan
bersujud”.(QS al-Hijr(15) :
29)

45

3 QS al-Isra(17) : 85 “Dan mereka bertanya


   
kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu
      Termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi
     pengetahuan melainkan
sedikit".(Q.S Al-Isra(17) : 85


4 QS. al-Anbiyâ(21) : 91    “Dan (ingatlah kisah)


Maryam yang telah
    memelihara kehormatannya,
lalu Kami tiupkan ke dalam
(tubuh)nya ruh dari Kami dan
   Kami jadikan Dia dan anaknya
tanda (kekuasaan Allah) yang
  besar bagi semesta alam.”(QS.
al-Anbiya(21) : 91)

5 QS as-Sajadah(32) : 9      “Kemudian Dia


menyempurnakan dan
     meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia
     menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan
  hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur.”(QS As-
Sajadah(32) : 9)

6 QS. Shâd(38) : 72       “Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya
    dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah
kamu tersungkur dengan
bersujud kepadaNya".(QS
Shad(38) : 72

7 QS at-Tahrîm(66) : 12  
    “Dan (ingatlah) Maryam
binti Imran yang memelihara
   kehormatannya, Maka Kami
tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan)
   
Kami, dan Dia membenarkan
kalimat Rabbnya dan Kitab-
   KitabNya, dan Dia adalah
46

Termasuk orang-orang yang


   taat”.( QS at-Tahrim(66) : 12)

 

II. Kata Rûh yang


menunjukan Malaikat
Jibril

1 QS. al-Baqarah(2) : 87     “Dan Sesungguhnya Kami


telah mendatangkan Al kitab
(Taurat) kepada Musa, dan
    
Kami telah menyusulinya
(berturut-turut) sesudah itu
    dengan rasul-rasul, dan telah
Kami berikan bukti-bukti
   kebenaran (mukjizat) kepada
Isa putera Maryam dan Kami
    memperkuatnya dengan Ruhul
Qudus[69]. Apakah Setiap
     datang kepadamu seorang
Rasul membawa sesuatu
(pelajaran) yang tidak sesuai
  
dengan keinginanmu lalu kamu
menyombong; Maka beberapa
   orang (diantara mereka) kamu
dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh.”(QS
al-Baqarah(2) : 87)

2 QS al-Baqarah(2) : 253     “Rasul-rasul itu Kami


lebihkan sebagian (dari)
       mereka atas sebagian yang
lain. di antara mereka ada
     yang Allah berkata-kata
(langsung dengan dia) dan
    sebagiannya Allah
meninggikannya[158]
beberapa derajat. dan Kami
   berikan kepada Isa putera
Maryam beberapa mukjizat
      serta Kami perkuat Dia dengan
Ruhul Qudus[159]. dan kalau
     Allah menghendaki, niscaya
tidaklah berbunuh-bunuhan
    orang-orang (yang datang)
sesudah Rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka
47

beberapa macam keterangan,


    akan tetapi mereka berselisih,
Maka ada di antara mereka
       yang beriman dan ada (pula)
di antara mereka yang kafir.
     seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka
    berbunuh-bunuhan. akan tetapi
Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.”(QS al-
Baqarah(1) : 253)

3 QS al-Maidah(10) : 110       “(ingatlah), ketika Allah
mengatakan: "Hai Isa putra
    Maryam, ingatlah nikmat-Ku
kepadamu dan kepada ibumu
    di waktu aku menguatkan kamu
dengan Ruhul qudus. kamu
    dapat berbicara dengan
manusia di waktu masih dalam
buaian dan sesudah dewasa;
   
dan (ingatlah) di waktu aku
mengajar kamu menulis,
   hikmah, Taurat dan Injil, dan
(ingatlah pula) diwaktu kamu
     membentuk dari tanah (suatu
bentuk) yang berupa burung
     dengan ijin-Ku, kemudian
kamu meniup kepadanya, lalu
    bentuk itu menjadi burung
(yang sebenarnya) dengan
seizin-Ku. dan (ingatlah) di
   
waktu kamu menyembuhkan
orang yang buta sejak dalam
     kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan
     seizin-Ku, dan (ingatlah) di
waktu kamu mengeluarkan
    orang mati dari kubur
(menjadi hidup) dengan seizin-
    Ku, dan (ingatlah) di waktu
aku menghalangi Bani Israil
(dari keinginan mereka
     
membunuh kamu) di kala kamu
mengemukakan kepada mereka
  keterangan-keterangan yang
nyata, lalu orang-orang kafir
diantara mereka berkata: "Ini
48

tidak lain melainkan sihir yang


nyata".”(Q.S Al-Maidah(5) :
110

4 QS an-Nahl(16) : 102
     “Katakanlah: "Ruhul
Qudus (Jibril) menurunkan Al
   Quran itu dari Tuhanmu
dengan benar, untuk
meneguhkan (hati) orang-
  
orang yang telah beriman, dan
menjadi petunjuk serta kabar
   gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada
Allah)".(Q.S An-Nahl(16) :
102)

5 QS Maryam(19) : 17     “Maka ia Mengadakan


tabir (yang melindunginya)
   dari mereka; lalu Kami
mengutus roh Kami[901]
kepadanya, Maka ia menjelma
    
di hadapannya (dalam bentuk)
manusia yang sempurna.”(QS
Maryam(19) : 17)

6 QS asy-Syu’âra(26) : 193      “Dia dibawa turun oleh Ar-
Ruh Al-Amin (Jibril).”(QS
asy-Syu’āra(26) : 193)

7 QS al-Ma’ârij(70) : 4 “Malaikat-malaikat dan


  
roh (Jibril) naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari
    yang kadarnya limapuluh ribu
tahun”.(QS Al-Ma’āarij(70) :
   4)

 

8 QS an-Naba(78) : 38 “Pada hari, ketika ruh


  
dan Para Malaikat berdiri
bershaf- shaf, mereka tidak
    berkata-kata, kecuali siapa
yang telah diberi izin
49

kepadanya oleh Tuhan yang


    Maha Pemurah; dan ia
mengucapkan kata yang
    benar.”(Q.S An-Naba(78) : 38)



9 Q.S Al-Qadr(97) : 4       “Pada malam itu
turun malaikat-malaikat dan
    roh Malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur
segala urusan.”(Q.S Al-
Qadr(78) : 4)

III Kata Rûh yang


menunjukan Wahyu/al-
Qur’an

1 Q.S an-Nahl(16) : 2     “Dia menurunkan


Para Malaikat dengan
     (membawa) roh (wahyu)
dengan perintah-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki di
    
antara hamba-hamba-Nya,
Yaitu: "Peringatkanlah olehmu
     sekalian, bahwasanya tidak
ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, Maka
hendaklah kamu bertakwa
kepada-Ku".(Q.S An-Nahl(16)
: 2)

2 Q.S al-Ghâfir(40) : 15  


   “(Dialah) yang Maha Tinggi
derajat-Nya, yang menurunkan
roh (wahyu) kepada siapa
   
yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya,
    supaya Dia memperingatkan
(manusia) tentang hari
    Pertemuan (hari kiamat)”.(Q.S
al-Ghāfir(40) : 15
 
50

3 Q.S asy-Shûra(42) : 52 “Dan Demikianlah Kami


   wahyukan kepadamu ruh (Al
Quran) dengan perintah kami.
     sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui Apakah Al kitab
   (Al Quran) dan tidak pula
mengetahui Apakah iman itu,
   tetapi Kami menjadikan Al
Quran itu cahaya, yang Kami
   tunjuki dengan Dia siapa yang
Kami kehendaki di antara
hamba-hamba kami. dan
    Sesungguhnya kamu benar-
benar memberi petunjuk
    kepada jalan yang lurus”.(QS
asy-Syuura(42) : 52)
  

 

IV Kata Rûh yang


menunjukan arti
Pertolongan Allah Swt

1 QS al-Mujādalah(58) : 22 “Kamu tak akan mendapati


   kaum yang beriman pada Allah
dan hari akhirat, saling
  berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang
  Allah dan Rasul-Nya,
Sekalipun orang-orang itu
   bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun
   keluarga mereka. meraka
Itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam
   hati mereka dan menguatkan
mereka dengan ruh
   pertolongan yang datang
daripada-Nya. dan dimasukan-
    Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya
   sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha
   terhadap mereka, dan
merekapun merasa puas
51

terhadap (limpahan rahmat)-


    Nya. mereka Itulah golongan
Allah. ketahuilah, bahwa
    Sesungguhnya hizbullah itu
adalah golongan yang
    beruntung”.( QS al-
Mujādalah(58) : 22)
    

    

   

 

V Kata Rūḥ yang


menunjukan arti
Rahmat Allah Swt

1 QS. Yusuf(12) : 87      “Hai anak-anakku,


Pergilah kamu, Maka carilah
         berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu
      berputus asa dari ruh (
rahmat) Allah. Sesungguhnya
tiada berputus asa dari rahmat
    Allah, melainkan kaum yang
kafir".(QS. Yusuf(12) : 87)
VI Kata Rûh yang
menunjukan arti
Ketenteraman

1 QS. al-Wâqi’ah(56) : 89      “Maka Dia memperoleh(rawh)
ketenteraman dan rezki serta
jannah kenikmatan”.(QS. al-
Wāqi’ah(56) : 89)
BAB IV

PENAFSIRAN RȖḤ DALAM AL-QUR’AN MENURUT ‘ABDUL QÂDÎR


AL-JÎLÂNÎ DALAM TAFSIR AL-JÎLÂNÎ

A. Pengertian Kata Rûh dalam al-Qur‟an

Kata rûh di dalam al-Qur‟an diulang sebanyak 22 dengan kata )ُ‫ (رُوُح‬di ulang

sebanyak 20 kali dan dengan )ُ‫ (رُوُح‬sebanyak 2 kali.1 Dan kata rûh mempunyai

banyak makna yang tersebar dibeberapa ayat di dalam al-Qur‟an, dan dapat

diartikan sebagai sumber kehidupan/nyawa, Malaikat Jibril, wahyu atau al-

Qur‟an, rahmat Allah Swt, pertolongan Allah Swt dan ketentaraman jiwa.

Dan ayat-ayat dengan menggunakan kata rûh tersebar dalam QS. al-

Baqarah(2) : 87, QS. al-Baqarah(2) : 253, QS. an-Nisa(4) : 171, QS. al-Mâidah(5)

: 110, QS. Yusuf(12) : 87, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. an-Nahl(16) : 2, QS. an-

Nahl(16) : 102, QS. al-Isra‟(17) : 85, QS. Maryam(19) : 17, QS. al-Anbiyâ(21) :

91, QS. as-Syua‟râ(26) : 193, QS. as-Sajadah(32) : 9, QS. Shâd(38) : 72, QS. al-

Ghâfir(40) : 15, QS. as-Shûra(42) : 52, QS. al-Wâqi‟ah(56) : 89, QS. al-

Mujâdalah(58) : 22, QS. at-Tahrim(66) : 12, QS. al-Maâ‟rij(70) : 4, QS. an-

Naba(78) : 38, QS. al-Qadr(97) : 4.

Dari beberapa ayat mengenai rûh di dalam al-Qur‟an , Syekh „Abdul Qâdir al-

Jîlânî seorang ulama kharismatik yang dikenal dengan gelar Sulthonul

auliya(rajanya para wali), menjelaskan di dalam kitab tafsirnya yang berjudul

Tafsir al-Jîlânî al-Ghâus al-Rabbâni wa al-Imâm as-Samadâni dalam QS. al-

Isra‟(17) : ayat 85.

1
Muhammad Fuâd Abdul al-Bâni, Al-Mu‟jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur‟ânul al-
Karîm (Beirut : Dar al-Fikr,1981), h.326

52
53

               

“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Rūḥ
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".(Q.S Al-Isra‟(17) : 8)
Beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan Allah Swt kepada Nabi

Muhammad Saw untuk memberitahukan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa

kaum Nasrani dan Yahudi dan kaum yang yang laiinya sebelum Nabi

Muhammad Saw terpecah belah akibat dari menanyakan perihal tentang rûh.

Beliau mengatakan rûh yang ditanyakan dalam ayat ini adalah dzat yang menyatu

dengan jasad dan yang menjadi sumber penghidup/penggerak jasad itu sendiri,

baik bergeraknya dengan diatur maupun dengan kehedak nya sendiri. Dan apabila

dzat(rûh) itu berpisah dengan jasad maka jasad akan mati dan tidak akan dapat

bergerak dan hilang semua apa yang dirasakan oleh jasad. Beliau menegaskan

kembali bahwa yang ditanyakan oleh orang-orang saat itu adalah dzat rûh itu dan

bagaimana menyatu dengan jasad dan juga bagaimana hubungan dengan jasad itu

sendiri dan bagaimana ketika rûh berpisah dengan jasad.2

Dan selanjutnya Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan mengenai dzat

rûh, juga bagaimana rûh menyatu dengan jasad dan bagaimana rûh berpisah

dengan jasad adalah rahasia Allah Swt. dan perihal rûh itu merupakan dalil atau

petunjuk ketika Allah Swt ingin menjadikan sesuatu dengan seketika, maka itu hal

yang mudah bagiNya, sehingga persoalan mengenai bagaimana adanya rûh dan

terpisah nya rûh dari jasad adalah sesuatu yang hanya diketahui Allah Swt dan

2
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
54

tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya. sehingga di akhir ayat Allah Swt

menegaskan bahwa manusia tidaklah diberikan pengetahuan mengenai inti rûh

dan hal yang berkaitan dengan rûh, tetapi hanyalah sedikit yakni hanya penjelasan

mengenai rûh bukan zat rûh itu sendiri. Beliau juga mengatakan bahwa manusia

hanya dapat mempelajari sesuatu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang

terbatas. Dan Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan juga di akhir ayat ini

dengan mengatakan bahwa para ahli mukasyifīn (para orang sholeh yang

tersingkap hijab nya) berkata “adanya sesuatu di dunia ini, kemudian hidup dan

berkembangnya itu adalah rahasia yang mustahil yang dapat dipelajari di

karenakan keterbatasan kemampuan manusia yang diberikan oleh Allah Swt.3

Dan dalam ayat lain yang berkaitan rûh sebagai sumber atau sebab

kehidupan yaitu di dalam QS. al-Hijr(15) : 29, ayat yang menceritakan tentang

penciptaan manusia pada awalnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat

ini dengan mengatakan bahwasanya Allah Swt telah menyempurnakan bentuk

jasad manusia dari tanah yang kering yaitu tanah yang hitam juga menyengat bau

nya lalu menciptakan jin dari sejenisnya yang diciptakan sebelum manusia dari

unsur yang kualitasnya di bawah unsur manusia, yang terbuat dari api yang sangat

panas. Kemudian Allah Swt berfirman kepada para malaikat-Nya bahwa Dia telah

menciptakan manusia dengan sedemikian itu, maka ketika telah sempurna bentuk

manusia yang Allah Swt ciptakan, kemudian Allah Swt memercikan percikan rûh

(cahaya wujud-Nya) ke dalam ciptaan itu, agar nanti kelak manusia itu hidup

karena adanya unsur maha hidupnya Allah Swt, dan sebagai media atau wakil

Allah Swt untuk memperlihatkan seluruh nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya di

3
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 40-44.
55

dunia. Dan saat itu pun para malaikat sujud atas perintah-Nya sebagai bentuk

penghormatan tanpa ada interupsi apapun kepada Allah Swt, kecuali iblis yang

enggan untuk melakukan sujud karena menganggap dirinya lebih baik dari pada

manusia, karena diciptakan dari unsur yang yang lebih baik oleh Allah Swt di

bandingkan dengan unsur pencpitaan manusia.4

Selanjutnya ayat mengenai rûh dalam arti sebab kehidupan terdapat di

dalam QS. as-Sajadah(32) : 9, ayat yang juga menjelaskan penciptaan manusia

dari unsur tanah sampai di tiupkan rûhNya, beliau Shultonul auliya Syekh „Abdul

Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini bahwasannya Allah Swt adalah Tuhan yang

menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakanNya melalui kekuasaaNya dan

kehendakNya. Kemudian menciptakan manusia dari unsur tanah terlebih dahulu,

sebab tanah adalah unsur pertama yang ada di alam materi (dunia). Lalu Allah

Swt menjadikan keturunan manusia dari air mani yang bersifat hina dan kotor,

dan ketika Allah Swt telah menjadikan bentuk manusia yang pertama (adam) dan

menciptakan keturunannya melalui air mani dari manusia yang pertama (adam),

kemudian Allah Swt memperkuat dan menyempurnakan bentuk manusia itu

dengan bentuk paling sempurna lalu Allah Swt meniupkan rûhNya yaitu

menggabungkan unsur DzatNya (sebagai bentuk keistimewaan dan petunjuk

bahwa manusia adalah ciptaan yang luar biasa dan untuk memberitahukan bahwa

manusia mempunyai unsur yang berhubungan dengan Hadrah Rubûbiah), yaitu

menghimpun seluruh sifat-sifat dan nama-namaNya untuk menyempurnakan

kedudukan untuk wakilnya (manusia) di dunia dan agar menjaga hak-hak-Nya

sehingga manusia berakhlak dengan akhlak-Nya. selanjutnya Allah Swt

4
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 441-442.
56

menjadikan pendengaran untuk manusia untuk mendengar ayat-ayat tauhid dan

dalil-dalil keyakinan kepada Allah Swt, dan menjadikan penglihatan untuk

menyaksiakan segala ciptaan-ciptaanNya yang diciptakan dengan kekuasaanNya.

Dan juga menciptakan hati untuk merenungkan segala ciptaaan-ciptaaanNya

hingga sampai kepada tingkat mentauhidkanNya dan untuk merenungkan

berbagai ni‟mat yang telah Allah Swt berikan, tetapi Allah Swt berfirman dalam

akhir ayat “sedikit sekali dari kalian yang bersyukur”.5

Selanjutnya Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan makna rûh di dalam

QS. Shād(38) : 72, beliau menjelaskan Allah Swt berfirman di dalam al-Qur‟an

mengenai penciptaan manusia, lalu beliau menjelaskan ketika Allah Swt

berfirman kepada para malaikat

Nya mengenai penciptaan manusia, maka kemudian Allah Swt

memuliakan serta mengistimewakan manusia dengan menciptakan jasad manusia

dari tanah dan ketika telah sempurna bentuk jasadnya maka kemudian Allah Swt

meniupkan rûh dari rûhNya untuk menghimpun seluruh sifat-sifat dan nama-

namaNya dengan tujuan untuk menyempurnakan kedudukan para wakil (manusia)

nya di dunia. Maka pada saat itu pun malaikat sujud atas perintahnya sebagai

bentuk penghormatan kepada manusia.6

Sama seperti ayat-ayat yang di atas yang menjelaskan makna rûh sebagai

sumber kehidupan di dalam QS. an-Nisa(4) : 171, yakni ayat yang menceritakan

tentang ahli kitab yang menyembunyikan kebenaran Nabi Isa a.s sebagai seorang

5
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 55-56.
6
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 265-266.
57

Nabi yang diutus oleh Allah Swt, yang dilahirkan dari seorang perempuan yang

bernama Maryam dan Nabi Isa a.s sendiri tidak pernah mengatakan dirinya

sebagai Tuhan, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa

para ahli kitab diperintahkan oleh Allah Swt untuk tidak mengatakan akan sesuatu

kecuali dengan mengatakan yang sebenarnya, dan juga Allah Swt memerintahkan

mereka untuk tidak mennyekutukan Allah Swt Tuhan yang maha Esa dan Tuhan

yang tidak mempunyai anak, dan mengatakan bahwa sesungguhnya Isa al-Masih

anak laki-laki dari Maryam adalah Rasul Allah sama seperti Rasul-Rasul

sebelumnya dan juga mengenai perkara yang agung mengenai Isa yakni, ketika

Allah Swt menyampaikan kalimat kepada Maryam lalu Dia meniupkan rûh Nya

(TajalliNya) kemudian memperlihatkan kekhususan-kekhususan kepadanya

sehingga sifat lahûthiah nya mengalahkan sifat nashûtiahnya, dan akhir

penjelasan ayat ini, beliau mengatakan “sehingga sebab semua itulah para Nabi

diberikan hal-hal yang luar biasa, yang tidak dapat dijangkau oleh akal nalar

manusia umumnya”7

Dan masih dalam penjelasan ayat mengenai rûh dalam arti sebab

kehidupan di dalam QS. al-Anbiya(21) : 91, ayat yang menjelaskan tentang Nabi

Isa a.s yang dilahirkan tanpa ayah, hanya melalui seorang ibu yakni Maryam,

„Abdul Qâdir al-Jîlânî menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Nabi

Muhammad Saw diperintahkan untuk menyampaikan kepada umatnya tentang

Maryam, sebagai perempuan yang selalu menjaga kemaluannya dari yang halal

maupun yang haram, dan sebagai perempuan yang sabar di masa keperawanannya

dan tidak sedikitpun condong kepada hal-hal yang berkaitan dengan syahwat, itu

7
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 418-419.
58

semua ia lakukan karena semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt

meskipun memikul kesulitan dan rintangan yang amat berat dalam rangka

mentahuidkan Allah Swt, dan untuk memberitahukan bahwa Maryam adalah

perempuan yang telah sampai pada tingkat keterjagaan atau kesucian yang paling

sempurna. maka oleh karena itu Allah Swt melalui Malaikat Jibril sang pembawa

rûhNya (Allah Swt) meniupkannya ke dalam hati Maryam. Dan setelah rûh itu

masuk ke dalam hatinya maka Maryam pun mengandung Nabi Isa a.s. Syekh

„Abdul Qâdir al-Jîlânî juga menjelaskan bahwa Allah Swt menjadikan Maryam

dan Nabi Isa a.s sebagai ayat atau tanda yang luar biasa bagi seluruh alam, yang

berasal dari kekuasaan Allah Swt yang telah menjadikan seorang perempuan

dapat hamil tanpa melalui seorang ayah dan tanpa pernah disentuh oleh seorang

laki-laki.8

Dalam hal yang sama mengenai ayat tentng rûh, dalam hal ini kasus

mengenai Nabi Isa a.s di dalam QS. at-Tahrîm(66) : 12, Syekh „Abdul Qâdir al-

Jîlânî juga menjelaskan bahwasannya Allah Swt menciptakan perumpamaan

untuk orang-orang yang beriman yakni kisah mengenai Maryam, anak perempuan

Imran, sebagai perempuan yang sempurna kemulyaannya dan kesuciannya, juga

perempuan yang senantiasa menjaga kemaluannya dari laki-laki sehingga Allah

Swt ridha kepadanya. dan Allah Swt memberikan kemulyaan-kemulyaan yang

hanya Allah Swt berikan hanya kepada sebagian perempuan di dunia. Dimana

Allah Swt meniupkan ke dalam hatinya rûhNya (Allah Swt) sama halnya seperti

yang Allah Swt tiupkan ke dalam hati Nabi Adam a.s, sehingga dengan tiupan

itulah Maryam mengandung Nabi Isa a.s dan karena itu juga lah Nabi Isa a.s

8
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 201-102.
59

menjadi orang pilihan seperti Nabi Adam a.s, dan juga Allah Swt memberikan

mukjizat kepadanya, sama halnya seperti mukjizat yang Allah Swt berikan kepada

Nabi yang lain. lalu beliau menjelaskan perihal Maryam membenarkan kalimat

Allah Swt yang menciptakan Isa a.s dari tiupan itu juga membenarkan kitab-kitab-

nya dan juga mengatakan Maryam adalah termasuk orang-orang yang taat kepada

Allah Swt.9

Di samping ayat-ayat mengenai rûh yang bermakna sebab kehidupan di

dalam al-Qur‟an juga terdapat ayat-ayat mengenai rûh dengan makna yang lain,

salah satunya kata rûh yang diartikan sebagai Malaikat Jibril, dimana ayat-ayat

tersebut diulang sebanyak 8 kali di dalam al-Qur‟an, ayat yang pertama terdapat di

dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat

tersebut dengan mengatakan bahwa Allah Swt memerintahkan kepada Nabi

Muhammad Saw untuk menceritakan kepada mukminin tentang buruknya

kelakuan umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw yakni para ahli kitab, yang

dimana Allah Swt telah memberikan kitab Taurat kepada Nabi Isa a.s akan tetapi

kaumnya mendustakannya dan Allah Swt juga telah memberikan kitab kepada

para rasul sesudah Nabi Isa a.s yang berisi tentang ajakan-ajakan, ayat-ayat dan

mukjizat, sama halnya mereka pun didustakan oleh kaumnya sendiri lalu juga

Allah Swt juga telah memberikan Isa putra Maryam akan bukti-bukti (ayat-ayat)

yang jelas mengenai perihal kehidupan mereka, bahkan Allah Swt

mengkhususkannya dengan rûh al-Quds yakni rûh yang suci dari segala sifat yang

buruk, tetapi mereka pun mendustakannnya bahkan mencoba untuk

membunuhnya. dan apabila datang seorang Rasul kepada mereka dari sisi Allah

9
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet .2
jilid. 1 h. 233-235.
60

Swt dengan apa yang diri mereka tidak inginkan, mereka niscaya akan

menghinakannya dan mereka juga akan mendustakannya seperti yang di alami

Musa a.s dan Isa a.s dan di antara para Rasul yang dibunuh oleh kaum mereka

sendiri seperti yang di alami oleh Nabi Zakariya a.s dan Yahya a.s, kemudian

beliau mengatakan “bagaimana kaum seperti ini akan mendapatkan kebahagiaan,

sedangkan kebagaiaan akan didapatkan dengan ketentaraman.”10

Selanjutnya ayat mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril a.s juga terdapat

di dalam QS. al-Baqarah(2) : 253, dalam ayat ini Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî

menafsirkan bahwa Allah Swt telah mengkhusukan para Rasul yang telah

diberikan wahyu, yakni diantara mereka Allah Swt unggulkan sebagian dari yang

lain dengan berbagai macam keistimewaan, dan diantara mereka ada yang dapat

bermukalammah (berinteraksi) dengan Allah Swt yakni Nabi Isa a.s dan sebagian

ada yang Allah Swt tinggikan derajatnya. Beliau menjelaskan mereka adalah para

rasul yang Allah Swt sebutkan di dalam kitab-Nya pada beberapa ayat diantaranya

di dalam QS. Maryam(19) : 57. Kemudian beliau melanjutkannya dengan

mengatakan bahwa Allah Swt memberikan Isa putra Maryam bukti-bukti yang

nyata yang menunjukan akan kenabiannya, dan Allah Swt mengkuatkannya

dengan rûh al-Quds yang Allah Swt bersihkan dari segala sifat keburukan yang

menipu, yaitu dzat yang murni dan bersih dari seluruh perumpamaan. beliau

Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan bahwa banyak sekali Allah Swt di

dalam al-Qur‟an mennyebutkan keutamaan Nabi Isa a.s dan keutamaan Nabi

Muhammad Saw. Salah satu di antara nya Allah Swt berfirman dalam QS. al-

Baqarah(2) : 87 pada kalimat “Dan Kami kuatkan Isa dengan rûh al-Quds”, dan

10
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 127-128.
61

keutamaan Nabi Muhammad Saw di dalam maqam imtinān (pujian) terdapat

dalam QS. al-Insyirah(94) : 1-5.11

Kemudian kata rûh yang mengandung arti Malaikat Jibril terdapat juga di

dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini

dengan berkata ketika Allah Swt berfirman kepada Isa bin Maryam (sebagai

bentuk dari pemberian ni‟mat dariNya) “Ingatlah ni‟mat-Ku kepadamu dan

kepada ibumu ketika Aku (Allah Swt) menguatkanmu dengan rûh al-Quds yakni,

dzat yang suci, yang bersifat lahûthiyah yang bersih dari tercampurnya sifat

nasûthiah yang kuat, dan oleh sebab itu lah kamu dapat berbicara kepada manusia

ketika dalam buaian (bayi) dan ketika dewasa, dan juga ingatlah ketika Aku

(Allah Swt) mengajarkan kamu kitab (injil) yang bekaitan dengan syariat yang

dzahir dan hikmah yang berkaitan dengan bathin dan juga Taurat dan Injil yang

terdapat di dalam kedua itu tentang semua perkara yang bathin.12

Dalam ayat lain, dalam QS. an-Nahl(16) : 102, beliau menjelaskan bahwa

Allah Swt berfirman kepada Nabi Muhammad Saw “wahai Rasul yang paling

mulya, katakanlah “tidaklah aku berbohong dengan naskh (penyalinan) dan badal

(perubahan), dan mengenai rûh al-Quds yang menurunkan al-Qur‟an yakni Jibril

a.s kepadaku dan dia adalah dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan

dan keburukan, maka tidak lah ada kedustaan yang telah diwasiatkan kepadaku,

bahwa al-Qur‟an itu diturunkan dari Rabbmu (Muhammad) yang telah mendidik

kamu dengan segala bentuk pendidikan dan yang telah menguatkan kamu dengan

11
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229.
12
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 228-229.
62

kalam mukjizat ini al-Qur‟an) dengan kebenaran yang sesuai dengan apa yang

terjadi, tanpa ada sedikit noda keraguan pun di dalamnya”. Dan beliau

menjelaskan kembali bahwa Allah Swt menurunkan al-Qur‟an untuk menguatkan

orang-orang yang beriman dan juga sebagai penguat di dalam tingkatan al-yaqîn

(keyakinan) dan sebagai petunjuk untuk orang yang makrifat (mengenal) Allah

Swt di dalam tingkatan al-yaqîn al-ilmi dan juga sebagai kabar gembira untuk

para ahli kasyaf (orang yang tersingkap hijabnya) di dalam tingkatan al-yaqîn al-

haq dan semua itu untuk para muslimin.13 Kemudian dalam ayat lain seperti di

dalam QS. Maryam(19) : 111, beliau menjelaksan ketika Allah Swt mengutus ke

Maryam rûhNya yakni Jibril a.s untuk memperlihatkan kekusaaanNya dan

kebijaksanaanNya kemudian Malaikat Jibril pun menyerupai manusia.14

Pengertian kata rûh yang bermakna malaikat Jibril a.s juga ditemukan di

dalam QS. asy-Syua‟āra(26) : 193, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan

bahwa Allah Swt berfirman sesungguhnya al-Qur‟an itu adalah kitab yang di

turunkan dari sisiNya, seperti kitab-kitab yang lain yang Allah Swt turunkan

kepada Rasul-Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw, kitab yang diturunkan oleh

rûh al-Amin yakni Malaikat Jibril a.s. Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan

alasan mengapa dinamakan rûh al-Amin, dengan jawaban karena amanat atas

wahyu ilahi (al-Qur‟an) itu harus sampai kepada orang yang diturunkan kepada

nya al-Qur‟an (Nabi Muhammad Saw) tanpa ada perubahan sedikitpun.15

13
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 493-495.
14
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 111.112.
15
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 385.
63

Kemudian di dalam QS. al-Ma‟ârij(70) : 4, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî

menjelaskan ayat tersebut mengenai perihal orang-orang yang mendustakan akan

azab Allah Swt pada hari kiamat nanti yang pasti akan terjadi, beliau menjelaskan

juga bahwa azab Allah Swt akan diberikan kepada orang-orang yang kafir, yaitu

mereka yang terhijab (terhalang) dari kebenaran seperti orang yang terhijab

(terhalang) dari tirai yang kuat lagi kokoh, dan tidak akan ada seorang pun yang

dapat menolak azab dari Allah Swt, dimana azab yang diberikan oleh Allah Swt

itu merupakan ketetapan dariNya yang ditetapkan untuk para musuh-musuh Allah

Swt, dan sesungguhnya Allah Swt juga mempunyai derajat-derajat yang luhur dan

tempat-tempat yang terpuji untuk para kekasihNya. Dan juga para MalaikatNya

yang membawa jejak sifat-sifat dan nama-nama ilahiyah dan rûh (Malaikat Jibril

a.s), dia adalah dzat yang diturunkan dari sisiNya dalam bentuk yang luar biasa ke

alam dunia, dengan membawa jejak sifat-sifat keluhuran dari sifat dan nama Allah

Swt, kemudian naik menuju ke hadapanNya dalam waktu sehari di dunia, yang

sama halnya dengan lima puluh ribu tahun di sisiNya.16

Dan dalam ayat lain mengenai ayat yang mengandung kata rûh dalam arti

Malaikat Jibril a.s terdapat di dalam QS. an-Naba(78) : 38, Syekh „Abdul Qâdir

al-Jîlânî juga sama menjelasakan bahwasannya pada suatu hari di mana rûh yakni

Malaikat Jibril a.s (wujud yang disandarkan kepada bentuk yang luar biasa dari

cahaya wujud yang mutlak) dan para Malaikat yang berbaris dengan lurus serta

dalam keadaan hening dan tenang, karena pada hari itu terjadi sangat dahsyatnya

pengaruh (kekuasaan) Allah Swt, mereka tidak dapat menyangkal dengan ucapan

dan maupun dengan berbagai cara laiinya, kecuali orang yang telah Allah Swt

16
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270.
64

izinkan dengan syafaat yang telah diberikan oleh Allah Swt kepadanya, maka ia

dapat berbicara dengan perkataan yang pasti benar dan di ridhai oleh Allah Swt.17

dan dalam ayat terakhir mengenai rûh dalam arti Malaikat Jibril yaitu terdapat di

dalam QS. al-Qadr(97) : 4, beliau menjelaskan bahwa Allah Swt telah

menjelaskan mengenai malam lailatul qadr, bahwa malam lailaltul qadr itu lebih

baik dari pada seribu bulan dari hari-hari di alam syahâdah , ketika para malaikat

turun dan rûh yakni al-Amîn (Jibril a.s) yang mengurus segala urusan rûh alam

nasuth (manusia) dan di malam itu juga mereka (para malaikat) turun dengan

perintah dari Allah Swt dengan membawa berbagai macam perkara di alam

syahâdah.18

Setelah beberapa ayat yang mengandung kata rûh yang bermakna sebab

kehidupan dan Malaikat Jibril a.s, juga terdapat ayat yang mengandung kata rûh

yang bermakna Wahyu/al-Qur‟an, yang di ulang sebanyak 3 kali di dalam al-

Qur‟an, di antaranya terdapat di dalam QS. an-Nahl(16) : 2, QS. al-Ghâfir(40) : 15

dan QS. as-Shûra(42) : 52.

Di dalam QS. an-Nahl(16) : 2, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan

bahwa ketetapan Allah Swt pasti akan datang pada hari yang telah Allah Swt

janjikan, dan pada hari itu akan terbuka semua tirai dan rahasia sehingga

tersingkap semua hijab (penghalang), yang kemudian akan hancur semua tipu

daya dan kebohongan, maka jangalah kalian (orang-orang yang ragu di dalam

agama Allah Swt) meminta dipercepat datangnya hari itu, mahasuci Allah Swt

17
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 269-270.
18
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
65

dari apa yang mereka sekutukan, Dia lah Allah yang maha Esa yang menurukan

malaikat yang berada di sisinya dengan membawa rūḥ (wahyu) dengan

perintahnya, sebagai penguat kepada orang-orang yang Allah Swt kehendaki,

mereka adalah para Nabi, para Rasul yang diperintahkan untuk mengingatkan para

hamba Allah Swt yang tersesat sehingga kembali ke jalanNya. Dan

peringatkanlah (Muhammad) “Bahwa tiada Tuhan yang di sembah secara hak

kecuali kepada Aku(Allah Swt) dan bertaqwalah kalian dari menyalahi

perintahKu dan hukumKu.”19

Dan ayat berikutnya mengenai ayat tentang rûh yang bermakna wahyu

atau al-Qur‟an dalam QS. al-Ghâfir(40) : 15, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî

menjelaskan perihal orang-orang kafir yang tidak menyembah kepada Allah Swt

padahal telah jelas bahwa Allah Swt Sang Maha Peninggi derajat para hamba-

hambaNya ke sisiNya, yang memiliki arsy yang agung, yang menurunkan rûh

(wahyu) untuk disampaikan kepada manusia, yang diturunkan kepada hamba-

hambaNya yang di kehendakiNya, yaitu para hamba yang bernaung di bawah

nama-nama dan sifat-sifatNya serta Allah Swt mewajibkan mereka dengan

perintah dan larangan, baik dari sisi ubûdiyah (ibadah), ulûhiyah (ketuhanan) dan

rububiyahnya (pencipta). Dan rûh (wahyu) itu untuk mengingatkan para hamba-

hamba Allah Swt akan waktu kembali mereka, di saat amanat-amanat yang di

telah dititipkan mereka harus dipertanggungjawabkan.20

19
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 458-459.
20
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 310-311.
66

Dan juga di dalam QS. as-Shûra(42) : 52, beliau menjelaskan bahwa Allah

Swt mewahyukan wahyu kepada para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad

Saw, Allah Swt juga mewahyukan kepada sebaik-baiknya Rasul yakni Nabi

Muhammad Saw rûh (al-Qur‟an), sebagai bentuk keistimewaan dan kemulyaan

serta kekhususan kepada Nabi Muhammad Saw, untuk Nabi Saw menyampaikan

ajaran tauhid yang ada di dalamnya atas perintah Allah Swt. Beliau menjelaskan

mengapa al-Qur‟an dinamakan rûh, karena al-Qur‟an itu dapat menghidupkan

segala yang mati, kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa Allah Swt

mengkhususkan Nabi Muhammad Saw dengan rûh (al-Qur‟an) padahal Nabi

tidak mengetahui sebelumnya kitab (al-Qur‟an) itu, yang berisi tentang hukum-

hukum yang dzahir maupun yang bathin, dan juga Nabi Saw tidak mengetahui

tentang iman (tauhid). Tetapi Kami (Allah Swt) menjadikan al-Qur‟an sebagai

sebuah cahaya, yang dengan cahaya itu Kami beri petunjuk kepada hamba-hamba

yang Aku(Allah Swt) kehendaki dan seungguhnya Muhammad Saw memberikan

petunjuk kepada seluruh umat manusia ke jalan yang tidak ada kesesatan dan

bengkok sedikit pun yaitu jalan yang lurus.21

Di samping ayat-ayat mengenai rûh yang bermakna sebab kehidupan,

Malaikat Jibril dan wahyu/al-Qur‟an, terdapat juga kata rûh yang memiliki makna

yang berbeda dari makna itu semua, seperti kata rûh yang bermakna pertolongan

Allah Swt yang terdapat di dalam QS. al-Mujâdalah(58) : 22, Syekh „Abdul Qâdir

al-Jîlânî menjelaskannya ketika Allah Swt berfirman dalam rangka mengingatkan

para mukmin, dengan mengatakan tidaklah engkau (Muhammad) menemukan

suatu kaum yang beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, hari yang

21
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 388-389.
67

dipersiapkan untuk hisab (penghitungan amal) dan pembalasan. dan kamu juga

tidak akan menemukan mereka saling berkasih sayang satu sama lain. mereka

itulah orang-orang yang memusuhi Allah dan RasulNya sekalipun orang-orang itu

adalah bapaknya maksudnya bapak para orang mukmin atau anak mereka atau

saudara mereka atau pun sanak keluarga mereka, para kerabat dan orang yang

memiliki ikatan darah dengan mereka, dan orang-orang yang menerima dan

menahan dengan cinta dan kasih sayang kepada musuh-musuh Allah Swt dan

RasulNya karena mencari keridhaan Allah Swt dan RasulNya sehingga Allah Swt

pun mengukuhkan keimanan di dalam hati mereka. Dan karena sebab itu Allah

Swt menguatkan mereka dengan rûh (pertolongan) dari-Nya yang selalu hidup

selamanya, karena orang yang hidup dengan keimanan sungguh dia telah hidup

selamanya dan tidak akan pernah mati. Dan Allah Swt akan memasukan mereka

ke dalam surga-surgaNya yang mengalir dibawahnya air-air makrifat dan hakikat

yang terserap dari lautan kehidupan yang azali yakni wujud mutlak Allah Swt,

mereka kekal di dalamnya dan Allah Swt senantiasa ridha kepada mereka dan

mereka pun tunduk dan pasrah pula kepadaNya. Mereka itu lah orang-orang yang

meninggalkan jejak sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt dan ingatlah bahwa

kelompok seperti itulah yang akan berbahagia.22

Dan perlu diketahui bahwa di dalam al-Qur‟an mengenai ayat-ayat tentang

rûh tidak hanya menggunakan bentuk kata rûh yaitu dengan huruf râ berharakat

dhammah tetapi juga ada kata ‫ رُوُح‬dengan huruf râ dengan harakat fathah, yang

memiliki arti Rahmat Allah Swt, seperti halnya di dalam QS. Yusuf(7) : 87, Syekh

„Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan ayat ini dengan penjelasan bahwa ketika Nabi

22
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 453.
68

Ya‟qub a.s mengatakan kepada anak-anaknya “wahai anak-anakku pergilah kalian

ke mesir sekali lagi, carilah berita mengenai Yusuf dan saudara nya (benyamin)

dan janganlah kalian berputus asa wahai anakku dari rawh (pertolongan) Allah

Swt. karena kita adalah golongan dari para nabi yang tidak layak bagi kita untuk

berputus asa dari kasih kedermawananNya dalam keadaan apapun. Karena

sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rawh (pertolongan) Allah Swt melainkan

itulah orang-orang kafir.23

Ada juga di dalam al-Qur‟an kata rawh yang memiliki arti ketenteraman,

seperti yang terdapat di dalam QS. al-Wâqiah(56) : 89, belau menjelaskan ayat ini

menceritakan perihal keadaaan orang-orang yang mati kemudian dinaikkan ke

sisiNya, maka ketika dia mengalami kematian dia akan memperoleh kematian

dengan rawh (tenteram) dan dengan rahmatNya, dan akan ditempatkan di alam

lahût dan di tempat sekumpulan orang-orang yang berada di sisiNya meskipun dia

masih menggunakan pakaian alam nasûth, dan akan mendapatkan rezeki dari

Allah Swt serta ni‟mat syurga yang penuh dengan berbagai keni‟matan yang dapat

nikmati selamanya.24

Berbeda dengan para mufassir laiinya yang menafsirkan ayat-ayat

mengenai rûh yang bercorak sufi yang hanya mengartikan kata rûh sesuai dengan

konteks ayatnya dan tidak menafsirkan pada sisi lain dari makna kata rûh hal itu

sendiri dalam hal hakikatnya, Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî mencoba dengan

penjelasan yang lebih luas dalam menafsirkan kata-kata rûh dan menjelaskan

23
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 372.
24
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Tafsir al-Jîlânî ( Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2014), cet
.2 jilid. 1 h. 132.
69

secara konteks ayatnya dengan pengalaman spiritual beliau yang tinggi tanpa

melupakan bahwa hakikat rûh itu hanya Allah Swt yang tahu.

B. Relevansi Penafsiran Ayat Tentang Rûh dengan Penjelasan Rûh dalam Kitab Sirrûr al-

Asrâr wa Mazharul al-Anwâr

Ketika Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan makna kata rûh di dalam al-

Qur‟an, beliau lebih banyak menafsirkan kata rûh yang bermakna sebab

kehidupan atau sesuatu yang menghidupkan benda mati, dengan dzat yang tersirat

dari Dzat yang Maha Hidup yakni Allah Swt dan sebagai wujud yang mewakili

nama-nama dan sifat-sifatNya di alam dunia dan ketika menafsirkan kata rûh

yang bermakna Malaikat Jibril a.s dengan wujud yang bersih dari segala sifat

nasûth (kemanusiaan) yang bertugas untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi

Muhammad Saw dan kepada para Nabi dan Rasul yang laiinya juga membawa

rûh ke dalam hati Maryam binti Imran dan ketika menafsirkan kata rûh yang

bemakna wahyu atau al-Qur‟an beliau menjelaskan dengan alasan mengapa

dinamakan dengan kata rûh, dan penafsiran yang lain-lain nya mengenai kata rûh

dalam al-Qur‟an.

Penjelasan mengenai rûh di dalam al-Qur‟an disampaikan oleh beliau secara

tahlili atau terperinci tetapi terpisah satu sama lain sehingga tidak ada uraian yang

menjelaskan bagaimana rûh itu ketika awal penciptaan dan juga bagaimana

tahapan-tahapan rûh dan hal-hal yang berkaitan dengan rûh. Dan penulis

menggunakan salah satu karangan buku yang beliau tulis dengan judul Sirrûr al-

Asrâr wa Mazharul al-Anwâr yang bukunya tidak terlalu tebal tetapi merangkum

berbagai penjelasan mengenai rûh secara komprehensif.


70

Di dalam buku Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr setidaknya ada

beberapa fashal atau bagian dari seluruh bagian dari buku tersebut, yang berkaitan

dengan masalah rûh, yang pertama terdapat di dalam mukadimah mengenai

permulaan penciptaan makhluk, kemudian yang kedua penjelasan mengenai

kembalinya manusia ke tempat asalnya dan yang ketiga penjelasan mengenai

diturunkannya manusia ke posisi yang paling terendah derajatnya.25

Adapun dalam penjelasan mengenai permulaan penciptaan manusia, beliau

menjelaskan, ketika Allah Swt menciptakan rûh Muhammad Saw dari cahaya

DzatNya, sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Saw “Sesuatu yang pertama

kali Allah Swt ciptakan adalah rûhku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah

Swt adalah cahayaku dan sesuatu yang pertama diciptakan Allah Swt adalah

kalam dan sesuatu yang pertama Allah Swt adalah akal” dan beliau pun

menjelaskan bahwa maksud dari perkataan Nabi Saw ini dengan maksud dan

tujuannya sama yaitu Hakikat Muhammadiyah, kemudian beliau menjelan alasan

mengapa dinamakan cahaya, beliau mengatakan karena Nabi Saw yang

menerangi dari segala kegelapan (kesesatan) yang jelas, dan alasan mengapa

dinamakan akal, jawabanya karena akal yang dapat mencapai semua yang ada di

dunia, dan alasan mengapa dinamakan kalam karena kalam adalah perantara untuk

sampai kepada pengetahuan.26

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa rûh muhammadiyah adalah intisari dan

sumber dari segala yang ada, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Saw “Aku

berasal dari Allah Swt dan para Mukmin berasal dariku” , kemudian beliau

25
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6.
26
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 6.
71

menjelaskan Allah Swt menciptakan semua rûh di suatu tempat yang bernama

alam lahût, dan ciptakan dalam bentuk yang paling sempurna secara hakikat, dan

alam lahût itu adalah tempat asal semua rûh. dan 4000 tahun kemudian Allah Swt

menciptakan arsy dari cahayanya Nabi Muhammad Saw dan menciptakan

sebagian ciptaaan yang laiinya dari cahaya Nabi Saw, lalu setelah itu rûh - rûh

tersebut diturunkan ke posisi yang paling rendah ke dunia maksudnya jasad

sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. at-Tîn (95) : 4 “kemudian Kami

kembalikan dia ke tempat serendah-rendahnya” maksudnya dari alam lahût ke

alam jabarût , setelah itu Allah Swt memakaikan kepada rûh di alam jabarut

dengan pakaian yang terbuat di antara haramain namnya rûh al-shulthâni,

selanjutnya Allah Swt menurunkan rûh - rûh itu dengan pakaian tersebut ke alam

malakût dan juga Allah Swt memakaikan mereka pakaian di alam malakut

namanya rûh ar-ruhâni kemudian Allah Swt menurunkan mereka ke alam mulk

dan memakaiakan mereka pakaian di alam mulk, namanya rûh al-jasmâni, setelah

semua rûh - rûh menjalani tahapan tersebut, kemudian Allah Swt menciptakan

jasad-jasad untuk rūḥ- rūḥ itu. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS.

Thahâ(20) : 55, “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan

kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan

mengeluarkan kamu pada waktu yang lain”. setelah itu beliau menjelaskan ketika

rûh - rûh itu masuk ke dalam jasad Allah Swt memerintahkan para rûh dengan

mengatakan “apabila kalian masuk ke dalam jasad maka masuklah dengan

perintahKu” sebagaimana firmanNya dalam QS. al-Hijr(15) : 29.

Dan ketika rûh - rûh itu telah masuk ke dalam jasad dan mereka merasa

tenang di dalamnya dan apabila mereka melupakan janji yang pernah mereka
72

ucapkan, ketika mereka berada di tempat asal mereka yakni di alam lahut

sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. al-A‟raf(7) : 172, “Dan ingatlah ketika

Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah

Swt mengambil kesaksian terhadap rūḥ mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu”

mereka menjawab “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi” Kami lakukan

yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan “sesunggguhnya

ketika itu kami lengah terhadap ini” , maka beliau menjelaskan rûh - rûh itu tidak

akan dapat kembali ke tempat asal mereka apabila tidak menunaikan janji mereka

dan melupakan janji yang telah mereka ucapkan di alam lahût dengan Allah Swt.

Maka agar rûh - rûh itu dapat kembali ke tempat asal mereka dengan mudah,

maka Allah Swt menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitabNya kepada

para Nabi dan RasulNya untuk mengingatkan mereka tentang awal tempat mereka

dan perjanjian yang mereka ucapkan, sebagaimana Allah Swt berfirman dalam

QS. Ibrāhim(14) : 5, “Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan

membawa tanda tanda (kekuasaan) Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya),

“Kelurkanlah kaumu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan

ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah” sungguh pada yang demikian itu

terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabara dan banyak

bersyukur” beliau menafsirkan kata hari-hari Allah dengan hari-hari datangnya

mereka (rûh) , kemudian beliau mengatakan bahwa para Nabi diutus ke alam

dunia dan pergi ke alam akhirat untuk mengingatkan mereka dengan peringatan

ini, beliau menjelaskan “katakanlah barang siapa yang ingat dengan hari-hari itu

maka di akan kembali ke tempat asalnya” , maka Allah Swt mengutus Nabi

Muhammad Saw untuk seluruh manusia agar dengan Nabi Saw dapat membuka
73

mata hati mereka dari kegelapan (kesesatan) dan mengajak mereka untuk dapat

bertemu dengan Allah Swt nanti.27

Syekh „Abdul Qâdir al-Jîlânî menjelaskan alam lahût sebagai tempat awal di

mana diciptakannya rûh al-Quds dalam bentuk yang sempurna yang dimaksud

adalah rûh al-Quds al-Insâni al-Haqiqi yang dititipkan di dalam bagian hati yang

paling dalam di wujudnya yang tidak terpisahkan dengan kalimat lâillâhaillah.

Dan beliau juga menjelaskan tentang bagaimana caranya manusia dapat ke

tempat asalnya dengan mudah, dengan mengatakan manusia itu terdiri dari dua

unsur yakni jasmani dan ruhani, jasmani adalah insân „âm dan ruhani adalah insân

khâs, kembalinya insân „âm (jasmani) ke tempat asalnya memiliki tahapan dengan

mengamalkan ilmu syariat, tharîqat dan makrifat , beliau menjelaksan ada tiga

tingkatan derajat yang pertama, surga di alam mulk yakni surga ma‟wâ, yang

kedua surga di alam malakût yakni surga na‟îm, dan yang ketiga surga di alam

jabarût yakni surga firdaus, maka ketiga inilah keni‟matan yang dirasakan oleh

jasmani. Sedangkan kembali nya insân khâs (ruhani) kembali ke sisiNya dengan

cara mengetahui hakikat (tauhid) di alam qurbah (lahût).

Pada bagian yang berkaitan mengenai rûh berikutnya tentang penurunan

manusia ke posisi yang paling rendah, beliau menjelaskan ketika Allah Swt

menciptakan rûh al-Quds dalam bentuk yang paling sempurna di alam lahut,

maka Allah Swt berkehendak untuk menempatkan rûh al-Quds ke posisi yang

paling rendah ke alam dunia dengan tujuan agar bertambah sifat kemanusiaannya

dan kedekatakan dengan Allah Swt di tempat shiddîq (kebenaran) di sisi Allah

27
„Abdul Qâdir al-Jîlânî, Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr, h. 7-8.
74

Swt Sang maha raja yang berkuasa, yaitu di tempat para waliNya, NabiNya. maka

oleh karena itu Allah Swt menurunkan rûh al-Quds terlebih dahulu ke alam

jabarut dengan menyertakan benih tauhid yang disematkan ke dalam rûh al-Quds

yang berasal dari cahaya alam jabarût dengan memakaikan pakaian di antara dua

haram. begitupun ketika Allah Swt menurunkan rûh al-Quds ke alam mulk maka

Allah Swt memakaikan pakaian bersifat unsur agar tidak hancur ketika berada di

alam mulk yakni jasad yang kuat dan tebal , maka pakaian yang dipakai oleh rûh

al-Quds dinamakan dengan rûh sulthoni bila berada di alam jabarût, dan rûh

sirraniyah wa rawâniyah ketika berada di alam malakût, dan rûh al-jasmani

ketika berada di alam mulk, maka ketika maksud Allah Swt menurunkan rûh al-

Quds ke tempat yang paling rendah untuk ia mencari kedekatan dan derajat yang

lebih di sisiNya melalui perantara hati,

Dan Allah Swt memerintahkan kepada rûh - rûh itu semua memasuki jasad,

dan Allah Swt membagi setiap dari mereka tempat di dalamnya, tempat rûh al-

jasmani di dalam dua bagian jasad yakni di dalam daging dan darah, dan tempat

rûh al-Quds di dalam sirr (rahasia).

Dengan penjelasan mengenai rûh di dalam kitab Sirrûr al-Asrâr wa Mazharul

al-Anwâr yang beliau jelaskan dengan begitu komprehennsif, maka penulis

menemukan korelasi atau hubungan antara penafsiran beliau mengenai rûh di

dalam Tafsirnya dengan penjelasan mengenai rûh di dalam kitab Sirrûr al-Asrâr

wa Mazharul al-Anwâr, yaitu ketika beliau menafisrkan rûh di dalam al-Qur‟an

sebagai Dzat yang diciptakan dan bersumber dari rembasan Dzat nya Allah Swt,

yang Maha Hidup agar senantiasa rûh ketika berada di alam dunia dapat mewakili

nama-nama dan sifat-sifatNya sebagai dijelaskan di alam QS. al-Hijr(15) : 29, QS.
75

as-Sajadah(32) : 9, dan QS. Shâd(38) 72. Dan hal ini berdasarkan yang beliau

katakan di dalam kitab bahwasannya Allah Swt menciptakan rûh Nabi

Muhammad Saw yang pertama kalinya dari cahaya keelokan DzatNya, kemudian

beliau mengutip sabda Nabi Saw, bahwa Nabi Saw bersabda “aku berasal dari

Allah Swt dan para mukminin berasal dariku”, jadi rûh yang dimaksud di dalam

al-Qur‟an yang merupakan sesuatu yang pertama yang diciptakan olehNya adalah

rûh Nabi Muhammad Saw, atau disebut dengan Hakikat Muhammadiyyah, yaitu

segala sesuatu yang ada bersumber kepada rûh Nabi Muhammad Saw. Dan

sesungguhnya Nabi Muhammad Saw adalah makhluk yang paling sempurna baik

khalq (bentuk fisiknya) maupun khulûq (budi pekertinya), dan beliaulah satu-

satunya manusia yang dapat mengaktualisasikan segala kemampuan yang di

miliki oleh seorang manusia sehingga menjadi manusia paripurna atau insân al-

kâmil sehingga dapat mewakili nama-nama dan sifat-sifat Allah Swt di alam

dunia.

C. Relevansi Penafsiran Rûh „Abdul Qâdir al-Jîlânî dalam Kehidupan Sehari-hari.

Ketika seseorang merenungi segala ciptaan Allah Swt di alam dunia ini, maka

akan timbul sebuah kekaguman atas segala sesuatu yang ada yang diciptakan

dengan sangat teratur dan indah, seperti matahari yang setiap hari bahkan detiknya

selalu berada di dalam poros nya tidak pernah berubah bahkan keluar sedikitpun.

Dan begitupun ciptaan Allah Swt yang lainnya, ketika manusia merenungi dan

memikirkannya maka tidak ada sesuatu yang diciptakan melainkan keindahan dan

kemanfaatan bagi dirinya yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta.


76

Dan seluruh yang diciptakan di dunia ini bersumber dari satu cahaya, yakni

insân kâmil atau manusia paripurna, manusia yang mewakili nama-nama dan

sifat-sifat Allah Swt di dunia, manusia yang mampu mengaktualisasikan seluruh

potensi yang dia miliki, yakni Nabi Muhammad Saw penutup para Nabi dan

Rasul. Sebagaimana sabda beliau “awal sesuatu yang Allah Swt adalah rūḥku”.

Dan manusia sebagai elemen terpenting di alam dunia ini, sebagai pelaku dari

setiap kejadian yang terjadi di alam dunia, maka sudah barang tentu baik dan

buruk keadaaan alam ini berdasarkan bagaiamana manusia menjaga dan

memelihara alam ini, manusia sendiri mempunyai dua unsur dan dua sisi

kehidupan, yang unsur rûh yang mewakili sisi kebaikan dan yang kedua, unsur

jasad atau jasmani yang mewakili sifat keburukan.

Selanjutnya, manusia adalah makhluk yang mempunyai kebebasan dalam

memilih, ketika ia dihadapkan dengan jalan yang menuju kebaikan lalu

memilihnya maka ia akan selamat, sebaliknya ketika di hadapkan dengan jalan

yang menuju keburukan lalu ia memilihnya maka ia akan celaka. Sama halnya

ketika manusia diberikan potensi yang sempurna berupa akal, maka ia diberikan

pilihan mau tidak nya ia memaksimalkan potensi akal yang telah diberikan oleh

Allah Swt.

Fenomena yang terjadi di alam dunia ini, manusia yang diciptakan dari dua

unsur di dalam tubuhnya, ketika ia cenderung hanya kepada unsur jasad

mengabaikan unsur rûh maka akan berdampak buruk baginya dan lingkungannya,

dikarenakan akan keserakahan dan segala keburukan yang diperintahkan oleh

nafsu yang cenderung memerintahkan akan keburukan, dan ketika manusia hanya
77

cenderung dengan unsur rûh dan mengabaikan unsurr jasad, maka akan

berdampak tidak baik juga, karena unsur rûh tidak didukung dengan kesehatan

jasmani maka tidak akan mampu menjalankan segala apa yang telah diperintahkan

oleh Allah Swt dan RasulNya. Dan banyak terjadi saat ini banyak manusia yang

lupa akan salah satu unsur pencipataannya, yakni unsur rûh. mereka rela

menghabiskan waktunya untuk mencari sebanyak-banyaknya harta, setinggi-

tingginya tahta dan jabatan baik dengan cara yang benar maupun dengan cara

yang tidak benar dan mengabaikan ibadah kepada Allah Swt, melupakan

hubungan yang harus di jalin dengan Allah Swt, melupakan hak-hak yang harus

ditunaikan dengan sesamanya yang lain, maka dampak negatif yang akan di

alaminya kegundahan, kegelisahan, ketidaknyamanan, walaupun sudah

mempunyai banyak harta, jabatan yang tinggi dan yang laiinya, dikarenakan unsur

rûh di dalam tubuhnya diabaikan sehingga ada ketimpangan dalam kehidupan

sehari-hari yang ia jalani, tidak ada rasa bersyukur dan rasa kebahagiaan yang

dirasakan.

Maka beliau menjelaskan makna rûh di beberapa ayat di dalam ayat al-Qur‟an

yang menunjukan arti kehdiupan, yakni bahwa rûh itu diciptakan dari rembusan

cahaya DzatNya yang menjadikan manusia di alam dunia mewakili Nama-

NamaNya dan Sifat-SifatNya, yang menjadi Khalifah di muka bumi ini, yang

senantiasa menjalankan segala perintah dan larangannya, dan menurunkan rûh

dengan berbagai tahapannya dan sampai ke dalam jasad di alam dunia ini utntuk

menjadikan manusia lebih dekat di sisiNya nanti, dan tentunya hanya manusia

yang melaksanakan segala perintahNya dan menjahui segala larangaNya, yang

senantiasa menjaga dan melestarikan segala ciptaanNya di alam dunia ini dan
78

menjaga hak-hak sesamanya sehingga dapat mewakili nama dan sifatNya dan

mendapatkan kedudukan di sisiNya yang terbaik di akhirat nanti.

Maka dengan didasarkan dengan fenomena saat ini, penulis mengajak kepada

para pembaca skripsi ini agar senantiasa selalu mengingat Allah Swt, senantiasa

mengingat dari apa kita diciptakan dan untuk apa kita diciptakan di alam dunia

ini, dan mari senantiasa kita manfaatkan segala potensi yang telah diberikan Allah

Swt kepada kita, jadikanlah semuanya sebagai bentuk penghambaan kita

kepadaNya sebagai makhluk yang paling sempurna penciptaanya.


BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam pembahasan kata rûh di dalam al-Qur’an akan ditemukan arti yang berbeda,

dimana konteks yang berbeda dapat menghasilkan makna yang berbeda pada suatu

kata. Dengan menggunakan corak sufi dalam menafsirkan ayat-ayat mengenai rûh di

dalam al-Qur’an, tentu para mufassir yang menggunakan pendekatan seperti itu akan

mengungkap makna sisi lain dari literatur makan kata rûh itu sendiri, di dalam Tafsir

al-Jîlânî penulis menemukan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran yang bercorak

sufistik pada umumnya, ada beberapa kata rûh itu diartikan dalam arti yang lebih luas

dan menjadikan suatu makna tertentu.

Yang pertama, penulis menemukan arti rûh yang umumnya diartikan sebagai

penyebab kehidupan, diartikan dengan suatu dzat yang menyatu dengan jasad dan

menjadi sumber kehidupan, di dalam QS. al-Isra’(17) : 85, kemudian diartikan dalam

ayat lain, bahwa rûh itu adalah dzat yang berasal dari cahaya wujudnya Allah Swt,

yang mempresentasikan seluruh nama-namaNya dan sifat-sifatNya di alam dunia, ini di

dalam QS. al-Hijr(15) : 29 lalu dalam QS. as-Sajadah(32 ) : 9 , rûh adalah unsur yang

berasal dari Dzat Allah Swt atau yang mempunyai ikatan dengan dengan Dzat Allah

Swt, yang menghimpun segala sifat dan nama Allah Swt, agar senantiasa manusia

berakhlak dengan akhlakNya dan senantiasa menjaga hak-hakNya Allah Swt. Itu

beberapa arti dari kata rûh yang bermakna sebab kehidupan pada umumnya, di

samping ada kata rūḥ yang dirujukan kepada nabi Isa a.s, seperti di dalam QS. an-

Nisa(4) : 171, bahwa rûh (Isa a.s) itu adalah bentuk dari tajalliNya Allah Swt, yang

mengandung sifat lahûtiyah (ketuhanan) yang mengalahkan sifat nashûtiyahnya

79
80

(kemanusiaan) ,yang menjadikan nabi Isa a.s mendapatkan berbagai mukjizat yang luar

biasa.

Yang kedua, makna kata rûh yang biasa diartikan sebagai malaikat Jibril a.s pada

tafsir umumnya, penulis menemukan arti yang lebih luas dalam menafsrikan kata rûh

yang bermakna malaikat Jibril a.s, seperti di dalam QS. al-Baqarah(2) : 87, rûh al-

Quds diartikan sebagai malaikat Jibril a.s sebagai dzat yang suci dari segala sifat yang

buruk, lagi menipu. Juga di dalam QS. Maryam(19) : 17,diartikan sebagai dzat yang

murni dan bersih dari dari segala perumpamaan, dalam QS. al-Maidah(5) : 110, Jibril

a.s diartikan sebagai dzat yang suci, bersifat lahûtiyah yang bersih, tidak tercampur

dengan sifat nashûtiyah yang kuat. Dan di dalam QS. an-Nahl(16) : 102,diartikan

sebagai dzat yang dibersihkan dari segala sifat kekurangan dan keburukan. Kata rûh al-

Amin dalam QS. as-Syua’arâ(26) : 193 , yang bermakna Jibril a.s, dinamakan seperti itu

dikarenakan besarnya amanat atas wahyu ilahi yang harus disampaikan kepada orang

yang diturunkannya wahyu itu tanpa ada perubahan sedikit pun. Dan dalam ayat lain

dalam QS. an-Naba(78) : 38, rûh di artikan Jibril a.s sebagai wujud yang disandarkan

kepada bentuk yang luar biasa dari cahaya wujud yang hakiki (mutlak).

Yang ketiga, arti kata rûh dan rawh yang terdapat di dalam al-Qur’an yang

bermakna wahyu dan pertolongan serta ketentraman di dalam Tafsir al-Jîlânî sama

dengan kitab tafsir yang lain pada umumnya tanpa ada penjelasan yang lebih luas.

Maka kesimpulan yang penulis dapatkan dari pembahasan mengenai kata rûh di

dalam Tafsir al-Jîlânî, bahwa yang dimaksud dengan kata rūḥ di dalam al-Qur’an

seperti dalam QS. al-Isra’(17) : 85, QS. al-Hijr(15) : 29, QS. as-Sajadah(32) : 9, dan

yang laiinya, adalah Nabi Muhammad Saw atau hakikat Muhammadiyah, karena

beliaulah manusia paripurna atau disebut insan kamil, manusia yang dapat
81

mengaktualisasikan sifat lahûtiyah (ketuhanan) dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat

mempresentasikan seluruh sifat-sifat dan nama-nama Allah Swt di muka bumi ini, dan

beliau segala sumber apa yang diciptakan oleh Allah Swt di seluruh alam.

B. Saran

Pembahasan mengenai persoalan tentang rûh memang sudah banyak sekali yang

melakukan kajian terhadapnya, baik dari kalangan muslim itu sendiri maupun non

muslim, hal yang sangat misterius sampai saat ini, akan tetapi seiringnya zaman yang

semakin berkembang dengan teknologi dan segala kemajuanya, harus dilakukan sebuh

kajian yang tidak melupakan akan hakikat sebenarnya kehidupan di alam dunia ini. dan

di dalam kajian tentang rûh ini masih banyak yang harus dikembangkan, dan masih

banyak akan kekurangan baik dari sistem penulisan, pembahasan maupun berbagai

referensi yang penulis gunakan. Maka kritik dan saran yang penulis harapkan dari

berbagai pihak, agar kajian seperti dapat diteruskan dan dikembangkan pada masa yang

akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Al-Alusi, Abû Sana' Syihabuddin al-Sayyid Mahmûd Afandi. Rûh al-Ma'âni fi Tafsir al-
Qur'anul al-Azhim wa Sab'ûl al-Matsâni. Beirut : Dar al-Ihya, (1990).

Aziz, Muhammad Abdul al-Hillawi. Roh Itu Misterius. Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2001.

Al-Bāni, Muhammad Fuâd Abdul. Al-Mu'jam Al-Mufahras lil Alfâdzil al-Qur'ân al-Karîm.
Beirut : Dar al-Fikr. 1981.

Al-Ghazâli, Abû Hâmîd Muhammad bin Muhammad. Ihya al-Ulumuddin. Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1998.

Bertens. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Kanisius, 1999.

Dzulfikar, Achmad. Keramat Al-Allamah Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Depok : Keira
Publishing, 2015.

Halimuddin. Kehidupan di Alam Barzakh. Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

Hasan, Muhammad Iqbal. Pokok-pokok Materi Metedologi Penelitian dan Aplikasinya.


Jakarta : Ghalia, 2002.

Al-Jîlânî,Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Tafsir al-Jîlânî al-Ghaus ar-Rabbâni wa al-Imam
as-Shamadâni. Beirut : Dar al-Kotob, 2014.

Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Al-Ghunyah li Thâriqil al-Haq Azza wa Jalla.
Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiah, 1971.

Al-Jîlânî, Syekh Abdul Qâdir Abî Shâlih. Sirrur al-Asrâr wa Mazharul al-Anwâr.Tangerang
: Ciliongok Press, 2012.

Al-Jauziyah, Ibnu Qayyīm. Ar-Ruh li Ibnil Qayyîm al-Jauziyyah. Beirut : Dar al-Qolam al-

Ilmiah, 1403 H.

Kafie, Jamaluddin Masalah Ruh. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1979.

82
83

Katsir, Abū al-Fadâ Ismail Ibn Katsir . Tafsir al-Qur'ân al-â'zhim. Beirut: Dar Tayyibah,
1999.

Manaqib Syekh Abdul Qâdir Al-Jîlânî Perjalanan Spiritual Sulthonul Auliya. Bandung:
Pustaka Setia, 2008.

Mandzûr, Abî Fadli Jamaluddin Muhammd bin Makram Ibnu. Lisân al-Arab. Beirut: Dar
Shâdir. 1990.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progresif, 1997.

Musthofa, Agus Muhammad. Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh. Surabaya : Padma
Press, 2015.

Nasiruddin. Pendidikan Tasawuf. Semarang: Rasail, 2010.

Qutub, Sayyid. Fi Zilâlil al-Qur'an . Beirut : Dar al-Ihya, 1967.

As-Suyuthi, Al Imām Jalaluddin Abd Rahman Ibn Abi Bakr. Al-Itqân fi Ulûmil al-Qur'an.

Beirut : Dar al-Kotob al-Ilmiah, 2012.

As-Sakaky, Abu Hamas. Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Khatulistiwa Press, 2009.

As-Shalabi, Ali Muhammad. Biografi Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Jakarta: Beirut Publishing, 2015.

Ar-Râzi, Abû Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan At-Taimi. Mafâtih al-Ghaib. Beirut
: Dar al-Ihya, 1420 H.

At-Thabathabâi, Al-Allâmah as-Sayyid Muhammad al-Husein al-Mîzan fi Tafsir al-Qur'ân.


Beirut : Dar al-Fikr, 2002.

Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur'an.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Surachman, Winarto Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode Dasar Teknik. Jakarta:
Tarsita, 1990.

Sya'rawi, Mutawalli Esensi Hidup dan Mati . Jakarta: Gema Insani, 2008.
84

Tebba, Sudirman. Ruh Misteri Maha Dahsyat. Bandung: Pustaka Hidayah, 2004.

Wajdi, Muhammad Farîd. Ma'ârif al-Qur'ân. Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah. 1995.

al-Zabîdi, Muhammad Murtadhâ al-Husaini. Tâjul al-Arûs min Jauhari al-Qur'ân. Beirut:
Dar al-Kitab al-Ilmiyah. 1999.

Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munîr fi al-Aqidah wa al-Syari'ah wa al-Manhâj. Beirut: Dar al-
Fikr, 2014.

Skripsi :

El-Rasyad, Ahmad Dhani. "Ruh Manusia dalam al-Qur'an dan Sains (Studi Korelatif
Fenomena Ruh Manusia Menurut Penafsiran M.Quraish Shihab dan Tantawi Jauhari
dengan Sains." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islan Negeri Sunan
Ampel, 2016.

Islami, Muhammad Iqbal ." Konsep Ruh dalam Perspektif Hadits (Pemahaman Hadits
tentang ruh dalam Kitab ar-Ruh Karya Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah." Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010.

Nurliati, Atti. "Ruh dalam al-Qur'an Analisis Penafsiran Prof.Dr.M.Quraish Shihab Atas
Surat al-Isra ayat 85." Skripi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.

Rahman, Abdul. "Ruh dalam Perspektif Imam Fakhruddin ar-Razi." Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, (2002)

Jurnal :

Damis, Rahmi. “Falsafah Manusia dalam al-Qur'an.” Sipakalabbi V.1, no.2 (2017).

Lestari, Lenna. “Epistemologi Corak Tafsir Sufi.” Jurnal Syahadah V.2 no.1 (April,2014).

Hakamah, Zaenatul. “Ruh dalam Perspektif al-Qur'an dan Sains Modern.” Universum V.9,
no.2 (Juli 2015).

Hermawan, Wawan. “Posisi Ruh dalam Realitas Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.” Syifa
al-Qulub V.1, no.2 (Januari 2017).

Masduqi, Irwan. “Menyoal Otentisitas dan Epitemologi Tafsir al-Jilani.” Jurnal Analisa V.19
no.1 (Januari-Juli,2012).
85

Rahim, Rohada Abdul. “al-Ruh Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah.” Jurnal Ushuluddin, Bil
26 (2007).

Website:
http ://KBBI.WEB.ID./ROH.HTML. Di akes pada tanggal 20 Juli 2018

http//PPSN.MALANG.PESANTREN.WEB.ID/CGIBIN/CONTENT.CGL/ARTIKEL/EKSIS
TENSI_RUSHINGARTIKELKEISLAMAN. Di akses pada tanggal 28 Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai