Anda di halaman 1dari 94

KATA SHADR, QALB, FU’AD, DAN LUBB DALAM

AL-QUR’AN
(Studi Komparatif Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-
Misbah)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Tafsir Hadis (S.Th)

Disusun Oleh:

Qori Istighfarah (13210538)

PRODI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT ILMU AL- QUR’AN (IIQ) JAKARTA

2016 M/1437 H
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Dalam Al-Qur`an
(Studi Komparatif Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Misbah)” yang disusun oleh
Qori Istighfarah dengan Nomor Induk Mahasiswa 13210538 telah melalui
proses bimbingan dengan baik dan disetujui untuk diujikan pada sidang
munaqosyah.

Jakarta, 3 Agustus 2017


Pembimbing,

Dr.H.M.Ulinnuha Husnan,Lc,MA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Dalam Al-Qur`an
(Studi Komparatif Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Misbah)” oleh Qori
Istighfarah dengan NIM 13210538 telah diujikan pada sidang Munaqasyah
Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal Juli
2017. Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag).

Jakarta, 9 Agustus 2017


Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA

Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA Dra. Ruqayah Tamimi


Penguji I, Penguji II,

Ali Mursyid, MA Dr. Hj. Romlah Widayati, MA

Pembimbing,

Dr. H. M. Ulinnuha Husnan, Lc, MA


ii
PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Qori Istighfarah
NIM : 13210538
Tempat/ Tgl. Lahir : Jakarta, 07 Februari 1993

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan
Lubb Dalam Al-Qur`an (Studi Komparatif Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-
Misbah)” adalah benar-benar asli karya saya kecuali kutipan-kutipan yang
sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya
menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 7 Agustus 2017

Qori Istighfarah

iii
PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, kupersembahkan karya


sederhana ini untuk Ayah dan Almarhum Ibu, sosok yang Allah kirimkan
untuk membesarkan dan mendidik Faroh dengan penuh kesabaran dan kasih
sayang. Terimakasih atas untaian doa yang selalu mengalir tak pernah putus
dan atas segala pengorbanan yang tiada tara. Semoga Allah angkat derajat
Ayah dan Ibu, Allah muliakan, Allah ampuni dosa-dosanya, Allah
panjangkan umurnya dalam ketaatan dan ketawadhuan, amin.

iv
‫بسى اهلل انسّحًٍِ انسّحيى‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas Rahmat Allah penulis mampu menyelesaikan skripsi
dengan judul “Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Dalam Al-Qur`an (Studi
Komparatif Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Misbah)”
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad saw. Sang pendidik dan pembawa risalah agama Islam.
Hamdan lillah, tak henti-hentinya penulis haturkan kepada Sang
Maha Kuasa, sehingga atas Kuasa-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi
ini merupakan akumulasi dari perjuangan-perjuangan kecil penulis. Dalam
penyelesaian skripsi ini penulis harus mengkolaborasikan antara kesabaran
dan semangat, serta senantiasa menjaga keduanya agar tetap stabil selama
masa pengerjaan.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa karya sederhana ini sejatinya
bukanlah mutlak hasil dari kerja keras penulis seorang. Karena banyak sekali
sumbangsih orang lain dalam proses pengerjaannya. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih kepada:
1. Allah swt, yang Maha Pengasih dan Penyayang atas segala
kemudahan yang diberikan kepada penulis selama mengerjakan
skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA Ibunda kita
semua, Rektor Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa, MA dekan fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta,
atas kesediannya menyetujui judul penulis.
4. Bapak Dr. H. M. Ulinnuha Husnan, Lc, MA „sang pemberi
pencerahan‟ yang tidak ada bosan-bosannya memberikan nasihat
kepada penulis terkait dengan teknis, rangkaian kalimat bahkan dalam
hal memahami. Dan juga selalu memberi semangat kepada penulis
untuk menyelesaiakan skripsi ini. Jazakumullah.
5. Ibu Muthmainnah, dan Bu Istiq. Instruktur tahfidz yang selalu jadi
inspirator sejak penulis pertama kali menginjakkan kaki di kampus
tercinta. Tidak bosan untuk mengingatkan dan men-support penulis,
sehingga penulis bisa sampai ke titik ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin IIQ Jakarta yang tulus dan
ikhlas dalam membagikan ilmunya kepada penulis.
7. Seluruh staf Fakultas yang telah membantu setiap proses yang
penulis lalui.
8. Pimpinan dan staf perpustakaan IIQ Jakarta, perpustakaan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan umum UIN Syarif

v
Hidayatullah, perpustakaan PSQ, dan perputakaan Iman Jama‟.
Terima kasih karena telah menyediakan bahan-bahan demi
terselesaikannya skripsi ini.
9. Untuk Almarhum Ibu terkasih dan tersayang, Achlaqul Karimah.
Terima kasih telah menjadi ibu yang hebat, maafkan anakmu ini bu
yang belum sempat memperlihatkan toga di hadapanmu. Love you.
Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu’anha.
10. Untuk Ayah Farid Idrisi, terima kasih atas segala pengorbanannya.
Tidak ada kata yang pantas yang bisa aku ucapkan atas segala
pengorbananmu. I Love you, ayah.
11. Untuk Ibu Aminatus Sa‟diyah dan Ayah Syaifuddin, yang ikut andil
dalam membesarkan penulis selayaknya anak sendiri dan yang
dengan ikhlas dan tulus memberi kasih sayang yang tiada habisnya.
12. Teruntuk kakak-kakak penulis, mbak Qori, mas Bariz, Oja, dan mba
Nita. Terima kasih atas pertanyaan “kapan lulus?” yang selalu
menghantui penulis. Yang selalu men-support dari awal
menginjakkan kaki ke Jakarta, hingga penulis bisa sampai ke tahap
ini.
13. Sahabat-sahabat “Isteri Nabi” tercinta yang telah menemani penulis
sejak sekolah dasar hingga se-tua ini. Kalian yang selalu memberi
atmosfer kebahagiaan meski kita terpisah oleh lautan. Saranghaeyo.
14. Qurrota A‟yun, teman sepejuangan yang tidak pernah mengeluh
setiap penulis repotkan dengan berbagai pertanyaan terkait penelitian
ini. Matur suwun nduk.
15. Teman-teman angkatan 2013 terkhusus untuk teman-teman
Ushuluddin, atas kebersamaan dan supportnya selama masa
perkuliahan hingga sekarang.
Tak lupa penulis ucapkan permohonan maaf kepada seluruh pembaca
jika terdapat kesalahan dalam penulisan maupun penyusunan skipsi ini.
Penulis menyadari, masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Kesempurnaan hanya milik Allah swt dan kekurangan ada pada diri
penulis. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini mampu memberikan
kontribusi positif di dunia akademis, serta memberikan pemahaman baru
pada masyarakat.

Jakarta, 7 Agustus 2017

Qori Istighfarah

vi
DARTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN........................................................................... ii
PERNYATAAN PENULIS.......................................................................... iii
PERSEMBAHAN ..........................................................................................iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI.................................................................... x
ABSTRAKSI ............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan Dan Perumusan Masalah .................... 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 9
F. Teknik Dan Sistematika Penulisan............................................ 11
BAB II ANALISIS KATA SHADR, QALB, FU`ÂD, DAN LUBB
A. Definisi Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, Dan Lubb ........................... 13
a. Shadr .................................................................................... 13
b. Qalb ...................................................................................... 14
c. Fu`âd..................................................................................... 16
d. Lubb ...................................................................................... 18
B. Persamaan dan Perbedaan Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb
Menurut Para Ulama ................................................................. 18
C. Identifikasi Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Dalam Al-
Qur`an ....................................................................................... 20
a. Shadr ..................................................................................... 20
b. Qalb ...................................................................................... 21
c. Fu`âd..................................................................................... 25
d. Lubb ...................................................................................... 26
BAB III BIOGRAFI JALALAIN (JALALUDDIN AL-MAHALLI DAN
JALALUDDIN AL-SUYUTHI) DAN QURAISH SHIHAB
A. Pengarang Kitab Jalalain ........................................................... 29

vii
a. Al-Mahalli ............................................................................ 29
b. As-Suyuthi ............................................................................ 30
c. Riwayat Tafsir ...................................................................... 33
d. Metode Penafsiran ................................................................ 34
B. Riwayat Hidup Quraish Shihab ................................................. 35
a. Karir dan Aktifitas Quraish Shihab ...................................... 35
b. Riwayat Tafsir ...................................................................... 37
c. Metode Penafsiran ................................................................ 41
BAB IV TELAAH KATA SHADR, QALB, FU`ÂD, DAN LUBB DALAM
AL-QUR`AN BERDASARKAN TAFSIR JALALAIN DAN
TAFSIR AL-MISBAH
A. Penafsiran Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Menurut Tafsir
Jalalain dan Tafsir Al-Misbah ................................................... 45
1. Penafsiran Kata Shadr ......................................................... 45
a. Shadran ......................................................................... 45
b. Shadrahu ....................................................................... 46
c. Ash-Shudur .................................................................... 48
d. Shudurihim .................................................................... 49
2. Analisis Tafsir Kata Shadr .................................................. 50
3. Penafsiran Kata Qalb .......................................................... 51
a. Qalb ............................................................................... 51
b. Qalbuhu ......................................................................... 52
c. Qalbain .......................................................................... 54
d. Qulub ............................................................................. 55
e. Qulubikum ..................................................................... 56
f. Qulubana ....................................................................... 57
g. Qulubihim ...................................................................... 58
h. Qulubihim ...................................................................... 59
i. Qulubihim ...................................................................... 60
j. Qulubihim ...................................................................... 61
k. Qulubihim ...................................................................... 62
l. Qulubihim ...................................................................... 64
m. Qulubihinna ................................................................... 65
4. Analisis Tafsir Kata Qalb .................................................... 66
5. Penafsiran Kata Fu`âd ......................................................... 67
a. Al-Fu`âd ........................................................................ 67
b. Fu`âdaka ....................................................................... 69
6. Analisis Tafsir Kata Fu`âd .................................................. 70
7. Penafsiran Kata Lubb .......................................................... 71
a. Al-Albab ........................................................................ 71
b. Al-Albab ........................................................................ 72

viii
8. Analisis Tafsir Kata Lubb ................................................... 73
B. Analisis Secara Komprehensif Menurut Tafsir Jalalain dan Tafsir
Al-Misbah ..................................................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 79
B. Saran ............................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 81

ix
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan
Huruf Huruf
Nama Keterangan
Arab Latin
‫أ‬ Alif - Tidak dilambangkan
‫ة‬ bā` B Huruf “be”
‫ث‬ tā` T Huruf “te”
‫ث‬ tsā` Ts Huruf “te” dan “es”
‫ج‬ Jim J Huruf je
‫ح‬ hā` H Huruf “ha” dengan garis bawah
‫خ‬ khā` Kh Huruf “ka” dan “ha”
‫د‬ Dal D Huruf “de”
‫ذ‬ Dzal Dz Huruf “de” dan “zet”
‫ز‬ rā` R Huruf “er”
‫ش‬ Zai Z Huruf “zet”
‫س‬ Sin S Huruf “es”
‫ش‬ Syin Sy Huruf “es” dan “ye”
‫ص‬ Shād Sh Huruf “es” dan “ha”
‫ض‬ Dhād Dh Huruf “de” dan “ha”
‫ط‬ thā` Th Huruf “te” dan “ha”
‫ظ‬ zhā` Zh Huruf “zet” dan “ha”
Koma terbalik di atas hadap
‫ع‬ „ain „
kanan
‫غ‬ Ghain Gh Huruf “ge” dan “ha”
‫ف‬ fā` F Huruf “ef”
‫ق‬ Qāf Q Huruf “qi”
‫ك‬ Kāf K Huruf “ka”
‫ل‬ Lām L Huruf “el”
‫و‬ Mim M Huruf “em”
ٌ Nun N Huruf “en”
‫و‬ Wāwu W Huruf “we”
‫ھ‬ hā` H Huruf “ha”
‫ء‬ Hamzah ` Apostrof
‫ي‬ yā` Y Huruf “ye”

x
B. Vokal
 Vokal Tunggal
Tanda Vocal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
A Harakat Fathah
I Harakat Kasrah
U Harakat Dhammah

 Vokal Panjang
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
Huruf “a” dengan topi di
ȃ
atas
Î Huruf “i” dengan topi di atas
Huruf “u” dengan topi di
Û
atas

 Vokal Rangkap
Tanda Vokal Tanda Vokal
Keterangan
Arab Latin
Ai Huruf “a” dan “i”
Au Huruf “a” dan “u”

C. Kata Sandang
1) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (‫ )ال‬qamariyyah
ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. Contohnya:
‫انبقسة‬: al-Baqarah ‫انًديُت‬: al-Madînah
2) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (‫ )ال‬syamsiyyah
ditransliterasi sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan
sesuai bunyinyaContoh:
‫ انسجم‬: ar-rajul ‫ انسيّدة‬: as-Sayyidah
‫ انشًس‬: asy-syams ‫ اندازيى‬: ad-Dȃ rimî
3) Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan
lambang (_ّ_), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.
Aturan ini berlaku umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh:

xi
ِ ‫ أيََُب بِب‬: Âmannȃ billȃ hi
‫هلل‬ ُ‫ أيٍََ انسُفَهَبء‬: Âmana as-Sufahȃ ’u
ٍَْ‫ إٌَِ انَرِي‬: Inna al-ladzîna ِ‫وَانسُكَع‬ : wa ar-rukka’i
4) Ta Marbuthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:
ِ‫األَفْئِ َدة‬ : al-Af`idah
ُ‫إلسْهَبيِيَت‬ِ ‫ انجَبيِعَتُ ا‬: al-Jȃ mi’ah al-Islȃ miyyah
Sedangkan ta marbuthah yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:
ٌ‫ عَبيِهتٌ ََبصِبَت‬:’Âmilatun Nashibah
‫ اٱليَتُ انكُبْسٰى‬: al-Âyat al-Kubrȃ

xii
ABSTAKSI

Qori Istighfarah (13210538)


Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, dan Lubb Dalam Al-Qur`an (Studi Komparatif
Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Misbah)

Skripsi ini menelaah mengenai persamaan kata shadr, qalb, Fu`âd,


dan lubb. Penulis mengambil keempat kata tersebut karena di dalam Al-
Qur`an sering dijumpai dan tidak jarang memiliki makna yang sama, yakni
dimaknai sebagai “hati”. Berangkat dari permasalahan ini, maka penulis
ingin menelaahnya dengan membandingkan antara tafsir Jalalain dan tafsir
al-Misbah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).
Sumber data primernya berupa kitab tafsir Jalalain terjemah bahasa Indonesia
dan tafsir al-Misbah. Sedangkan data sekundernya adalah kamus besar
bahasa indonesia, kamus bahasa arab, dan buku-buku yang berkaitan dengan
pembahasan. Pengolahan data dilakukan dengan metode deskriptif-analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kata shadr adalah sesuatu yang
memiliki potensi untuk merasakan hal-hal yang bersifat negatif seperti
perasaaa iri, dengki, benci dan marab. Qalb berkaitan dengan keimanan,
Fu`âd disamakan dengan kalbu, ia sifatnya kokok dan tidak mudah
terguncang. Lubb adalah sesuatu yang murni dan bersih. Dan sejatinya,
meskipun keempat kata ini sekilas memiliki arti yang sama, akan tetapi
apabila ditelaah lebih lanjut, kandungan makna yang mereka miliki jauh
berbeda. Hal ini mendukung pendapat Abu al-„Abbas Ahmad ibn Yahya
Tha‟lab, Ibn Faris, dan Abu Hilal al-Askari bahwa tidak ada sinonimitas
dalam Al-Qur`an.
Di samping itu penulis juga menemukan bahwa Jalalain dan Quraish
Shihab tidak berbeda pendapat dalam memaknai kata shadr dan qalb.
Masing-masing memaknai shadr sebagai tempat perasaan (iri, dengki, dan
lainnya), dan memaknai qalb sebagai tempat dimana iman bersemayam.
Untuk kata lubb keduanya memiliki sedikit perbedaan, Jalalain memaknainya
sebagai orang-orang yang berakal sehat, sedangkan Quraish Shihab
memaknainya sebagai orang-orang yang berakal murni. Sedangkan pada kata
Fu`âd, mereka memiliki pendapat yang berbeda, Jalalain memaknai sebagai
kalbu sedangkan Quraish Shihab memaknainya sebagai sesuatu yang
berfungsi untuk menghadapi tugas-tugas yang berat. Hal ini dipengaruhi oleh
teknik penafsiran yang mereka gunakan. Jalalain menafsirkan secara ijmali
sedangkan Quraish Shihab menafsirkan secara tahlili.

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur`an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan
bahasa Arab.1 Saat bahasa ini menjadi bahasa Al-Qur`an, ia bukan lagi
sekedar kata-kata, frasa atau kalimat yang menjadi bacaan rutinitas umat
Islam, tetapi ia juga sebagai tanda dan pembawa makna untuk
dikomunikasikan kepada umat manusia. Oleh karena itu bahasa-bahasa
Al-Qur`an bukan hanya sebatas proses komunikasi, melainkan bahasa
komunikasi yang membangkitkan makna (the generation of meaning).2
Dengan demikian, saat kita berkomunikasi dengan Al-Qur`an,
setidaknya kita dapat memahami maksud dan pesan di dalamnya. Hal ini
terjadi karena Al-Qur`an membuat pesan dalam bentuk tanda bahasa
(kata). Pesan-pesan yang terdapat dalam Al-Qur`an, mendorong manusia
untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri. Semakin banyak
memahami kode yang terdapat dalam teks Arab Al-Qur`an, maka
semakin dekatlah “makna” kita dengan makna atau pesan yang terdapat
di dalam Al-Qur`an. Untuk itu teks Arab Al-Qur`an dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu bidang analisis wacana (‘ilm tahlil al-khitab) dan bidang
semiologi atau semiotik (‘ilm al-alamah).3
Pernyataan di atas berdasarkan bahwa ketika Allah swt
menurunkan wahyu kepada Muhammad saw memilih sistem bahasa
tertentu, dalam hal ini adalah bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab
sebagai sistem bahasa Al-Qur`an tidak hanya dari sisi kebahasaan saja,
tetapi bahasa yang merupakan perangkat sosial yang penting dalam
kehidupan manusia (bangsa Arab saat itu). Sehingga ketika berbicara
masalah bahasa, maka tidak akan lepas dari konteks budaya. Tentu saja,
wilayah kajian sudah tertutup pada wilayah pengirim teks (Tuhan), tetapi
masih terbuka kajian ilmiah terhadap teks yang menjadi bagian dari
realitas dan budaya.4
Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur`an mendapatkan
perhatian besar umatnya melalui pengkajian intensif. 5 Agar tidak terjadi

1
Sesungguhnya Kami jadikan Al-Qur`an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahaminya. (QS.al Zukhruf ayat 3)
2
Hilman Latif, Hermeneutika Al-Qur`an, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 90
3
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, (Yogyakarta: LKIS, 2003) h.31
4
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur`an Kritik Terhadap ‘Ulum Al-Qur`an,
(Yogyakarta:LKIS, 2001)h. 50
5
Manna‟ Khalil Al-Qatthan, Mabâhis fi ‘Ulûm Al-Qur`ân, cet. xxiv, (Beirut:
Maktabat Al-Risâlah, 1993) h. 255

1
2

pemahaman yang samar, maka perlu adanya upaya untuk memahami


maksud firman Allah, yaitu yang biasa disebut tafsir.6
Salah satu keistimewaan Al-Qur`an yakni kata dan kalimat-
kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Ia
bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap sisinya. 7 Bahasa
Al-Qur`an mengandung nilai yang tinggi, memiliki makna yang
berkaitan dan saling mengisi ketika digunakan dalam berbagai ayat.
Biasanya, bahasa Al-Qur`an mengandung banyak muatan dan konsep-
konsep yang tidak hanya menunjukkan satu arti. Kadangkala bahasa Al-
Qur`an memberi makna baru di dalam bahasa Arab. 8
Dalam rangka memahami kata yang termuat dalam kitab suci Al-
Qur`anharus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa keakraban
tersebut. Makna yang terkandung di dalam Al-Qur`an dapat diketahui
dengan cara menelusuri melalui pengumpulan seluruh bentuk kata yang
tertuang di dalamnya dan dipelajari konteks umumnya. 9
Ada kata yang menurut pendapat sebagian ahli linguistik 10
tertentu biasa dianggap sinonim, padahal dalam kenyataannya di dalam
Al-Qur`an tidak pernah muncul kata-kata dengan pengertian atau makna
yang benar-benar sama. Ketika Al-Qur`an menggunakan sebuah kata,
maka kata tersebut tidak dapat diganti dengan kata lain yang dalam
kamus-kamus bahasa arab dan kitab-kitab tafsir biasa disebut dengan
sinonim.
Fenomena makna bahasa di kalangan tokoh linguistik 11, baik
makna berupa sinonimi maupun antonimi, terdapat dua pandangan yang
bertolak belakang antara satu ahli dengan ahli lainnya. Sebagaimana
menurut Palmer dalam Semantik Bahasa Arab menurut Al-Anbari Kajian
Makna Tadado di dalam Al-Qur`an yang mendefinisikan sinonim
sebagai kesamaan makna “synonymy is used to mean sameness of
6
Menurut Amina Wadud Muhsin menafsirkan adalah suatu proses kegiatan untuk
mengakaji kata dalam konteksnya untuk menarik pemahaman dari nash Al-Qur`an. Lihat
Amina Wadud, Qur`an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Jender dalam Tradisi Tafsir.
Terj. Abdullah Ali (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 32
7
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur`an, (Bandung: Anggota IKAPI, 2007), h. 120
8
Sugeng Sugiyono, Lisan dan Kalam Kajian Semantik Al-Qur`an, (Yogyakarta:
Sunan Kalijaga Press, 2009), h.3
9
Aisyah Abdurrahman, At-Tafsîr Al-Bayânî lil Qur`ânil Karîm, Terj. Mudzakkir
Abdussalam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 13
10
Ibn Khalawayh, Abu al-Hasan „Ali ibn „Isa al-Rummani (w. 384 H), al-Fairuz
Abadi dan Fakhruddin al-Razi (w. 666 H). Selengkapnya lihat Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-
Dalalah, (Kuwait: Maktabah al-Arûbah, 1982 M/1402 H) cet ke-1, h. 217
11
Tokoh linguistik: Abu al-Hasan ibn „Isa al-Rummani (w. 384 H), Abu al-„Abbas
Ahmad ibn Yahya Tha‟lab (w. 291 H), Ibn Faris, Abu Hilal al-Askari, dll. Selengkapnya
lihat Abdurrahman ibn Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuti, al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughah wa
Anwa’iha Juz I, (Beirut: Dar al-Kutub, 1998 M), h. 401
3

meaning”, bentuk bahasa yang memiliki makna yang sama disebut


sinonim. Menurutnya, sinonim itu dapat terjadi pada tataran kata,
kelompok kata atau frase, maupun kalimat, walaupun umumnya yang
dianggap sinonim itu hanya pada tataran kata saja.
Dalam penyusunan sebuah kamus, kebanyakan perangkat kata
diberi makna sama atau sinonim atau antonim dengan kata yang lain.
Misalnya kata “mavís” merupakan sinonim dari kata ”thrush”, kata
“hoatzin” diartikan dengan “stink-bird, dan kata “neve” diinterpretasikan
dengan “firn”. Lebih lanjut Palmer mengatakan bahwa sinonim terdapat
pada dua bahasa yang berbeda, misalnya kata “kingly” di dalam bahasa
Inggris, bersinonim dengan kata “royal” pada bahasa Prancis, dan di
dalam bahasa Latin disebut dengan “regal”. Sementara itu, Cruse
membagi sinonim kepada tiga, yaitu: 1) sinonim mutlak (absolute
synonymy), 2) sinonim proposional (proposional synonymy), dan 3)
sinonim menyepi (near synonymy).12
Menurut Ahmad Mukhtar „Umar (w.1350 H), orang yang
pertama mengarang kitab tentang sinonim di kalangan linguis Arab
adalah Abu al-Hasan ibn „Isa al-Rummani (w. 384 H) dengan judul al-
Fawaz al-Mutaradifat wa al-Mutaqaribat fi al-Ma’na.13 Di dalam buku
ini dijelaskan beberapa kata yang tergolong kepada sinonim. Meskipun
telah banyak ahli bahasa Arab yang menulis buku-buku yang berkaitan
dengan sinonim akan tetapi permasalahan tersebut tidak terlepas dari
pandangan yang kontradiktif di kalangan ahli bahasa.
Para ahli yang menolak keberadaan sinonim berupaya untuk
dapat memperlihatkan perbedaan-perbedaan makna di antara kata-kata
yang dianggap bersinonim. Di antara ahli bahasa yang menolak
keberadaan sinonim ialah Abu al-„Abbas Ahmad ibn Yahya Tha‟lab (w.
291 H), Ibn Faris, dan Abu Hilal al-Askari. Sementara itu al-Suyuti
berpendapaat bahwa pada awal abad kedua Hijriyah persoalan al-taraduf
sudah muncul. Namun, perbedaan persepsi dalam masalah terebut
muncul pada abad ke empat Hijriyah. Misalnya Tha‟lab yang mencari
perbedaan makna dari kata-kata yang dahulu dianggap sinonim dari kata
lain, dan pada akhirnya dia menolak sinonim.14
Ahmad Mukhtar „Umar dan Ibrahim Anis (w. 1397 H)
menggolongkan Abu Hilal al-Askari (w. 395 H) sebagai seorang ahli
yang menolak adanya sinonim dalam bahasa Arab dengan mengarang
buku yang berjudul al-Furuq al-Lughawiyah. Buku ini secara tegas

12
Mahyudin Ritonga, Semantik Bahasa Arab Menurut Al-Anbari Kajian Makna
Tadado di dalam Al-Qur`an, (Padang: Hayfa Press, 2013) cet. I, hal 2
13
Ahmad Mukhtar „Umar, ‘Ilm al-Dalalah,... h .216
14
Abdurrahman ibn Abu Bakar Jalaluddin al-Suyuti, al-Muzhir fi ‘Ulum al-Lughah
wa Anwa’iha Juz I,... h. 401
4

menyatakan sinonim bahasa Arab itu tidak ada sekaligus menerangkan


perbedaan makna dari masing-masing kata yang dianggap bersinonim
dan memiliki kemiripan makna di kalangan pakar bahasa Arab.15
Adapun di antara linguis yang mengatakan adanya sinonim
bahasa Arab ialah Ibn Khalawayh. Berdasarkan ungkapannya di hadapan
Abu „Afi al-Farisi, dapat dipahami bahwa dia sebagai salah seorang
tokoh bahasa yang meyakini bahwa al-tadaruf benar-benar terdapat di
dalam bahasa Arab. Bahkan dia mengatakan hal itu adalah suatau
keutamaan, keluasan dan kekayaan kosakata bahasa Arab. Tokoh lain
yang termasuk dalam hal ini ialah Abu al-Hasan „Ali ibn „Isa al-
Rummani (w. 384 H), al-Fairuz Abadi dan Fakhruddin al-Razi (w. 666
H).16
Berkaitan dengan kelompok pendukung sinonim, sebagian
mereka ada yang bersikap moderat, seperti Fakhruddin al-razi pendapat
bahwa sinonim terdapat di dalam bahasa tetapi bukan sinonim mutlak
yang mengharuskan makna-makna yang bersinonim tersebut harus sama
dalam semua konteks, dan fungsi kata yang satu buka sebagai penegas
bagi kata yang lain.
Berangkat dari perdebatan para linguis di atas, dalam Al-Qur`an
sering ditemukan beberapa kata yang arti atau maknanya mirip satu
dengan yang lainnya yaitu, shadr, qalb, fu`âd, dan lubb. Yang mana
shadr itu sendiri artinya adalah dada. Dada menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah a) bagian tubuh sebelah depan diantara perut
dan leher, b) rongga tubuh tempat letak jantung dan paru-paru. Dan Al-
Qur`an menggunakan kata shadr sebanyak 44 kali dalam konteks yang
berbeda-beda. Sedangkan qalb sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti hati. Hati menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah a) organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan
atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam
darah dan menghasilkan empedu, b) daging dari hati sebagai bahan
makanan (terutama hati dari binatang sembelihan), c) jantung sesuatu
yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala
perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan
sebagainya), membaca dalam batin (tidak dilisankan) dengan jujur dan
terbuka, d) apa yang terasa dalam batin. Dan Al-Qur`an menggunakan
kata qalb sebanyak 132 kali dalam konteks yang berbeda-beda. Adapun
kata fu`âd menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai hati
(perasaan hati). Dan Al-Qur`an menggunakan kata fu`âd sebanyak 16

15
Mahyudin Ritonga, Semantik Bahasa Arab Menurut Al-Anbari Kajian Makna
Tadado di dalam Al-Qur`an, (Padang: Hayfa Press, 2013) cet. I, hal 4
16
Ahmad Mukhtar, ‘ilm al-Dalalah,... h. 217
5

kali17 di berbagai surat di berbagai surat dalam Al-Qur`an. Sedangkan


kata lubb (mufrad dari jama‘ albab), yang menurut Al-Ghazali (w. 450
H) berarti serapati sesuatu.18
Penulis merasa tertarik untuk mencari penjelasan lebih lanjut
mengenai makna shadr, qalb, fu`âd, dan lubb yang sangat sering kita
jumpai di dalam Al-Qur`an. Kemudian penulis akan memberikan
pandangan dari para ahli tafsir, dalam hal ini penulis memilih tafsir
Jalalain dan tafsir Al-Misbâh.
Pada skripsi ini penulis menulis perbandingan dengan memilih
kitab tafsir Jalalain yang dikarang oleh Jalaluddin Al-Mahalli dan
Jalaluddin as-Suyuthi, dikarenakan beliau adalah ulama klasik yang
berpengetahuan luas dan sangat menguasai ilmu kebahasaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh as-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan
sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari
qoul yang kuat, I’rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap
Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta
meninggalkan ungkapan-ungkapan yang terlalu panjang dan tidak perlu.
19

Sedangkan penulis mengambil tafsir karangan M. Quraish Shihab


karena beliau adalah seorang ulama kontemporer Indonesia yang banyak
di pengaruhi oleh ulama klasik, terutama pada bidang tafsir. Meskipun
beliau merupakan mufassir kontemporer, beliau tidak meninggalkan
corak penafsiran tradisional sehingga terlihat dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur`an terkesan klasik dengan mengadakan hal-hal yang
irasional. Jadi, dalam penafsirannya terlihat sangat menarik untuk
dijadikan sebuah bahan kajian, sebab dalam menjelaskna Al-Qur`an
beliau menggunakan tahlili (analitik), yaitu sebuah bentuk karya tafsir
yang berusaha untuk mengungkap kandungan Al-Qur`an , dari berbagai
aspeknya, dalam bentuk disusun berdasarkan urutan ayat di dalam Al
Qur`an, selanjutnya memberikan penjelasan penjelasan tentang kosa
kata, makna global ayat, korelasi, asbabun nuzul, dan hal hal lain yang
dianggap bisa membantu untuk memahami Al Qur`an.
Dari pemaparan di atas, melalui penulisan skripsi ini, penulis
bermaksud hendak memberikan analisa seputar sinonimitas kata shadr,
qalb, fu`âd, dan lubb di dalam Al-Qur`an menurut tafsir Jalalain dan
tafsir Al-Misbâh. Oleh karena itu, penulis memilih judul “Kata Shadr,

17
Muhammad Fu‟ad Abdu Al-Baqi‟, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li alfas Al-Qur`an
Al-Karim, (Beirut: Dar al Fikr li at-Taba‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1981), hal. 510
18
Abū Hāmid al-Ghazāli, Ihya’ Ulūm al-dīn, (Beirut: Dār al-Kitāb al-Islāmi, 1990)
19
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur`an al-’Adzim, (Dar
Ihya‟ al-Kutub al-‟Arabiyah), hal. 2
6

Qalb, Fu`âd, dan Lubb dalam Al-Qur`an (Studi Komparatif Tafsir


Jalalain dan Tafsir Al-Misbâh”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


Untuk menghindari melebarnya pembahasan yang akan dibahas,
maka penulis merasa perlu untuk membatasi dan merumuskan masalah
terhadap objek yang akan dikaji. Lingkup masalah dalam penelitian ini
terbatas pada masalah sinonimitas kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb
dalam Al-Qur`an yang telah penulis paparkan pada latar belakang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalahnya berkisar
tentang pengertian kata shadr, qalb, fu`âd dan lubb serta memaparkan
pemahaman menurut tafsir Jalalain dan tafsir Al-Misbâh.
Berdasarkan pada pembatasan masalah diatas, maka terdapat pokok
masalah yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah persamaan dan perbedaan antara kata shadr, qalb, fu`âd, dan
lubb dalam Al-Qur`an?
2. Bagaimanakah penafsiran tafsir Jalalain dan Al-Misbâh terhadap kata
shadr, qalb, fu`âd, dan lubb dalam Al-Qur`an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Melihat dari rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin
dicapai peneliti ada dua poin, yaitu:
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kata shadr,
qalb, fu`âd, dan lubb dalam Al-Qur`an.
b. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran Jalalain dan Al-
Misbâh terhadap kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb dalam
Al-Qur`an.
Dengan demikian menurut penulis dianggap penting untuk
mengetahui dan mengkaji makna kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb
dalam Al-Qur`an serta mengetahui bagaimana penafsiran yang
terdapat dalam tafsir Jalalain dan tafsir Al-Misbâh terkait hal
tersebut. Berdasarkan tujuan diatas maka perlu adanya manfaat dari
penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:

2. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran yang dapat dimanfaatkan untuk memperkaya
pengetahuan dalam memahami makna kata shadr, qalb, fu`âd,
dan lubb dalam Al-Qur`an.
7

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai


referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi
penelitian sejenis di masa yang akan datang.
c. Dalam lembaga kepustakaan, hasil penelitian diharapkan
dapat dijadikan sebagai bahan ilmu dalam memperkaya
cakrawala khazanah keilmuan dan pemikiran.
2) Manfaat praktis
a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab
rumusan masalah yang penulis kemukakan.
b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat luas mengenai makna kata shadr, qalb, fu`âd, dan
lubb dalam Al-Qur`an dan bagaimana pendapat para ulama
tafsir terkait hal tersebut.

D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan
pokok bahasan penelitian yang akan dilakukan atau bahkan memberikan
inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian.20 Untuk menghindari
terjadinya kesamaan pembahasaan dalam skripsi ini dengan skripsi lain,
penulis mengamati kajian-kajian yang pernah dilakukan atau memiliki
titik kesamaan. Selanjutnya, hasil pengamatan itu akan menjadi acuan
penulis untuk memastikan bahwa penulis tidak plagiat dari kajian yang
telah ada.
Diakui bahwa tulisan tentang sinonimitas dalam Al-Qur`an bukan
tidak ada sama sekali, bahkan sering kita jumpai dalam kitab-kitab
ulumul qur‟an yang telah ditulis oleh para ulama terdahulu. Namun
setelah dilakukan penelitian kepustakaan, tidak banyak karya intelektual
yang berbicara mengenai sinonimitas kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb
dalam Al-Qur`an kemudian memaparkan pendapat para ulama tafsir
serta membandingkannya.
Syamsuddin menulis skripsi Program Strata Satu Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
(2009) berjudul Konsep Fuad dalam Al-Qur`an (Studi Ma’anil Qur’an).
Skripsi ini mencoba untuk mencari pemaknaan terhadap kata fu`âd
dalam Al-Qur`an dengan menggunakan metode semantik serta
menjelaskan pengertiannya menurut para mufassir. Namun , ia tak

20
Huzaemah T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi,
(Jakarta: IIQ Press, 2011), Cet. Ke-2, h. 10
8

membahas secara spesifik sinonimitas kata lain disamping kata fu`âd,dan


hanya fokus pada makna dan konsep kata fu`âd di dalam Al-Qur`an.21
Nafrizal juga menulis skripsi Program Strata Satu Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis UIN Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru
(2007) berjudul Makna Kata Qalb menurut Buya Hamka. Skripsi ini
hanya berfokus pada satu pemaknaan kata, yakni kata qalb. Dan
menjelaskan maknanya hanya berdasarkan pada pendapat Buya Hamka
yang terdapat pada tafsir karangannya, yakni tafsir Al-Azhar.22
Skripsi yang ditulis oleh Rusydi, Fakultas Ushuluddin Program
Studi Tafsir Hadis tahun 2011, UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru,
Qalbun Maradh dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian Perbandingan
Pemikiran Mufassir : Ibnu Katsir dan Thaba‟ Thaba‟i). Dalam skripsi ini
Rusydi membahas mengenai pengertian qalb, bentuk-bentuk
pengungkapan qalb, dan lebih spesifik dalam menjelaskan sifat-sifat
qalb dan pengertian qalbun maradh itu sendiri. Kemudian
membandingkannya dengan penafsiran Ibnu Katsir dan Thaba‟ Thaba‟i.
Kesimpulan skripsi ini adalah bahwa Ibnu Katsir dan Thaba‟
Thaba‟i mempunyai kesamaan dalam menafsirkan ayat tersebut bahwa
orang yang di dalam hatinya ada penyakit atau qalbun maradh yaitu
orang munafik. Adapun perbedaannya yang mencolok diantara keduanya
yakni, Ibnu katsir menafsirkan dengan bil ma’tsur sedangkan Thaba‟
Thaba‟i menafsirkan dengan bi ra’yi.23
Perbedaannya dengan penelitian penulis, dalam penelitian diatas,
saudara Rusydi lebih menitik beratkan dalam membahas makna qalbun
maradh dan sifat-sifat qalb itu sendiri. Sedangkan penulis lebih spesifik
dalam pembahasan makna kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb dalam Al-
Qur`an.
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Amin Marzuqi, Fakultas
Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis tahun 2010, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Penafsiran Qalb menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (dalam
Kitab At-Tafsir Al-Qayyim). Dalam skripsi ini saudara Amin Marzuqi
lebih mengaitkan kata qalb pada dimensi sufistik, yakni dengan
memahami kata tersebut dengan berlandaskan penafsiran Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah dalam Kitab At-Tafsir Al-Qayyim.
21
Syamsuddin, “Konsep Fuad dalam Al-Qur`an (Studi Ma‟anil Qur‟an)”, Skripsi
Fakultas Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009,
tidak dicetak.
22
Nafrizal, “Makna Kata Qalb menurut Buya Hamka “, Skripsi Fakultas
Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, 2007, tidak
dicetak.
23
Rusydi, “Qalbun Maradh dalam Al-Qur`an (Suatu Kajian Perbandingan
Pemikiran Mufassir : Ibnu Katsir dan Thaba‟ Thaba‟i)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin
Program Studi Tafsir Hadis, UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, 2011, tidak dicetak.
9

Kesimpulan akhir dari skripsi diatas adalah bahwa menurut Ibnu


Qayyim qalb lebih cenderung dimaknai sebagai suatu alat untuk
menghubungkan diri seorang hamba dengan Tuhannya (Allah Swt.) .
Menurutnya hanya qalb yang ber-dzikir dan mengingat Allah yang akan
dapat merasakan ketentraman dan kedamaian.24
Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah, penulis diatas
lebih spesifik pada pemaknaan kata qalb menurut dimensi sufistik
berdasarkan penafsiran Ibnu Qayyim dalam kita At-Tafsir Al-Qayyim,
sedangkan penulis membahas makna kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb
secara spesifik dalam Al-Qur`an.
Selanjutnya disertasi yang ditulis oleh Zahrudin, tahun 2010, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Relasi Makna dalam Al-Qur`an (Analisis
Terhadap Kata-Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur`an yang
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia). Dalam disertasi ini saudara
Zahrudin membahas mengenai realsi makna kata-kata dalam Al-Qur`an.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam Al-Qur`an terdapat
kata-kata yang memiliki relasi makna dalam kesinoniman, keantoniman,
dan kehomoniman.25
Perbedaannya dengan penelitian penulis adalah, penelitian ini
membahas mengenai relasi makna kata-kata yang terdapat dalam Al-
Qur`an secara luas, baik dalam kesinoniman, keantoniman, dan
kehomonimannya. Sedangkan penulis lebih spesifik dalam membahas
makna shadr, qalb, fu`âd, dan lubb dalam Al-Qur`an serta memaparkan
pendapat para ulama tafsir.

E. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian pustaka (library
research) yaitu suatu rangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
pengumpulan data pustaka, yang meliputi proses umum seperti:
mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan
analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik
penelitian, sehingga peneliti dapat memperoleh informasi tentang
penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan
penelitiannya.

24
Amin Marzuqi, “Penafsiran Qalb menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (dalam
Kitab At-Tafsir Al-Qayyim)”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Program Studi Tafsir Hadis, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, tidak dicetak.
25
Zahrudin, “Relasi Makna dalam Al-Qur`an (Analisis Terhadap Kata-Kata yang
Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur`an yang Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia)”,
Disertasi Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, tidak dicetak.
10

2. Sumber Data Penelitian


Sumber data primer yaitu sumber data utama dan paling pokok berupa
kitab tafsir karya Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir
Jalalain, terbitan Dar Al-Kutub, Beirut. Kitab tafsir karya Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbâh. Dan menggunakan ayat-ayat Al-Qur`an.
Kemudian data sekunder adalah buku-buku dan kitab-kitab terkait dengan
penelitian penulis.

3. Teknik Pengumpulan Data


Tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan penulis untuk
mengumpulkan data terkait penelitian yang akan penulis lakukan adalah
dengan mengambil sampel dan menggunakan analisis dokumen.
Di dalam Al-Qur`an terdapat 44 kata shadr,132 kata qalb,16 kata
fu`âd dan 16 kata lubb. Karena keterbatasan penulis, maka penulis
mengambil sampel masing-masing 10 persen dari jumlah kata tersebut.
Dan cara pengambilan sampel yang penulis terapkan ialah random
sampling.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
teknik dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan berbagai sumber data
yang dianggap bersinggungan dengan tema penelitian ini.

4. Metode Analisis Data


Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis,
sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan
diteliti dengan merujuk pada data-data yang ada (baik primer maupun
sekunder), kemudian menganalisanya secara proporsional dan
komprehensif dengan pendekatan komparatif, sehingga akan tampak jelas
perincian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.
Data dan informasi yang diperoleh akan dianalisis dengan metode
berikut:
1. Analisis historis, melakukan interpretasi ulang terhadap informasi
yang terdapat dalam literatur tafsir berdasarkan data-data tafsir
yang lebih valid dan kredibel dengan obyek kajian.
2. Analisis Isi, teknik yang digunakan untuk menganalisis dan
memahami teks. Analisis isi juga dapat diartikan sebagai teknik
penyelidikan yang berusaha menguraikan secara objektif,
sistematik dan kuantitatif.
3. Komparatif, membandingkan antara data atau informasi tafsir yang
satu dengan yang lainnya, disamping juga membandingkan hasil
analisis obyek yang satu dengan yang lainnya.
11

F. Teknik dan Sistematika Penulisan


Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ)
Jakarta (edisi revisi) yang diterbitkan oleh IIQ Press, cetakan ke-2 tahun
2011.
Berisi tentang deskripsi isi karya tulis bab perbab. Yang dibuat
dalam bentuk essay yang menggambarkan alur logis dan struktur dari
bangunan bahasan skripsi. Penulis menuliskan hasil penelitian ini dalam
5 bab yaitu sebagai berikut:
Bab pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang mencakup
latar belakang masalah, identifikasi, pembatasan, dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, tekhnik dan sistematika penulisan.
Bab kedua, merupakan penjelasan mengenai makna kata shadr,
qalb, fu`âd, dan lubb serta mengelompokkan kata-katanya berdasarkan
konteksnya masing-masing yang terdapat di dalam Al-Qur`an.
Bab ketiga, pada bab ini penulis akan membahas mengenai
Tafsir Jalalain dan Tafsir Al-Misbâh yang memuat; riwayat singkat
kehidupan mufassir, penulisan tafsir dan metode yang digunakan
masing-masing mufassir.
Bab keempat, bab ini merupakan studi komparatif mengenai
kata shadr, qalb, fu`âd, dan lubb menurut tafsir Jalalain dan tafsir Al-
Misbâh.
Bab kelima, bab ini merupakan penutup, berisi tentang hasil
penelitian, beberapa kesimpulan yang berisikan penegasan terhadap
masalah-masalah yang diterangkan pada bab-bab sebelumnya, dan juga
terdapat beberapa saran sebagai pijakan sementara untuk melakukan
penelitian lebih lanjut berkenaan dengan masalah masalah yang dikaji.
BAB II
ANALISIS KATA SHADR, QALB, FU`ÂD, DAN LUBB

A. Definisi Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, Dan Lubb

a. Shadr
Kata shadr secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata
sha-da-ra, bentuk jamaknya adalah shudur.1 Secara etimologi berarti:
dada, dan jika kemasukan huruf “al” kata ash-shadru, maka artinya,
bagian atas depan dari sesuatu, sesuatu yang terletak antara leher dan
perut, permulaan dari segala sesuatu.2 Al-mashdar, jamaknya
mashâdir—kata yang terambil dari kata Ash-Shadru—berarti tempat
terbit sesuatu, sumber, atau asal.3 Makna istilah Al-Qur`an kata shadr
adalah bermakna „hati‟, „roh‟. 4 Sebagai kata kerja yang berarti pergi,
memimpin, dan juga melawan atau menentang.
Karena terletak antara hati dan diri rendah hawa nafsu, shadr juga
dapat di istilahkan dengan hati terluar.5 Shadr merupakan potensi qalbu
yang berperan untuk merasakan dan menghayati dan mempunyai fungsi
emosional (marah, benci, cinta, indah, efektif). Potensi shadr adalah
dinding hati yang menerima limpahan cahaya keindahan, Sehingga
mampu menterjemahkan segala sesuatu serumit apapun menjadi indah.
Shadr mempunyai potensi besar untuk menyimpan hasrat, niat
kebenaran, dan keberanian yang sama besarnya dengan kemampuan
untuk menerima kejahatan dan kemunafikan. 6
Al-Hakīm al-Tirmidzi, tokoh sufi kenamaan yang hidup di awal
Abad ketiga hijriah meletakkan shadr pada tingkatan pertama yang mana
shadr (dada) merupakan bagian luar dari “hati”. Posisi shadr pada “hati”
ini seperti kedudukan bagian putih pada mata, dan seperti pekarangan
rumah pada rumah. Disebut shadr karena shadr berada pada bagian awal

1
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-’Alam, (Beirut: Dar al-Masyriq, Cet.
38, 2000), h. 318.
2
Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy, al-
Mishriy, Lisan al-‘Arabi, (Beirut: Dar al-Shadir, 1994), cet. III, h. 291
3
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h.
213
4
Allamah Kamal Faqih Imani, Nur Al-Qur’an, terj. Sri Dwi Hastuti dan Rudy
Mulyono, Tafsir Nurul Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2004), cet. I, h, 301
5
Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, (Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet. II, h. 66-67
6
Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence) Membentuk
Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak, (Jakarta: Gema Insani,
2003), h. 95

13
14

atau di depan posisi “hati”, seperti pada posisi bayangan di siang hari. 7
Shadr dalam hal ini, sama dengan akal dalam beberapa wilayah
pengetahuan. Bagi shadr, setiap ilmu tidak akan dapat dicapai kecuali
melalui belajar, merekam, ijtihād, menerima kewajiban beragama, dan
lain-lain. Shadr seperti halnya kerang bagi mutiara di mana air dan
benda-benda laut lainnya terkadang masuk dan kemudian keluar lagi.
Jadi, bisa saja terjadi kelupaan atas ilmu, sungguhpun telah dilakukan
hafalan dan kerja keras.8
Maka dapat dipahami bahwa shadr memiliki sifat yang
tersembunyi dan tertutup, dan sebagai sesuatu yang selalu menjadi
rujukan manusia dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam Al-Qur‟an,
shadr digambarkan sebagai bagian paling privat dalam diri seseorang,
dan hanya Allah sematalah yang tahu isinya. Niat, pendapat dan ide,
semuanya adalah hasil dari shadr.

b. Qalb
Kata qalb (‫ )قلت‬berasal dari gabungan tiga fenom ‫ة‬-‫ه‬-‫ ق‬dan
mengandung arti dasar “berubahnya sesuatu” (tahwil as-syai’).9 Secara
etimologi (harfiyah), al-Qalb disebut “kalbu” yang berarti hati, pangkal
perasaan batin yakni hati yang suci (murni). 10 Kata Qalb dalam bahasa
Inggris adalah “heart” yang bermakna jantung (dalam istilah ilmu
kedokteran), hati bagian tengah, inti atau pokok kehendak.11
Hati dalam bahasa Arab pada umumnya menggunakan lafadz
qalb. Qalb berasal dari bahasa Arab, akar kata dati qalab-yaqlibu-qalban
(‫قلجب‬-‫يقلت‬-‫ )قلت‬yang mempunyai banyak arti. Kata qalb (bentuk jamaknya
aqlub atau qulūb) yang telah menjadi satu istilah diartikan dengan
segumpal yang menggantung dalam dada. 12
Kata qalb yang diindonesiakan menjadi kalbu, terambil dari akar
kata yang bermakna membalik, karena seringkali ia berbolak-balik, suatu
saat senang dan di saat yang lain susah, suatu waktu setuju dan di waktu

7
Abū „Abdillāh Muhammad bin „Ali al-Hakīm al-Tirmidzi, Bayān al-Farq Bain al-
Shadr wa al-Qulūb wa al-Fu’ād wa al-Lubb, (Kairo: Dār al-Arab, t.th.) h. 35-36
8
Abū „Abdillāh Muhammad bin „Ali al-Hakīm al-Tirmidzi, Bayān al-Farq Bain al-
Shadr wa al-Qulūb wa al-Fu’ād wa al-Lubb,... h. 46
9
Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy, al-
Mishriy, Lisan al-‘Arabi, (Beirut: Dar al-Shadir, 1994), Juz. I, h. 689
10
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), cet. III, h. 380
11
Elias A. Elias dan Ed. E. Elias, Al-Qamus al-‘Ashar Arab-Inggris, (Qahira: al-
Ashiriyah), h. 557
12
Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy, al-
Mishriy, Lisan al-„Arabi,... h. 686-689
15

yang lain menolak.13 Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi


(al-infi‟ali), yang menimbulkan daya rasa (asy-syu’ur). Sementara
Tabataba‟i menyebut dalam tafsirnya bahwa fungsi kalbu selain itu, ia
berdaya kognisi.14
Adapun di dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, kata
dasar qalaba diartikan dengan mengubah, membalikkan, merobohkan,
atau mengganti. Kata qalb dalam bentuk mashdar diartikan sebagai
padanan bagi kata tahwīl (pembalikan, pemutaran, perubahan), ‘aks
(kebalikan, pembalikan), ithāhat (perobohan) dan isqāth (penumbangan),
tabdīl (penggantian) dan taghyīr (pengubahan), fu’ād (hati, lubuk hati,
jantung), quwwah (kekuatan) dan syajā’ah (keberanian), jauhar (inti),
lubb (esensi) dan shamīm (bagian dalam), serta kata wasath (pusat,
bagian tengah atau tengah-tengah).15
Dalam ilmu medis modern, hati (qalb) merupakan pompa berotot
didalam dada yang bekerja terus menerus tanpa henti memompa darah
keseluruh tubuh, pagi dan malam dari kelahiran sampai kematian. Agar
dapat mendorong sirkulsi darah ke seluruh tubuh, hati normal memompa
rata-rata 70 kali per menit, dan tiap kali berdenyut memompakan 60 cc
darah ke pembuluh darah dengan tekanan 130 mmHg. Ini berarti hati
berdenyut kurang lebih 100.800 kali dalam sehari, dan memompa sekitar
6840 liter. Semua pekerjaan ini memerlukan suplai darah yang baik yang
disediakan oleh pembuluh arteri koroner.16
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan makna al-Qalb.
Sebagian ada yang mengasumsikan sebagai materi organik, sedang
sebagian yang lain menyebutkannya sebagai sistem kognisi (jihaz idraki
ma’rifi) yang berdaya emosi (asy-syu’ur).17
Al-Ghazali secara tegas melihat kalbu dari dua aspek, yaitu kalbu
jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging sanubari yang
berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri
dan di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ia merupakan
sumber dan pusat dari ruh. Hati dalam pengertian ini, juga ada di dalam
jasad binatang dan orang yang sudah meninggal. Sedangkan kalbu rohani

13
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur`anTematik, (Jakarta: Kamil
Pustaka, 2014), jilid 5, cet. I, h. 42
14
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur`anTematik,... jilid 8, cet. I,
h. 44
15
Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Quran, 1973), h. 353
16
Graham Jackson, Heart health, (London: Class Publishing, 2000), h. 2. Lihat
juga:Imam Soeharto, Serangan Jantung dan stroke, Hubungannya dengan Lemak dan
Kolesterol,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4
17
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur`anTematik,... jilid 8, cet. I,
h. 42
16

adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan rohani yang
memiliki hubungan dengan daging (hati) dalam pengertian pertama di
atas, namun hubungan diantara keduanya tidak bisa dijelaskan dengan
kata-kata karena berada pada wilayah perasaan pribadi seseorang, hati
yang haluslah hakikat manusia, dialah yang mengetahui dan mengenal
dan memerintah. Hati dalam pengertian inilah yang mengenal Allah swt.
dan menangkap sesuatu yang tidak bisa ditangkap khayalan.18
Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) kata qalb disamping memiliki arti
sebagai “berbolak-baliknya sesuatu” juga mengandung makna dasar
sebagai “sesuatu yang bersih dan mulia”. Menurutnya qalb disebut
dengan qalb karena ia merupakan “sesuatu yang paling suci dan paling
mulia”, dan “ssesuatu yang paling suci dan paling mulia adalah qalb-
nya”. Dalam pengertian ini, terpakailah istilah ‫ قلت االوسبن‬yang berarti
“kehormatan dan kesucian manusia”.19
Menurut Jalaluddin Rakhmat, qalb adalah mashadar dari qalaba,
artinya membalikkan, mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari
qalaba adalah taqallaba, artinya bolak-balik, berganti-ganti, berubah-
ubah. Qalb ini menurut beliau mempunyai dua makna: al-Qalb ada yang
berbentuk fisik (materi) dan ada yang non fisik (immateri. Dalam arti
fisik, qalb dapat diterjemahkan sebagai “jantung”. Hal ini Rasulullah
Saw. menerangkan “di dalam tubuh manusia ada segumpal mudghah,
apabila ia baik maka seluruh tubuhnya juga baik, dan jika ia rusak,
maka seluruh tubuhnya rusak. Ketahuilah bahwa mudghah itu adalah
hati”.20
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qalb
mempunyai dua makna. Qalb ada yang berbentuk fisik dan ada pula
yang berbentuk non fisik. Dalam arti fisik qalb dapat diterjemahkan
sebagai “jantung” dan yang berbentuk non fisik diterjemahkan sebagai
sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan kerohanian.

c. Fu`âd
Kata Fu`âd (‫ )فؤاد‬berasal dari gabungan tiga fenom ‫د‬-‫ئ‬-‫ ف‬dan
mengandung arti dasar sebagai “sesuatu yang sangat panas”,21
sebagaimana terpakai dalam istilah Arab ‫ فأدت اللحم‬yang berarti “saya

18
Abū Hāmid al-Ghazāli, Ihya’ Ulūm al-dīn, (Beirut: Dār al-Kitāb al-Islāmi, 1990),
cet. I, jilid III, h. 3
19
Ali al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1995 M), h. 857
20
Jalaluddin Rakhmat, Membuka Tirai Kegaiban, Renungan-Renungan Sufistik,
Bandung: Mizan, 1998), cet. VII, h. 69
21
Ali al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah,...
h. 833
17

memanggang daging”, demikian juga dalam ungkapan ‫ حم فئيد‬yang berarti


“daging yang terpanggang”, yaitu daging yang sanat panas. 22 Kata Fu`âd
(‫ )فؤاد‬berasal dari kata fa’ada-yaf’adu sama artinya dengan term syawa-
yasywi yang bermakna membakar atau memanggang.
Al-Fu`âd adalah al-qalb karena dapat menggebu-gebu dan
menyala-nyala sebagaimana halnya al-Fu`âd. Manusia dan hewan yang
memiliki qalb pasti memiliki al-Fu`âd. Adapula yang mengartikan
bahwa Fu`âd berada di tengah-tengah qalb. Disamping itu adapula yang
menyatakan bahwa kata al-Fu`âd adalah penutup qalb, atau sering
disebut dengan kulit qalb. Jika Fu`âd adalah isi atau bijinya, maka qalb
adalah bungkusan paling luar atau kulitnya.23
Dalam kitab al-Mu’jam al-Mufradat li Alfaz Al-Qur`anar-Raghin
al-Isfahani mengatakan bahwa term Fu`âd berasal dari kata al-fa’d
seperti qalb, akan tetapi jika Fu`âd dapat menggambarkan makna dari
at-tafa’ud (terpaut) atau at-tawaqqud (menyala). Dicontohkan seperti
halnya memanggang daging, dan daging itupun terpanggang.24
Menurut Syeikh Nur ad-Din ar-Raniri, beliau mengartikan Fu`âd
itu sebagai hati, karena ia merupakan tempat terbitnya ma‟rifat
(pengenalan terhadap Allah swt). 25 Sedangkan Muhyiddin Ibnu Arabi
menafsirkan makna Fu`âd sebagai hati yang mendaki kepada maqam ruh
dalam persaksian, yang menyaksikan zat dengan semua sifat-sifat yang
ada dengan Wujud yang Haqq.26
Menurut Nasruallah dan Baiquni, Fu`âd adalah bagian dari pada
hati yang berkaitan dengan makrifat. Fu`âd adalah tempat melihat dan
bagian hati adalah pengetahuan, jika pengetahuan dan ru’yah disatukan,
sesuatu yang tidak dapat terlihat dapat diketahui dan seseorang hamba
menjadi yakin.27
Maka dapat dipahami bahwa Fu`âd merupakan tempat ma‟rifat
dan rahasia-rahasia, alat penglihat batin setiap kali seseorang mendapat
sesuatu yang bermanfaat. Fu`âd merupakan potensi kalbu yang
berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering

22
Al-Raghib Al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Qur`an al-Karim, (Beirut: Dar
al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1998), h.383
23
Abu Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Mukram bin Mandzur al-Afriqiy, al-
Mishriy, Lisan al-‘Arabi,... h. 328
24
Al-Raghib Al-Isfahani, Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Qur`anal-Karim,... h. 414
25
Syeikh Nur ad-Din ar-Raniri, Rahasia Manusia Menyingkap Ruh Ilahi,
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 62
26
Muhyiddin Ibnu Arabi, Tafsir Al-Qur`anal-Karim, (Beirut: Dar al-Ya‟zhoh al-
Arabiyah, 1968). H. 555
27
Ms. Nasruallah dan Baiquni, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf, (Jakarta: Mizan, 1996), h. 61
18

dilambangkan berada dalam otak manusia, cenderung dan selalu merujuk


pada objektivitas, kejujuran, dan jauh dari berbohong

d. Lubb
Kata lubb secara bahasa berarti “inti” atau “bersih”.28 Al-Lubb
bentuk jamaknya adalah albab, alubbun, albubun (‫ الجت‬،‫ الت‬،‫)الجبة‬, yang
mana memiliki arti “murni, bersih dari segala gangguan”, akal yang
murni dari segala sesuatu, akal yang bersih dari cela, apa-apa yang
cemerlang dari akal dan kalbu.29
M. Quraish Shihab dalam karyanya menjelaskan bahwa lubb
berarti “saripati dari suatu benda”. Seperti kacang dengan kulitnya,
kulitnya dibuang dan dimakan isinya, isinya ini disebut dengan lubb.30
Adapun Al-Ghazali (1058 M) menerangkan bahwa kata lubb bermakna
saripati sesuatu, diterjemahkan dengan akal, otak, atau pikiran.31
Menurut Jan Ahmad Wassil, kata lubb adalah sebuah kata benda
yang berarti “intisari”, “isi”, atau “bagian penting dari sesuatu”. Makna
kata lubb dapat dipahami dari contoh ungkapan berikut: lubb buah yang
kita makan adalah daging buah, yaitu bagian buah yang biasa dimakan
karena bagian tersebut penting untuk kita. Lubb biji buah jarak adalah
minyak jarak yang diperoleh dari pengolahan biji jarak karena harga biji
jarak de pasaran ditentukan oleh kadar kandungan minyaknya. Lubb
akar tuba adalah bahan racun yang dikandung akar tuba. Racun tersebut
berguna untuk membasmi hama. Begitu pula lubb, suatu masalah yang
menjadi pembahasan adalah bagian penting dari masalah tersebut atau
tema dari pembahasan atau pembicaraan.32
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa lubb secara bahasa
bermakna bagian yang terbaik atau utama dari segala sesutau, akal yang
jernih dan bermakna pula kabu. Lubb adalah akal yang sangat jernih
serta mendapatkan penyeimbangan dan pembentukan dari cahaya
hidayah Allah swt.

B. Persamaan Dan Perbedaan Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, Dan Lubb


Menurut Para Ulama

28
Ali al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, ...
h. 934
29
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‟Alam,... h. 709
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera hati, 2000), vol. 1, h. 369
31
Al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual,
(Yogyakarta: Pustaka Hidayah, 1998), h. 35
32
Jan Ahmad Wassil, Tafsir Qur’an Ulul-Albab, (Bandung: PT Salamadani Pustaka
Semesta, 2009) cet. I, h. 2
19

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, tidak menemukan


adanya para ulama ataupun para ahli yang sekaligus menjelaskan makna
kata shadr, qalb, Fu`âd, dan lubb secara bersamaan, kecuali hanya
sedikit saja yang menjelaskannya, salah satunya yakni Al-Hakīm al-
Tirmidzi, beliau adalah seorang tokoh sufi kenamaan yang hidup di awal
Abad ketiga hijriah. Beliau memiliki pemikiran yang khas, kekhasan
tersebut terlihat dari penggambarannya tentang hati, sebagaimana yang
telah beliau terangkan dalam karyanya. Beliau menggambarkan tentang
hati yang terkandung di dalamnya tingkatan-tingkatan batin: dada
(shadr), hati (qalb), hati kecil (Fu`âd), dan hati nurani (lubb), yang
dibahasakannya dengan maqamat al-qalb.33
Hal ini pun serupa dengan pemaparan Robert Frager, beliau
seorang mursyid sufi dan profesor psokologi pada Institute of
Transpersonal Psychology, California. Beliau mengatakan tentang hati
dimisalkan seperti kumpulan lingkaran. Lingkaran pertama adalah dada
(shadr), kedua adalah hati (qalb), ketiga adalah hati kecil (Fu`âd), dan
keempat adalah hati nurani (lubb).34
Menurut Totok Tasmara, apabila digambarkan dalam bentuk
sebuah kerajaan, dimana qalb berperan sebagai raja yang memiliki tiga
menteri, yaitu fuad, adalah yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan berpikir (logic). Sedang shadr, adalah
yang bertugas untuk melakukan perenungan (psikologis) dan hawa, yang
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan dan
kesejahteraan hidup duniawi (Economic, Biological needs). Sedangkan
nafs adalah bentuk dari kerajaan itu sendiri. 35
Menurut Sudirman Tebba, qalb dimana ruh Illahi bersemayam,
memiliki tiga potensi yang sangat penting untuk kelangsungan hidup
manusia. Adapun potensi tersebut terdiri dari Fu`âd, shadr, dan hawa.
Secara metaforis, Fu`âd adalah pusat berpikir logis yang terletak di
kepala. Sedangkan shadr terletak di dada, yakni sebagai pusat kesadaran
emosional. Dan hawa sebagai potensi yang mendorong dan letaknya
adalah di perut.36

33
Al-Hakim al-Tirmidzi, Bayan al-Farq baina al-sadr wa al-Qalb wa al-Fu’ad wa
alLubb, (Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nasyr,T.Th), h.17.
34
Robert Frager, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi,... h. 57
35
Totok Tasmara, The voice of Heart Bisikan Hati,... h. 113
36
Sudirman Tebba, Menyingkap Rahasia Hati, (Ciputat: Pustaka I, qalrvan, 2007),
cet. I, h. 4
20

Al-Farra‟ sebagaimana dikutip Ar-Razi, beliau tidak menjelaskan


seluruh kata tersebut akan tetapi hanya menjelaskan qalb dan Fu`âd,
bahwasanya kedua kata tersebut bermakna “akal”. 37
Aisyah bintu Syati‟ menerangkan dalam karyanya, At-Tafsirul
Bayan li Al-Qur`an Al-Karim, bahwa penggunaan kata qalb ditujukan
pada makna “hati” secara keseluruhan, baik yang dimiliki oleh binatang
sekalipun maupun manusia. Sedangkan af’idah ditujukan semata-mata
kepada makna hati yang dimiliki manusia.38

C. Identifikasi Kata Shadr, Qalb, Fu`âd, Dan Lubb Dalam Al-Qur`an


a. Shadr
Secara keseluruhan kata shadr dalam Al-Qur`an disebutkan
sebanyak 44 kali,39 10 kali diantaranya disebut dalam bentuk tunggal,
seperti shadran, shadri, shadrahu, dan shadrak dan 34 kali disebut
dalam bentuk jamak, seperti shudur, ash-shudur, shudurikum, dan
shudurihim. Kata shadr yang tersebar di dalam Al-Qur`an dapat dilihat
dalam tabel berikut:

TABEL
Penggunaan Kata Shadr Dalam Al-Qur`an

Bentuk
No. Surat dan Ayat Pengulangan
Kata
1. ‫صدرا‬ Q.S. An-Nahl (16):106 1 kali
2. ‫صدري‬ Q.S. Thaha ():25, As-Syu’ara ():13 2 kali
3. ‫صدري‬ Q.S. Al-An’am (6):125, Q.S. Az-Zumar 3 kali
(39):22
4. ‫صدرك‬ Q.S. Al-A’raf (7):2, Q.S. Hud (11):12, 4 kali
Q.S. Al-Hijr (15):97, Q.S. Al-Insyirah
(94):1

5. ‫صدَر‬ Q.S. At-Taubah (9):14, Q.S. Al-Ankabut 4 kali


(29):10 dan 49, dan Q.S. An-Nas (114):5

6. ‫الصدَر‬ Q.S. Ali ‘Imran (3):119 dan 154, Q.S. Al- 16 kali
Maidah (5):7, Q.S. Al-Anfal (8):43, Q.S.

37
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur`an Tematik, (Jakarta:
Kamil Pustaka, 2014), jilid 5, h. 42
38
Aisyah Abdurrahman, At-Tafsirul Bayani lil Qur’anil Karim, Ter. Mudzakkir
Abdussalam, (Bandung: Mizan, 1996), 275-276
39
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 403-404
21

Yunus (10):57, Q.S. Hud (11):5, Q.S. Al-


Hajj (22):46, Q.S. Luqman (31):23, Q.S.
Fatir (35):38, Q.S. Az-Zumar (39):7, Q.S.
Al-Mu’Min (40):19, Q.S. Asy-Syu’ara’
(42):24, Q.S. Al-Hadid (57):16, Q.S. At-
Taghabun (64):4, Q.S. Al-Mulk (67):13,
dan Q.S. Al-‘Adiyat (100):10

7. ‫صدَرمم‬ Q.S. Ali ‘Imran (3):29 dan 154, Q.S. Al- 4 kali
Isra’ (17):51, dan Q.S. Al-Mu’min (40):80

Q.S. Ali „Imran (3):118, Q.S. An-Nisa‟


8. ‫صدَرٌم‬ (4):90, Q.S. Al-A’raf (7):43, Q.S. Hud 10 kali
(11):5, Q.S. Al-Hijr (15):47, Q.S. An-
Naml (27):74, Q.S. Al-Qashas (28(:69,
Q.S. Al-Mu’min (40):56, Q.S. Al-Hasyr
(59):9 dan 13
Jumlah 44 kali

Dari 44 kali pengulangan kata40 diatas, kata shadr ada yang


diungkapkan dalam bentuk mashdar (‫)صدرا‬, mufrad ( ،‫ صدرك‬،‫صدري‬
‫)صدري‬, maf’ul (‫)الصدَر‬, fa’il (‫)صدَر‬, dan jamak (‫ صدَرٌم‬،‫)صدَرمم‬. Kata
shadr selain dalam bentuk di atas terdapat bentuk lain yang sengaja
penulis tidak cantumkan dalam tabel karena kata shadr tersebut tidak di
artikan sebagai hati yang mana menjadi pembahasan dalam penelitian
ini. Kata tersebut adalah ُ‫( يَصْدُر‬fi’il mudhori’) dan ُ‫( يُصدِر‬majhul).
b. Qalb
Dalam Al-Qur`an terdapat kurang lebih 168 kata qalb yang
muncul secara variatif. Dalam bentuk isim, kata qalb ada yang
diungkapkan dalam mashdar, maf’ūl dan fā’il baik mufrad maupun
jama’. Sedangkan dalam bentuk fi’il kata qalb diungkapkan dalam fi’il
mādhi dan mudhāri’ baik mabni ma’lūm maupun mabni majhūl. Adapun
letak ayat-ayat tersebut adalah:

Bentuk
No. Surat dan Ayat Pengulangan
Kata
1. ‫تقلجُن‬ QS. 29: 21 1 kali
2. ‫قلّجُا‬ QS. 9: 48 1 kali
3. ‫وقلّت‬ QS. 6: 110, QS. 18: 18 2 kali

40
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 403-404
22

4. ‫يقلّت‬ QS. 18: 42, QS. 24: 44 2 kali


5. ‫تقلّت‬ QS. 33: 66 1 kali
6. ‫تتقلّت‬ QS. 24: 37 1 kali
7. ‫إوقلت‬ QS. 22: 11 1 kali
8. ‫إوقلجتم‬ QS. 3: 144, QS. 9: 95 2 kali
9. ‫إوقلجُا‬ QS. 3: 174, QS. 7: 119, QS. 12: 62, 5 kali
QS. 83: 31, QS. 83: 31

10. ‫تىقلجُا‬ QS. 3: 149, QS. 5: 21 2 kali


11. ‫يىقلت‬ QS. 2: 143, QS. 3: 144, QS. 48: 12, 5 kali
QS. 67: 4, QS. 84: 9
12. ‫يىقلجُن‬/‫يىقلجُا‬ 2 kali
13. ‫تقلّت‬ QS. 3: 127, QS. 26: 227 5 kali
QS. 2: 144, QS. 3: 196, QS. 26: 219,
QS. 16: 46, QS. 40:4

14. ‫متقلّت‬ QS. 47: 19 1 kali


15. ‫مىقلجُن‬ QS. 7: 125, QS. 26: 50, QS. 43: 14 3 kali
16. ‫مىقلت‬ QS. 26: 227, QS. 18: 36. 2 kali
17. ‫قلت‬ QS. 3: 159, QS. 26: 89, QS. 37: 84, 19 kali
QS. 40: 35, QS. 50: 33, QS. 50: 37,
QS. 2: 97, QS. 26: 194, QS. 42: 24,
QS. 2: 204, QS. 2: 283, QS. 8: 24,
QS. 1 6: 106, QS. 18: 28, QS. 33: 32,
QS. 45: 23, QS. 64: 11, QS. 28: 10,
QS. 2: 260.

18. ‫قلجيه‬ QS. 33: 4 1 kali

19. ‫قلُة‬ QS. 3: 151, QS. 7: 101, QS. 7: 179, 112 kali
QS. 8: 12, QS. 9: 117, QS. 10: 74,
QS. 13: 28, QS. 15: 12, QS. 22: 32,
Q22: 46, QS. 22: 46, QS. 24: 37, QS.
26: 200, QS. 30: 59, QS. 33: 10, QS.
39: 45, QS. 40: 18, QS. 47: 24, QS.
48: 4, QS. 57: 27, QS. 79: 8, QS. 66:
4, QS. 2: 74, QS. 2: 225, QS. 3: 103,
QS. 3: 126, QS. 3: 154, QS. 6: 46,
QS. 8: 10, QS. 8: 11, QS. 8: 70, QS.
33: 5, Q.S. 33: 51, QS. 33: 53, QS.
48: 12, QS. 49: 7, QS. 49: 14, QS. 2:
88, QS. 3: 8, QS. 4: 155, QS. 5: 113,
23

QS. 41: 5, QS. 59: 10, QS. 2: 7, QS.


2: 10, QS. 2: 93, QS. 38 2: 118, QS.
3: 7, QS. 3: 156, QS. 3: 167, QS. 4:
63, QS. 5: 13, QS. 5: 41, QS. 5: 41.
Jumlah 168

Dari 168 kata qalb dan derivasinya di atas dijumpai pada 48 surat
dan 155 ayat.41 Dari 168 kata qalb dan derivasinya tersebut terdapat 132
kata qalb yang diartikan sebagai hati atau nurani, yang merupakan objek
dari penelitian ini. Kalbu, hati, jantung dalam berbagai bahasa: heart
(Inggris), herz (German), coeur (Prancis), corazon (Spanyol), cuore
(Italia), hart (Dutch), serce (Polandia), inima (Roma), dil (Urdu), hreday
(India), xin (China), maeum (Korea), qalbun (Arab). Kalbu dengan
segala bentuk (tunggal, dua, maupun jamak) diungkap dalam Al-
Qur`ansebanyak 132.42 Perubahan kata dari kata dasar ‫ قلت‬ini meliputi
kata: ‫ قلجل‬, ً‫ قلج‬, ‫ قلجٍب‬, ‫ قلجي‬, ‫ قلجيه‬, ‫ قلُة‬, ‫ قلُثنمب‬, ‫ قلُثنم‬, ‫ قلُثىب‬, ‫ قلُثٍم‬, dan
ّ‫قلُثٍه‬. Seluruh bentuk perubahan ini tersebar dalam 45 surat dan 112
ayat, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini: 43

Tabel Penggunaan Kata Qalb Dalam Al-Qur`an

Bentuk
No. Surat dan Ayat Pengulangan
Kata
1. ‫قلت‬ Q.S. al-Mu’min (40):35, Q.S. Ali 6 kali
‘Imran (3):159, Q.S. Qaf (50):33 dan
37, Q.S. asy-Syu’ara’ (26):89, Q.S. al-
Saffat ():84

2. ‫قلجل‬ Q.S. al-Baqarah (2):97, Q.S. asy- 3 kali


Syu’ara’ (26):194, Q.S. as-Syura
(42):24

ً‫قلج‬ Q.S. al-Baqarah (2):204 dan 283, Q.S. 8 kali


3. al-Anfal (8):24, Q.S. an-Nahl (16):106,
Q.S. al-Kahfi (18):28, Q.S. al-Ahzab
(33):32, Q.S. at-Taghabun (64):11,
Q.S. al-Jasiyah (45):23.

41
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,.. h. 697-700
42
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur`anTematik,... jilid 8, cet. I,
h. 42
43
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 549-551
24

4. ‫قلجٍب‬ Q.S. al-Qashas (28):10 1 kali


5. ‫قلجي‬ Q.S. al-Baqarah (2):260 1 kali
6. ‫قلجيه‬ Q.S. al-Ahzab (33):4 1 kali
7. ‫قلُة‬ Q.S. Ali ‘Imran (3):151, Q.S. al-A’raf 21 kali
(7):101 dan 179, Q.S. al-Anfal (8):12,
Q.S. at-Taubah (9):117, Q.S. Yunus
(10):74, Q.S. al-Hijr (15):12, Q.S. al-
Hajj (22):46, Q.S. as-Syu’ara’
(26):200, Q.S. Ar-Rum (30):59, Q.S.
az-Zumar (39):45, Q.S. Muhammad
(47):24, Q.S. al-Fath (48):4, Q.S. al-
Hadid (57):27, Q.S. An-Nazi’at (79):8

8. ‫قلُثنمب‬ Q.S. at-Tahrim (66):4 1 kali


9. ‫قلُثنم‬ Q.S. al-Baqarah (2):74 dan 225, Q.S. 15 kali
Ali ‘Imran (3):103, 126, dan 154, Q.S.
al-An’am (6):46, Q.S. al-Anfal
(8):10,11, dan 70, Q.S. al-Ahzab (33):5
dan 51, Q.S. al-Fath (48):12, Q.S. al-
Hujurat (49):7 dan 14

Q.S. al-Baqarah (2):88, Q.S. Ali


10. ‫قلُثىب‬ ‘Imran (3):8, Q.S. an-Nisa’ (4):155, 6 kali
Q.S. Fussilat (41):5, Q.S. al-Hasyr
(59):10

11. ‫قلُثٍم‬ Q.S. al-Baqarah (2):7, 10, 93, dan 118, 68 kali
Q.S. Ali ‘Imran (3):7 156, dan 167,
Q.S. an-Nisa’(4):63, Q.S. al-An’am
(6):25 dan 43, Q.S. al-A’raf (7):100,
Q.S. al-Anfal (8):2, 49, dan 63, Q.S.
at-Taubah (9):8, 15, 45, 60, 64, 77, 87,
93, 110, 125, dan 127, Q.S. Yunus
(10):88, Q.S. ar-Ra’ad (13):28, Q.S.
an-Nahl (16):22 dan 108, Q.S. al-Isra’
(17):46, Q.S. Al-Kahfi (18):14 dan 57,
Q.S. al-Anbiya’ (21):3, Q.S. al-Hajj
(22):35, 53, dan 54, Q.S. al-Mu’minun
(23):63, Q.S. an-Nur (24):50, Q.S. al-
Ahzab (33):12, 26, dan 60, Q.S. Saba’
(34):23, Q.S. az-Zumar (39):22, Q.S.
Muhammad (47):16, 20, dan 29, Q.S.
25

al-Fath (48):11, 18, dan 26, Q.S. al-


Hujurat (49):3, Q.S. al-Hadid (57):16,
Q.S. al-Mujadilah (58):22, Q.S. al-
Hasyar (59):2, Q.S. as-Shaff (61):5,
Q.S. al-Munafiqun (63):3, Q.S. al-
Mudassir (74):31, Q.S. al-Mutaffifin
(83):14

12. ّ‫قلُثٍه‬ Q.S. al-Ahzab (33):53 1 kali

Jumlah 132 kali

c. Fu`âd

Secara keseluruhan kata Fu`âd dalam Al-Qur`an disebutkan


sebanyak 16 kali,44 tersebar dalam 13 surah, baik dalam bentuk tunggal
(Fu`âd), maupun dalam bentuk jamak (af’idah). Dalam bentuk tunggal
kata Fu`âd muncul sebanyak 5 kali, termasuk imbuhan kata seperti: al-
Fu`âd dan Fu`âdak. Sedangkan dalam bentuk jamak kata af’idah
muncul sebanyak 11 kali, yaitu dalam bentuk al-af’idah dan
af’idatuhum. Penggunaan keseluruhan bentuk kata Fu`âd dan af’idah
berikut penyebarannya dalam surah dan ayat dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini:
Tabel Penggunaan Kata Fu`âd Dalam Al-Qur`an

Bentuk
No. Surat dan Ayat Pengulangan
Kata

1. ‫فؤاد‬ Q.S. al-Qashas (28):10 1 kali

2. ‫الفؤاد‬ Q.S. al-Isra’ (17):36, Q.S. an-Najm 2 kali


(53):11
3. ‫فؤادك‬ 2 kali
Q.S. Hud (11):120, Q.S. al-Furqan
(25):32

4. ‫أفئدح‬ Q.S. an-Najm (6):113, Q.S. Ibrahim 3 kali


(14):37, Q.S. al-Ahqaf (46):26

44
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 510
26

Q.S. an-Nahl (16):78, Q.S. al-


Mu’minun (23):78, Q.S. as-Sajdah
5. ‫اآلفئدح‬ (32):9, Q.S. al-Mulk (67):23, Q.S. al- 5 kali
Humazah (114):7

Q.S. al-An’am (6):110, Q.S. Ibrahim


6. ‫أفئدتٍم‬ (14):43, Q.S. al-Ahqaf ():26 3 kali

Jumlah 16 kali

Dari 16 kali pengulangan kata45 diatas, semuanya di ungkapkan


dalam bentuk isim. Kata Fu`âd ada yang diungkapkan dalam bentuk
mufrad (‫ فؤادك‬،‫ الفؤاد‬،‫ )فؤاد‬maupun jama’ (‫ أفئدتٍم‬،‫ األفئدح‬،‫)أفئدح‬. Secara
keseluruhan kata Fu`âd yang tersebar dalam Al-Qur`an sebanyak 16 kali
yang tersebar dalam 13 surah tersebut mengartikan kata Fu`âd sebagai
hati atau perasaan halus, dan selalu mengaitkannya dengan keimanan.
Dan mengartikan hati sebagai tempat berfikir (akal), tempat
mempertimbangkan segala sesuatu, dan tempat mengetahui segala
rahasia-rahasia segala sesuatu yang digunakan oleh panca indera.

d. Lubb

Dalam Al-Qur`an penggunaan kata lubb tidak pernah disebutkan


dalam bentuk tunggal, akan tetapi disebutkan dalam bentuk jamak, dan
selalu muncul dalam kata majemuk yang dirangkaikan dengan kata ulu,
menjadi ulu al-albâb. Setelah dilacak dari kata “al-albâb”, ditemukan
adanya 16 ayat yang mengandung kata tersebut.46 Penggunaan kata al-
albâb berikut penyebarannya dalam surah dan ayat dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini:

Tabel Penggunaan Kata Lubb Dalam Al-Qur`an

Bentuk
No. Surat dan Ayat Pengulangan
Kata
Q.S. al-Baqarah (2):179, 197, dan 269,
Q.S. Ali ‘Imran (3):7 dan 190, Q.S. al-
‫األلجبة‬ 16 kali
1. Ma’idah (5):100, Q.S. Yunus (12):111,
Q.S. ar-Ra’d (13):19, Q.S. Ibrahim

45
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 510
46
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 644
27

(14):52, Q.S. Shad (38):29 dan 43,


Q.S. az-Zumar (39):9, 18, dan 21, Q.S.
al-Mu’min (40):54, Q.S. at-Thalaq
(65):10
Jumlah 16 kali

Adapun kata ulul albab yang tersebar sebanyak 16 kali47 dalam


Al-Qur`an ini adalah bentuk dari isim jamak. Dan secara garis besar
membahas mengenai kebenaran Al-Qur`an dan isi kandungannya, serta
tanda-tanda ke-Esaan Allah.

Dari pemaparan panjang lebar penulis, maka dapat disimpulkan


bahwa empat kata ini dengan berbagai macam derivasinya dalam Al-
Qur‟an, hanya sedikit sekali para ulama atau para ahli yang sekaligus
menjelaskan makna kata tersebut. Oleh karenanya, penulis merasa
tertarik untuk mencari penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu ysng
mana akah di paparkan pada bab selanjutnya.

47
Muhammad Fu‟ād „Abd al-Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras,... h. 644
BAB III
BIOGRAFI JALALAIN (JALALUDDIN AL-MAHALLI DAN
JALALUDDIN AL-SUYUTHI) DAN QURAISH SHIHAB

A. Pengarang Kitab Jalalain


Muhammad Al-Fatih Suryadilaga dalam artikelnya “Suntingan
Teks Tafsir Jalalain”, menyatakan bahwa Tafsir Jalalain merupakan
sebutan populer dari Tafsir Al-Qur`an Al-„Azim karya dua ulama yang
sama-sama bernama Jalal.1 Pada pembahasan kali ini, penulis akan
menghadirkan biografi singkat kedua penulis Tafsir Al-Jalalain guna
mengetahui latar belakang keduanya, baik segi keluarga, sosial sampai
pada keilmuannya.

a. Al-Mahalli
Jalaluddin Al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad Al-Imam Al-Allamad Ahmad
Jalaluddin Al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir.
Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Mahalli yang dinisbahkan pada
kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak
jauh dari Sungai Nil.
Sejak kecil, tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri
Al-Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih,
teologi, fikih, nahwu, dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya
secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama
salaf pada masanya, seperti Al-badri Muhammad bin Al-Aqsari, Burhan
Al-Baijuri, A‟la Al-Bukhari, dan Syamsuddin bin Al-Bisati
Riwayat hidup Al-Mahalli tak terdokumentasikan secara rinci.
Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam.
Lagipula, ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya
tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, Al-Mahalli dikenal sebagai
orang yang berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk
tidak mengatakan miskin. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia
bekerja sebagai pedagang. Meski demikian, kondisi tersebut tidak
mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu.
As-Sakhawi, seorang ulama yang hidup semasa, menuturkan
dalam Mu‟jam Al-Mufassirin bahwa Al-Mahalli adalah sosok imam yang
sangat pandai dan berpikiran jernih. Kecerdasannya mengatasi orang
kebanyakan. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa daya ingatnya laksana
berlian.

1
Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, “Suntingan Teks Tafsir Jalalain,” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur`an dan Hadis XI, no. 2 (Juli 2010), h. 228-229

29
30

Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan dengan tahun


1455 M. Ia mewariskan beragam karya tulis. Dalam bidang ushul fikih ia
menulis kitab Syarh Jam‟u Al-Jawami‟, Syarh Waraqat, dan Syarh
Mihaj (kitab fikih).
Sayang sekali, ada beberapa kitab yang belum dituntaskannya
karena keburu wafat. Misalnya, Syarh Al-Qawa‟id, Syarh Tashil,
Hasyiyah „ala Jawahir Al-Asnawi, dan Tafsir Al-Qur`an Al-„Azim. untuk
kitab yang terakhir ini, kelak akan disempurnakan oleh muridnya.
Jalaluddin As-Suyuthi.2

b. As-Suyuthi
Dari semua sarjana Muslim yang muncul di Mesir dalam masa
pemerintahan Sultan Mamluk, sejarahwan Jalaluddin As-Suyuthi yang
paling dikenal. Telah niscaya, ia adalah salah satu dari sarjana dan
pemikir Islam terbesar abad ke-15.3
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Kamal Abu Bakar
bin Muhammad bin Sabiq Ad-Din bin Fakhr Usman bin Nashiruddin
Muhammad bin Himamuddin Al-Hammam Al-Hudairi As-Suyuthi.4
As-Suyuthi lahir di Kairo pada malam Ahad, bulan Rajab, tahun
849 H bertepatan dengan 1445 M. Kedua orang tuanya termasuk orang
sufi. Ketika Suyuthi dalam kandungan, orang tuanya tertarik oleh salah
seorang Aulia dengan mengunjungi Masyhad Husaini (Majelis Husaini)
dan memohon kepada Abu Muhammad Al-Majdub agar anak dalam
kandungan diberkahi dan diberi kehafalan Al-Qur`an sebagaimana
harapan tersebut terbukti pada diri suyuthi yang hafal Al-Qur`an ketika
berusia delapan tahun.5
Ia bergelar Jalaluddin, dan akrab di panggil Abu Fadil. Nama
panggilan ini adalah pemberian gurunya, Al-Izzu Al-Kanani Al-Hanbali.
Namun seiring berjalannya masa. Jalaluddin As-Suyuthi lebih dikenal
dengan sebutan As-Suyuthi. Sebuah nama yang dinisbahkan pada
ayahnya yang dilahirkan di As-Suyuthi. Nama suatu negeri yang
makmur, terletk di dataran tinggi dan merupakan lokasi perniagaan yang
strategis. Ketika masih bocah, kemalangan sudah menyapanya. Ayahnya
menghadap kehadirat-Nya pada Safar 855 H/Maret 1451 M ketika ia

2
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h.110-111
3
M. Atiqul Haque, WAJAH PERADABAN Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar
Islam, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998) cet. 1, h. 90
4
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.111
5
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Asrar Tartibil Qur`an, (Jakarta: Pustaka Amani,
1996), cet. I, h. 87
31

baru berusia enam tahun.6 Kemudian pemeliharaannya diwasiatkan


kepada satu jama‟ah, di antara mereka adalah Al-Kamal bin Al-
Hammam. Dialah yang bertugas sebagai pengganti orang tuanya dan
menjaganya.7
Sejak kecil, As-Suyuthi menunjukkan semangat yang tinggi dan
kecerdasan luar biasa dalam menuntut ilmu. Setidaknya, pengakuan As-
Suyuthi dalam Asbab Wurud Al-Hadis bisa menjadi bukti. Ujarnya,
“Aku telah hafal Al-Qur`an sebelum berusia delapan tahun. Kemudian
aku juga dapat menghafal kisah Al-Umdah, Minhaj Al-Fikih, dan Alfiyah
Ibnu Malik.”
Dalam lawatan menuntut ilmu, As-Suyuthi singgah di beberapa
negeri seperti Syam, Hijaz, Yaman, India, dan Maroko. Di sana ia belajar
kepada sejumlah ulama besar. Misalnya, Jalaluddin Al-Mahalli, Ahmad
bin Ali Syamsahi (guru ilmu waris) Al-Bulqaini (guru fikih), Asy-
Syamsahi (guru hadis, ushul fikih, teologi, dan nahwu), Al-Izzul Hanbali
(guru hadis, bahasa Arab, dan Sejarah), dan lain-lain.
Selain guru laki-laki, As-Suyuthi juga menyesap ilmu dari
sejumlah ilmuwan perempuan. Aisyah binti Jarullah, Ummu Hani binti
Abul Hasan, Shalihah binti Ali, Niswan binti Abdullah Al-Kanani, dan
Hajar Binti Muhammad Al-Misriyah, adalah sebagian daftar guru
perempuannya.8
Jalaluddin As-Suyuthi adalah seorang sarjana besar dan jenius.
Dia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menulis tentang Al-Qur`an,
Hadis, syari‟ah, filsafat, retorika, dan lain-lain, dan memberikan
kontribusi besar pada persoalan ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan studinya, ia pergi ke Universitas Kairo
dan menjadi guru besar dalam beberapa mata kuliah, lalu ditunjuk
menjadi kepala para guru besar di Universitas itu. Pada tahun 1501 M,
lawannya memfitnah dia menyalahgunakan dana Universitas dan ia
diberhentikan dari jabatannya. Lalu ia mencurahkan waktu pensiunnya
untuk melakukan penelitian, menulis, dan beribadah kepada Allah swt. 9
Ia menulis lebih dari lima ratus buku.
Buku-bukunya dengan subjek yang berbeda sangat menarik minat
pembacanya dan menyebabkannya sangat terkenal di seluruh dunia

6
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h. 111
7
Abdullah Karim, Ilmu Tafsir Imam As-Suyuthi, (Banjarmasin: CV Haga Jaya
Offset, 2004), cet. I, h. xiv
8
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.112
9
M. Atiqul Haque, WAJAH PERADABAN Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar
Islam,... h. 90-91
32

Islam, dari Mesir, Maroko, Syiria, hingga India.10 Beliau sukses


melahirkan karangan-karangan yang berjumlah kurang lebih 600 judul.
Karya-karya beliau dalam Ilmu Tafsir dan Qira`at antara lain:
1. Al-Itqan fi Ulumil Qur`an..
2. Addurrul Mantsur fit Tafsir bil Ma‟tsur
3. Asrârut Tanzil, dan dinamai Qatful Azhâr fi Kasyfil Asrâr.
4. Lubâbun Nuqûl fi Asbâbin Nuzul.
5. At Tahbir fi Ulumit Tafsir.
6. Tanâsuqud Durar fi Tanâsubis Suwar.11
Faktor yang menunjukkan keilmuan As-Suyuthi adalah
pengalaman bergaul dengan ulama semasanya dengan tidak cenderung
terhadap sistem pemikiran mereka, tetapi memiliki sistem orang yang
istiqamah, demokrat, dan serius dalam mencari ilmu.
Dalam akhir kitab Al-Itqan, ia mengatakan bahwasanya ia hidup
pada zaman yang penuh dengan kedengkian dan makian yang sering
menimbulkan emosi. Orang telah diliputi kebodohan dan ketamakan
serta silau oleh cinta jabatan. Mereka berpaling dari ilmu syari‟ah sampai
melupakannya serta begitu asyik mempelajari ilmu filsafat dengan
harapan lebih maju dan menolak Allah.12
Pada zamannya, dia adalah orang yang paling tahu dengan ilmu
hadis dan cabang-cabangnya; rijal al-hadis, garib al-hadis, matn, sanad,
dan istinbat al-ahkam. Dia menginformasikan dirinya lebih mengahafal
200.000 hadis. Dia mengatakan: “Sekiranya kutemukan hadis lebih dari
itu, tentulah kuhafalkan.” Dia memiliki keteladanan dan banyak karamat,
dia juga mempunyai banyak syair yang bagus, dia juga mempunyai
banyak syair yang bagus, dia lebih banyak memanfaatkan waktunya
untuk kegiatan ilmiah dan hukum-hukum syari‟ah. Pada usia 40 tahun
dia berkonssentrasi untuk beribadah kepada Allah swt. semata, dia
berpaling dari dunia dan penghuninya, dia tinggalkan berfatwa dan
pengajaran. Untuk mengemukakan uzurnya tersebut, dia menulis sebuah
karangan yang diberi judul: At-Tanfis. Dia menetap di Rawdah Al-
Miqyas sampai beliau wafat.13 Ia wafat pada malam Jum‟at tanggal 19
Jumadil Ula, tahun 911 H. Ia dimakamkan di Jusyi Qushun, di luar pintu
Qurafah, Kairo. Ia selalu bersama kita melalui berbagai kitabnya sebagai
rujukan para pembahas dalam masalah yang rumit sepanjang masa.
Dengan kelebihannya dalam masalah yang rumit sepanjang masa.

10
M. Atiqul Haque, Wajah Peradaban Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar
Islam,... h. 91
11
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, “Asrar Tartibil Qur‟an”,... h. v
12
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, “Asrar Tartibil Qur‟an”,... h. 88
13
Abdullah Karim, Ilmu Tafsir Imam As-Suyuthi,... h. xv
33

Dengan kelebihannya tersebut semoga rahmat Ilahi tercurah bagi orang


yang senantiasa mengamalkannya.14

c. Riwayat Tafsir
Tafsir Al-Jalalain, secara harfiah berarti “Tafsir Dua Kemuliaan”
adalah tafsir yang sangat terkenal di dunia Islam. Tafsir itu ditulis
dengan bahasa yang sederhana dan mudah.15 Muhammad Al-Fatih
Suryadilaga dalam artikelnya “Suntingan Teks Tafsir Jalalain”,
menyatakan bahwa masing-masing dari Al-Mahalli dan As-Suyuthi
mengerjakan tafsir Al-Jalalain 50 persen. Al-Mahalli memulai surah Al-
Kahfi sampai An-Nas dan Al-Fatihah.16 Ia menulisnya sebagaimana
urutan mushaf utsmani, yang mana ia mulai menulisnya pada hari Rabu
di bulan Ramadhan 870 H sampai hari Ahad tanggal 10 Syawwal 870 H,
berarti hanya satu bulan waktu yang digunakan beliau untuk menyusun
tafsir fari urah Al-Kahfi sampai dengan An-Nas.17 Banyak juga yang
menganggap bahwa Al-Mahalli menulis Tafsir dari surah Al-Kahfi
sampai surah An-Nas saja tanpa surah Al-Fatihah. Bahkan dalam kitab
Kasf Al-Zunun dijelaskan bahwa Al-Mahalli telah menafsirkan dari awal-
awal Al-Baqarah sampai surah Al-Isra‟. Keterangan ini disanggah oleh
Yunus Hasan Abidu dalam kitab Dirasat wa Mahabits fi Tarikh al-Tafsir
wa Manahij Al-Mufassirin.18 Al-Mahalli bermaksud akan melanjutkan
menafsirkan surah Al-Baqarah setelah menafsirkan surah Al-Fatihah,
akan tetapi beliau jatuh sakit yang berakhir dengan berpulang ke
rahmatullah.
Sedangkan As-Suyuthi melanjutkannya enam tahun kemudian
dan menyelesaikan penafsirannya dari surah Al-Baqarah sampai Al-Isra‟
dan selesai pada hari Rabu 6 safar 871 H dalam waktu empat bulan
kurang 4 hari. Kedua penafsir tafsir tersebut berkewarganegaraan Mesir.
Akan tetapi tempat kelahirannya berbeda. Al-Mahalli dilahirkan di
Marhallah dan berdarah Arab Taftani. Sedangkan As-Suyuthi dilahirkan
di Asyut. Antara kedua ulama tersebut yang sama-sama memiliki nama
Jalal tidak ada hubungan kekeluargaan, namun ada hubungan di bidang

14
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, “Asrar Tartibil Qur‟an”,... h. 91
15
M. Atiqul Haque, Wajah Peradaban Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar
Islam,... h. 91
16
Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, “Suntingan Teks Tafsir Jalalain,” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur`an dan Hadis XI, no. 2 (Juli 2010), h. 228-229
17
Wahyudi Syakur, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, h. 75
18
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Quran, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 121
34

keilmuan antara murid dan guru. Keduanya populer dalam bidang tafsir
dan ilmu Al-Qur`an.19
Ahmad Mujib El-Shirazy dalam Anotasi Kitab Kiuning:
Khazanah Intelektualisme Pesantren di Indonesia, menyatakan bahwa
ada beberapa alasan dipilihnya tafsir Al-Jalalain sebagai kitab tafsir
utama di kalangan pesantren, yaitu sebagai berikut: 1) Tafsir Jalalain
ditulis oleh dua ulama yang berhaluan ahl sunnah wal jama‟ah. 2) Tafsir
Jalalain ditulis oleh dua ulama yang bermadzhab Syafi‟i. 3) Tafsir
Jalalain adalah kitab paling ringkas namun padat sehingga paling mudah
untuk dikhatamkan. 4) Di Indonesia tafsir Jalalain adalah kitab yang
paling murah harganya sehingga bisa dijangkau oleh para santri. 5)
Nama dua mu‟allif tafsir Jalalain, yakni Imam Jalal Al-Din Al-Suyuthi
dan Imam Jalal Al-Din Al-Mahalli sangat terkenal di kalangan pesantren.
Kitab-kitab As-Suyuthi banyak diajarkan di pesantren seperti Al-Asybah,
Jam‟u Al-Jawami‟, Syarh As-Syatibiyyah, Al-Alfiyyah dll. Begitu juga
dengan karya-larya Al-Mahalli yang dijadikan kajian di pesantren seperti
Syarh Jam‟u Al-Jawami‟ Syarh Al-Minhaj dll.20
Begitu tingginya nilai tafsir Al-Jalalain di mata para pembaca.
Dapat dikatakan bahwa tafsir inilah yang banyak berkembang dalam
masyarakat ulama, dari dulu hingga sekarang.

d. Metode Penafsiran
Al-Mahalli menafsirkan Al-Qur`an dengan sangat ringkas, yang
mana pola ini juga diikuti oleh As-Suyuthi dalam menyelesaikan
penafsiran tafsir Jalalain ini. Apabila orang membaca keseluruhan tafsir
ini, maka mereka tidak akan menemukan perbedaan antara tafsir paruh
pertama dan paruh kedua. Sebab masing-masing menggunakan metode
yang sama, yang mana As-Suyuthi mengikuti jejak Al-Mahalli dalam
menyebutkan makna ayat secara ringkas dan bertumpu pada pendapat
yang paling kuat disertai dengan pembahasan mengenai masalah i‟rab
yang sangat diperlukan untuk menjelaskan makna dan mengingatkan
adanya qira‟at-qira‟at dengan redaksi yang singkat pula.21
Metode penafsiran demikian disebut dengan metode ijmali, yaitu
metode yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an secara global atau general
(garis besar), berdasarkan urutan bacaan dan susunan Al-Qur`an. Dengan
metode ini, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan

19
Muhammad Al-Fatih Suryadilaga, “Suntingan Teks Tafsir Jalalain,” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur`an dan Hadis XI, no. 2 (Juli 2010), h. 228-229
20
Ahmad Mujib El-Shirazy, Anotasi Kitab Kiuning: Khazanah Intelektualisme
Pesantren di Indonesia,(Jakarta: Darul Ilmi, 2007), h. 133
21
Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Quran, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,...
h. 121-122
35

yang ada di dalam Al-Qur`an, kemudian mengemukakan makna global


yang dikandung oleh ayat tersebut, sehingga dapat dipahami. Dengan
cara ini makna setiap ayat saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
Kelebihan metode ini adalah dapat dipahami oleh berbagai lapisan
masyarakat dan penjelasannya ringkas. 22

B. Riwayat Hidup Quraish Shihab


a. Karir dan Aktifitas Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, M.A. lahir di Rappang,
Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944.23 Ayahnya bernama
Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah keluarga keturunan Arab yang
terpelajar, dan menjadi ulama sekaligus guru besar tafsir di IAIN
Alauddin, Ujung Pandang. 24 Abdurrahman Shihab adalah seorang
wiraswastawan. Di samping itu, beliau juga menjadi muballigh yang
sejak masa mudanya gemar berdakwah dan mengajar ilmu-ilmu
keagamaan.25 Beliau adalah seorang penggagas sekaligus pendiri
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.26
Quraish Shihab dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
bernuansa agamis. Bimbingan orang tuanya sangat berpengaruh besar
bagi pribadi dan perkembangan akademisnya di kemudian hari.27 Beliau
melanjutkan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, beliau juga
digembleng ayahnya untuk mempelajari Al-Qur`an.28 Kemudian beliau
melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Malang, Jawa Timur
sambil nyantri di Pesantren Darul-Hadis Al-Faqihiyyah.29
Pada tahun 1958 M, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, atas
bantuan beasiswa dari Pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas
II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967 M,

22
Anshori, Ulumul Qur‟an: Kaidah-Kaidah memahami Firman Tuhan, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), cet. I, h. 207-208
23
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2013), cet. 1, h.7
24
H. Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2005), h. 362
25
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur`an : Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat.”, (Bandung: Mizan, 2003), h. vii
26
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: Lembaga
penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, h.255
27
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab.” (Jakarta; Mimbar Agama dan Budaya, 2002), vol. xix, No. 2, h. 170
28
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.237
29
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, (Jakarta: Lembaga
penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, h.255
36

pendidikan strata satu diselesaikan di Universitas al-Azhar, Fakultas


Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis.30
Kemudian beliau segera mendaftarkan diri untuk melanjutkan
pendidikannya pada fakultas yang sama, dan pada tahun 1969, ia berhasil
meraih gelar MA (S2) untuk spesialisasi bidang tafsir Al-Qur`an. Tesis
yang diajukannya sebagai penutup studi berjudul Al-I‟jaz Al-Tasyri‟i li
Al-Qur`an Al-Karim.31
Sekembalinya ke kota kelahirannya, Ujung Pandang, beliau
dipercaya menjabat sebagai wakil rektor bidang akademis dan
kemahasiswaan di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, beliau
juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam lingkungan kampus
seperti Koordianator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais)
WilayahVII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti
pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang
pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, belia juga sempat
melakukan beberapa penelitian, antara lain; penelitian dengan tema
“Penetapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan
“Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).32
Pada tahun 1980, beliau kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikan untuk mengambil program S3 di almamater lamanya. Pada
tahun 1982 ia meraih doktornya dalam bidang ilmu-ilmu Al-Qur`an
dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa‟iy: Tahqiq wa
dirasah.33 Hanya 2 tahun, 1982 M, waktu yang dibutuhkannya untuk
merampungkan jenjang pendidikan strata 3 itu. Walaupun begitu, nilai
akademiknya terbilang istimewa.34 Beliau berhasil meraih gelar doktor
dalam ilmu-ilmu Al-Qur`an dengan yudisium Summa Cum Laude
disertasi penghargaan Tingkat Pertama (mumtaz ma‟a martabat al-syaraf
al-„ula).35 Walhasil, beliau tercatat sebagai orang pertama di Asia
Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur`an
Universitas Al-Azhar.36

30
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.237
31
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat,... h.7
32
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 256
33
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 256
34
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.237
35
M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat,... h.7
36
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.237
37

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984 beliau ditugaskan di


Fakultas Ushuluddin dan program pascasarjana IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercayakan
untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat (1984), Anggota Lajnah Pentashih Al-Qur`an
Departemen Agama (1989), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan
Nasional (1989). Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi
profesional; sebut saja misalnya: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu
Syari‟ah; Pengurus Konsorsium Ilm-Ilmu Agama Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Yang tak kalah pentingnya, beliau sangat aktif sebagai penulis.
Di harian umum Pelita, pada setiap Rabu beliau menulis dalam rubrik
“Pelita Hari”. Beliau juga mengasuh rubrik “Tafsir Al-Amanah” dalam
majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, beliau
juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur‟an
dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya
untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, beliau juga
menulis buku.37

Beberapa buku beliau telah beredar luas. Di antaranya, Tafsir Al-


Manar; Keistimewaan dan Kelemahannya (1984), Filsafat Hukum Islam
(1987), Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah Al-Baqarah (1988),
Membumikan Al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (1992), Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan
(1994)keduanya berasal dari kumpulan makalah dan ceramah, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar (1994), Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat (1995), Mukjizat Al-Qur`an Ditinjau dari
Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1997), Tafsir
Al-Qur`an Al-Karim: Tafsir atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu (1997), Hidangan Ilahi: Ayat-Ayat Tahlil
(1997), Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan
Mu‟amalah (1999), Tafsir Al-Misbâh: Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-
Qur`an (2000), dan sebagainya.38

b. Riwayat Tafsir
Di antara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir
Al-Misbâh bisa dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri

37
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 256-257
38
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.238
38

dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999-2004. Karyanya ini
berjudul Tafsir Al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur‟an, atau
biasa disebut Al-Misbâh saja.39 Nama ini berasal dai bahasa Arab yang
artinya lampu, pelita, lentera, atau benda lain yang berfungsi serupa,
yaitu memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. 40
Beliau berharap dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk
dan pedoman hidup bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam
memahami makna Al-Qur`an secara langsung karena kendala
kebahasaan.
Sebagai salah seorang mufassir di Indonesia dewasa ini, Quraish
Shihab tidak menulis karya-karyanya berdasarkan selera dan keinginan
sematam melainkan beliau selalu berangkat dari kebutuhan masyarakat
pembacanya. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, ia ingin bahwa
Al-Qur`an sebagai hudan (petunjuk) dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh semua kalangan masyarakat islam. Motifasi beliau untuk menulis
tafsir ini adalah sebagai tanggung jawab moral sebagai ulama yang wajib
memberikan penerangan kepada umatnya sesuai dengan bidangnya. 41
Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam
pengantar Tafsir Al-Misbâh jilid I. Beliau menulis demikian:
“Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan Al-
Qur‟am dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung dalam
Al-Qur`an sesuai dengan harapan dan kebutuhan.”42
Karya tafsir yang ingin penulis hadirkan ini merupakan karya
besar seorang Besar Tafsir Indonesia yang mana karya tafsir ini telah
membumbungkan namanya sebagai salah satu mufassir Indonesia yang
disegani, karena mampu menulis tafsir Al-Qur`an 30 juz dengan sangat
akbar dan mendetail hingga 15 jilid/volume.43 Beliau menuntut ilmu di
negeri Kinanah, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Ketika
masih tinggal di sana, putra kedua Prof. KH. Abdurrahman Shihab ini
mulai menulis tafsir Al-Misbâh pada Jum‟at 4 Rabi‟ul Awal 1420 H
yang bertepatan dengan 18 Juni 1999 M.

39
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, 2002, vol. xix, No. 2, h. 176
40
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, 2002, vol. xix, No. 2, h. 178
41
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, 2002, vol. xix, No. 2, h. 178
42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid I (Jakarta: Lentera Hari, 2000), h.vii
43
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Musafir Al-Qur`an,... h.238
39

Tafsir Al-Misbâh diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan


disambut antusias oleh kaum muslimin Indonesia, khususnya para
peminat kajian tafsir Al-Qur`an. Al-Misbâh cetakan baru dilengkapi
dengan navigasi tujukan silang yang eksotis, dicetak dengan kemasan
hard cover, dan dikemas dengan bahasa sederhana yang mudah
dipahami, namun menarik dan menelisik. Al-Misbâh menghimpun lebih
dari 10.000 halaman yang memuat kajian tafsir Al-Qur`an. Dengan
kedalaman ilmu dan kepiawaian penulisnya dalam menjelaskan makna
sebuah kosakata dan ayat Al-Qur`an, tafsir ini mendapat tempat khusus
di hati khalayak.44
Latar belakang terbitnya tafsir Al-Misbâh ini adalah diawali oleh
penafsiran sebelumnya yang berjudul “Tafsir Al-Qur`an Al-Karim atas
Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu” pada tahun
1997 yang dianggap kurang menarik minat khalayak, bahkan sebagian
mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata
atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya beliau tidak melanjutkan
upaya itu. Di samping itu banyak kaum muslimin yang membaca surat-
surat tertentu dari Al-Qur`an, seperti surah Yâsîn, Al-Waqi‟ah, Ar-
Rahman, dan lain sebagainya yang mana merujuk kepada hadis-hadis
dhoif, misalnya bahwa apabila membaca surah Al-Waqi‟ah dapat
mendatangkan rezeki. Dalam Al-Misbâh beliau menjelaskan selalu tema-
tema pokok surat-surat Al-Qur`an atau tujuan utama yang berkisar di
sekeliling ayat-ayat dari surat itu agar membantu meluruskan kekeliruan
seta menciptakan kesan yang benar.45
Setidaknya ada dua tafsir penting yang ditulis sarjana Indonesia
dalam lima dekade terakhir, yakni tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka,
dan Al-Misbâh karya Quraish Shihab. Dari keduanya, tafsir Al-Misbâh
patut diapresiasi karena tafsir ini mencerminkan perkembangan mutakhir
dalam pendekatan terhadap Al-Qur`an.
Dalam rangka memahami aspek-aspek Aqidah, Syari‟ah dan
Akhlaq yang terkandung dalam Al-Qur`an, di samping menyitir
pendapat Mahmud Syaltut (ulama Al-Azhar Mesir) yaitu, 1) Perintah
memperhatikan alam raya, 2) Perintah mengamati perkembangan
manusia, 3) Kisah para Nabi dan salafus shaleh, 4) Janji dan ancaman
duniari maupun ukhrawi, Quraish Shihab menambahkan pendekatan
melalui: a) Ketelitian dan keindahan redaksi Al-Qur`an, b) Isyarat

44
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 252
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid I,... h. ix
40

ilmiah, dan c) Pemberitaan hal ghaib masa lalu dan masa mendatang
yang diungkapnya.46
Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur`an; demikian tema yang
diusung oleh tafsir ini, nampaknya ingin menjelaskan bahwa ketiga
pendekatan di atas terutama ketelitian dan keindahan redaksi Al-Qur`an
sangat dominan mewarnai penasiran yang dilakukan.47
Begitu menariknya uraian yang terdapat dalam banyak karyanya,
pemerhati karya tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel,
merokemdasikan bahwa karya-karya tafsir M. Quraish Shihab layak
bahkan wajib menjadi bacaan dan rujukan setiap muslim di Indonesia
sekarang ini.
Dengan rendah hati, penafsir ini menyampaikan kepada pembaca
bahwa apa yang dihidangkan pada karya tafsir ini bukanlah sepenuhnya
ijtihad penafsir sendiri. Tafsir Al-Misbâh banyak mengemukakan „uraian
penjelas‟ terhadap sejumlah mufassir ternama sehingga menjadi referensi
yang mumpuni, informatif, dan argumentatif.48
Begitu juga, kitab tafsir yang berjumlah 15 jilid ini mempunyai
corak penafsiran Adabi Ijtima‟i. Kita juga bisa mengatakan bahwa tafsir
ini memiliki kecenderungan lughawi. Hal ini didasarkan kepada
banyaknya pembahasan tentang kata. Apalagi terhadap kata atau
ungkapan yang selama ini disalah pahami oleh sebagian pembaca. 49
Beliau juga menyatakan bahwa karya-karya ulama terdahulu dan
kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak
dinukil. Sebut saja misalnya Mahmud Syaltut, Sayyid Quthb,
Muhammad Al-Madani, Muhammad Hijazi, Ahmad Badawi,
Muhammad Ali Ali Ash-Sabuni, Muhammad Sayyid Tanthawi, Syeikh
Mutawalli Asy-Sya‟rawi, Syeikh Muhammad Husein Ath-Thabathabai
(seorang ulama Syiah terkemuka), dan terakhir Ibrahim ibn Umar Al-
Biqa‟i, ulama asal Bekaa, Lebanon (w.885 H/1480 M) yang mana karya
tafsirnya yang berjudul Nazm Al-Durrur ketika masih berupa manuskrip
menjadi bahan disertasi penulis tafsir ini di Universitas Al-Azhar Kairo
Mesir dua puluh tahun silam.50

46
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 253
47
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 254
48
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 254
49
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h.262
50
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 255
41

Selain mengutip dari pendapat para ulama, M. Quraish Shihab


juga mempergunakan ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis Nabi saw. sebagai
bagian dari penjelasan dari tafsir yang dilakukannya. Biasanya rujukan
dari ayat Al-Qur`an ditulis dalam bentuk italic (miring), sebagai upaya
untuk membedakannya dari rujukan yang berasal dari pendapat ulama
atau ijtihadnya sendiri.51

c. Metode Penafsiran
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dalam menulis tafsir Al-Misbâh ini menggunakan metodologi
tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya
dalam setiap surat. Penekanan dalam uraian-uraian tafsir itu adalah pada
pengertian kosa kata dan ungkapan-ungkapan Al-Qur`an dengan
merujuk kepada pandangan pakar bahasa dan ulama tafsir, kemudian
memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan oleh
Al-Qur`an.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode tahlili atau
analisis adalah penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur`an
dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufassir dengan
menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mushaf melalui
penafsiran kosakata, penjelasan asbabun nuzul, munasabah, serta
kandungan ayat tersebut sesuai denga keahlian dan kecenderungan
mufassir itu.52
Menafsirkan Al-Qur`an dengan menggunakan metode tahlili
adalah bagaikan hidangan prasmanan,53 masing-masing tamu memilih
sesuai selera serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang
telah ditata. Cara ini tentu saja memerlukan waktu yang lama, karena
pembahasannya lebih luas dari pada metode maudhu‟i. Metode
maudhu‟i adalah membahas satu surat Al-Qur`an secara menyeluruh,
memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan
khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat yang
satu dengan ayat yang lain, atau antara satu pokok masalah dengan
pokok masalah yang lain. Definisi dengan redaksi lain, tafsir maudhu‟i
adalah tafsir yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat Al-Qur`an yang
memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan

51
Hamdani Anwar, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish
Shihab.” (Jakarta; Mimbar Agama dan Budaya, 2002), vol. xix, No. 2, h. 180-181
52
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 263
53
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur`an : Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat.”,... h. xii
42

dan mengambil kesimpulan, di bawah satu bahasan tema tertentu.54 Hal


ini bisa saja menimbulkan kebosanan, di samping itu tidak semua yang
dihidangkan dalam tafsir ini sesuai dengan kebutuhan dan selera
masyarakat sekarang. Tetapi metode tafsir tahlili ini masih tetap urgen
buat masa sekarang.
Dengan mengemukakan bahwa metode tahlili memiliki berbagai
kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode
maudhu‟i atau tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa
keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan
tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode
tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia
menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan Al-
Qur`an adalah metode maudhu‟i. Dengan demikian, metode penulisan
tafsir Al-Misbâh mengkombinasikan dua metode yaitu metode tahlili
dengan metode maudhu‟i.
Dalam hal ini, ia mengakui; bahwa dengan menerapkan metode
maudhu‟i bukanlah perkara yang mudah. Karena menerapkan metedo ini
memerlukan keahliah akademis, karena itu kehati-hatian dan ketekunan
sangatlah diperlukan.55 Mufassir yang menggunakannya dituntut untuk
memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang
ditetapkannya. Seperti menghadirkan pengertian kosakata ayat, asbabun
nuzul, munasabah ayat, dan lain lain yang biasa dihidangkan dalam
metode tahlili. Demikianlah, sehingga yang menerapkan metode ini tidak
dapat mengabaikan metode tahlili, walaupun kandungan metode itu tidak
dihidangkannya secara tegas dalam sajian maudhu‟i-nya. Itu sebabnya
sehingga ia mengatakan bahwa unsur kecepatan hanya diperoleh oleh
tamu yang kepadanya dihidangkan kotak maudhu‟i, tidak lagi yang
menyiapkan kotak itu. Karena itu dalam penyajian tafsir Al-Misbâh,
Quraish Shihab masih menggunakan tahlili dalam penjelasannya. Akan
tetapi tidak menghilangkan metode maudhu‟i untuk mengarahkan pesan
kandungan Al-Qur`an yakni dengan mengelompokkan ayat-ayat dalam
satu surah sesuai tema, agar kemudian tidak bertele-tele dan menyita
waktu luas dalam pembahasannya. 56

54
M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulum Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), cet. 3, h. 192-193
55
M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Qur`an : Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai
Persoalan Umat.”,... h. xiv
56
Mafri Amir, Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,... h. 263
43

Dalam menafsirkan Al-Qur`an, beliau menggunakan cara


majmu‟at, yaitu mufassir hampir semua ayat yang ada. Ini terlihat dari
banyaknya jilid yang ada, yakni sampai 15 volume besar dengan
kemasan hard cover. Dalam menuliskan dan menyusun tafsirnya, beliau
menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, sehingga
menjadi lebih membumi. Sehingga siapapun dari kalangan yang
bermacam-macam sekalipun, ketika membacanya akan dengan mudah
memahami pesan yang disampaikan.
Oleh karena itu pada skripsi ini penulis menulis perbandingan
dengan memilih kitab tafsir Jalalain yang dikarang oleh Jalaluddin Al-
Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, dikarenakan beliau adalah ulama
klasik yang berpengetahuan luas dan sangat menguasai ilmu kebahasaan.
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan
sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari
qoul yang kuat, I‟rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap
Qira`at yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta
meninggalkan ungkapan-ungkapan yang terlalu panjang dan tidak perlu.
57

Sedangkan penulis mengambil tafsir karangan M. Quraish Shihab


karena beliau adalah seorang ulama kontemporer Indonesia yang
banyak di pengaruhi oleh ulama klasik, terutama pada bidang tafsir.
Meskipun beliau merupakan mufassir kontemporer, beliau tidak
meninggalkan corak penafsiran tradisional sehingga terlihat dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an terkesan klasik dengan mengadakan
hal-hal yan girasional. Jadi, dalam penafsirannya terlihat sangat
menarik untuk dijadikan sebuah bahan kajian, sebab dalam
menjelaskna Al-Qur`an beliau menggunakan tahlili (analitik), yaitu
sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap
kandungan Al-Qur`an, dari berbagai aspeknya, dalam bentuk disusun
berdasarkan urutan ayat di dalam Al-Qur`an, selanjutnya memberikan
penjelasan penjelasan tentang kosa kata, makna global ayat, korelasi,
asbabun nuzul, dan hal hal lain yang dianggap

57
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Al-Qur`an al-‟Adzim, Dar
Ihya‟ al-Kutub al-‟Arabiyah,... hal. 2
BAB IV
TELAAH KATA SHADR, QALB, FU`ÂD, DAN LUBB DALAM AL-
QUR`AN BERDASARKAN TAFSIR JALALAIN DAN TAFSIR AL-
MISBÂH

A. Penafsiran Kata Shadr, Qalb, Fu`âd dan Lubb Menurut Jalalain dan
Al-Misbâh
Dalam bab ini penulis akan memaparkan bagaimana penafsiran
Jalalain dan Quraish Shihab terkait kata shadr, qalb, Fu`âd, dan lubb,
yakni sebagai berikut;

1. Penafsiran Kata Shadr


Kata-kata yang diambil oleh penulis yakni kata shadran,
shadruhu, Ash-Shudûr, dan Shudûrihim. Yang mana masing-masing kata
tersebut mewakili dari bentukan-bentukan kata shadr dalam Al-Qur`an.

a. Shadran
Kata ini mewakili bentukan dari mashdar yang mana kata ini
hanya terulang 1 kali di dalam Al-Qur`an, yakni sebagai berikut:

          

         

   


Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia
beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang
dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia
tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl [16] 106)

Dalam kitab tafsir jalalain ayat wa lâkin man syaraha bil kufri
shadran diartikan dengan, “akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran”. Dalam kitab tafir jalalain, kata shadran yang
bermakna dada ditafsirkan sebagai hati. Yakni, hatinya menerima
kekufuran dengan lapang.1

1
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain Asbabun Nuzul Jilid 1, terj. Bahrun Abubakar,... cet VII, h. 1046

45
46

Sedangkan Quraish Shihab menerangkan bahwa kata syaraha


(‫ )شسح‬dalam ayat ini memiliki makna antara lain, memperluas,
melapangkan, baik secara material maupun immaterial. Apabila kata
tersebut dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat material, maka ia
bermakna “memotong (membedah)”, namun jika dikaitkan dengan
sesuatu yang yang bersifat immaterial maka memiliki kandungan arti
membuka, memberi pemahaman, yakni menjelaskan yang musykil,
menganugerahkan ketenangan dan semaknanya.
Beliau juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini
adalah luasnya hati yang bersangkutan dalam menerima kekufuran. Ini
bermakna bahwa kekufuran telah banyak menumpuk di dalam hatinya
sehingga „wadah hati‟ telah diperlebar agar dapat lebih banyak
menampung kekufuran. Dan ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan
rela dan senang dengan kekufuran tersebut. Karena kalau tidak, tentu
saja hatinya tidak perlu diperlebar untuk menampung kekufuran lebih
banyak lagi.2
b. Shadrahu
Kata ini mewakili bentukan dari mufrad dan di dalam Al-Qur`an
terulang sebanyak 3 kali. Adapun salah satu ayat yang di ambil oleh
penulis adalah sebagai berikut:

            

         

       


Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang
dikehendaki Allah kesesatannya[503], niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit.
Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
tidak beriman.” (QS Al-An‟am [6] : 125)

Penafsiran ayat faman yuridullâhu an yahdiyahu yasyrah


shadrahû li al-islâmi dalam kitab jalalain adalah sebagai berikut;

2
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol. 6, cet V, h. 742
47

barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk Dia beri petunjuk, niscaya


Dia akan melapangkan dadanya untuk menerima agama Islam. Maksud
dari penafsiran tersebut yakni, dengan memasukkan cahaya ke dalam
hatinya, lalu hatinya akan terbuka untuk Islam dan menerimanya.
Dan kata wa man yurid an yudhillahû yaj‟al shadrahû dhayyiqan
harajan ka`annama yashsha‟adu fi as-samâ‟i ditafsiri sebagai berikut;
dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah untuk disesatkan, niscaya
Allah akan menjadikan dadanya sempit. Kata ً‫ ضَّيِقب‬disini dibaca tanpa
tasydid dan dengan tasydid untuk menerimanya ً‫“ حَسِجب‬lagi sesat” yakni
sempit sekali, dibaca dengan kasrah pada huruf ra‟ ‫ حَسِجب‬dalam
kedudukan sebagai sifat (isim fa'il) dan dibaca dengan fathah pada huruf
ra‟ ‫ حَسِجب‬dalam kedudukan sebagai mashdar (kata benda dasar obyek)
yang disifati dengan ungkapan yang sangat indah: ‫“ كأًن يصعد‬seolah-olah
ia sedang naik” ada versi qira‟at yang membaca ‫يصبعد‬, dan pada
keduanya terdapat huruf ta‟ yang diidgham (masuk) kan ke dalam huruf
shaad, dan ada pula versi qira‟at yang membaca dengan sukun ُ‫ يصعد‬. ‫في‬
‫“ السوبء‬ke langit” jika dia disuruh beriman, karena terasa sangat berat
baginya.3
Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan kalimat; bahwasanya
barang siapa yang Allah kehendaki untuk memberinya petunjuk, maka
Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam, yaitu dengan
mencampakkan cahaya iman ke hatinya setelah dia menampakkan
keinginan untuk beriman dan melangkahkan kaki ke arah sana atau
mendukung keinginannya untuk percaya dengan jalan mengukuhkan
pikiran dan hatinya sehingga hilang keraguan yang menyelimutinya. Dan
barang siapa dikehendaki oleh Allah untuk disesatkan-Nya, yakni
menetap dalam kesesatannya karena kebejatan hatinya, maka niscaya dia
akan menolahk ajakan iman sehingga Dia menjadikan dadanya sangat
sempit, yakni tidak mampu menampung kebajikan dan kebenaran.
Bahkan dadanya terasa sesak sehingga tidak ada kebaikan yang bersedia
menerimanya. Dan keadaannya ketika itu bagaikan dia sedang
memaksakan diri mendaki di langit, yakni di angkasa atau ke angkasa.
Kata yasrah shadrahu yang berarti melapangkan dada, beliau
menafsirkan kata tersebut sebagai gambaran dari penerimaan iman dan
Islam. Apabila manusia mempercayai bahwa satu aktivitas mempunyai
nilai tambah atau manfaat yang lebih, maka hatinya akan condong pada
penambahan nilai dan manfaat yang banyak itu. Karna banyaknya
manfaat itu maka memerlukan wadah yang luas. Dari sini, keadaannya
dilukiskan sebagai dilapangkan dadanya. Rangkaian kedua kara diatas

3
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 1, cet. I, h. 563-564
48

dapat juga berarti memperjelas dan menerangkan dengan jalan


melontarkan ke dalam hatinya cahaya yang melalui cahaya tersebut dia
akan mengetahui kebenaran.
Beliau juga mengutip pemaparan Asy-Sya‟rawi, bahwa
kelapangan dada yang dianugerahkan Allah disini menurut Asy-
Sya‟rawi adalah menjadikan persoalan-persoalan yang dinilai sebagaian
orang dadalah perkara yang melelahkan, akan tetapi buat yang
bersangkutan menjadi nyaman lagi ringan sehingga dia
melaksanakannya dengan penuh kesungguhan serta diliputi oleh
keasyikan dan kerinduan. Disamping perkataan Asy-Sya‟rawi diatas,
Quraish Shihab juga mencantumkan hadis, yang mana hadis ini banyak
terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-
Thabari yang menyatakan bahwa „Abdillah Ibn Mas‟ud bertanya kepada
Nabi saw.: “Apakah dada menjadi lapang?”, beliau menjawab: “Ya.
Cahayanya masuk ke dalam hati”. “Adakah tandanya?” tannya Ibn
Mas‟ud. Beliau menjawab: “Menjauhkan diri dari dunia yang penuh tipu
daya dan mengarah menuju negeri abadi serta bersiap-siap untuk mati
sebelum datangnya kematian”. Kendati hadis ini banyak dikutip oleh
ulama tafsir, akan tetapi ulama hadis menilai hadis ini lemah.4

c. Ash-Shudûr
Kata ini mewakili bentukan dari maf‟ul dan terulang di dalam Al-
Qur`an sebanyak 16 kali. Dan penulis mengambil contoh dalam surah Ali
Imran ayat 119. Alasan penulis mengambil ayat di bawah ini,
dikarenakan konten maknanya yang lebih komprehensif dan lebih
lengkap di bandingkan dengan 15 ayat lainnya.

         

           

       


Artinya: “Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal
mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-
Kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka
berkata "Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri,
mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci
terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu
4
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 3, h. 656-657
49

karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui


segala isi hati.” (QS. Ali Imran [3] : 119)

Dalam kitab tafsir jalalain kata ‫ اى اهلل علّين ثرات الصدوز‬bermakna


“sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada di dalam dada”.
Kata dada dalam ayat ini ditafsirkan dengan isi hati. Termasuk apa-apa
yang tersimpan di dalam hati mereka itu.5
Penutup ayat ini yang artinya “sesungguhnya Allah mengetahui
segala isi hati”, menurut Quraish Shihab kalimat tersebut dapat
dipahami sebagai bagian dari apa yang diperintahkan untuk diucapkan
sebagaimana dikemukakan di atas, dan dapat juga dipahami dalam arti
uraian tersendiri. Jika demikian maka ia adalah informasi kepada mereka
dan juga kepada umat Islam bahwasanya kebencian dan kedengkian
yang terdapat di dalam diri mereka tersebut diketahui oleh Allah.
Informasi ini sangatlah penting, karena mereka menyembunyikan
sehingga informasi ini mengandung ancaman buat mereka sekaligus
peringatan kepada semua pihak termasuk kaum muslimin yang boleh
jadi masih menjalin hubungan kasih sayang dengan lawan-lawan
tersebut.6

d. Shudûrihim
Kata ini mewakili bentukan dari jamak dan terulang dalam Al-
Qur`an sebanyak 10 kali. Adapun salah satu ayat yang di ambil oleh
penulis adalah sebagai berikut:

          

          

          
Artinya : “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah
dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah
kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-

5
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 1, cet. I, h. 272
6
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... vol.
2, h. 236-237
50

orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka


dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-
Hasyr [59] : 9)

Penafsiran dalam kitab tafsir jalalain terhadap ayat ini yakni,


adapun orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman, yang mana hatinya telah tentram dan telah teguh dalam
keimanan. Mereka adalah orang Anshar, yakni sebelum kedatangan
orang muhajirin mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka
dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka. Maksud
“keinginan dalam hati mereka” disini maksudnya adalah tidak ada
perasaan iri hati sedikitpun maupun perasaan dengki terhadap apa-apa
yang kaum Muhajirin miliki.7
Menurut Quraish Shihab ayat ini mengisahkan tentang keadaan
kaum anshar ketika kaum muhajirin berhijrah ke kota mereka.
Disebutkan bahwa mereka (anshar)tidak menaruh keinginan dalam hati
mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (muhajirin), dan
mereka mengutamakan (muhajirin) atas dirinya sendiri meskipun mereka
juga memerlukan. Quraish Shihab menerangkan kata (‫ )حبجة‬hajah
terambil dari kata (‫ )حىج‬hauj, yaitu kebutuhan yang mendesak terhadap
sesuatu. Hajah atau hajat adalah sesuatu uang sangat dibutuhkan dan
juga sesuatu yang diinginkan. Ayat ini dari segi konteks turunnya
melukiskan bahwa tidak terbetik di dalam hati kaum Anshar sedikit
keinginan pun untuk memperoleh apa yang dimiliki oleh kaum
Muhajirin. Dari konteksnya yang demikian, dari redaksi ayat yang
bersifat umum di atas dapat dipahami bahwa kaum Anshar sama sekali
tidak memiliki rasa iri hati dan kemarahan atau bahkan keinginan untuk
mendapatkan apa yang dimiliki oleh kaum Muhajirin.8

2. Analisis Tafsir Kata Shadr


Jalalain dalam menafsirkan kata Ash-Shudûr dan Shudûrihim
beliau mengatakan bahwa shadr adalah apa-apa yang tersimpan di dalam
hati, seperti perasaan iri hati dan dengki. Pada kata shadran dan
shadrahu beliau menafsirkan bahwa shadr dapat menerima kekufuran
dan dapat juga menerima hidayah.
Adapun penafsiran Quraish Shihab terkait empat kata di atas
ialah; pada kata Ash-Shudûr dan Shudûrihim beliau mengatakan bahwa

7
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 3, cet. I, h. 640
8
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... vol.
13, h. 537
51

shadr adalah apa-apa yang tersimpan pada isi hati, seperti kebencian,
kedengkian, iri hati, dan hawa nafsu. Pada kata shadran beliau
mengartikan bahwa kata shadr disini ialah wadah hati dimana ia dapat
menerima kekufuran. Dan pada kata shadrahu beliau mengartikan bahwa
shadr disini dapat menerima hal-hal yang bersifat baik.
Secara garis besar jalalain dan Quraish Shihab sepakat bahwa
yang dimaksud dengan kata shadr/dada disini ialah hati. Keduanya
menerangkan bahwa shadr disini ialah tempatnya hawa nafsu, iri,
dengki, benci, dan marah, serta letaknya pun tersembunyi. Keduanya
juga sepaham bahwa shadr ini ialah sesuatu yang dapat menerima
kekufuran.
Pada kata shadran, Quraish Shihab menjelaskan bahwa shadr
disini ialah “wadah hati”. Akan tetapi pada kata Ash-Shudûr, jalalain
menerangkan bahwa shadr disini ialah “isi hati”. Kendatipun berbeda
dalam menafsirkan, akan tetapi makna yang diberikan sama dengan
konteks yang dibicarakan. Yakni berbicara mengenai orang-orang kufur,
yang mana hati mereka terdapat rasa iri dan dengki terhadap orang islam.
Penulis pun menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan empat kata
disini keduanya memberikan makna yang sama, hanya saja cara
menguraikannya berbeda akan tetapi intinya sama yakni berkaitan
dengan apa-apa yang tersembunyi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh
penjelasan Jalalain yang sangat ringkas dan Quraish Shihab yang
menguraikannya disertai dengan penjelasan baik dari sisi kebahasaan,
asbabun nuzul, qiraat, dan didukung dengan kutipan pendapat para
ulama klasik.

3. Pengertian Kata Qalb


Kata-kata yang diambil oleh penulis yakni kata qalb, qalbuhu,
qalbain, qulûb, qulûbikum,qulûbana, qulûbihim, dan qulûbihinna. Yang
mana masing-masing kata tersebut mewakili dari bentukan-bentukan
kata qalb dalam Al-Qur`an.

a. Qalb
Kata ini mewakili bentukan dari isim mufrad dan di dalam Al-
Qur`an terulang sebanyak 6 kali. Adapun salah satu ayat yang di ambil
oleh penulis adalah sebagai berikut:

             
Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal
52

atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia


menyaksikannya.” (QS. Al-Hasyr [50] : 37)

Adapun ayat ini ditafsirkan di dalam kitab tafsir jalalain sebagai


berikut; “sesungguhnya apa yang telah diceritakan itu benar-benar
terdapat pelajaran dan nasihat bagi orang-orang yang mempunyai hati
atau yang menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan
peringatan dan dia menyaksikannya”. Tafsiran kata qalb/hati dalam ayat
diatas diartikan dengan akal.9
Quraish Shihab menafsirkan kalimat; bahwa sesungguhnya
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai
hati, hati disini ialah hati yang lapang untuk mengetahui kebenaran. Dan
juga orang-orang yang menggunakan pendengaran untuk mendengar
petunjuk sedangkan saat itu dia dalam keadaan yang benar-benar sedang
menyaksikan, yakni hadir dengan seluruh totalitas dirinya memerhatikan
apa yang didengar atau yang dibacakan kepadanya.
Beliau juga mengutip perkataan Al-Biqa‟i yang mana didukung
pula dengan pendapat Thabathaba‟i bahwasanya kata (‫)له قلت‬/mempunyai
hati dalam arti seseorang yang memiliki potensi ilmu pengetahuan yang
sempurna dan luar biasa sehingga dia tidak membutuhkan apapun
kecuali memperhatikan atau menggunakan apa yang telah dimilikinya
dari potensi itu untuk memahami apa yang diingatkan oleh ayat-ayat
Allah yang terbaca.
Beliau juga menerangkan bahwa seseorang yang tidak memiliki
qalb/hati adalah orang yang tidak menggunakan potensi pikir dan
kalbunya, orang yang seperti ini ialah orang yang bodoh. Akan tetapi,
masih dapat tertolong jika dia mau mendengar tuntunan.10

b. Qalbuhu
Kata ini mewakili bentukan dari isim mufrad yang mana kata ini
terulang sebanyak 8 kali di dalam Al-Qur`an. Salah satu diantaranya,
yakni sebagai berikut:

9
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 3, cet. I, h. 493
10
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
50-51
53

           

           

            
Artinya: “jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS.Al-Baqarah [2] : 283)

Diterangkan didalam tafsir jalalain bahwa kata qalbuhu diartikan


dengan hatinya. Dijelaskan juga bahwa kata hati disebutkan secara
khusus di dalam ayat ini karena ia adalah tempat kesaksian itu. Dan juga
karena apabila hati berdosa pasti akan diikuti oleh bagian tubuh lainnya
kemudian akan menerima hukuman yang sama seperti hukuman yang
diterima oleh orang-orang yang berdosa.11
Adapun penyebutan kata hati disini sebagaimana yang
diterangkan Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbâh adalah untuk
mengukuhkan kalimat ini. Beliau menerangkan, apabila kita berkata,
“Saya melihatnya dengan mata kepala” maka ucapan ini lebih kuat
dibandingkan dengan perkataan, “Saya melihatnya”.
Diterangkan pula bahwa disisi lain dari penyebutan kata itu juga
mengisyaratkan bahwa dosa yang dilakukan adalah dosa yang tidak
kecil. Anggota tubuh yang lainnya bisa saja melakukan sesuatu yang
tidak sejalan dengan kebenaran, akan tetapi apa yang dilakukan oleh
tubuh tersebut belum tentu dinilai sebagai perbuatan dosa jika tidak ada
dorongan atau pembenaran dari hati atas perbuatannya. Seseorang yang
lisannya mengucapkan kalimat kufur yang mana ucapan tersebut

11
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,.... vol 1, h. 208
54

dibawah tekanan ancaman, maka hal yang demikian tidak dinilai berdosa
selama hatinya tetap tenang meyakini keesan Allah swt.
Jika hati berdosa, seluruh anggota tubuh pun berdosa. Hal ini
didukung dengan hadis yang beliau kutip; Nabi Muhammad saw.
bersaba, “Sesungguhnya di dalam diri manusia ada „segumpal‟, yang
apabila ia baik, baiklah seluruh jasad, dan bila ia buruk, maka buruklah
seluruh jasad, yaitu kalbu”. Maka kata hati disini oleh Quraish Shihab
diartikan pula sebagai kalbu.12

c. Qalbain
Kata ini mewakili bentukan dari isim mufrad yang mana kata ini
hanya terulang 1 kali di dalam Al-Qur`an, yakni sebagai berikut:

            

          

        

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua


buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-
istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar)”. (QS. Al-Ahzab [33] : 4)

Ayat ini ditafsirkan di dalam tafsir jalalain adalah sebagai


berikut; “Allah tidak pernah meletakkan dua hati di dalam diri
seseorang”. Ini adalah bantahan terhadap ucapan orang kafir yang
mengatakan bahwa dirinya mempunyai dua hati. Dan mereka juga
mengaku bahwa dapat menggunakan masing-masing dari dua hati itu
untuk berfikir dengan cara yang lebih baik dari akal Muhammad.13
Quraish Shihab menafsirkan kata “dua buah hati dalam satu
rongga”, yakni yang satu mengarah ke kanan atau ke depan dan yang

12
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 1, h. 240-241
13
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 3, h. 60
55

lainnya ke arah kiri atau ke belakang. Oleh karena itu, tidaklah benar
memepersekutukan Allah, pada satu saat menyembah-Nya dan di saat
lain menyembah berhala.
Tujuan ayat ini adalah untuk mengingatkan tentang berbagai
macam kepalsuan perbuatan kaum jahiliyah, baik yang diakui maupun
yang dipercayai oleh mereka. Sebagaimana pengakuan Jamil Ibn
Mua‟mmar al-Juhamy, dia adalah orang yang dikenal kuat hafalannya
dan sangat licik, dia mengaku memiliki 2 hati yakni akal. Dia mengaku
dapat menyajikan hal-hal yang jauh lebih baik daripada Nabi, ini serupa
juga dengan pengakuan Abdullah Ibn Khatal at-Timy.
Sebagaimana beliau mengutip ungkapan Ibn „Asyur yang
mengatakan bahwa ayat ini menegaskan atas dua hakikat, diantaranya
adalah berkaitan dengan hakikat kepercayaan, yang mana kepercayaan
tersebut untuk menegakkan suatu agama yang memiliki akidah yang
benar dan untuk membuang jauh-jauh kepercayaan yang bertolak
belakang dengan kenyataan. Oleh karena itu, ayat ini menegaskan bahwa
Allah menetapkan satu sistem yang sama buat semua orang. ”Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya.”
Quraish Shihab mengutip pendapat Sayyid Quthub, beliau
menggaris bawahi bahwa selama manusia hanya memiliki satu kalbu,
maka ia harus memiliki satu sistem yang harus dipegang teguh. Ayat ini
mengingatkan bahwa manusia tidak boleh mengambil akhlak dan sopan
santun dari satu sumber, kemudian mengambil ketetapan hukum dan
undang-undang yang dipatuhinya dari sumber yang lain, kemudian
mencampurnya dari berbagai macam sumber tersebut. Pencampuran
semacam ini tidak menghasilkan manusia yang memiliki satu kalbu.
Kata rongga disini menegaskan makna kalbu. Rongga adalah sisi
dalam tubuh manusia, disebutkan untuk lebih mempertegas makna kalbu
yang dimaksud ayat ini dan juga untuk lebih memperjelas bantahan
kepada yang mengaku atau percaya bahwa ada manusia yang memiliki
dua jantung hati.14
d. Qulûb
Kata ini mewakili bentukan dari isim jamak dan terulang di dalam
Al-Qur`an sebanyak 21 kali. Dan penulis mengambil contoh dalam surah
Yunus ayat 74. Alasan penulis mengambil ayat di bawah ini, dikarenakan

14
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
410-412
56

konten maknanya yang lebih komprehensif dan lebih lengkap di


bandingkan dengan 20 ayat lainnya.

          

            
Artinya: “Kemudian sesudah Nuh, Kami utus beberapa Rasul
kepada kaum mereka (masing-masing), Maka Rasul-rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan
yang nyata, tetapi mereka tidak hendak beriman karena mereka
dahulu telah (biasa) mendustakannya[700]. Demikianlah Kami
mengunci mati hati orang-orang yang melampaui batas.” (QS.
Yunus [10] : 74)

Penjelasan dalam tafsir jalalain mengenai kata „ala qulûbil


mu‟tadîn/hati orang-orang yang melampaui batas adalah, dikatakan
melampaui batas karena hati mereka tidak mau menerima iman, seperti
Kami mengunci mati hati mereka yang melampaui batas.15
Penafsiran Quraish Shihab pada ayat ini adalah, bahwasanya
keadaan mereka pada saat itu yang enggan menerima tuntunan Allah dan
mereka menutup mata hati dan telinga mereka. Seperti itu pula ketetapan
Allah yang berlaku bagi mereka semua yang mendustakan rasul, yakni
Allah mengunci mata hati orang-orang yang melampaui batas kapan dan
dimana pun sesuai dengan keinginan mereka sendiri.
Mengunci mata hati disini dikaitkan dengan keimanan, karena
mata hati mereka dikunci sehingga tuntunan atau hidayah dari Allah
tidak masuk ke dalam hati mereka. Sehingga sikap yang timbul dalam
diri mereka adalah berupa sikap ingkar dan durhaka terhadap apa-apa
yang telah Allah turunkan kepada mereka.16
e. Qulûbikum
Kata ini mewakili bentukan dari isim jamak dan di dalam Al-
Qur`an terulang sebanyak 15 kali. Adapun salah satu ayat yang di ambil
oleh penulis adalah sebagai berikut:

15
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain Asbabun Nuzul Jilid 1, terj. Bahrun Abubakar,... vol. 1, cet VII, h.828
16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
48-49
57

            

            

     


Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah
beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah
'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia
tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat [49] : 14)

Kata yadkhuli al-îmânu fî qulûbikum pada ayat ini diartikan


dalam tafsir jalalain, “masuk iman itu ke dalam hatimu”. Hati disini
dikaitkan dengan keimanan, yakni dimana tempatnya iman
bersemayam.17
Adapun penafsiran Quraish Shihab bahwasanya ayat ini dijadikan
dasar oleh beberapa ulama untuk menunjukkan perbedaan antara islam
dan iman. Islam adalah sesuaatu yang bersemai di dalam hati
menyangkut apa yang disampaikan nabi. Sedangkan iman merupakan
sesuatu yang tampak pada ucapan dan perbuatan. Islam adalah
pengakuan lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat dan
ditunjukkan dengan ketundukan anggota tubuh, yakni dengan
mengamalkan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Disini kata
hati dikaitkan dengan keimanan seseorang.18
f. Qulûbana
Kata ini mewakili bentukan dari isim jamak dan terulang dalam
Al-Qur`an sebanyak 6 kali. Adapun salah satu ayat yang di ambil oleh
penulis adalah sebagai berikut:

17
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 3, cet. I, h. 478
18
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
624
58

              

 
Artinya: (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau
beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami
rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah
Maha pemberi (karunia)". (QS. Ali Imran [3] : 8)

Kata ‫( زثٌب ال تصغ قلىثٌب‬Ya tuhan kami, janganlah Engkau


condongkan hati kami kepada kesesatan). Dalam tafsir jalalain
diterangkan bahwa maksudnya adalah janganlah Engkau buat hati kami
cenderung menjauhi kebenaran dengan mencari takwilnya yang tidak
selayaknya bagi kami sebagaimana Engkau telah mencondongkan hati
mereka kepada kesesatan.19
Sedangkan penafsiran Quraish Shihab pada kata ”janganlah
Engkau jadikan hati kami berpaling” yakni, bahwasanya mereka
memohon kepada Allah janganlah menjadikan kebenaran kepada
kesesatan. Yang dimaksudkan dari kebenaran kepada kesesatan disini
adalah mereka yang mencari-cari takwil dari ayat mutasyabih.
Ayat ini adalah doa, menggambarkan bahwa sangat besar
ketakwaan mereka kepada Allah dan seberapa besar kekhawatiran
mereka terhadap godaan yang mungkin saja dapat mempengaruhi hati
mereka. Dan permohonan agar dianugerahi rahmat kepada mereka, yang
mana rahmat tersebut mencakup segala jenis dan macamnya, antara lain
berupa kemantapan iman, ketenangan batin, kemudahan dalam
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Maka kata
hati disini dikaitkan dengan keimanan.20
g. Qulûbihim
Kata ini mewakili bentukan dari isim jamak dan terulang di dalam
Al-Qur`an sebanyak 68 kali. Dan penulis mengambil 6 contoh ayat
dalam surah Al-Baqarah ayat 7, Al-A‟raf ayat 100, Al-Anfal ayat 49,
Muhammad ayat 16, Ali Imran ayat 7, dan Ash-Shaf ayat 5. Alasan
penulis mengambil ayat-ayat tersebut dikarenakan konten maknanya

19
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol 1, h. 216
20
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
24
59

yang lebih komprehensif dan lebih lengkap di bandingkan dengan 62


ayat lainnya.

           

  


Artinya: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang Amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 7)

Kata ‫( ختن اهلل على قلىثهن‬Allah menutup hati mereka) dijelaskan


dalam tafsir jalalain bahwa maksud dari menutup hati adalah Allah telah
menyegel dan mengunci mata hati mereka sehingga tidak bisa dimasuki
oleh kebaikan sedikitpun.21
Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini membahas tentang
keadaan orang-orang kafir. Penafsiran Quraish shihab mengenai ayat ini
adalah, bahwa sesungguhnya kekufuran orang-orang itu ialah berasal
dari keengganan dari dalam diri mereka sendiri dalam menerima iman.
Sehingga Allah mengunci mati hati mereka dan pendengaran mereka.
Mengunci mati hati mereka disini ialah, bahwa Allah membiarkan
mereka larut dalam kesesatan sesuai denan keinginan hati mereka sediri
sehingga akhirnya hati mereka terkunci mati dan telinga mereka tidak
dapat mendengar tuntunan dan bimbingan. Maka pada ayat ini pun, kata
hati dikaitkan dengan wadah suatu iman itu bersemayam.22

h. Qulûbihim

           

        


Artinya: “dan Apakah belum jelas bagi orang-orang yang
mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa
kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-
dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka
tidak dapat mendengar (pelajaran lagi).” (QS. Al-A‟raf [7] :
100)

21
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol 1, h. 33
22
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
116
60

Kata ‫( ًطجع على قلىثهن فهن ال يسوعىى‬Kami akan mengunci mati hati
mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar) diterangkan dalam
tafsir jalalain bahwa kata mengunci mati hati disini ialah menyegel hati
mereka, sehingga mereka tidak dapat mendengar pelajaran dengan
pendengaran yang disertai dengan perenungan. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa hati adalah tempatnya perenungan.23
Quraish Shihab menafsirkan “Kami kunci mati hati mereka” pada
ayat ini yakni, Allah akan mengunci hati mereka sehingga mereka
menjadi seperti binatang dan mereka tidak dapat mendengar pelajaran
dan juga tidak dapat menerima pengajaran.
Beliau juga menjelaskan bahwa ayat ini menuntut agar manusia
tidak lengah dan dapat berpandai-pandai dalam mengambil pelajaran dari
pengalaman generasi di masa lalu, serta tidak angkuh, tidak durhaka, dan
tidak tenggelam dalam kehidupan materi dengan melupakan kehidupan
spiritual. Karena apabila manusia tidak melakukan hal demikian, maka
jika Allah menghendaki, bisa saja mereka di binasakan dan di biarkan
hidup dengan keadaan mata hati yang tertutup sebagaimana yang telah
terjadi pada generasi yang lalu, yang mana hal ini akan menjadikan
mereka terus menerus bergelimang di dalam dosa. Maka kata “hati”
disini dikaitkan dengan keimanan.24
i. Qulûbihim

           

       


Artinya: “(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-
orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu
(orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya". (Allah
berfirman): "Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"”. (QS.
Al-Anfal [8] : 49)

Kata ‫( إذ يقىل الوٌبفقىى والريي فى قلىثهن هسض‬Ingatlah ketika orang-


orang munafik dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit itu

23
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol 1, h. 632
24
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
223
61

berkata “mereka itu telah terpedaya oleh agama mereka”) pada ayat ini
dijelaskan dalam tafsir jalalain bahwa orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit adalah orang-orang yang lemah aqidahnya. Kata
hati disini oleh penafsir dikaitkan dengan keimanan.25
Sedangkan menurut Quraish Shihab pada ayat ini kalimat “orang-
orang yang ada penyakit di dalam hati mereka” ialah orang-orang belum
mantap keimanannya dan enggan untuk ikut berhijrah bersama Nabi.
Beliau juga menjelaskan bahwa ayat ini membedakan antara orang
munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya. Orang
munafik adalah orang-orang yang memperlihatkan keislamaannya akan
tetapi hatinya menolak nilai-nilai islam, mereka mengucapkan kalimat
syahadat akan tetapi sikap dan perbuatan mereka menunjukkan kepada
kekufuran. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang ada penyakit di
dalam hatinya, mereka itu adalah orang-orang yang masih ragu dan
belum dapat mengambil sikap tegas sehingga mudah sekali goyah.
Beliau juga mengutip penjelasan Sya‟rawi yang menerangkan
bahwa mereka orang-orang yang ada penyakit dalam jiwanya bukanlah
orang-orang munafik, tetapi mereka adalah orang-orang yang lemah
imannya. Hal ini sejalan dengan penafsiran Quraish Shihab yang mana
telah penulis paparkan di atas, kata hati disini dikaitkan dengan
keimanan.26
j. Qulûbihim

           

           

 
Artinya: “dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-
orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan
(sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?"
mereka Itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh
Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS. Muhammad
[47] : 16)
25
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol 1, h. 705
26
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
562
62

Kata ‫( أولئك الريي طجع اهلل على قلىثهن‬mereka itulah orang-orang yang
dikunci mati hati mereka oleh Allah) pada ayat ini diterangkan dalam
tafsir jalalain bahwa Allah mengunci mati hati mereka maksudnya
adalah hati mereka dikunci mati dengan kekufuran. Kata hati disini oleh
penafsir dikaitkan dengan keimanan.27
Sedangkan kalimat “dikunci mati hati mereka” disini oleh
Quraish Shihab dijelaskan, ialah orang-orang yang tidak dapat mengerti
dan memanfaatkan petunjuk yang telah di berikan oleh Allah, mereka
ialah orang yang benar-benar mengikuti hawa nafsu mereka sendiri.
Beliau juga menerangkan, bahwa orang yang dikunci mati hati
mereka maka hidayah Allah tidak akan masuk dan dengan demikian
maka pengamalan kebenaran pun tidak akan terlaksana. Hal ini
berbanding terbalik dengan orang-orang yang telah menerima petunjuk
dari Allah, hati mereka terbuka lebar sehingga hidayah Allah semakin
banyak yang dapat mereka tampung. Dengan banyaknya hidayah yang
mereka tampung maka mereka akan semakin terdorong untuk
mengerjakan amal kebajikan. Maka dapat dikatakan juga bahwa
penambahan hidayah adalah penambahan ilmu dan penambahan takwa,
dan ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas amal.28
k. Qulûbihim

           

           

            

             
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada
kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian

27
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 3, h. 442
28
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
466-467
63

ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan


fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan
tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3] : 7)

Kata ‫( فأهب الريي فى قلىثهن شيػ‬Adapun orang-orang yang di dalam


hatinya terdapat kecenderungan kearah kesesatan) pada ayat ini di
dalam tafsir jalalain diterangkan bahwa hati mereka memiliki
kecenderungan untuk menyimpang dari kebenaran.29
Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat ini membahas
mengenai ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Adapun pengertian
ayat-ayat muhkamat ialah ayat yang kandungannya sangat jelas sehingga
hampir tidak dibutuhkannya sebuah penjelas tambahan atau yang tidak
mengandung makna lain selain yang terlintas pertama kali di dalam
benak. Sedangkan pengertan dari ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-
ayat yang harus diimani, yang mana ayat-ayat tersebut mempunyai
makna kandungan yang samar.
Adapun kalimat “orang-orang yang dalam hatinya terdapat
kecenderungan kepada kesesatan” ini dikaitkan dengan pembahasan
yang telah dipaparkan oleh penulis sebelumnya, yakni mengenai ayat-
ayat muhkamat dan mutasyabihat. Dan kalimat ini menurut Quraish
Shihab, ialah orang-orang yang berpegang teguh kepada ayat-ayat
mutasyabih saja dan tidak menjadikan ayat-ayat muhkam sebagai
rujukan dalam memahami atau menetapkan arti. Hal ini sebagaimana
yang telah di terangkan oleh Al-Biqa‟i yang dikutip oleh Quraish Shihab,
bahwasanya ayat-ayat muhkam ialah ayat yang sudah jelas maknanya
sehingga sangatlah mudah untuk memahami arti satu ayat dengan ayat
yang lainnya. Maka ayat-ayat muhkam yang sekian banyak jumlahnya itu
diperlakukan sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, ayat-ayat
mutasyabih pun dapat dengan mudah dirujuk maknanya kepada ayat-ayat
muhkam tersebut.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata fi qulûbihim/dalam
hatinya ini menunjukkan bahwa sangatlah tidak mudah untuk
menghilangkan kecenderungan tersebut. Menurut beliau hal ini karena

29
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 1, h. 216
64

mengubah sesuatu yang terdapat dalam hati jauh lebih susah


dibandingkan mengubah sesuatu yang terdapat dalam pikiran.
Beliau juga menerangkan bahwasanya agama itu bersumber pada
kalbu seseorang. Kalbu bisa menuntut isi nalar untuk membenarkan isi
hati, dan ketika itu nalar berusaha mengikutinya. Sedangkan pikiran itu
sulit memerintahkan kalbu untuk mengiyakan bisikannya.30

l. Qulûbihim

          

             


Artinya: “dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya:
"Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu
mengetahui bahwa Sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu?" Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran),
Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaff [61] : 5)

Kata ‫( أشاغ اهلل قلىثهن‬Allah memalingkan hati mereka) pada ayat ini
seperti yang telah diterangkan di dalam tafsir jalalain maksudnya adalah
memalingkannya dari hidayah sesuai yang sudah ditakdirkan Allah sejak
zaman azali (semula).31
Kata “memalingkan hati” disini menurut Quraish Shihab ialah
Allah meniadakan petunjuk untuk mereka, hal ini pun dikarenakan
mereka yang memang tidak bersedia untuk menerimanya, bukan karena
Allah yang memilihkan buat mereka kesesatan, tetapi bermula dari diri
mereka sendiri yang enggan menerima petunjuk. Beliau juga
menerangkan bahwa karena sikap mereka inilah maka Allah
memalingkan hati mereka sehingga petunjuk dari Allah tidak dapat

30
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
17-21
31
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 3, h. 660
65

mereka terima.32Kata “hati” disini dikaitkan dengan wadah tempat


menampung petunjuk dari Allah.
m. Qulûbihinna
Kata ini mewakili bentukan dari isim jamak yang mana kata ini
hanya terulang 1 kali di dalam Al-Qur`an, yakni sebagai berikut:

           

          

           

           

           

            

   


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan
bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu
akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk
menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan)
yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada
mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir.
cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak
(pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia
wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya)
di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab [33] : 53)

32
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
16
66

Kata ّ‫( ذلكن أطهس لقلىثكن وقلىثهي‬Hal itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka) pada ayat ini seperti yang telah diterangkan di dalam tafsir
jalalain maksudnya adalah dari pikiran-pikiran yang mencurigakan. Kata
hati disini diartikan sebagai pikiran.33
Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat ini mengandung dua
tuntunan pokok. Yang pertama ialah, menyangkut etika ketika
mengunjungi rumah nabi. Dan yang kedua menyangkut hijab. Beliau
menafsirkan sepenggal ayat ini, bahwa apabila seseorang diantara
sahabat hendak meminta sesuatu kepada isteri-isteri nabi, maka
hendaklah memintanya di balik tabir yang menutupi antara keduanya.
Yang demikianlah yang lebih suci bagi hati para sahabat dan hati para
isteri nabi. Kata “hati” disini di artikan sebagai tempat dimana setan suka
mengganggu.34

4. Analisis Tafsir Kata Qalb


Dalam menafsirkan kata diatas Jalalain secara keseluruhan
mengatakan bahwa qalb ialah tempat dimana iman bersemayam, tempat
masuknya hidayah, dan juga dia dapat dikunci serta dibuka kapan saja
sesuai kehendak Allah. Akan tetapi pada kata qalb, qalbain, dan
qulûbihinna beliau menafsirkan berbeda, pada tiga kata ini beliau
mengatakan bahwa qalb adalah akal tempat berpikir.
Adapun penafsiran Quraish Shihab pada kata-kata diatas, secara
keseluruhan beliau mengatakan bahwa qalb adalah tempatnya iman
bersemayam, tempat masuknya hidayah, dan juga dia dapat dikunci serta
dibuka sesuai kehendak Allah. Akan tetapi pada kata qalb, qalbuhu,
qalbain, qulûbihim (QS. Ali „Imran [3] : 7), dan qulûbihinna beliau
menafsirkan berbeda. Kata qalb ditafsikan sebagai tempat potensi berpikir,
qalbuhu ditafsirkan bahwa hati adalah tempat pembenar atas perbuatan
yang telah diperbuat oleh anggota tubuh lainnya, qalbain ditafsirkan
sebagai jantung hati, qulûbihim ditafsirkan bahwa mengubah apa-apa
yang ada di dalam hati jauh lebih susah dibandingkan mengubah apa yang
ada pada pikiran, dan yang terakhir adalah qulûbihinna,kata ini ditafsirkan
oleh Quraish Shihab bahwa qalb adalah tempat dimana setan
mengganggu.
Dari pemaparan kedua mufasir diatas, maka penulis mengambil
kesimpulan dan mengelompokkannya berdasarkan fungsinya. Adapun

33
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 3, h. 85
34
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
521
67

fungsi-fungsinya ialah; Pertama, hati merupakan tempat keluar masuknya


iman. Makna ini sebagaimana yang terkandung pada kata qulûb (QS.
Yunus [10] : 74), kata qulûbikum (QS. Al-Hujurat [49] : 14), dan kata
qulûbihim (QS. Al-Anfal [8] : 49). Kedua, hati sebagai tempat
pembenaran, sebagaimana yang terkandung pada kata qalbuhu (QS. Al-
Baqarah [2] : 283). Ketiga, hati memiliki korelasi penting dengan akal dan
ilmu pengetahuan. Ini terkandung pada kata qalb (QS. Al-Hasyr [50] : 37)
dan qulûbihinna (QS. Al-Ahzab [33] : 53). Keempat, hati merupakan
celah bagi setan untuk mengganggu. Terkandung pada kata qulûbihinna
(QS. Al-Ahzab [33] : 53). Kelima, hati merupakan sesuatu yang dapat
condong pada kesesatan. Makna ini sebagaimana yang terkandung pada
kata qulûbana (QS. Ali-Imran [3] : 8) dan kata qulûbihim (QS. Ali Imran
[3] : 7). Dan yang keenam, hati ialah sesuatu yang dapat dikunci dan di
buka, serta sesuatu yang dapat dipalingkan sesuai dengan kehendak Allah.
Makna ini terkandung pada kata qulûbihim (QS. Al-Baqarah [2] : 7),
qulûbihim (QS. Al-A‟raf [7] : 100), qulûbihim (QS. Muhammad [47] : 16),
dan qulûbihim (QS. Ash-Shaff [6] : 5). Adapun kelima ayat ini sebagian
besar berbicara mengenai orang-orang kafir.
Jalalain dan Quraish Shihab dalam menafsirkan kata ini masing-
masing berbeda sesuai dengan konteks. Dan secara garis besar, kedua
tafsir ini menafsirkan dengan paham yang sama meskipun redaksinya
berbeda. Kendatipun pada kata Qulûbihinna (QS. Al-Ahzab [33] : 53),
jalalain menafsirkan kata ini sebagai pikiran sedangkan Quraish Shihab
menafsirkannya sebagai sesuatu dimana setan dapat mengganggu.
Menurut penulis pada makna ini tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan, karena pikiran manusia dapat dipengaruhi oleh bisikan setan.
Oleh karena itu, walaupun redaksinya berbeda akan tetapi maksudnya
sama.
Maka penulis simpulkan bahwa terdapat sedikit perbedaan dalam
menafsirkan kata qalb disini, sesuai dengan konteks pembicaraan dan
asbabun nuzul-nya. Tidak ada perbedaan yang signifikan baik jalalain
maupun Quraish Shihab, dan itu terlihat pada seluruh ayat. Meskipun
redaksinya berbeda akan tetapi maksudnya sama, secara garis besar kata
qalb dikaitkan dengan keimanan, akhlak, dan aqidah.

5. Penafsiran Kata Fu`âd


Kata-kata yang diambil oleh penulis yakni kata al-Fu`âd dan
Fu`âdaka. Yang mana masing-masing kata tersebut mewakili dari
bentukan-bentukan kata Fu`âd dalam Al-Qur`an.

a. Al-Fu`âd
68

Kata ini mewakili bentukan dari mufrad yang mana kata ini
terulang sebanyak 2 kali di dalam Al-Qur`an. Adapun salah satu ayat
yang di ambil oleh penulis adalah sebagai berikut:

             

   


Artinya: “dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra‟ [17] : 36)

Penafsiran dalam kitab tafsir jalalain terhadap ayat ini yakni,


“janganlah kamu menuruti apa yang tidak mempunyai pengetahuan
tentangnnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya”. Tafsiran kata al-
Fu`âd/hati dalam ayat diatas dalam tafsir jalalalin ditafsirkan sebagai
kalbu.35
Quraish Shihab menafsirkan ayat inna as-sam‟a wa al-bashara
wa al-Fu`âda kullu ulâ`ika kâna „anhu mas‟ûlan dengan tafsiran,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, yang merupakan alat-
alat pengetahuan, masing-masing tentangnya akan ditanya tentang
bagaimana pemiliknya menggunakannya atau pemiliknya akan dituntut
untuk mempertanggung jawabkan bagaimana dia menggunakannya.
Sebagaimana Quraish Shihab mengutip perkataan Sayyid
Quthub, bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang singkat telah
menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal, mencakup
metode ilmiah yang baru saja dikenal oleh umat manusia, bahkan ayat ini
menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia.
Quraish Shihab-pun menerangkan bahwa ayat ini menegaskan
bahwa manusia akan dituntut pertanggung jawabannya perihal kerja al-
Fu`âd/hatinya. Beliau juga menjelaskan bahwasanya para ulama
menggaris bawahi bahwa apa-apa yang tersirat di dalam hati itu
bermacam-macam atau bertingkat-tingkat. Di antaranya, ada yang
disebut dengan ‫( هبجس‬sesuatu yang terlintas dalam pikiran secara spontan
dan berakhir seketika), ‫( خبطس‬sesuatu yang terlintas sejenak kemudian
terhenti), selanjutnya adalah ‫( حديث ًفس‬bisikan-bisikan hati yang dari

35
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain Asbabun Nuzul Jilid 1, terj. Bahrun Abubakar,... cet VII, h. 1072
69

waktu-waktu muncul dan bergejolak), kemudian tingkatan yang lebih


tinggi adalah ّ‫( هن‬kehendak melakukan sesuatu diiringi dengan
memikirkan bagaimana cara pencapaiannya, dan yang terakhir sebelum
melangkah mewujudkan kegiatan adalah ‫( عصم‬kebulatan tekad setelah
selesai seluruh proses ّ‫ هن‬dan dimulainya langkah awal bagi pelaksanaan).
Di akhir beliau menegaskan bahwa yang dituntut kelak adalah
‫عصم‬, sedang semua yang ada dalam hati dan belum mencapai tingkat ‫عصم‬
ditoleransi oleh Allah swt.36
b. Fu`âdaka
Kata ini mewakili bentukan dari mufrad yang mana kata ini
terulang sebanyak 2 kali di dalam Al-Qur`an. Adapun salah satu ayat
yang di ambil oleh penulis adalah sebagai berikut:

             

    


Artinya: “dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran
serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang
beriman.” (QS. Hud [11] : 120)

Dalam kitab tafsir jalalain ayat ini diartikan sebagai berikut;


setiap cerita yang kami kisahkan kepadamu, yaitu kisah-kisah para rasul
yang dengannya Kami teguhkan hatimu serta pengajaran dan peringatan
bagi orang-orang yang beriman. Kata Fu`âdaka/hati dalam ayat diatas
dalam kitab tafsir jalalain ditafsirkan dengan kalbu.37
Quraish Shihab menafsirkan ayat ma nutsabbitu bihî Fu`âdaka
dengan tafsiran, kami teguhkan hatimu guna menghadapi tugas-tugas
berat yang dibebankan kepadamu. Beliau menerangkan bahwa kata
Fu`âd biasa dipersamakan dengan qalb/hati. Akan tetapi, kata tersebut
lebih banyak digunakan untuk menunjuk pada wadah pengetahuan dan
kesadaran yang sangat mantap. Beliau juga mengutip perkataan
Sya‟rawi, bahwasanya Fu`âd adalah wadah keyakinan. Sya‟rawi
36
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 7, h. 86-88

37
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 1, cet. I, h. 885
70

melukiskan bahwa akal menerima berbagai macam informasi melalui


panca indera yang dirangkai sebagai satu masalah aqliyah. Akal akan
mengolahnya apabila informasi tersebut telah mantap dan tidak
terbantahkan lagi. Akal memasukkannya ke dalam Fu`âd/hati dan
kemudian jadilah „aqidah, yakni sesuatu yang terikat, tidak goyah, dan
tidak pula muncul lagi di permukaan untuk dibahas oleh akal. Oleh
karena itu ia dinamai „aqidah yang terambil dari kata „uqdah yakni
sesuatu yang terikat. Jika demikia, Fu`âd adalah sesuatu dalam diri
manusia yang menampung persoalan-persoalan yang tidak didiskusikan
lagi karena akal sebelum memasukkannya ke dalam wadah itu telah
selesai memikirkannya dan telah membolak-balik segala segi sehingga
mencapai keputusan yang mantap dan tidak dapat diubah.38
6. Analisis Tafsir Kata Fu`âd
Dalam menafsirkan kedua kata diatas Jalalain menerangkannya
secara to the poin. Beliau menafsirkan kata al-fuad dan Fu`âdaka
sebagai hati/kalbu, tidak ada perbedaan penafsiran diantara kedua kata
tersebut.
Berbeda dengan Quraish Shihab, beliau menafsirkan lebih
mendalam mengenai apa itu Fu`âd sendiri. Pada kalimat fuadaka,
Quraish Shihab menjelaskan bahwa Fu`âd itu memiliki fungsi untuk
menjalankan tugas-tugas yang berat dan memiliki peran yang penting
dalam keimanan seseorang. Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan
bagaimana proses keimanan itu muncul melalui datangnya informasi
melalui panca indera, kemudian akal mengolahnya sedemikian rupa
hingga meyakinkan dan tak terbantahkan lagi, setelah itu akal
memasukkannya ke dalam Fu`âd/hati. Dan dari sinilah keimanan itu
akhirnya tercipta.
Dalam menafsirkan kata Fu`âd ini, Quraish Shihab memiliki
perbedaan antara al-Fu`âd dan Fu`âdaka, karena pada Fu`âdaka beliau
menitik beratkan pada keimanan atau akidah. Beliau juga menjelaskan
bahwa ayat ini turun disebabkan mereka yang tidak percaya akan kisah-
kisah serta tuntunan-tuntunan Ilahi yang disampaikan melalui Nabi.
Sedangkan beliau menjelaskan dalam al-Fu`âd, bahwa Fu`âd
disini adalah sesuatu yang akan dituntut di akhirat. Dan sesuatu yang
tersirat pada Fu`âd itu beliau menjelaskan secara mendetail. Beliau
mengklasifikasikannya menjadi lima, yakni; pertama ialah hajis, yaitu
sesuatu yang terlintas dalam pikiran secara spontan dan berkahir
seketika. Kedua ialah khaathir, yakni yang terlintas sejenak kemudian

38
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 5, h. 790-792
71

terhenti. Ketiga adalah hadiits nafs, yakni bisikan-bisikan hati yang dari
saat ke saat muncul dan bergejolak. Keempat adalah hamm, yaitu
kehendak melakukan sesuatu sambil memikirkan cara-cara
pencapaiannya. Dan yang kelima adalah „azm, yakni kebulatan tekad
setelah rampungnya seluruh proses hamm dan dimulainya langkah awal
bagi pelaksanaan. Quraish Shihab menerangkan lebih lanjut bahwa yang
dimintai pertanggung jawaban disini adalah „azm.
Ada perbedaan secara signifikan antara keduanya (Fu`âd dan
Fu`âdaka), yakni al-Fu`âd itu ialah sesuatu yang dimintai pertanggung
jawaban, sementara Fu`âdaka itu mengenai keimanan. Akan tetapi
penulis menemukan titik temu di antara keduanya, bahwa keimanan
seseorang adalah sesuatu yang paling mendasar, dan seseorang itu
dibedakan atas keimanannya, maka keimanan yang berada dalam diri
seseorang itulah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya di
akhirat. Dan yang di maksud Fu`âd disini adalah sesuatu yang berkaitan
langsung dengan kesadaran atau sistem sempurna akal dan hati.
Maka secara garis besar penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
kedua mufasir diatas sangatlah jauh berbeda dalam menafsirkan kata
Fu`âd. Hal ini dipengaruhi oleh metode penafsiran yang digunakan
diantara keduanya. Quraish Shihab memaparkannya disertai dengan
penjabaran dari segi kebahasaan, asbabun nuzul, dan didukung dengan
kutipan pendapat para ulama lain, sedangkan Jalalain menafsirkannya
dengan sangat ringkas.

7. Penafsiran Kata Lubb


Di dalam Al-Qur`an kata lubb tidak pernah disebutkan dalam
bentuk tunggal, akan tetapi disebutkan dalam bentuk jamak, yakni Al-
Albâb. Maka dari 16 kali pengulannya di dalam Al-Qur`an, penulis
mengambil dua surah yakni sebagai berikut:
a. Al-Albâb

        


Artinya: “dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 179)

Tafsiran kata ‫“ يب أولي األلجبة‬hai orang-orang yang berakal” pada


ayat ini dalam kitab tafsir jalalain ditafsirkan dengan orang-orang yang
memiliki akal. Karena apabila orang yang mempunyai niatan untuk
membunuh mengetahui bahwa ia akan dibunuh, pasti ia akan menahan
72

dirinya, sehingga ia menjaga kelangsungan hidupnya dan kelangsungan


hidup orang yang hendak ia bunuh. Karena itulah kisah ini disyari‟atkan,
‫“ لعلكن تتقىى‬supaya kamu bertakwa” dalam arti menghindari pembunuhan
karena takut akan hukuman mati.39
Terjemahan kata ulul albab dalam tafsir Al-Misbâh adalah
orang-orang yang berakal. Sebagaimana yang telah di tafsirkan oleh
Quraish Shihab, bahwa kata Al-Albâb adalah bentuk jamak dari kata
lubb, yang mana artinya adalah saripati sesuatu. Contohnya adalah
kacang, kacang memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang itulah
yang dinamai dengan lubb. Ulul Al-Albâb adalah orang-orang yang
memiliki akal yang murni yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni
kabut ide yang dapat menjadikan keracunan dalam berpikir. Yang
merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakannya diharapkan dapat
terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini maka pasti ada
keracunan dalam cara berpikirnya.40
b. Al-Albâb

           

           

            

             
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada
kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian
ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan

39
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 1, cet. I, h. 130
40
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
475
73

tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan


orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3] : 7)

Tafsiran kata ‫“ إالّ أولى األلجبة‬selain orang-orang yang berakal”


pada ayat diatas dalam tafsir jalalain ditafsirkan dengan orang-orang
yang memiliki akal sehat.41
Quraish Shihab dalam menafsirkan kata ulul albâb dalam ayat
ini sama halnya dalam penafsiran beliau mengenai ulul albâb yang
terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 179.42 Jika seseorang lebih condong
kepada akalnya, apalagi akal yang dipenuhi oleh kabut-kabut ide, maka
tidak salah apabila ia tergelincir.43
8. Analisis Tafsir Kata Lubb
Pada kata Al-Albâb (QS. Al-Baqarah [2] : 179) Jalalain
mengartikannya sebagai orang-orang yang memiliki akal. Sedangkan
pada kata Al-Albâb (QS. Ali „Imran [3] : 7) ada sedikit perbedaan beliau
dalam menafsirkan. Pada ayat ini beliau menafsirkannya dengan orang-
orang yang memiliki akal sehat.
Sedangkan Quraish Shihab secara garis besar mengatakan bahwa
Al-Albâb adalah bentuk jamak dari kata lubb, yang mana artinya adalah
saripati sesuatu. Dan beliau mengartikan ulu Al-Albâb adalah orang-
orang yang memiliki akal yang murni yang tidak terselubungi oleh
“kulit”, yakni kabut ide yang dapat menjadikan keracunan dalam
berpikir. Yang merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakannya serta
berharap dapat terhindar dari siksa, sedang yang menolak ketetapan ini
maka pasti ada keracunan dalam cara berpikirnya. Dan beliau juga
menerangkan bahwa apabila akal di penuhi oleh kabut ide sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas, maka hal inilah yang menyebabkan
seseorang tergelincir.
Adapun penafsiran kedua ulama ini secara garis besar memiliki
perbedaan, akan tetapi perbedaan tersebut tidak signifikan. Dalam tafsir
jalalain dijelaskan bahwa akal disini ialah akal yang sehat. 44 Sementara

41
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... jilid 1, cet. I, h.216
42
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, ... h.
475
43
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 2, h. 23
44
Akal sehat adalah terjemahan kontekstual dari common sense. Harfiahnya
menunjuk menunjuk pada arti pemahaman biasa yang dibuat oleh akal sehat orang
kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau berenung-renung sulit.
Selengkapnya lihat
74

Quraish Shihab menerangkan makna kata lubb sendiri dengan penjelasan


yang lebih dalam. Beliau menjelaskan bahwa Al-Albâb ialah bentuk
jamak dari lubb, yang artinya saripati sesuatu. Orang-orang yang
memiliki akal disini ialah orang-orang yang memiliki akal yang murni,
yaitu akal yang tidak tertutup oleh kabut ide, serta orang yang dapat
merenungkan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintahnya.
Quraish Shihab menerangkan lebih lanjut bahwa apabila akal dipenuhi
oleh kabut ide, inilah penyebab dari orang-orang yang tergelincir.
Perbedaan diatas dipengaruhi oleh metode yang mereka gunakan,
Quraish Shihab memaparkannya disertai dengan penjelasan dari segi
kebahasaan, berbeda dengan Jalalain yang menjelaskan secara ringkas.

B. Analisis Secara Komprehensif Menurut Tafsir Jalalain dan Tafsir


Al-Misbâh
Dalam memaknai empat kata ini, kedua mufassir memiliki
perbedaan dalam menafsirkan, akan tetapi perbedaan tersebut tidak
signifikan. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki perbedaan dalam
teknik penafsiran. Jalalain menafsirkan secara ijmali, sedangkan Quraish
Shihab menafsirkan secara tahlili.
Pada kata shadr keduanya sepakat mengartikannya sebagai hati.
Namun, lebih lanjut kata shadr disini dimaknai sebagai tempatnya hawa
nafsu, iri, dengki, benci, dan marah. Adapun perbedaan diantara
keduanya ialah pada kata shadran dan Ash-Shudûr. Pada kata shadran
Quraish Shihab mengartikan shadr disini sebagai “wadah hati”45,
sedangkan pada kata Ash-Shudûr Jalalain mengartikannya sebagai “isi
hati”.
Pada kata qalb keduanya mengartikannya sebagai hati. Hati disini
diartikan sebagai tempat keluar masuknya iman, celah bagi setan untuk
mengganggu, sesuatu yang dapat dikunci, dibuka, dan dialihkan sesuai
dengan kehendak Allah, serta mudah untuk dibolak-balik. Perbedaan
penafsiran antara keduanya terlihat pada penafsiran kata qulûbihinna.
Kata tersebut oleh Jalalain diartikan sebagai pikiran46, sedangkan
Quraish Shihab menafsirkannya sebagai tempat dimana setan suka
mengganggu.

https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/861955/18/salah-kaprah-
mengusik-akal-sehat-kita-1399618419 diakses tanggal 6 Agustus 2017 pukul 12.22 wib
45
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol. 6, cet V, h. 742
46
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Al-Jalalain, terj. Najib
Junaidi,... vol. 3, h. 85
75

Yang ketiga ialah Fu`âd, pada kata ini keduanya sependapat


bahwa Fu`âd ialah kalbu/hati. Bedanya ialah, Jalalain menjelaskan
secara to the point. Yakni hanya menafsirkannya secara singkat, tidak
menjelaskannya secara spesifik. Sedangkan Quraish Shihab
menjelaskannya lebih mendalam dan komprehensif. Beliau menafsirkan
dengan didukung oleh pendapat para ulama klasik, serta
mengklasifikasikannya menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan pertama
yakni hajis yaitu sesuatu yang terlintas dalam pikiran secara spontan dan
berakhir seketika. Kedua khathir, dia adalah sesuatu yang terlintas
sejenak kemudian terhenti. Ketiga hadits nafs, yakni bisikan-bisikan hati
yang dari waktu ke waktu muncul dan bergejolak. Keempat hamm,ia
adalah kehendak melakukan sesuatu diiringi dengan memikirkan
bagaimana cara pencapaiannya. Dan yang terakhir adalah „azm, ia adalah
kebulatan tekad setelah selesah seluruh hamm dan dimulainya langkah
awal bagi pelaksanaan.
Dan yang terakhir ialah lubb, pada kata ini keduanya memiliki
sedikit perbedaan dalam penafsiran. Mereka mengartikan kata lubb yang
biasa disebutkan di dalam Al-Qur`an dengan Al-Albâb sebagai orang-
orang yang memiliki akal. Perbedaannya ialah, Jalalain menafsirkannya
dengan orang-orang yang memiliki akal yang sehat47 sedangkan Quraish
Shihab menafsirkannya dengan orang-orang yang memiliki akal murni.48
Kendatipun Quraish Shihab menjelaskan lebih dalam makna lubb itu
sendiri yang artinya ialah saripati sesuatu.
Adapun untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dari
keempat kata ini, maka penulis mencoba memaparkan dengan
mengkategorikannya berdasarkan fungsi dan cara kerja. Dilihat dari sisi
positif dan negatif, peneliti menemukan bahwa kata shadr dibandingkan
dengan tiga kata lainnya, ia memiliki kandungan makna yang negatif.
Shadr diartikan sebagai tempat dimana hawa nafsu, iri, dengki, benci,
dan marah bersemayam.
47
Akal sehat adalah terjemahan kontekstual dari common sense. Harfiahnya
menunjuk menunjuk pada arti pemahaman biasa yang dibuat oleh akal sehat orang
kebanyakan tanpa banyak-banyak berpikir rumit-rumit atau berenung-renung sulit.
Selengkapnya lihat
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/861955/18/salah-kaprah-
mengusik-akal-sehat-kita-1399618419 diakses tanggal 6 Agustus 2017 pukul 12.22 wib
48
Akal yang tidak tertutup oleh kabut ide, serta orang yang dapat merenungkan
ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintahnya. Quraish Shihab menerangkan lebih
lanjut bahwa apabila akal dipenuhi oleh kabut ide, inilah penyebab dari orang-orang yang
tergelincir. Selengkapnya lihat Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur`an,... vol. 2, h. 23
76

Kemudian dilihat dari sisi campur tangan akal dengan


kemantapan hati dalam proses masuknya keimanan, terdapat perbedaan
antara kata qalb dan Fu`âd. Qalb, apabila keimanan masuk maka qalb
bisa menuntut isi nalar untuk membenarkan isi hati dan ketika itu nalar
berusaha mengikutinya. Sedangkan pikiran itu sulit memerintahkan qalb
untuk mengiyakan bisikannya.49
Sedangkan Fu`âd, apabila akal menerima berbagai macam
informasi melalui panca indera yang dirangkai sebagai satu masalah
aqliyah, akal akan mengolahnya apabila informasi tersebut telah mantap
dan tidak terbantahkan lagi. Akal akan memasukkannya ke dalam
Fu`âd/hati dan kemudian jadilah „aqidah, yakni sesuatu yang terikat,
tidak goyah, dan tidak pula muncul lagi ke permukaan untuk di bahas
oleh akal.50
Dari pemaparan panjang lebar diatas, dapat dilihat bahwa kedua
mufassir yang menjadi rujukan utama penulis hanya menafsirkan
keempat kata tersebut berdasarkan segi kebahasaan, qira‟at, dan asbab
an-nuzulnya, dan juga hanya membandingkannya dengan cara meng-
klasifikasikan berdasarkan fungsi dan cara kerja. Baik Quraish Shihab
maupun Jalalain tidak mengklasifikasikan keempat kata tersebut
berdasarkan tingkatan-tingkatan hati.
Hal ini berbeda dengan pendapat ulama sufi abad ke III, Al-
Hakim Al-Tirmidzi (320 H), beliau mengklasifikasikan hati menurut
lapisan-lapisannya. Menurut beliau hati memiliki empat stasiun. Pertama
adalah dada (shadr), kedua adalah hati (qalb), ketiga adalah hati lebih
dalam (Fu`âd), dan yang keempat adalah inti hati terdalam (lubb). Beliau
menerangkan bahwa keempat stasiun ini saling bersusunan bagaikan
sekumpulan lingkaran. Lingkaran terluarnya adalah dada, hati dan hati
lebih dalam berada pada lingkaran tengah. Sedangkan inti hati berada
pada pusat lingkaran.51
Beliau memaparkan lebih jauh bahwa lapisan pertama (shadr)
adalah inti dari tindakan. Ia interaksi antara kepribadian dan alam
spiritual. Lapisan kedua (qalb) adalah tempat pengetahuan yang lebih
mendalam dan keimanan terhadap ajaran spiritual dan keagamaan murni.

49
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,... h.
17-21
50
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,...
vol. 5, h. 790-792
51
Al-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Farq Bayn Al-Shadr,wa Al-Qalb, wa Al-Fu‟ad, wa Al-
Lubb, Terj. Fauzi Faisal Bahreisy, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), cet I, h. 13
77

Lapisan ketiga (Fu`âd), posisinya jauh lebih dalam lagi, tetapi sangat
dekat hubungannya dengan hati. Dan lapisan terakhir (lubb), ini adalah
wilayah sangat luas. Ia berada di luar jangkauan kata-kata, teori-teori,
dan pemikiran-pemikiran. Beliau juga menambahkan bahwa pada
tingkatan terakhir ini, orang-orang suci memasuki dunia puisi, bukan lagi
prosa.52

52
Al-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Farq Bayn Al-Shadr,wa Al-Qalb, wa Al-Fu‟ad, wa Al-
Lubb, Terj. Fauzi Faisal Bahreisy, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), cet. I, h. 15-17
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan, dapat


disimpulkan bahwa:
1. Perbedaan dan persamaan kata shadr, qalb, fu’ad, dan lubb ialah
sebagai berikut; shadr ialah sesuatu yang berpotensi untuk merasakan
hal-hal yang negatif seperti perasaan iri hati, dengki, benci, dan
marah. Adapun qalb dan fu’ad, keduanya memiliki potensi yang
sama, yakni potensi ilmu pengetahuan yang sempurna. Akan tetapi
keadaan qalb lebih mudah untuk tergoncang dan di bolak-balik,
sedangkan fu’ad ialah sesuatu yang sudah terikat dan tidak mudah
goyah. Sedangkan lubb ialah saripati sesuatu, dia jauh lebih murni,
bersih, dan suci dibandingkan shadr, qalb, dan fu’ad.
2. Menurut tafsir Jalalain dan al-Misbah dalam menafsirkan kata shadr,
qalb, fu’ad, dan lubb, yakni sebagai berikut:
a. Menurut tafsir Jalalain kata shadr diartikan dengan isi hati,
yakni apa-apa yang tersimpan di dalam hati seperti perasaan
dengki, benci, marah, dan sebagainya. Kata qalb diartikan
sebagai hati yang lebih dalam, dimana keimanan bersemayam.
Kemudian kata fu’ad diartikan dengan kalbu, dan yang
terakhir lubb, kata ini diartikan dengan akal yang sehat.
b. Menurut tafsir Al-Misbah kata shadr diartikan sebagai sesuatu
yang letaknya tersembunyi dan dapat merasakan hal-hal yang
negatif seperti hawa nafsu, perasaan iri, dengki, dan
kebencian. Kata qalb diartikan sebagai pusat atau tempat
segala pembenaran, terkait dengan akhlak, aqidah, dan
keimanan. Kata fu’ad diartikan dengan bagian hati manusia
yang memiliki sistem yang sempurna bagi hati dan akal, tidak
mudah goyah, dan berfungsi menghadapi tugas-tugas yang
berat. Dan kata lubb diartikan sebagai saripati sesuatu, yakni
orang yang memiliki akal yang murni.
c. Jalalain dan Quraish Shihab tidak berbeda pendapat dalam
memaknai kata shadr dan qalb. Masing-masing memaknai
shadr sebagai tempat perasaan iri, dengki, benci, marah, dan
hawa nafsu bersemai. Dan memaknai qalb sebagai tempat
dimana iman bersemayam. Mereka hanya berbeda saat
memaknai kata fu’ad, Jalalain memaknai sebagai kalbu

79
80

sedangkan Quraish Shihab memaknainya sebagai sesuatu yang


berfungsi untuk menghadapi tugas-tugas yang berat, dan dia
tidak mudah goyah. Adapun pada kata lubb keduanya
memiliki sedikit perbedaan, Jalalain memaknainya sebagai
orang-orang yang berakal sehat sedangkan Quraish Shihab
memaknainya sebagai orang-orang yang berakal murni.

B. Saran-Saran
Banyak hal yang dapat kita ambil manfaatnya setelah membaca
penelitian ini, kita akan mengetahui makna kata shadr, qalb, fu’ad, dan
lubb secara spesifik dan mengetahui lebih dalam cara kerjanya
Maka dengan penuh kerendahan hati, penulis sadar bahwa dalam
karya tulis ini banyak sekali kekurangan, karena penulis hanyalah
seorang manusia dimana tempat salah dan dosa. Oleh karena itu, penulis
butuh saran atau kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan
yang lebih baik daripada masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Aisyah, At-Tafsirul Bayani lil Qur‟anil Karim, Ter.
Mudzakkir Abdussalam, Bandung: Mizan, 1996
Abidu, Yunus Hasan, Tafsir Al-Quran, Sejarah Tafsir dan Metode Para
Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Ahmad, Ali al-Husain Ahmad,Mu‟jam al-Maqayis fi al-Lughah, Beirut:
Dar al-Fikr, 1995 M
Ali, Attabik, dan Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Quran, 1973
Amir, Mafri, dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia,
Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011
Anshori, Ulumul Qur‟an: Kaidah-Kaidah memahami Firman Tuhan,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013
Anwar, Hamdani, “Telaah Kritis terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M.
Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, 2002
„Abd Al-Baqi, Muhammad Fu‟ād, Al-Mu‟jam Al-Mufahras, Dar al-Fikr,
1981
El-Shirazy, Ahmad Mujib, Anotasi Kitab Kiuning: Khazanah
Intelektualisme Pesantren di Indonesia, Jakarta: Darul Ilmi, 2007
Elias, Elias A. dan Ed. E. Elias, Al-Qamus al-„Ashar Arab-Inggris,
Qahira: al-Ashiriyah
Frager, Robert, Hati, Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi,
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003
Fu‟ad Abdu Al-Baqi‟, Muhammad, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li alfas Al-
Qur‟an Al-Karim, Beirut: Dar al Fikr li at-Taba‟ah wa al-Nasyr
wa al-Tauzi, 1981
Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Musafir Al-Qur‟an, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008
Al-Ghazali, Abū Hāmid, Ihya‟ Ulūm al-dīn, Beirut: Dār al-Kitāb al-
Islāmi, 1990
Al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali: Sebuah Otobiografi Intelektual,
Yogyakarta: Pustaka Hidayah, 1998
Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, Yogyakarta: LKIS, 2003
Haque, M. Atiqul, Wajah Perdaban Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi
Besar Islam, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998
Ibnu Arabi, Muhyiddin, Tafsir al-Qur‟an al-Karim, Beirut: Dar al-
Ya‟zhoh al-Arabiyah, 1968
Imani, Allamah Kamal Faqih, Nur Al-Qur‟an, terj. Sri Dwi Hastuti dan
Rudy Mulyono, Tafsir Nurul Qur‟an, Jakarta: Al-Huda, 2004
Al-Isfahani, Al-Raghib, Mu‟jam Mufradat Alfaz al-Qur‟an al-Karim,
Beirut: Dar al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1998

81
82

Jackson, Graham, Heart health, London: Class Publishing, 2000


Karim, Abdullah, Ilmu Tafsir Imam As-Suyuthi, Banjarmasin: CV Haga
Jaya Offset, 2004
Latif, Hilman, Hermeneutika Al-Qur‟an, Yogyakarta: Islamika, 2003
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Tafsir Al-Qur‟an Tematik,
Jakarta: Kamil Pustaka, 2014
Marzuqi, Amin, Penafsiran Qalb menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
(dalam Kitab At-Tafsir Al-Qayyim), Yogyakarta: tidak dicetak,
2010
Ma‟luf, Louis, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‟Alam, Beirut: Dar al-
Masyriq, 2000
Muhammad, Abu Fadhal Jamaluddin, Lisan al-„Arabi, Beirut: Dar al-
Shadir, 1994
Al-Mahalli, Jalaluddin,Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir
Jalalain Asbabun Nuzul, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008
Nafrizal, “Makna Kata Qalb menurut Buya Hamka “, Pekanbaru: tidak
dicetak, 2007
Nata, H. Abuddin, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2005
Nasruallah, Ms. dan Baiquni, Khazanah Istilah Sufi Kunci Memasuki
Dunia Tasawuf, Jakarta: Mizan, 1996
Nor Ichwan, Mohammad, PROF.M.QURAISH SHIHAB Membincang
Persoalan Gender, Semarang: Rasail. 2013
Al-Qatthan, Manna‟ Khalil, Mabahis fi „Ulum Al-Qur‟an, Beirut:
Maktabat Al-Risalah, 1993
Rakhmat, Jalaluddin, Membuka Tirai Kegaiban, Renungan-Renungan
Sufistik, Bandung: Mizan, 1998
Ar-Raniri, Syeikh Nur ad-Din, Rahasia Manusia Menyingkap Ruh Ilahi,
Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003
Rusydi, Qalbun Maradh dalam Al-Qur‟an (Suatu Kajian Perbandingan
Pemikiran Mufassir : Ibnu Katsir dan Thaba‟ Thaba‟i),
Pekanbaru: tidak dicetak, 2011
Ritonga, Mahyudin, Semantik Bahasa Arab Menurut Al-Anbari Kajian
Makna Tadado di dalam Al-qur‟an, Padang: Hayfa Press, 2013
Shihab, M. Quraish, Mukjizat Al-Qur‟an, Bandung: Anggota IKAPI,
2007
Shihab, M. Quraish, “Membumikan” Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2013
Shihab, M. Quraish, “Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Maudhu‟i atas
Pelbagai Persoalan Umat.”, Bandung: Mizan, 2003
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera hati, 2000
83

Soeharto, Serangan Jantung dan stroke, Hubungannya dengan Lemak


dan Kolesterol, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Sugiyono, Sugeng, Lisan dan Kalam Kajian Semantik Al-Qur‟an,
Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2009
Suryadilaga, Muhammad Al-Fatih, “Suntingan Teks Tafsir Jalalain,”
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an dan Hadis XI
As-Suyuti, Abdurrahman ibn Abu Bakar Jalaluddin, al-Muzhir fi „Ulum
al-Lughah wa Anwa‟iha Juz I, Beirut: Dar al-Kutub, 1998 M
As-Suyuthi, Al-Imam Jalaluddin, Asrar Tartibil Qur‟an, Jakarta: Pustaka
Amani, 1996
As-Suyuthi, Jalaluddin, Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur‟an al-
‟Adzim, Beirut: Dar Ihya‟ al-Kutub al-‟Arabiyah, t.th.
Syakur, Wahyudi, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf
Syamsuddin, Konsep Fuad dalam Al-Qur‟an (Studi Ma‟anil Qur‟an)”,
Yogyakarta: tidak dicetak, 2009
Tasmara, Totok, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence)
Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional
dan Berakhlak, Jakarta: Gema Insani, 2003
Tasmara, Totok, The voice of Heart Bisikan Hati, Jakarta: Pustaka Al-
Mawalli, 2010
Tebba, Sudirman, Menyingkap Rahasia Hati, Ciputat: Pustaka Irvan,
2007
Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1990
Al-Tirmidzi, Abū „Abdillāh Muhammad bin „Ali al-Hakīm, Bayān al-
Farq Bain al-Shadr wa al-Qulūb wa al-Fu‟ād wa al-Lubb, Kairo:
Dār al-Arab
Al-Tirmidzi, Al-Hakim, Al-Farq Bayn Al-Shadr,wa Al-Qalb, wa Al-
Fu‟ad, wa Al-Lubb, Terj. Fauzi Faisal Bahreisy, Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2005
„Umar, Ahmad Mukhtar, „Ilm al-Dalalah, Kuwait: Maktabah al-Arûbah,
1982 M/1402 H
Wadud, Amina, Qur‟an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Jender
dalam Tradisi tafsir. Terj. Abdullah Ali, Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta, 2001
Wassil, Jan Ahmad, Tafsir Qur‟an Ulul-Albab, Bandung: PT Salamadani
Pustaka Semesta, 2009)
Yanggo, Huzaemah T. dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi, Jakarta: IIQ Press, 2011
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung,
1989
84

Zahrudin, Relasi Makna dalam Al-Qur‟an (Analisis Terhadap Kata-Kata


yang Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur‟an yang
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia), (Jakarta: tidak
dicetak, 2010)
Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas Al-Qur‟an Kritik Terhadap „Ulum
Al-Qur‟an, Yogyakarta:LKIS, 2001
https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/8619
55/18/salah-kaprah-mengusik-akal-sehat-kita-1399618419
diakses tanggal 6 Agustus 2017

Anda mungkin juga menyukai