Anda di halaman 1dari 126

DOSA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

(Kajian Lafaz Dzanbun,Khathî’ah, Itsmun, Junah, dan


Jurmun Menurut Tafsir Al-Qurthubî)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh
Lauli Utami
14210583

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN


TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2018 M/1439 H
DOSA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN
(Kajian Lafaz Dzanbun,Khathî’ah, Itsmun, Junah, dan
Jurmun Menurut Tafsir Al-Qurthubî)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh
Lauli Utami
14210583
Dosen Pembimbing
Hj. Muthmainnah, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN


TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA
2018 M/1439 H
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “ Dosa Dalam Perspektif Al-Qur`an (Kajian Lafaz


Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun Menurut Tafsir Al-
Qurthubî)” yang disusun oleh Lauli Utami dengan Nomor Induk Mahasiswa
14210583 telah melalui proses bimbingan dengan baik dan disetujui untuk
diujikan pada sidang munaqosyah.

Jakarta, 08 Agustus 2018


26 Dzul Qa‟da 1439 H

Pembimbing

Hj. Muthmainnah, MA

i
LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “ DOSA DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN ( Kajian


Sinonimitas Lafaz Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun Menurut
Tafsir Al-Qurthubî )” yang disusun oleh Lauli Utami dengan NIM 14210583
telah diujikan pada sidang Munaqosyah Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu
Al-Qur`an (IIQ) Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2018. Skripsi ini diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).
Jakarta, 15 Agsutus 2018
03 Dzul Hijjah 1439 H
Dekan Fakultas Ushuluddin
Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA

Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dra. Hj. Maria Ulfah, MA Dra. Ruqayah Tamimi

Penguji I, Penguji II,

Dr. Hj. Romlah Widayati, M.Ag Hj. Istiqomah, MA

Pembimbing,

Hj. Muthmainnah, MA

ii
PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Lauli Utami
NIM : 14210583
Tempat/Tgl.Lahir : Bagan Laguh/06 Maret 1996

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “ Dosa Dalam Perspektif Al- Qur`an
(Kajian Sinonimitas Lafaz Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun
Menurut Tafsir Al-Qurthubî)” adalah benar-benar asli karya saya kecuali
kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan kekurangan di dalam
karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 08 Agustus 2018


26 Dzul Qa‟da 1439 H

Lauli Utami

iii
MOTTO

“Ridho Allah ada pada Ridho Orangtua, dan


Murka Allah ada pada Murka Orangtua”

iv
PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya ini untuk kedua orangtua yang tercinta, Bapak
Kaharuddin (alm.) dan Ibunda Kamariah, dan adik saya tercinta, yang selalu
memberikan saya semangat adinda Neno Kaharuddin. Teruntuk kedua
orangtua saya, terima kasih telah mendidik saya dengan sabar, selalu
memberikan contoh dan nasihat yang baik serta dukungannya kepada saya
dalam mencapai setiap impian saya. Dan untuk adik saya yang tercinta ,
terima kasih untuk segala pengorbanan dan kesabaran dalam membantu saya
selama proses penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberikan
rahmat, kerberkahan, dan keridhoan-Nya di dalam perjalanan hidup kita.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang Maha Kuasa hanya denga izin-Nya
terlaksana kebijakan dan kesuksesan. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. dan para
sahabatnya serta pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini , segala puji syukur diucapkan karena


dapat terselesaikan skripsi ini berkat doa dan dorongan, nasehat, serta
bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Di
antaranya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Khuzaemah Tahido Yanggo, Lc, MA, Ibunda
kami, Rektor Institu Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta berkat restu dan
doanya untuk kami semua.
2. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfa, MA, selaku dekan fakultas Ushuluddin
dan Dakwah IIQ Jakarta atas segala doan dan bimbingannya.
3. Segenap dosen pengajar dan staaf IIQ Jakarta terkhusus Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir yang
telah memberikan banyak ilmu pengetahuan, bimbingan dan
semangat sehingga penulis mampu memahami ilmu yang
diberikan dan penyelesaian skripsi ini.
4. Segenap Instruktur tahfidz atas kesediaan meluangkan waktu
untuk berbagi ilmu dan bimbingan kepada penulis, Ibu
Muthmainnah, Ibu Mahmudah, Ibu Sami‟ah, Ibu Istiqomah, Ibu
Atiqoh, Kak A‟yuna dan Bapak Fathoni. Semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat-Nya kepada guru-guru kami.
5. Untuk Ibu Tercinta Ibu Kamariah dan Ibu Kamarisah, dan adik
tercinta Neno Kaharuddin, yang selalu memberikan semangat dan
doa yang selalu mengalir demi kesuksesan penulis dalam
menyelesaikan pendidikan ini hingga akhir. Tak lupa untuk
ayahnda, penulis persambahkan ini sebagai hadiah untuk bapak
Kaharuddin (almarhum).

vi
6. Untuk sahabat-sahabat saya di IIQ Jakarta angkatan 2014,
terutama sahabat-sahabat Ushuluddin IAT A, yang telah berjuang
bersama dan saling support untuk penyelesaian tugas akhir kita.
7. Sahabat-sahabat saya di Kahfi BBC Motivator School, teman-
teman angkatan 17-La Fourmi, dan para dosen, senior, terutama
Guru Sehat Om Bagus atas segala doa dan supportnya.
8. Untuk sahabat-sahabat tercinta saya Adlul Alghofiqi (alm), Indy
Zuhrotul Isthifaiyyah (almh) yang selalu mengingatkan penulis
untuk semangat dan sabar dalam proses belajar. Nasehat ini akan
selalu penulis ingat dan amalkan.
9. Untuk yang tercinta Adhi Musliadi, Ridha Aulia, Miko Putra dan
sahabat tercinta PBRC (Persatuan Badminton Rantau Ciputat)
yang selalu memberikan support dan doanya untuk penulis selama
proses penyelesaian skripsi ini.

Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis


dan masyarakat. Semoga Allah melimpahkan rahmat, keberkahan,
dan keridhoan untuk kita semua di dunia dan akhirat. Aamiin

Jakarta, 08 Agustus 2018


26 Dzul Qa‟da 1439 H

Lauli Utami

vii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................... ii

PERNYATAAN PENULIS .................................................................... iii

MOTTO.................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN .................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................. vi

DAFTAR ISI ........................................................................................viii

PEDOMAN TRANSLITERASI............................................................. xi

ABSTRAKSI ............................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ................................................................ 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah ..................................................... 8
2. Perumusan Masalah ...................................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Masalah .................................................. 10
E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 11
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian…………………………………………12
2. Sumber data ................................................................. 12
3. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 13
4. Metode Analisi Data ..................................................... 13
G. Teknik dan Sistematika Penulisan ........................................... 13

viii
BAB II DOSA DALAM ISLAM

A. Pengertian Dosa............................................................................ 15
B. Macam-macam Dosa ................................................................... 21
C. Akibat Perbuatan Dosa dan Cara Menghapusnya ........................ 27

BAB III PROFIL AL-QURTHUBI DAN KITAB TAFSIRNYA

A. Biografi Al-Qurthubî
1. Riwayat Hidup Al-Qurthubî .................................................. 39
2. Riwayat Pendidikan Al-Qurthubî .......................................... 41
3. Karya Al-Qurthubî ............................................................... 42
4. Pengaruh Imam Al-Qurthubî di dalam Islam ........................ 43
B. Profil Kitab Tafsir Al-Qurthubî
1. Latar belakang Penulisan Tafsir ............................................. 45
2. Sumber Penafsiran ................................................................. 46
3. Metode dan Sistematika Penafsiran ........................................ 48
4. Penyajian Penafsiran .............................................................. 51
5. Corak Penafsiran .................................................................... 51
6. Karakteristik Tafsir ................................................................. 53
7. Pendekatan Tafsir ................................................................... 54
8. Tehnik Interpretasi .................................................................. 55
9. Keistiwewaan Kitab Tafsir Al-Qurthubî .............................. 59

BAB IV ANALISIS LAFAZ DZANBUN, KHATHÎ’AH, ITSMUN,


JUNÂH, DAN JURMUN DALAM TAFSIR AL-QURTHUBÎ

A. Pengertian Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun .... 61


B. Klasifikasi Ayat yang Mengandung Lafaz Dzanbun, Khathî’ah,
Itsmun, Junâh, dan Jurmun dan Penafsirannya dalam Tafsir Al-
Qurthubî ....................................................................................... 74

ix
C. Perbedaan antara Lafaz Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan
Jurmun .......................................................................................... 96

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 101


B. Saran ......................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 103

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini ditulis dengan mneggunakan pedoman transliterasi sebagaimana


diuraikan di bawah ini. Trasliterasi ini ditulis dengan menggunakan pedoman
transliterasi huruf Arab ke huruf latin yang telah disusun oleh Institut Ilmu
Al-Qur`an (IIQ) Jakarta Tahun 2017.

1. Konsonan

:a : th

:b : zh

:t :„

: ts : gh

:j :f

:h :q

: kh :k

:d :l

: dz :m

:r :n

xi
:z :w

:s :h

: sy :`

: sh :y

: dh

2. Vocal

Vocal Tunggal Vocal Panjang : Vocal Rangkap:


Fathah :a â ...: ai

Kasrah :i :î

Dhammah :u :û …: au

3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam ( ) qamariyah

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, Contoh:

‫ ا‬: Al-Baqarah : Al-

Mâidah

xii
b. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam ( ) syamsiyah

ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan


sesuai dengan bunyinya. Contoh:

: ar-rajulu : as-Sayyidah

: asy-Syams : ad-Dârimî

c. Syaddah (Tasydîd) dalam system aksara Arab digunakan lambang (


ّ_), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd. Aturan ini
berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di
akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyah. Contoh:

: Âmannâbillâhi : Âmana as-Sufahâ’u


: Inna al-ladzîna : waar-rukka’i

d. Ta Marbûthah(‫)ة‬
Ta Marbûthah (‫ )ة‬apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata
sifat (na’at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.
Contoh:

: al-Af`idah : al-Jâmiah al-Islâmiyah


Sedangkan ta marbûthah (‫ )ة‬yang diikuti atau disambungkan (di-
washal) dengan kata benda (ism), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:

Âmilatun Nâshibah

xiii
e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital, akan tetapi
apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, seperti penulisan awal
kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain.
Ketentuan yang berlaku pada EYD berlaku pula dalam alih aksara ini,
seperti cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold) dan ketentuan
lainya.

xiv
ABSTRAKSI
Lauli Utami (14210583)
Dosa Dalam Perspektif Al-Qur`an ( Kajian Sinonimitas Lafaz Dzanbun,
Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun Menurut Tafsir Al-Qurthubî )

Skripsi ini menelaah tentang sinomitas pada lafaz Dzanbun, Khathî’ah,


Itsmun, Junâh, dan Jurmun yang mengandung satu makna yaitu, Dosa. Ini
perlu di kaji lebih dalam, supaya bisa memahami apa perbedaan di antara
masing-masing lafaz yang berorientasi pada satu makna yaitu, Dosa, tetapi
masing- masing dari lafaz tersebut memiliki ruang lingkup dan konteks yang
berbeda dari segi penggunaan dan peletakkannya. Itulah yang mendorong
penulis untuk membahas lebih dalam tentang kelima lafaz ini. Dan penulis
mengambil penjelasan lebih detailnya dari tafsir Al-Qurthubî, yang mana
menurut penulis kitab tafsir ini membahas per kata dari setiap ayat, dan
menjurus pada bidang ibadah secara menyeluruh. Dan penulis ingin
mengetahui bagaimana pemikiran atau penafsiran al-Qurthubî dalam
menjelaskan ayat yang mengandung lafaz-lafaz tersebut.
Penelitian ini dalam penelitian kepustakaan (library research), maka
penulis merujuk pada Tafsir Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an karya Al-Qurthubî.
Kemudian didukung oleh buku, jurnal dan literatur yang berkatian dengan
judul yang diambil oleh penulis. Data-data selanjutnya akan menganalisa
perbedaan setiap lafaz berdasarkan penafsiran al-Qurthubî. Di dalam
penafsiran penulis menggunakan metode maudhû’i atau tematik, yaitu
mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema.
Lafaz Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun mengandung
makna dosa. Namun ada titik perbedaan dari masing-masing lafaz, baik dari
segi penggunaannya, bentuk, konteks, serta resiko yang didapat. Dan dari
hasil penelitian, bahwa bahwa lafaz dzanb mayoritas dalam bentuk jamak dan
untuk dosa lampau, lafaz khathiah untuk kesalahan yang tidak disengaja,
lafaz itsm penggunaannya pada konteks melawan Allah dan Rasul-Nya, lafaz
junah selalu digunakan pada dua pilihan/kecendrungan, dan lafaz jurm lebih
kepada segi akumulasi dosa dan lebih umum bisa mencakup empat lafaz dosa
sebelumnya. Itulah perbedaan signifikan di antara masing-masing lafaz yang
satu makna yaitu dosa, yang mengacu berdasarkan penafsiran al-Qurthubî
dalam menanggapi ayat yang mengandung lafaz-lafaz tersebut. Penulis
meneliti dari segi asbab nuzul ayat, kedudukan dan bentuk lafaz tersebut.

xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju


ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah
SWT. menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW. demi
membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya
ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.1 Allah
menamakan Al-Qur`an dengan beberapa nama, salah satunya al-
Furqân yang artinya adalah pembeda, Allah berfirman pada QS. Al-
Furqan [25]:1 2:

        

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)


kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam3” (Q.S Al-Furqan [25] : 1)

Menurut al-Qurthubî, penyebutan Al-Qur`an sebagai al-Furqân


karena dua aspek. Pertama, karena membedakan antara kebenaran
dan kebatilan, Mukmin dan Kafir. Kedua, karena di dalamnya
terdapat penjelasan tentang perkara yang disyariatkan baik yang halal
maupun yang haram.4 Maka dengan Al-Qur`an manusia bisa
membedakan mana perbuatannya yang mendatangkan keridhaan
Allah untuknya dan mana perbuatan yang mengakibatkan dosa bagi

1
Manna al-Qaththân, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, Terj. H. Aunur Rafiq El-
Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 3
2
Manna al-Qaththân, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, Terj. H. Aunur Rafiq El-
Mazni, h. 19
3
Maksudnya jin dan manusia.
4
Al-Qurthubî, Al-Jami’ li Ahkâm Al-Qur`an, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah,
1952), Juz 13 , h. 2

1
2

dirinya 5. Sebagaimana dicantumkan dalam sebuah hadis riwayat


Muslim :

“Dari Muhammad bin Hâtim bin Maimûn, dari Ibnu Mahdi, dari
Mu’âwiyah bin Shâlih dari ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari
ayahnya, dari an-Nawwâs bin Sim’ân al-Anshârî, ia berkata: “Aku
bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebajikan dan dosa, maka
beliau menjawab,“Kebajikan adalah akhlak yang baik dan dosa
adalah apa yang membuatmu bimbang (ragu) hatimu dan engkau
tidal suka dilihat (diketahui) oleh manusia.” (HR. Muslim)
Sedangkan di dalam Al-Qur`an dijelaskan pula tentang dosa-dosa
yang harus dihindari oleh manusia, dan lafaz yang mengandung
makna dosa di dalam Al-Qur`an diantaranya yaitu:

1. Dzanbun/

Kata dzanbun di dalam Al-Qur`an muncul sebanyak 39 kali,


terdapat 21 kata di dalam surah Makkiyah dan 18 kata di dalam surah
Madaniyyah. Hampir sebagian besar 28 kata berbentuk jamak dan 11
kata berbentuk mufrad.7 Secara sederhana dzanbun mencakup makna
dosa, akhir sesuatu, dan keterbelakangan, digunakan untuk

5
Achmad Gholib, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur`an, Al-Hadis,
dan Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Faza Media, 2005), h. 13
6
Abû Husain bin al-Hajjâj al-Qusyairî an-Naisaburî, Shahih Muslim, Juz 4, Bab at-
Tafsîr al-Bir wa al-Itsm, No. 2553, h. 1980
7
Muhammad Fû‟ad „Abd al-Bâqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), h. 339
3

menunjukkan dosa yang sudah lampau dan digunakan dalam konteks


melawan atau menentang Allah.

2. Khathî’ah /
8
Lafaz ini disebutkan di dalam Al-Qur`an sebanyak 22 kali
,makna yang terkandung pada lafaz ini yaitu digunakan untuk
menyatakan berlakunya suatu kesalahan baik yang disengaja atau
karena lupa.9

3. Itsmun/

Kata ini di dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 48 kali dengan


ragam bentuk turunannya. Bentuk kata yang paling sering disebut
adalah itsmun, yakni sebanyak 35 kali, sisanya berbentuk
Terdapat 37 ayat yang memuat kata Itsmun
termasuk dalam surah Madaniyah dan sisanya 11 ayat pada surah
Makkiyyah.10
Di dalam Al-Qur`an kata Itsmun, digunakan dalam konteks yang
beragam, salah satunya adalah dalam konteks melawan Allah dan
Rasul-Nya, menolak kebenaran dan kitab-kitab-Nya.

4. Junâh/

Junâh merupakan salah satu lafaz di dalam Al-Qur`an yang


mengandung makna dosa. Lafaz junâh berakar dai kata janaha ( )
yang makna yaitu yang berarti cenderung, belok, atau miring.

8
Muhammad Fû‟ad „Abd al-Bâqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm, h. 288
9
Ibnu Manzur, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), juz 5, h. 134-135
10
Muhammad Fû‟ad „Abd al-Bâqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al
Karîm, h. 40-42
4

Kebanyakan kata ini digunakan dalam konteks berpasangan atau


terdapat dua pilihan di dalamnya. Seperti : dua pilihan yang mana
salah satu yang baik darinya, menjelaskan hukum atau dua hal. Junâh
berarti penyimpangan dari kebenaran, dosa, bahkan semua dosa bisa
dikategorikan dalam pengertian junâh. Diartikan demikian karena
dosa condong membuat manusia menyeleweng dari kebenaran.11

5. Jurmun/

Lafaz ini merupakan sinonim dari dzanbun. Dalam Al-Qur`an,


kata ini muncul paling sering dalam bentuk partisipal, mujrim ( ),
yang berarti “orang yang melakukan atau telah melakukan jurm.12
Kata al-jurm disebut sebanyak 65 kali. Banyak yang berbentuk jama’
mudzakkar salîm ( ) berjumlah 49 kata. Banyaknya bentuk
kata ini menggambarkan bahwa kata jurmun dipakai di dalam Al-
Qur`an untuk menggambarkan para pelaku dosa, bukan jenis-jenis
dosa sebagaimana diungkapkan kata itsmun. Kata jurmun juga
digunakan untuk menjelaskan ancaman siksa yang diterima.

Di dalam Al-Qur`an lafaz dosa disebut dengan beragam kata yang


masing-masing dari kata tersebut menurut pandangan umum memiliki
wilayah pengertian dan makna yang hampir sama. Dalam ilmu Al-
Qur`an ini disebut dengan istilah Mutarâdif atau al-Tarâduf atau
Sinonimitas.

11
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur`an, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997),
h. 184
12
Toshishiko Izutsu , Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur`an Terj. Agus
Fahri Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 297
5

Al- Tarâduf memiliki definis yang berbeda-beda dikalangan para


ulama diantaranya yaitu:

a. Menurut Ya‟qub, Al- Tarâduf adalah “Berbeda artinya tetapi


sama lafaznya. Atau beragam lafaznya tetapi satu maknanya”13
b. Menurut Umar, Al- Tarâduf adalah “banyak lafaz tapi satu
makna” 14

Ulama linguistik Arab pada abad IV ramai berselisih pendapat


tentang eksistensi Tarâduf dalam bahasa arab: Sebagian menolak
sama sekali adanya Tarâduf , ada juga yang menyatakan adanya
Tarâduf , dan ada orang yang berlebihan dalam memahami adanya
Tarâduf sehingga ada diantara mereka berpendapat bahwa satu
makna/subtansi bisa jadi memiliki ratusan sinonim untuk
mengungkapkannya. Dilihat dari sisi istilah tidak ditemukan
kesepakatan para ulama, akademisi klasik dan kontemporer. Sibawaih
(w.180 H) diduga sebagai orang pertama yang menampakkan
penjelasan mengenai al- tarâduf dalam ilmu bahasa. Menurut
Sibawaih, ia membagi konteks hubungan antara lafaz dengan makna
menjadi tiga macam :

a. Lafaz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang


beraneka ragam juga.
b. Satu lafaz mempunyai aneka makna yang berbeda.
c. Beragam lafaz namun hanya mengandung satu makna.

Pembagian tersebut disinyalir sebagai awal munculnya Musytarak


Lafzî dan al-Mutarâdif.15

13
Imil Badi‟ Ya‟qub, Fiqh al-Lughah wa Khashâishuhâ, (Bairut : Dâr Al-Tsaqâfah
al-Islâmiyah, T.th). h. 180-181
14
Ahmad Mukhar Umar, ‘Ilm al-Dilâlah, (Kuwait :Maktabah Dâr al-Arabiyah li al-
Nasr wa al-Tauzi, 1982), cet. I, h. 145
6

Adapun di kalangan ulama ada yang sepakat dengan keberadaan


sinonimitas disebabkan adanya hal yang berhubungan dengannya
bukan dimaksdukan pada zatnya. Ada beberapa pembahasan dalam
‘ulûm Al-Qur`an yang dikaitkan dengan sinonimitas. Di antaranya
ta’kîd di dalam Al-Qur`an, Ilmu Mutasyâbih, dan ilmu tafsir
lainnya.16

Adapun ulama yang menyetujui adanya sinonimitas dalam Al-


Qur`an yaitu :

1. „Alî Abd al-Wâhid Wâfî, beliau berpendapat bahwa kebanyakan


dalam Al-Qur‟an juga terdapat kata-kata mutarâdif,
sebagaimana juga terdapat dalam ungkapan sastra Arab.

2. Ibn al-„Arabî, cenderung berpendapat bahwa mutarâdif terdapat


dalam Al-Qur‟an, sebagaimana beliau tidak membedakan
perkataan walaupun sebahagian ulama
membedakan kedua kata tersebut.
3. Abû Bakr al-Husaynî berpendapat bahwa mutarâdif terdapat
dalam Al-Qur‟an, di antara tujuan dari kata mutarâdif adalah
menjelaskan ungkapan yang berbeda dengan menggunakan
kata-kata mutarâdif. Sebagai contoh kata ‫( ا‬Q.S. Al-
„Ankabût [29]: 14).17
Sedangkan ulama yang menolak adanya sinomitas dalam Al-
Qur`an yaitu :

15
Muhammad Nuruddîn al-Munajjât, al-Tarâduf fî Al-Qur`an Al-Karîm, (Baina al
Mazariyah wa al Tatbiq), h.29
16
Muhammad Nuruddîn al-Munajjât, al-Tarâduf fî Al-Qur`an Al-Karîm, h.109
17
“DokumenPemudaTqn”https://dokumenpemudatqn.blogspot.com/2012/11/mutara
dif-dalam-al-quran-oleh-drdrs-h.html, diakses tanggal 03 November 2012
7

1. Bint Syâthi`. Ia mengutip dari Ibnu Fâris bahwa jika ada dua
lafaz untuk satu makna atau satu benda, niscaya lafaz yang sama
18
memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafaz yang lainnya.
Bint Syâthi` mengemukakan rumus setelah menelusuri
penggunaan kata ni’mah dan na’îm dalam Al-Qur`an, bahwa
na’îm digunakan Al-Qur`an untuk nikmat-nikmat akhirat, bukan
duniawi.19
2. M. Quraish Shihab salah satu pakar tafsir indonesia, termasuk
ulama yang menolak adanya sinonim murni dari Al-Qur`an. Ia
menungkapkan kaidah umum mengenai mutarâdif yakni tidak
ada dua kata yang berbeda kecuali ada perbedaan maknanya.
Jangankan yang berbeda akar katanya, yang sama akar katanya
pun tetapi berbeda bentuknya akibat penambahan huruf. 20

Al-Quran juga sebagai mukjizat dengan gaya bahasa yang sangat


khas, yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Jalinan huruf-hurufnya
serasi, ungkapannya indah, uslubnya manis, ayat-ayat teratur dan
sangat memperhatikan situasi dan kondisi dalam berbagai macam
gayanya. Sebagaimana dikutip oleh Bakri Khaeruman menyatakan
bahwa satu huruf dari Al-Qur`an merupakan mukjizat yang
diperlukan oleh lainnya dalam ikatan kata, satu kata yang berada
ditempatnya merupakan ikatan kalimat, serta kalimat yang ada
ditempatnya adalah mukjizat dalam jalinan surat.21 Sehingga

18
„Aisyah Abdurrahman, al-I’jâz al-Bayanî fî Al-Qur’an wa Manâil Nâfi’ bin al
Azraq, h.212
19
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 124
20
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 124
21
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2004) h. 17
8

keistimewaan Al-Qur`an tidak hanya terletak pada makna literalnya


saja, melainkan juga dari sisi bahasanya.22

Keistimewaaan ini mulai terlihat ketika Al-Qur`an menggunakan


istilah berbeda menyangkut satu persoalan. Misalnya dosa, ternyata
Al-Qur`an menggunakan lebih dari satu istilah. Istilah tersebut
berbeda-beda namun tetap artinya satu yaitu dosa. Diterangkan bahwa
konsep tentang dosa itu sendiri tidaklah sulit untuk dirumuskan dalam
Islam. Al-Qur`an menyatakan bahwa seseorang yang berdosa adalah
orang yang tidak mematuhi perintah Allah . Dengan kata lain, yang
disebut dosa ialah perbuatan “tidak patuh”.23

Dari uraian berikut, penulis berkeinginan untuk membahas lebih


detail lafaz Al-Qur`an yang mengandung makna dosa, yaitu “ DOSA
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN (Kajian Lafaz Dzanbun,
Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun menurut Tafsir Al-Qurthubî )”

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan pada penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai


berikut :

1. Pengertian Dosa dalam Al-Qur`an.


2. Lafaz-lafaz dalam Al-Qur`an yang mengandung makna dosa.
3. Klasifikasi ayat-ayat yang mengandung makna dosa dengan
bentuk lafaz yang berbeda.

22
Yahyâ bin Abdurrahman Al-Ghoutsanî, Hafal Al-Qur`an Mutqin, Terj, Syaiful
Aziz, (Surakarta: Qur`ani Press, 2017), h. 45
23
Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam, Penerjemah: Agus
Fahri Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 40
9

4. Perbedaan antara setiap lafaz tetapi memiliki makna yang sama


yaitu dosa
5. Ruang lingkup dari setiap lafaz di dalam Al-Qur`an

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan tersusun secara
sistematis pada pembahasan yang diharapkan, penafsiran ini
hanya mengkhususkan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan
Dosa dengan berbagai bentuk lafaz yang berbeda.
Ayat-ayat yang akan dibahas adalah ayat-ayat yang
menggunakan 5 lafaz yang bermakna dosa yaitu : Dzanbun,
Khâthi’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun. Penulis menyimpulkan
bahwa kelima lafaz di atas memiliki ruang lingkup yang berbeda
terkait tentang perbuatan dosa itu sendiri. Sehingga penulis
beralasan bahwa ini perlu dikaji agar mengetahui perbedaan di
antara lafaz-lafaz tersebut, guna menambah wawasan bagi
pembaca pada umumnya dan bagi penulis khususnya. Alasan
penulis memilih Tafsir Al-Qurthubî adalah penulis ingin
mengetahui bagaimana pemikiran al-Qurthubî dalam menafsirkan
ayat-ayat tentang dosa dengan lafaz yang berbeda-beda.
Dosa adalah suatu hal yang sangat penting di dalam Islam,
baik untuk ditinggalkan agar tidak mendatangkan murka Allah
dalam kehidupan manusia itu sendiri. Karena jika seseorang
berdosa berarti ia sudah melanggar atau melakukan larangan dari
Allah yang semestinya tidak ia lakukan. Sehingga dampak yang
di dapat adalah kesengsaraan di dunia dan balasan yang setimpal
di akhirat kelak.
10

2. Perumusan Masalah
Bagaimana pandangan al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat-
ayat yang mengandung lafaz dzanbun, khâthi’ah, itsmun, junâh,
dan jurmun ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pandangan al-Qurthubî dalam menafsirkan
ayat-ayat yang mengandung lafaz dzanbun, khâthi’ah, itsmun,
junâh, dan jurmun.
2. Manfaat Penelitian
a) Manfaat secara teoritis

Diharapkan dapat menambah informasi dan mengembangkan


khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya bidang tafsir. Dan dapat
dipertimbangkan dalam memperkaya karya ilmiah dalam disiplin
ilmu keislaman, khususnya tentang dosa di dalam Al-Qur`an yang
disebutkan dengan lafaz-lafaz yang berbeda.

b) Manfaat Praktis

Diharapkan penulisan ini dapat memberikan pengembangan


pemahaman lebih dalam tentang istilah-istilah di dalam Al-
Qur`an yang memiliki keistimewaan dan ranah yang berbeda
walaupun membahas satu persoalan yaitu dosa. Dan sebagai umat
islam, harus menyadari apa yang diucapkannya dan memahami
esensinya.
11

E. Tinjuan Pustaka

Sebagaimana tujuan dari tinjauan pustaka yakni berisi kajian


literatur yang relevan dengan pokok pembahasan yang akan diteliti,
sehingga penulis mengambil beberapa buku, skripsi yang memiliki
relasi dengan kajian penulis, dan mampu mendukung penulis dalam
meneliti kajiannya, di antaranya sebagai berikut :

1. Skripsi yang disusun oleh Parhulutan Siregar UIN Suska Riau,


yang berjudul “Makna Junah dalam Al-Qur`an (Kajian Tafsir
Tematik)” pada tahun 2013, skripsi ini fokus pada kata Junah
yang terdapat di dalam Al-Qur`an. Sehingga skripsi ini sangat
berkontribusi bagi penulis untuk menyelesaikan dan melengkapi
penelitiannya.
2. Skripsi yang disusun Hasan Ali UIN Sunan Ampel Surabaya,
yang berjudul “Dosa Besar dalam Islam” pada tahun 2014, tesis
ini mengawali pembahasannya tentang makna dosa di dalam Al-
Qur`an,istilah, dan bentuk-bentuk dosa, yang berbasis pada
Kalâmullâh dan hadist nabi. Sehingga pembahasan dari tesis
tersebut bisa membantu penulis dalam mendukung setiap hasil
penelitian.
3. Skripsi yang disusun oleh Muhammad Nabihul Janam, yang
berjudul ”Sinonimitas dalam Al-Qur`an (Analisis Semantik Lafaz
Khauf dan Khasyyah)”, di dalam skripsi ini penulis mengambil
pembahasan tentang sinonimitas di kalangan ulama yang menjadi
referensi tambahan bagi penulis.
12

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research (kajian pustaka),
yaitu pengumpulan data dengan cara membaca, menelaah buku
dan literatur lainnya yang berhubungan dengan persoalan yang
dibahas. Jadi, penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yakni
pendekatan penelitian yang memerlukan pemahaman mendalam
yang berhubungan dengan objek pembahasan.24
2. Sumber data

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan sumber data


primer yaitu data-data yang diperoleh dari sumber aslinya yang
relevan dengan skripsi ini sebagai berikut :

a) Kitab Tafsir Al-Qurthubî karya Al-Qurthubî.


b) Kitab Tafsir Al-Misbâh karya M. Quraish Shihab
c) Adapun buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan ini :
1. Studi Ilmu Al-Qur`an
2. Kitab Tafsir Klasik-Modern
3. Buku-buku Akhlak
4. Ensiklopedi Al-Qur`an
5. Kitab At-Tadzkirah
6. Kitab Manna al-Qaththân
7. Kamus Lisânul ‘Arab
8. Kamus Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur`an

24
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, (Jakarta: Refeensi,2003),
h. 196
13

3. Teknik Pengumpulan Data

Keseluruhan data yang diambil dan dikumpulkan dengan cara


pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kemudian ditetapkan dengan cara dokumentasi dan disusun secara
sistematis sehingga menjadi satu paparan yang jelas.

4. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah


analitis – deskriptif yakni menggambarkan setepat mungkin
mengenai pokok masalah yang berdasarkan konsep-konsep yang
dikemukakan secara jelas.

Adapun langkah-langkah yang harus ditetapkan untuk


menggunakan metode muqarin adalah dengan menganalisa ayat-
ayat yang dikaji secara menyeluruh. Kemudian melacak pendapat
mufassir tentang ayat tersebut, serta mengetahui ruang lingkup
pembahasan dari ayat tersebut.25

G. Tehnik dan Sistematika Penulisan


1. Tehnik penulisan

Tehnik penulisan dalam penelitian ini merujuk pada pedoman


pembuatan skripsi yang berjudul : “Pedoman Penulisan Skripsi,
Tesis, Disertasi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang
diterbitkan oleh LPPI IIQ Jakarta tahun 2017”

25
Nasharudin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur`an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hlm. 68
14

2. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan serta mendapatkan


gambaran yang jelas dan sistematis, maka penulis membagi
dalam beberapa bab dengan rincian sebagai berikut :

Bab Pertama, bab ini merupakan pendahuluan yang


menjadi pengantar kepada penulisan, di dalamnya mencakup
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab pertama ini merupakan pembuka bagi para pembaca agar
mengetahui alasan dan latar belakang penulis meneliti dengan
tema penelitian tersebut.

Bab Kedua, di dahului dengan membahas pengertian dari


dosa itu sendiri baik secara bahasa maupun secara
terminologi, serta memaparkan lafaz-lafaz Al-Qur`an yang
mengandung makna dosa, macam-macam dosa dan cara
menghapusnya, serta akan dibahas pula tentang sinonimitas
dalam Al-Qur`an. Bab dua ini merupakan landasan teori agar
penyusunan skripsi dapat terarah dan sistematis, untuk
memberikan informasi kepada para pembaca mengenai dosa.

Bab Ketiga, membahas terkait kitab tafsir yang diambil


sebagai penelitian yaitu: profil al-Qurthubî serta kitab tafsir
beliau, pendidikan serta karya dari al-Qurthubî yang sangat
berpengaruh pada dunia pendidikan terutama islam. Bab tiga
merupakan bab tentang teori mengingat pentingnya sumber
primer untuk para pembaca sebelum masuk ke pembahasan
utama yaitu menjelaskan tentang biografi mufassir.
15

Bab Keempat, merupakan analisa ayat-ayat yang


mengandung lafaz-lafaz dosa serta ruang lingkup dari masing-
masing lafaz yang berbeda namun bermuara pada satu makna
yakni dosa, dengan diperkuat oleh penafsiran dari al-Qurthubî
di dalam kitab tafsirnya. Bab ini merupakan pokok
pembahasan utama penelitian skripsi ini. Tujuannya untuk
mengetahui bagaimana analisa penafsiran tersebut.

Bab Kelima, merupakan penutup. Pada bab ini terdiri dari


kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Bab ini
merupakan akhir dari semua pembahasan.

Demikian gambaran tentang perencanaan penelitian maka


selanjutnya penulis akan mulai mengkaji pengertian dosa baik
secara bahasa ataupun istilah , macam-macam dosa, serta
lafazh-lafazh dalam Al-Qur`an yang mengandung makna
dosa.
BAB II

DOSA DALAM ISLAM

A. Pengertian Dosa

Dosa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti


yaitu perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama, atau perbuatan
salah seperti terhadap orangtua, adat, dan negara.1

Dalam bahasa Arab, dosa disebut dengan ungkapan : ma‟shiyyah


( ), dzanb ( ), itsm ( ), fâhisyah ( ), wizr ( ) , munkar
( ), khathî`ah ), sayyi`ah ( ), jurm ) yang secara
bahasa dimaksud adalah : ( mengerjakan sesuatu
yang tidak boleh. Kesepuluh kata ini semuanya disebutkan di dalam Al-
Qur`an.
Dosa disebutkan pula Itsm ( ), dan „Ishyn ( ), dengan pengertian
ini memiliki makna berpaling atau membelok, salah, lalai, menentang atau
membangkang perintah ataupun larangan Allah yakni dengan melakukan
suatu perbuatan yang dalam pandangan Allah tidaklah baik dan layak,
karena ia memiliki unsur merusak dan mafsadah maka ia dilarang atau
tidak melakukan dan meninggalkan suatu pekerjaan yang sifatnya wajib
(ditinggalkan) karena dibalik pelarangan itu terkandung kemaslahatan.
Dengan demikian, dosa itu bertentangan dan kontra dengan konsep
„ubûdiyyah (ketaatan dan kebaktian). 3

1
Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Baru,
(Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007), cetakan I, h. 201
2
Ibnu Manzur, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dar Beirut, 1388), jilid I, h. 28
3
Nina M. Arnando (Ed), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve,2005), h. 117

15
16

Sedangkan menurut terminologi, dosa adalah segala sesuatu yang


bertentangan dengan perintah Allah swt baik yang berkaitan dengan
melakukan sesuatu atau meninggalkannya.4 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy 5

(w. 1975) merumuskan dosa sebagai pelanggaran terhadap sesuatu


ketentuan Tuhan. Ketentuan Tuhan disini adalah ketentuan Tuhan yang
hukumnya wajib dikerjakan atau wajib ditinggalkan. Jadi bukan ketentuan
Tuhan yang hukumnya hanya sunnah, makruh, atau mubah.6
Dalam literatur Islam, dosa dibicarakan dalam fikih dan teologi. Dalam
Fikih, hukum suatu perbuatan biasanya dibagi ke dalam lima kategori,
yakni : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Menurut para ulama
fikih, tidak mengerjakan perbuatan yang wajib atau mengerjakan
perbuatan yang haram, berarti melakukan perbuatan yang menghasilkan
dosa. 7
Adapun dalam teologi Islam, persoalan dosa besar erat kaitannya
dengan iman menjadi persoalan pertama yang memunculkan berbagai
aliran teologi. Kaum Khawarij misalnya berkeyakinan bahwa dosa besar
bila dilakukan oleh seorang mukmin dan ia tidak bertaubat dari dosa
besarnya itu, menyebabkan ia jatuh ke dalam status kafir, yang kelak akan
kekal di neraka. Mayoritas umat dan ulama Islam dari dulu sampai
sekarang menolak pandangan khawarij tersebut, dan menilai mukmin yang
melakukan dosar besar itu sebagai mukmin, bukan kafir, kendati dengan
sebutan mukmin yang berdosa. Menurut golongan mayoritas ini, dosa

4
Al-Ghazâli, Rahasia Taubat, Terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), h. 61
5
Ulama Indonesia, ahli fikih dan ushul fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Beliau
berasal dari Lhoukseumawe
6
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam I,(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra,2001),
h. 468
7
Nina M. Arnando (Ed), Ensiklopedi Islam, h. 118
17

besar tidaklah menjatuhkan mukmin menjadi kafir, selama ia meyakini


keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad SAW. 8
Demikian halnya Islam menegaskan bahwa tidak ada seseorang yang
memiliki dosa, kecuali dosa atas perbuatannya sendiri. Kejatuhan Nabi
Adam kedalam dosa dan taubatnya diterima Tuhan, menunjukkan setiap
manusia memiliki potensi untuk bisa bertaubat dan konsisten dalam
ketaatan.
Adapun lafaz dosa dalam Al-Qur`an disebutkan dengan beberapa
ungkapan term yang berbeda-beda. Dan dari semua term tersebut memiliki
satu makna yakni dosa. Secara terperinci Sayyid Hasyim ar-Rasuli al-
Mahallati, mengemukakan bahwa dalam Al-Qur`an kata dosa disebut
beberapa kali dengan kalimat yang berbeda-beda. Setiap kata itu
menjelaskan macam-macam akibat dosa atau aneka ragam bentuk dosa.
Ada 17 kata yang disebutkan oleh Al-Qur`an mengenai dosa :
Dzanbun ( artinya akibat, karena setiap amal buruk
mempunyai akibatnya sebagai balasan, baik di dunia maupun di
akhirat. Kata ini muncul 35 kali dalam Al-Qur`an dengan berbagai
macam bentuk baik dalam majemuk/ jama‟ dan tunggal/mufrad.
Dalam bentuk majemuk yaitu dan dalam bentuk tunggal

2. Ma‟shiyah artinya pembangkangan atau keluar dari


perintah Tuhan. Kata ini menjelaskan bahwa manusia sudah keluar
dari batas abdi Tuhan („ubûdiyyah) jika melakukannya. Kata ini
disebut 33 kali dalam Al-Qur`an.

8
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2002), h. 263
18

3. Itsm artinya kealpaan dan tidak mendapatkan pahala. Jadi


pendosa sebenarnya orang yang alpa tapi menganggap dirinya sadar
atau pintar. Kata ini disebut 48 kali.
4. As- Sayyi`ah artinya pekerjaan jelek yan mengakibatkan
kesedihan, lawan kata hasanah yang berarti kebaikan dan
kebahagiaan. Disebutkan 156 kali di dalam Al-Qur`an. Kata Su` juga
berasal dari kata ini disebut 44 kali.
5. Jurm , arti harfiyyahnya memetik (melepaskan) buah dari
pohonnya, atau berarti rendah. Kata Jarîmah atau Jarâ`im berasal
dari kata ini. Jurm adalah perbuatan yang melepaskan atau
menjatuhkan manusia dari tujuan, proses penyempurnaan,
kebenaran, dan kebahagiaan. Kata ini disebut 61 kali dalam Al-
Qur`an.
6. Harâm , artinya larangan atau ketidak-bolehan. Pakaian ihram
adalah pakaian yang dikenakan oleh jama‟ah haji yang membuat
mereka terlarang untuk mengerjakan beberapa hal. Bulan haram
adalah bulan dimana umat Islam dilarang untuk berperang. Masjidil
Harâm adalah masjid yang memiliki kesucian dan penghormatan
khusus, sehingga kaum musyrikin tidak berhak untuk memasukinya.
Kata ini disebut sekitar 75 kali dalam Al-Qur`an. 9
7. Khathî`ah ), artinya dosa yang disengaja. Kadang-kadang
juga digunakan untuk dosa besar, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]:
81 dan QS. Al-Haqqah [69]: 37. Kata ini pada mulanya berarti
keadaan yang menimpa manusia setelah ia melakukan dosa atau
perasaan yang timbul akibat dosa tersebut, dan yang membuat ia
9
Sayyid Hasyim ar-Rasuli al-Mahallati, Akibat Dosa, Terj. Bahruddin Fannani,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 10
19

terlepas dari pertolongan dan yang menutup pintu masuk cahaya


hidayah ke kalbu manusia. Kata ini disebut 22 kali dalam Al-
Qur`an.10 Makna yang terkandung pada lafaz ini yaitu suatu
kesalahan baik yang disengaja atau karena lupa. 11
8. Fisq , pada asalnya berarti keluarnya butiran kurma dari
kulitnya. Dengan melakukan fisq, pendosa keluar dari ketaatan dan
pengabdian kepada Tuhan. Seperti pecahnya kulit kurma, pendosa
dengan perbuatannya ini memecahkan benteng perlindungan Tuhan,
sehingga ia akhirnya tidak dijaga sama sekali. Kata ini muncul 53
kali dalam Al-Qur`an.
9. Fasâd , artinya melewati batas keseimbangan. Akibatnya
kesusahan dan hilangnya potensi-potensi manusia. disebut 50 kali
dalam Al-Qur`an.
10. Fujur , berarti tersingkapnya tirai rasa malu, kehormatan dan
agama yang akan menyebabkan kehinaan. Kata ini mucul 6 kali
dalam Al-Qur`an.
11. Munkar , berasal dari Inkar yang berarti tidak kenal atau
ditolak, karena dosa ditolak oleh fitrah dan akal sehat. Akal dan
fitrah menganggapnya asing dan jelek. Kata ini disebut sebanyak 16
kali dalam Al-Qur`an.
12. Fâhisyah artinya perbuatan atau perkataan buruk yang
dalam keburukannya tidak ada keraguan lagi. Dalam beberapa hal
berarti pekerjaan yang sangat kotor, memalukan dan tabu. Disebut
24 kali dalam Al-Qur`an.

10
Muhammad Fû‟ad „Abd al-Bâqi, Al-Mu‟jam al- Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm,(Kairo: Dar Al-Hadis,2001) h. 339
11
Ibnu Manzur, Lisân al-„Arab, juz 5, h. 134-135
20

13. Khabth ,berarti tidak adanya keseimbangan ketika duduk dan


bangun. Menjelaskan bahwa dosa adalah sebuah gerakan yang tidak
seimbang, yang diiringi oleh kelimbungan dan kecondongan untuk
jatuh.
Syarr , perbuatan jelek yang seluruh manusia mempunyai rasa
tidak senang terhadapnya dan kebalikannya, khair, berarti pekerjaan
baik yang disukai oleh masyarakat. Dosa adalah tindakan yang
bertentangan dengan fitrah dan lubuk hati manusia yang paling
dalam. Kata ini sering sekali berhubungan dengan kesusahan dan
kesulitan. Tapi juga kadang-kadang berhubungan dengan dosa.
15. Lamam , artinya dekat dengan dosa. Juga berarti barang-
barang yang sedikit dan langka. Digunakan dalam penjelasan
tentang dosa-dosa kecil. Kata ini hanya disebut satu kali dalam QS.
An-Najm [53]: 32.
16. Wizr , berarti beban. Kebanyakan disebutkan perihal orang
yang menanggung atau memikul dosa orang lain. Wazir (perdana
menteri) adalah orang yang mempunyai beban dan tugas yang berat.
Pendosa adalah orang lalai yang memikulkan beban berat pada
pundaknya sendiri. Disebut 26 kali dalam Al-Qur`an.
17. Hints ( ), Pada asalnya berarti kecendrungan dan kemauan
seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan batil atau salah.
Kebanyakan disebut dalam dosa-dosa yang berkaitan dengan
pembatalan janji atau sumpah. Atau penyelewengan dan
21

pengkhianatan terhadap „ahd (janji). Kata ini disebut dua kali dalam
Al-Qur`an. 12
Rincian di atas tidak jauh berbeda dengan rincian Abu Ahmadi yang
menyatakan bahwa Al-Qur`an mengistilahkan perbuatan dosa yang
mengakibatkan turunnya siksaan Tuhan dengan istilah yang berbeda dan
bermacam-macam :
1. Khathî`ah (penyelewengan)
2. Dzanb (perbuatan salah)
3. Sayyi`ah (perbuatan jelek)
4. Itsm (perbuatan dosa)
5. Fusûq (fasik)
6. „Ishy (maksiat)
7. „Utuw (sombong)
8. Fasâd (perbuatan merusak).

Al-Qur`an menyebutkan semua istilah tersebut dengan pengertian yang


hampir bersamaan. Di samping itu, Al-Qur`an juga menerangkan siksaan-
siksaan yang akan menimpa pelaku dosa-dosa tersebut, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. 13

B. Macam-Macam Dosa

Dosa dalam ajaran Islam dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok


yaitu :
1. Dosa besar yang tidak terampuni
2. Dosa besar yang masih bisa diampuni

12
Sayyid Hasyim Ar-Rasuli Al-Mahallati, Akibat Dosa, Terj. Bahruddin Fannani,
h. 10-11
13
Abû Ahmadi, Dosa Dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 6-7
22

3. Dosa kecil yang terhapus karena rajin ibadah atau karena banyak
berbuat kebajikan.14

Menurut Ghazâli (w. 505) 15, bahwa dosa menurut sifat dasarnya dapat
dibagi atas tiga bagian, yaitu :
1. Yang berhubungan dengan sifat manusia dan terdiri atas empat sifat,
yaitu rubûbiyyah, syaithâniyah, bahîmiyah, dan subu‟iyah.
2. Yang berhubungan dengan objeknya dapat pula dibagi atas tiga yaitu
:
a) Dosa antara manusia dengan Allah
b) Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat dan lingkungan
c) Dosa yang berhubungan dengan diri manusia sendiri.
3. Dosa yang ditinjau dari segi bahaya dan mudaratnya terdiri pula atas
dua yaitu :
a) Dosa besar
b) Dosa kecil 16

Contoh dari perbuatan dosa bagian pertama adalah dari sifat-sifat


rubûbiyah (ketuhanan) manusia, antara lain adalah sifat sombong,
bermegah-megah, gila pujian, dan berlagak tuhan, seperti mengatakan: „‟
Akulah Tuhanmu Yang Maha Tinggi.‟‟ Dari sifat-sifat syaithâniyah
seperti sifat dengki, permusuhan, menyuruh berbuat keji, dan munkar,
serta mengajak kepada kesesatan dan bid‟ah. Dari sifat-sifat bahimiyah
seperti penyimpangan seksual, pencurian, memakan harta anak yatim dan
mengumpulkan harta untuk kepentingan hawa nafsu. Dan dari sifat

14
Hasbullâh Bakry, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: UI Pres, 1998), h. 29
15
Ulama asal Ghazalah Bandar Thus yang ahli pada berbagai bidang disiplin ilmu
dan banyak memberi sumbangan abgi perkembangan kemajuan manusia.
16
Al Ghazâli, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), h. 61
23

subu‟iyah seperti sifat marah, sadis, dan ingin menghancurkan orang


lain.17
Contoh dari perbuatan dosa pada bagian kedua antara lain :
a) Dosa antara manusia dan Allah seperti, meninggalkan shalat dan
puasa,
b) Dosa yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat dan lingkungan
seperti, meninggalkan zakat, membunuh orang, menyelewengkan
harta, mencela kehormatan, dan merebut hak orang lain.
c) Dosa yang berhubungan dengan diri manusia sendiri seperti, dosa
yang kedudukannya terletak antara manusia dengan Allah, asalkan
tidak berbentuk syirik, dan bisa diharapkan diampuni dan
dimaafkan.18

Adapun bagian ketiga, dosa ditinjau dari segi bahaya dan mudaratnya
yaitu dosa kecil dan dosa besar, para ulama berbeda pendapat tentang
definisi dan jumlahnya. Tentang definisi dosa besar dan dosa kecil, ada
yang mengatakan bahwa dosa besar adalah kesalahan besar terhadap Allah
karena melanggar aturan pokok yang diancam dengan hukuman berat
dunia dan akhirat, contohnya dosa syirik, zina, dan durhaka, kepada kedua
orangtua. Dan dosa kecil adalah kesalahan ringan terhadap Allah berupa
pelanggaran ringan mengenai hal-hal yang bukan pokok yang hanya
diancam dengan siksaan ringan. Contohnya ucapan kurang baik dan
melihat wanita dengan penuh syahwat. Bagi mu‟tazilah yang dikatakan
dosa besar ialah setiap perbuatan maksiat yang ada ancamannya dari Allah
dan dosa kecil setiap perbuatan yang tidak ada ancamannya. Sedangkan
bagi Ja‟far bin Mubasysyir yang dikatakan dosa besar itu ialah setiap

17
Al Ghazâli, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Baqir, h. 62
18
Al Ghazâli, Rahasia Taubat, terj. Muhammad Baqir, h . 63
24

orang yang melakukan perbuatan maksiat dengan sengaja adalah dosa


besar. 19
Di dalam Kitab Tauhid yang diterjemahkan oleh Agus Hasan Bashori,
dosa terbagi menjadi dosa besar dan dosa kecil 20 :
1. Dosa Besar (Kabîrah)
Yaitu setiap dosa yang mengharuskan adanya had21 di dunia atau
yang diancam oleh Allah denga neraka atau laknat atau murka Nya.
Adapula yang berpendapat, dosa besar adalah setiap maksiat yang
dilakukan seseorang dengan terang-terangan (berani) serta meremehkan
dosanya. Contoh dosa besar adalah sebagaimana disebutkan dalam
hadits Abû Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

“Telah menceritkan kepada kami Abdul „Azîz bin Abdillâh berkata,


telah mencertikan kepadaku Sulaiman bin Bilâl, dari Sauri bin Zaid
al-Midani dari Abî al-Ghaitsi dari Abû Hurairah radiyallâhu
19
Lutfi Ibrahim, Konsep Dosa Dalam Pandangan Islam, (Studia Islamika No.
13/1980), h. 16
20
Tim Ahli Tauhid, Kitâb Tauhîd. Terj. Agus Hasan Bashori,Cet. I,(Jakarta: Darul
Haq, 1998) h. 29-30
21
Had bentuk jamaknya adalah hudud, yaitu sangsi hukum atau hukuman yang
sudah ditentukan jenis dan ukurannya oleh syara‟, seperti rajam, cambuk 100 kali atau
potong tangan dan sebagainya. (pen.).
22
Abû „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟il Al-Bukhârî, Matn Al-Bukhârî, Juz 4
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Kitab Shahîh Bukhârî, Bab Qaulullâh Ta‟ala Innalladzîna
Ya`kulûna, No. 2766, h. 10
25

„anhu dari Nabi SAW, beliau bersabda: Jauhilah olehmu tujuh dosa
yang membinasakan. Mereka bertanya, “Apa itu?” Beliau
menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah kecuali benar, memakan riba, memakan
harta anak yatim, melarikan diri pada waktu peperangan, menuduh
berzina wanita yang menjaga kesucian dan beriman ” (HR. Al-
Bukhari) 23

2. Dosa Kecil (Shaghîrah)


Yaitu dosa yang tidak mempunyai had di dunia, juga tidak terkena
ancaman khusus di akhirat. Adapula yang berpendapat bahwa dosa
kecil adalah setiap kemaksiatan yang dilakukan karena alpa atau lalai
dan tidak henti-hentinya orang itu menyesali perbuatanya, sehingga
rasa kenikmatannya dengan maksiat tersebut terus memudar, Contoh
dosa kecil adalah apa yang diriwayatkan oleh Abû Hurairah
bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda :

“Telah menceritakan kepada kami Ishâq bin Mansûr ,telah


mengabarkan kepada kami Abû Hisyâm al-Makhzumi, telah
menceritakan kepada Wuhaib, telah menceritkan kepada kami
Suhail ibn Abî Shâlih, dari ayahnya, dari Abî Hurairah, dari Nabi
SAW bersabda: Dicatat atas bani Adam bagiannya dari zina, pasti
23
Muhammad Fû`ad „Abd al- Bâqi, Al Lu‟lu wal Marjân I, h. 28
24
Abû Husain Muslim bin al-Hajâj al-Qusyairî an-Naisyâbûrî, Matn Muslim, Juz 4,
Kitâb Shahîh Muslim, Bab Qadru Ibn Âdam Hazhahu Min Adz-Dzinâ wa Ghairuhu, No.
2657, h. 2047
26

dia mendapatkannya, tidak mungkin tidak; maka dua mata zinanya


adalah memandang, dua telinga zinanya adalah mendengar, lisan
zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dua
kaki zinanya adalah melangkah, dan hati zinanya adalah
menginginkan dan mendambakan, hal itu dibenarkan oleh kemaluan
atau didustakannya.” (HR. Muslim)

Adapun dalil pembagian dosa menjadi besar dan kecil tercantum dalam
firman Allah pada QS. An-Nisa` [4]: 31 :

        

  


“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-
kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu
ke tempat yang mulia (surga). “ (QS. An Nisa` [4]: 31)

Kemudian, pada QS. An-Najm [53]: 32 :

          

            

          


“ (yaitu) Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunanNya. dan Dia lebih
mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu
dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling
mengetahui tentang orang yang bertakwa “ (Q.S An Najm [53]:
32)
Al-Qurthubî mengutip pendapat Ibnu Abbâs yang mendefinisikan dosa
besar adalah setiap dosa yang diancam dengan neraka, murka, laknat atau
27

siksaan.25 Al-Dzâhabî mendefinisikan dosa besar, dalam bagian awal


kitabnya al-Kabâir : Dosa besar adalah apa yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya di dalam Al-Qur‟an dan as-Sunnah. Namun kemudian ia
menyimpulkan dan mendefinisikan ulang, bahwa dosa besar yaitu dosa
yang diancam dengan hukuman di dunia, seperti pembunuhan, zina dan
pencurian, atau ancaman di akhirat dengan siksa, atau murka, atau
pelakunya dilaknat melalui hadits Nabi.26

C. Akibat Perbuatan Dosa dan Cara Menghapusnya

Secara keagamaan, ilmu pengetahuan, dan eksperimen telah terbukti


bahwa perbuatan manusia yang baik atau yang buruk pasti mendatangkan
dampak, baik di dunia maupun akhirat. Perbuatan yang dilakukan manusia
bagaikan benih bunga, maka yang akan tumbuh adalah bunga. Dan jika
yang ditanam adalah ilalang, maka yang tumbuh pun adalah ilalang.
Dengan kata lain, setiap amal perbuatan adalah menimbulkan reaksi dan
pengaruh. Balasan atas amal perbuatan bisa diraih di dunia ataupun
akhirat, dengan catatan bahwa balasan di dunia akan lebih minim
dibanding dengan balasan akhirat. Siksa dan pahala atas suatu perbuatan
akan diperoleh manusia dalam bentuknya yang berbeda-beda. Berbagai
macam penderitaan terkadang dialami manusia di dunia ini. Adakalanya
penderitaan terjadi sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri dan
kadangkala muncul sebagai sebuah ujian baginya untuk melambungkan

25
Al-Qurthubî, Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an, Juz 5, (Kairo: Dâr al-Kutub al-
Mishriyyah, 1952), h. 158.
26
Syamsuddîn al-Dzahâbî, al-Kabâir, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 7
28

nilai kesempurnaan spiritual dirinya. Ini sebagaimana disebutkan dalam


Al-Qur‟an pada QS. Al- Baqarah [2]: 155 yang berbunyi 27 :

        

   

“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit


ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar ” (QS.
Al-Baqarah [2]: 155)

Dosa merupakan masalah penting dalam Islam, karena keduanya


menyangkut hubungan baik antara manusia dengan Allah, dengan
masyarakat dan lingkungannya serta bagi dirinya sendiri. Ketentraman,
kesejahteraan, dan kebahagiaan manusia banyak ditentukan oleh seberapa
jauh ia terhindar dari perbuatan dosa dan kesalahan, atau seberapa banyak
ketaatan dan kebaikan yang ia perbuat. Sebaliknya penderitaan,
kesengsaraan, dan kesedihan manusia ditentukan oleh seberapa banyak
dosa yang ia lakukan. Orang-orang yang berbuat dosa diancam Allah
dengan hukuman berat, baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya orang
yang berbuat taat dan kebaikan dijanjikan dan diberikan Allah pahala yang
besar, baik di dunia maupun di akhirat. 28
Adapun akibat dari perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia itu
sendiri di antaranya yaitu 29:

27
Muhsin Qiraati, Dosa Salah Siapa, Terj. Najib Husain al Idrus, (Depok: Qorina,
2003), h. 169
28
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 30-35
29
Muhsin Qiraati, Dosa Salah Siapa, Terj. Najib Husain al Idrus, h. 169- 170
29

a) Siksaan di dunia
Dijelaskan pada firman Allah SWT. QS. Al-Mâidah [5]: 49 :

         

           

           


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),
Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik. “ (Q.S Al-Mâidah [5]: 49)
Kemudian pada QS. As-Syûra [42]: 30 :

        



“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah


disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS.
As-Syûra [42]: 30)

b) Balasan dosa di akhirat

Allah SWT. berfirman pada QS. An-Naml [27]: 90:


30

          

 
“Dan barang siapa yang membawa kejahatan, Maka
disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kamu
dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu
kerjakan. “ (QS. An-Naml [27]: 90)

c) Terhapusnya perbuatan baik


Di antara dampak dosa adalah gugurnya amal baik,
maksudnya adalah apabila orang yang melakukan dosa juga
melakukan perbuatan baik, maka ia tidak akan mendapatkan
pahala atas perbuatan baiknya itu. Dalam Al-Qur`an,
pembahasan tentang terhapusnya amal kebaikan disebutkan
sebanyak 16 kali. Ayat-ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa
kekafiran, kemusyrikan, pendustaan ayat-ayat Allah,
pengingkaran hari kebangkitan, murtad, dan penentangan
terhadap Nabi merupakan tindakan yang menggugurkan amal
kebajikan. Salah satu firman Allah QS. Az-Zumar [39]: 65 yaitu :

         

   


“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada
(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan
(Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
Termasuk orang-orang yang merugi. “ (QS. Az-Zumar [39]: 65)

d) Kerasnya hati
Dijelaskan oleh firman Allah SWT. QS. An-Nahl [16]: 108 :
31

        

  


“Mereka Itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan
penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka Itulah
orang-orang yang lalai.” (QS. An-Nahl [16]: 108)

e) Menghapus nikmat

         

“ Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah


disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS.
Asy-Syurâ [42]: 30)

f) Tidak terkabulnya doa


Dijelaskan oleh firman Allah SWT. Pada QS. Al-A‟râf [7]:
55: 30

        

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara


yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas” (QS. Al-A‟râf [7]: 55)

Untuk membersihkan diri dari dosa, maka manusia harus bertaubat,


karena dengan bertaubat maka dosa-dosa akan dihapus dan diampuni oleh
Allah swt. Sebagaimana Rasulullah saw. berkata :

30
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, h. 170-172
32

31
)

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad Sa‟îd Ad-Dârimî berkata:


telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullâh ar-
Roqâsyiyu berkata: telah menceritakan kepada kamu Wuhaid bin
Khâlid berkata: Menceritkan kepada kami ma‟mar dari Abdul
Karîm,, dari Abî „Ubaidah bin Abdillâh, dari ayahnya, berkata :
Rasulullâh SAW bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosa sama
seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Mâjah)

Pada sebuah riwayat mengatakan bahwa Allah akan mengampuni


segala macam dosa, adapun riwayat tersebut yaitu :

31
Abû Abdullâh Muhammad bin Yazîd bin Abdullâh bin Majah al-Quzwainî, Juz 1,
Sunan Ibn Majah, No. 4250, h. 1419
32
Abû Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Mûsa bin al-Dhahhak al-Sulamî al-
Dharir al-Bughî al-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, (Beirut, Dar Ihya‟ al-Turats, tth), No. 3540,
Juz 5, h. 440
33

“Dari „Abdullâh bin Ishâq al-Jauharî al-Basrî berkata, dari Abû


„Âshim berkata dari Katsîr bin Fâid berkata dari Sa‟îd bin „Ubaid
berkata: aku mendengar dari Bakr bin „Abdillâh al-Mudzannî
berkata: dari Anas bin Malik, “Aku mendengar dari Rasulullâh SAW
bersabda: “Allah „azza wa jalla berfirman: “Hai Anak Adam,
Sesungguhnya selama engkau berdoa dan berharap hanya kepada
Ku, niscaya Aku mengampuni dosa-dosa yang telah engkau lakukan
dan Aku tidak peduli. Wahai Anak Adam! Seandainya dosa-dosamu
setinggi langit kemudian engkau minta ampun kepada Ku, niscaya
Aku mengampunimu dan Aku tidak peduli. Wahai Anak Adam! Jika
engkau datang kepada Ku dengan membawa dosa-dosa yang hampir
memenuhi bumi kemudian engkau bertemu dengan Ku dalam keadaan
tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang
kepadamu dengan memberikan ampunan sepenuh bumi.” (HR. At-
Tirmidzi) 33

Di dalam kitab At-Tadzkirah karya al- Qurthubî (w.681) menjelaskan


bahwa secara garis besar, dosa-dosa yang harus ditaubati itu bisa berupa
kekafiran atau lainnya. Bagi orang kafir, bertaubat artinya dia beriman
disertai penyesalan atas kekafiran yang telah lalu. Jadi, tidak sekedar
beriman saja. Bagi dia sekedar beriman belum bisa disebut bertaubat.
Adapun dosa-dosa selain kekafiran, di antaranya ada yang berupa
pelanggaran terhadap hak-hak Allah, dan ada pula pelanggaran terhadap
hak-hak selain Allah. bertaubat dari dosa-dosa yang berupa pelanggaran
terhadap hak-hak Allah, caranya cukup dengan meninggalkannya saja.
Tetapi, ada di antara dosa-dosa ini yang menurut syara‟ tidak cukup
dengan meninggalkannya saja. Sebagian harus ditambah dengan qadha`,

33
Syaikh Alabni berkata “Hadist ini hasan sebagaimana yang dikatakan oleh
at0Tirmidzi. Hadits ini mempunyai syawâhid (penguat ) dari hadits Abû Dzar. Diriwayatkan
oleh Ad-Dârimî (II/32) dan Ahmad (V/167,172) padanya ada rawi lemah. Akan tetapi hadits
ini memiliki banyak syawâhid, maka dihasankan oleh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits
ash-Shahîhah (No.127), bahkan dalam Kitâb Hidayatur Ruwât (no. 2276) ketika
mengomentari hadist ini beliau berkata “Hadist ini Hasan sebagaimana yang dikatan oleh At-
Tirmidzi, bahkan hadist ini shahih karena memiliki dua syawâhid dan yang lainnya.”
34

seperti shalat, puasa, dan sebagian lainnya harus ditambah dengan


kaffârah, seperti melanggar sumpah dan sebagainya. Adapun hak-hak
manusia, maka harus disampaikan kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Kalau mereka tidak ada, hendaklah bersedekah atas nama
mereka. Dan barangsiapa tidak bisa melepaskan diri dari dosa-dosa
terhadap sesama manusia dengan cara bersedekah atau mengembalikan
hak-hak mereka, karena miskin umpamanya, maka harapan satu-satunya
tinggal ampunan dari Allah dan anugerah-Nya semoga diberikan.34
Di antara tanda-tanda rahmat dan kelembutan Allah adalah nikmat
taubat dan penerimaan taubat dari sisi Allah SWT. Taubat berarti
meninggalkan dosa, kembali menuju Allah dan memohon ampunan
kepada-Nya. Dalam pandangan Islam , taubat memiliki beberapa syarat,
yaitu 35:
1. Meninggalkan dosa
2. Menyesali perbuatan
3. Bertekad tidak akan mengulangi dosa lagi
4. Menebus dosa yang telah dilakukan

Taubat adalah menanggalkan pakaian kotor dan mengenakan pakaian


bersih. Taubat adalah membersihkan diri dari noda (dosa) dan
membuatnya menjadi harum. Pada permulaan QS. Hud [11]: 3, Allah
SWT. berfirman :

34
Al-Qurthubî, At-Tadzirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H. Anshori
Umar Sitanggal,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 106-107
35
Muhsin Qiraati, Dosa Salah Siapa, Terj. Najib Husain al Idrus, h. 17
35

          

           

  

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan


bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian),
niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus)
kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan
memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan
(balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya
aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat. “(QS. Hud [11]: 3)

Berdasarkan ayat di atas permohonan ampun (istighfâr) dan taubat


dijelaskan dalam satu ayat menandakan bahwa dua perkara ini memiliki
perbedaan. Yang pertama berarti membersihkan jiwa dan yang kedua
berarti meraih kesempurnaan. Pertama-tama manusia harus menyucikan
diri dari dosa-dosa dan kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat Ilahi.
Benar, manusia harus menghilangkan dari dalam hatinya sesembahan
selain Allah dan memberikan tempat (dalam hatinya ) untuk sesembahan
yang benar, yaitu Allah SWT. Banyak ayat-ayat Al-Qur`an yang mengajak
manusia untuk memohon dan meminta ampunan dari Allah SWT. Al-
Qur`an lebih dari 80 kali berbicara tentang taubat dan penerimaannya.36
Jika seseorang bertaubat kepada Allah dan melakukan amal shalih,
maka kembali khasyyah (rasa takut) dan cahaya itu ke dalam hatinya.
Apabila ia terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa
itu di dalam hatinya sampai menutupi serta menguncinya. Maka ia tidak

36
Muhsin Qiraati, Dosa Salah Siapa, Terj. Najib Husain al Idrus, h. 180
36

lagi mengenal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran. Imam


Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah
SAW bersabda 37 :

        

“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka


terbentuklah titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat,
meninggalkan dan beristighfar maka mengkilap hatinya. Dan jika
menambah (dosa) maka bertambahlah (bintik hitamnya) sampai
menutupi hatinya. Itulah “rain” yang disebut oleh Allah dalam Al-
Qur`an : “ sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutupi hati mereka38.” (HR. Ahmad, II/297)

Sedangkan dalam firman Allah SWT. mengatakan tentang penghapusan


dosa bagi manusia,39 :

       

   

“ Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar


akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar
akan Kami beri mereka Balasan yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan.” (QS. Al-Ankabût [29]: 7)

37
Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitâb Tauhid Terj. Agus Hasan Bashori, Cet. 1, h. 37
38
(Q.S Al-Muthaffifin [83]: 14)
39
Ir. Akmaldin Noor,dkk, Al-Qur‟an Tematis Allah SWT dan Kepercayaan
Manusia, (Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010), h. 166-167
37

         

         

    

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan


amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka
Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan
mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan
berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Al-Mâidah [5]: 93)

        


“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan
memohon ampun kepada-Nya ?. dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Mâidah [5]: 74)

Dari beberapa ayat tentang penghapusan dosa di atas, dapat


disimpulkan bahwa Allah akan memberikan pengampunan kepada hamba-
Nya yang bersungguh-sungguh dalam taubatnya. Dan pada ayat terakhir
Allah mengajak manusia untuk bertaubat (memohon ampun kepada Allah)
dan beristighfar kepada-Nya. Allah berusaha membangkitkan semangat
manusia dengan cara menyebutkan bahwa Dia adalah Tuhan yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Barangkali, dengan cara seperti ini
manusia akan sadar dan kembali ke jalan yang benar, membersihkan jiwa
mereka dengan bertaubat dan mencapai kesempurnaan sebagai manusia
melalui taubat yang sebenar-benarnya (nashûhah).40 Al-Qurthubî juga

40
Muhsin Qiraati, Dosa Salah Siapa: Terj. Najib Husain Al Idrus, h.182
38

mengutip pendapat Abu Bakar Al-Daqqaq Al-Mashri, bahwa at-taubah


an- nashûhah adalah mengembalikan kezhaliman, meminta halal dalam
pertikaian, dan selalu dalam ketaatan.41

41
Al-Qurthubî, Al- Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, Cet. II, h. 18,
BAB III
PROFIL AL-QURTHUBÎ DAN KITAB TAFSIRNYA
A. Biografi Al-Qurthubî

1. Riwayat Hidup Al-Qurthubî


Al-Qurthubî memiliki nama lengkap Abû „Abdillâh Muhammad
bin Ahmad al-Anshârî bin Abû Bakr bin Farh al-Andalûsî al-Malikî
al-Qurthubî. Seorang ahli tafsir terkemuka, dan ahli ibadah yang saleh
kepribadiannya, berasal dari Cordova.1 Lahir pada tahun 580 H/1173
M dan wafat 681 H/1273 M.2 Beliau lahir di lingkungan petani di
Cordova pada masa kekuasaan Bani Muwahhidun.3 Al-Qurthubî
hidup di tengah keluarga yang berasal dari negeri Andalusia, dan
berkaitan erat dengan bumi negeri tercintanya itu. Ayahandanya
benar-benar memperhatikan pertumbuhannya, dan mengajarinya
segala macam ilmu keislaman yang terkenal di negerinya pada
masanya, tanpa kecuali. Sebagai bukti atas keragaman dan keluasan
ilmu yang dipelajari al-Qurthubî, ialah penafsirannya terhadap Al-
Qur`an, yang memerlukan pengetahun luas dalam berbagai disiplin
ilmu Islam dan Arab.4
Al-Qurthubî dari kecilnya pribadi yang sangat suka belajar. Beliau
mempelajari banyak disiplin ilmu seperti ilmu bahasa dan ilmu Al-
Qur`an, disamping itu beliau belajar sampai beliau menetap di Mesir,
sehingga beliau menjadi seseorang yang memiliki wawasan yang luas

1
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H.
Anshori Umar Sitanggal,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 1
2
Sayyid Muhammad Alî Iyazî, al Mufassirûn: Hayâtuhum wa
Manhajuhum,(Teheran: Mu‟assasah al-Thiba‟ah wa al-Nasyr, 1414 H), h. 408
3
Faizah Ali Syibromalisi , Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah ,2011), h. 19-20
4
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H.
Anshori Umar Sitanggal, h. 1

39
40

dalam bidang fikih, nahwu, qira‟at, balaghah, ilmu Al-Qur`an, dan


bahasa. Di Mesir beliau berguru kepada Ibnu al-Jumaizî Alî bin
Hibatullâh dan Ahsan al-Bakrî.5
Al-Qurthubî merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih
dan ulama yang sudah mencapai tingkatan ma‟rifatullâh. Dia sangat
zuhud terhadap kehidupan dunia (tidak menyenanginya), bahkan
dirinya selalu disibukkan oleh urusan-urusan akhirat. Usianya
6
dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab.
Mengenai sosok al-Qurthubî, Syaikh Adz-Dzahabî menjelaskan “dia
adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam.
Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan
menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna
kepandaiaanya”. Beliau meninggal dunia di Mesir pada malam
senin,9 Syawal 671 H/1273 M, dikebumikan di Kota Bani Khushaib
(Al Meniya)7. Makam beliau berada di Al Meniya, sebelah timur dari
sungai Nil dan berbagai kalangan sering kali mengunjungi makam
beliau. Sehingga pada tahun 1971 M disana dibangun sebuah masjid
dengan mengabadikan nama beliau, masjid al-Qurthubî. Jika benar
pernyataan „Alî Iyazi bahwa al-Qurthubî lahir pada tahun 580 H/1184
H dan wafat pada tahun 681 H/1273 M, maka beliau hidup sampai
pada usia 89 tahun menurut kalender tahun masehi dan kurang lebih
91 tahun menurut kalender tahun hijriah.8

5
Sayyid Muhammad Alî Iyazî, al Mufassirîn: Hayâtuhum wa Manhajuhum, h. 409
6
Fathurrohman Ahmad dan Nashîrul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. xxi
7
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H.
Anshori Umar Sitanggal, h. 4
8
Faizah Ali Syibromalisi, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 20
41

2. Riwayat Pendidikan Al-Qurthubî


Jika kita perhatikan wawasan yang dimiliki al-Qurthubî , maka
kita dapati wawasan yang sangat tinggi nilainya. Sedemikian ini tentu
tidak muncul dalam waktu yang singkat. Dan semestinya juga
ditopang oleh faktor waktu dan tempat. Kehidupan intelektual al-
Qurthubî terbagi menjadi dua bagian pokok; pertama di Cordova
(Andalusia) dan kedua di Mesir.
a. Andalusia, di negeri ini al-Qurthubî terus-menerus mengikuti
halaqah keilmuan yang diadakan di masjid-masjid dan sekolah-
sekolah. Orang-orang Andalusia pada waktu itu telah membangun
sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan di berbagai kota
besar, dan juga perguruan-perguruan tinggi yang menjadi sumber
ilmu pengetahuan di Eropa yang tak tertandingi sekian lamanya.
Dari sumber-sumber ilmu itulah al-Qurthubî menimba
keilmuannya yang pertama.
b. Adapun tentang pendidikan yang beliau peroleh di Mesir, secara
umum al-Qurthubî telah pergi meninggalkan Andalusia setelah
berpindah-pindah ke berbagai kota di negeri ini menuju Mesir dan
tinggal di kota Iskandaria, yang merupakan pintu utama bagi para
pendatang dari arah utara ke Laut Tengah dan menuju Mesir. Al-
Qurthubî sering berpindah-pindah ke berbagai kota di Mesir. Dari
Iskadaria beliau menuju ke berbagai tempat wilayah dataran tinggi
negeri itu melewati Kairo. Beliau selalu belajar,9
Al-Qurthubî sangat gigih mencari ilmu pengetahuan sehingga
beliau bertemu denga para ulama diantaranya 10 ;

9
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H. Anshori
Umar Sitanggal, h. 2
10
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H. Anshori
Umar Sitanggal, h. 3-4
42

Andalusia ;
a. Abû Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Muhammad al-Qusay al-
Ma‟rûf bin Ibn Abî Hijjah (w. 643)
b. Abû Sulaiman Robi‟ bin Abd ar-Rohman bin Ahmad Asy‟arî (w.
632)
c. Abû Hasan bin Abdullâh bin Muhammad bin Yusuf Al-Anshorî al-
Qurthubî al-Malikî (w. 651)
d. Abû Muhammad Abdullâh bin Sulaiman bin Dawud bin Hauthillâh
al-Anshorî al-Andalusî (w. 621)
Mesir :
a. Abû Al-„Abbâs Dliya ad-Dîn Ahmad bin „Umar bin Ibrâhîm bin
„Umar Al-Anshorî Al-Qurthubî Al-Malikî Al-Faqih yang dikenal
dengan Ibn Muzayyin (w. 656)
b. Abû Muhammad Rosyid ad-Dîn „Abdul Wahhab bin Dzafir (w.
648)
c. Abû Muhammad Abdul Mu‟thy bin Mahmûd bin Abdul Mu‟thy
bin Abdul Khaliq Al-Khumî Al-Iskandarî Al-Malikî Al-Faqih Al-
Zahid (w. 638)
d. Abû „Alî Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin „Amruk Al-Bakhri Al-Qurthubî An-Naisaburî
Al-Damasyqusî (w. 606)
e. Abû Hasan „Alî bin Hibatullâh bin Salamatu Al-Khummî Al-
Mashirî Al-Syafi‟î dikenal dengan Ibnu Jumayzi (w. 648)

3. Karya Al-Qurthubî
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil karya al-Qurthubî
selain kitabnya yang berjudul Al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an ,
diantaranya adalah :
43

a. At-Tadzkirah fî Ahwâl Al-Mautâ wa Umûr Al-Âkhirah,


merupakan sebuah kitab yang masih terus dicetak hingga
sekarang.
b. At-Tidzkar fî Afdhâl Al-Adzkar, merupakan sebuah kitab yang
masih terus dicetak hingga sekarang.
c. Al-Asna fî Syarh Asmâ„illâh Al-Husnâ
d. Syarh At-Taqashshi
e. Al-I‟lâm bi Mâ fî Dîn An-Nashara min Al-Mafâsid wa Al-
Auhâm wa Izhâr Mahasin Din Al Islam
f. Qam‟u Al-Harsh bi Az-Zuhd wa Al-Qanâ‟ah
g. Risâlah fî Alqam Al-Hadîst
h. Al-Misbâh fî Al-Jam‟I Baina Al-Af‟âl wa Ash-Shahhah. Sebuah
kitab tentang bahasa arab merupakan hasil ringkasan al-
Qurthubî terhadap kitab Al-Af‟âl karya Abû Qâsim Alî bin
Ja‟far Al-Qaththa‟ dan kitab Ash-Shahhah karya Al-Jauhari.
Dalam kitab tafsirnya, al-Qurthubî juga telah menyebutkan
beberapa nama hasil karyanya, di antaranya :
i. Al-Muqtabas fî Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas
j. Al-Luma‟ fî Syarh Al-„Isyrinat An-Nabawiyyah11
k. At-Taqrîb li Kitab At-Tahmîd
l. Al-Aqhdiyah 12

4. Pengaruh Al-Qurthubî di Kalangan Ulama Islam


Terpengaruhnya al-Qurthubî oleh orang-orang sebelumnya bisa
diperhatikan dengan seksama melalui kitab tafsirnya sendiri bahwa

11
Fathurrohman Ahmad dan Nashîrul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. xix
12
Al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj. H.
Anshori Umar Sitanggal, h. 4
44

pemikiran al-Qurthubî telah terpengaruh oleh beberapa ulama yang


hidup sebelumnya, diantaranya adalah13 :
a. Ibnu „Athiyyah. Dia adalah Al Qadhi Abu Muhammad Abdil
Haqq bin Athiyyah, penulis kitab Al-Muharrar Al-Wajiz fî At-
Tafsîr. Al-Qurthubî telah mengambil banyak hal darinya, telah
terpengaruh olehnya, dan telah meriwayatkan darinya dalam
banyak bidang seperti tafsir bi al ma‟tsûr, qira‟at, lughah
(bahasa), nahwu, balaghah, fikih, hukum-hukum Islam dan lain
sebagainya.
b. Abû Ja‟far An-Nuhâs. Al-Qurthubî telah terpengaruh oleh Abû
Ja‟far An-Nuhâs, penulis kitab I‟rab Al-Qur`an dan kitab Ma‟âni
Al-Qur`an. Al-Qurthubî juga telah meriwayatkan banyak hal
darinya.
c. Al-Mawardî. Dia adalah Abû al-Hasan „Alî bin Muhammad al-
Mawardi, wafat pada tahun 450 H. Al-Qurthubî telah mengambil
banyak hal darinya, dan telah terpengaruh olehnya serta telah
meriwayatkan darinya.
d. Ath-Thabarî. Dia adalah Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr Ath-
Thabarî, penulis kitab Jami‟ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur`an, wafat
pada tahun 310 H. Al-Qurthubî telah mengambil banyak hal
darinya dan terpengaruh olehnya, terutama dalam bidang tafsir bi
al-ma`tsûr.
e. Abû Bakr bin Al-Arabî. Beliau adalah penulis kitab Ahkâm Al-
Qur`an, wafat pada tahun 543 H. Al-Qurthubî telah mengambil
banyak hal darinya, berdebat dengannya dan telah membantah
serangan-serangan (kritikan-kritikan) nya terhadap ahli fikih dan
ulama.

13
Fathurrohman Ahmad dan Nashîrul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. xix-xx
45

Sedangkan Para mufassir yang hidup setelah al-Qurthubî telah


terpengaruh oleh kitab tafsirnya. Mereka telah mengambil manfaat
serta belajar banyak hal darinya. Diantara mereka adalah :
a. Ibnu Katsîr. Beliau adalah Abû al-Fida‟ Ismâ‟il bin Amrû bin
Katsîr, wafat pada tahun 774 H. Dalam menulis kitab tafsirnya,
Ibnu Katsîr telah terpengaruh oleh al-Qurthubî. Beliau juga telah
meriwayatkan banyak perkataan dari al-Qurthubî tetapi secara
maknawi, yaitu hanya pengertiannya saja dan tidak persis dalam
teks aslinya. Akan tetapi dalam sebagian masalah, Ibnu Katsîr
mendebat dan mengomentari pendapat-pendapat al-Qurthubî.
b. Abû Hayyan al-Andalusî al-Gharnathi dalam kitab tafsirnya yang
berjudul Al-Bahr Al-Muhîth, wafat pada tahun 754 H.
c. Asy-Syaukanî. Beliau adalah al-Qadhî al-Allamah Muhammad
bin Alî bin Muhammad Asy-Syaukanî, wafat pada tahun 1255 H.
Dia telah belajar dari al-Qurthubî serta telah meriwayatkan
darinya.

B. Profil Kitab Tafsir Al-Qurthubî

1. Latar belakang Penulisan Tafsir


Kitab tafsir dengan nama “Al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an “ ini
sering disebut dengan Tafsir Al-Qurthubî, hal ini dapat dipahami
karena tafsir ini adalah karya seseorang yang mempunyai nisbah
nama al-Qurthubî , dengan maksud bahwa ini adalah karya al-
Qurthubî. Judul lengkap dari kitab ini adalah “ ‟Al Jami‟ li Ahkâm Al-
Qur`an wa al-Mubayyin limâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Ay al-
Furqân‟‟ yang berarti kitab ini berisi himpunan hukum-hukum Al-
Qur`an dan penjelasan terhadap isi kandungannya dari al-Sunnah dan
46

Al-Qur`an. dalam muqaddimahnya penamaan kitab ini didahului


dengan kalimat Sammaitu (aku namakan).14
Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah
asli dari pengarangnya sendiri. Di dalam karya-karya al-Qurthubî
mempunyai metode yang sama dengan Ath-Thabarî, karena al-
Qurthubî sangat terpengaruh dengan penafsiran Ath-Thabarî. Akan
tetapi ia memiliki ciri khas dalam menafsirkan Al-Qur`an khususnya
dalam kitab tafsirnya ini.
Adapun latar belakang penulisan tafsir ini , berangkat dari
pencarian ilmu dari para ulama, seperti Abû al-Abbâs bin „Umar al-
Qurthubî Abû al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri,
kemudian al-Qurthubî diasumsikan berkeinginan kuat untuk
menyusun kitab tafsir yang bernuansa fikih dengan menampilkan
pendapat imam-imam madzhab fikih dan juga menampilkan hadis
sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang lain
sedikit sekali yang bernuansa fikih. Karena itulah al-Qurthubî
menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena
disamping menemukan tafsir mereka juga akan mendapatkan banyak
pandangan imam madzhab fikih, hadis-hadis, Rasulullah SAW.
maupun pandangan para ulama mengenai masalah yang dijelaskan.

2. Sumber Penafsiran
Kitab ini terdiri dari 10 jilid dan setiap jilid terdiri dari 2 juz,
sehingga jumlahnya ada 20 juz dan tafsir ini lengkap membahas 30
juz Al-Qur`an. Kitab tafsir ini termasuk kitab tafsir bi al-Ma‟tsûr
(periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan
hadis-hadis nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubî mengambil

14
Al-Qurthubî, Al- Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, (Kairo: Dâr Al-Kutub al-
Mishriyah, 1952) , Cet. II, h. 3
47

keputusan atau hasil dari ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau


mengemukakan pendapat para ulama.
Adapun sumber penafsirannya yaitu :
a. Dalam tafsir al-Qurthubî terlihat jelas beliau menggunakan
penafsiran ra`yu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an seperti
ketika beliau memberikan defenisi pada kalimat Qulûbuhum
Maradh pada ayat berikut15 :

“Dan maksud marad yaitu: pengibaratan untuk kerusakan


yang ada di dalam lingkungan mereka dan yang demikian
merupakan keraguan dan kemunafikan. Dan adapun
kepayahan dan kebohongan berarti adalah di dalam hati
mereka ada penyakit yang kosong (hampa) dari
pemeliharaan, taufiq, penjagaan, dan penguatan”
b. Di samping penggunaan ra`yu, al-Qurthubî juga tidak terlepas
dari penggunaan ma`tsûr dalam memberikan pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-Qur`an seperti ketika al-Qurthubî
menafsirkan QS. Al-Fâtihah. Sebelum memulai penafsirannya
beliau lebih awal mengemukakan fadhîlah dan nama Surah al-
fâtihah dengan mengutip beberapa hadis Nabi SAW seperti 16 :

15
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 192
16
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 128
48

“Diriwayatkan dari Tirmidzî dari Abî Ka‟ab berkata:


Rasulullah SAW. Bersabda bahwa apa yang diturunkan
dalam kitab Taurât dan Injîl seperti Al-Qur`an yaitu
terbagi antara aku dan hambaku dan bagi hambaku, dan
diriwayatkan Abû Muhammad „Abd al-Ghannî bin Sa‟îd
al-Hafîzh dari hadist yang diriwayatkan Abî Hurairah dan
Abî Sa‟îd al-Khudrî dan Nabi SAW bersabda: apabila
berkata seorang hamba maka menjawab:
benar wahai hambaku segala puji untuk-Ku”

3. Metode dan Sistematika Penafsiran


a. Metode / Manhaj
Menurut al-Farmawî, metode yang digunakan para mufassir
dalam menafsirkan Al-Qur`an dapat diklasifikasikan menjadi
empat:
Pertama, Metode Tahlîlî, artinya mufassir menjelaskan
seluruh aspek yang terkandung oleh ayat-ayat Al-Qur`an dan
mengungkapkan segenap perhatian yang dituju. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah mufassir dapat menemukan
pengertian dan pemahaman secara luas dari ayat-ayat Al-Qur`an
49

Kedua, Metode Ijmâlî, yaitu ayat-ayat Al-Qur`an dijelaskan


dengan pengertian- pengertian garis besarnya saja, dari awal surat
al-Fatihah sampai akhir ayat al-Nas.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat Al-
Qur`an berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh mufassir
sebelumnya, dengan membandingkannya.
Keempat, Metode Maudhû‟i, mufassir mengumpulkan ayat-
ayat Al-Qur`an yang satu bahasan (tema atau topik) tertentu
kemudian ditafsirkan.17

b. Sistematika
Seperti yang telah diketahui, dalam penulisan kitab tafsir
dikenal ada tiga sistematika penulisan18 :
Pertama, Mushafî, yaitu penyusunan kitab tafsir dengan
berpedoman pada tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
Mushaf, dimulai dari surat al-Fâtihah, al-Baqarah, sampai an-Nâs.
Kedua, Maudhû‟î, yaitu menafsirkan al-Qur‟an berdasarkan
topik-topik (Tema) tertentu dengan mengumpulkan Ayat-ayat
yang berhubungan dengan Tema tersebut kemudian ditafsirkan.
Ketiga, Nuzulî, yaitu menafsirkan Al-Qur‟an berdasarkan
kronologis turunnya surat-surat/ayat-ayat Al-Qur‟an, contoh
penafsir yang memakai sistematika ini adalah: Muhammad Izzah
Darwazah dengan judul kitab al-Tasir al-Hadîts.
Al-Qurthubî menjelaskan sistematika penulisan yang
dipergunakan dalam tafsirnya antara lain:
1. Menjelaskan sebab turunnya ayat

17
Abdullah Fahim , Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 67
18
Abdullah Fahim , Studi Kitab Tafsir, h. 68
50

2. Menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta


menjelaskan tata bahasanya
3. Mengungkapkan periwayatan hadist,
4. Mengungkapkan lafadz-lafadz yang gharîb di dalam Al-
Qur`an
5. Memilah-milih perkataan fuqahâ (ahli fikih)
6. Mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.

Argumentasi-argumentasinya banyak dikuatkan dengan sya‟ir


arab, mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir pendahulunya
setelah menyaring dan mengomentarinya, seperti Ibnu Jarîr, Ibnu
„Athiya, Ibnu al-„Arabî, Ilya al-Harsis, Al-Jasshash. Al-Qurthubî
juga dalam metode penafsirannya mengikuti kisah-kisah ahli
tafsir, riwayat-riwayat ahli sejarah dan periwayat-periwayat
isrâiliyyat, sekalipun banyak juga mengambil dari sisi-sisi itu
dalam tafsirnya. Dan ia juga menantang pendapat-pendapat
filosof, mu‟tazilah, dan sufi serta aliran-alirannnya.

4. Penyajian Penafsiran
Langkah yang dilakukan oleh al-Qurthubî dalam menafsirkan Al-
Qur`an bisa dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a. Memilah-milah beberapa ayat Al-Qur`an misalnya dalam satu
surah ayatnya dibagi menjadi beberapa bagian.
b. Dalam satu ayat dipenggal menjadi beberapa kata, dan setelah
itu penulis memberikan pembahasan secara rinci dengan
memberikan penjabaran kosa kata, aspek gramatikal, aspek

qirâ`ah.
51

c. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dan hadits-hadits


dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
d. Menyebutkan asbâb al-Nuzûl dari ayat yang dibahas.
e. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai
alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan
pokok bahasan.
f. Menolak pendapat yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran
Islam.
g. Mendiskusikan pendapat-pendapat ulama dengan argumentasi
masing-masing, setelah itu melakukan tarjîh dan mengambil
pendapat yang dianggap paling benar.19

5. Corak Penafsiran
Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubî ke dalam
tafsir yang bercorak Fikih, sehingga sering disebut sebagai tafsir
ahkâm. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an lebih banyak
dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Corak tafsir al-Qurtubî lebih menonjol ke pemikiran fikihnya,
untuk mengawali tafsinya al-Qurtubî sengaja mencari kepada
pemahaman lughowî. Dari makna lughowî kemudian dia menuju
makna teknis (syar‟î.) Pola semacam ini jelas cara-cara yang lazim di
terapkan oleh para ahli fikih guna menemukan istinbâth hukum yang
sah. Dan dapat di terima oleh semua pihak, kalau tidak secara
aklamasi, paling tidak keputusan hukum yang di hasilkannya diterima
oleh mayoritas umat, karena argumen yang di jadikan alasan cukup
rasional dan di dukung oleh pemahaman lughowî yang jelas dan valid.

19
Abdullah Fahim , Studi Kitab Tafsir, h. 69
52

Menonjolnya corak fikih dalam tafsir al-Qurtubî itu bukanlah


suatu yang aneh karena tafsirnya memang dari awal berjudul al- Jâmi‟
li Ahkâm al-Qur‟an (menghimpun hukum fikih dari ayat-ayat Al-
Qur‟an). Namun konsep-konsep fikih yang di tonjolkannya terkesan
netral, tidak fanatik terhadap madzhab Maliki yang di anutnya.20
Contoh lain dimana al-Qurthubî memberikan penjelasan panjang
lebar mengenai persoalan-persoalan fikih dapat ditemukan ketika ia
membahas ayat QS. Al-Baqarah [2]: 43 sebagai berikut :

      


“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'. “ 21

Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara


pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. Ia mendiskusikan
berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam
shalat. Diantara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik,
dan Ashab al-Ra‟y. Dalam masalah ini, al-Qurthubî berbeda pendapat
dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:22

“ Anak kecil boleh menjadi Imam jika ia memiliki bacaan yang


baik ”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran diatas, di satu sisi
menggambarkan betapa al-Qurthubî banyak mendiskusikan
persoalan-persoalan hukum yang menjadikan tafsir ini termasuk

20
Nashrudin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), h. 417-419
21
Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah
kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.
22
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 30
53

ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari


contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurthubî yang
bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh
dengan pendapat Imam mazhabnya.23

6. Karakteristik Tafsir
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk
dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurthubî
dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:

“Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua


perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan
berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa
diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada
orang yang mengatakannya” 24

Dari pernyataan di atas dapat dipahami, bahwa karakteristik dari


tafsir al-Qurthubî yaitu menjelaskan penafsirannya dengan
memaparkan riwayat-riwayat yang sanadnya tersambung jelas hingga
ke perawi pertamanya. Sehingga bisa dipastikan bahwa kualitas
riwayat tersebut benar.

23
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 31
24
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 6
54

7. Pendekatan Tafsir
Metode pendekatan adalah metode penyusunan yang digunakan
25
untuk membahas suatu masalah . Al-Qurthubî dalam tafsirnya juga
menggunakan beberapa pendekatan dalam memahami ayat-ayat Al-
Qur`an seperti :
a) Pendekatan Syar‟i (Fikih)
Pendekatan ini berusaha mengkaji Al-Qur`an dengan
mengeluarkan hukum-hukum Islam produk istinbâth yang
diyakini, hukum tersebut secara bertahap digali hingga sampailah
pada era perhatian terhadap produk istinbâth.26
b) Pendekatan Linguistik (Bahasa)
Pendekatan linguistik adalah pendekatan yang lebih cenderung
mengandalkan kebahasaan, dalam pendekatan ini di tekankan
27
pentingnya bahasa dalam memahami ayat-ayat Al-Qur`an ,
pendekatan ini sangat banyak digunakan oleh beliau dalam
memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur`an seperti
ketika menafsirkan ayat berikut 28:

25
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Cet I; Yogyakarta: Teras, 2005),
h. 138
26
M. Alfatih Suryadilaga , Metodologi Ilmu Tafsir , h. 141
27
M. Alfatih Suryadilaga , Metodologi Ilmu Tafsir , h. 143
28
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 143
55

“ (Tunjukkan kami jalan yang lurus [Al-Fâtihah : 6])

(Tunjukkanlah kami) yaitu permohonan dan keinginan


dari seorang hamba kepada Tuhan, artinya : tunjukkanlah
kami kepada jalan yang lurus dan bimbinglah kami ke jalan
lurus itu, dan tunjukkanlah kami jalan yang Engkau beri
petunjuk sehingga kami sampai kepada kenikmatan
beribadah dan dekat denganmu.

jalan yang lurus yaitu Agama Allah yang


tidak akan diterima dari seorang hamba selain (mengikuti)
agama Allah (islam)
Dan berkata Âshim al-Ahwâl dari Abî al-„Âliyah,

adalah Rasulullah SAW. para sahabat


dan pengikutnya.

8. Tehnik Interpretasi
a) Interpretasi Sosio-Historis
Interpretasi ini menekankan pentingnya memahami
kondisi aktual ketika Al-Qur`an diturunkan29 hal ini berpijak
bahwa pada suatu landasan faktual bahwa terdapat ayat-ayat
Al-Qur`a yang diturunkan berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa atau kasus-kasus tertentu sebagai contoh di sini
dapat dikemukakan tentang penginterpretasian kata al-
Tahlukah pada QS. Al-Baqarah[2]: 195 ayat berikut:

29
M. Alfatih Suryadilaga , Metodologi Ilmu Tafsir , h. 143
56

         

     


“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-
Baqarah[2]: 195)

Menjelang turunnya ayat diatas ada suatu kasus di mana


seorang sahabat membagi-bagi harta perbekalan
perangnya kepada sahabat lainnya hingga habis, dengan
demikian maka yang dimaksud dengan al-Tahlukah dalam
ayat ini adalah membiarkan diri terpuruk dalam kesengsaraan
dan kelaparan.30
b) Interpretasi Kultural
Untuk dapat memahami Al-Qur`an dengan baik harus
memanfaatkan konsep pengetahuan yang mapan, penggunaan
pengetahuan inilah yang disebut dengan tehnik interpretasi
kultural, penggunaan tehnik ini beracu pada asumsi bahwa
pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Al-Qur`an
tapi justru dimaksudkan mendukung kebenaran Al-Qur`an.31
Penafsiran Al-Qur`an melalui tehnik ini sesungguhnya dapat
ditemukan dalam tradisi akademik para sahabat sebagaimana
yang dijelaskan al-Qurthubî dalam tafsirnya ketika
menafsirkan ayat berikut :

30
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 337
31
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi Epistimologis
Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu (Orasi pengukuhan Guru Besar
IAIN Alauddin, 1999), h. 35
57

         ...

“...Janganlah kamu membunuh dirimu 32; Sesungguhnya


Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-
Nisâ [4]: 29)
Menurut riwayat yang ditakhrij Abû Dâud, Amrû bin „Ash
pernah berdalil dengan ayat ini ketika ia berpendapat tidak
wajib mandi junub dengan air yang sangat dingin karena takut
membahayakan kehidupan, peristiwa ini terjadi pada perang
Zat al-Salasil dan ini pun ditakrirkan oleh Rasulullah SAW.
ketika beliau mendengar laporan kejadian itu, beliau hanya
tersenyum sepatah kata pun tidak memberikan komentarnya.33

c) Interpretasi Linguistik (bahasa)


Pada tehnik ini, ayat Al-Qur`an ditafsirkan dengan
menggunakan kaidah-kaidah bahasa baik dari segi etimologis,
leksikal, maupun gramatikal.34 Penggunaan teknik ini dengan
dasar bahwasanya Al-Qur‟an diturunkan dalam berbahasa arab
sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur`an QS. Al-Ra‟d
[13]: 37 :

        

          

32
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.
33
Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 137
34
Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi Epistimologis
Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu, h. 34
58

“Dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu


sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab 35. dan
seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah
datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada
pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”
QS. Al-Ra‟d [13]: 37
Al-Qurthubî dalam tafsirnya juga banyak menggunakan
tehnik ini sebagai salah satu langkah dalam memahami ayat-
ayat Al-Qur`an, seperti ketika beliau menafsirkan QS. Al-
Baqarah [2]: 3 berikut :

       


Mereka yang beriman 36 kepada yang ghaib 37, yang
“ (yaitu)
mendirikan shalat 38, dan menafkahkan sebahagian rezki 39
yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 3)

35
Keistimewaan bahasa Arab itu antara lain Ialah: 1. sejak zaman dahulu kala
hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2. bahasa Arab adalah
bahasa yang lengkap dan Luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan. 3.
bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang Amat Luas
sehingga dapat mencapai 3000 bentuk peubahan, yang demikian tak terdapat dalam bahasa
lain.
36
Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan
penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh
iman itu.
37
Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada
yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap
oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah,
malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
38
Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah
dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk
membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah
menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-
adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca
dan sebagainya.
39
Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah
memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang
disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum
kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
59

“Firman Allah berada dalam bentuk khafd yang


mengikut pada “orang-orang yang bertaqwa” dan boleh
rafa‟ untuk memutuskan yang maknanya “mereka orang-
orang yang”, dan boleh dalam nasb untuk menunjukkan
pujian. Dan Firman Allah artinya orang-orang
yang benar, dan berimankepada kebenaran, dan firman
Allah sesuatu yang tersembunyi dalam perkatan
orang arab: segala sesuatu tersembunyi atasmu. Dan
mendirikan shalat dan pelaksanaannya dengan rukun-
rukunnya, sunnah-sunnahnya, cara-caranya di dalam waktu-
waktunya”

C. Keistimewaan Kitab Tafsir Al-Qurthubî

Tafsir Al-Qurthubî dianggap sebagai sebuah ensiklopedi besar yang

memuat banyak ilmu. Diantara keistimewaan yang dimilikinya adalah:

1. Memuat hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an Al-Karîm,


dengan pembahasan yang luas.
2. Hadist-hadist yang ada di dalamnya di-takhrij-nya dan pada
umumnya disandarkan langsung kepada orang yang
meriwayatkannya.
60

3. Al-Qurthubî telah berusaha agar tidak menyebutkan banyak cerita


israiliyyat dan hadist maudhû‟ (palsu), tetapi sayangnya ada
sejumlah kesalahan kecil (dalam kaitannya dengan penyebutan
cerita israiliyyat dan hadist palsu ini) yang telah dilewatinya tanpa
memberikan satu komentar pun.
4. Selain itu, ketika menyebutkan sebagian cerita israiliyyat dan
hadist maudhû‟ (palsu) yang menodai kesucian para malaikat dan
para nabi atau dapat membahayakan akidah seseorang, maka al-
Qurthubî akan menyatakan bahwa cerita atau hadist tersebut batil,
atau akan menjelaskan bahwa statusnya dha‟îf (lemah).40

40
Al-Qurthubî , Tafsir Al-Qurthubî Terj. Faturrahman dkk, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. xx-xxi
BAB IV

ANALISIS LAFAZ DZANBUN, KHATHÎ’AH, ITSMUN, JUNÂH, DAN


JURMUN DALAM TAFSIR AL-QURTHUBÎ

A. Pengertian Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun

Dzanbun
Kata dzanbun di dalam Al-Qur`an disebut 39 kali, 11
kali di antaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad), misalnya
di dalam QS. As-Syu‟arâ [26]: 14, QS. Al-Mu`min [40]: 3 dan 55,
QS. At-Takwîr [81]: 8-9, QS. Yûsuf 12/29, 32, 91, 97 .
Selebihnya, disebutkan dalam bentuk jamak seperti pada QS. Âli
Imrân [3]: 11,16,31,93,135, dan 147 serta QS. Al-Mâidah [5]: 18
dan 49, QS. Al-Qashâsh [28]: 8, QS. Al-Hâqqah [69]: 9,37, dan
QS. Al-„Alaq [96]: 16, QS. Al-Ahzâb [33]: 5, QS. Al-Ankabût
[29]: 12.1
Kata dzanbun berasal dari kata dzanaba ( ) yang
pada mulanya berarti 2 :
 Akhir dari sesuatu atau sesuatu yang diikut. Dari kata ini
terbentuklah beberapa kata lain yang memiliki arti yang
beraneka ragam. Misalnya, ekor binatang disebut dzanaba
( ). Disebut demikian karena ekornya merupakan akhir dari
keseluruhan badannya dan selalu ikut kemana saja binatang itu
pergi. Seseorang yang mengikuti orang lain disebut al-

1
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Spiritualitas dan Akhlak:
Tafsir Al-Qur`an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), Cet. I, h.
153-154
2
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur`an: Kajian Kosakata dan Tafsir, (Jakarta:
Yayasan Bimantara, 2002), h. 420-421

61
62

madzânib ( ) karena ia datang terakhir dan mengikuti


teman-temannya.
 Kata itu juga berarti “saluran air” karena airnya mengikuti
saluran air tersebut.

Bisa disimpulkan dari pula bahwa istilah “dosa” disebut


dengan dzanbun ( ) karena dosa itu akibat dari suatu
perbuatan yang melanggar ajaran agama dan akan
mengikuti/menyertai pelakunya hingga hari kiamat.
Ar-Raghîb Al-Ashfahânî, pakar bahasa Al-Qur`an,
mendefiniskan dosa (dzanbun) dengan “setiap perbuatan yang
mengantar pelakunya menderita karena akibatnya”. Ath-
Thabathaba‟i memandang azab atau siksa Tuhan yang ditanggung
oleh seseorang yang disebabkan karena dosa-dosanya
sebagaimana dalam firman Allah SWT. QS. Al-Anfâl [8]: 52 :

          

        

“(keadaan mereka) Serupa dengan Keadaan Fir'aun dan


pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya.
mereka mengingkari ayat-ayat Allah, Maka Allah menyiksa
mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha
kuat lagi Amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfâl [8]: 52)
Akan tetapi, mayoritas ahli tafsir mendefinisikannya sebagai
sesuatu yang tidak baik atau jahat, yang diakibatkan oleh
perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan Allah.

Al-Qur`an memberi petunjuk bahwa di antara perbuatan-


perbuatan yang dapat menimbulkan dosa ialah mengingkari ayat-
63

ayat Allah yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul-Nya


tercantum pada QS. Âli Imrân [3]: 11 :

         

             



“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu 3.


Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.” (QS. Âli Imrân [3]: 11)
Melakukan perbuatan keji, seperti zina, mencuri, makan riba,
dan lain-lain (QS. Âli Imrân [3]: 135), tindakan melampaui batas
aturan yang telah ditetapkan Allah (QS. Âli Imrân [3]:147),
mencampurkan yang baik dan buruk (QS. At-Taubah [9]: 102),
berlaku dzalim terhadap orang lain dan diri sendiri (QS. Al-
Mu`min [40]: 2), dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan
(QS. Yûsuf [12]: 97).

Al-Qur`an memperingatkan bahwa setiap perbuatan dosa


diancam dengan hukuman yang diterima di dunia seperti
ditimpakan musibah (QS. Al-Mâidah [5]: 49) dan yang diterima
di akhirat seperti azab yang pedih (QS. Al-Anfâl [8]: 54), atau
neraka (QS.Âli Imrân [3]: 16). Dosa-dosa yang dilakukan
seseorang dapat dihapuskan jika ia menyadari dan bertaubat dan

3
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian
yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
64

ada juga yang diampuni Allah (QS. Ash-Shaff [61]: 12) karena
amal-amal baik yang dilakukannya.4

        

        

“Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan


memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang
baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang
besar.”(QS. Ash-Shaff [61]: 12)

2. Khathî’ah ( )
Kata Khathî‟ah ( ) diambil dari kata khatha`a- yakhtha`u
( ), berakar dari huruf kha ( ), tha ( ), dan hamzah
( ), yang mengandung makna kesalahan, dan kedurhakaan. Kata
Khâthi‟ah digunakan untuk menunjuk kepada seseorang yang
telah mengetahui suatu larangan dari Tuhan, namun tetap
melakukannya. ia sejak semula bermaksud buruk dan tidak sedikit
pun memiliki itikad baik. Pelakunya disebut khâthi` ( ), yang
oleh Ahmad Warson Munawwir diterjemahkan sebagai al
mudznib ( ), yakni orang yang berbuat dosa.5

Kata Khathî‟ah ( ) ditemukan hanya dalam dua kali


didalam Al-Qur`an. Pertama, pada QS. Al-Hâqqah [69]: 9, ayat
ini berbicara tentang Fir‟aun dan penduduk negeri yang
dijungkirbalikkan oleh Allah karena kesalahan mereka yang

4
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata,(Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 185-186
5
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 471
65

keterlaluan. Kedua, pada QS. Al-„Alaq [96]: 15-16. Ayat ini


berbicara tentang Abû Jahl.6

Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr, menjelaskan bahwa Fir‟aun


ialah gelar panggilan bagi raja-raja dari Mesir di zaman purbakala.
Akan tetapi, yang terkenal diantara mereka ialah Fir‟aun yang
dihadapi oleh Nabi Musa dan saudaranya, Nabi Harun. Adalah
suatu keberanian luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada
Musa di dalam menghadapi seorang raja zaman purbakala yang
mempunyai kepercayaan serta menanamkan kepercayaan itu pula
kepada rakyatnya bahwa ia adalah Tuhan. Yang dimaksud dengan
(orang-orang yang sebelumnya) pada ayat pertama
ialah raja Namruz yang ditantang keras oleh Nabi Ibrahim.
Adapun yang dimaksud dengan “ (penduduk
negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar) ialah
kaum yang didatangi oleh Nabi Lûth di negeri-negeri Sodom dan
Gomoroh, dua negeri berdekatan yang telah dijangkiti oleh suatu
penyakit yang amat keji, yaitu laki-laki menyetubuhi sesama laki-
laki (homoseksualitas). Negeri-negeri itu dijungkirbalikkan oleh
Tuhan karena jiwa penduduknya pun jungkir balik. Mereka lebih
menyukai dubur sesama laki-laki daripada farj perempuan. Di
dalam hal ini, mereka berbuat khathî‟ah ( ).7

M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya, menegaskan bahwa


Abu Jahl pada ayat kedua disebut sebagai khâthi` , bahkan
khathî‟ah ( ). Ini berimplikasi bahwa abû jahl sejak semula

6
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 471
7
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472
66

tidak memiliki itikad baik dan kedurhakaannya telah dilakukan


secara berulang-ulang, bahkan telah menjadi kebiasaannya. Inilah
yang kemudian merupakan sebab dikeluarkannya ancaman
tersebut, sekaligus yang mengakibatkan ia terseret dan tersiksa.8
Menurut Al-Marâghî, di dalam ayat tersebut jelas terkandung
ancaman serta peringatan bagi orang yang berbuat dosa, yakni
bahwa orang kafir tidak bisa terus-terusan dalam kebodohan,
ketakaburan, dan kedzaliman. Allah bersumpah, jika ia tidak
berhenti dari kesesatan dan tidak berhenti melarang orang shalat
atau mengabdi kepada Allah maka Aku (Allah) akan
menghukumnya dengan berbagai siksaan yang pedih, yaitu
dengan menarik ubun-ubunnya dan membakarnya sehingga
hangus kulitnya. Kedurhakaan dinisbahkan kepada ubun-ubun
atau pendurhaka sebagai pemilik ubun-ubun, sebab di dalam
ubun-ubun itulah sumber kebohongan dan ketakaburan. Dalam
kaitan itu, perlu dikemukakan pendapat M. Quraish Shihab
bahwa Allah SWT tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada
seseorang yang salah atau keliru yang sebetulnya bermaksud baik
bahkan Allah tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada seseorang
yang hanya sekali atau dua kali melakukan dosa. 9

3. Itsmun ( )

Kata ini tersusun dari huruf alif, sa‟, dan mim menunjukkan
makna (asal) dan (lambat, lama, dan akhir). Oleh
sebab itu itsmun bisa berarti jauh atau lambat dari kebaikan atau

8
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472
9
M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472
67

mengakhirkan kebaikan.10 Dalam kamus Lisân al-„Arab


dinyatakan bahwa itsmun adalah melakukan sesuatu yang tidak
halal. Sedangkan bentuk turunan dari kata ini adalah yang
berati bertaubat dari dosa dan beristighfar, bermakna jatuh
dalam dosa; berarti balasan dari dosa yakni siksa. 11
Menurut Ar-Raghîb al-Ashfihânî, itsmun adalah nama
perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala.
Dengan kata lain, itsmun adalah sebutan bagi tindakan yang
menghambat terwujudnya kebaikan.12 Itsmun secara bahasa juga
bermakna at-taqsîr (memendekkan). Oleh sebab itu mengapa
khamr disebut sebagai itsmun, karena sedikitnya minum khamr
13
akal bisa hilang (memendekkan kerja akal). Sehingga tidak
heran jika sejumlah kata itsmun di dalam Al-Qur`an terlihat
digunakan untuk menyebutkan pelanggaran yang memiliki efek
negatif dalam kehidupan seseorang atau masyarakat.14
Dari definisi bahasa ini ditemukan cakupan wilayah makna
kata itsmun yakni perbuatan yang jauh dari pahala, menghambat
datangnya kebaikan dan memiliki efek negatif. Lafaz itsmun
dihubungkan dengan sesuatu yang menggelisahkan hati, malu
dilihat orang lain dan memiliki efek negatif.

10
Abû al-Husain Ahmad Ibn Fâris Zakariyya, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah (Kairo:
Dar al Hadîs, 2001), h. 288
11
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dâr al-Hadis, 2001), juz 1, h. 79
12
Ar-Raghîb Al-Ashfihâni, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, (Beirut: Dâr al-
Fikr, t.th), h. 151-152
13
Abî Hilal Al-„Askarî, Mu‟jam al-Furûq al-Lugawiyyah, (Kairo: Dar al-Hadîs,
1990), h. 48
14
Ar-Raghîb Al-Ashfihâni, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, h. 23
68

Kata ini di dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 48 kali dengan


ragam bentuk turunan. Bentuk yang paling sering disebut adalah
itsmun ( ) yakni sebanyak 35 kali. Sisanya dalam bentuk ( ),
( ) ,( ) ,( ) . Ada 37 ayat yang memuat lafaz itsmun
termasuk dalam surah Madaniyyah, sisanya 11 ayat termasuk
15
dalam surah Makkiyah lebih banyak terjadi di Madinah di
mana saat itu Islam sudah berkembang dan menghadapi berbagai
problem hukum. Kata ini selalu dipakai dalam bentuk tunggal.
Seandainya hadir dalam bentuk jamak pun, ia hadir dalam ism
fâ‟il, yakni âsimin ( ), tidak sebagai ism atau kata benda.
Tampaknya hal ini menunjukkan bahwa itsmun jenis dosa yang
jelas dan tunggal untuk setiap ayatnya.

4. Junâh ( )

Junâh merupakan salah satu di antara kata-kata lainnya di


dalam Al-Qur`an yang diterjemahkan sebagai dosa. Makna asli
satu yaitu (condong/cenderung/berbelok/miring) dan
(permusuhan). Jadi jika ada kata bermakna
(cenderung ke). Kata Junâh dimaknai sebagai dosa karena
berbalik dari yang hak. Sedangkan kata Junâh itu merupakan
bagian dari anggota tubuh burung yaitu sayap. Dikatakan Junâh
karena kedua sayapnya itu miring.16 Kata Junâh dalam
dimaknai sebagai al-jinayah (hukum tindak

15
Muhammad Fu`ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm, (Kairo: Dâr al Hadis, 2001), h. 288
16
Abû al-Husain Ahmad Ibn Fâris Zakariyya, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2 h.
208
69

kriminal) dan al- jurm (perbuatan dosa). Kalau ada kata lâ junâha
biasanya dimaknai lâ isma „alaikum (tidak ada dosa bagimu).17

Ar-Raghîb al-Ishfahânî memberikan pernyataan menarik


bahwa setiap itsmun itu merupakan junâh.18 Hal senada juga
diungkapkan oleh „Abd al-Raûf al-Misrî bahwa kata junâh di
dalam Al-Qur`an memiliki banyak makna di antaranya adalah al-
itsm, al-kharaj (keluar), al-mani‟ (larangan) dan al-tib‟ah (akibat/
tanggungjawab). Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 236
dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10 :

          

         

     

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu


menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang
patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 236)

Kebanyakan kata ini digunakan dalam konteks berpasangan


(ada dua pilihan), terkadang digunakan untuk menunjukkan mana
salah satu yang baik (dari dua itu), menjelaskan hukum (dua hal)
dan ini merupakan bagian dari cara tasyri‟ Al-Qur`an. Janâha

17
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 225
18
Muhammad Fu`ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm, h. 98
70

bermakna miring atau condong, maka ada ungkapan janâhat al-


safînah izâ malat ilâ ahadi jânibihâ (perahu condong atau miring
pada salah satu pinggirnya). 19

Dalam kitab al-Wujûh wa al Nazhâ‟ir: Alfâzh Kitâbullâh al-


Azîz dinyatakan bahwa kata junâh dalam Al-Qur`an memiliki dua
makna, yaitu : al-kharaj (keluar), sebagaimana dalam QS. Al-
Baqarah [2]: 198, 234, dan 236 :

          

        

       

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil


perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak
dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam.20 dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu
benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.” (QS.. Al-
Baqarah [2]: 198)

Dari pengertian bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa


wilayah makna lafaz junâh berada pada sesuatu yang “cenderung
kepada dosa dan permusuhan. Beberapa dalam ayat Al-Qur`an
menunjukkan bahwa lafaz junâh digunakan untuk menunjukkan
perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas dan cenderung
dosa atau bertentangan dengan agama Islam, padahal perbuatan

19
Ar-Raghîb Al-Ashfihani, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, h. 169
20
Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
71

tersebut tidaklah merupakan dosa. Sebagaimana terdapat pada QS.


Al-Baqarah [2]: 158 yang berbunyi :

            

           



“ Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar


Allah 21. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya22 mengerjakan sa'i
antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu
kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri23 kebaikan lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah
[2]: 158)

Al-Qur`an mengungkapkan dengan perkataan (falâ junâha)


tidak ada dosa sebab sebagian sahabat merasa keberatan
mengerjakan sa‟i disana, karena tempat itu bekas berhala dan di
masa jahiliyyah pun tempat itu digunakan tempat sa‟i. Untuk
menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini. Jadi
dulu sa‟i di Shafa dan Marwah dianggap kurang pantas atau
cenderung dosa, padahal sebenarnya hal tersebut tidak cenderung
ke dosa.

21
Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah
22
Tuhan mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada dosa sebab sebahagian
sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat
berhala. dan di masa jahiliyahpun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. untuk
menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini
23
Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya,
mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.
72

5. Jurmun ( )

Kata yang sering digunakan untuk menyebut dosa di dalam


Al-Qur`an adalah kata jarmun, sebab kata ini dan turunannya
disebutkan sebanyak 66 kali. Dalam Lisân al-„Arab dijelaskan
bahwa itu artinya memotong. Kata ini juga bermakna
atau (memperoleh).24 Sedangkan Ar-Raghîb al-Ashfihânî
dalam Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an menyatakan hampir
sama bahwa makna asal kata tersebut adalah “memotong sesuatu
yang seharusnya masih bersambung”. Pemotongan ini merupakan
suatu pelanggaran atau perbuatan dosa. Dari sini bahasa
menggunakan kata jarama untuk segala macam pekerjaan
yang tidak baik. Dengan begitu kata mujrim diartikan
dengan yang berdosa atau yang berbuat kesalahan. 25

Kemudian Ibnu Manzûr dalam Lisân al-„Arab menjelaskan


bahwa kata bermakna (menganiaya) dan perbuatan
ini termasuk (dosa), sehingga terkadang jurm itu bisa
bermakna dzanbun. Kata Ajrama ( ) bermakna melakukan
tindak kriminal (jinayah). Sedangkan kata bermakna
jasad/tubuh. Dan kata digunakan untuk menyebutkan dosa
besar. 26

Dari pengertian bahasa tersebut rupanya bisa ditarik


kesimpulan bahwa wilayah makna kata jurmun berada pada
24
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, juz 1, h. 105
25
Ar-Raghîb Al-Ashfihani, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, h. 89
26
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, juz 1, h. 106
73

“pelanggaran, perbuatan dosa, maksiat, penganiayaan dan


kriminal (yang berkaitan dengan tubuh), dan ada semacam
penekanan “sangat” dalam melakukan dosa.

Dilihat dari wilayah maknanya tampaknya kata ini digunakan


untuk menyatakan dosa yang lebih umum yang bisa memuat
berbagai dosa, namun ia juga digunakan untuk memberikan
tekanan kepada jenis dosa. Dengan kata lain untuk menyebutkan
dosa yang berlebihan.

Kata jurmun beserta turunannya terjadi di dalam Al-Qur`an


sebanyak 66 kali. Lima puluh dua kata berbentuk ism fâ‟il
(pelaku). Mujrim berarti pelaku dosa yang pekerjaannya memang
melakukan dosa. Dari 52 kata jurmun yang berbentuk ism fâ‟il,
dan 50 di antaranya berbentuk jamak (mujrimîn dan mujrimûn)
dan dua kata berbentuk mufrad/tunggal. Ism fâ‟il menunjukkan
pelaku, ini juga menunjukkan bahwa mujrimûn merupakan orang-
orang sudah terbiasa melakukan dosa. 27

Lafaz jurmun terdapat enam puluh kata di dalam surah-surah


Makkiyah. Ini artinya kata jurmun lebih banyak digunakan pada
periode Makkah di mana orang-orang kafir Makkah memiliki rasa
permusuhan yang sangat kuat terhadap Islam dan Nabi
Muhammad SAW. Selebihnya enam kata berada di dalam surah-
surah Madaniyyah, yaitu orang-orang yang sombong padahal
sudah jelas kebenaran dari Allah, namun mereka tetap ingkar dan

27
Muhammad Fu`ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al-
Karîm, h. 339
74

menentang Allah dan rasul-Nya. Dan kata jurmun juga lebih


banyak digunakan untuk menunjukkan pelaku berbuat dosa, yang
mengakibatkan ia mendapat balasan berupa siksaan yang amat
pedih.

B. Klasifikasi Ayat yang Mengandung Lafaz Dzanbun,


Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun dan Penafsirannya
dalam Tafsir Al-Qurthubî

1. Dzanbun ( )
Adapun ayat-ayat yang mengandung lafaz ini baik bentuk
jamak ataupun mufrad memiliki latar belakang persoalan yang
sejenis yaitu perbuatan dosa yang merupakan dosa besar seperti
pada ayat-ayat di bawah ini:
a. Dusta terhadap ayat-ayat Allah merupakan perbuatan
dzanbun dijelaskan pada QS. Ali Imran [3]: 11 : 28

        

      

“(keadaan mereka) Adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan


orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat
kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa
mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Ali Imran 3/11)

Di dalam tafsir al-Qurthubî,    dijelaskan


bahwa ayat ini menceritakan tentang kebiasaan kaum Fir‟aun.
Maksudnya, kebiasaan orang-orang kafir dan orang-orang yang

28
Toshihiko, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an Terj. Agus Fahri Husein,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 290
75

menentang Nabi SAW. sama seperti kebiasaan yang dilakukan


oleh kaum Fir‟aun, yaitu menyulitkan mereka dalam
menyampaikan ajaran Allah SWT. Makna yang serupa juga
disampaikan oleh Al-Azhari, bahwa makna ayat ini adalah
ganjaran bagi mereka yaitu diperangi atau dijadikan tawanan,
sebagaimana ganjaran kaum Fir‟aun adalah penenggelaman dan
kebinasaan.29

Kemudian firman Allah pada ayat ini :

    

, maksudnya ada dua kemungkinan, yang pertama


mungkin maksudnya adalah dari ayat-ayat yang dilantunkan. Dan
yang kedua, bisa juga maksudnya adalah tanda-tanda yang
menunjukkan keesaaan Tuhan.30

Di dalam tafsir al-Misbâh,  adalah pekerjaan yang


dilakukan dengan penuh kesungguhan dan berulang-ulang
sehingga menjadi kebiasaan yang berkesinambungan. Dan
dijelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang siksa yang
menimpa Fir‟aun dan regimnya adalah akibat kedurhakaan yang
berulang-ulang dan berkesinambungan. Demikian dengan orang-
orang kafir yang hidup sebelum mereka. Mereka semua
mendustakan ayat-ayat itu yang bersumber dari Allah SWT.
Adapun orang kafir, karena melakukan pelanggaran lahir dan
batin, kedurhakaan dan ketiadaan iman, maka siksa di dunia
29
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 62-63
30
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 64
76

belum membersihkan batin mereka, sehingga di akhirat nanti


mereka masih akan memperoleh siksa berupa pembalasan. 31

Dapat dipahami, bahwa ayat di atas menerangkan tentang


kebiasaan kaum Fir‟aun yang selalu menyulitkan Nabi dalam
penyampaian ajaran Islam, dan mereka mendustakan ayat atau
tanda kekuasaan Allah. Dan ini adalah perbuatan dosa yang
konteksnya melawan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, sehingga
mereka akan mendapatkan azab yang pedih. Dan ini merupakan
kebiasaan Fir‟aun dan pengikutnya pada zaman dahulu, yang
menjadi gambaran untuk umat-umat selanjutnya supaya
mengetahui dampak ketika mendustakan kebenaran dari Allah.
Lafaz dzanbun disini kembali digunakan pada masa lampau, dan
bentuknya jamak/banyak yang mengindikasikan bahwa mereka
sudah banyak melakukan perbuatan dosa atau melawan Allah dan
Rasul-Nya.

b. Berlaku sombong terhadap kebenaran dari Allah, dijelaskan


pada QS. Al-Ankabut [29]: 39 32

      

      

“Dan (juga) Qarûn, Fir'aun dan Hâmân. dan Sesungguhnya


telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-
bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka

31
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol. 4, h. 19-20
32
Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an terj. Agus Fahri
Husein,h. 291
77

Berlaku sombong di (muka) bumi, dan Tiadalah mereka orang-


orang yang luput (dari kehancuran itu).” (QS. Al-Ankabut [29]:
39)

Ayat di atas menjelaskan tentang Qarûn, Fir‟aun, dan Hâmân


yang berlaku sombong terhadap kebenaran yang Allah turunkan
melalui Nabi Musa. Kemudian di dalam ayat lain dijelaskan pula
terkait ruang lingkup lafaz dzanbun.
Di dalam tafsir al-Qurthubî, “Akan tetapi mereka berlaku
sombong di muka bumi” maksudnya mereka sombong dan tidak
mengindahkan kebenaran dari Allah SWT. Dan firman Allah
“Dan tiadalah mereka orang-orang yang luput dari kehancuran
itu”, maksudnya adalah tidak lolos dari azab Allah. Ada yang
mengatakan bahwa mereka tetap dalam kekufuran, padahal telah
banyak orang yang kufur sebelum mereka dan mereka semua
telah dihancurkan oleh Allah SWT. 33

Dari penafsiran di atas, penulis memahami, bahwa dzanbun


merupakan perbuatan dosa besar yang balasannya adalah azab
yang pedih. Dan ini yang sering terjadi di zaman dahulu, zaman
di mana umat-umatnya banyak yang durhaka dan menentang
secara terang-terangan, sehingga akhir dari kehidupan mereka
adalah kehancuran dan kebinasaan.

Di dalam tafsir al-Misbâh, dijelaskan bahwa ayat ini


menceritakan tentang kesombongan Qârûn dan Fir‟aun kepada
Nabi Musa. Dan mereka masuk ke dalam golongan orang-orang
yang tidak luput dari kebinasaan dan siksa Allah. Dari sifat
angkuh dan sombongnya mereka terhadap kebenaran dari Allah,

33
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 878
78

sehingga mereka menganiaya diri mereka sendiri sebab perbuatan


dosa menentang Allah yang mereka lakukan. 34

c. Balasannya adalah Neraka Jahannam dijelaskan pada QS. Al-


Mulk [67]: 10-11: 35

-           

    

“ dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau


memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". mereka
mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk [67]: 10-
11)

Di dalam tafsir al-Qurthubî, “Mereka mengakui dosa mereka”


yakni pendustaan mereka terhadap para rasul. Dzanbun (dosa)
disini mengandung maknanya keseluruhan, sebab ia mengandung
makna perbuatan. Dikatakan Kharaja Athaa‟u an-Nâsi
(pemberian untuk manusia keluar), yakni pemberian untuk
mereka berikan.36

Dari penafsiran al-Qurthubî, dapat dipahami bahwa ayat ini


menjelaskan perbuatan dosa besar / dzanb balasannya neraka
jahannam. Neraka yang dipenuhi oleh orang-orang kafir, orang-
orang yang mendustakan kebenaran dari Allah. Jika manusia

34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
h. 495- 496
35
Toshihiko, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an terj. Agus Fahri Husein,h.
291
36
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 24
79

kafir kepada Allah, maka itu adalah sikap menentang kebenaran


dan tidak beriman, sehingga balasannya ada neraka jahannam.

Dan pada ayat ini, bentuk lafaz dzanb adalah jamak/banyak,


dan dapat dipahami bahwa orang-orang kafir ini banyak atau
bahkan sering menentang kebenaran yang dari Alla dan rasul-
Nya. Karena banyak/sering menentang Allah, maka mereka
mendapat balasan neraka. Dan inilah kekafiran orang-orang
terdahulu dalam menentang kebenaran dari Allah.

2. Khathî’ah ( )
Kata Khâthi‟ah digunakan untuk menunjuk kepada seseorang
yang telah mengetahui suatu larangan dari Tuhan, namun tetap
melakukannya. Ia sejak semula bermaksud buruk dan tidak sedikit
pun memiliki itikad baik.
a. QS. Asy-Syu‟âra [26]: 82 :

       

“Dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku


pada hari kiamat”( QS. Asy-Syu‟âra [26]: 82) 37

Dijelaskan di dalam tafsir al-Qurthubî, lafaz , artinya


arjû yakni mengharapkan. Ada yang berpendapat itu makna
yakin baginya, dan bermakna berharap bagi orang-orang beriman
selain Nabi Ibrahim AS. Al-Hasan dan Ibnu Abî Ishâq
membacanya: “khathâyâya” dan berkata “Bukan satu kesalahan.”

37
Maksudnya: berhala-berhala mereka tidak dapat memberi pertolongan kepada
mereka. hanya Allah yang dapat menolong mereka. tetapi karena mereka menyembah
berhala, Maka Allah tidak memberi pertolongan.
80

An-Nuhâs berkata “Khathî`ah bermakna khathâyâya dan itu


terkenal dalam percakapan orang arab.” Ulama sepakat bahwa
pada firman-Nya “mereka mengakui dosa-dosa
mereka” artinya dosa-dosa mereka. Demikian pula dengan
 yang artinya adalah khathâyâya, dosa-dosa.38

 “kesalahanku”, memiliki makna bahwa permohonan


Nabi Ibrahim disini bukanlah dosa besar melainkan kekeliruan-
kekeliruan kecil. Karena Nabi Ibrâhîm adalah manusia yang dekat
dengan Allah, maka bukan dosa besar yang dimaksudkan
melainkan kesalahan kecil yang minta mohon diampunkan untuk
di hari pembalasan nanti, karena disana kelaklah nyata
pembalasan dosa. 39
b. QS. Al-Baqarah [2]: 58

         

        

 
“ Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke
negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya,
yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah
pintu gerbangnya sambil bersujud 40, dan Katakanlah:
"Bebaskanlah Kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-
kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian
Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. Al-Baqarah
[2]: 58)

38
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 2
39
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 10, h. 72
40
Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri
81

Al-Qurthubî menjelasakan bahwa , merupakan


kesalahan-kesalahanmu, bentuk kata ini merupakan bentuk
jamak muannats, jamak taktsîr dari lafaz khathî‟ah. Dan pada
tafsir al-Qurthubî, lafaz ini lebih dibahas dari qirâ`ah-nya.41

, maknanya adalah kesalahan-kesalahan dan dosa-


dosa mereka yang disengaja maupun yang tidak disengaja, Allah
akan memberikan pengampunannya denga orang-orang yang
berbuat kebaikan.42

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang fasik dari


ketaatan dan perintah dari Allah. Perintahnya yaitu diperintahkan
untuk masuk ke baitul maqdis dan bersujud kepada Allah, artinya
sebagai tanda rasa bersyukur mereka kepada Allah atas nikmat
yang telah diberikan namun, mereka mengabaikan itu. Penulis
memahami, bahwa konteks lafaz khathî‟ah merupakan sifat fasik
yang bukan masalah yang besar seperti melawan kebenaran.
c. QS. Al-Ankabut [29]: 12

       

         


“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang
beriman: "Ikutilah jalan Kami, dan nanti Kami akan memikul
dosa-dosamu", dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup),

41
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 940
42
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 1, h. 205
82

memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah


benar-benar orang pendusta.”(QS. Al-Ankabut [29]: 12)

Firman Allah SWT. “Dan berkatalah orang-orang kafir


kepada orang-orang yang beriman, Ikutilah jalan kami”,
maksudnya adalah ikutilah agama kami. Dan firman Allah “Dan
nanti kami akan memikul dosa-dosamu” jazm karena adanya
kalimat perintah.

Al-Farrâ` dan Az-Zujâj mengatakan bahwa itu merupakan


perintah dengan menanggung syarat, atau pengertiannya adalah
“Jika kamu mengikuti ajaran agama kami, maka kami akan
menanggung segala dosa dan kesalahan kalian.” Dosa yang
mereka lakukan disini, maksudnya mereka menanggung beban
orang yang pernah mereka dzalimi.43

“maka biarkanlah kami memikul dosa-dosa kamu semua”


yakni dosa apapun,yaitu perbuatan dosa-dosa dari orang-orang
yang mereka perdayakan atau mengikuti jalan mereka. 44

Dapat dipahami bahwa dosa yang dimaksud adalah perbuatan


menyakiti orang lain. Penulis menganalisa bahwa penggunaan
lafaz khâthi`ah itu konteksnya kesalahan manusia dengan manusia
lainnya, bukan konteks melawan Allah dan Rasul-Nya. Jadi
penggunaannya secara horizontal yaitu antara sesama manusia.

d. QS. An-Nisâ [4]: 112

43
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 840-
841
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 10, h. 454-455
83

          

  


“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa,
kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah,
Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan
dosa yang nyata. “(QS. An-Nisâ [4]: 112)

Firman Allah      , “dan Barangsiapa


yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya
kepada orang yang tidak bersalah”, ada pendapat yang
mengatakan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya bermakna sama
dan penyebutannya diulangi dengan bentuk lafaz yang berbeda
sebagai bentuk penekanan. Ath-Thabarî berkata “Perbedaan antara
kesalahan dan dosa adalah, kesalahan itu bisa terjadi karena
disengaja atau tidak disengaja, sedangkan dosa terjadi karena
disengaja.” Pendapat lain mengatakan bahwa kesalahan itu
sesuatu yang tidak disengaja dilakukan seperti Qathlul khatha`
(keliru membunuh), pendapat lain juga mengatakan khâthi`ah
(kesalahan) itu artinya dosa kecil, sedangkan itsm adalah dosa
besar. Lafaz ini bermakna umum yang meliputi orang yang keliru
dan selainnya. 45

Kata khathî‟ah ( ) biasa diartikan kesalahan yang


tidak disengaja, tetapi karean ayat tersebut menggunakan yaksib
yang berarti melakukan, maka ini mangisyaratkan bahwa
kesalahan yang tidak disengaja itu dilakukan karena adanya

45
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 899-
900
84

kecerobohan atau kurangnya perhatian dan tanggung jawab


pelakunya. Pada prinsipnya Allah tidak meminta
pertanggungjawaban atas kesalahan yang tidak disengaja yang
dilakukan seseorang, kecuali bila kesalahan yang dilakukan itu
lahir dari kecerobohan. Inilah yang dimaksud antara lain oleh doa
yang diajarkan pada akhir QS. Al-Baqarah [2]: 286 :

       

“Ya Tuhan Kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau tersalah” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ada juga yang memahami bahwa lafaz khathî‟ah ( )


dalam arti dosa yang tidak menyentuh orang lain, seperti
meninggalkan kewajiban shalat atau puasa, atau melakukan
sesuatu yang haram seperti makan makanan yang terlarang. 46

3. Itsmun ( )

Di dalam Al-Qur`an, lafaz itsmun digunakan dalam konteks


yang beragam, salah satunya adalah dalam konteks melawan
Allah, Rasul, dan menolak kitab-kitab yang diturunkan Allah.
a. QS. Al-Baqarah [2]: 219

        

       

46
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
h. 556-557
85

         

 
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 47 dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari
keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)

Pada ayat ini, Al-Qurthubî memaparkan bahwa ada beberapa


masalah, salah satunya yaitu   , “katakanlah pada
keduanya” maksudnya yaitu khamr dan judi,  
“terdapat dosa besar”. Dosa yang keluar dari orang yang
meminum khamr adalah adanya saling bermusuhan, saling
memaki, perkataan keji dan palsu, hilangnya akal dengan akal-lah
dia dapat mengetahui apa-apa yang wajib dilakukan terhadap
Penciptanya, tidak melaksanakan shalat, tidak melaksanakan
shalat, tidak ingat kepada Allah, dan yang lainnya. 48
Khamr dan Maisir merupakan perbuatan yang kesenangan
duniawi yang sementara, dan dosa yang diakibatkanya lebih besar
dibandingkan manfaatnya, karena manfaat hanya dirasakan oleh
segelintir orang duniawi saja, dan merek kelak akan tersiksa di
akhirat. Bahkan kerugian besar bagi mereka kalau tidak di dunia
maka di akhirat kelak. 49

47
Segala minuman yang memabukkan.
48
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 122
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 1, h. 466-467
86

b. QS. Al-Baqarah [2]: 206

            


“ Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada
Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya
berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam.
dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-
buruknya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 206)

Ini adalah sifat orang kafir dan munafik yang membawa diri
dalam kebathilan dan tidak senang mendapatkan kesulitan dari
orang-orang yang beriman. Abdullâh berkata “Cukup seseorang
dinilai berdosa bila saudaranya berkata kepadanya, „Bertakwalah
engkau kepada Allah, lalu ia menjawab „Uruslah dirimu. Orang
sepertimu menasehatiku?.” Ada yang berpendapat bahwa makna
ayat ini adalah keengganan dan kerasnya kepribadian. Yakni,
mereka sombong dalam dirinya, dan kesombongan itu
menjerumuskannya dalam kubangan dosa saat kesombongan itu
menguasai dan mengikat dirinya dalam perbuatan dosa itu.50
Qatâdah berkata “makna dari ayat ini adalah, jika dikatakan
kepada mereka tunggu sebentar, mereka semakin maju pada
kemaksiatan. Maknanya adalah kesombongan itu mendorong
mereka kepada dosa.” Menurut satu pendapat huruf ba` pada
firman Allah , mengandung makna lam, yakni bangkitlah
kesombongan dan keenggananya untuk menerima nasihat karena
dosa yang ada dalam hatinya, yaitu kemunafikan.51
50
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 41
51
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 42-43
87

Firman Allah , yakni sikap lupa diri setelah menerima


kekaguman, bertindak sewenang-wenangnya, dan merasa diri
selalu benar, sehingga tidak bersedia menerima saran apalagi
teguran. Ini terjadi bukan hanya kepada penguasa-penguasa besar,
melainkan mereka yang merasa kuat dan berkuasa. Allah
mengecam mereka dengan singkat bahwa cukup bagi mereka
siksa neraka jahannam.52
Penulis menganalisa bahwa lafaz itsmun disini mengacu
kepada perbuatan dosa yang menyombongkan diri dan menolak
kebenaran yang membawa mereka kepada siksaanya yang pedih
di tempat yang paling buruk yaitu neraka jahannam. Neraka
jahannam adalah tempat tinggal bagi orang-orang kafir.53

c. QS. An-Nisâ [4]: 111-112

          

          

   

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia


mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”“Dan
Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka
Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang
nyata ”(QS. An-Nisâ [4]: 111-112)

52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 1, h. 447
53
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 44
88

Firman Allah SWT :    “Barangsiapa yang


mengerjakan itsm”, maksudnya:  ,
“maka sesungguhnya ia mengerjakan kemudharatan untuk
dirinya sendiri.” Maksudnya balasannya akan kembali ke dirinya.
Dan adapun firman Allah SWT.     ,
“dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan dan dosa”
pendapat lain menyatakan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya
bermakna sama dan penyebutannya diulangi dengan bentuk lafaz
yang berbeda sebagai penekanan. Perbedaan antara kesalahan dan
dosa adalah : Kesalahan itu bisa terjadi karena disengaja atau
tidak disengaja, sedangkan dosa terjadi karena disengaja.
Pendapat lain juga menyebutkan bahwa kesalahan itu sesuatu
yang tidak disengaja dilakukan saja seperti Qatlul khata` (keliru
membunuh), pendapat lain juga mengatakan khâthi`ah atau
kesalahan, itu artinya dosa kecil sedangkan itsmun adalah dosa
besar. Ayat ini lafaznya bermakna umum yang meliputi orang
yang keliru dan selainnya.54
Ayat ini merupakan anjuran untuk bertaubat, karena siapapun
yang melakukan perbuatan dosa maka sesungguhnya ia
melakukan kemudharatan atas dirinya sendiri, yakni Allah akan
menjatuhkan sanksi atas pelakunya, dia tidak dapat melemparkan
kesalahan kepada orang lain, tidak juga dapat mengalihkannya
kepada orang lain, sebagaimana orang lain tidak dapat memikul
dosanya kepada orang lain. Ada ulama yang memahami
“mengerjakan kejahatan” dalam arti melakukan pelanggaran dan
54
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 899-
900
89

dosa secara umum, sedangkan “menganiaya dirinya” dalam arti


55
dosa khusus yang sangat besar . Sedangkan kata itsmun
dipahami dalam arti dosa yang berdampak terhadap orang lain,
seperti membunuh dan mencuri.56

4. Junâh
a. QS. Al-Maidâh [5]: 93

       

        

       

“ Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan


mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan
yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa
serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh,
kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian
mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.
Al-Mâidah [5]: 93)
Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa pengharaman
khamr dan adalah salah seorang sahabat yang bertanya tentang
bagaimana nasib orang yang sudah meninngal dan di dalam
perutnya ada khamr. Lalu dijelaskan di dalam tafsir al-
Qurthubî barang siapa melakukan perbutan yang dibolehkan
baginya sampai akhirnya ia mati dalam keadaan itu, maka ia

55
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 2, h. 556
56
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 2, h. 557
90

tidak mendapatkan apa-apa, juga tidak dikenai tuntutan


apapun, tidak berdosa, tidak mendapat siksa, tidak dicela, tidak
diberi pahala dan tidak mendapat pujian apa-apa. Karena
menurut syara‟, perbuatan mubâh (yang dibolehkan) itu
berada di tengah-tengah antara dua ujung. Berdasarkan hal ini
maka tidak selayaknya dikhawatirkan atau ditanyakan
mengenai keadaan orang yang sudah meninggal dan dalam
perutnya terdapat khamr yang ia minum ketika masih
diperbolehkan. Pada ayat ini diajak untuk bertakwa agar tidak
terjerumus dalam dosa besar, atau bertakwalah terhadap dosa-
dosa kecil dan berbuat kebaikan dengan cara melakukan
ibadah sunnah.57

Tanpa mengetahui asbâb al-nuzûl akan terjadi salah


pemahaman karena redaksinya seolah-olah mentolerir
makanan dan minuman terlarang selama yang memakan dan
meminumnya adalah orang yang beriman dan bertakwa.
bukanlah itu makna yang dimaksud. Melainkan tidak adanya
dosa terhadap apa yang telah dimakan dan diminum. Hal ini
menunjukkan masa lampau. 58

b. QS. An-Nisâ [4]: 101

57
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 698-
699
58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur`an,vol. 3, h. 199-200
91

         

          

  


“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah
mengapa kamu men-qashar59 sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisâ
[4]: 101)

Diceritakan dari Imam Syafi‟î dan Abû Said al-Farwî al-


Malikî, bahwa yang benar dalam mazhab maliki adalah
bahwasannya para musafir itu diberi kebebasan memilih antara
itmâm atau qashar.

Al-Qurthubî berpendapat, bahwa ini yang maksud dari


firman Allah tersebut, hanya saja Imam Malik lebih
menyenangi Qashar, dan ian juga berpendapat, jika seseorang
shalat dengan itmâm (menyempurnakan), maka ia disunnahkan
untuk mengulangnya jika masih ada waktu shalat.

Dari penjelasan al-Qurthubî, bisa dipahami bahwa


penggunaan lafaz junâh memang memaparkan dua pilihan.
Pada ayat di atas pilihannya adalah bagi musafir boleh

59
Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini Ialah: sembahyang yang empat
rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah
rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya
dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan
dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam
Keadaan khauf di waktu hadhar.
92

memilih untuk men-qashar-kan shalatnya atau boleh jika


menyempurnakan shalatnya jika masih ada waktu. 60

5. Jurmun
a. QS. Al-Mursalât [77]: 46

    

“(Dikatakan kepada orang-orang kafir): "Makanlah dan


bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam waktu) yang
pendek; Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang
berdosa". (QS. Al-Mursalât [77]: 46)

Firman Allah SWT “dikatakan kepada orang-orang kafir”


, “Makanlah dan bersenang-senanglah kamu (di dunia dalam
waktu) yang pendek” ini dikembalikan kepada apa yang telah
disebutkan sebelum orang-orang yang bertakwa. Ini
merupakan ancaman dan kecaman. Ini adalah hal
(menunjukkan kondisi) dari Maksudnya kecelakaan
yang pasti bagi mereka, hal keadaan mereka dikatan kepada
 

, “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang


yang berdosa” Maksudnya, orang-orang kafir. Ada juga yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah orang-orang yang
melakukan suatu perbuatan yang memudharatkan dirinya
sendiri di akhirat, berupa kesyirikan dan kemaksiatan.61

60
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 831-
832
61
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 779-
780
93

Ayat di atas menyatakan bahwa kesenangan yang mereka


rasakan akan segera sirna dan kadarnya sedikit.  yaitu
pendurhaka-pendurhaka yang mantap kedurhakaannya
sehinggan mereka kelak akan disiksa di Hari Kemudian. Ar-
Râzi berpendapat bahwa ayat ini menekankan peringatan
terhadap pendurhaka sambil menganjurkan kepada mereka
untuk memperhatikan aneka argumentasi agar tunduk kepada
Agama. Karena kedurhakaan mereka pasti akan dijatuhkan
mereka ke dalam siksa. 62
b. QS. Al-Qashâsh [28]: 78

           

          

      


“ Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu,
karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak
mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan
umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan
lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu
ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-
dosa mereka.”( QS. Al-Qashâsh [28]: 78)

Ayat ini semata-mata ditujukan kepada Qarûn, atau  


, “dan Apakah ia tidak mengetahui” yaitu Qarûn. Dan
lafaz     , “dan tidaklah
perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang
dosa-dosa mereka” maksudnya adalah orang-orang yang

62
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 14, h. 694-695
94

berdosa itu tidak perlu ditanya lagi tentang dosa-dosa mereka


atau mereka tidak akan ditanya tentang permintaan maaf.
Merekaakan ditanya dengan pertanyaan yang memburukkan
dan memojokkan mereka.63

Qatâdah mengatakan bahwa orang-orang berdosa itu tidak


akan ditanya lagi tentang dosa dan kesalahan mereka karena
sudah jelas kelihatan. Mereka langsung dimasukkan ke dalam
nereka tanpa dihisab terlebih dahulu. Dan Mujâhid
mengatakan, “Pada Hari Kiamat nanti malaikat tidak akan
menanyai orang-orang yang berdosa, karena para malaikat
sudah dapat mengenali mereka dari wajahnya yang berwarna
64
hitam dan mata yang berwarna biru”

Firman Allah     ,


mengisyaratkan jelasnya dosa-dosa para pendurhaka yang
telah mendarah daging kedurhakaannya pada kepribadian
mereka. Qârûn termasuk salah seorang dari mereka. Sementara
ulama berpendapat bahwa penggalan akhir ayat tersebut
melukiskan ketidakberlakuan kebiasaan itu terhadap Allah
Yang Maha Mengetahui, lebih-lebih karena kedurhakaan yang
bersangkutan sudah demikian jelas. Dan mereka akan
mendapat siksa di dunia dan akhirat. 65

63
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 804
64
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 805
65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 10, h. 409-410
95

Dari penafsiran al-Qurthubî, dapat dipahami bahwa orang-


orang yang berdosa tidak akan mendapatkan ampunan dari
Allah melainkan balasan berupa siksaan api nereka. Dan
penulis menganalisa bahwa penggunaan lafaz jurmun disini
lebih menerangkan tentang pelaku atau ism fâ‟il yaitu pelaku
perbuatan dosa.
c. QS. Thaha [20]: 74

           


“ Sesungguhnya Barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam
Keadaan berdosa, Maka Sesungguhnya baginya neraka
Jahannam. ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup
66

Di dalam Tafsir Al-Qurthubî, firman Allah ta‟âla


yang artinya “Sesungguhnya Barangsiapa
datang kepada Tuhannya dalam Keadaan berdosa” . Suatu
pendapat menyebutkan bahwa ini adalah perkataan tukang
sihir tatkala mereka beriman. Ungkapan pada kalimat
kembali kepada perkara dan kondisi. Bisa juga bermakna :
inna man ya`ti (Sesungguhnya barangsiapa datang), seperti
perkataan seorang penyair :

66
Maksud tidak mati ialah Dia selalu merasakan azab dan maksud tidak hidup ialah
hidup yang dapat dipergunakannya untuk bertaubat.
96

“ Sesungguhnya barangsiapayang suatu hari memasuki gereja


maka ia akan mendapati di dalamnya wortel dan rusa”
Maksudnya : innahu man yadkhul. Yaitu: inna al amr
hâdzâ (Sesungguhnya perkara ini). Demikian ini, karena orang
yang berdosa akan masuk neraka, sedangkan orang yang
beriman akan masuk surga. Jadi orang berdosa itu adalah kafir.
Ada pula yang mengatakan “yang melakukan dan
mengupayakan kemaksiatan.” Adapun makna dari firman
Nya:

       

“ sesungguhnya baginya neraka jahannam. Ia tidak mati di


dalamnya dan tidak pula hidup”.
Ini adalah sifat orang kafir yang mendustakan lagi
membangkang, tidak ada manfaat dari hidupnya dan tidak ada
ketentraman dengan kematiannya. 67

Ayat ini menjelaskan tentang perubahan sikap dari


penyihir yang semula takut kepada Fir‟aun dan
membesarkannya menjadi lebih takut lagi dan kagum kepada
Allah dan mengagungkan-Nya sehingga mereka beriman
kepada Allah, dan mereka berharap agar Allah mengampuni
kesalahan mereka, yaitu mempersekutukaan Allah. Lafaz
 bermakna pendurhaka, yaitu penyihir yang sebelumnya

67
Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h. 607-608
97

mereka mempersekutukan Allah, yang balasannya adalah


neraka Jahannam.68
C. Analisis Perbedaan antara Lafaz Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun,
Junâh, dan Jurmun
Berdasarkan klasifikasi beberapa ayat dari lafaz Dzanbun,
Khathî‟ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun, sehingga diambil beberapa
perbedaan di antara kelima lafaz yang mengandung makna yang
satu yaitu Dosa. Berikut penjelasan yang penulis simpulkan dari
ayat-ayat yang sudah dicantumkan berdasarkan penafsiran al-
Qurthubî :

1. Dzanbun ( )

Lafaz Dzanbun kebanyakan digunakan untuk menunjukkan


dosa yang sudah lampau dan digunakan dalam konteks menentang
Allah dan rasul-Nya. Sedikit sekali lafaz ini digunakan dalam
konteks dosa bertentangan dengan manusia atau melakukan dosa
atau kesalahan terhadap manusia. Dan lafaz dzanbun sering
digunakan dalam bentuk jamak atau banyak, bisa jadi memiliki
makna banyaknya dosa yang dilakukan atau bahkan seringnya
dosa itu dilakukan. Lafaz dzanbun digunakan pada umat nabi-nabi
terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. diutus, dan
penggunaannya pun ada pada zaman Rasulullah SAW. ketika
ajaran Islam baru menyebar di kalangan orang-orang Makkah.
Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa, penggunaan lafaz ini

68
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,
Vol. 8, h. 335-336
98

benar-benar disaat umat manusia masih dalam keadaan jahiliyyah


dan memegang erat ajaran nenek moyangnya dan menolak
kebenaran dari Allah yang disampaikan melalui nabi dan rasul-
Nya.

2. Khathî‟ah ( )

Lafaz Khâthi‟ah memiliki makna dosa secara umum. Hal ini


bisa dilihat dari dua puluh satu kata, dari dua puluh kata satu
khâthi‟ah di dalam Al-Qur`an disebutkan dalam bentuk nakirah.
Bentuk nakirah menunjukkan keumuman makna sehingga dengan
sendirinya kata ini memiliki cakupan yang luas. Kata ini bisa
mencakup kata dzanbun, itsmun, atau yang lainnya. Dosa jenis
khâthi‟ah memuat jenis dosa baik yang disengaja maupun tidak
disengaja, melakukan perbuatan yang tidak selayaknya yang
berkaitan dengan etika, dan bisa juga dosa dalam konteks
bertentangan dengan Allah SWT, namun jarang digunakan. Lafaz
ini sering digunakan dalam konteks perbuatan dosa atau kesalahan
kepada antar sesama manusia, baik yang disengaja ataupun tidak
disengaja, sehingga untuk pengampunannya selain memohon
kepada Allah bisa meminta maaf atau ampun kepada orang yang
telah dirugikan.

3. Itsmun ( )

Lafaz Itsmun hampir sama penggunaanya dengan dzanbun tapi


penekanannya lebih pada konteks dosa karena melanggar hal-hal
99

yang sudah diharamkan. Dan hal-hal yang sudah diharamkan ini,


berarti sudah ada hukum yang berjalan di masyarakat pada saat
ini. Makanya, lafaz ini lebih banyak turun di Madinah. Sehingga
kata ini cakupannya lebih kecil ketimbang kata dzanbun.
Meskipun terkadang juga kata itsmun bermakna melawan Allah
dan Rasul Nya, mengingkari ayat-ayat Allah dan perbuatan yang
mendatangkan keburukan, permusuhan, dan menjauhkan dari
manfaat, pahala, dan kebaikan. Penggunaan lafaz ini pada ayat-
ayat madaniyyah yang menunjukkan bahwa dosa yang dilakukan
umat zaman itu setelah Nabi hijrah ke Madinah, zaman Islam
telah tersebar secara terang-terangan dan sudah banyak umat
manusia yang mempercayai dan memeluk Islam. Dan orang-orang
yang melakukan dosa itsmun disini adalah orang-orang yang
sombong.

4. Junâh ( )
Lafaz Junâh lebih banyak digunakan untuk menyebut
perbuatan yang dulunya dianggap dosa atau bertentangan engan
agama Islam, padahal perbuatan tersebut tidaklah merupakan
dosa. Lafaz ini selalu didahului kata laisa, falâ, dan lâ, untuk
menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak berdosa, meskipun
dulu perbuatan tersebut dianggap dosa. Dapat disimpulkan bentuk
dosa seperti ini cakupannya lebih kecil dan lebih khusus. Dan
lafaz ini sering digunakan dalam keadaan memilih antara dua
pilihan, yang kedua pilihan tersebut tetap baik.

5. Jurmun ( )
100

Lafaz ini lebih banyak digunakan untuk menunjukkan


akumulasi berbagai dosa, memuat berbagai jenis dosa hingga pada
tingkat yang melampaui batas. Dalam lingkaran jurmun ini
terdapat jenis-jenis perbuatan dosa yang beragam, bisa berupa
dzanbun, itsmun, dan khâthi`ah. Dari banyaknya perbuatan-
perbuatan dosa tersebut, maka terakumulasikanlah ke dalam
lingkaran besar atau bisa dikatakan bahwa jurmun adalah bentuk
dosa yang sudah keterlaluan dan sudah melampaui batas. Dan
dalam penggunaannya di dalam Al-Qur`an sering dijelaskan
dalam bentuk pelaku dosa.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penafsiran al-Qurthubî dalam menanggapi ayat-ayat
yang mengandung makna dosa dengan lafaz-lafaz yang berbeda-beda.
Maka bisa diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Dzanbun ( )
Lafaz Dzanb kebanyakan digunakan untuk menunjukkan dosa
yang sudah lampau, ruang lingkup dalam konteks menentang Allah
dan rasul-Nya. Sedikit sekali lafaz ini digunakan dalam konteks dosa
bertentangan dengan manusia atau melakukan dosa atau kesalahan
terhadap manusia. Dan lafaz dzanb sering digunakan dalam bentuk
jamak/ banyak, bisa jadi maknanya adalah banyaknya dosa yang
dilakukan atau bahkan seringnya dosa itu dilakukan.

2. Khathî’ah ( )
Lafaz Khathî’ah memiliki makna dosa secara umum. Hal ini bisa
dilihat dari dua puluh satu kata, dari dua puluh kata satu Khathî’ah di
dalam Al-Qur`an disebutkan dalam bentuk nakirah. Bentuk nakirah
menunjukkan keumuman makna sehingga dengan sendirinya kata ini
memiliki cakupan yang luas. Dosa jenis Khathî’ah memuat jenis dosa
baik yang disengaja maupun tidak disengaja, melakukan perbuatan
yang tidak selayaknya yang berkaitan dengan etika, Lafaz ini sering
digunakan dalam konteks perbuatan dosa atau kesalahan kepada antar
sesama manusia, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja.

3. Itsmun ( )
Lafaz Itsmun digunakan dalam bentuk penekanan terhadap
perbuatan dosa dengan melanggar hal-hal yang sudah diharamkan.
Dan hal-hal yang sudah diharamkan ini, berarti sudah ada hukum

101
102

yang berjalan di masyarakat pada saat ini. Makanya, lafaz ini lebih
banyak turun di Madinah. Sehingga kata ini cakupannya lebih kecil
ketimbang kata dzanb.

4. Junâh ( )

Lafaz Junâh lebih banyak digunakan untuk menyebut perbuatan


yang dulunya dianggap dosa atau bertentangan dengan agama Islam,
padahal perbuatan tersebut tidaklah merupakan dosa. Lafaz ini selalui
didahului kata laisa, falâ, dan lâ, untuk menyatakan bahwa perbuatan
tersebut tidak berdosa, meskipun dulu perbuatan tersebut dianggap
dosa. Dapat disimpulkan bentuk dosa seperti ini cakupannya lebih
kecil dan lebih khusus.

5. Jurmun ( )

Lafaz ini lebih banyak digunakan untuk menunjukkan akumulasi


berbagai dosa, memuat berbagai jenis dosa hingga pada tingkat yang
melampaui batas. Dalam lingkaran jurmun ini terdapat jenis-jenis
perbuatan dosa yang beragam, bisa berupa dzanb, itsmun, dan
khâthi`ah. Dari banyaknya perbuatan-perbuatan dosa tersebut, maka
terakumulasikanlah ke dalam lingkaran besar atau bisa dikatakan
bahwa jurmun adalah bentuk dosa yang sudah keterlaluan dan sudah
melampaui batas. Dan dalam penggunaannya di dalam Al-Qur`an
sering dijelaskan dalam bentuk ism fâ’il atau pelaku dari perbuatan
dosa tersebut.

B. SARAN
1. Penulis merasakan bahwa selama proses penyelesaian skripsi ini
membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar danwawasan yang
luas , sehingga penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan dan
keluasan akan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, menjadi
103

pelajaran bagi penulis khususnya untuk menjadi lebih gigih dan


bersemangat dalam menuntut ilmu pengetahuan, terutama
mendalami ilmu agama.
2. Diharapkan bagi para pembaca, semoga dapat memahami dan
mengambil manfaat dari pembahasan karya ini. Karya sejatinya
manusia yang benar adalah yang banyak ilmunya dan
mengamalkan apapun yang telah ia ketahui, agar kita terhindar
dari golongan orang-orang fasiq, yang mengetahui tetapi tidak
mengamalkan apa yang telah diketahui.
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Bâqi , Muhammad Fû’ad, Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfâz Al-


Qur`an Al-Karîm, Kairo: Dar al-Hadis, 2001.

Ahmadi , Abû, Dosa Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.


Ali , Hasan , Dosa Besar dalam Islam, Surabaya: UIN Sunan Ampel,
2014.

Al-‘Askarî , Abî Hilal, Mu’jam al-Furûq al-Lugawiyyah, Kairo: Dar al-


Hadîs, 1990.

Al-Bukhârî , Abû ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’il, Matn Al-Bukhârî,


Juz 4 Kitab Shahîh Bukhârî, Bab Qaulullâh Ta’ala Innalladzîna
Ya`kulûna, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th

Al-Dzahâbî , Syamsuddîn, al-Kabâir, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.


Al-Ghazâli, Rahasia Taubat, Terj. Muhammad Baqir, Bandung: Mizan
Media Utama, 2003.

Al-Ghoutsanî , Yahyâ bin Abdurrahman, Hafal Al-Qur`an Mutqin, Terj,


Syaiful Aziz, Surakarta: Qur`ani Press, 2017

Al-Hajjâj al-Qusyairî an-Naisaburî , Abû Husain bin, Shahih Muslim,


Juz 4, Bab at-Tafsîr al-Bir wa al-Itsm, Beirut: Dar al-Ihya at-Tarasi
al-‘Arabi.

Al-Mahallati , Sayyid Hasyim ar-Rasuli, Akibat Dosa, Terj. Bahruddin


Fannani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Al-Munajjât , Muhammad Nuruddîn, al-Tarâduf fî Al-Qur`an Al-Karîm,


Kairo: Baina al Mazariyah wa al Tatbiq, 1995.

103
104

Al-Ashfihâni , Ar-Raghîb, Mu’jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, Beirut:


Dâr al-Fikr, t.th.

Al-Quzwainî , Abû Abdullâh Muhammad bin Yazîd bin Abdullâh bin


Majah, Juz 1, Sunan Ibn Majah.

Arnando , Nina M. (Ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van


Hoeve,2005.

Ash-Shiddieqy , T.M. Hasbi, Al-Islam I, Semarang: PT Pustaka Rizki


Putra, 2001.

Asy-Syafi’î, Husein Muhammad Fahmî, Kamus Alfâz al-Qur`aniyyah ,


Kairo: Dar al-Ma’ârif, 1993.

At-Tirmidzî , Abû Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Mûsa bin al-
Dhahhak al-Sulamî al-Dharir al-Bughî, Sunan At-Tirmidzi, Beirut,
Dar Ihya’ al-Turats, t. th, Juz 5.

Baidan, Nasharudin , Metode Penafsiran Al-Qur`an, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2002.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Spiritualitas dan


Akhlak: Tafsir Al-Qur`an Tematik, Cet. I Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010.

Bakry , Hasbullâh, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: UI Pres, 1998

Gholib, Achmad, Studi Islam: Pengantar Memahami Agama, Al-Qur`an,


Al-Hadis, dan Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Faza Media,
2005.
105

Ibrahim, Lutfi, Konsep Dosa Dalam Pandangan Islam, Studia Islamika:


1980

Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial, Jakarta:


Referensi,2003

Iyazî , Sayyid Muhammad Alî, al Mufassirûn: Hayâtuhum wa


Manhajuhum, Teheran: Mu’assasah al-Thiba’ah wa al-Nasyr,

Izutsu, Toshishiko , Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur`an Terj.


Agus Fahri Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.

Jaya, Yahya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental,


Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.

Khaeruman ,Badri, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, Bandung:


CV Pustaka Setia, 2004.

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an, Tafsir Tematik, Jakarta: Lajnah


Pentashih Mushaf Al-Qur`an Kementerian Agama RI, 2010

Manzûr , Ibnu, Lisân al- ‘Arab, Kairo: Dar Beirut, 1388.

Noor , Ir. Akmaldin dkk, Al-Qur’an Tematis Allah SWT dan


Kepercayaan Manusia, Jakarta: Yayasan SIMAQ, 2010.

Nashîrul Haq, dan Fathurrohman Ahmad, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî,


Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Phoenix , Team Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi


Baru, Jakarta: Pustaka Phoenix, 2007.

al-Qurthubî, Al-Jami’ li Ahkâm Al-Qur`an, Kairo: Dâr al-Kutub al-


Mishriyyah, 1952.
106

al-Qurthubî, At-Tadzkirah: Bekal Menghadapi Kehidupan Abadi Terj.


H. Anshori Umar Sitanggal,Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

al-Qaththân , Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`an, Terj. H. Aunur


Rafiq El-Mazni, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005.

Qiraati, Muhsin, Dosa Salah Siapa, Terj. Najib Husain al Idrus, Depok:
Qorina, 2003.

Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi


Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi
Disiplin Ilmu , Orasi pengukuhan Guru Besar IAIN Alauddin,
1999.

Siregar, Parluhutan, Makna Junâh dalam AL-Qur`an (Kajian Tafsir


Tematik), Pekanbaru: UIN Sultan Syarif Kasim, 2013.

Shihab, M. Quraish Ensiklopedi Al-Qur`an, Jakarta: Yayasan Bimantara,


1997.

Shihab , M. Quraish, Ensiklopedi Al-Qur`an: Kajian Kosakata dan


Tafsir, Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002.

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al- Misbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al-


Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Suryadilaga , M. Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir , Cet I, Yogyakarta:


Teras, 2005.

Syarifuddin, Nur’aini, Tawakkal dalam Al-Qur`an: Studi Komparatif


Tafsir Al-Mizan dan Ruhul Ma’ani, Jakarta: Intitut Ilmu Al-Qur`an
(IIQ) Jakarta, 2017
107

Syibromalisi ,Faizah Ali ,Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern,


Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah , 2011.

Thabathaba’i, Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur`an, Beirut:


Muassasah Al-A’lami li al-Mathbu’at, 1991.

Tim Ahli Tauhid, Kitab Tauhid. Terj. Agus Hasan Bashori, Cet. I,
Jakarta: Darul Haq, 1998.

Tim Penulis, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Anggota IKAPI,


2001

Umar ,Ahmad Mukhar, ‘Ilm al-Dilâlah, Kuwait :Maktabah Dâr al-


Arabiyah li al-Nasr wa al-Tauzi, 1982,
Yanggo, Huzaemah T. dkk, Petunjuk Teknis Penulisan Proposan dan
Skripsi Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, Jakarta: LPPI IIQ
Jakarta, 2017.

Ya’qub, , Imil Badi’, Fiqh al-Lughah wa Khashâishuhâ, Bairut : Dâr Al-


Tsaqâfah al-Islâmiyah, T.th

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Ciputat: PT. Mahmud Yunus


Wa Dzurriyyah, 2010.

Zakariyya , Abû al-Husain Ahmad Ibn Fâris, Mu’jam Maqâyis al-


Lughah, Kairo: Dar al Hadîs, 2001.

Anda mungkin juga menyukai