~ii~
~iii~
~iv~
~v~
Judul Buku:
Penerbit: Quantum
ISBN: 978-602-5908-15-6
Tahun Terbit
2020
~vi~
DAFTAR ISI
SAMBUTAN
Sambutan Rektor UIN
Sultan Maulana Hasanuddin, Banten__________________________xi
Bagian Kesatu
Pengantar__________________________________________________________ 3
Bagian Kedua
Kitab al-Jawahir al-Khamsah:
Pengarang dan Penyalinan__________________________________15
~vii~
Bagian Ketiga
Kitab al-Jawahir al-Khamsah dan Kaitannya
Dengan Konteks Kesultanan Banten_________________________37
A. Konteks Sosial-Politik ____________________________________ 37
B. Konteks Sosial-Intelektual_______________________________ 44
C. Konteks Sosial-Keagamaan_______________________________ 55
Bagian Keempat
Tinjauan Isi Kitab al-Jawahir al-Khamsah___________________ 69
Bagian Kelima
KESIMPULAN___________________________________________________ 137
~viii~
SAMBUTAN
~ix~
~x~
Sambutan Rektor
UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten
Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A.
~xi~
menjelaskan bahwa proses penyalinan teks Kitab Al-Jawahir
al-Khamsah sangat terkait dengan konteks historis di
Haramain, India, dan Nusantara. Penulis berhasil memetakan
kajian teks Kitab al-Jawahir al-Khamsah dalam konteks
Islamisasi di India dan konteks perlawanan ulama dan
rakyat Banten dalam melawan penjajah Belanda yang sudah
hampir menguasai seluruh infrastruktur politik kesultanan
Banten. Oleh karena itu, buku ini sangat inspiratif untuk
memahami lembaga dan Gerakan Tarekat di Banten sekitar
abad XVIII, sehingga dapat menyadarkan kita bahwa Tarekat
dan kaum Sufi itu tidak diam ketika melihat kedzaliman dan
ketidakadilan. Mereka berontak dan terus berusaha melawan.
~xii~
Sambutan Dari Promotor
~xiii~
Muhammad Shoheh, M.A. berhasil menyelesaikan studi S3
nya tepat waktu.
~xiv~
L.W.C. van den Berg & R. Friederich (1873) juga menyebutkan
hal tersebut dalam buku katalog naskah mereka.
~xv~
Membaca buku ini selain mendapat pengetahuan, kita juga
diajak mengembara ke masa silam Kesultanan Banten di abad
ke-18, mengetahui dan mengenal tarekat yang berlangsung
di Banten pada masa itu. Semoga karya ini bermanfaat dan
memotivasi pembaca sekalian. Selamat membaca !
~xvi~
Bagian Kesatu
~1~
~2~
Pengantar
~3~
diterbitkan sebagai upaya memperkenalkan khazanah
atau legasi klasik yang memiliki peran dan pengaruh besar
bagi kita, khususnya umat Islam dalam memahami dan
menyegarkan kembali pemahaman agama dan keberagamaan
kita. Membaca kitab klasik berupa Manuskrip “al-Jawahir
al-Khamsah” karya yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-
Hindi, seorang ulama sufi yang sangat menonjol dari Tarekat
Shattariyah. Tarekat inilah yang kemudian memberikan
konstribusi besar bagi dakwah dan penyebaran Islam di
negara India. Tarekat Shattariyah sendiri berdiri pada abad
ke 15 M. Tarekat yang pada abad ke 18 M menyebar di
Nusantara—Aceh dan Banten juga di Mindano, Filipina—
didirikan oleh Shaykh Abdullah al-Shathar. Nama Tarekat
Shattariyah itu dinisbatkan kepada pendirinya.
~4~
Islam sejak akhir abad ke-13. Peristiwa politik yang dimaksud
adalah kejatuhan kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad tahun
1258 M oleh serangan Hulagu Khan dari Mongol. Peristiwa
tersebut secara tidak langsung telah mendorong terciptanya
pertumbuhan massal masyarakat muslim di belahan Asia dan
Afrika.
Pada sisi lain, ulama sufi juga telah berperan penting dalam
pembentukan dan pergembangan institusi-institusi Islam non-
politik seperti madrasah, tarekat, futuwwah (persaudaraan
pemuda), kelompok-kelompok dagang, dan kerajinan tangan
(tawa’if). Pendapat ini juga memiliki relevansi dengan pen
dapat yang mengatakan bahwa, setidaknya sejak abad ke-13,
para sufi pengembara telah berhasil mengislamkan sejum
lah besar penduduk Nusantara, karena kemampuan mereka
dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, dengan
menekankan kesesuaian antara Islam dengan kepercayaan
dan praktek keagamaan lokal.
~5~
Di antara yang berperan dalam proses Islamisasi dan
penguatan Islam di kawasan Nusantara pada periode awal
hingga abad ke-18 M selain jaringan sufi, jaringan ulama,
dan jaringan niaga, adalah jaringan literatur (literary
networks). Jaringan literatur sanggup menghubungkan
masyarakat muslim secara lintas geografis dan budaya.
Lebih dari itu, jaringan literatur juga mampu memunculkan
teks-teks turunan dari teks-teks sumber yang penting bagi
pembentukan identitas global dan lokal Islam Nusantara.
Dalam konteks penguatan pengaruh Islam, teks-teks
keagamaan Islam Nusantara dengan berbagai genre dan tema
kajian berperan besar menajamkan jejak Islam di tengah
masyarakat, sehingga patut mendapatkan perhatian para
pengkaji Islam.
~6~
Di abad ke-16 M., bersamaan dengan periode awal berdiri
nya Kesultanan Mughal, terdapat ulama sufi kharismatis
yang juga menjadi pembimbing Sultan Babur dan anaknya,
Humayun, yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Ia
adalah tokoh dan khalifah tarekat Shattariyah yang berhasil
memapankan doktrin dan ajaran tarekat Shattariyah lewat
karyanya yang terkenal berjudul al-Jawahir al-Khamsah.
Selain terkenal sebagai khalifah tarekat Shattariyah, ia
juga pernah membantu Sultan Babur menaklukkan daerah
Gwalior, sehingga sering disebut sebagai Shaykh Muhammad
al-Ghawth Gwalior. Hubungan dekat tarekat Shattariyah
dengan penguasa Mughal tampaknya tidak hanya dibagun
oleh para shaykhnya, karena selanjutnya para pengikut
tarekat ini juga sering terlibat aktif dalam politik kenegaraan.
~7~
menjadi kawan dekat Shaykh Faḍlullah al-Burhanpuri al-
Hindi (w.1029H/1620M), yang pengarang kitab al-Tuhfah
al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kitab kasik fenomenal yang
isinya sempat menjadi perbincangan hangat di Nusantara
seputar masalah tujuh tingkatan wujud (martabat tujuh)
yang bersifat sangat filosofis. Shaykh Sibghatullah inilah
yang kemudian menyebarkan kitab al-Jawahir al-Khamsah ke
jaringan ulama di Makkah dan Madinah, sehingga akhirnya
tersebar ke Melayu-Nusantara, termasuk Banten. Tentunya,
sebaran kitab ini dapat terjadi melalui hubungan guru murid
yang kala itu terjalin melalui ḥalāqah ‘ilmiyah di kedua masjid
di Haramayn tersebut. Dengan kata lain, interaksi keilmuan
tersebut kemudian melahirkan pertukaran pengetahuan dan
transmisi “tradisi kecil” Islam dari India.
~8~
Banten yang juga memberinya informasi tentang Islam di
Nusantara.
~9~
Bogor dan Cianjur). Meski jauh sebelum masa ini (sekitar
1670-1680), Shaykh Yusuf juga sempat menjadi pengajar
tarekat Khalwatiyah dan Shattariyah, namun terbatas di
kalangan istana dan komunitas Makassar saja.
~10~
praktis (manual book) bagi para murid dan penganut tarekat
tersebut. Tentu saja, saya juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih saya yang tulus kepada Rektor UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten, yang telah banyak memberikan
dukungan dan kemudahan kepada saya saat bertugas dan
mengambil gelar doktor saya. Kepada teman-teman saya
di Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten, yang telah memberikan suasana kerja
dan persahabatan yang menyenangkan. Juga kepada Tim
Penerbit Quantum Jogja yang telah memberikan apresiasi dan
antusias yang hebat kepada saya untuk menerbitkan buku
ini. Semoga buku ini dapat menginspirasi dan mendorong
banyak pihak untuk melakukan riset dan penelitian terhadap
khazanah manuskrip Nusantara.
Selamat Membaca.
~11~
~12~
Bagian Kedua
~13~
~14~
Kitab al-Jawahir al-Khamsah:
Pengarang dan Penyalinan
~15~
Secara gramatikal, kalimat ‘al-Jawāhir al-Khamsah’
berbentuk ṣifat wa-mawṣūf (sifat dan mensifati),
sedangkan kata ‘al-Jawāhir’ )الواهر ( جmerupakan bentuk
jamak dari kata ‘al-Jawhar’ )الوهر ( جyang berarti sisi
terdalam, substansi, esensi, isi, inti; sebagai lawan dari
“bentuk” (form) yang bersifat fisik. Makna ini tentu saja
ditinjau dari sudut pandang filosofis. Pada sisi lain, al-
Jawhar juga bermakna materi, atom, berlian, dan permata.
~16~
Orang yang pertama kali memperkenalkan Kitab al-
Jawāhir al-Khamsah kepada kalangan ulama Haramayn
adalah Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah al-Gujarati (wafat
1015H/1606M). Shaykh Sibghatullah sendiri adalah murid
dari Shaykh Wajihuddin al-Allawi (wafat. 1018H/1609M),
yakni salah seorang murid Shaykh Muhammad al-Ghawth
al-Hindi yang paling gigih membela gurunya dari berbagai
tuduhan sesat para ulama di Gujarat. Melalui ribāṭ atau lembaga
tarekat yang dimilikinya di Madinah dan juga peran aktifnya
selama di Makkah dan Madinah, sehingga kitab al-Jawāhir
al-Khamsah dapat tersosialisasi dan menyebar di kalangan
ulama di Haramain. Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah Jamal
al-Barwaji sendiri adalah seorang ulama kelahiran India tapi
keturunan Persia. Ia adalah kawan dekat Shaykh Fadlullah al-
Burhanpuri al-Hindi (wafat1029H/1620M), pengarang kitab
al-Tuḥfah al-Mursalah ilá Rūḥ al-Nabî yang isinya sempat
menjadi perbincangan hangat seputar masalah martabat
tujuh (tujuh tingkatan wujud yang bersifat sangat filosofis).
Shaykh Sibghatullah inilah yang kemudian menyebarkan
kitab al-Jawāhir al-Khamsah ke jaringan ulama di Makkah
dan Madinah, sehingga kemudian tersebar juga ke Melayu-
Nusantara, termasuk Banten. Jadi proses penyalinan naskah
al-Jawāhir al-Khamsah itu terjadi jauh setelah pengarangnya
sendiri telah wafat.
Hal ini dapat kita lacak melalui petikan akhir dari al-
Jawhar al-rābi’ pada kitab al-Jawāhir al-Khamsah khususnya
pada naskah A 42, halaman 530 yang berbunyi:
~17~
Jawāhir al-Khams li-Sayyid Muḥammad al-Ghawth
qaddasa Allāhu sirrahu, āmîn, yā Rabb al’Ālamîn”
~18~
ahli hakekat dan amalan ahli tarekat. Secara umum, kitab al-
Jawāhir al-Khamsah ini isinya membahas tentang lima buah
pokok substansi atau esensi yang bersifat praktis dalam
upaya mendekati Allah yang harus diikuti oleh para sālik.
~19~
bin Abdullah bin Ismail bin Jafar al-Sadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husain bin Ali r.a. (Naskah al-
Jawahir al-Khamsah, A 42: 5). Tiga kamus biografi baik al-
Zarkali (al-A’lām, Juz 6: 114), Haji Khalifah (Kashfu al-Ẓunūn,
Juz 1: 614), maupun Umar Rida al-Kahhalah (Mu’jam al-
Mu’allifin, juz 9: 282), menyebut ulama ini dengan sebutan
Abū al-Muayyad (bapak yang dikuatkan) dan biasa dijuluki
dengan sebutan al-Ghawth (penolong). Ia adalah seorang
ulama sufi kelahiran India yang memiliki kedalaman ilmu
syari’at dan tasawuf. Semasa mudanya, ia menggunakan 13
tahun dari usianya untuk bermeditasi dan mempraktekkan
ajaran asketisme atau kezuhudan yang diajarkan oleh
gurunya, Shaykh Muwahhidin al-Shaykh Zuhūr al-Hāj Hazur
(Shaykh Haji Hudūrî), di puncak gunung Chunar/Janar (arah
timur kota Uttar Pradhes, distrik Mirzapur).
~20~
pasukannya akibat serangan Zahiruddin Babur (1482-1530)
di Panipat tanggal 21 April 1526M. Gugurnya Ibrahim Lodi
menandai berakhirnya kekuasaan para budak Turki di India
dan menjadi awal berdirinya kesultanan Mughal (1526-
1748M).
~21~
1556) sultan Mughal pengganti sultan Babur. Sebagian besar
hidupnya didedikasikan menjadi penasehat Sultan Humayun,
hingga akhirnya ia dihukum mati di Bengal oleh Mirza Hindal,
tokoh pemberontak yang menentang kekuasaan Humayun.
Ketika Sultan Humayun berhasil dikalahkan oleh Sher Khan
Suri dari Afghanistan tahun 1540, Shaykh Muhammad al-
Ghawth terpaksa menyingkir atau mengasingkan diri ke
Gujarat untuk menyelamatkan diri, karena ia mempunyai
hubungan yang sangat dekat dengan Sultan Mughal itu.
Pengasingan
nya ini berjalan selama 16 tahun hingga
Sultan Humayun kembali berkuasa tahun 1555M. Semasa
pengasingannya inilah ia menulis buku al-Jawāhir al Khamsah
tahun 956 Hijriyah. Shaykh Muhammad al-Ghawth akhirnya
kembali ke India Utara, Gwalior, dan diterima dengan baik di
Delhi dan Agra setelah Sultan Humayun kembali berkuasa.
~22~
mengajarkan praktek sufi yang sesat (heretic), terutama
terkait ajarannya tentang Mi’rāj. Itulah sebabnya kemudian
mengapa Shakh Muhammad al Ghawth lebih memilih kembali
ke kampung halamannya, Gwalior, dan berkonsentrasi
mengembangkan khanāqahnya .
~23~
tasawuf kepada Shaykh Muhammad al-Ghawth, karena bagi
Tansen keduanya itu memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Setelah wafat, Tansen juga dimakamkan berdekatan dengan
pusara gurunya.
~24~
dan Madinah). Secara umum kitab al-Jawāhir al-Khamsah ini
isinya membahas tentang ilmu rahasia huruf dan al-Asmā’
Allāh (Nama-Nama Allah).
~25~
yang dipimpinnya selalu dihadiri murid-murid dan jamaah
haji dari Kesultanan Aceh dan Banten yang juga memberinya
informasi tentang Islam di Nusantara.
~26~
bukan menunjuk kepada penyalin naskah. Satu-satunya
informasi yang dapat dijadikan pijakan adalah catatan pada
halaman 53 berupa silsilah tarekat Shattariyah. Silsilah
tarekat yang dimaksud menyebutkan nama Muhammad
Habib bin Mahmud. Ayahnya bernama Shaykh Maḥmūd bin
Shaykh ‘Abdul Qahhār. Ia adalah tokoh kesultanan Banten yang
sempat menduduki jabatan Fakîh Najāmuddîn. Kesimpulan
ini dapat rujuk pada naskah A. 37 halaman 53 yang berbunyi:
~27~
Teri Teri, yakni ayah dari Sharif Hidayatullah, Mawlana Abdul
Muzaffar, dan Siti Zainab (istri Sunan Kalijaga). Informasi ini
diperoleh dari buku Manāqib Shaykh ‘Abd al-Malik (Tok Pulau
Manis) karangan Ibrahim Muhammad, Kelantan, Malaysia.
Tentu saja informasi ini memerlukan penelusuran lebih
lanjut lagi.
~28~
1777M. Informasi ini dapat dilacak pada karya-karyanya,
seperti: Mashāhid al-Nāsik fî Maqāmāt al-Sālik (MS A. 31),
naskah Fatḥ al-Mulk li-yaṣila ilá Malik al-Mulk alá Qā’idah Ahli
al-Sulūk (MS A. 111), dan naskah Risālah fi Shurūṭi al-Ḥajji
(Kitab ke-4 dalam naskah/MS A. 131). Selain itu, L.W.C. van
den Berg & R. Friederich (1873) pada buku katalognya juga
kerap menyebut tokoh yang dimaksud.
~29~
sifat yang memang kebanyakan dimiliki ulama penganut
tarekat. Terbukti dengan selalu ia menyebut dirinya sebagai
faqîr yang Ḥaqîr, sebagai bukti literer yang kerap ia tunjukkan
dalam karya salinan beberapa kitab yang ditulisnya bahwa ia
bukan siapa, hamba yang lemah, haus ilmu, dan rendah hati.
~30~
maka orang yang menyebut dirinya sebagai faqîr ‘Abdullāh
ada kemungkinan merupakan seorang keturunan kesultanan
Banten, yang memiliki pengetahuan agama yang luas (boleh
jadi ia adalah seorang ulama kerajaan yang pernah menjabat
sebagai fakîh/hākim). Dapat diduga bahwa ia adalah Shaykh
‘Abdullāh bin ‘Abdul al-Qahhār al-Bantāni, yang pada naskah-
naskah Banten lainnya nyata-nyata disebutkan namanya.
Namun di masa Sultan Abu al-Mafākhir Muḥammad Aliyuddîn
(Sultan Aliuddin I alias Sultan Gomok) (1777-1802) ulama ini
mengundurkan diri dan berhijrah ke Cianjur, akibat Sultan ini
lebih cenderung kepada ulama yang baru kembali dari Makkah
dan memiliki perbedaan pandangan dalam menentukan awal
puasa dan hari Raya.
~31~
seorang tokoh ulama yang punya kecendrungan pada ajaran
tasawuf, meski terkadang disebut sebagai Kyai ‘Abdullāh.
Apalagi, berdasarkan data pada naskah surat Cod. Or 2240 Ia
79 (No. 509), sangat jelas disebutkan bahwa ia sempat dikirim
(dibuang) Belanda ke Ambon. Dalam kesempatan itu ia minta
agar gaji/uang jaminannya sebesar 80 pon beras per bulan
dibayarkan. Ia juga meminta Kompeni Belanda mengirimkan
pelayan masing-masing empat orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia tidak lain
adalah Sharîf ‘Abdullāh alias Sultan Sharifuddîn Ratu Wakil
(1750-1752) yang sempat memerintah Banten bersama ibu
mertuanya Ratu Sharifah Fatimah, dan bukanlah Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār.
~32~
ke Makkah pada abad ke-12 Hijriyah, karena dari namanya
mengindikasikan bahwa ia bukan orang Arab, melainkan
berasal dari Gujarat, India.
~33~
~34~
Bagian Ketiga
~35~
~36~
Kitab al-Jawahir al-Khamsah
dan Kaitannya Dengan Konteks Kesultanan Banten
A. Konteks Sosial-Politik
~37~
Pada tahun 1746, Pangeran Arif Gusti bersama Kiai Tapa
dan Tubagus Buang melakukan pemberontakan menolak
keputusan Sultan Sepuh karena telah mengangkat Syarif
‘Abdullah (menantu Ratu Sharifah) sebagai putra mahkota.
Keputusan Sultan tentu saja mendapat persetujuan Belanda,
sehingga Sultan memintanya untuk menangkap para
pemberontak tersebut. Dengan alasan untuk mengamankan
keputusan Gubernur Jenderal, maka ditangkaplah Pangeran
Arif Gusti dan dibuang ke Sri Lanka (Ceylon) tahun 1747,
sedangkan Kyai Tapa dan Tubagus Buang berhasil meloloskan
diri dan membangun kekuatan di sekitar gunung Munara.
~38~
juga memperoleh ganti rugi dalam bentuk setengah dari hasil
tambang emas di Tulang Bawang, produksi lada di Lampung,
dan Timah di Tangerang.
~39~
diberikan kepada Pangeran ‘Arif Gusti. Sejak itu ia bergelar
Sultan Abū Naṣr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn. Sejak itulah,
gerakan pemberontakan mulai melemah dan berangsur-
angsur mereda.
~40~
yang juga menjabat sebagai Faqîh Najmuddîn, karena pada
halaman awal dan akhir naskah kitab tersebut kerap disebut-
sebut namanya.
~41~
dan dibuang ke Ambon, sedangkan Mangkubumi Wargadireja
dihukum pancung. Demikianlah babak akhir dari Kesultanan
Banten, sebelum akhirnya tentara Inggris di bawah pimpinan
Raffles (1811-1816) memaksa Sultan Muhammad Shafiuddin
menyerahkan jabatannya sebagai penguasa Banten kepada
pemerintah Inggris, dan Kesultanan Banten dihapuskan sejak
tahun 1813.
~42~
Tasikardi. Ia juga bertingkah sudah ke barat-baratan, lebih
senang bergaul dengan orang-orang Eropa, dan terakhir lebih
condong dan taat kepada “seorang ulama Arab yang baru
datang dari Makkah”. Berkaitan dengan hal ini, ulama-ulama
yang kerap mempengaruhi Sultan dan berasal dari negeri
asing itu kerap disebut sebagai “paus-paus orang asing”. Hal
itu digunakan untuk sebutan ejekan bagi ulama zaman itu,
karena rupanya di abad ke-18M Belanda begitu anti-Katholik.
~43~
B. Konteks Sosial-Intelektual
~44~
ilmu agama Islam. Tentunya pada saat sebelum Pangeran ini
berada dalam pengasingannya di Ceylon (Srilanka) selama
kurang lebih 5 tahun (1747-1752), karena menolak menikah
dengan salah seorang keluarga Ratu Sharifah Fatimah.
~45~
dari laporan pihak Belanda, Sultan Zain al-‘Āshiqîn adalah
seorang Sultan yang kurang memiliki ketertarikan pada
masalah pemerintahan, tetapi ia lebih memiliki perhatian
pada ilmu-ilmu agama Islam. Untuk melaksanakan tugas-
tugas administrasi kesultanan, ia lebih mempercayakan
Mangkubumi (Perdana Menteri) untuk mengurusinya.
~46~
yang juga guru dari para ulama Nusantara terkenal abad 17M
sebagaimana disebutkan di atas. Guru penting ini pernah
berguru kepada Shaykh ‘Abdullah ibn Salim al-Basri al-Makki
yang juga menjadi guru beberapa ulama asal Nusantara
abad ke 17. Dari Imam Muhammad ibn ‘Alî al-Tabari inilah
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār menerima ajaran tarekat
Shattariyah yang kemudian ia sebarkan ke daerah Banten dan
sekitarnya sekembalinya dari Makkah. Shaykh ‘Abdullah juga
menerima ijāzah pengajaran kitab hadits karangan Shaykh
Muhammad ‘Ali al-Ṭabari yang berjudul Fayḍ al-AḤad fî al-
’Ilmi bi ‘Uluwwi al-Isnād.
~47~
Adapun silsilah ilmu hadits-nya, tersambung kepada
Rasulullah dimulai dari Shaykh Imam Muhammad ibn ‘Ali
al-Tabari al-Husayni al-Makki, lalu dari Shaykh ‘Abdullah ibn
Salim al-Basri al-Makki, dari gurunya Shaykh Muhammad al-
Maktabi al-Dimashqi, dari Shaykh al-Islam al-Najm al-Ghazi
al-Shafi’i, dari bapaknya al-Badr al-Ghazi, dari Abi Yahya
Zakaria al-Anṣārî, dia dari al-Hafiz ibn Hajar ibn Na’im, dia
berasal dari Abî al-Fadl ‘Abdul Rahim al-Iraqi, dan dia berasal
dari Abi al-Fatḥ Muhammad ibn Muhammad al-Maydumi, dan
dia berasal dari Abi al-Farj ‘Abdul Latîf al-Harrani, dia dari Abi
al-Farj Abd al-Raḥîm ibn ‘Ali al-Jawzi, dan dia berasal dari Abi
Sa’id Isma’il ibn Salih al-Nisaburi, dan dia dari Abi Salih al-
Mu’dhin, dan dia dari Abi Tahir Muhammad ibn Muhammad
ibn Mahsh al-Zayyadi, dan dia dari Abi Ḥamid AḤmad ibn
Muhammad ibn Yahya ibn Bilal al-Bazzār, dari Abd al-Rahman
ibn Bashar ibn al-Hakim al-Nisaburi, dia dari Sufyan, dari
Uyaynah, dari Amru ibn Dinar, dan dari Abi Qabus, seorang
hamba dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, dan dari ‘Abdullah ibn Amru
ibn al-‘As, dari Rasulullah saw.
~48~
al-Tahiyyah fî Uṣūl al-Hadith, al-Kāfi fî ‘Ilm al-‘Arūd, Kitāb al-
Marsūmā, Kitāb al-Hajibiyyah, dan Waṣiyyāt al-Ṭullāb.
~49~
Adanya ketersambungan intelektual antara Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî ini dengan seorang
murid lainnya dari negeri yang sama, yakni Shaykh Ihsanuddin
Mindanao. Dalam salah satu naskah karyanya yang berjudul
Sayyid al-Ma’ārif Shaykh Ihsanuddin menyebutkan, “...
bahwasanya Shaykh kita, Shaykh Haji ‘Abdullah ibn ‘Abdul
Qahhār al-Shaṭṭārî al-Shāfi’î Banten telah mengambil Tarekat
al-Shaṭṭārî jalan kepada Allah ...” Ungkapan “Shaykh kita” pada
petikan tersebut menunjukkan bahwa Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhār begitu dihormati oleh muridnya yang berasal
dari Mindanao tersebut.
~50~
tujuh purnama . Namun ‘ilmu tabarruk’ yang disebutkan
itu tidak dipelajari dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār
melainkan dari Kiai lain yang juga ulama Banten, namun
belum diketahui dengan pasti. Ulama Banten itu disebut-
sebut berasal dari Karang Tanjung, Pandeglang. Adapun
muridnya bernama Tuan Haji Basaruddin, orang Mindanao.
Sebagaimana disebutkan dalam naskah “... Kiai masih orang
Banten di Karang Tanjung nama kampungnya maka mengajar
ia kepada Tuan Haji Basaruddin orang Malimdanaw ...”.
~51~
wilayah kabupaten Pandeglang. Di desa ini setidaknya
terdapat tiga makam kuno ulama besar yang kerap diziarahi
oleh masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, yakni
makam Shaykh ‘Abdul Jabbar, makam Shaykh Jumanten Jaga
Raksa Nagara, dan makam Shaykh ‘Abdul Halim (guru para
ulama Pandeglang semisal Kyai Idrus, pendiri pesantren
Turus, Kyai Saleh yang terkenal amat bersahaja, Kyai Halimi,
Kyai Ruyani dan masih banyak lagi). Shaykh ‘Abdul Jabbar
itulah yang kemungkinan besar menjadi tempat berguru
ulama Mindanao tadi.
~52~
ia emban sejak keberangkatan pamannya untuk menuntut
ilmu ke Haramain sekitar tahun 1745. Setelah pamannya
itu kembali, jabatan itu tetap diembannya sehingga Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār lebih memilih mengembara ke
wilayah Bogor, Sukabumi, Cirebon, dan terakhir menetap di
Cianjur hingga akhir hayatnya.
~53~
Habib menyebutkan nama kakeknya, ia menambahkan
kata “qaddasa Allāhu asrārahu” yang berarti “semoga Allah
mensucikan ruhnya”. Data ini menunjukkan bahwa saat
silsilah tersebut ditulis, saat itu sang kakek (Shaykh ‘Abdul
Qahhār) telah meninggal dunia. Silsilah tersebut, dari Shaykh
‘Abdul Qahhār lalu tersambung kepada Shaykh ‘Abdul Muhyi
Pamijahan, lalu tersambung pula kepada Shaykh ‘Abdul Ra’ūf,
dan seterusnya (Naskah al-Jawāhir al-Khamsah, A 37: 53). Ini
adalah informasi berbeda, karena pada silsilah yang tertera
pada beberapa karya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār,
ijāzah dan silsilah tarekat Shattariyah diperolehnya tidak dari
jalur Shaykh ‘Abdul Muhyi dan Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel,
melainkan dari Shaykh Ibrahim al-Madani bin Muhammad
Ṭāhir al-Madani al-Kurdi, sebagaimana diterangkan di atas
(Naskah Fatḥ al-Muluk, ff. 50-53). Shaykh Muhammad Ṭāhir
sendiri adalah anak sekaligus pengganti Shaykh Ibrahim
al-Kurani. Jadi, silsilah dan ijāzah tarekat Shattariyah yang
diperoleh Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār justru langsung
dari cucu al-Kurani di Makkah, dan tidak melalui jalur yang
lain.
~54~
al-Kurani. Jalur silsilah ini mirip dengan silsilah Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār versi Melayu-Mindanao yang
dijumpai dalam koleksi Shaykh Muhammad Sa’îd di Marawi
City.
C. Konteks Sosial-Keagamaan
~55~
pengasingan di Batavia tahun 1692. Demikian juga halnya
dengan Shaykh Yusuf yang meninggal di pengasingannya,
Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada 23 Mei 1699.
~56~
berbuat banyak apalagi menolak, karena telah dililit hutang
beserta bunganya yang makin membengkak. Seluruh biaya
perang yang pernah dikeluarkan pihak Kompeni juga harus
dibayarkan oleh pihak Kesultanan. Seluruh kewajiban itu
tertuang dalam perjanjian yang ditanda-tangani Sultan Haji
pada 17 April 1684 dan terpaksa harus ditaati oleh seluruh
keturunan dan Sultan-Sultan penerusnya kelak.
~57~
ikut menanda-tangani perjanjian itu, di samping Pangeran
Dipaningrat, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya.
Demikian juga pada perjanjian terkait kudeta tak berdarah
Ratu Sharifah Fatimah bersama menantu atau keponakannya,
Sultan Sharif ‘Abdullah, terhadap Sultan Zainal Arifin pada 28
Nopember 1748 yang ditetapkan Gubernur Jenderal Gustaff
Willem Baron van Imhoff, terdapat nama-nama seperti:
Pangeran Kusuma Ningrat selaku perdana menteri, Faqîh
Najmuddîn, penghulu ‘Abdul Ra’ūf, penghulu ‘Abdul Muluk,
penghulu ‘Abdul Salman, dan penghulu Muhammad Hamim.
~58~
Perpecahan di kalangan ulama itu memang sudah terjadi
sejak masa Maulana Muhammad (1580-1596M) berkuasa,
terutama sejak kedatangan Kiai Dukuh yang berasal dari Arab
yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan. Sejak itu,
seakan terjadi dualisme terkait posisi ulama dalam Kesultanan
Banten, karena di samping qāḍî yang telah lebih dulu ada,
ternyata juga terdapat semacam ‘perguruan’ di Kasunyatan,
meski bersifat non-formal. Oleh karenanya dapat disimpulkan,
bahwa di Banten kala itu terdapat dua tipe ulama, yakni
ulama kota dan desa. Keduanya ada yang bersifat independen
dan ada yang bersifat ambivalen. Di kota sendiri, ada ulama
istana/kraton yang tunduk pada Sultan, ada pula yang
bersikap independen yang posisinya kadang dekat dengan
Sultan, tapi terkadang juga mengambil jarak dengan Sultan.
Untuk mengambil jarak biasanya mereka akhirnya hijrah ke
desa. Pada tahun 1780 terjadi konflik antara qadi dengan
ulama kota independen akibat perbedaan pendapat dalam
tata cara menentukan awal dan akhir puasa bulan Ramadan.
Karena Sultan Abu al-Mafākhir Muhammad Aliyuddin (1777-
1802) lebih memilih cara-cara yang diperkenalkan oleh
seorang ulama yang baru kembali dari Makkah, akibatnya
sang qāḍî memilih mundur dan meletakkan jabatannya. Qāḍî
tersebut tidak lain adalah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār
al-Bantānî. Dan ia akhirnya memilih untuk pindah ke Cianjur
lalu ke Cirebon hingga wafatnya.
~59~
Habib bin Mahmud, yang tidak lain adalah cucu dari Shaykh
‘Abdul Qahhār alias keponakan dari Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhār sendiri atau ulama lainnya. Peristiwa tersebut
bertepatan dengan wafatnya Sultan Banten ke 12, yakni
Sultan Abu Nasr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn. Informasi
itu terdapat pada catatan ke-2 halaman pelindung muka
naskah al-Jawāhir al-Khamsah (MS A. 37) yang menyatakan
bahwa pada tanggal 7 Dzulqaidah 1191 H tahun Dal di hari
Minggu waktu Adha, telah tiba seorang ulama Arab dari
Batavia, bersamaan dengan tersebarnya kabar wafatnya
Sultan Banten. Meski catatan itu tidak menyatakan secara
pasti siapa nama Sultan Banten yang wafat itu, namun dapat
dipastikan ia tidak lain adalah Sultan Abu Naṣr Muhammad
Zain al-‘Āshiqîn. Informasi tersebut terdapat pada catatan
tambahan pada halaman muka naskah A 37, yang berbuyi
sebagai berikut:
~60~
1191H bertepatan dengan hari Ahad/Senin Pon tanggal
9/10 Februari 1777M. Itulah sebabnya dalam perhitungan
terdapat angka 91 dibelakang angka koma, karena tahun baru
Hijriyahnya jatuh pada bulan Februari, bulan kedua tahun
1777M. Perhitungan berikutnya adalah penyesuaian tanggal
dan bulan Hijriyah dengan tanggal dan bulan tahun Masehi
adalah: Dhulqa’idah adalah bulan ke-11; bulan 1-11=325
hari. Tanggal 7 Dzulqaidah adalah hari yang ke 325+7=332
untuk tahun 1191H. Karena tanggal 1 Suro 1191H bertepatan
dengan tanggal 9/10 Februari 1777M; bulan Februari adalah
bulan kedua sedang jumlah hari bulan sebelumnya 31 hari;
sehingga tanggal 9/10 Februari adalah hari ke 31+9 atau 10
=40 atau 41 hari untuk tahun 1776,91. Tanggal 7 Dhulqa’idah
adalah hari ke 41+332=373dihitung dari 1 Januari 1777. Jadi
tanggal 7 Dhulqa’idah adalah hari yang ke 373-365= 8 untuk
tahun 1778, atau bertepatan dengan tanggal 8 Januari 1777M.
~61~
dan tentaranya yang baik dan setelah itu. Maka telah
berkata yang faqir kepada Allah (Tuannya Yang Maha
Kaya) Muhammad Habib bin Mahmud yang dijuluki
Faqih Najamuddin: “Dan saya yang faqir telah mengambil
ijazah dan silsilah Shaṭṭariyah dari shaykh, panutan,
dan tuan kita, Mahmud bin Maulana ‘Abdul Qahhār dia
mengambil dari bapaknya Shaykh ‘Abdul Qahhār, semoga
Allah mensucikan ruhnya, dan dia mengambil dari
Shaykh Ḥaji ‘Abd al-MuḤyî, semoga dikasihi Allāh, dia
mengambil dari Shaykh al-‘Ārif billāh al-Kāmil Shaykh
‘Abdul Ra’ūf, dia mengambil dari Shaykh al-‘Ārif billāh al-
Kāmil al-Mukammil Aḥmad bin Muhammad al-Madanî
al-Anṣārî yang terkenal dengan nama al-Qushāshî, dan
dia mengambil ijazah dari shaykh dan tuan kita Abî al-
Mawāhib ‘Abd Allah AḤmad bin ‘Alî al-Qurayshî kakek
dari ‘Abbās al-Thanāwî, dan dia mengambil ijāzah dari
Sulṭān al-‘Ārif billāh Mawlānā Sayyid Ṣibghatullāh...”
~62~
Habib ḍa’îf ‘umqu dîn bay’at Naqshabandî dening Kiyāhî
bapā pêngêndîkanî Habib mêrěněhā isun bay’at tajdîdan
maka noleh isun den cêkêl tangan isun nulěh isun den
talqîn, al-ḥamdu li-llāh ‘alā mā hadānā”
~63~
memelihara keimanannya, kabulkanlah wahai Tuhan
seru sekalian alam !) (lihat lampiran 3, hlm 453)
~64~
mengambil ijazah Hadith Bukhari. Selesai ucapan dengan
baik dan ‘afiyat (lihat lampiran 4 hlm. 454)
~65~
Dan jika pihak Belanda menyetujui penunjukkan itu, tentu
saja pihak lain dari keluarga istana tak akan bisa mengelak,
apalagi menolak dan melawannya.
~66~
Bagian Keempat
~67~
~68~
Tinjauan Isi Kitab al-Jawahir al-Khamsah
~69~
naskah atau teks kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang ada di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia saat ini (MS A.
37 dan MS A. 42) merupakan naskah al-Jawāhir al-Khamsah
berasal dari koleksi perpustakaan kesultanan Banten. Naskah
tersebut diduga kuat disalin oleh ulama Banten bernama
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār. Ia hidup pada masa
kesultanan Banten mulai kehilangan kekuasannya dan mulai
dikuasai pihak Kompeni Belanda sekitar abadke-18 Masehi.
~70~
penilaiannya terhadap suatu ajaran dan ilmu yang sedang
digelutinya. Setelah itu dilanjutkan dengan doa dan ucapan
salawat kepada Nabi Muhammad saw., kepada para sahabat
dan pengikutnya, dengan harapan memperoleh berkah,
bimbingan, dan konsistensi dalam menjalankan risalah Islam.
Kedua unsur ini biasanya diletakkkan di awal teks sebagai
exordium atau mukadimah sebuah karya. Demikianlah halnya
dengan yang dilakukan oleh Shaykh Muhammad al-Ghawth
al-Hindi dalam menulis karyanya. Untuk memperkuat
argumennya, pada pendahuluan ia mengutip sejumlah dalil-
dalil, baik itu dari ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
penuh metafora.
~71~
Jawāhir al-Khamsah berkat bimbingan Shaykh Zuhur al-Haji
Huduri yang telah meninggal dunia sekitar abad 13 Masehi.
Upaya itu terus dilakukannya, meski gurunya telah meninggal
dunia, hingga akhirnya ia memperoleh petunjuk melalui
perjumpaan dengan ruh gurunya yang telah meninggal dunia.
Proses transformasi ilmu semacam ini kerap disebut dengan
istilah barzakhî atau uwaysî. Hal itu dapat diperiksa pada
petikan dari naskah al-Jawāhir al-Khamsah A 37 halaman 13.
Yang artinya:
~72~
mendapatkan tawfiq (bimbingan) “Sesungguhnya orang-
orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya
mereka telah berjanji setia kepada Allah” (QS.48:10). Kala
itu beliau sudah berumur lanjut sebagaimana dikenal, dan
aku berkhidmat kepada beliau beberapa lama mengambil
kehormatan dengan itu.”
~73~
menghamba kepada Allah swt. semata; zāhidîn (ascetics),
yang artinya orang yang menempuh jalan hidup zuhud; dan
kaum Shaṭṭārî yang artinya menjadi orang yang memiliki
kekuatan mistis supranatural yang tak bisa dicapai oleh
tarekat sufi lainnya. Meski demikian, teks-teks kitab al-
Jawāhir al-Khamsah yang sampai kepada kita bukanlah yang
ditulis langsung oleh pengarangnya (autograph), melainkan
yang ditulis oleh murid-murid Shaykh Sibghatullah dan
murid Shaykh Wajihuddin lainnya. Hal ini dapat diketahui
melalui petikan dari ungkapan dalam naskah kitab al-Jawāhir
al-Khamsah pada awal sub al-Jawhar al-Rābi’:
~74~
tak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah
mencapai kesucian dan kesempurnaan batin (rohani). Untuk
mencapai kesucian dan kesempurnaan batin tersebut, maka
seorang muslim terlebih dahulu harus berusaha menempuh
dua jalan utama, yakni takhliyah dan taḤalliyah. Maksud jalan
pertama (takhliyah) adalah dengan mengosongkan diri dari
segala sifat-sifat rendah yang akan menghalangi perjalanan
manusia dalam mendekati-Nya. Adapun maksud jalan kedua
(taḥalliyah) adalah dengan menghiasi diri dengan segenap
sifat-sifat luhur yang akan mempercepat perjalanan manusia
mendekati-Nya. Kedua jalan utama tersebut harus dilalui
dengan aneka macam latihan kerohanian yang formulanya
diambil dari sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Quran
dan Hadits Nabi juga teladan dari para tokoh sufi yang diakui.
~75~
bahkan agar mampu menyatu (ittiḤād) dengan-Nya. Dalam
hal ini, juga, ada ahli sufi yang menerjemahkan kata al-Jawāhir
dengan makna “Gem” atau “ Pearl” yang berarti “Permata
Tulen” (asli, murni).
~76~
kecuali setelah melakukan praktek-praktek tasawuf yang
diajarkan di dalamnya secara َ sempurna,
َ yakni apa yang
ٌ ْ ٌ َ ْ
disebut sebagai amalan أ ب َ�ارdan أخيارsertaَ menguasai tehnik
َْ ْ ْ ُ ْأ
kreasi berdoa dengan َ menggunakan س العظ ُم ( ا ِإلkumpulan
َ ن ْ ُ ْ ُ َْْأ
beberapa � الساء السyang diyakini memiliki khasiat tertentu).
Ketiga langkah latihan spiritual itu juga harus diimbangi
ٌَُْ
dengan عز ةلyakni mengisolir diri atau mengasingkn diri dan
tirakat selama 40 hari sesuai aturan. Semua ini merupakan
pra-syarat untuk meningkat pada tahap berikutnya, yaitu فن ٌاء
ََ
yaitu mampu meleburkan diri saat bertemu dengan Allah;
ََْ ََ
dan فن ُاء الفن ِاءyaitu mampu meleburkan diri dan musnah sama
َ ْ َ
sekali di hadapan Allah; serta َبق ُاء ال َبق ِاءyakni menyatu dengan
Allah hingga mampu melihat adanya Allah di mana-mana.
~77~
telah ditetapkan. Kemudian dilanjutkan dengan shalat Ṣubuh
beserta beberapa amalan zikir yang harus dibaca setelahnya
beserta aturan membacanya. Selain itu, ada juga amalan
berupa 10 bacaan yang masing-masing harus dibaca tujuh
kali ulang, seperti surat al Fatihah, empat surat yang dimulai
dengan “qul” ()أربع القواقل, ayat kursi, dan lain-lain. Sambil
menunggu matahari terbit, disunnahkan juga melakukan
shalat ishrāq atau shalat menunggu matahari terbit beserta
zikir dan doanya.
~78~
telah mendekati pertengahan siang hari, hendaknya tidur
siang dengan niat dapat menghidupkan waktu malam (dapat
bangun malam untuk shalat Tahajjud). Kemudian melakukan
shalat ( زوال الشمسshalat tergelincirnya matahari) sebanyak
4 rakaat setelah sebelumnya melaksanakan shalat Sunnah
Wudhu. Pada tiap rakaat membaca surat al-Ikhlāṣ sedikitnya
tiga kali dan paling banyak 70 kali, kemudian dilanjutkan
dengan shalat Dzuhur beserta shalat sunnah qabliyah dan
badiyahnya. Pelaksanaan shalat Zuhur, jika di Musim Dingin
disunnahkan untuk diakhirkan, sedang di Musim Panas
disunnahkan untuk dipercepat.
~79~
matahari. Ketika terbenam matahari membaca 10 bacaan
)املسبعات ش. Sedang pada hari
yang kerap dibaca tujuh kali (الع�ة
Kamis, Jumat, dan malam Sabtu, setelah menunaikan ibadah
yang fardhu hendaknya membaca doa ini:
َ ُ ْ َ
َ ي� َر،�ْ َ ي� َس َّت ُار ُا ْس تُ ْ� َع ْي،�ْ َ ي� َغ َّف ُار اِ ْغ ِف ْر َذ ْن،�ْ َ ي� َج َّب ُار إ ْج ب ْ� َق ْل
،�ْحان أ ْص ِل ْح ِ ن ي ِب ي ِب ي ِ ِ ِب ي
َ َ َ َ ُ َ َْْ ْ َ َ
ْ َ ي� َسل ُم ا ْس ِ ْل ِ ن ي،اب ت ْب عل َّيا
� ُ َ ي� ت َّو،�ْ ح ن
ي� َر ِح ي ُ� اِ ر ِ ي.
Kemudian melaksanakan shalat Maghrib beserta segala
amalan yang terkait dengannya, baik sebelum maghrib
maupun setelahnya beserta shalat-shalat sunnah yang
disunnahkan untuk dilaksanakan, seperti shalat sunnah
ba’diyah sebanyak 2 rakaat, shalat sunnah awwābîn enam
rakaat, shalat sunnah Firdaws dua rakaat, shalat Sunnah
Cahaya ( )صالة النورsebanyak 2 rakaat, shalat minta dicintai
( )صالة االستحبابdua rakaat, shalat sunnah Mensyukuri Malam
( )صالة لشكر الليلdua rakaat beserta doanya. Juga dilanjutkan
dengan shalat Sunnah untuk Menghidupkan dan Menerangi
َْْ
Hati ( ) ِ ِ إل ْح َي ِاء القل ِب َو ِض َيا ِئ ِهdua rakaat, shalat sunnah untuk
ْ ْ
menjaga iman (ال ْي َ� ِان ) ِ ِلف ِظ ِإdua rakaat, dan lain-lain.
Jika masuk waktu ‘Isya, hendaknya melaksanakan shalat
‘Isya beserta shalat sunnah sebelum dan sesudahnya, masing-
masing empat rakaat, dengan ketentuan dan bacaannya
masing-masing. Shalat Isya lebih disukai untuk diakhirkan
hingga sepertiga malam, untuk kemudian disambung dengan
shalat malam (tahajjud). Juga terdapat tuntunan untuk
melaksanakan beberapa shalat sunnah 2 rakaat di malam hari,
yang kemudian ditutup dengan shalat Witir yang sebaiknya
~80~
dikerjakan di akhir malam. Pada tiap-tiap akhir dan selama
melaksanakan shalat juga terdapat bacaan-bacaan khusus
yang harus dibaca sesuai dengan aturan dan jumlahnya.
Selain itu, juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat minta
syafā’at, shalat Witir sambil duduk sesuai dengan ketentuan
dan doanya.
~81~
Untuk masing-masing hari dalam seminggu, memiliki
bacaan wirid tertentu yang masing-masing dibaca sebanyak
100 kali. Pada akhir wirid ditutup dengan shalat sunnah 2
rakaat di mana bacaan tiap rakaatnya sesuai kemampuannya.
Adapun yang dimaksud dengan wirid tersebut adalah:
َ�ال ْ ن َّ َ ُ ْ ُ َِّ َ َ َّ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ن
1. ل ِإل ِإل أنت سبحانك ِإ� كنت ِمن الظ ِ ِ ي
wirid untuk hari Sabtu dibaca 100x
ْ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ
2. �ُال ُّق ا ُمل ِب ْ ي ن ل ِإل ِإل هللا ال ِلك
wirid untuk hari Ahad dibaca 100x
ُ ً ُ َل إ َ َل إ َّل
هللا َع ِز ْ ي زً�ا َج ِل ْيل َ ي� َع ِز ْ ي زُ� َ ي� َج ِل ْيل
3. ِ ِ
wirid untuk hari Senin dibaca 100x
~82~
Bahkan, menurut Shaykh Zuhur al-haji Huduri, setiap
hari hendaknya diucapkan 1000 kali bacaan wirid masing-
masing, yakni: (hari Sabtu) و ُ ( ; َ ي� َاhari Ahad)�ُ ح ُان َ ي� َر ِح ْي
َ هلل َ ي� ُه َ ْ ; َ ي� َر
ُ َ ُ ( ; َ� َوhari Selasa) ص ُد َ
َ َ �( ; َ ي� ف ْر ُد َ يhari Rabu)�َ ي
(hari Senin)احد َ ي� أ َحد ِ ي
َ ُّ( ; َ يhari Kamis) ; َ ي� َح َّنان َ ي� َم َّنانdan (hari Jum’at) ال َل ِل
ح َ ي� ق ُّي ْو ُم
ُ ُ َ َ ي� َذ ْ ج
ْ ْ
َو ِإال ك َر ِام. Berbeda dengan al-Ḥaji Ḥuduri, Shaykh Shihabuddin
al-Suhrawardi justru mengajarkan wirid yang berbeda yang
diucapkan tiap hari sebanyak 1000 kali bacaan berikut: (hari
Sabtu) ( ;ال إهل إال هللا حممد رسول هللا صىل هللا عليه وسملhari Ahad)ح ي� ي
ن
( ; ي� قيومhari Senin)( ; اللهم صىل عىل سيد� حممد وعىل آل سيد� حممدhari ن
Selasa) �العظ ي العل
( ;ال حول وال قوة إال ب�هلل يhari Rabu)أستغفر هللا من
�عظ( ;لك ذنب يhari Kamis) ; ي� هللا ي� هللاdan (hari Jumat) سبحان هللا
.�العظ
العل ي
أك�ال حول وال قوة إال ب�هلل ي
واحلمد هلل وال إهل إال هللا وهللا ب
Selain shalat-shalat sunnah yang telah disebutkan di atas,
Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi juga mengajarkan
untuk melaksanakan shalat-shalat sunnah lainnya, seperti:
shalat sunnah Ahzāb, shalat sunnah istikhārah, shalat dalam
perjalanan ()صالة السفر, shalat sunnah hajat, shalat mohon
kesembuhan ()صالة لشفاء املرض, shalat pengganti shalat Jumat
(المعة
)صالة قضاء ج, shalat hati ()صالة القلب, shalat rindu (صالة
العاشق�ن
ي ), shalat untuk menerangi kubur (�القلتنو� ب
)صالة ي, shalat
sebagai denda ()صالة الكفارة, shalat agar ditunaikan segala
ئ
keperluan (�احلوا
ج )صالة لقضاء, shalat jenazah, shalat untuk
menolak penyakit Ambeien/Wasir ()صالة لدفع البوارس, shalat
bulan Muharram, shalat bulan Shafar, shalat bulan Rabi’ul
Awwal, shalat sunnah bulan Rabiul Akhir, shalat sunnah
bulan Jumadil Ula, shalat sunnah bulan Rajab, shalat sunnah
bulan Sha’ban, shalat pembebasan (ال�اءة )صالة ب, shalat sunnah
bulan Ramadhan, shalat Tarawih, shalat bulan Syawwal,
~83~
shalat bulan Dzulqadah, dan shalat sunnah bulan Dzulhjjah.
Selain itu, di malam-malam tertentu dari bulan-bulan
tersebut juga terdapat anjuran melaksanakan shalat sunnah,
seperti shalat sunnah Uwaisiyyah di hari ketiga, empat, dan
kelima bulan Rajab, shalat sunnah di malam 15 bulan Rajab,
shalat sunnah di malam Mi’rāj (27 Rajab), shalat sunnah di
hari Rabu terakhir bulan Safar atau yang kerap disebut hari
Rabu Wakasan, dan masih banyak lagi macam-macam shalat
sunnah lainnya.
~84~
jalan sufi, menunjukkan bahwa ajaran Shaykh Muhammad
al-Ghawth sebagaimana diadopsi dari para gurunya tersebut
tidak menolak syariat, bahkan: menjadikan syariat sebagai
pra-syarat sebelum menempuh jalan tarekat. Maka tarekat
yang kemudian diajarkannya dapat digolongkan ke dalam
corak tasawuf Imam al-Ghazali yang moderat, karena
berusaha mendekatkan unsur syariat dengan tasawuf. Hal
ini sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Shaykh
Muhammad al-Ghawth pada naskah kitab al-Jawāhir al-
Khamsah, A 42 halaman 308.
~85~
sunnah saja, melainkan termasuk puasa, zakat, dan haji ke
Baitullah, bahkan lebih luas dari itu, yakni setiap perbuatan
baik dan positif yang diniatkan ikhlas untuk mengabdi
kepada Allah termasuk dalam kategori ibadah dalam konteks
ini. Semua ibadah dalam rangka mengabdi kepada Allah
berdasarkan aturan syari’at Islam disebutnya sebagai ibadah
fisik (‘Ibādah Ẓāhiriyyah).
~86~
Berzuhud merupakan upaya olah batin (al-riyādah al-
bāṭiniyyah) sebagai jalan terbaik (ṭarîq al-akhyār) untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Upaya itu dapat dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu terlebih dahulu memahami
hasrat dan getaran yang ada dalam batin kita melalui guru/
pembimbing tarekat (murshid). Zuhud yang dimaksud
disini adalah station atau level kedua yang harus dilalui
dan dipraktekkan setelah segala yang terkait dengan
ibadah, sebagaimana yang dijelaskan pada bab pertama,
telah sempurna dilakukan. Adapun bersitan/getaran yang
dimaksud adalah: Getaran syaitan (الطرة الشيطانية ;) خGetaran
;) خGetaran Malaikat (الطرة امللكية
nafsu (الطرة النفسانية ;) خdan
) خ.
Getaran ruh (الطرة الروحية
~87~
jasmani tetap ada, maka bersitan/getaran itu adalah bersitan
ruhani yang berasal dari Allah swt.
~88~
َْْ َُْ
doa Hafta Baykar,atau pembuka segala rahasia, doa ك ن ز� الفت َح,
ُ َ ْ ُ َ ْ ِْ أ
atau pembuka simpanan kemenangan doa ال َب ُ� ْو ِت َّية
الساء ج, doa
mohon dapat bertemu Nabi Muhammad saw. lewat mimpi,
doa mohon selamat dari godaan syetan dan gangguan nafsu
أ
syahwat, doa keutamaan membaca dan mengamalkan الامسء
ن
�احلس dan doa mohon dihindarkan dari segala rintangan
dalam berzuhud, seperti waktu-waktu atau hari-hari sial
melalui hembusan yang ada pada benda-benda langit (planet).
Meski semua doa pasti akan dikabulkan oleh Allah, namun jika
~89~
kita ingin agar doa tampak nyata pengaruhnya terhadap apa
yang kita maksudkan, tentu kita harus memiliki pengetahuan
agar permohonan kita cepat dikabulkan. Shaykh Muhammad
al-Ghawth menyebutkan bahwa ada kondisi di mana doa
pasti dikabulkan Allah, seperti doanya sang musafir yang
melakukan perjalanan untuk kebaikan (tidak untuk maksiat),
dan doa kedua orang tua, doa orang-orang yang dianiaya, doa
para pemimpin yang adil, doa seseorang untuk saudaranya,
doa orang yang berpuasa saat berbuka, doa para haji, doa
orang yang berhijrah, doa orang yang berjihad di jalan Allah,
doa orang yang sedang sakit, dan lain-lain.
~90~
menjumlahkan hitungan (المل )حساب ج, yakni perhitungan
yang dihasilkan dari penjumlahan bilangan-bilangan yang
dilambangkan dengan huruf Hijaiyah, karena tiap-tiap huruf
Hijaiyah merupakan lambang dari sejumlah bilangan, baik
satuan, puluhan, maupun ratusan. Sistem tersebut kerap
disebut sebagai Kronogram (huruf Hijaiyah sebagai lambang,
angka), seperti misal:
~91~
nama-nama gugusan (rasi) bintang dan masing-masing sifat-
sifatnya adalah: Aries ()احلمل ن�رى, Taurus (�)الثور ت� با, Gemini
الوز ئ أ
)الرسطان ئ, Leo (السد ن�رى ة
(�هوا ) ج, Cancer (�ما ), Virgo (السنبل
امل�ان ئ
�) ت� با, Libra (�هوا )العقرب ئ, Sagitarius (القوس
) ي ز, Scorpio (�ما
) ن�رى, Capricornus (�الدى ت� با )الدلو ئ, Pisces
) ج, Aquarius (�هوا
(�ما الوت ئ ) خ.
أ
Dalam hal ini, Aries ()احلمل, Leo ()السد, dan Sagitarius
( )القوسsemuanya bersifat api, sedangkan Taurus ()الثور, Virgo
ة
(السنبل ), Copricornus (الدى ) جsemuanya memiliki sifat tanah;
sedangkan Cancer ()الرسطان, Scorpio ()العقرب, dan Pisces
(الوت ) خsemuanya bersifat air; adapun Gemini (الوز ) ج, Libra
ز
(امل�ان) ي, dan Aquarius ( )الدلوbersifat udara.
Tiap huruf Hijaiyah yang 28 itu terbagi kepada 7 bintang
yang beredar, maka dari tiap bintang tersebut diberikan
( ب جuntuk Saturnus (al-zaḥl), H-w-
misalkan 4 huruf; A-b-j-d )ا�د
z-ḥ ) (هوزحuntuk Jupiter (al-mushtari), T-y-k-l ) (طيلكuntuk
Mars (al-marikh), M-n-s-‘a ) (منسعuntuk Matahari (al-shams),
f-s-q-r ) (فصقرuntuk Venus (al-zuhrah), sh-t-th-kh ) (شتثخuntuk
Merkurius (al-‘attarid), dh-dh-ẓ-gh ) (ذضظغuntuk Bulan (al-
qamar). Jika perwakilan nama planet itu huruf awalnya atau
salah satu hurufnya adalah salah satu dari huruf-huruf ini,
أ
maka nama-nama yang agung ( )االمس العظمtersebut berkaitan
dengan planet-planet tersebut. Jika mengacu pada huruf
Hijaiyah yang digunakan sebagai lambang dari bilangan,
dan masing-masing bilangannya dijumlahkan, maka masing-
masing planet (bintang) itu diwakili oleh angka-angka
berikut: Saturnus:10, Jupiter: 26, Mars: 69, Matahari: 220,
Venus: 470, Merkurius: 1800, dan Bulan: 3400
~92~
Untuk memilih khasiat bintang hendaknya isim dibaca
selama bintang itu berada pada gugusan (rasi) yang cocok.
Jika bintang tersebut berpindah (dari gugusannya) maka
berhentilah berdoa, lalu bacalah bacaan tertentu secara
ٌ
berulang-ulang ()دْرِو. Pembacaan doa juga harus disesuaikan
dengan harinya, karena masing-masing bintang memiliki
hari-hari khusus. Hari-hari bintang itu adalah: Sabtu untuk
Saturnus, Kamis untuk Jupiter, Selasa untuk Mars, Ahad
untuk Matahari, Jum’at untuk Venus, Rabu untuk Merkurius,
dan Senin untuk Bulan. Jika bintang itu telah sampai pada
gugusannya, bacalah doa dan pahami perpindahan bintang
dan rumah-rumahnya sesuai dua tabel berikut ini:
ع-ظ-ض-ذ
ق
)(�ر
Bulan
~93~
Canser () ش�طان, dan jika bersesuaian dengan Aquarius ()دلو
أ ) تjika
ada pada Leo ()السد. Dampak terburuk Jupiter (مش�ي
bersesuaian dengan Sagitarius ( )قوسada pada Gemini ()جوزة,
dan jika bersesuaian dengan Pisces ( )خوتmaka ada pada Virgo
ة
(السنبل ) ي خjika bersesuaian dengan
). Dampak terburuk Mars (�مر
Scorpio ( )عقربada pada Taurus ()ثور, dan jika bersesuaian
dengan Aries ( )محلada pada Libra (م�ان ) ي ز. Matahari jika
bersesuaian dengan pengetahuan yang ada, karena dampak
terburuk Matahari sebenarnya ada pada Aquarius ()دلو. Dan
ق
dampak dari Bulan ( )�رada pada Capricornus ()جدى, dampak
dari Taurus ( )ثورada pada Scorpio ()عقرب, dampak dari Libra
) ي زada pada Aries ()محل, keduanya untuk Venus ()زهرة.
(م�ان
Dampak dari Merkurius ( )عطردjika bersesuaian dari poros
Jupiter (مش�ى ) تhingga Sagitarius ()قوس, dan jika dari sisi
persesuaian dengan Pisces ( )احلوتatau antara Pisces ()احلوت
ة
dengan Virgo (السنبل ) maka sebagian bintang berada pada
gugusannya berhari-hari dan sebagian lainnya berbulan-
bulan bahkan sebagian lainnya tahunan.
~94~
(astrolog) dalam membaca dan meramal nasib seseorang.
Berulang-ulang Shaykh Muhammad al-Ghawth menyebut
bahwa ilmu ini ia peroleh dari gurunya Shaykh Zuhur al-Haji
Huduri. Meski demikian, Shaykh Ghulam Mu’inuddin juga
pernah menyebutkan hal ini dalam sebuah karyanya terkait
Penyembuhan Cara Sufi.
~95~
Malaikat penjaga. Selama kunci atau gembok tersebut belum
أ
dibuka, maka doa-doa المس العظم إyang dipanjatkan berarti
belum diterima. Jika syarat-syarat yang telah disebutkan
dilakukan sesuai dengan Isim dan bintang-bintang serta
gugusannya, maka setelah itu juga terdapat syarat-syarat yang
أ
harus dipenuhi dalam membaca المس العظم إsecara sempurna,
di antaranya adalah: badhl, tikrar, dan tawahhum.
أ
بذلadalah membaca إالمس العظمdengan tujuan untuk
mencintai Allah ta’ala dan pahalanya dihadiahkan untuk
mursyidnya, sedangkan تكرارadalah mengulang-ulang lafadh
pertama dari االامسء العظامdi akhirnya setiap kali. Adapun تومه
adalah membayangkan arti semua االامسء العظام, jika tidak bisa,
maka hendaknya membayangkan huruf-huruf االامسء العظام,
jika tidak bisa juga, maka hendaknya membayangkan lafaz
pertama dari االامسء العظامbersama artinya atau lafadhnya saja
pada semua bacaan, niscaya akan dikabulkan dengan segera.
~96~
sifat-sifatnya, dengan cara mencari sejumlah bilangan dengan
mengurangi hitungan rasi bintang-bintang sekali lagi, sisanya
lalu digunakan untuk membaca wirid dengan kaidah satuan,
puluhan, ratusan, atau ribuan pada waktu yang tertentu itu.
~97~
dengan berwudhu, lalu berkhalwat di tempat sunyi dengan
banyak beristighfar, di tengah malamnya bangun berwudhu
untuk melakukan shalat-shalat sunnah seperti tahiyat al-
wudū’, shalat sunnah li-kashfi al-arwāh (salat sunnah untuk
menyingkap dunia ruh), juga salat sunnah hadiah untuk para
shaykh tarekat, membaca banyak wirid dan doa al-istijābah.
Selain itu juga dianjurkan banyak bersedekah kepada fakir
miskin dan meminta didoakan kepada mereka.
~98~
ق
زحل ت
مش�ى يخ
�مر ش�س زهرة عطارد �ر
أسد
قوس
هوائية ب و ي ن ص ت ض جوز
متصدية يز
م�ان
دلو
مائية مج رورة ج ز ك س ق ث ظ رسطان
عقرب
حوت
ت�ابية د ح ل ع ر خ غ ثور
ة
سنبل
جدي
حيوة عمل قدرة برص مسع الكم ارادة
~99~
equivalennya, lalu ambillah huruf tersebut dan jadikan sesuai
dengan rasi bintangnya, lalu perhatikan kesesuaian huruf-
huruf tersebut dengan sifat-sifat Tuhan dibawahnya dengan
mengambil satu huruf dan memilih satu kekuatan untuk
menentukannya.
~100~
Daftar huruf Hijaiyah beserta nama-nama
Malaikat yang diwakilinya
~101~
Pasal 2 Doa-Doa Pendek ()الدعوة املقطعات. Doa ini berfungsi
untuk memproteksi ditolak/tidak dikabulkannya doa yang
dipanjatkan oleh si pembaca doa. Disebut doa-doa pendek,
karena hanya menggunakan satu atau dua di antara sekian
أ
banyak الامسء العظام. Cara menghitungnya adalah dengan
mengambil huruf yang terbaca dalam isim, lalu keluarkan
angkanya, lalu dibagi 12, sisanya dikembalikan dari awal
rasi bintang hingga habis bilangannya, maka isim yang cocok
(sesuai) dengan rasi bintang itu adalah apa yang menjadi
pengaruh rasi bintang tersebut menjadi pengaruh isim
tersebut, sebagaimana jika tersisa satu berarti sesuai (cocok)
dengan bintang Aries ()احلمل, jika dua sesuai dengan bintang
Taurus ()الثور, dan demikian seterusnya sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
~102~
bentangkan di atasnya sajadah pada hari gugusan bintang
tersebut atau pada waktunya, dan segeralah berdoa di
atasnya.
~103~
()مشاهدة, lalu menetapkan dan menemukan di antaranya 28
Nama-Nama Tuhan ( )اامس إهلياtersebut, sebagaimana huruf
Hijaiyah yang 28 itu juga memiliki nama alami masing-masing.
Secara realitas ia merupakan wujud kekuasaan/kerajaan,
sedangkan secara batin ia adalah dunia Malakut. Maka jika
dipisahkan setiap satu dari keduanya dari yang lainnya,
niscaya substansinya tak kan diketahui kecuali dengan
menyibukkan diri (berkonsentrasi) dengan doa harfiyah ini
dan mengamalkannya.
~104~
dengan kaidah Ali bin Abi Talib, di mana ia meletakkan untuk
tiap huruf tiga huruf dan ia membacanya untuk tiap huruf
sebanyak seribu kali, lalu mengambil jumlah huruf yang
asli juga, lalu mengumpulkan bilangan dan jumlahnya dan
membacanya di hari pertama kali terbenam seribu dengan
menggandengkan isimnya dengan surat al Fatihah, dan
diakhir doanya juga dengan cara menggandengkan surat al
Fatihah dengan isim, insya Allah doanya cepat terkabul.
~105~
akan tampak tanda-tanda hingga akhir pekan ketujuh semua
jin dan pengikutnya, mereka hadir di depan mata (dapat
dilihat), memberi peringatan kepadanya, dan menuntut janji
yang dikaitkan padanya.
~106~
dan tak kan dapat menembus rahasia Ketuhanan.
~107~
َ َ َ َ َ َ ْ َ ِّ ُ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ َ َ َ َ َ ْ ُ
ِ
اح ِه ئ
ِ سبحانك ل ِإل ِإل أنت ي� رب ك ش ي ٍ� وو ِارِث ِه ور ِاز ِق ِه ور
nisab-nya 46.000, zakat-nya 17.000, ‘ushr-nya 2560, qufl-nya
أ
600, dawr mudūrnya sama dengan jumlah الامسء العظام-nya
yakni 41, badl-nya 41.000, sedangkan khatam-nya 19.000.
Karena huruf-huruf pada isim ini, sebagaimana kaidah yang
telah disebutkan, berjumlah 120, maka diambil dari tiap-tiap
huruf 1000 bersama angkanya atau isim yang ada dalam doa
di sini ada 120 huruf.
~108~
dikumpulkan, dan huruf ganda yang terdiri dari tiga huruf
ganda seperti dal, dhal, alif, sehingga menjadi sembilan, dan
huruf yang tidak ganda yakni yang terdiri dari dua atau tiga
huruf dimana salah satu dari keduanya tidak termasuk huruf
ف
thulāthî, seperti: aynsuretes nad , ىه,� ,� ت,� ب. Pada tingkat
pertama ambil huruf yang asli dan yang waṣal (sambung),
lalu tinggal yang asli. Ambil yang asli itu lalu sambungkan
dengan yang wasal agar menjadi sembilan, karena tiap
huruf di antarannya tiga huruf, lalu keluarkan angka semua
huruf dengan perhitungan jumlah (ḥisāb al-jumal) dan baca
dengan cara seperti wirid hingga selesainya doa, lalu ambil
tiap bintang (planet) dari planet-planet angkasa yang tetap
1000, sedangkan planet-planet angkasa yang tetap bagi para
ahli matematika berjumlah 1120 buah. Maka jumlah bilangan
planet 11.020 lak, kemudian bagi bilangan planet dengan
huruf asli dan waṣal, lalu jadikan untuk doa.
~109~
bilangan planet tidak bisa menerima (tidak cocok) dengan
pembagian, maka bacalah (sisanya) di hari akhir, niscaya
dengan pertolongan Allah doa tersebut akan ada khasiat dan
pengaruhnya.
~110~
أ
Cara mengetahui seberapa banyak الامسء العظامitu dibaca
dalam doa ini adalah dengan mengetahui terlebih dahulu
jumlah titik-titik yang bersesuaian dengan doa ini, lalu ketahui
أ
juga jumlah huruf-huruf yang ada pada الامسء العظامyang
bersangkutan dengan mendahulukan lebih dahulu huruf-
huruf yang tak berulang. Adapun aturan menghitungnya
sama dengan cara-cara menghitung sebagaimana pada doa
sebelumnya.
~111~
Pemahaman semacam ini merupakan bentuk pemikiran yang
diupayakan Shaykh Muhammad al-Ghawth terkait adanya
hubungan dan ketersambungan antara ruh dengan jasad,
أ
terutama yang tertuang pada الامسء العظامbeserta kandungan isi
(substansi) yang dimilikinya, sebagai wahana menjembatani
kaitan antara alam dengan Tuhan.
~112~
selain Allah yang kepada-Nya doa dipanjatkan, agar doa itu
tidak ditolak. Jadi doa ini sebenarnya adalah upaya untuk
mencapai ma’rifat (pengetahuan rohani tertinggi) untuk
mengetahui Yang Hak.
~113~
Daftar 28 huruf Hijaiyah dan Jumlah batin yang
dikandungnya
~114~
wafaq tersebut berbentuk tunggal, seperti persegi tiga (tiga
kotak horizontal dan vertikal) atau persegi lima (lima kotak
horizontal dan vertikal), maka pertama-tama keluarkan angka
pojoknya. Jika wafaqnya berbentuk ganda, seperti persegi
empat (empat kotak horizontal dan vertikal) dan persegi enam
(enam kotak vertikal dan horizontal), maka yang pertama
dilakukan adalah meletakkan setengah jumlah bilangan dari
jumlah huruf-hurufnya tadi. Untuk kotak pertama adalah
bilangan dari wakil pertama, kotak kedua adalah bilangan
terakhir, kotak ketiga adalah bilangan pertengahannya, kotak
keempat adalah bilangan penyempurna diagonal wafaq,
dan kotak kelima adalah bilangan yang menentukan jumlah
wafaq. Jika bilangan tersebut jumlahnya misalkan 51, maka
tidak perlu bilangan tambahan, namun jika tidak sampai
pada angka 51 maka perlu ditambahkan, yakni dari angka
lingkaran penuh (al-dawr) 360 minus 51 sehingga tersisa
309 sebagai pengganti kalimat a’il pada isim pertama.
~115~
Jika kita putuskan bahwa wafaq yang akan kita buat
untuk isim pertama tersebut berbentuk persegi empat, maka
nisabnya adalah 643 yang diperoleh dari 1/4x2571, wakilnya
thasbayaa ’yil; sedangkan nisab tertingginya adalah 651, di
mana wakilnya khaayil. Jika nisabnya digandakan (643x2),
maka hasilnya adalah 1286, wakilnya gharsaayil; jika angka-
angka diagonalnya dikurangi hasil penggandaan nisabnya
maka ditemukan angka 1285, wakilnya bangkaa’il; jika dibagi
dua maka ditemukan angka 642, itulah pelengkap angka
diagonalnya. Setelah lengkap seluruh kotak persegi empat
terisi dengan angka-angka yang melambangkan perwakilan
dari huruf-huruf yang dihitung, maka bentuk wafaq persegi
empat untuk isim pertama adalah:
~116~
magis (perfect magic square), yakni bentuk persegi ajaib yang
bila angka-angkanya dijumlahkan maka jumlah setiap baris,
kolom, diagonal utama, maupun diagonal keduanya memiliki
jumlah yang sama atau konstan.
~117~
adalah Dajbayil. Demikianlah cara memperoleh yang diwakili
dari isim yang pertama.
~118~
sebenarnya hanyalah kotak persegi empat yang terdiri dari
kumpulan bilangan-bilangan yang bila dijumlahkan, baik
secara horizontal, vertikal, maupun secara diagonal akan
menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 17721. Wafaq
semacam ini juga digolongkan ke dalam bentuk persegi ajaib
sempurna (perfect magic square), yakni bentuk persegi ajaib
yang bila angka-angkanya dijumlahkan maka jumlah setiap
baris, kolom, diagonal utama, maupun diagonal keduanya
memiliki jumlah yang sama atau konstan. Jadi, sebenarnya
bacaan yang dibaca itu sangat bergantung pada keyakinan si
pembacanya saja, sedangkan wafaq yang dibuatnya tidak ada
kaitannya sama sekali.
أ
Pasal 9 Do’a al Uwaysiyyah الدعاء الويسية. Kata ”Uwaysiyyah”
adalah gelar yang diperoleh seorang wali yang telah mencapai
kesempurnaan ruhani dari pengalaman suluknya dari guru
yang sudah meninggal dan tidak pernah dijumpainya. Jika
pembaca doa ingin mempraktekkan doa dengan Nama dari
أ
Nama-Nama Allah Yang Agung ( )الامسء العظامatau Nama-Nama
ن أ
Allah Yang Baik (�احلس )الامسءatau dengan Nama-Nama yang
lainnya, maka ia wajib mengambil jumlah isim menurut
أ
jumlah hurufnya (المس ال ب ج�د ) إ, lalu diambil 12, bilangan sisa
dari pengurangan yang diketahui itu dan habis darinya itulah
yang cocok untuk rasinya, lalu ambil sifat (kekhasan) dari rasi
itu dari sisi api, udara, atau lainnya, lalu kembalikan kepada
pembaca doa (dari sisi namanya atau nama orang yang minta
didoakan) dengan cara yang telah disebutkan. Jika cocok
dengan harapannya, lalu diambil kedua sifatnya, lalu baca
(sebanyak) bilangan itu, maka jika berlawanan seperti isim
bersifat udara sedangkan pembacanya atau orang yang punya
~119~
hajatnya bersifat air atau tanah, jika dibaca dengan jumlah
bilangan yang ditetapkan akan terjadi kerusakan (kecelakaan).
Oleh karenanya, seyogyanya ia menggandakan sisa yang ada
setelah mengurangi isimnya atau nama pembaca doanya,
dibaca dua kali, agar selamat dari kerusakan dan kecelakaan.
Pasal 10 doa serba lima (والميسية )الدعوة املج موعية خ. Untuk
doa ini, tak ada syarat apapun selain ijāzah, karena kecintaan
~120~
Allah terhadap hamba-Nya maka dijadikanlah doa ini cepat
dikabulkan. Jika seorang teman ingin mempraktekkan
kumpulan doa serba lima ini, maka hendaknya ia berdoa di
tempat sunyi, padang pasir, tepi pantai, taman, kebun, gunung,
atau lembah. Jika sukar dilakukan, boleh juga dikerjakan
di rumah yang sunyi, atau pada tengah malam sambil
menghadirkan hati. Namun dalam kondisi yang mendesak
hendaknya dilakukan 2x, atau agar ditunaikannya keperluan
dengan cepat hendaknya dibaca 3x, atau agar berjumpa
dengan para sultan supaya ditunaikan segala keperluannya
dari mereka maka hendaknya dibaca 4x. Sedangkan untuk
menolak musuh atau memohon kekayaan maka hendaknya
dibaca 5x. Jika ingin terlepas dari kurungan (tawanan) maka
hendaknya dibaca 6x. Untuk menghadirkan yang gaib dibaca
7x. Untuk jaga-jaga dari begal (perampok) maka dibaca 8x,
sedangkan agar dicintai dalam hati para lelaki dibaca 9x, maka
kembalilah kepadanya semua makhluk dan ditunaikanlah
semua keperluannya tersebut.
~121~
Setelah diketahui hal ini, maka cara berdoa khumaysiyyah
nya adalah jika orang yang mengamalkan doa ini memiliki
hajat penting di hari Sabtu, maka untuk mencapainya
hendaknya dibaca dari isim pertama Subḥānaka hingga
Yā Ḥayyu sebanyak 500x, niscaya Allah akan tunaikan
keperluannya. Jika punya hajat di hari Ahad, maka bacalah
dari Yā Qayyūm hingga Yā Barr sebanyak 500x juga. Jika
punya hajat hari Senin, maka bacalah dari Yā Kabîr hingga Yā
Naqiyyā sebanyak 500x. Jika punya hajat hari Selasa, maka
bacalah dari Yā Ḥannān hingga Yā Raḥîm sebanyak 500x. Jika
punya hajat hari Rabu, maka bacalah dari Yā Tāmm hingga Yā
Mu’îd sebanyak 500x. Jika punya hajat di hari Kamis, maka
bacalah Yā Ḥamîd hingga Yā Mudhillu sebanyak 500x. Jika
punya hajat hari Jum’at, maka bacalah dari Yā Nūr hingga
Yā Jalîl sebanyak 500x. Jika punya hajat di suatu malam di
antara beberapa malam, maka bacalah Yā Maḥmūd hingga
Yā Ghiyāthî sebanyak 500x, niscaya Allah cukupkan segala
kepentingan/keperluannya. Jika belum tercapai maksudnya
di hari itu maka bacalah di malam hari dari Yā Maḥmūd
hingga Yā Ghiyāthî sebanyak 500x, dan jika belum terkabul
juga maka bacalah doa di hari ketujuhnya sejak malam hingga
tercapai maksudnya.
~122~
أ
juga berasal dari shaykh ‘Alî� al-Shayrāzî�. Adapun االمس العظم
yang digunakan bersama 40 nama Nabi dalam bahasa Persia
beserta sejumlah khasiatnya masing-masing dapat diperiksa
lebih detail pada suntingan teks halaman 269-284.
~123~
Pasal 15: Amalan 40 hari (tirakat) dan tata caranya untuk
mencapai hal. Sebagaimana telah dijelaskan, hal merupakan
keadaan mental seperti perasaan senang, sedih, takut, dan
sebagainya. Adapun keadaan (kondisi) mental yang biasa
digolongkan ke dalam hal dalam term tasawuf adalah: takut
(khawf), rendah hati (tawadu’), patuh (taqwa), ikhlas, ramah
(al uns), gembira hati (al wajd), dan syukur. Berbeda dengan
maqam (station/stage), hal tidaklah diperoleh dengan usaha
menusia, namun diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan.
Selain itu, hal juga bersifat sementara, tidak permanen datang
dan pergi.
~124~
hasud, pemarah, menuruti hawa nafsu, serakah, suka dipuji,
suka mencela, dan sebagainya yang terkait dengan mencintai
kemegahan dan keduniaan. Termasuk dalam hal ini adalah
banyak makan, minum, bersenang-senang, banyak tidur,
dan sebagainya. Prilaku itu hendaknya ditinggalkan, karena
kerap meyebabkan darah menjadi tidak sehat, berkata-
kata sekehendak hati (kurang terkontrol) karena justru
dikendalikan oleh shahwat dan nafsu serta godaan syetan.
~125~
C. Tinjauan Atas Kitab al-Jawahir al-Khamsah
~126~
tidak semua orang dapat mengungkapnya. Pemahaman seperti
ini terutama dianut oleh para ulama Tasawwuf Falsafi, yang
menyatakan bahwa ilmu hakekat itu hanya dapat diperoleh
melalui jalan latihan batin, dan setiap ayat mengandung
unsur-unsur lahir maupun batin. Untuk mengungkap dan
memperoleh unsur dan makna batin tersebut tidak ada jalan
lain kecuali dengan cara takwîl (mengungkap makna yang
tersirat dari makna tersurat). Terkait dengan hal ini juga, apa
yang disebut dengan istilah al-tafsîr al-ishārî (menafsirkan
makna tersirat dari makna tersurat) sebagaimana yang
dilakukan oleh para mufasir belakangan ini. Juga dikatakan
kalau tahapan untuk mengungkap makna batin dari ayat
Qur’an maupun Hadits tentang kata atau kalimat tertentu
yang sulit dipahami itu dengan istilah ‘al-Bayān’ (definisi),
‘al-Tabayyun’ (identifikasi) dan ‘al-Tibyān’ (penjelasan).
Dalam melakukan identifikasi makna, dilakukan melalui cara
mentakwil (al-ta’awwul) yakni sebuah upaya yang dilakukan
melalui proses penghayatan dan pengamalan (al-takhalluq)
baik lahir maupun batin terhadap hikmah (makna terdalam)
al Qur’an maupun dari sisi sastranya. Pengetahuan yang
lahir dari pengalaman dengan menggunakan pendekatan
interaktif tersebut merupakan metode mentakwil (al-ta’wîl)
yang ditemukan oleh setiap sufi yang melakukan eksperimen
dengan bimbingan ilmu, pengalaman lahir maupun batin.
Dengan alat mentakwil itu, para sufi pada hakekatnya telah
melakukan “penjelasan” (al-tibyān) di mana ia berusaha
melakukan pemindahan makna terhadap “apa yang
diketahuinya”, “apa yang diperhatikannya”, dan “apa yang
pernah dialamainnya” berdasarkan teks dan konteks-nya.
~127~
Apa yang dilakukan Shaykh Muhammad al Ghawth adalah
dalam rangka melakukan upaya tersebut. Oleh sebagian
ulama, terutama para Ulama Syar’i, cara atau metode takwîl
ini terkadang dianggap bertentangan dengan Syari’at karena
tidak memiliki batasan yang jelas, bahkan kerap dianggap
telah melampaui batasan-batasan Syar’i.
~128~
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 115:
ُ ْ َ َّ ََ ْ َ شْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ نَ َ ُ َ ُّ ْ َ ث
)511 :�ق والغ ِرب فأي�ما تولوا ف� وجه هللاِ (البقرة ِ وهللِ ال
Allah menyatakan bahwa ke mana saja manusia
menghadap maka manusia akan berjumpa dengan Tuhan-
Nya. Jadi, tidak harus tergantung pada suatu arah planet
maupun satuan waktu-waktu tertentu, karena semuanya
secara keseluruhannya berada dalam alam kekuasaan Allah.
Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa ulama sufi umumnya
memang tampak bersifat luwes dalam mengamplikasikan
beberapa aspek substansi Islam, khususnya terkait dengan
ajaran tatacara berdoa ini. Dalam artian, mereka lebih
mengedepankan tujuan tercapainya substansi ajaran tersebut
ketimbang metode dan tatacara yang dilakukan menuju ke
arahnya. Apalagi dalam beberapa hal, Shaykh Muhammad
al-Ghawth al-Hindi terlihat begitu toleran dan akomodatif
terhadap tradisi. Tentu saja hal itu tak lepas dari pengaruh
guru-gurunya semisal Shaykh Huduri yang kerap ia sebut
ُ ْ ) ُس ْل َط ُان. Selain itu,
sebagai pemimpin ajaran tauhid (�ال َو ِّح ِد ْ ي ِ ن
ia juga dipengaruhi oleh karya-karya ulama lainnya semisal
‘Awārif al-Ma’ārif karya al-Suhrawardi, al-Sirāj fî al-Mîrāth
li-Shaykh Sirāj al-Dîn al-Sajawandî al-Ḥanafî karya Shaykh
Jamaluddin Yunus al-Sajawandi, dan Shams al-Ma’ārif karya
al-Buni, Iḥyā’ ‘Ulūmuddîn karya Imam al-Ghazali, dan karya-
karya lainnya.
~129~
berbagai khasiat dan keampuhan membacanya, sekilas
tampak mirip dengan mantra dan jampe-jampe magis masa
pra-Islam. Agak sulit dibedakan antara ritual sufi yang
murni dengan praktek perdukunan dan pengajaran ilmu
kesaktian. Praktek penggunaan amalan-amalan tertentu
sebagai ajaran tarekat dengan tujuan-tujuan magis semacam
itu, memang bukan hal yang baru, karena beberapa shaykh
tarekat di Timur Tengah dan India juga kerap berprofesi
sebagai tabib sekaligus sebagai ulama yang memiliki ilmu
hikmah yang kerap didatangi masyarakat untuk berobat dan
menyembuhkan berbagai penyakit.
~130~
Allah, kerap membuat para pelakunya tak mempan ditusuk
dengan pisau, golok, paku dan benda-benda tajam lainnya.
Tentunya, di masa perjuangan amalan itu digunakan agar
tidak mempan oleh senjata api milik musuh, namun amalan
itu kemudian juga kerap digunakan untuk pertunjukkan
debus di Banten. Demikian juga halnya dengan zikir diam
disertai dengan latihan pernafasan dan bacaan wirid tertentu
yang dilakukan para pengikut tarekat Naqsyabandiyah di
Sulawesi dan Lombok yang khasiatnya berfungsi untuk
menangkal rasa sakit, kebal terhadap senjata tajam dan anti
peluru. Dalam hal ini, tentunya akibat dari proses peresapan
unsur-unsur lokal berupa praktek-praktek magis pra-Islam
ke dalam ajaran tarekat itu sendiri.
~131~
syakhnya. Akan tetapi, dari penjelasan di atas dapat kita lihat
bahwa banyak sekali faktor lokal atau iklim sosial-intelektual
zamannya yang mempengaruhi, meskipun unsur-unsur itu
terkadang terkesan bertentangan dengan Syari’at. Contohnya,
unsur ilmu perbintangan yang kerap dibahas pada materi
tehnik dan kreasi berdoa.
~132~
bilangan dari persegi ajaib (magic square) yang dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh jenis, yakni persegi semi-
ajaib (semi-magic square), persegi-ajaib sempurna (perfect
magic square), persegi ajaib simetris (symetric magic square),
persegi ajaib konsentrik (bordered), persegi ajaib nol (zero
magic square), persegi ajaib perkalian (geometric) dan
persegi ajaib penjumlahan-perkalian (addition-multiplication
magic square).
~133~
~134~
Bagian Kelima
(Penutup)
~135~
~136~
KESIMPULAN
~137~
dari teks al-Jawahir al-Khamsah, namun kandungan isinya
dipastikan terkait dengan kondisi keagamaan, sosial, dan
politik masyarakat Banten abad XVIII yakni berkaitan dengan
masalah ibadah, zuhud, dan tehnik dan kreasi berdoa.
Adapun tema yang disebut terakhir merupakan bahasan
dominan karena berisi amalan-amalan berupa 41 macam
al-ism al-a’zam yang sangat diperlukan masyarakat Banten
yang saat itu tengah terpuruk akibat tekanan dari penjajah
Belanda. Adapun bagian kedua teks al-Jawahir al-Khamsah
(al-Jawhar 4-5) mengandung ajaran ritual tarekat Shattariyah
yang agak rumit, bahkan agak kontroversial, yakni tentang
tatacara berzikir yang juga mengadopsi metode Yoga dalam
agama Hindu, tata cara mencapai 10 tingkatan (maqamat)
dan 10 metode konsentrasi tarekat Shattariyah (al-Ashgal al-
Shathari) agar dapat berjumpa dengan Allah (mushahadah)
atau melihat Yang Mahabenar (ru’yat al-haqq). Adapaun
bagian kedua itu tidak dibahas di buku ini.
~138~
16). Meski keduanya berbicara tentang tiga konsep utama
dalam tarekat Shattariyah, yakni tentang Abrar, Akhyar,
dan Shattar, namun kedua karya itu masih terlalu umum
dalam menjelaskan metode dan tata cara mencapai ketiga
martabat tersebut. Teks al-Jawahir al-Khamsah hadir dengan
memberikan penjelasan lebih rinci dan praktis ketiga konsep
tersebut, sehingga para salik memperoleh kemudahan dalam
mempraktekkannya.
~139~
langkah awal bagi seorang murid dalam menempuh Jalan
Tasawuf. Dari sini dapat juga kita pahami bahwa shari’at
adalah syarat mutlak yang harus ditempuh setiap murid
dalam Tarekat. Meski terkadang kita temukan adanya nama-
nama shalat sunnah yang terkesan ‘agak aneh’ menurut
pandangan ahli fikih (fuqaha), semacam: shalat syukur
pagi (salat li-shukri al-shabah), shalat mohon perlindungan
(salat al isti’adhah), shalat cinta (salat al-hub), shalat syukur
untuk kedua orang tua (salat li shukri al walidayn), shalat
tergelincirnya matahari (salat zawal al-shams), shalat minta
dicintai (Istihbab), shalat sunnah mensyukuri malam (salat
li shukri al-layl), shalat mohon kesembuhan (salat li shifa’i
al marid), shalat pengganti Jum’at (shalat qada al-Jum’at),
shalat hati (salat al-qalbi), shalat orang-orang yang rindu
(salat al-‘Ashiqin), shalat untuk menerangi kubur (salat li
tanwir al-qubr), shalat denda (salat al-kifarat), dan lain-lain.
Semua bentuk shalat-shalat sunnah tersebut kemungkinan
digolongkan ke dalam bentuk shalat sunnah mutlak, di mana
pelaksanaannya boleh dilakukan kapan saja sesuai niat dan
tujuannya.
~140~
3) Bersitan Malaikat (al khaṭirat al mulkiyah); 4) Bersitan
Ruh (al khaṭirat al ruhiyah).
~141~
memiliki pengetahuan tentang permohonan agar cepat
dikabulkan. Agar doa lekas dikabulkan, selain harus tetap
melaksanakan amal kebajikan, juga harus terus menyibukkan
diri berdoa dengan menggunakan nama-nama Allah yang
tepat, karena di dalamnya tersimpan rahasia-rahasia yang
tidak banyak diketahui. Untuk itu, seorang murid harus
mengetahui dan mempelajari seni (kreasi) berdoa dari
guru yang kompeten (murshid), terutama terkait esensi
yang terkandung dari tiap-tiap nama-nama Allah. Adapun
metode kreasi berdoa memiliki syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi antara lain: pertama, menggunakan metode
hisab al-jumal, yakni perhitungan yang dihasilkan dari
penjumlahan bilangan-bilangan yang dilambangkan dengan
huruf Hijaiyah, Kedua, mengetahui khasiat khusus masing-
masing isim melalui perhitungan jumlah yang bersesuaian
dengan salah satu gugusan (rasi) bintang yang berjumlah
12, caranya dengan mengumpulkan huruf-huruf dari
Nama-Nama Allah Yang Agung (al-Asma’ al-A’zam) dengan
menghitung jumlahnya, lalu dikurangi angka 12, sedangkan
sisanya dikembalikan dari gugusan bintang pertama hingga
habis sisa angka tersebut, dan gugusan bintang tersebut
itulah khasiat isimnya. Jika tidak cocok atau tidak sesuai
dengan aturan ini, maka berkuranglah pengaruh doa yang
disyaratkan tersebut.
~142~
penyebaran berbagai ajaran Islam yang juga mengadaptasi
atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat
setempat yang umumnya masih banyak dipengaruhi ajaran
dan ritual Hindu. Usaha ini kemudian menuai sukses, karena
banyak menarik pihak non-muslim melakukan konversi ke
dalam Islam dan memajukan organisasi tarekatnya. Namun
di lain sisi, usaha tersebut justru melahirkan beberapa ritual
tarekat yang bersifat sinkretis, karena memadukan konsep
ritual Islam dengan tradisi di luar Islam. Dalam konteks ini,
khususnya ketika membahas permata ketiga tentang kreasi
berdoa dan tatacaranya, Shaykh Muḥammad al-Ghawth al-
Hindî tampak begitu akrab dengan unsur-unsur yang berasal
dari Arab pra-Islam, Persia, bahkan tradisi Yunani.
~143~
Pada sisi ini, unsur kepercayaan Persia tampaknya juga
telah mempengaruhi ajaran atau tatacara yang digunakan
Shaykh Muhammad al Ghawth dalam mempraktekkan
keutamaan mengamalkan al-Ism al-A’zam, karena pada bagian
lain dalam kreasi berdoa itu, ia juga kerap menggunakan
bahasa dan istilah-istilah dari bahasa Parsi.
~144~
yang sebenarnya, bukan unsur luar, sebagaimana ruh bagi
jasad. Unsur batin hanya dapat diketahui oleh orang yang
memiliki pengetahuan terkait dengannya, dan tidak semua
orang dapat mengungkapnya.
~145~
Shaykh Muhammad al Ghawth adalah dalam rangka melaku
kan upaya tersebut.
~146~
bin ‘Abd Allāh dan Shaykh Muḥammad Ḥabîb bin ‘Abd Allāh bin
‘Abd al-Qahhār, mengingat sejumlah catatan pinggir yang ada
pada halaman awal dan akhir manuskrip (sebagaimana yang
telah dijelaskan pada bagian akhir bab 2) terkait langsung
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kesultanan Banten
sekitar akhir abad XVIII.
~147~
akhirnya berada di bawah kendali pemerintah kompeni
Belanda. Periode yang dimaksud adalah periode 1750-1830 di
mana Kesultanan Banten tengah mengalami krisis politik dan
ekonomi sehingga menimbulkan pemberontakan berskala
besar yang menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan Banten.
~148~
sebelum kemudian menemukan momentum untuk mem
bentuk semacam organisasi gerakan massa yang lebih besar.
~149~
amalan untuk kekebalan tubuh, amalan agar dapat meng
hilang, amalan agar dapat bertemu sultan, amalan untuk
menundukkan raja dan musuh, amalan penangkal sihir dan
guna-guna, serta amalan-amalan umum lainya. Jadi, ternyata
di samping berfungsi untuk tujuan keagamaan, teks al-
Jawahir al-Khamsah juga berfungsi sosial dan politik. Dengan
kata lain, teks al-Jawahir al-Khamsah begitu aktual pada
masa-masa akhir kesultanan Banten.
***
~150~
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Kitab-kitab Hadis (dikutip dari Al-Maktabah Al-Shāmilah)
Manuskrip:
al-Qahhār, Abd Allāh bin ‘Abd, Fatḥ al-Muluk li-yasila ilā Malik al-Muluk
‘alā Qā’idati Ahli al-Suluk, A 111, Koleksi PNRI.
~151~
Khaṭir al-Dîn al-‘Aṭṭār, Muḥammad ibn, al-Jawāhir al-Khamsah, A 37,
Koleksi PNRI.
Aceh, Abu Bakar, 1996. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ra-
madhani, cet. Ke- 10
~152~
al-Attas, Syed M. Naquib, 1970, The Misticism of Hamzah Fansuri, Kuala
Lumpur: University of Malaya Press.
Berg, L.W.C. van dan Friederich, R., 1873, Codicum Arabicorum in Bib-
lioteca Societatis Artium Scientiarum quae Bataviae Floret
asservatorum Catalogum, Den Haag: Witj & Nijhoff.
Berg, L.W.C. van den, 2010, Orang Arab di Nusantara, (Terj. Rahayu Hi-
dayat), Jakarta: Komunitas Bambu.
~153~
Brakel, L. F., 1975, The Story of Muhammad Hanafiyah, The Hague-Mar-
tinus Nijhoff.
Breugel, De Rovere van, “Bantam in 1786”, dalam BKI, hlm. 161, juga
153-154.
Bruinessen, Martin van, 1999, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Tr-
adisi-Tradisi Islam di Indonesia), Bandung: Mizan.
Derryl N., 1989, Religion and Society in Arab Sind, London: Mac Lean.
~154~
Ekadjati, Edy S. (Peny.), 2000, Direktori Edisi Naskah Nusantara, Jakar-
ta : Yayasan Obor Indonesia dan Manassa.
~155~
______________, 1999, Tanbîh al-Māsyî al-Mansūb ilā Tarîq al-Qusyāsyiyy,
Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujūdi-
yyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi),
Bandung: Mizan.
al-Ghazālî, Abū Ḥāmid, Ihyā ‘Ulūm al-Dîn li- al-Imām al-Ghazālî, tt,
Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah, ‘I<sā al-Bābî al-Ḥalabî wa-
shurakāhu, tth.), juz I-IV.
Haig, Wolseley & Richard Burn, 1957, The Cambridge History of India:
The Mughal Period, Delhi-Jullundur-Lucknow: S. Chand & CO.
By Arrangement with the Cambridge University Press, Lon-
don, Vol. VI.
Heawood, Edward., 1950, Watermarks Mainly of the 17th and 18th Cen-
turies, (Monumenta Chartae Papyraceae Historiam Illustran-
tia, vol. I), Holland: The Paper Publications Society.
~156~
______________, 1950, Historical Review of Watermarks, Amsterdam: Re-
printed from Dictionary & Encyclopaedia of Paper & Paper-
making Swets & Zeitlinger Publisher & Booksellers.
al-Husni, ‘Ilm Jadahu Faidhullah, (tt.), Fatḥ al-Raḥmān li Ṭalabi Āyāt al-
Qur’ān, Bandung: Maktabah Dahlan.
Jones, Russel, 1988, From Papermill to Scribe: The Lapse of Time, (Pa-
pers from the III European Colloquium on Malay and Indo-
nesian Studies (Naples, 2-4 June, 1981), Napoli: Instituto
Universitario Orientale.
~157~
Jumantoro, Totok dkk., 2012, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah.
Lubis, Nina H., 2003, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, Jakarta: LP3ES.
~158~
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati, 1994, “Kodikologi Melayu di Indonesia”,
dalam Lembaran Sastra UI Nomor 24/Des. 1994, Depok: Fak.
Sastra UI.
Ota, Atsushi, 2006, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java:
Society, State, and the Outer World of Banten, 1750—1830,
Netherlands: Brill Leiden-Boston.
Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson, 1974, Scribes and Scholars, London: Ox-
ford University.
~159~
Robson. S.O., 1978, ”Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional”, dalam Ba-
hasa dan Sastra Tahun IV. Nomor 6.
Ricci, Ronit, 2011, Islam Translated: Literatur, Conversion, and the Ara-
bic Cosmopolis of South and Southeast Asia, Chicago: Chicago
University Press.
Rizvi, S.A.A., 1983, A History of Sufisme in India, jilid I-II, New Delhi:
Munshiram Manoharlal.
Sidek, Jahid Haji, 1984, Strategi Menjawab Sejarah Islam, Kuala Lum-
pur: Nurin Interprise.
~160~
al-Suhrawardi, (t.th),‘Awārif al-Ma’ārif, (al-Hāmish fi kitāb Ihyā’
‘Ulūmuddîn, juz III), t.tp.: Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah
‘I<sā al-Bābî al-Halabî wa Shurakāhu.
Teew, A., 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Thahir, Ajid & Ading Kusdiana, 2006, Islam di Asia Selatan, Bandung:
Humaniora.
~161~
_____________, 1975, Codices Manuscripti VII Handlist of Arabic Manu-
scripts in the Library of the University of Leiden and Other
Collection in The Netherland, The Hague, Boston: Leiden Uni-
versity Press, cet. ke-1.
Wahid, M.N.F. Huda dkk. (Ed.), 2003, Majmū’ Syarîf Kāmil, Bandung: CV.
Jumānatul ‘Alî Art.
Pustaka non-terbitan:
“Astronomical Almanac Online (subscribers) U.S. Naval Observatory
2008”. Asa.usno.navy.mil. Diakses 2010-06-02.
~162~
http://kbbi.web.id/index.php?w=Interdisipliner, diakses pada Sabtu,
27-9-2013, pkl. 14.41
http://spicaku.blogspot.com/2011/12/“nama-nama-rasi-bin-
tang-dan-artinya” html#ixzz2erF10En4 diakses pada Sabtu,
14 September 2013, pkl. 16.30 wib.
http://langitselatan.com/2007/04/09/astronomi-astrologi-seru-
pa-tapi-tak-sama/
http://langitselatan.com/2011/01/20/zodiak-dalam-astronomi/
http://deking.wordpress.com/2007/08/15/zodiak-astrologi-atau-as-
tronomi-hanya-suatu-prequel/
http://www.faktailmiah.com/2011/03/08/horoskop.html
Pudjiastuti, Titik, 1991, Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks, (Tesis Fakul-
tas Pascasarjana, UI Depok), tidak diterbitkan.
~163~
Ziauddin, Muhammad, 2005, Role of Persian at the Mughal Court: A
Historical Study, during 1526 A.D. to 1707 A.D., (Ph. D. Thesis
submitted for Middle East & Arab Coutries, University of Ba-
lochistan, Quetta, Pakistan), tidak diterbitkan.
Arsip:
Arsip Daerah Banten (ADB) 25: 180-182;
~164~
Biografi Penulis
~165~
Guru yang bisa melayani muridnya belajar, memperoleh ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, juga mampu membentuk
karakter muridnya. Cita-cita itu kian menjadi lebih kuat
setelah belajar di Pondok Modern Gontor. Kini, cita-cita itu
sudah dicapainya. Ia terus belajar dan belajar.
~166~