Anda di halaman 1dari 182

~i~

~ii~
~iii~
~iv~
~v~
Judul Buku:

“Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf


Sepanjang Zaman dalam Konteks Historis Kesultanan Banten

Penulis: Dr. Muhamad Shoheh, M.A

Editor: Tim Quantum

Desain Kover: Kuswanto

Perwajahan: Tim Quantum

Penerbit: Quantum

Jl. Ngipik No:66, Ngipik, Kec. Baturetno, Banguntapan,


Bantul, Daerah Istimewa Jogjakarta.

ISBN: 978-602-5908-15-6

Tahun Terbit
2020

~vi~
DAFTAR ISI

SAMBUTAN
Sambutan Rektor UIN
Sultan Maulana Hasanuddin, Banten__________________________xi

Sambutan Dari Promotor_____________________________________ xiii

Bagian Kesatu
Pengantar__________________________________________________________ 3

Bagian Kedua
Kitab al-Jawahir al-Khamsah:
Pengarang dan Penyalinan__________________________________15

A. Kitab al-Jawāhir al-Khamsah______________________________ 15

B. Biografi Shaykh Muhammad


al-Ghawth al-Hindi _________________________________________19

C. Karya-Karya Shaykh Muhammad


al-Ghawth al-Hindi__________________________________________24

D. Penyalin Naskah Kitab al-Jawāhir al-Khamsah _______ 25

~vii~
Bagian Ketiga
Kitab al-Jawahir al-Khamsah dan Kaitannya
Dengan Konteks Kesultanan Banten_________________________37
A. Konteks Sosial-Politik ____________________________________ 37
B. Konteks Sosial-Intelektual_______________________________ 44
C. Konteks Sosial-Keagamaan_______________________________ 55

Bagian Keempat
Tinjauan Isi Kitab al-Jawahir al-Khamsah___________________ 69

A. Sistematika dan Latar belakang


Penulisan Kitab al-Jawāhir al-Khamsah_________________70

B. Pokok-Pokok Kandungan Teks


Kitab al-Jawāhir al-Khamsyah_____________________________ 77
1. Permata Pertama: Ibadah dan Tatacaranya (Abrār)_____ 77
2. Permata Kedua: Zuhūd dan Tata caranya (Akhyār)______ 86
3. Permata Ketiga: Doa dan Tata caranya (Shaṭṭār)_________ 89

C. Tinjauan Atas Kitab al-Jawahir al-Khamsah____________ 126

Bagian Kelima
KESIMPULAN___________________________________________________ 137

DAFTAR PUSTAKA_____________________________________________ 151

Biografi Penulis________________________________________________ 165

~viii~
SAMBUTAN

~ix~
~x~
Sambutan Rektor
UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten
Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat ilahi Rabbi, atas limpahan


rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada kita sehingga
kita masih berkesempatan untuk menambah amal kebajikan
di dunia ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Semoga kita tetap
berada dalam bimbingan sunnah-sunnah­nya sehingga kita
selamat dunia dan akhirat. Amiin.

Buku yang berjudul Kitab Al-Jawahir al-Khamsah:


Legasi Kitab Klasik Sepanjang Zaman dalam Konteks Historis
Kesultanan Banten ini merupakan buku yang ditulis oleh
saudara Muhamad Shoheh, yakni salah seorang dosen tetap
pada Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana
Hasanuddin, Banten. Buku yang diangkat dari Disertasi pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini
sangat penting untuk dibaca dan ditelaah oleh para peneliti,
dosen, mahasiswa, dan para santri di pesantren serta
khalayak umum lainnya, mengingat kajiannya berbasis kajian
teks Arab abad pertengahan. Pada buku ini, penulis berusaha

~xi~
menjelaskan bahwa proses penyalinan teks Kitab Al-Jawahir
al-Khamsah sangat terkait dengan konteks historis di
Haramain, India, dan Nusantara. Penulis berhasil memetakan
kajian teks Kitab al-Jawahir al-Khamsah dalam konteks
Islamisasi di India dan konteks perlawanan ulama dan
rakyat Banten dalam melawan penjajah Belanda yang sudah
hampir menguasai seluruh infrastruktur politik kesultanan
Banten. Oleh karena itu, buku ini sangat inspiratif untuk
memahami lembaga dan Gerakan Tarekat di Banten sekitar
abad XVIII, sehingga dapat menyadarkan kita bahwa Tarekat
dan kaum Sufi itu tidak diam ketika melihat kedzaliman dan
ketidakadilan. Mereka berontak dan terus berusaha melawan.

Kehadiran buku ini, setidaknya, menambah daftar refe­


ren­si terkait sejarah Kesultanan Banten dan daftar referensi
terkait sumber rujukan tradisi dan kekuatan orang Banten
dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu, sebagai
Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, saya
menyambut baik akan terbitnya buku ini, dan saya berharap
buku ini dapat menjadi sumber inspirasi dan dapat menjadi
lokomotif penggerak budaya literasi di lingkungan UIN SMH
Banten khususnya dan PTKIN umumnya. Semoga dengan
terbitnya buku ini membawa manfaat dan wawasan yang
lebih luas lagi, khususnya kajian Islam yang menggunakan
referensi utama berupa Khazanah Manuskrip Nusantara.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Serang, 17 Maret 2020

~xii~
Sambutan Dari Promotor

Prof. Dr. Titik Pudjiastuti

Assalamu’alaikum wr. wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan nikmatnya kepada kita semua dan shalawat serta
salam kepada baginda nabi besar Muhammad SAW.

Sebagai promotor dan pembimbing akademik saudara Dr.


Muhamad Shoheh, M.A. saya sangat bersyukur atas terbitnya
buku al-Jawāhir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf Sepanjang
Zaman. Buku ini merupakan hasil riset filologis Dr. Shoheh
selama ia menempuh studi S3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya (FIB), Departemen Ilmu Susastra, Universitas
Indonesia.

Saya mengenal Dr. Muhammad Shoheh, M.A. sejak ia


mengikuti program diklat metodologi penelitian filologi
yang diselenggarakan oleh Puslitbang Lektur Kemenag
RI pada tahun 2008. Saya lebih mengenalnya lagi ketika
ia melanjutkan studi S3 di FIB UI pada tahun 2010 sampai
dengan Januari 2015. Sebagai pengurus kerjasama program
Beasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag
RI dengan Universitas Indonesia, saya bangga karena Dr.

~xiii~
Muhammad Shoheh, M.A. berhasil menyelesaikan studi S3
nya tepat waktu.

Dalam buku yang diterbitkannya ini, Dr. Shoheh mengkaji


teks naskah al-Jawahir al-Khamsah yang diperkirakan disalin
pada sekitar tahun 1750 – 1780 di Banten, saat Kesultanan
Banten tengah menghadapi tekanan Belanda secara ekonomi
dan militer. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
berbagai catatan -- salah satunya di halaman 53 naskah
tersebut -- terkait silsilah dan inisiasi tarekat Shattariyah, Dr.
Shoheh mengindikasikan bahwa teks al-Jawahir al-Khamsah
versi Kesultanan Banten itu disalin atas dasar kebutuhan
masyarakat Banten. Melalui analisis teksnya, penulis buku
ini dapat menyimpulkan bahwa penyalin naskah adalah
Muhammad Habib bin Mahmud bin Shaykh Abdul Qahhar
atau yang dikenal dengan julukan Faqîh Najamuddin.

Dalam catatan sejarah, salah satu keturunan Shaykh


Abdul Qahhar yang biasa melakukan penyalinan karya-karya
ulama abad ke-18 adalah Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar
al-Bantani. Beliau adalah ulama Banten keturunan Arab yang
sempat menjadi penasehat, anak angkat, dan murid Sultan
Abu Nasr Muhammad Zayn al-‘Ashiqin yang memerintah
kesultanan Banten pada sekitar tahun 1753-1777. Informasi
mengenai hal ini dapat dilacak pada karya-karya Shaykh
Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, seperti: Mashāhid al-
Nāsik fi Maqāmāt al-Sālik (A 31), naskah Fath al-Mulk li-yaṣila
ilā Malik al-Mulk alā Qā’idah Ahl al-Sulūk (A 111), dan naskah
Risālah fi Shurūt al-Ḥajj (Kitab ke-4 dalam naskah A 131).

~xiv~
L.W.C. van den Berg & R. Friederich (1873) juga menyebutkan
hal tersebut dalam buku katalog naskah mereka.

Selain mengkaji teks naskah al-Jawāhir al-Khamsah versi


Kesultanan Banten, penulis juga menyampaikan informasi
mengenai teks asli al-Jawāhir al-Khamsah, bahwa teks ini
merupakan teks Arab karya ulama besar India yang hidup
pada abad ke-16, bernama Shaykh Muhammad al-Ghawth
al-Hindi. Beliau mempunyai hubungan yang sangat dekat
dengan Sultan Babur (1482-1530) pendiri kesultanan
Mughal (1526-1748M). Shaykh Muhammad al-Ghawth al-
Hindi adalah penasehat utama Sultan Humayun (1530-1539;
1555-1556), putra Sutan Babur. Ketika kesultanan Mughal
diserang oleh Sher Khan Suri dari Afghanistan pada tahun
1539/1540, Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi dan Sultan
Humayun ditawan dan diasingkan di Gujarat. Dalam masa
pengasingan yang berlangsung selama 16 tahun (1539-1555)
Shaykh Muhamad al-Ghawth al-Hindi menulis teks al-Jawāhir
al-Khamsah. Setelah Sultan Humayun berhasil mengalahkan
Sher Khan Suri pada tahun 1555, Shaykh Muhamad al-Ghawth
al-Hindi kembali ke Gwalior dan tinggal di Delhi dan Agra.
Selain menghasilkan teks al-Jawāhir al-Khamsah, Shaykh
Muhammad al-Ghawth juga mendirikan Khanaqah (Ribāṭ) di
Gwalior dengan konsentrasi mengembangkan ajaran tarekat
shattariyah. Oleh lawan-lawan politiknya, Shaykh Muhamad
al-Ghawth al-Hindi kerap dituduh sebagai ulama yang
mengembangkan ajaran tarekat atau praktek sufi yang sesat
(heretic), terutama yang berkaitan dengan konsep Mi’rāj.

~xv~
Membaca buku ini selain mendapat pengetahuan, kita juga
diajak mengembara ke masa silam Kesultanan Banten di abad
ke-18, mengetahui dan mengenal tarekat yang berlangsung
di Banten pada masa itu. Semoga karya ini bermanfaat dan
memotivasi pembaca sekalian. Selamat membaca !

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jakarta, 19 Maret 2020

~xvi~
Bagian Kesatu

~1~
~2~
Pengantar

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan atas terbitnya buku ini.


Buku “Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf
Sepanjang dalam Konteks Historis Kesultanan Banten” adalah
buku esensial dari disertasi saya saat meraih gelar doktor
di Universitas Indonesia pada Jurusan Susastra konsentrasi
kajian Filologi. Sebenarnya sudah lama saya ingin mengemas
disertasi itu ke dalam beberapa jilid buku, hanya saja karena
kesibukan kantor yang menyita, keinginan itu belum juga bisa
tercapai. Alasan itu terdengar klise, tapi begitulah faktanya
hingga keinginan tersebut terus saja menjadi keinginan
hingga terbitnya buku ini. Karena alasan itulah, saya sekali
lagi ingin mengucapkan “Syukur Alhamdulillah”. Betapapun,
karena manuskrip merupakan alat dan instrumen jalan
pintas (shortcut tool) yang paling efektif untuk melakukan
penelusuran jejak khazanah pemikiran masa lalu. Di samping
manuskrip juga merupakan jejak hidup manusia yang pernah
ada dan paling langgeng. Hal itulah yang selalu memotivasi
saya untuk menulis buku, dan tentunya juga artikel-artikel
ilmiah agar khazanah pemikiran kita umat Islam bisa lebih
berkembang.

Buku “Kitab al-Jawahir al-Khamsah: Legasi Kitab Tasawuf


Sepanjang dalam Konteks Historis Kesultanan Banten”

~3~
diterbitkan sebagai upaya memperkenalkan khazanah
atau legasi klasik yang memiliki peran dan pengaruh besar
bagi kita, khususnya umat Islam dalam memahami dan
menyegarkan kembali pemahaman agama dan keberagamaan
kita. Membaca kitab klasik berupa Manuskrip “al-Jawahir
al-Khamsah” karya yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-
Hindi, seorang ulama sufi yang sangat menonjol dari Tarekat
Shattariyah. Tarekat inilah yang kemudian memberikan
konstribusi besar bagi dakwah dan penyebaran Islam di
negara India. Tarekat Shattariyah sendiri berdiri pada abad
ke 15 M. Tarekat yang pada abad ke 18 M menyebar di
Nusantara—Aceh dan Banten juga di Mindano, Filipina—
didirikan oleh Shaykh Abdullah al-Shathar. Nama Tarekat
Shattariyah itu dinisbatkan kepada pendirinya.

Kita juga akan segera menyadari bahwa salah satu


sebab mengapa penduduk Nusantara dapat dengan mudah
menerima Islam di masa awal kedatangannya adalah karena
Islam yang disebarkan adalah Islam yang toleran dan
disampaikan secara damai. Bentuk Islam yang akomodatif
dan disampaikan melalui cara-cara yang menarik yang kerap
dihubungkan dengan usaha keras para wali atau guru sufi.
Belakangan organisasi yang dibentuknya berupa tarekat,
juga menambah peran tersebut sehingga persebaran Islam
menjadi demikian cepat dan mencapai puncaknya di abad
15 M. Berkaitan dengan hal ini, dapat dipastikan terdapat
korelasi antara peristiwa-peristiwa politik dengan gelombang
konversi masyarakat Nusantara ke dalam Islam. Lahirnya
banyak organisasi sufi berupa tarekat merupakan salah satu
pendorong utama terjadinya gelombang konversi ke dalam

~4~
Islam sejak akhir abad ke-13. Peristiwa politik yang dimaksud
adalah kejatuhan kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad tahun
1258 M oleh serangan Hulagu Khan dari Mongol. Peristiwa
tersebut secara tidak langsung telah mendorong terciptanya
pertumbuhan massal masyarakat muslim di belahan Asia dan
Afrika.

Pada sisi lain, ulama sufi juga telah berperan penting dalam
pembentukan dan pergembangan institusi-institusi Islam non-
politik seperti madrasah, tarekat, futuwwah (per­saudaraan
pemuda), kelompok-kelompok dagang, dan kerajinan tangan
(tawa’if). Pendapat ini juga memiliki relevansi dengan pen­
dapat yang mengatakan bahwa, setidaknya sejak abad ke-13,
para sufi pengembara telah berhasil mengislamkan sejum­
lah besar penduduk Nusantara, karena kemampuan mereka
dalam menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif, dengan
menekankan kesesuaian antara Islam dengan kepercayaan
dan praktek keagamaan lokal.

Setelah kejatuhan Baghdad tahun 1258, peranan kaum


sufi kian menjadi penting dalam memelihara keutuhan
dunia muslim dengan menghadapi tantangan kecendrungan
perpecahan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-
wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Pada abad-abad
berikutnya, tarekat semakin menjadi organisasi yang disiplin
dan stabil. Pertumbuhan dan perkembangan organisasi para
guru sufi yang berupa tarekat seakan menandai kebangkitan
ulama sebagai sebuah kelompok sosial yang semakin sadar
akan tugasnya dalam dakwah, memelihara, memperluas
ruang, dan wilayah pengaruh Islam.

~5~
Di antara yang berperan dalam proses Islamisasi dan
penguatan Islam di kawasan Nusantara pada periode awal
hingga abad ke-18 M selain jaringan sufi, jaringan ulama,
dan jaringan niaga, adalah jaringan literatur (literary
networks). Jaringan literatur sanggup menghubungkan
masya­rakat muslim secara lintas geografis dan budaya.
Lebih dari itu, jaringan literatur juga mampu memunculkan
teks-teks turunan dari teks-teks sumber yang penting bagi
pembentukan identitas global dan lokal Islam Nusantara.
Dalam konteks penguatan pengaruh Islam, teks-teks
keagamaan Islam Nusantara dengan berbagai genre dan tema
kajian berperan besar menajamkan jejak Islam di tengah
masyarakat, sehingga patut mendapatkan perhatian para
pengkaji Islam.

Khusus untuk wilayah anak benua India (sub-continent),


meski Islam telah datang ke wilayah ini sejak tahun 711 M.,
tapi penduduknya tidak serta merta melakukan konversi
ke dalam Islam dalam jumlah besar. Hal ini setidaknya
berlangsung hingga abad ke-10 M. Dalam Kitab al-Hind, Al-
Biruni menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima sebab
mengapa proses Islamisasi di India amat sulit dilakukan
hingga abad ke-11, antara lain karena umumnya masyarakat
India sangat menolak segala sesuatu yang sifatnya dari luar,
seperti bahasa, agama, tradisi, dan kebencian terhadap
orang asing, serta fanatisme dan keangkuhan budaya. Proses
Islamisasi baru berjalan lebih cepat setelah tampilnya
beberapa organisasi tarekat, seperti: tarekat Qadiriyah
Naqsabandiyah, Chistiyah, Suhrawardiyah, Muḥammadiyah,
Madariyah, Khalwatiyah, Firdawsiyah, dan Shattariyah.

~6~
Di abad ke-16 M., bersamaan dengan periode awal berdiri­
nya Kesultanan Mughal, terdapat ulama sufi kharismatis
yang juga menjadi pembimbing Sultan Babur dan anaknya,
Humayun, yaitu Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Ia
adalah tokoh dan khalifah tarekat Shattariyah yang berhasil
memapankan doktrin dan ajaran tarekat Shattariyah lewat
karyanya yang terkenal berjudul al-Jawahir al-Khamsah.
Selain terkenal sebagai khalifah tarekat Shattariyah, ia
juga pernah membantu Sultan Babur menaklukkan daerah
Gwalior, sehingga sering disebut sebagai Shaykh Muhammad
al-Ghawth Gwalior. Hubungan dekat tarekat Shattariyah
dengan penguasa Mughal tampaknya tidak hanya dibagun
oleh para shaykhnya, karena selanjutnya para pengikut
tarekat ini juga sering terlibat aktif dalam politik kenegaraan.

Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi adalah tokoh


ulama tarekat yang sangat dekat dan kerap menjalin
hubungan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh agama Hindu.
Ia juga sempat menulis kitab Bahr al-Hayat yang merupakan
terjemahan dari kitab Amrita Kunda, yang di dalamnya
disebutkan adanya beberapa persamaan antara konsep dan
ritual Islam (khususnya ritual dalam tasawuf) dengan konsep
dan ritual Hindu. Melalui kitab Amrita Kunda inilah, Shaykh
Muḥammad al-Ghawth mengadopsi tehnik dan praktek Yoga
menjadi bagian dari formula zikir tarekat Shattariyah.

Setelah kematian Shaykh Muḥammad al-Ghawth,


kekhalifahan Shattariyah dipegang oleh Shaykh Sibghatullah
bin Ruḥullah Jamal al-Barwaji (wafat 1015H/1606 M). Ia
adalah ulama kelahiran India keturunan Persia, yang juga

~7~
menjadi kawan dekat Shaykh Faḍlullah al-Burhanpuri al-
Hindi (w.1029H/1620M), yang pengarang kitab al-Tuhfah
al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kitab kasik fenomenal yang
isinya sempat menjadi perbincangan hangat di Nusantara
seputar masalah tujuh tingkatan wujud (martabat tujuh)
yang bersifat sangat filosofis. Shaykh Sibghatullah inilah
yang kemudian menyebarkan kitab al-Jawahir al-Khamsah ke
jaringan ulama di Makkah dan Madinah, sehingga akhirnya
tersebar ke Melayu-Nusantara, termasuk Banten. Tentunya,
sebaran kitab ini dapat terjadi melalui hubungan guru murid
yang kala itu terjalin melalui ḥalāqah ‘ilmiyah di kedua masjid
di Haramayn tersebut. Dengan kata lain, interaksi keilmuan
tersebut kemudian melahirkan pertukaran pengetahuan dan
transmisi “tradisi kecil” Islam dari India.

Sebagaimana disebutkan, bahwa kitab al-Jawahir al-


Khamsah dapat dikenal dan tersosialisasi secara luas di
Haramayn berkat jasa Sayyid Sibghatullah. Dari ulama inilah
akhirnya Shaykh Ahmad al Qushasyi (975-1071/1567-1660)
dan Ahmad al-Shinawi (975/1567-1028/1619) menyebarkan
ajaran tarekat Shattariyah kepada murid-murid yang datang
belajar kepadanya. Dari Sayyid Sibghatullah pula, kitab al-
Jawahir al-Khamsah dikenal oleh para ulama dan murid-
murid yang sempat menuntut ilmu kepada kedua muridnya
tadi, yakni Syaikh Aḥmad al-Qushashi (w. 1660) dan Ibrahim
al-Kurani (w. 1102/1690). Di samping mengajar di Masjid
Nabawi, Sibghatullah juga memiliki ribat atau lembaga
pengajaran sufi yang banyak dikunjungi oleh murid-murid
yang beragam. Halaqah yang dipimpinnya selalu dihadiri
murid-murid dan jamaah haji dari Kesultanan Aceh dan

~8~
Banten yang juga memberinya informasi tentang Islam di
Nusantara.

Salah satu ulama Nusantara abad ke-17 M yang mengin­


formasikan keberadaan kitab al-Jawahir al-Khamsah dan
sempat menjadikannya sebagai rujukan untuk salah satu
karyanya adalah Shaykh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri
(1024-1105/1615-1693). Dalam karyanya yang berjudul
Tanbih al-Mashi, ‘Abd al Ra’uf setidaknya empat kali menyebut
dan merujuk kitab al-Jawahir al-Khamsah, terutama untuk
mengemukakan rumusan ajaran tarekat Shattariyah yang
tidak dijumpainya dalam kitab-kitab karangan kedua guru
utamanya, al-Qushashi dan al-Kurani. Ada kemungkinan
naskah salinan kitab al-Jawahir al-Khamsah tersebut juga
sampai ke Aceh pada masa itu, naskah tersebut terdapat
di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Akan tetapi, semenjak
wafatnya pimpinan Zawiyah, Tgk. Dahlan al-Fayrushi pada
2006, akses terhadap naskah dalam koleksi ini sangat
terbatas.

Pada pertengahan kedua abad ke 18 M, tarekat Shattariyah


juga dianut oleh penguasa Banten. Ia adalah Sultan Abu
Nasr bin Muhammad Zayn al-‘Ashiqin (1753-1773) beserta
anak didiknya yang kemudian menjadi mufti kerajaan, yaitu
Shaykh ’Abdullah bin ‘Abd al-Qahhar al-Jawi al-Bantani
sepulangnya menuntut ilmu di Haramayn atau Makkah dan
Madinah. Bahkan keduanya kemudian menjadi khalifah
tarekat Shattariyah di wilayah ini. Melalui Sultan Banten ke 12
dan ulama keturunan Arab-Banten itulah tarekat Shattariyah
disebarkan ke daerah Jawa Barat dan sekitarnya (a.l.: Banten,

~9~
Bogor dan Cianjur). Meski jauh sebelum masa ini (sekitar
1670-1680), Shaykh Yusuf juga sempat menjadi pengajar
tarekat Khalwatiyah dan Shattariyah, namun terbatas di
kalangan istana dan komunitas Makassar saja.

Di Lanao del Sur, Mindanao, setidaknya terdapat dua


naskah Shattariyah yang terkait dengan ulama Banten abad
ke-18 ini. Kedua naskah yang dimaksud, oleh Christomy
diberi judul Ta’lif Shaykhuna al-Shaykh al-Haj ‘Abd al-Qahhar
al-Shattari al-Bantani. Shaykh Abdullah bin Abd al-Qahhar
al-Bantani ternyata menjadi guru intelektual bagi sejumlah
ulama Mindanao, Filipina Selatan, pada masa lalu. Salah satu
manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma’arif karangan ulama
Mindanao, Shaykh Ihsan al-Din, misalnya menyebutkan,
“…bahwasanya Shaykh kita, Shaykh Haji Abdullah bin Abd
al-Qahhar al-Bantani al-Shathari al-Syafi’i Banten telah
mengambil Tarekat Shaṭtariyah jalan kepada Allah swt.”

Dengan mengikuti Teori “sufi” tampaknya benar ada


relevansi dengan kondisi Banten dalam tataran khusus,
di mana Kemunduran Politik dan Ekonomi yang dialami
kesultanan Banten dimungkinkan telah berdampak pada
bangkitnya semangat keagamaan masyarakat Banten,
terutama pada sisi ajaran substansi Islam, yang pada masa
selanjutnya mendorong terbentuknya Gerakan Tarekat.

Akhirnya, saya ingin mempersilakan para pembaca


untuk bisa berkenalan dan berinteraksi dengan kitab al-
Jawahir al-Khamsah yang merupakan rujukan paling awal
tarekat Shattariyah, yang juga merupakan buku panduan

~10~
praktis (manual book) bagi para murid dan penganut tarekat
tersebut. Tentu saja, saya juga ingin menyampaikan rasa
terima kasih saya yang tulus kepada Rektor UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten, yang telah banyak memberikan
dukungan dan kemudahan kepada saya saat bertugas dan
mengambil gelar doktor saya. Kepada teman-teman saya
di Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten, yang telah memberikan suasana kerja
dan persahabatan yang menyenangkan. Juga kepada Tim
Penerbit Quantum Jogja yang telah memberikan apresiasi dan
antusias yang hebat kepada saya untuk menerbitkan buku
ini. Semoga buku ini dapat menginspirasi dan mendorong
banyak pihak untuk melakukan riset dan penelitian terhadap
khazanah manuskrip Nusantara.

Selamat Membaca.

UIN SMH Banten, April 2020

Dr. Muhamad Shoheh, M.A

~11~
~12~
Bagian Kedua

~13~
~14~
Kitab al-Jawahir al-Khamsah:
Pengarang dan Penyalinan

A. Kitab al-Jawāhir al-Khamsah

Naskah kitab al-Jawāhir al-Khamsah merupakan salah satu


karya Shaykh Muhammad bin Khatiruddin bin Bayazid bin
Khawwajah Farid al-Attar atau yang lebih dikenal dengan
nama Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi (wafat
970H/1562M). Pada sejumlah katalog naskah, kamus-kamus
biografi (al-Tarājim), dan naskah-naskah yang ditemukan,
karya ini diberi judul Jawāhir al-Khams, al-Jawāhir al-Khams,
dan al-Jawāhir al-Khamsah. Padahal, jika diteliti secara
seksama pada teksnya masing-masing, pengarangnya sendiri
menyebutnya al-Jawāhir al-Khamsah bukan Jawāhir al-Khams
atau al-Jawāhir al-Khams. Hal itu dapat dibuktikan melalui
petikan berikut ini:

“... fa-‘araḍtu ‘alayhi jamî’a mā jama’tu, fa-fariḥa farḥan


‘aẓîman, wa-da’ā lî du’ā’an kathîran ‘amîman, wa-albasanî
qamîṣahu al-khāṣ bihi, wa-sharrafanî bi-‘aṭāyatin,
fa-wajadtu bishārah al-qāhu ‘alá wajhihi fa-irtadda
bashîran, fa-a’ṭaytuhu hādhā al-kitāb [al-musammá]
bi-al Jawāhir al Khamsah fî yadihi al-sharîfah, fa-ṭāla’a
jamî’ahu, wa-qāla: waṣaltu ilá muntahá al-himmah ...”
(Naskah al-Jawāhir al-Khamsah, A 37: 13; A 42: 4).

~15~
Secara gramatikal, kalimat ‘al-Jawāhir al-Khamsah’
berbentuk ṣifat wa-mawṣūf (sifat dan mensifati),
sedangkan kata ‘al-Jawāhir’ )‫الواهر‬‫ ( ج‬merupakan bentuk
jamak dari kata ‘al-Jawhar’ )‫الوهر‬ ‫ ( ج‬yang berarti sisi
terdalam, substansi, esensi, isi, inti; sebagai lawan dari
“bentuk” (form) yang bersifat fisik. Makna ini tentu saja
ditinjau dari sudut pandang filosofis. Pada sisi lain, al-
Jawhar juga bermakna materi, atom, berlian, dan permata.

Adapun kata ‘Khamsah’ adalah kata yang berposisi


sebagai sifat dari kata Jawāhir. Dalam tata bahasa Arab,
bilangan tunggal jantan (mudhakkar) mendapat akhiran
ta’ terikat (‫ )التاء املربوطة‬dan penyesuaian jenis disesuaikan
dari bentuk tunggal kata benda )‫(االمس املفرد‬. Jadi, karena kata
al-Jawāhir merupakan bentuk jamak dari al-Jawhar yang
berbentuk jantan, maka kata bilangannya mesti jantan pula,
yaitu al-Khamsah )‫المسة‬ ‫( خ‬. Oleh karena itu, judul naskah ini
yang paling sesuai dengan kaidah tata bahasa Arab adalah al-
Jawāhir al-Khamsah )‫المسة‬ ‫الواهر خ‬
‫( ج‬.
Pada beberapa naskah, judul teks ini kadang ditulis ‘al-
Jawāhir al-khams’, kadang juga ditulis ‘al-Jawāhir al-khamsah’.
Al-Jawāhir al-Khamsah banyak dikutip oleh para ulama
Timur Tengah, khususnya pengikut tarekat Shattariyah.
Oleh karenanya Shaykh ‘Abd al-Ra’ūf ibn ‘Alî al-Jāwi al-
Fansūrî dalam menulis karyanya yang berjudul Ithāf al-Dhakî
menjadikannya sebagai salah satu sumber rujukan utama.
Karya ini kemudian diberi penjelasan (sharḥ) oleh al-Shināwî
dalam karyanya yang berjudul Tajalliyāt al-Bashā’ir: Ḥāsiyat
‘alā Kitāb al-Jawāhir li al-Ghawth al-Hindî.

~16~
Orang yang pertama kali memperkenalkan Kitab al-
Jawāhir al-Khamsah kepada kalangan ulama Haramayn
adalah Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah al-Gujarati (wafat
1015H/1606M). Shaykh Sibghatullah sendiri adalah murid
dari Shaykh Wajihuddin al-Allawi (wafat. 1018H/1609M),
yakni salah seorang murid Shaykh Muhammad al-Ghawth
al-Hindi yang paling gigih membela gurunya dari berbagai
tuduhan sesat para ulama di Gujarat. Melalui ribāṭ atau lembaga
tarekat yang dimilikinya di Madinah dan juga peran aktifnya
selama di Makkah dan Madinah, sehingga kitab al-Jawāhir
al-Khamsah dapat tersosialisasi dan menyebar di kalangan
ulama di Haramain. Shaykh Sibghatullah bin Ruhullah Jamal
al-Barwaji sendiri adalah seorang ulama kelahiran India tapi
keturunan Persia. Ia adalah kawan dekat Shaykh Fadlullah al-
Burhanpuri al-Hindi (wafat1029H/1620M), pengarang kitab
al-Tuḥfah al-Mursalah ilá Rūḥ al-Nabî yang isinya sempat
menjadi perbincangan hangat seputar masalah martabat
tujuh (tujuh tingkatan wujud yang bersifat sangat filosofis).
Shaykh Sibghatullah inilah yang kemudian menyebarkan
kitab al-Jawāhir al-Khamsah ke jaringan ulama di Makkah
dan Madinah, sehingga kemudian tersebar juga ke Melayu-
Nusantara, termasuk Banten. Jadi proses penyalinan naskah
al-Jawāhir al-Khamsah itu terjadi jauh setelah pengarangnya
sendiri telah wafat.

Hal ini dapat kita lacak melalui petikan akhir dari al-
Jawhar al-rābi’ pada kitab al-Jawāhir al-Khamsah khususnya
pada naskah A 42, halaman 530 yang berbunyi:

“intahá musammá al-kitāb al-Jawhar al Rābi’ min al-

~17~
Jawāhir al-Khams li-Sayyid Muḥammad al-Ghawth
qaddasa Allāhu sirrahu, āmîn, yā Rabb al’Ālamîn”

Artinya: telah selesai (penyalinan) kitab yang diberi nama


“kitab permata keempat” dari “kitab lima permata” karangan
Sayyid Muhammad al-Ghawth, semoga Allah mensucikan
ruhnya, āmîn yā Rabb al-‘ālamîn. Kalimat “qaddasa Allāhu
sirrahu” menunjukkan do’a yang dipanjatkan kepada Allah
semoga Allah mengampuni orang yang telah meninggal (dalam
hal ini Shaykh Muhammad al-Ghawth), dan mensucikan
ruhnya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya.

Tentu saja persebaran kitab al-Jawāhir al-Khamsah


ini dapat terjadi melalui hubungan guru murid yang kala
itu terjalin melalui ḥalāqah ‘ilmiyyah di kedua masjid di
Haramain tersebut. Dengan kata lain, interaksi keilmuan
tersebut kemudian melahirkan pertukaran pengetahuan dan
transmisi “tradisi kecil” Islam dari India.

Bila kita merujuk pada kamus-kamus biografi yang ditulis


oleh Haji Khalifah, al-Zarkali dan Umar Rida al-Kahhalah,
maka didapatkan informasi bahwa kitab al-Jawāhir al-
Khamsah1 ini dibagi ke dalam dua jilid, di mana jilid I
membahas tentang ‘ibadah, zuhud, dan tatacara berdo’a,
sedangkan jilid 2 membahas tentang zikir dan amalan para
1. ‘Umar Riḍā al-Kaḥḥālah dalam kitāb Mu’jam al-Mu’allifîn, juz 9, h. 282,
Khayr al-Dîn al-Ẓarkalî dalam kitāb al-A’lām, Juz 6, h. 114, dan Ḥājî Khalî-
fah dalam karyanya Kashfu al-Ẓunūn, juz 1 h. 614, menyebut bahwa karya
Shaykh Muḥammad al-Ghawth ini berjudul al-Jawāhir al-Khams. Sedangkan
al-Qanūjî dalam kitāb Abjad al-‘Ulūm, Muḥammad al-Muḥibbî dalam kitāb
Khulāṣat al-Āthar fi A’yān al-Qarn al-Ḥādî ‘Ashar, dan ‘Abd al-Ḥayy ibn Fakhr
al-Dîn al-Ḥusnî dalam kitāb Nuzhat al-Khawāṭir wa Bahjat al-Masāmi’ wa al-
Nawaẓir menyebut bahwa karya Shaykh Muḥammad al-Ghawth ini berjudul
al-Jawāhir al-Khamsah.

~18~
ahli hakekat dan amalan ahli tarekat. Secara umum, kitab al-
Jawāhir al-Khamsah ini isinya membahas tentang lima buah
pokok substansi atau esensi yang bersifat praktis dalam
upaya mendekati Allah yang harus diikuti oleh para sālik.

B. Biografi Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi

Pengarang Kitab al-Jawāhir al-Khamsah adalah Shaykh


Muhammad al-Ghawth al-Hindi. Lahir di Gwalior pada 7 Rajab
907H/16 Januari 1502M. dan meninggal pada 14 Ramadan
970H/7 Mei 1563M. Namun, pada naskah Itḥāf al-Dhakî
yang pernah disunting oleh Oman Fathurahman, terdapat
data yang agak berbeda terkait tahun lahir dan wafatnya
tokoh ini. Pada naskah tersebut disebutkan bahwa Shaykh
Muhammad al-Ghawth lahir pada 906H/1500M dan wafat
pada 969H/1561 dan, ada juga yang menyebut bahwa ia wafat
tahun 970H/1562M, sebagaimana juga tiga kamus biografi
yang disebutkan di atas mencatat tahun kematiannya adalah
970H/1562M., dan dimakamkan di kompleks pemakaman di
Gwalior, sebuah kota kecil di Madya Pradesh, India. Kompleks
pemakaman yang sangat menarik dari segi arsitekturalnya
dibangun oleh sultan Akbar untuk menghormati sang guru
yang kharismatis tersebut.

Nama lengkap Shaykh Muhammad al-Ghawth, sebagai­


mana yang tertulis pada pendahuluan Kitab al-Jawāhir al-
Khamsah adalah Muhammad bin Khatiruddin bin Latif bin
Mu’inuddin Qitāl bin Khatiruddin bin Bayazid bin Khawwajah
Farid al-Attar bin Asma Wasil bin Ahmad al-Sadiq bin
Najibuddin bin Taqiyyuddin bin Nurullah Abu Bakr Ali Yahya

~19~
bin Abdullah bin Ismail bin Jafar al-Sadiq bin Muhammad
al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husain bin Ali r.a. (Naskah al-
Jawahir al-Khamsah, A 42: 5). Tiga kamus biografi baik al-
Zarkali (al-A’lām, Juz 6: 114), Haji Khalifah (Kashfu al-Ẓunūn,
Juz 1: 614), maupun Umar Rida al-Kahhalah (Mu’jam al-
Mu’allifin, juz 9: 282), menyebut ulama ini dengan sebutan
Abū al-Muayyad (bapak yang dikuatkan) dan biasa dijuluki
dengan sebutan al-Ghawth (penolong). Ia adalah seorang
ulama sufi kelahiran India yang memiliki kedalaman ilmu
syari’at dan tasawuf. Semasa mudanya, ia menggunakan 13
tahun dari usianya untuk bermeditasi dan mempraktekkan
ajaran asketisme atau kezuhudan yang diajarkan oleh
gurunya, Shaykh Muwahhidin al-Shaykh Zuhūr al-Hāj Hazur
(Shaykh Haji Hudūrî), di puncak gunung Chunar/Janar (arah
timur kota Uttar Pradhes, distrik Mirzapur).

Sekitar tahun 925H/1520M, ia menyaksikan kekejaman


yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim Lodi (1517-1526)
dalam menaklukkan benteng pertahanan di Gwalior. Meski
sebelumnya telah diberi hadiah dan disarankan agar me­
nying­kir dari wilayah benteng tersebut, ia tetap saja tidak
menuruti saran Sultan Delhi tersebut. Kekejaman yang
dimaksud antara lain karena Sultan Ibrahim Lodi telah
membunuh sejumlah bangsawan yang menentangnya dan
memenjarakan sisanya yang masih hidup. Setelah peris­
tiwa tersebut, hubungan pertemanan yang telah terjalin
lama antara keduanya menjadi retak. Setelah itu, Shaykh
Muhammad al- Ghawth al-Hindi kerap mengkritik kebijakan
Sultan. Hubungan tak menyenangkan antara keduanya itu
berakhir ketika akhirnya Ibrahim Lodi gugur beserta ribuan

~20~
pasukannya akibat serangan Zahiruddin Babur (1482-1530)
di Panipat tanggal 21 April 1526M. Gugurnya Ibrahim Lodi
menandai berakhirnya kekuasaan para budak Turki di India
dan menjadi awal berdirinya kesultanan Mughal (1526-
1748M).

Pada tahun yang sama (1526) Shaykh Muhammad al-


Ghawth al-Hindi berperan menjadi penghubung untuk mere­
dam pemberontakan gubernur Gwalior, Tatar Khan, sehingga
Sultan Babur berkenan mengampuni gubernur tersebut.
Demikian juga terhadap Rahim Dad, yang memberontak tahun
1530, Shaykh Muhammad al-Ghawth berusaha melakukan
pembelaan terhadapnya. Namun pada kasus yang lain, Shaykh
Muhammad al-Ghawth mengutuk keras pemberontakan
yang dilakukan oleh penguasa Afghan, Bayazid karena
telah melakukan kekerasan dan menghancurkan kota-kota
terdekatnya, sehingga akhirnya Sultan Babur menghukum
mati Bayazid tahun 1531. Peran yang dilakukan Shaykh
Muhammad al-Ghawth itu menandai hubungan dekatnya
dengan Sultan Babur, pendiri kesultanan Mughal.

Memang, dalam beberapa sumber disebutkan bahwa


para tokoh Shattariyah dikenal kooperatif dan mempunyai
hubungan dekat dengan para sultan yang berkuasa, sehingga
aktifitas tarekat Shattariyah dapat mudah berkembang dengan
cepat. Mereka tak jarang juga terlibat aktif dalam politik
praktis, sebagaimana ditunjukkan di atas. Shaykh Bahlul
atau Shaykh P’hul, kakak laki-laki Muhammad al-Ghawth
yang juga menjadi shaykh tarekat Shattariyah, mempunyai
hubungan sangat dekat dengan Humayun (1530-1539; 1555-

~21~
1556) sultan Mughal pengganti sultan Babur. Sebagian besar
hidupnya didedikasikan menjadi penasehat Sultan Humayun,
hingga akhirnya ia dihukum mati di Bengal oleh Mirza Hindal,
tokoh pemberontak yang menentang kekuasaan Humayun.
Ketika Sultan Humayun berhasil dikalahkan oleh Sher Khan
Suri dari Afghanistan tahun 1540, Shaykh Muhammad al-
Ghawth terpaksa menyingkir atau mengasingkan diri ke
Gujarat untuk menyelamatkan diri, karena ia mempunyai
hu­bungan yang sangat dekat dengan Sultan Mughal itu.
Penga­singan­
nya ini berjalan selama 16 tahun hingga
Sultan Humayun kembali berkuasa tahun 1555M. Semasa
pengasingannya inilah ia menulis buku al-Jawāhir al Khamsah
tahun 956 Hijriyah. Shaykh Muhammad al-Ghawth akhirnya
kembali ke India Utara, Gwalior, dan diterima dengan baik di
Delhi dan Agra setelah Sultan Humayun kembali berkuasa.

Semasa Sultan Jalaluddin Muhammad Akbar (1556-1605),


pengganti Humayun, Shaykh Muhammad al-Ghawth tidak
memiliki hubungan yang dekat sebagaimana dengan kedua
sultan sebelumnya, bahkan terkesan memiliki hubungan
yang tidak harmonis. Hal ini, disebabkan karena pengaruh
Shaykh Gada’i, salah satu tokoh tarekat Suhrawardiyah dan
menjadi pemimpin sadrus-sudūr (pejabat resmi kepercayaan
sultan) sehingga berposisi lebih kuat. Shaykh Gada’i bersama
Bayram Khan (penasehat politik beraliran Syi’ah sejak masa
Humayun), kerap memposisikan kedua tarekat tersebut pada
posisi saling berhadapan penuh pertentangan. Selain itu, ia
terus memotivasi sultan Akbar untuk menerapkan politik
ekspansionis ke wilayah sekitarnya. Kedua tokoh tersebut
juga kerap menuduh bahwa Shaykh Muhammad al-Ghawth

~22~
mengajarkan praktek sufi yang sesat (heretic), terutama
terkait ajarannya tentang Mi’rāj. Itulah sebabnya kemudian
mengapa Shakh Muhammad al Ghawth lebih memilih kembali
ke kampung halamannya, Gwalior, dan berkonsentrasi
mengembangkan khanāqahnya .

Di Gwalior, tanah kelahirannya, ia memiliki tanah pertani­


an yang luas dan dilengkapi sejumlah peternakan sapi.
Peternakan sapi yang dibangunnya merupakan peternakan
yang sangat terkenal di wilayah itu. Pada tahun 966H/1559M,
Sultan Akbar menyempatkan diri mengunjungi khanāqah yang
dibangun Shaykh Muhammad al-Ghawth, dalam rangkaian
perjalanannya berburu di Gwalior. Pada kesempatan itu,
Shaykh Muhammad al Ghawth memberikan sambutan yang
antusias sambil memberikan sejumlah hadiah. Tak lupa
Akbar juga diinisiasi oleh Shaykh Muhammad al Ghawth
menjadi pengikut tarekat Shattariyah. Namun dengan sinis,
Sultan Akbar menyebut bahwa inisiasi dirinya ke dalam
tarekat Shattariyah hanyalah sebuah lelucon, karena Akbar
justru lebih tertarik pada hadiah berupa sapi jantan dari sang
Shaykh. Kejadian itu mengindikasikan bahwa Akbar tetap
berada di bawah pengaruh Shaykh Gada’i yang makin kuat.

Di antara murid setia Shaykh Muhammad al-Gahwth adalah


Badusha, Abdul Qadir, Shahul Hamid Meeran, Tamil Nadu,
Fadlullah al-Shattari atau Shah Fazl Shattari. Selain sultan
Humayun dan Sultan Akbar, Tansen juga merupakan murid
utama shaykh Muhammad al-Ghawth. Tansen adalah guru
musik kesayangan Sultan Akbar. Jadi, di samping mempelajari
dan mengajarkan musik, Tansen juga mempelajari ilmu

~23~
tasawuf kepada Shaykh Muhammad al-Ghawth, karena bagi
Tansen keduanya itu memiliki keterkaitan yang sangat erat.
Setelah wafat, Tansen juga dimakamkan berdekatan dengan
pusara gurunya.

C. Karya-Karya Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi

Selama hidupnya, Shaykh Muhammad al-Ghawth telah


menulis sejumlah karya dalam beberapa bahasa, namun
tidak semuanya sampai kepada kita. Sebut saja misalnya
karya yang berjudul Bahr al-Ḥayāt (The Ocean of Life). Kitab
tersebut adalah karya terjemahan berbahasa Parsi dari Kitab
Hindu yang berjudul Amrita kunda (The Pool of Water of Life)
yang sebelumnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab oleh Shaykh Abdul Quddus Ganguhi (wafat 1537)
menjadi Ḥawd al-Ḥayāt (The Pool of Life) dari karya aslinya
yang berbahasa Sansekerta yang tidak lain merupakan buku
bimbingan praktek Yoga. Salah satu salinannya merupakan
karya Shaykh Muhammad al-Ghawth yang sengaja ia
diktekan melalui muridnya yang bernama Husayn Gwaliori di
kota Broach, Gujarat, sekitar tahun 1550, untuk meluruskan
ketidakjelasan yang ada pada Kitab berbahasa Arab.

Karya lainnya berjudul Jawāhir-i khamsa yang kemudian


diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi al-Jawāhir
al-Khamsah oleh penyebar tarekat Shattariyah di Makkah,
yakni Shaykh Shibghatullah (wafat 1606). Melalui tokoh
yang disebutkan terakhir inilah, ajarannya dapat menyebar
hingga Afrika Utara dan Indonesia melalui para penuntut
ilmu dan jamaah haji yang datang ke Haramayn (Makkah

~24~
dan Madinah). Secara umum kitab al-Jawāhir al-Khamsah ini
isinya membahas tentang ilmu rahasia huruf dan al-Asmā’
Allāh (Nama-Nama Allah).

Selain kedua karya tersebut di atas, ia juga menulis


kitab yang berjudul Kalîd-i Makhāzin, Zamā’ir, Basāi’r, Mi’rāj,
Kanzu’l waḥdāt, dan Risālā-i Mi’rājiyya. Karya-karyanya ini
setidaknya mengungkap tentang ajarannya terkait dengan
tarekat Shattariyah. Namun dari sejumlah karya yang ada,
tampaknya hanya kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang dapat
tersosialisasi secara lebih luas hingga keluar batas wilayah
India.

D. Penyalin Naskah Kitab al-Jawāhir al-Khamsah

Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa kitāb al-Jawāhir


al-Khamsah dapat dikenal umum dan tersosialisasi secara
luas di Haramain berkat jasa Sayyid Shibghatullah. Dari tokoh
inilah, dua orang muridnya yang terkenal, Aḥmad al-Qushāshî
(975-1071/1567-1661) dan Ahmad al-Shinawi (975/1567-
1028/1619) menyebarkan ajaran tarekat Shattariyah kepada
murid-murid yang datang belajar kepadanya di Haramain
(Mekkah dan Madinah). Dari Sayyid Shibghatullah itu pula,
kitab al-Jawāhir al-Khamsah menjadi dikenal oleh para ulama
dan murid-murid yang sempat menuntut ilmu di Haramayn
kepada Shaykh Aḥmad al-Qushāshî (975-1071/1567-1661)
dan Ibrahim al-Kurānî(1023-1102/1614-1690). Di samping
mengajar di Masjid Nabawi, Shibghatullah juga memiliki ribāṭ
atau lembaga pendidikan tarekat yang banyak dikunjungi
oleh muridnya yang beragam. Ḥalāqah atau tempat kajian

~25~
yang dipimpinnya selalu dihadiri murid-murid dan jamaah
haji dari Kesultanan Aceh dan Banten yang juga memberinya
informasi tentang Islam di Nusantara.

Terkait dengan siapakah penyalin kelima naskah al-


Jawāhir al-Khamsah itu, menurut peneliti bukanlah hal yang
mudah untuk dipecahkan. Kecuali untuk naskah yang nyata-
nyata dicatat oleh C. Snouck Hurgronje, bahwa penyalinnya
adalah Sayyid Umar bin Ali al-Habshi pada Maret 1892 M
(Jumadil Awwal 1309H). Namun, hingga kini belum ditemukan
informasi memadai tentang biografi yang bersangkutan. Ada
kemungkinan ia adalah seorang ulama keturunan Arab yang
juga berposisi sebagai kenalan atau teman dekat C. Snouck
Hurgronje selama tinggal di Batavia (Jakarta sekarang). Ia
sengaja diminta Snouck Hurgronje untuk menyalin sejumlah
kitab koleksi perpustakaan India Office. Demikian juga
halnya dengan Haji Sa’idi, tokoh ulama Jakarta yang sempat
diminta Snouck untuk menyalin Kitab Ithāf al-dhakî koleksi
Universitas Leiden (MS. Leiden Or. 7050). Kitab ini juga
disalin di Batavia pada Maret 1892 oleh Haji Sa’idi dari Kitab
naskah India Office Islamic 1180 (volgn. 684).

Untuk kedua naskah yang diduga kuat berasal dari


Banten (MS A.37 dan MS A.42), yang karena keduanya tidak
memiliki kolofon, maka agak sulit untuk melacak siapakah
penyalin kedua naskah tersebut. Pelacakan tentang siapakah
penyalin kedua naskah tersebut, akhirnya penulis fokuskan
dengan memeriksa beberapa catatan pinggir pada halaman
pelindung yang ada di bagian awal dan akhir naskah. Namun,
catatan itu tampaknya hanyalah catatan pemilik naskah,

~26~
bukan menunjuk kepada penyalin naskah. Satu-satunya
informasi yang dapat dijadikan pijakan adalah catatan pada
halaman 53 berupa silsilah tarekat Shattariyah. Silsilah
tarekat yang dimaksud menyebutkan nama Muhammad
Habib bin Mahmud. Ayahnya bernama Shaykh Maḥmūd bin
Shaykh ‘Abdul Qahhār. Ia adalah tokoh kesultanan Banten yang
sempat menduduki jabatan Fakîh Najāmuddîn. Kesimpulan
ini dapat rujuk pada naskah A. 37 halaman 53 yang berbunyi:

Bismillāh al-Raḥmān al-Raḥîm, al-ḥamdu li-Allāh waḥdah


waṣ-ṣalātu was-salāmu ‘alá man lā nabiyya ba’dahu wa-
ālihi wa-aṣḥābihi wa-khayri junūdihi wa-ba’du, fa-aqūlu al-
faqîr ilá mawlāhu al-ghanî Muḥammad Ḥabîb ibn Maḥmūd
al-mulaqqab faqîh Najm al-Dîn wa-al-faqîr, akhadhtu
al-ijāzata wa-al-silsilata al-Shaṭṭāriyah min shaykhînā
wa-qudwātinā wa-mawlānā Maḥmūd ibnu Maulānā
‘Abdul Qahhār, wa-huwa akhadha min abîhi Shaykh ‘Abdul
Qahhār qaddasa Allāhu asrārahu, wa-huwa akhadha min
Shaykh Ḥāji ‘Abd al-Muḥyî raḥmatu Allāh ‘alayh, wa-huwa
akhadha min al-Shaykh al-‘ārif bi-Allāh al-kāmil Shaykh
‘Abd al-Ra’ūf, ...(naskah al Jawahir al Khamsah A 37: 53).

Pada kutipan tersebut, kita tidak menemukan nama


‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār, yang ada hanyalah Mahmud bin
‘Abdul Qahhār. Tetapi keduanya adalah bersaudara karena
berasal dari ayah yang sama, yakni Shaykh ‘Abdul Qahhār.
Tokoh yang bernama Shaykh ‘Abdul Qahhār tidak terlalu jelas
riwayat dan asal usulnya. Ada yang menyebut bahwa ia adalah
salah satu keturunan dari Sharif Muhammad, raja Champa.
Sharif Muhammad sendiri adalah putra Sharif Abdullah Bo

~27~
Teri Teri, yakni ayah dari Sharif Hidayatullah, Mawlana Abdul
Muzaffar, dan Siti Zainab (istri Sunan Kalijaga). Informasi ini
diperoleh dari buku Manāqib Shaykh ‘Abd al-Malik (Tok Pulau
Manis) karangan Ibrahim Muhammad, Kelantan, Malaysia.
Tentu saja informasi ini memerlukan penelusuran lebih
lanjut lagi.

Terkait di manakah letak makam Shaykh ‘Abdul Qahhār


al-Bantani? Maka, berdasarkan penelusuran penulis tatkala
membimbing Praktikum Profesi Mahasiswa semester VII
Jurusan SPI angkatan 2018 Fakultas Ushuluddin dan Adab
UIN “SMH” Banten ke komplek pemakaman Sunan Gunung
Djati di Cirebon bersama sejumlah dosen pembimbing
dan diantar oleh Dr. Opan Sopari, M. Hum (salah seorang
keturunan keluarga Kesultanan Cirebon), di jelaskan bahwa
di bagian puncak komplek makam Sunan Gunung Djati, selain
terdapat makam Sunan Gunung Djati dan makam ibu Ong
Tien), juga terdapat dua makam yang berjejeran/bersisian
langsung dengan makam Sunan Gunung Djati, tepatnya pada
sisi kanan/arah timur makam Sunan Gunung Djati (masih
berada dalam cungkup makam Sunan Gunung Djati) terdapat
makam Fatahillah (Fadhilah Khan) dan makam Shaykh ‘Abdul
Qahhār.

Adapun yang banyak disebut dalam sejarah adalah


putra shaykh ‘Abdul Qahhār sendiri, yakni Shaykh ‘Abdullāh
bin ‘Abdul Qahhār al-Bantani. Beliau adalah ulama Banten
keturunan Arab yang sempat menjadi penasehat, anak angkat,
dan murid dari Sultan Abu Naṣr Muḥammad Zayn al-‘Āshiqîn
yang memerintah kesultanan Banten sekitar tahun 1753-

~28~
1777M. Informasi ini dapat dilacak pada karya-karyanya,
seperti: Mashāhid al-Nāsik fî Maqāmāt al-Sālik (MS A. 31),
naskah Fatḥ al-Mulk li-yaṣila ilá Malik al-Mulk alá Qā’idah Ahli
al-Sulūk (MS A. 111), dan naskah Risālah fi Shurūṭi al-Ḥajji
(Kitab ke-4 dalam naskah/MS A. 131). Selain itu, L.W.C. van
den Berg & R. Friederich (1873) pada buku katalognya juga
kerap menyebut tokoh yang dimaksud.

Dapat dipastikan, bahwa Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul


Qahhār al-Bantani itulah yang telah menyalin naskah kitab
tersebut, mengingat dialah yang kerap aktif menyalin
sejumlah naskah-naskah tasawuf di Banten, baik atas inisiatif
sendiri sejak menuntut ilmu di Makkah dan Madinah, maupun
atas permintaan sultan. Adapun cucu/keponakannya, Haji
Muḥammad Ḥabîb bin Maḥmūd bin ‘Abdul Qahhār adalah
pewaris naskah salinan al-Jawāhir al-Khamsah tersebut,
karena sepeninggal sultan ‘Āshiqîn, ia sempat mendampingi
sultan Abu al-Mafākhir Muḥammad ‘Aliyuddin I dan menjabat
sebagai Fakîh Najmuddîn sebagaimana tercantum pada
halaman akhir naskah kitab tersebut. Meski demikian, tidak
ditemukan informasi yang memadai untuk melacak biografi
dan latar belakang tokoh yang dimaksud. Informasi yang ada
hanyalah bahwa ia adalah penganut tarekat Naqshābandiyah
yang dibai’at pada malam Selasa, tanggal 26 Muharram
1193H/1778 M, tahun Zei. Selain itu, orang tuanyanya,
Mahmud, adalah tokoh ulama yang pernah menjabat jabatan
hakim kerajaan (qadi) yang bergelar Fakîh Najamuddîn. Dari
sini, dapat diprediksi, bahwa ia adalah ulama yang masih
punya hubungan dekat dengan pihak kesultanan Banten. Ia
juga memiliki sifat tawaddu, rendah hati, yakni salah satu

~29~
sifat yang memang kebanyakan dimiliki ulama penganut
tarekat. Terbukti dengan selalu ia menyebut dirinya sebagai
faqîr yang Ḥaqîr, sebagai bukti literer yang kerap ia tunjukkan
dalam karya salinan beberapa kitab yang ditulisnya bahwa ia
bukan siapa, hamba yang lemah, haus ilmu, dan rendah hati.

Demikian juga halnya dengan naskah kitab lainnya,


sulit melacak siapakah penyalin naskah ini. Informasi yang
didapat hanyalah pada halaman 2 bagian awal naskah, di
mana disebutkan bahwa pemilik naskah ini adalah faqîr
‘Abdullāh. Siapakah tokoh yang dimaksud, tidak dapat
diketahui dengan pasti, karena minimnya data yang bisa
dijadikan pendukung untuk memperkuat asumsi yang lebih
luas. Keterangan tambahan yang ditemukan hanyalah, bahwa
kitab ini diwakafkan untuk kepentingan agama Islam dan
untuk kepentingan agama anak-anaknya. Hal ini dapat dilihat
melalui kutipan berikut ini:

Qāla al-shaykh ‘Alî al-Qurshi: “ra’aytu arba’atan min al-


mashāyikh yataṣarrafūn fî qubūrihim ka-taṣarrufi al-
aḥyā’ sayyidî al-shaykh ‘Abd al-Qādir wa al-shaykh Ma’rūf
al-Karkhî wa-al-shaykh ‘a-q-y-k al-Munjî wa al-shaykh
Ḥayyāt bin Ḥusayn al-Ḥarranî(?) raḍiya Allāh ‘anhum, wa-
kāna lahu kalām ‘ālin fî al-ma’ārif”. Min manāqib al-shaykh
‘Abd al-Qādir Jaylānî qad yamunnu sirrahu. ‘Alāmat kitāb
Jawāhir al-Khams milikě faqîr ‘Abd Allah dadině waqaf
ing anak2kě dêning ugamê Islam (naskah al-Jawāhir al
Khamsah, 42: 2).

Jika dugaan kuat ini terkait dengan kesultanan Banten,

~30~
maka orang yang menyebut dirinya sebagai faqîr ‘Abdullāh
ada kemungkinan merupakan seorang keturunan kesultanan
Banten, yang memiliki pengetahuan agama yang luas (boleh
jadi ia adalah seorang ulama kerajaan yang pernah menjabat
sebagai fakîh/hākim). Dapat diduga bahwa ia adalah Shaykh
‘Abdullāh bin ‘Abdul al-Qahhār al-Bantāni, yang pada naskah-
naskah Banten lainnya nyata-nyata disebutkan namanya.
Namun di masa Sultan Abu al-Mafākhir Muḥammad Aliyuddîn
(Sultan Aliuddin I alias Sultan Gomok) (1777-1802) ulama ini
mengundurkan diri dan berhijrah ke Cianjur, akibat Sultan ini
lebih cenderung kepada ulama yang baru kembali dari Makkah
dan memiliki perbedaan pandangan dalam menentukan awal
puasa dan hari Raya.

Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa surat kesultanan


Banten yang ditulis oleh tokoh yang juga bernama Haji
‘Abdullāh, Pangeran ‘Abdullāh atau Kyai ‘Abdullāh, setidaknya
surat yang tersimpan di Bagian Naskah Timur, Universiteits-
Bibliotheek, Leiden, dengan nomor UB Cod. Or 2240 Ia 79
(No. 509), UB Cod. Or. 2241 IIIb. 19 (Klt. 12/No. 246), dan UB
Cod. Or. 2241 IIIb. 18 (Klt. 13/No. 247). Pada ketiga Naskah
tersebut, ia terkadang menyebut dirinya Haji ‘Abdullāh atau
Pengeran ‘Abdullāh. Adapun pada surat terakhir ia disebut
oleh Pangeran Rajabasa sebagai Kyai ‘Abdullāh. Data ini tentu
saja perlu ditelusuri lebih jauh apakah ada kaitannya dengan
tokoh yang sedang dibahas ini.

Yang pasti, ketiga nama yang disebut terakhir menunjuk­


kan bahwa ia adalah pejabat kesultanan Banten yang juga
mengurusi perdagangan dan ekonomi kesultanan, tapi bukan

~31~
seorang tokoh ulama yang punya kecendrungan pada ajaran
tasawuf, meski terkadang disebut sebagai Kyai ‘Abdullāh.
Apalagi, berdasarkan data pada naskah surat Cod. Or 2240 Ia
79 (No. 509), sangat jelas disebutkan bahwa ia sempat dikirim
(dibuang) Belanda ke Ambon. Dalam kesempatan itu ia minta
agar gaji/uang jaminannya sebesar 80 pon beras per bulan
dibayarkan. Ia juga meminta Kompeni Belanda mengirimkan
pelayan masing-masing empat orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia tidak lain
adalah Sharîf ‘Abdullāh alias Sultan Sharifuddîn Ratu Wakil
(1750-1752) yang sempat memerintah Banten bersama ibu
mertuanya Ratu Sharifah Fatimah, dan bukanlah Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār.

Adapun khusus untuk kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang


merupakan koleksi Perpustakaan Universitas King ibn Sa’ud,
1957, berdasarkan catatan kecil di halaman awal naskah
disebutkan bahwa naskah ini adalah salinan milik Muhammad
ibn al-Marḥūm Uthmān yang diperolehnya dari Mawlānā
al-Sayyid Ahmad Muhsin al-Ghujarati, India, sebagaimana
tertulis:

“Dakhala fî milki al-faqîr ilá Allah subḥāanahu wa


ta’ālá Muḥammad ibn al-Marḥūm ‘Uthmān adkhala min
mawlānā al-sayyid Aḥmad Muḥsin al-Ghujārātî wa Allah
ta’ālá a’lam sanat 1115 Hijriyyah, tam” (Naskah al Jawahir
al Khamsah, ‫ج‬.‫ خ‬189: 1).

Namun tokoh tersebut agak sulit untuk ditelusuri


biografinya. Kemungkinan besar ia adalah pelajar yang datang

~32~
ke Makkah pada abad ke-12 Hijriyah, karena dari namanya
mengindikasikan bahwa ia bukan orang Arab, melainkan
berasal dari Gujarat, India.

~33~
~34~
Bagian Ketiga

~35~
~36~
Kitab al-Jawahir al-Khamsah
dan Kaitannya Dengan Konteks Kesultanan Banten

A. Konteks Sosial-Politik

Naskah al-Jawāhir al-Khamsah yang berasal dari Banten disalin


sekitar pertengahan abad ke 18M. Masa itu adalah masa di
mana Kesultanan Banten telah memasuki masa kemunduran
secara politik, ekonomi, sosial, maupun keagamaan, hingga
akhirnya berada di bawah kendali pemerintah Hindia
Belanda. Periode yang dimaksud adalah periode 1750-1830,
di mana Kesultanan Banten tengah mengalami krisis politik
sehingga menimbulkan pecahnya pemberontakan berskala
besar dan menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan, termasuk
Lampung, Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah.

Pemberontakan tersebut dipimpin oleh Kiai Tapa dan


Tubagus Buang. Keduanya adalah tokoh utama yang berani
mengobarkan perjuangan rakyat menentang kebijakan
Kesultanan yang kala itu telah berkongsi dengan pemerintah
Hindia Belanda di Batavia. Krisis politik berawal dari masa
Sultan Muhammad Zain al-‘Arifin (1733-1748) atau Sultan
Sepuh yang kala itu telah dipengaruhi permaisurinya yang
keturunan Arab, yaitu Ratu Sharifah Fatimah. Secara perlahan,
permaisuri itulah sebenarnya yang memegang kendali
kebijakan kesultanan hingga penentuan sang putra mahkota.

~37~
Pada tahun 1746, Pangeran Arif Gusti bersama Kiai Tapa
dan Tubagus Buang melakukan pemberontakan menolak
keputusan Sultan Sepuh karena telah mengangkat Syarif
‘Abdullah (menantu Ratu Sharifah) sebagai putra mahkota.
Keputusan Sultan tentu saja mendapat persetujuan Belanda,
sehingga Sultan memintanya untuk menangkap para
pemberontak tersebut. Dengan alasan untuk mengamankan
keputusan Gubernur Jenderal, maka ditangkaplah Pangeran
Arif Gusti dan dibuang ke Sri Lanka (Ceylon) tahun 1747,
sedangkan Kyai Tapa dan Tubagus Buang berhasil meloloskan
diri dan membangun kekuatan di sekitar gunung Munara.

Tindakan Ratu Sharifah lainnya adalah kerap bertindak


semena-mena terhadap para abdi dalem dan rakyat Banten
secara umum. Sultan sendiri terlihat tak mampu berbuat
banyak, karena sudah berada di bawah kendali sang Ratu. Untuk
memuluskan ambisinya agar dapat duduk menjadi penguasa
tertinggi di Banten, Ratu Sharifah Fatimah memfitnah Sultan
bahwa ia telah gila dan kerap memprovokasi rakyat untuk
menentang pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Mendengar
laporan itu, pada tahun 1748 pemerintah Hindia Belanda
mengirimkan satu armada untuk menangkap Sultan Banten,
untuk kemudian selanjutnya dibuang ke Ambon hingga
wafat tahun 1758. Sebagai pengganti Sultan, Pangeran Sharif
‘Abdullah didudukkan sebagai Sultan dengan gelar Sultan
Sharifuddin, sedangkan Ratu Sharifah Fatimah menduduki
jabatan Mangkubumi. Dengan demikian, tercapailah cita-
cita dan ambisinya. Sejak itulah, pemerintah Hindia Belanda
memperoleh kebebasan dalam menguasai pantai utara Jawa
Barat dan Sukabumi Selatan. Pemerintah Hindia Belanda

~38~
juga memperoleh ganti rugi dalam bentuk setengah dari hasil
tambang emas di Tulang Bawang, produksi lada di Lampung,
dan Timah di Tangerang.

Tindakan-tindakan Sharifah Fatimah itulah yang


kemudian menyulut api kemarahan para bangsawan dari
kesultanan Banten beserta rakyatnya. Selanjutnya, di bawah
pimpinan Kiai Tapa dan Tubagus Buang mereka mulai
menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan dan
pemberontakan terhadap kesultanan maupun penguasa
Hindia Belanda di Batavia. Perlawanan itu berlangsung
selama lebih dari 3 tahun (1750-1753).

Sebagai akibat dari kondisi tersebut, Pemerintah Hindia


Belanda merasa terdesak oleh berbagai serangan yang datang.
Serangan ternyata tidak hanya datang dari rakyat Banten,
tetapi juga dari Mataram dan wilayah Nusantara lainnya. Maka,
untuk memulihkan keamanan dan kembali memperkuat
pertahanan ekonomi, politik dan militer, pihak Gubernur
Jenderal Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkap
Ratu Sharifah Fatimah dan Pangeran Sharif ‘Abdullah beserta
seluruh pengikut dan keluarganya, karena dianggap sebagai
sumber masalah. Mereka kemudian dibuang ke pulau Edam
di Teluk Batavia tahun 1752, sedangkan Pangeran ‘Arif Gusti
dikembalikan dari tempat pengasingannya di Ceylon untuk
didudukkan kembali sebagai Putera Mahkota. Pengembalian
posisi Pangeran ‘Arif Gusti oleh Belanda tentu saja setelah
sang Pangeran menyetujui berbagai persyaratan. Sementara
itu, jabatan Sultan diberikan kepada Pangeran Aria Adisantika
(adik Sultan Zain al-‘Arifin) selama setahun, untuk kemudian

~39~
diberikan kepada Pangeran ‘Arif Gusti. Sejak itu ia bergelar
Sultan Abū Naṣr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn. Sejak itulah,
gerakan pemberontakan mulai melemah dan berangsur-
angsur mereda.

Selama memerintah, Sultan Zain al-‘Āshiqîn kurang ter­


tarik pada politik. Ia lebih mementingkan minatnya pada
kajian agama Islam, sementara urusan pemerintahan
diserah­­kan pada Perdana Menteri. Untuk memutuskan ber­
bagai masalah penting dalam lingkup kerajaan, ia selalu
berkonsultasi dengan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia
mana-mana dianggap penting dan selalu tunduk kepada
keinginan dan keputusan Belanda. Sejak itu tampak sekali
ketidak berdayaan kesultanan Banten di mata Belanda,
karena segala keputusan sultan harus mendapat persetujuan
Kompeni di Batavia terlebih dahulu. Termasuk dalam hal
menentukan putra mahkota, dan berbagai posisi jabatan
di bawah Sultan, seperti Perdana Menteri, Mangkubumi,
Kapten Cina selaku penarik bea cukai, Shahbandar (kepala
pelabuhan), dan lain-lain.

Setelah kematian Sultan Zain al-‘Āshiqîn tahun 1777,


Sultan Abū al-Mafākhir Muhammad Aliyuddîn (Sultan
Aliyuddin I atau Sultan Gomok) juga mewarisi sifat ayahnya
yang kurang berminat pada masalah-masalah pemerintahan
dan politik. Ia justru lebih suka menghabiskan waktunya
bersama para selirnya dan membaca serta menyalin buku-
buku keagamaan Islam di danau Tasikardi. Naskah kitab
al-Jawāhir al-Khamsah yang dibahas dalam buku ini diduga
kuat disalin oleh ulama dan orang kepercayaan di masanya

~40~
yang juga menjabat sebagai Faqîh Najmuddîn, karena pada
halaman awal dan akhir naskah kitab tersebut kerap disebut-
sebut namanya.

Sebagaimana juga ayahnya, Sultan Aliyuddin I, ia tampak


begitu lemah dan sangat bergantung kepada kekuasaan
Pemerintah Belanda di Batavia. Untuk mengamankan
posisinya dari berbagai intrik saudara-saudaranya maupun
pihak keluarga istana lainnya, ia kerap meminta bantuan
Belanda untuk menanggulanginya. Bantuan dan perlindung­
an yang diberikan Belanda tentu saja dilakukan dengan
kompensasi-kompensasi yang selalu memberatkan Kesul­tan­
an Banten, sehingga kesultanan terus mengalami keterpuruk­
an yang makin berat. Kondisi itulah yang membuat kesultanan
Banten sulit bangkit dari keterpurukan. Sementara Sultan
makin lemah dan tergantung dengan pihak penjajah.
Sebelum akhirnya VOC dibubarkan akibat kebangkrutan yang
diderita­nya pada 1 Maret 1796. Sejak itu pula, semua hutang
dan wilayah Nusantara diambilalih dan ditangani langsung
pemerintah Kerajaan Belanda.

Sementara itu, sehubungan sistem kerja rodi yang


diterapkan oleh Daendles untuk pembuatan jalan kereta api
dari Anyer ke Panarukan sepanjang 1000 KM., banyak sekali
pekerja yang mati akibat terkena hawa beracun, serangan
penyakin Malaria, kelaparan, dan sebab-sebab lainnya.
Karena Sultan menolak mengirimkan 1000 orang rakyat
setiap harinya untuk sistem kerja rodi tersebut, maka pada
21 Nopember 1808 diseranglah istana Surosowan. Sultan
Aliyuddin II (1803-1808) sendiri ditangkap oleh Daendles

~41~
dan dibuang ke Ambon, sedangkan Mangkubumi Wargadireja
dihukum pancung. Demikianlah babak akhir dari Kesultanan
Banten, sebelum akhirnya tentara Inggris di bawah pimpinan
Raffles (1811-1816) memaksa Sultan Muhammad Shafiuddin
menyerahkan jabatannya sebagai penguasa Banten kepada
pemerintah Inggris, dan Kesultanan Banten dihapuskan sejak
tahun 1813.

Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa Kitab al-Jawāhir al-


Khamsah—yang saat ini menjadi koleksi PNRI dan berasal dari
Banten—disalin dalam suasana di mana Kesultanan Banten
tengah berada dalam kondisi sudah teramat lemah secara
politik dan ekonomi, karena intervensi Kompeni Belanda yang
sudah sedemikian kuat. Hal seperti itu diperlemah lagi oleh
kondisi Sultan yang sudah “merasa nyaman” dengan jaminan
hidup yang diberikan Gubernur Jenderal VOC di Batavia per
bulannya. Sejak itu, Kesultanan Banten tidak lain hanyalah
sebagai bagian dari struktur pemerintahan Kompeni Belanda,
terutama sejak ditanda-tanganinya perjanjian tahun 1752
oleh Sultan Zain al-‘Āshiqîn.

“Rasa nyaman” dua orang Sultan Banten, yakni Sultan


Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777) dan Sultan Abū al-Mafākhir
Muhammad Aliyuddin I (1777-1802) itu diungkapkan oleh
Komandan Belanda dengan ungkapan, bahwa keduanya
kurang tertarik pada masalah politik, keduanya justru lebih
senang dan lebih fokus untuk membaca dan menulis buku-
buku keagamaan Islam. Bahkan, yang lebih mengecewakan
adalah bahwa Sultan Gomok alias Sultan Aliyuddin itu lebih
suka menikmati hidup bersama para selirnya di Danau

~42~
Tasikardi. Ia juga bertingkah sudah ke barat-baratan, lebih
senang bergaul dengan orang-orang Eropa, dan terakhir lebih
condong dan taat kepada “seorang ulama Arab yang baru
datang dari Makkah”. Berkaitan dengan hal ini, ulama-ulama
yang kerap mempengaruhi Sultan dan berasal dari negeri
asing itu kerap disebut sebagai “paus-paus orang asing”. Hal
itu digunakan untuk sebutan ejekan bagi ulama zaman itu,
karena rupanya di abad ke-18M Belanda begitu anti-Katholik.

Tidak berbeda dengan anaknya, Sultan Abu al-Naṣr


Muhammad Zain al-‘Āshiqîn juga kurang peduli terhadap
nasib rakyatnya, bahkan justru hidup bermewah-mewahan.
Akibatnya Sultan kerap berhutang kepada Belanda.
Sebenarnya, Sultan Zain al-‘Āshiqîn adalah seorang Sultan
yang baik hati, namun tidak memiliki penasehat yang baik,
sedangkan para bangsawan sangat tergantung kepada Sultan.
Pada umumnya para bangsawan sudah cukup puas dengan
tempat tinggal yang menyenangkan, perahu-kesenangan,
dan dikelilingi oleh wanita-wanita cantik. Pengawas gudang
lada sang raja adalah Kiai Aria Astradinata. Ia adalah anak
seorang tukang batu Cina yang telah masuk Islam. Jabatan
sebagai kepala gudang ini dianggap sebagai suatu jabatan
yang bersifat turun-temurun. Adapun paman dari Sultan
Zain al-‘Āshiqîn, Pangeran Raja Kusuma, adalah seorang yang
‘alim tetapi agak serakah. Ia telah tua dan uzur dan hanya
menghabiskan waktunya untuk beribadah serta menangisi
nasib tanah airnya yang makin hari dilanda peperangan dan
kemerosotan.

~43~
B. Konteks Sosial-Intelektual

Pada sekitar abad ke-18M, Kesultanan Banten memiliki


seorang ulama terkenal yang juga menjadi khalifah tarekat
Shattariyah. Ia adalah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār.
Ulama ini hidup semasa dengan Sultan Zain al-‘Āshiqîn
(1753-1777) dan Sultan Aliyuddin I (1777-1802). Ia sempat
bermukim di Makkah selama tiga tahun. Sekembalinya dari
Makkah, ia sempat menduduki jabatan Faqîh Najmuddîn di
Kesultanan Banten, sebelum akhirnya ia mengundurkan diri
dan berhijrah ke Cianjur hingga wafat. Ulama inilah yang
kemudian melahirkan para pejabat di Cianjur. Putra dan
cucunya, yakni Shaykh Mahmud dan Shaykh Muhammad
Habib juga sempat menduduki jabatan Faqîh Najmuddîn
sepeninggalnya. Terkait ditemukannya Kitab al-Jawāhir al-
Khamsah (MS A. 37) di Perpustakaan Nasional RI (PNRI)
yang berasal dari koleksi perpustakaan kesultanan Banten,
diduga kuat berasal dari masa ulama yang dimaksudkan
ini. Mengingat pada naskah tersebut dijumpainya sejumlah
catatan pinggir pada bagian awal maupun akhirnya.

Dari garis keilmuan, sebelum Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul


Qahhār berangkat ke Makkah, ia sempat belajar dengan orang
tuanya, Shaykh ‘Abdul Qahhār, yang memang berdarah Arab.
Adapun ibunya, dapat dipastikan adalah wanita berdarah
Banten yang mungkin masih terkait secara genealogis
dengan kesultanan. Berdasarkan penelusuran, ia adalah anak
didik Pangeran Arif Gusti, yang setelah dilantik menjadi raja
bergelar Sultan Abū Naṣr Muhammad Ārif Zain al-‘Āshiqîn
(1753-1777). Kepada pangeran inilah ia belajar dasar-dasar

~44~
ilmu agama Islam. Tentunya pada saat sebelum Pangeran ini
berada dalam pengasingannya di Ceylon (Srilanka) selama
kurang lebih 5 tahun (1747-1752), karena menolak menikah
dengan salah seorang keluarga Ratu Sharifah Fatimah.

Sebelum Pangeran ‘Arif Gusti ini berada di pengasingan,


Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār telah berangkat ke
Makkah dan tinggal di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu
keislaman dari para ulama Makkah dan Madinah selama
kurang lebih 3 tahun (sekitar 1745-1748). Jadi, tatkala
terjadi kudeta kesultanan yang dilakukan Ratu Sharifah
Fatimah beserta keluarga dan menantunya, Pangeran Sharif
‘Abdullah, yang berakibat pada pembuangan Sultan Zain al-
‘Ārifîn (1733-1748) dan Pangeran ‘Ārif Gusti (Sultan Zain
al-‘Āshiqîn) ke Ceylon pada 1747, Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhār justru tidak berada di Banten. Tatkala pecah
pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa dan Tubagus Buang
tahun 1750-1753, ada kemungkinan ulama ini tidak turut
campur dalam konflik politik dan militer melawan Belanda
tersebut. Karena kemungkinan justru menyingkir ke daerah
Bogor, Sukabumi, ke Cianjur, dan terakhir ke Cirebon, untuk
menyebarkan ajaran tarekat Shattariyah, Qadiriyah, dan
Rifa’iyah yang dianutnya hingga akhir hayatnya.

Setelah Pangeran ‘Ārif Gusti dikembalikan dari penga­


singan­nya, lalu dinobatkan menjadi Sultan Banten tahun
1753, barulah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār sesekali
kembali ke Banten untuk memenuhi permintaan Sultan
Zain al-‘Āshiqîn menyalin atau menulis sejumlah karya,
khususnya terkait ilmu tasawuf. Sebagaimana diketahui

~45~
dari laporan pihak Belanda, Sultan Zain al-‘Āshiqîn adalah
seorang Sultan yang kurang memiliki ketertarikan pada
masalah pemerintahan, tetapi ia lebih memiliki perhatian
pada ilmu-ilmu agama Islam. Untuk melaksanakan tugas-
tugas administrasi kesultanan, ia lebih mempercayakan
Mangkubumi (Perdana Menteri) untuk mengurusinya.

Selama di Makkah, berdasarkan catatan Shaykh ‘Abdullah


bin ‘Abdul Qahhār pada karyanya yang yang berjudul Fatḥ al-
Muluk li-yasila ilá Malik al-Muluk ‘alá Qā’idah Ahli al-Sulūk,
dapat kita temukan daftar sejumlah nama-nama gurunya
selama ia mengembara di Makkah, Madinah, dan Yaman.

Selama di Madinah, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār


antara lain berguru kepada Shaykh Ibrahim al-Madani bin
Muhammad Tahir al-Madani al-Kurdi yang telah memberinya
ijazah untuk mengajarkan kitab al-Simṭ al-Majîd karya
Shaykh Ahmad al-Qushāshî al-Madani al-Anṣārî. Hal ini dapat
kita maklumi, karena Shaykh Ibrahim al-Madani tidak lain
adalah putra dari Shaykh Muhammad Ṭāhir al-Madani yang
disebut-sebut sebagai anak sekaligus pengganti Shaykh
Ibrahim al-Kurani. Dengan demikian guru Shaykh ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhār adalah cucu ulama kenamaan abad ke 17
yang juga menjadi guru bagi para ulama terkenal Nusantara
lain semisal Shaykh Yusuf al-Makassari dan Shaykh ‘Abdul
Ra’uf bin Ali al-Jāwî. Dari Shaykh Ibrahim al-Madani, Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār juga menerima bai’at tarekat
Naqshābandiyah.

Ketika berada di Makkah, Shaykh ‘Abdullah belajar kepada


al-Imām Muhammad ibn Ali al-Tabari, putra ‘Ali al-Tabari

~46~
yang juga guru dari para ulama Nusantara terkenal abad 17M
sebagaimana disebutkan di atas. Guru penting ini pernah
berguru kepada Shaykh ‘Abdullah ibn Salim al-Basri al-Makki
yang juga menjadi guru beberapa ulama asal Nusantara
abad ke 17. Dari Imam Muhammad ibn ‘Alî al-Tabari inilah
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār menerima ajaran tarekat
Shattariyah yang kemudian ia sebarkan ke daerah Banten dan
sekitarnya sekembalinya dari Makkah. Shaykh ‘Abdullah juga
menerima ijāzah pengajaran kitab hadits karangan Shaykh
Muhammad ‘Ali al-Ṭabari yang berjudul Fayḍ al-AḤad fî al-
’Ilmi bi ‘Uluwwi al-Isnād.

Selama di Makkah, Shaykh ‘Abdullah juga berguru kepada


Imam ‘Abdul Wahhāb al-Shāfi’i dan Shaykh ‘Abdul Wahhāb
al-Ṭanṭāwi al-Misri al-Azharî. Dari kedua ulama ini Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār belajar ilmu fiqh, tafsir Bayḍawi
dan sebagian ilmu hadits di halaqah sekitar Masjid al-Haram.
Selain itu, ia juga memperoleh silsilah hadits dan rawinya dari
Shaykh Sa’id al-Shibli hingga tersambung sampai Rasulullah
saw. Demikian juga dari Shaykh ‘Ali al-Yamani, Shaykh Ahmad
al-Istambuli al-Misri, Shaykh ‘Aṭa al-Misri, Shaykh Aḥmad al-
Mahalli, Shaykh Sa’id al-Maghribi al-Maliki, Shaykh Salim al-
Gharnūq al-Hadrami, dan Sayyid ‘Umar bin ‘Aqil, serta Shaykh
‘Abdullah al-Qattān al-Makki.

Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār juga sempat belajar


dan diijāzahkan ilmu qirā’at sab’ah di Makkah dari Shaykh
Yusuf ibn Aḥmad al-Ghazi al-Qudsi dan Shaykh ‘Umar al-Hafiz
al-Darir, serta dari Sayyid Muhammad al-Mafazi. Sedangkan
selama di Yaman ia sempat belajar ilmu qira’at kepada Shaykh
Isma’il al-Bazi al-Zubaydi.

~47~
Adapun silsilah ilmu hadits-nya, tersambung kepada
Rasulullah dimulai dari Shaykh Imam Muhammad ibn ‘Ali
al-Tabari al-Husayni al-Makki, lalu dari Shaykh ‘Abdullah ibn
Salim al-Basri al-Makki, dari gurunya Shaykh Muhammad al-
Maktabi al-Dimashqi, dari Shaykh al-Islam al-Najm al-Ghazi
al-Shafi’i, dari bapaknya al-Badr al-Ghazi, dari Abi Yahya
Zakaria al-Anṣārî, dia dari al-Hafiz ibn Hajar ibn Na’im, dia
berasal dari Abî al-Fadl ‘Abdul Rahim al-Iraqi, dan dia berasal
dari Abi al-Fatḥ Muhammad ibn Muhammad al-Maydumi, dan
dia berasal dari Abi al-Farj ‘Abdul Latîf al-Harrani, dia dari Abi
al-Farj Abd al-Raḥîm ibn ‘Ali al-Jawzi, dan dia berasal dari Abi
Sa’id Isma’il ibn Salih al-Nisaburi, dan dia dari Abi Salih al-
Mu’dhin, dan dia dari Abi Tahir Muhammad ibn Muhammad
ibn Mahsh al-Zayyadi, dan dia dari Abi Ḥamid AḤmad ibn
Muhammad ibn Yahya ibn Bilal al-Bazzār, dari Abd al-Rahman
ibn Bashar ibn al-Hakim al-Nisaburi, dia dari Sufyan, dari
Uyaynah, dari Amru ibn Dinar, dan dari Abi Qabus, seorang
hamba dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, dan dari ‘Abdullah ibn Amru
ibn al-‘As, dari Rasulullah saw.

Sejak berada di Haramayn maupun ketika kembali ke


Banten, Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar kerap menulis
karya, di antara yang paling populer menurut catatan Carl
Brockelmann adalah Risālah fî Shurūṭ al-Ḥajj yang ditulis di
Makkah pada tahun 1161H/1748M dan Kitāb al-Masā’il yang
ditulis tahun 1159H/1746M. Selain itu, tercatat karya-karya
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār antara lain Futūḥ al-Asrār
fî Faḍā’il al-Tahlîl wa al-Adhkār (1154H/1741M), al-Fatḥiyyah
(1158H/1745M), Manhaj al-Ṣālih (1178H/1764M), Matan

~48~
al-Tahiyyah fî Uṣūl al-Hadith, al-Kāfi fî ‘Ilm al-‘Arūd, Kitāb al-
Marsūmā, Kitāb al-Hajibiyyah, dan Waṣiyyāt al-Ṭullāb.

Selama di Haramain, Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār


tidak hanya belajar, tetapi juga sempat mengajar dan memiliki
sejumlah murid dari berbagai wilayah di Nusantara. Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya dua naskah Shattariyah
yang menyebutkan adanya silsilah Shattariyah terkait dengan
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî yang ditulis
oleh muridnya yang berasal dari Mindanao. Kedua naskah
tersebut oleh Tommy Christomy dalam kunjungannya ke
Maranao, Lanao del Sur, Mindanao Selatan, diberi judul Ta’lîf
Shaykhunā al-Shaykh Ḥāji ‘Abdullāh ibn ‘Abdul Qahhār al-
Shaṭṭārî Banten. Kedua naskah itu adalah milik Dr. Ulumuddin,
salah seorang pemimpin Syi’ah di Marawi City. Berdasarkan
kolofon yang tertera pada halaman 84 naskah kedua tertulis
bahwa naskah itu selesai disalin pada bulan Sha’bān tahun
1236H/1821M. di salin oleh Muhammad Sa’îd. Jika dicermati
lebih dalam, tampaknya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār
adalah tokoh penting bagi murid yang berasal dari Mindanao
ini.

Jalur Shattariyah di Maranao menunjukkan siapa “guru


kita” di Makkah yang populer bagi mereka. Dan Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār adalah salah satunya. Silsilah
tarekat Shattariyah diperoleh melalui talqîn dan bay’at dari
Imam Muhammad al-Ṭabarî, dari Shaykh ‘Abdul Wahhāb bin
‘Abdul Ghani dari Shaykh Saleh Khatib Daud ibn Shamsuddin.
Silsilah ini sejalan dengan silsilah yang terdapat pada naskah
Cod. Or 7327 dan Cod. Or.

~49~
Adanya ketersambungan intelektual antara Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî ini dengan seorang
murid lainnya dari negeri yang sama, yakni Shaykh Ihsanuddin
Mindanao. Dalam salah satu naskah karyanya yang berjudul
Sayyid al-Ma’ārif Shaykh Ihsanuddin menyebutkan, “...
bahwasanya Shaykh kita, Shaykh Haji ‘Abdullah ibn ‘Abdul
Qahhār al-Shaṭṭārî al-Shāfi’î Banten telah mengambil Tarekat
al-Shaṭṭārî jalan kepada Allah ...” Ungkapan “Shaykh kita” pada
petikan tersebut menunjukkan bahwa Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhār begitu dihormati oleh muridnya yang berasal
dari Mindanao tersebut.

Naskah Sayyid al-Ma’ārif adalah salah satu manuskrip di


antara 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab yang terdapat
di maktabah/perpustakaan al-Imam Aṣṣādiq, Masjid Karbala,
milik ālim Usmān Imam. Naskah ini merupakan warisan dari
Haji Muhammad Sa’îd bin Imam sa Bayang atau biasa disebut
Sa’îdunā yang merupakan ulama pengembara abad ke 19 asal
Mangonaya, Marawi City, Mindanao, yang pernah berkunjung
ke Borneo, Riau Lingga, Johor, dan Palembang, tujuh tahun
sebelum proses keberangkatannya ke Haramain.

Lebih jauh bahkan dapat ditelusuri, bahwa hubungan


antara ulama Banten dengan murid-muridnya yang berasal
dari Mindanao itu tidak hanya terkait dalam kisaran ilmu
tasawuf dan tarekat saja, melainkan juga ilmu kebal dan
debusnya. Naskah Mindanao dalam hal ini menyebutnya
dengan istilah ‘ilmu tabarruk’ yang di dalamnya mencakup
Ajian Braja Lima, Braja Sembilan, termasuk Rajah-Rajah, Isim,
serta petunjuk puasa tujuh isnain dan tujuh khamis dan mandi

~50~
tujuh purnama . Namun ‘ilmu tabarruk’ yang disebutkan
itu tidak dipelajari dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār
melainkan dari Kiai lain yang juga ulama Banten, namun
belum diketahui dengan pasti. Ulama Banten itu disebut-
sebut berasal dari Karang Tanjung, Pandeglang. Adapun
muridnya bernama Tuan Haji Basaruddin, orang Mindanao.
Sebagaimana disebutkan dalam naskah “... Kiai masih orang
Banten di Karang Tanjung nama kampungnya maka mengajar
ia kepada Tuan Haji Basaruddin orang Malimdanaw ...”.

Dalam konteks Kitab ini, justru murid dari Mindanao itu


sendiri yang datang ke Banten untuk menimba ilmu-ilmu
tersebut, karena di Mindanao sendiri saat itu berada dalam
situasi perang menghadapi penjajah Spanyol dan belakangan
Amerika. Ilmu-ilmu kekebalan dari Banten tersebut dipandang
sangat dibutuhkan masyarakat dalam menghadapi tekanan
penjajah sebagaimana halnya masyarakat Kesultanan Banten
yang tengah menghadapi tekanan kolonial Belanda.

Selain itu, dalam salah satu manuskrip fikih yang berjudul


al-Mustahal terdapat catatan pinggir (scholia) yang ditulis
dengan gaya miring ke berbagai posisi (sebagaimana banyak
dijumpai dalam kitab-kitab pesantren tradisional). Catatan
pinggir tersebut ditutup dengan ungkapan “... min [dari]
Shaykh ‘Abdul Jalāl rahmat Allāh ‘alayhi, qadi Banten ...”.
Melihat namanya, sang guru tampaknya adalah ulama fikih
yang juga memiliki keterkaitan dengan Kesultanan Banten
saat itu.

Jika ditelaah lebih jauh, Karang Tanjung adalah sebuah


desa kecil yang terletak di kaki gunung Karang dan termasuk

~51~
wilayah kabupaten Pandeglang. Di desa ini setidaknya
terdapat tiga makam kuno ulama besar yang kerap diziarahi
oleh masyarakat sekitar maupun dari luar daerah, yakni
makam Shaykh ‘Abdul Jabbar, makam Shaykh Jumanten Jaga
Raksa Nagara, dan makam Shaykh ‘Abdul Halim (guru para
ulama Pandeglang semisal Kyai Idrus, pendiri pesantren
Turus, Kyai Saleh yang terkenal amat bersahaja, Kyai Halimi,
Kyai Ruyani dan masih banyak lagi). Shaykh ‘Abdul Jabbar
itulah yang kemungkinan besar menjadi tempat berguru
ulama Mindanao tadi.

Ulama tarekat Shattariyah Banten lainnya adalah Shaykh


Muhammad Habib bin Mahmud bin ‘Abdul Qahhar. Jika
dicermati dari namanya, ia adalah cucu dari Shaykh ‘Abdul
Qahhār (ulama Banten yang berasal dari Arab). Garis genealogis
ini menjadi bukti bahwa ia masih memiliki hubungan darah
dengan Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār. Setidaknya,
ia adalah cucu dari Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-
Bantānî yang pernah menjadi mufti kesultanan di era Sultan
Abū al-Naṣr Muḥammad Zain al-‘Āshiqîn (1753-1777M). Akan
tetapi tidak diperoleh informasi komprehensif terkait dengan
riwayat hidup dan pendidikannya selama ia hidup. Data yang
diperoleh dari naskah al-Jawāhir al-Khamsah Banten (MS A.
37) menyatakan bahwa Shaykh Muhammad Habib adalah
putra dari Shaykh Mahmud bin ‘Abdul Qahhār. Bersamaan
dengan disalinnya naskah tersebut, ia menginformasikan
bahwa ia tengah menjabat sebagai Faqîh Najmuddîn atau
Hakim Agung dari Kesultanan Banten. Sultan yang tengah
berkuasa saat itu adalah Sultan Abū al-Mafākhir Muhammad
‘Aliyudin (1777-1802). Dapat dipastikan bahwa jabatan itu

~52~
ia emban sejak keberangkatan pamannya untuk menuntut
ilmu ke Haramain sekitar tahun 1745. Setelah pamannya
itu kembali, jabatan itu tetap diembannya sehingga Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār lebih memilih mengembara ke
wilayah Bogor, Sukabumi, Cirebon, dan terakhir menetap di
Cianjur hingga akhir hayatnya.

Dalam konteks ini, terdapat kaitan erat dengan naskah


Shaṭṭārî Muḥammadiyyah yang telah diteliti Dr. Mahrus el-
Mawa untuk keperluan penulisan disertasinya. Dalam naskah
tersebut, silsilah tarekat Shaṭtāriyah yang diperoleh Kyai Haji
Muhammad Yunus berasal dari Shaykh Najmudddîn yang
terhubung kepada Shaykh ‘Abdul Muḥyî Safarwadi Pamijahan
(1071-1151H/1650-1730M), lalu tersambung kepada Shaykh
‘Abdul Ra’ūf Singkel. Nama Shaykh Najmuddîn yang tercantum
dalam silsilah tersebut, ada kemungkinan merupakan gelar
bagi tokoh yang disebutkan dalam naskah al- Jawāhir al-
Khamsah milik PNRI (MS A. 37) ini dengan nama sebenarnya
Shaykh Muhammad Habib bin Mahmud bin ‘Abdul Qahhār,
yang kemungkinan merupakan keponakan laki-laki dari
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî. Tentu saja,
kesimpulan ini masih memerlukan penelusuran lebih lanjut
untuk membuktikan kebenarannya dan menambah informasi
lebih lengkapnya.

Satu hal yang lebih menarik adalah, bahwa ijāzah


dan silsilah tarekat Shattariyah Shaykh Muhammad Habib
diperoleh dari ayahnya sendiri, Shaykh Mahmud bin ‘Abdul
Qahhār. Shaykh Mahmud sendiri memperolehnya dari
ayahnya, Shaykh ‘Abdul Qahhār. Tatakala shaykh Muhammad

~53~
Habib menyebutkan nama kakeknya, ia menambahkan
kata “qaddasa Allāhu asrārahu” yang berarti “semoga Allah
mensucikan ruhnya”. Data ini menunjukkan bahwa saat
silsilah tersebut ditulis, saat itu sang kakek (Shaykh ‘Abdul
Qahhār) telah meninggal dunia. Silsilah tersebut, dari Shaykh
‘Abdul Qahhār lalu tersambung kepada Shaykh ‘Abdul Muhyi
Pamijahan, lalu tersambung pula kepada Shaykh ‘Abdul Ra’ūf,
dan seterusnya (Naskah al-Jawāhir al-Khamsah, A 37: 53). Ini
adalah informasi berbeda, karena pada silsilah yang tertera
pada beberapa karya Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār,
ijāzah dan silsilah tarekat Shattariyah diperolehnya tidak dari
jalur Shaykh ‘Abdul Muhyi dan Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel,
melainkan dari Shaykh Ibrahim al-Madani bin Muhammad
Ṭāhir al-Madani al-Kurdi, sebagaimana diterangkan di atas
(Naskah Fatḥ al-Muluk, ff. 50-53). Shaykh Muhammad Ṭāhir
sendiri adalah anak sekaligus pengganti Shaykh Ibrahim
al-Kurani. Jadi, silsilah dan ijāzah tarekat Shattariyah yang
diperoleh Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār justru langsung
dari cucu al-Kurani di Makkah, dan tidak melalui jalur yang
lain.

Terakhir, juga ditemukan adanya naskah Keraton Cirebon


milik Elang Panji yang menyatakan bahwa Shaykh ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî juga merupakan guru bagi
ulama tarekat Shattariyah di Cirebon. Dalam naskah tasawuf
berbahasa Jawa tersebut dinyatakan bahwa Shaykh ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qahhār menerima ijāzah dan bai’at tarekat
Shattariyah melalui jalur Shaykh Saleh Khatib yang berguru
langsung kepada Shaykh al-Qushāshî di Madinah, jadi tidak
melalui Shaykh ‘Abdul Ra’ūf Singkel ataupun Shaykh Ibrahim

~54~
al-Kurani. Jalur silsilah ini mirip dengan silsilah Shaykh
‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār versi Melayu-Mindanao yang
dijumpai dalam koleksi Shaykh Muhammad Sa’îd di Marawi
City.

Secara umum, silsilah pada dasarnya merupakan


jalinan yang menjelaskan keterhubungan dengan para sufi
otoritatif penyebar tarekat yang kepadanya diharapkan
diperoleh barakah. Pada sisi lain dapat dijelaskan juga bahwa
silsilah-silsilah yang telah disebutkan di atas merupakan
fakta yang menjelaskan akan relasi dan legitimasi tarekat
Shattariyah Banten dengan dunia yang lebih luas yang
bersifat internasional. Silsilah juga merupakan fakta yang
dapat menjelaskan otentisitas ajaran tarekat yang dianut,
bagaimana transmisi keilmuan dan realitas hubungan sosial
itu dapat terjadi secara langsung.

C. Konteks Sosial-Keagamaan

Untuk memperoleh gambaran tentang kondisi sosial-


keagamaan pada abad ke-18M di Kesultanan Banten sebagai
sebuah konteks yang mengilhami dan melatarbelakangi
penyalinan sejumlah naskah-naskah keagamaan Islam,
khususnya terkait dengan ilmu tasawuf dan tarekat, maka
dapat ditelusuri perkembangannya sejak akhir abad ke 17 M.
Zaman itu ditandai dengan kemegahan dan kemajuan yang
dicapai Kesultanan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa
yang didampingi ulama besar asal Makasar, Shaykh Yusuf
al-Makassari. Kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya
tunduk kepada kompeni Belanda karena kalah perang selama
beberapa tahun. Sultan Ageng Tirtasaya sendiri wafat dalam

~55~
pengasingan di Batavia tahun 1692. Demikian juga halnya
dengan Shaykh Yusuf yang meninggal di pengasingannya,
Tanjung Harapan, Afrika Selatan, pada 23 Mei 1699.

Semasa jayanya sekitar abad ke-16 dan ke-17, Pelabuhan


Banten merupakan pusat perdagangan internasional yang
penting di Nusantara. Orang-orang Banten kerap menjalin
hubungan perdagangan dengan banyak mitra dagangnya
dari berbagai negara, seperti dari Inggris, Denmark, Cina,
Indo-Cina, India, Persia, Filipina, dan Jepang. Kapal-kapal
Kesultanan Banten juga banyak yang melakukan pelayaran ke
berbagai wilayah Nusantara, bahkan hingga ke manca negara.
Hubungan diplomatik dengan beberapa negara Eropa dan
Asia lain juga terjalin melalui pengiriman duta-duta besar.
Dengan demikian, dapat dibayangkan begitu ramainya kota
pelabuhan Banten saat itu, sehingga pelajar-pelajar Muslim
kerap datang dan pergi untuk menimba ilmu di Kesultanan
ini.

Posisi sebagai ‘kota pelajar’ abad ke-16M dan 17M


itu kemudian berangsur meredup seiring melemahnya
kekuasaan politik dan militer Sultan Ageng Tirtayasa.
Terutama semenjak dipagang putranya, Sultan Haji Abu Naṣr
‘Abdul Qahhār (1682-1687) dan beberapa Sultan sesudahnya.
Semenjak itu Kesultanan Banten kerap dilanda perang
saudara untuk memperebutkan kursi Kesultanan yang sering
kali juga dipropagandai Belanda. Dalam suasana seperti itu,
rakyat makin menderita akibat diterapkannya pajak yang
tinggi, juga akibat praktek monopoli dagang yang dipaksakan
oleh Kompeni. Sementara pihak Kesultanan tak mampu

~56~
berbuat banyak apalagi menolak, karena telah dililit hutang
beserta bunganya yang makin membengkak. Seluruh biaya
perang yang pernah dikeluarkan pihak Kompeni juga harus
dibayarkan oleh pihak Kesultanan. Seluruh kewajiban itu
tertuang dalam perjanjian yang ditanda-tangani Sultan Haji
pada 17 April 1684 dan terpaksa harus ditaati oleh seluruh
keturunan dan Sultan-Sultan penerusnya kelak.

Pertempuran besar yang menelan banyak korban


selanjutnya terjadi sepanjang tahun 1750-1753, terutama
yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang.
Pertempuran itu berakhir dengan kesepakatan yang sangat
merugikan pihak Kesultanan Banten pada tahun 1752. Tidak
mengherankan jika kemudian banyak terjadi kerusuhan,
pemberontakan, perampokan, serta pembunuhan yang
dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi dan sulitnya hidup
yang dialami rakyat, meski sebagian pihak kesultanan tetap
menikmati kemudahan hidup yang relatif terjamin atas back
up kompeni Belanda.

Dari sebagian kaum bangsawan, juga terdapat kaum ulama


dan terpelajar yang ikut menikmati jaminan hidup di bawah
lindungan kompeni Belanda. Hal itu dapat dibuktikan di
mana pada sejumlah naskah perjanjian yang ditanda-tangani
Sultan Banten sejak masa Sultan Haji hingga masa-masa akhir
Kesultanan, ternyata dapat kita temukan sejumlah nama
ulama yang ikut menyetujui perjanjian itu, meskipun secara
substansi sangat merugikan Kesultanan dan rakyat Banten
secara umum. Dalam perjanjian antara Sultan Haji dengan
Belanda pada 17 April 1684 misalnya, Kiyai Suko Tajuddin juga

~57~
ikut menanda-tangani perjanjian itu, di samping Pangeran
Dipaningrat, Pangeran Natanagara dan Pangeran Natawijaya.
Demikian juga pada perjanjian terkait kudeta tak berdarah
Ratu Sharifah Fatimah bersama menantu atau keponakannya,
Sultan Sharif ‘Abdullah, terhadap Sultan Zainal Arifin pada 28
Nopember 1748 yang ditetapkan Gubernur Jenderal Gustaff
Willem Baron van Imhoff, terdapat nama-nama seperti:
Pangeran Kusuma Ningrat selaku perdana menteri, Faqîh
Najmuddîn, penghulu ‘Abdul Ra’ūf, penghulu ‘Abdul Muluk,
penghulu ‘Abdul Salman, dan penghulu Muhammad Hamim.

Dengan demikian, baik pihak keluarga Kesultanan


maupun kaum ulama, ada yang cenderung memilih posisi
aman dengan berlindung di bawah proteksi pemerintah
kompeni Belanda dan Sultan, dan ada ulama yang berposisi
menentang segala kebijakan yang merugikan Kesultanan
serta yang berakibat pada penyengsaraan rakyat. Kaum
ulama yang mengambil sikap menentang kebijakan kompeni
maupun kebijakan sultan yang sudah tunduk pada penjajah
kebanyakan kemudian menyingkir ke daerah pedalaman,
terutama ke daerah Banten wilayah selatan untuk kemudian
mendirikan pesantren dan pusat tarekat. Tipe ulama
seperti ini biasanya ada yang nyata-nyata menonjolkan
penentangan dan ketidak-setujuannya terhadap pihak
istana dengan memobilisasi masa dan mengangkat senjata.
Hal ini seperti yang ditunjukkan Kiai Tapa dan Ratu Bagus
Buang. Ada pula tipe ulama yang tidak menunjukkan secara
nyata penentangannya terhadap kompeni Belanda maupun
Sultan, tetapi tetap menyingkir dari istana dan tidak mau lagi
berhubungan dengan segala yang terkait dengan Kesultanan.

~58~
Perpecahan di kalangan ulama itu memang sudah terjadi
sejak masa Maulana Muhammad (1580-1596M) berkuasa,
terutama sejak kedatangan Kiai Dukuh yang berasal dari Arab
yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan. Sejak itu,
seakan terjadi dualisme terkait posisi ulama dalam Kesultanan
Banten, karena di samping qāḍî yang telah lebih dulu ada,
ternyata juga terdapat semacam ‘perguruan’ di Kasunyatan,
meski bersifat non-formal. Oleh karenanya dapat disimpulkan,
bahwa di Banten kala itu terdapat dua tipe ulama, yakni
ulama kota dan desa. Keduanya ada yang bersifat independen
dan ada yang bersifat ambivalen. Di kota sendiri, ada ulama
istana/kraton yang tunduk pada Sultan, ada pula yang
bersikap independen yang posisinya kadang dekat dengan
Sultan, tapi terkadang juga mengambil jarak dengan Sultan.
Untuk mengambil jarak biasanya mereka akhirnya hijrah ke
desa. Pada tahun 1780 terjadi konflik antara qadi dengan
ulama kota independen akibat perbedaan pendapat dalam
tata cara menentukan awal dan akhir puasa bulan Ramadan.
Karena Sultan Abu al-Mafākhir Muhammad Aliyuddin (1777-
1802) lebih memilih cara-cara yang diperkenalkan oleh
seorang ulama yang baru kembali dari Makkah, akibatnya
sang qāḍî memilih mundur dan meletakkan jabatannya. Qāḍî
tersebut tidak lain adalah Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār
al-Bantānî. Dan ia akhirnya memilih untuk pindah ke Cianjur
lalu ke Cirebon hingga wafatnya.

Kemudian, siapakah yang dimaksud dengan “seorang


ulama yang baru kembali dari Makkah” itu? Hingga kini
belum bisa dipastikan, apakah yang dimaksud dalam
“ungkapan sindiran” tersebut adalah Shaykh Muhammad

~59~
Habib bin Mahmud, yang tidak lain adalah cucu dari Shaykh
‘Abdul Qahhār alias keponakan dari Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhār sendiri atau ulama lainnya. Peristiwa tersebut
bertepatan dengan wafatnya Sultan Banten ke 12, yakni
Sultan Abu Nasr Muhammad Zain al-‘Āshiqîn. Informasi
itu terdapat pada catatan ke-2 halaman pelindung muka
naskah al-Jawāhir al-Khamsah (MS A. 37) yang menyatakan
bahwa pada tanggal 7 Dzulqaidah 1191 H tahun Dal di hari
Minggu waktu Adha, telah tiba seorang ulama Arab dari
Batavia, bersamaan dengan tersebarnya kabar wafatnya
Sultan Banten. Meski catatan itu tidak menyatakan secara
pasti siapa nama Sultan Banten yang wafat itu, namun dapat
dipastikan ia tidak lain adalah Sultan Abu Naṣr Muhammad
Zain al-‘Āshiqîn. Informasi tersebut terdapat pada catatan
tambahan pada halaman muka naskah A 37, yang berbuyi
sebagai berikut:

Yang artinya: Pada tahun 1191 Hijriyah tahun Dal tanggal


7 Dzulqaidah hari Ahad waktu Adha, kala itu datang kabar
bahwa Sultan Banten wafat, (namun tidak dijelaskan
siapa sultan Banten yang dimaksud) yang angka wirid,
shaykh orang ‘Arab datang dari Betawie (Batavia) (lihat
lampiran 3 hlm. 453).

Untuk mengetahui persesuaian (konversi) angka tahun


Dal, 7 Dzulqa’idah 1191 Hijriyah ke dalam angka tahun
Masehi, terlebih dahulu disesuaikan angka tahunnya dengan
menggunakan rumus 32/33x 1191+622, sehingga diperoleh
angka 1776,91. Hasil ini jika dilihat pada tabel Dr. Ferdinand
Wustenfeld. Ditemukan bahwa tanggal 1 Suro tahun Dal

~60~
1191H bertepatan dengan hari Ahad/Senin Pon tanggal
9/10 Februari 1777M. Itulah sebabnya dalam perhitungan
terdapat angka 91 dibelakang angka koma, karena tahun baru
Hijriyahnya jatuh pada bulan Februari, bulan kedua tahun
1777M. Perhitungan berikutnya adalah penyesuaian tanggal
dan bulan Hijriyah dengan tanggal dan bulan tahun Masehi
adalah: Dhulqa’idah adalah bulan ke-11; bulan 1-11=325
hari. Tanggal 7 Dzulqaidah adalah hari yang ke 325+7=332
untuk tahun 1191H. Karena tanggal 1 Suro 1191H bertepatan
dengan tanggal 9/10 Februari 1777M; bulan Februari adalah
bulan kedua sedang jumlah hari bulan sebelumnya 31 hari;
sehingga tanggal 9/10 Februari adalah hari ke 31+9 atau 10
=40 atau 41 hari untuk tahun 1776,91. Tanggal 7 Dhulqa’idah
adalah hari ke 41+332=373dihitung dari 1 Januari 1777. Jadi
tanggal 7 Dhulqa’idah adalah hari yang ke 373-365= 8 untuk
tahun 1778, atau bertepatan dengan tanggal 8 Januari 1777M.

Untuk memastikan kapasitas keilmuan dan peranan


yang lakukan Shaykh Muhammad Habib selama di Banten,
dapat ditelusuri pada naskah al-Jawāhir al-Khamsah A
37 halaman 53 sangat jelas disebutkan bahwa ia bergelar
Faqîh Najmuddîn. Jabatan yang disandangnya itu tentu saja
paling tidak mengindikasikan akan kapasitas keilmuan
yang dimilikinya, terutama bidang ilmu hukum Islam (fiqh).
Berikut ini petikan ungkapannya:

Yang artinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha


Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah
satu-satunya, salawat dan salam untuk Nabi yang tak ada
Nabi setelahnya, juga untuk keluarga, para sahabatnya

~61~
dan tentaranya yang baik dan setelah itu. Maka telah
berkata yang faqir kepada Allah (Tuannya Yang Maha
Kaya) Muhammad Habib bin Mahmud yang dijuluki
Faqih Najamuddin: “Dan saya yang faqir telah mengambil
ijazah dan silsilah Shaṭṭariyah dari shaykh, panutan,
dan tuan kita, Mahmud bin Maulana ‘Abdul Qahhār dia
mengambil dari bapaknya Shaykh ‘Abdul Qahhār, semoga
Allah mensucikan ruhnya, dan dia mengambil dari
Shaykh Ḥaji ‘Abd al-MuḤyî, semoga dikasihi Allāh, dia
mengambil dari Shaykh al-‘Ārif billāh al-Kāmil Shaykh
‘Abdul Ra’ūf, dia mengambil dari Shaykh al-‘Ārif billāh al-
Kāmil al-Mukammil Aḥmad bin Muhammad al-Madanî
al-Anṣārî yang terkenal dengan nama al-Qushāshî, dan
dia mengambil ijazah dari shaykh dan tuan kita Abî al-
Mawāhib ‘Abd Allah AḤmad bin ‘Alî al-Qurayshî kakek
dari ‘Abbās al-Thanāwî, dan dia mengambil ijāzah dari
Sulṭān al-‘Ārif billāh Mawlānā Sayyid Ṣibghatullāh...”

Kutipan tersebut diperkuat dengan adanya beberapa


catatan pada halaman pelindung muka maupun akhir
mengenai beberapa kejadian yang dialami oleh Ḥaji
Muhammad Habib bin Maḥmūd bin ‘Abdul Qahhār al-Bantānî
lengkap dengan tanggal, bulan dan angka tahun Hijriyahnya.
Catatan-catatan kecil ini terkait dengan konteks sosial-
keagamaan di Banten abad ke-18M, sekaligus menguatkan
indikasi tentang penyalin Naskah al-Jawāhir al-Khamsah A
37. Catatan tambahan-1 tersebut berbunyi:

“1190 Hijrat tahun Je wulan Muḥarram tanggal ping 26


malam thulathā, kala iku isun faqîr ḥaqîr Ḥaji Muhammad

~62~
Habib ḍa’îf ‘umqu dîn bay’at Naqshabandî dening Kiyāhî
bapā pêngêndîkanî Habib mêrěněhā isun bay’at tajdîdan
maka noleh isun den cêkêl tangan isun nulěh isun den
talqîn, al-ḥamdu li-llāh ‘alā mā hadānā”

Artinya: Pada 1190 Hijriyyah tahun Je bulan Muharram


tanggal 26 malam Selasa, kala itu saya yang faqîr
[kekurangan] lagi haqîr [hina] Haji Muḥammad Ḥabīb
yang lemah kedalaman ilmu agamanya berbai’at tarekat
Naqsyabandiyah kepada Kiai [guru] bapak saya yang
dipanggil Ḥabîb, disini saya dibai’at ulang, maka pada
waktu itu tangan saya dipegang untuk ditalqîn, segala
puji bagi Allah atas apa yang telah ditunjukkan-Nya pada
kami. (lihat lampiran 3, hlm. 453).

Jika dikonversi kedalam angka tahun Masehi, tanggal 1


Suro 1190 H bertepatan dengan tanggal 21 Februari 1776M
; Jadi tanggal 26 Muharram 1190 H tahun Dal, sebagaimana
yang telah dilakukan dengan berdasarkan rumus di atas
diperoleh hasil bahwa tanggal 26 Muharram 1190 bertepatan
dengan tanggal 8 April 1776M. Catatan tambahan-3
berikutnya berbunyi:

Artinya: Pada 1192 Hijriyah tahun Be bulan Safar hari


Senin diwaktu Shubuh tanggal 17 hilal, tatkala itu telah
lahir Utsman bin Haji Muḥammad Ḥabib bin Qaḍi Faqih
Najamuddin, semoga Allah memanjangkan umurnya
dalam ibadah, dan selamat dari mara bahaya dunia dan
akhirat, di negeri Selangor, cucu dari Haji Abdul Raḥman
al Bantani, bapak dari Encik Budiman (Semoga Allah

~63~
memelihara keimanannya, kabulkanlah wahai Tuhan
seru sekalian alam !) (lihat lampiran 3, hlm 453)

Jika dikonversi kedalam angka tahun Masehi, tanggal 1


Suro 1192 H bertepatan dengan tanggal 30 Januari 1778M
; Jadi tanggal 17 Safar 1192H tahun Be, sebagaimana yang
telah dilakukan dengan berdasarkan rumus di atas diperoleh
hasil bahwa tanggal 17 Safar 1192 bertepatan dengan tanggal
12 Maret 1778M. Catatan tambahan terakhir pada halaman
pelindung muka naskah A 37 berbunyi:

Yang artinya: Pada tahun 1193 Hijriyah [1779M.] tahun


wawu bulan Dzulqaidah tanggal 18, pada pertengahan
malam di malam Rabu, kala itu terasa berjalan-jalan
sebagai tanda telah terjadi lindu (gempa) dan angin yang
sangat besat (puting beliung) di mana pohon-pohon
kayu banyak yang tumbang (dan Allah lebih mengetahui
kebenarannya) (lihat lampiran 3, hlm. 453)

Adapun pada halaman pelindung akhir, juga ditemukan


dua catatan tambahan terkait kecendrungan Sultan Abu
Mafakhir Muhammad Aludin yang gemar kawin, namun
juga senang belajar ilmu-ilmu keagamaan, termasuk belajar
hadith Sahih Bukhari. Catatan tersebut berbunyi:

Yang artinya: “Pada hari Rabu waktu Dzuhur, tanggal 16


Syaban tahun Jimawal 1197 Hijriyah [1782M.], waktu
itu saya meminta izin sebagai wali hakim menikahkan
Kanjeng Sultan Abul Mafākhir Muḥammad Aliuddin,
di mana saya menerima uang 80 Reyal saya sendiri di
mana datangnya langsung ke rumah saya serta untuk

~64~
mengambil ijazah Hadith Bukhari. Selesai ucapan dengan
baik dan ‘afiyat (lihat lampiran 4 hlm. 454)

Dan terakhir, juga terdapat tambahan lainnya yang


berbunyi:

Yang artinya: “Pada tahun 1198 Hijriyah [1783M.] tahun


Je bulan Jumadil Akhir tanggal 2, hari Jumat, kala itu ba’da
Jumat turun Tubagus ‘ib putra pangeran Saleh bersama
isterinya Pangeran Kestrian (putri dari) kanjeng Abu al-
Mafākhir Muḥammad Aliyuddin”. (lihat lampiran 4, hlm.
454)

Terkait dengan catatan terakhir ini, yang dimaksud Tubagus


‘Ib adalah Pangeran Raden Muhammad. Tak lama setelah
kelahiran putranya ini, Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad
Aliyuddinn I meminta komandan Willem Cristoffel Engert
dari VOC di Batavia untuk menyetujui penunjukkan anak laki-
lakinya yang baru saja lahir sebagai putra mahkota. Willem
Cristoffel Engert tentu saja menyetujui pilihan sultan ini,
namun tiga tahun berikutnya (1786), Pengeran Muhammad
wafat dalam usia 3 tahun. Tahun berikutnya, Sultan Aliyuddin
I kembali memohon kepada Willem Cristoffel Engert untuk
menunjuk anak laki-lakinya yang baru berumur 6 bulan, yakni
Pangeran Muhammad Aliyuddin II untuk dinobatkan menjadi
putra mahkota. Permintaan ini menjadi bukti bahwa posisi
Sultan Banten memang telah begitu lemah karena benar-
benar berada di bawah kendali VOC di Batavia. Permintaan
persetujuan itu dimohonkan Sultan, karena Sultan khawatir
adanya penolakan dari pihak anggota keluarga istana lainnya.

~65~
Dan jika pihak Belanda menyetujui penunjukkan itu, tentu
saja pihak lain dari keluarga istana tak akan bisa mengelak,
apalagi menolak dan melawannya.

Catatan-catatan tersebut tampaknya dibuat jauh setelah


Kitab al-Jawāhir al-Khamsah disalin oleh kakeknya, karena
semua catatan itu berada di bagian halaman pelindung
muka dan akhir pada naskah milik Sultan Abū al-Mafākhir
Muhammad Aliyudin. Mustahil catatan-catatan itu dibuat
sebelum menyalin Kitab utamanya. Asumsi itulah yang
membuat saya berkesimpulan bahwa Kitab al Jawahir al
Khamsah dari Banten disalin oleh Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abdul Qahhar jauh sebelum itu. Catatan-catatan ini tentu
saja menjadi data yang mendukung naskah-naskah lainnya
untuk membantu menganalisis konteks historis dan sosial-
keagamaan yang melatari situasi zaman di mana Kitab al-
Jawāhir al-Khamsah hadir di Kesultanan Banten .

~66~
Bagian Keempat

~67~
~68~
Tinjauan Isi Kitab al-Jawahir al-Khamsah

Kitab al-Jawāhir al-Khamsah adalah karya Shaykh Muhammad


al-Ghawth al-Hindi, seorang ulama sufi yang juga khali­
fah atau pemimpin tarekat Shattariyah yang hidup pada
abad ke-16 M dalam situasi di mana kekuatan politik Islam
yakni kesultanan Mughal mulai berdiri dan sedang gencar
menyebar­kan dakwah Islam di wilayah India yang mayoritas
beragama Hindu. Karya ini lahir tak lepas dari kondisi saat itu,
bahkan merupakan bagian dari respons situasional sulitnya
mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat India yang
sangat antipati terhadap segala bentuk ajaran baru yang
baru datang. Demikian sebagaimana yang dituturkan oleh
sejarawan al-Biruni yang sempat mengunjungi India kala itu.

Satu abad selanjutnya, kitab al-Jawāhir al-Khamsah


berhasil tersebar ke jaringan ulama Timur-Tengah sehingga
kemudian menyebar ke seluruh dunia berkat usaha
dan kerja keras muridnya, Shaykh Sibghatullah. Shaykh
Sibghatullah menyalin dan mengajarkannya di ribātnya di
Haramain (Makkah dan Madinah). Dari situlah kitab al-
Jawāhir al-Khamsah bisa tersebar ke penjuru dunia hingga
akhirnya sampai juga ke wilayah Melayu-Nusantara. Adapun

~69~
naskah atau teks kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang ada di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia saat ini (MS A.
37 dan MS A. 42) merupakan naskah al-Jawāhir al-Khamsah
berasal dari koleksi perpustakaan kesultanan Banten. Naskah
tersebut diduga kuat disalin oleh ulama Banten bernama
Shaykh ‘Abdullah bin ‘Abdul Qahhār. Ia hidup pada masa
kesultanan Banten mulai kehilangan kekuasannya dan mulai
dikuasai pihak Kompeni Belanda sekitar abadke-18 Masehi.

Berbeda dari kitab-kitab tasawuf lainnya, teks al-Jawāhir


al-Khamsah salinan dari Banten tidaklah membahas ajaran
dan pemikiran tasawuf secara filosofis, melainkan berisi
sejumlah tuntunan tatacara beribadah, tatacara berzuhud,
dan tatacara berdoa dengan menggunakan sejumlah ‫س ُاء‬ َ ْ ‫ْا أَل‬
َ ْ
‫( ال ِعظ ُام‬Nama-Nama Allah Yang Agung), serta doa-doa khusus
lainnya. Meski demikian, terkadang ditemukan juga istilah-
istilah tertentu terkait tema tasawuf filosofis, namun tidak
dijelaskan secara mendalam.

Sebelum membahas pokok-pokok isi teks al-Jawāhir al-


Khamsah, terlebih dahulu dijelaskan sistematika pembahasan
dan alasan dituliskannya teks tersebut.

A. Sistematika dan Latar belakang Penulisan Kitab al-


Jawāhir al-Khamsah

Sudah menjadi ciri dalam budaya literasi di dunia Islam, bahwa


menulis sebuah karya selalu didahului dengan ungkapan puji-
pujian kepada Allah sebagai bentuk ungkapan terima kasih
atas kehendak dan berkat bantuan-Nya pengarang/penyalin
dapat menuangkan gagasan, pengalaman, pemahaman, dan

~70~
penilaiannya terhadap suatu ajaran dan ilmu yang sedang
digelutinya. Setelah itu dilanjutkan dengan doa dan ucapan
salawat kepada Nabi Muhammad saw., kepada para sahabat
dan pengikutnya, dengan harapan memperoleh berkah,
bimbingan, dan konsistensi dalam menjalankan risalah Islam.
Kedua unsur ini biasanya diletakkkan di awal teks sebagai
exordium atau mukadimah sebuah karya. Demikianlah halnya
dengan yang dilakukan oleh Shaykh Muhammad al-Ghawth
al-Hindi dalam menulis karyanya. Untuk memperkuat
argumennya, pada pendahuluan ia mengutip sejumlah dalil-
dalil, baik itu dari ayat al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
penuh metafora.

Sebelum masuk kepada bahasan utama, pengarang kitab


al-Jawāhir al-Khamsah terlebih dahulu menjelaskan latar
belakang mengapa ia menulis kitab tersebut, apa tujuannya,
apa saja isinya, sekaligus mencantumkan silsilah asal usul
dirinya secara genealogis yang masih terkait dengan Husain
bin Ali, Ali bin Abi Thalib, hingga Nabi saw. Silsilah ini
sengaja ditunjukkan untuk memperkuat argumentasi bahwa
pengarang memang benar-benar berasal dari keluarga yang
terpelihara dan memiliki reputasi keagamaan terpercaya
yang tak diragukan, karena terhubung langsung kepada
shaykh-shaykh tarekat yang otoritatif (khususnya tarekat
Shattariyah) dan terhubung langsung kepada Rasulullah saw.

Pada sisi lain, kitab al-Jawāhir al-Khamsah yang sampai


pada kita merupakan salinan yang dibuat Shaykh Shibghatullah
dari karya gurunya, Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi.
Shaykh Muhammad al-Ghawth sendiri menulis kitab al-

~71~
Jawāhir al-Khamsah berkat bimbingan Shaykh Zuhur al-Haji
Huduri yang telah meninggal dunia sekitar abad 13 Masehi.
Upaya itu terus dilakukannya, meski gurunya telah meninggal
dunia, hingga akhirnya ia memperoleh petunjuk melalui
perjumpaan dengan ruh gurunya yang telah meninggal dunia.
Proses transformasi ilmu semacam ini kerap disebut dengan
istilah barzakhî atau uwaysî. Hal itu dapat diperiksa pada
petikan dari naskah al-Jawāhir al-Khamsah A 37 halaman 13.

Yang artinya:

“Tatkala aku lihat pada peristiwa kedua, sebagaimana


telah aku lihat pada awalnya sebelum itu dalam kandungan
(ayat)“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri
mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa yang lebih
dekat” (QS.17:57) ruhnya pergi untuk berkhidmat kepada
yang mulia, pemimpin orang-orang yang mengesakan
Tuhan, al-Shaykh Zuhur al-Haj Hazur (semoga Allah
menganugerahkan kepada kaum muslimin panjang
umur [sehingga beliau dapat lebih lama membimbing
mereka] untuk sampai pada maksud dan memperoleh
apa yang ku cari, maka aku pergi untuk menemui beliau
dan aku berjalan sampai kakiku hancur dalam usaha
mencarinya hingga sampai pada bayangan singgasananya
dan mendapat anugerah untuk bertemu dengannya.
Lalu, setelah aku bertemu dengannya, beliau berkata: Di
mana Khwajah (Tuan) Ahmad? Maka datanglah orang
yang dimaksud, lalu ia berkata kepadanya: “Yang Allah
telah janjikan kepadaku bahwa akan datang seseorang
untukku dan untuk Dia adalah orang ini”. Maka aku pun

~72~
mendapatkan tawfiq (bimbingan) “Sesungguhnya orang-
orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya
mereka telah berjanji setia kepada Allah” (QS.48:10). Kala
itu beliau sudah berumur lanjut sebagaimana dikenal, dan
aku berkhidmat kepada beliau beberapa lama mengambil
kehormatan dengan itu.”

Hasil-hasil pengalaman spiritual yang pernah dirasakan


dan ditelusurinya selama itu, kemudian ditulisnya dalam draft
pertama naskah al-Jawāhir al Khamsah tahun 929H/1522-23
M. Pencapaiannya ini terjadi ketika memasuki usia 22 tahun.
Jika dicek ulang dengan angka tahun kelahirannya yang tahun
1502, berarti teks al-Jawāhir al-Khamsah draft pertama itu
selesai ditulis sekitar tahun 1524 M. Setelah draft pertama
selesai ditulis, ia sempat meminta pengesahan kebenaran
apa yang dialami dan apa yang ditulisnya itu dari gurunya
yang telah wafat. Namun, karena kebanyakan murid Shaykh
Muhammad al-Ghawth merasa kesulitan dalam memahami
istilah-istilah dan maksud dari pengarangnya, bahkan sempat
ada kesalahan dalam memahaminya, maka sekitar tahun
956H/1549M., Shaykh Muhammad al-Ghawth berusaha
menyusunnya kembali dalam bentuk draft kedua naskah
kitab al-Jawāhir al-Khamsah.

Pada draft kedua itu dijelaskan kembali apa yang pernah


ditulisnya secara berurutan, yakni mencakup lima hal yang
disebutnya sebagai “Lima Permata”. Draft terakhir inilah
yang kemudian menjadi sangat terkenal, karena di dalamnya
dijelaskan secara praktis bagaimana mencapai posisi ‘ābidîn
(devotees), yang artinya menjadi seorang hamba yang hanya

~73~
menghamba kepada Allah swt. semata; zāhidîn (ascetics),
yang artinya orang yang menempuh jalan hidup zuhud; dan
kaum Shaṭṭārî yang artinya menjadi orang yang memiliki
kekuatan mistis supranatural yang tak bisa dicapai oleh
tarekat sufi lainnya. Meski demikian, teks-teks kitab al-
Jawāhir al-Khamsah yang sampai kepada kita bukanlah yang
ditulis langsung oleh pengarangnya (autograph), melainkan
yang ditulis oleh murid-murid Shaykh Sibghatullah dan
murid Shaykh Wajihuddin lainnya. Hal ini dapat diketahui
melalui petikan dari ungkapan dalam naskah kitab al-Jawāhir
al-Khamsah pada awal sub al-Jawhar al-Rābi’:

Pada bagian itu dijelaskan bahwa memperoleh ilmu batin


(ma’rifat) itu harus melalui bimbingan seorang shaykh atau
murshid tarekat, bukan dengan membaca buku-buku atau
lainnya. Tatkala menjelaskan proses transmisi (talqîn) ilmu
tersebut mulai dari Nabi kepada ‘Ali, lalu kepada putranya
Husein, dan seterusnya hingga sampai kepada shaykh
Muhammad al-Ghawth atau Abul-Mu’ayyad, lalu kepada
shaykh Wajihuddin al-Alawi, lalu terakhir kepada shaykh
Sibghatullah. Penjelasan tentang proses transmisi ilmu batin
tersebut
ُ ْ َ َ ُ �َ‫َع ف‬
ditutup dengan ungkapanَ doa: ‫هللا ت َعال َعنه َو َع ْن‬
َ
ُ َ ْ َ َّ َ َ ْ ُ ْ‫ْ َ َ َ ض َ ُ َ َ َ َ ن‬
‫س َار ْه‬ ‫� هللا تعال ع�م وقدس أ‬ ‫(أسل ِف ِه ور ِ ي‬semoga Allah Yang Maha
Tinggi memaafkannya, meridhai dan mensucikan ruh mereka
semuanya). Ini menunjukkan bahwa mereka semua telah
meninggal dunia.

Tasawuf pada intinya adalah ajaran-ajaran tentang cara


dan jalan agar seorang muslim mencapai dan berada sedekat
mungkin dengan Allah swt. Posisi berdekatan dengan Tuhan

~74~
tak mungkin dapat dicapai kecuali oleh orang-orang yang telah
mencapai kesucian dan kesempurnaan batin (rohani). Untuk
mencapai kesucian dan kesempurnaan batin tersebut, maka
seorang muslim terlebih dahulu harus berusaha menempuh
dua jalan utama, yakni takhliyah dan taḤalliyah. Maksud jalan
pertama (takhliyah) adalah dengan mengosongkan diri dari
segala sifat-sifat rendah yang akan menghalangi perjalanan
manusia dalam mendekati-Nya. Adapun maksud jalan kedua
(taḥalliyah) adalah dengan menghiasi diri dengan segenap
sifat-sifat luhur yang akan mempercepat perjalanan manusia
mendekati-Nya. Kedua jalan utama tersebut harus dilalui
dengan aneka macam latihan kerohanian yang formulanya
diambil dari sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Quran
dan Hadits Nabi juga teladan dari para tokoh sufi yang diakui.

Terkait dengan hal itu, beberapa pilar pokok yang


diajarkan oleh Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi dalam
menempuh jalan tasawuf diistilahkannya dengan sebutan
al-Jawāhir al-Khamsah yang berarti “ Lima Buah Permata”
atau “ Lima Buah Esensi dan substansi penting” sebagai lima
pilar penyokong dalam menempuh jalan tasawuf. Shaykh
Muhammad al-Ghawth segaja menggunakan istilah al-Jawāhir
al-Khamsah untuk melambangkan lima buah langkah praktek
sufi yang merupakan hasil pengalaman olah batinnya dalam
menempuh jalan tasawuf. Istilah al-Jawhar sengaja digunakan
karena bersifat abstrak, namun dapat dipraktekkan secara
fisik. Jadi, “Lima Buah Permata” merupakan metafora yang
sengaja dibuat sebagai ungkapan untuk melambangkan
lima buah langkah yang harus dilakukan untuk menuju
kesempurnaan batin agar dapat berdekatan dengan Tuhan,

~75~
bahkan agar mampu menyatu (ittiḤād) dengan-Nya. Dalam
hal ini, juga, ada ahli sufi yang menerjemahkan kata al-Jawāhir
dengan makna “Gem” atau “ Pearl” yang berarti “Permata
Tulen” (asli, murni).

Kelima Permata sebagai esensi pokok jalan tasawuf


tersebut yaitu: ibadah dan tata caranya, zuhud dan tata
ُ َ ْ َ‫ْ ْ ُ ْ أ‬
caranya, doa dengan ‫ ا ِ إلس العظم‬dan tata caranya, zikir dan
tata caranya, dan kemampuan untuk melihat Tuhan (‫الق‬
ِّ َ ْ ‫) ُر ْؤ َي ُة‬
yang merupakan warisan para ahli hakekat (� ‫ ) ُ َم ِّق ِق ْ ي ن‬dan orang-
orang yang bijaksana (� ‫) َعار ِف ْ ي ن‬. Dalam mendeskripsikan
ِ
sejumlah argumen terkait keunggulan praktek ritual tarekat
Shattariyah di banding tarekat lainnya, Shaykh Muhammad
al-Ghawth kerap mengutip pendapat Shaykh Najmuddin al-
Kubrá, Imam al-Suhrawardi, Shaykh Zuhur al-Haji Huduri,
dan sejumlah ulama lainnya. Shaykh Najmuddinn, misalnya,
menyatakan bahwa untuk melintasi jalan utama latihan
tasawuf (�‫ا� ْ ي ن‬ ‫َ ئ‬
ِ ِ ‫ )س‬maka harus diperhatikan langkah perjalanan
َ ُ ْ َّ َ
jauh menuju Allah ( ِ‫)الس ي� ِإل هللا‬, dan mereka yang mampu
melakukannya laksana burung terbang (�‫ا� ْ ي ن‬ ِ ‫) َط ئ‬. Dengan
َّ َ ِ
demikian, istilah ‫ شط ِار ُّي‬diperuntukkan bagi mereka yang
mampu mengadopsi kecintaan kepada Allah dan mencapai
ْ
tujuan utama tasawuf melalui jalan ‫( َجذ َبة‬ecstase), yakni
keterpesonaan dimabuk rindu kepada Allah; karenanya
mereka mampu menggapai maqām-maqām (levels/station)
ُ ْ
tertentu secara bertahap menuju maqām terakhir yaitu ‫ُرؤ َية‬
َ ْ dan ‫ ُم َش َاه َدة‬, bahkan mampu menyatu dengan Tuhan (‫)اِ تِّ َ� ٌاد‬.
‫ال ِّق‬
Tehnik ritual tarekat Shattariyah yang diperkenalkan
dalam teks kitab al-Jawāhir al-Khamsah tidak dapat dinikmati

~76~
kecuali setelah melakukan praktek-praktek tasawuf yang
diajarkan di dalamnya secara َ sempurna,
َ yakni apa yang
ٌ ْ ٌ َ ْ
disebut sebagai amalan ‫ أ ب َ�ار‬dan ‫ أخيار‬sertaَ menguasai tehnik
َْ ‫ْ ْ ُ ْأ‬
kreasi berdoa dengan َ menggunakan ‫س العظ ُم‬ ‫( ا ِإل‬kumpulan
َ ‫ن‬ ْ ُ ْ ُ َْ‫ْأ‬
beberapa �‫ الساء الس‬yang diyakini memiliki khasiat tertentu).
Ketiga langkah latihan spiritual itu juga harus diimbangi
ٌَُْ
dengan ‫ عز ةل‬yakni mengisolir diri atau mengasingkn diri dan
tirakat selama 40 hari sesuai aturan. Semua ini merupakan
pra-syarat untuk meningkat pada tahap berikutnya, yaitu ‫فن ٌاء‬
ََ
yaitu mampu meleburkan diri saat bertemu dengan Allah;
ََْ ََ
dan ‫ فن ُاء الفن ِاء‬yaitu mampu meleburkan diri dan musnah sama
َ ْ َ
sekali di hadapan Allah; serta ‫ َبق ُاء ال َبق ِاء‬yakni menyatu dengan
Allah hingga mampu melihat adanya Allah di mana-mana.

B. Pokok-Pokok Kandungan Teks Kitab al-Jawāhir al-


Khamsyah

1. Permata Pertama: Ibadah dan Tatacaranya (Abrār)

Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi menempatkan


ibadah wajib maupun sunnah yang rutin dilakukan setiap
hari sebagai prinsip dan substansi pertama yang harus
ditunaikan oleh setiap murid yang hendak menempuh jalan
sufi (sālik). Ibadah yang dimaksud adalah shalat lima waktu
dan berbagai shalat sunnah beserta bacaan-bacaan zikirnya
dengan mengikuti aturan-aturan tertentu sebagaimana yang
telah ditetapkan. Setelah bangun tidur disunnahkan mandi
hingga bersih dan suci, tidak berbicara dengan siapapun,
lalu shalat sunnah sebelum fajar 2 rakaat dan shalat fajar
2 rakaat dengan bacaan surat dan jumlah bacaannya yang

~77~
telah ditetapkan. Kemudian dilanjutkan dengan shalat Ṣubuh
beserta beberapa amalan zikir yang harus dibaca setelahnya
beserta aturan membacanya. Selain itu, ada juga amalan
berupa 10 bacaan yang masing-masing harus dibaca tujuh
kali ulang, seperti surat al Fatihah, empat surat yang dimulai
dengan “qul” (‫)أربع القواقل‬, ayat kursi, dan lain-lain. Sambil
menunggu matahari terbit, disunnahkan juga melakukan
shalat ishrāq atau shalat menunggu matahari terbit beserta
zikir dan doanya.

Kemudian melakukan shalat Syukur Pagi (‫)صالة لشكر الصباح‬


sebanyak 12 rakaat sesuai tuntunannya. Lalu melakukan
shalat Mohon Perlindungan (‫الستعاذة‬ ‫ )صالة إ‬sebanyak 2 rakaat
sesuai ketentuannya. Lalu Shalat Mohon Pilihan (‫)صالة االستخارة‬
sebanyak 2 rakaat seuai aturan dan bacaannya. Demikian
juga shalat Cinta (‫ )صالة احلب‬sebanyak 2 rakaat sesuai
ketentuannya. Lalu shalat Syukur Siang Hari )‫ال�ار‬ ‫صالة لشكر ن‬
) sebanyak 2 rakaat sesuai ketentuannya. Juga shalat Syukur
untuk Kedua Orang Tua (�‫الوالد‬‫ين‬ ‫ )صالة لشكر‬sebanyak 2 rakaat
sesuai dengan ketentuannya. Selanjutnya melakukan Shalat
Tasbih (‫ )صالة التسبيح‬sebanyak 4 rakaat satu kali salam sesuai
ketentuannya. Juga melakukan Shalat Dhuha (‫)صالة الضىح‬
manakala telah masuk ¼ waktu siang sebanyak 12 rakaat
sesuai ketentuannya. Jika telah selesai, boleh melakukan
shalat beberapa rakaat lagi jika membutuhkan. Dan jika
bermaksud memperoleh usaha (pekerjaan), maka hendaknya
berkonsentrasi dengan usahanya sesudah beristikhārah dan
niat memperoleh manfaat lainnya, insya Allah dibebaskan
ََ ‫ف‬ ْ َّ َ
dari kefakiran, dan hendaknya berdoa:‫ألل ُه َّم َ ب� ِرك ِ ْل ِ� هذا‬
َْ
‫( الك َس ِب‬Ya Allah!, berkahilah aku dalam usaha ini). Dan jika

~78~
telah mendekati pertengahan siang hari, hendaknya tidur
siang dengan niat dapat menghidupkan waktu malam (dapat
bangun malam untuk shalat Tahajjud). Kemudian melakukan
shalat ‫( زوال الشمس‬shalat tergelincirnya matahari) sebanyak
4 rakaat setelah sebelumnya melaksanakan shalat Sunnah
Wudhu. Pada tiap rakaat membaca surat al-Ikhlāṣ sedikitnya
tiga kali dan paling banyak 70 kali, kemudian dilanjutkan
dengan shalat Dzuhur beserta shalat sunnah qabliyah dan
badiyahnya. Pelaksanaan shalat Zuhur, jika di Musim Dingin
disunnahkan untuk diakhirkan, sedang di Musim Panas
disunnahkan untuk dipercepat.

Setelah itu, hendaknya juga melaksanakan shalat sunnah


untuk Menjaga Iman (‫ال ي�ان‬ ‫ )صالة حلفظ إ‬sebanyak 2 rakaat
sesuai ketentuannya. Juga setelah Zuhur dan sebelum Ashar
hendaknya melaksanakan shalat �‫احلا‬ ‫ض‬ ‫ صالة‬sebanyak 10
rakaat dengan mengikuti aturan bacaan yang ditentukan.
Baru setelah itu melakukan shalat Ashar beserta shalat
sunnah sebelum dan sesudahnya. Di musim panas, shalat
Ashar itu lebih disukai untuk diakhirkan hingga sebelum
berubahnya matahari, sedang di Musim Dingin, hendaknya
shalat Ashar dan Isya disegerakan, dan dibaca di dalamnya 20-
30 ayat al-Qur’an. Pada malam Jumat setelah melaksanakan
shalat Isya’ hendaknya membaca doa berikut ini tiga kali,
atau setelah shalat Ashar menyibukkan diri mencari ilmu
atau mendengarkannya, atau lebih disukai mengutamakan
hal-hal yang diridha’i Allah swt, seperti membaca al Qur’an,
bertasbih, atau beristighfar hingga terbenam matahari itu
lebih utama, atau juga mencapai puncak ilmu pengetahuan
meski tidak ditentukan kapan dimulainya hingga terbenam

~79~
matahari. Ketika terbenam matahari membaca 10 bacaan
‫)املسبعات ش‬. Sedang pada hari
yang kerap dibaca tujuh kali (‫الع�ة‬
Kamis, Jumat, dan malam Sabtu, setelah menunaikan ibadah
yang fardhu hendaknya membaca doa ini:
َ ُ ْ َ
َ ‫ ي� َر‬،�ْ ‫ َ ي� َس َّت ُار ُا ْس تُ ْ� َع ْي‬،�ْ ‫ َ ي� َغ َّف ُار اِ ْغ ِف ْر َذ ْن‬،�ْ ‫َ ي� َج َّب ُار إ ْج ب ْ� َق ْل‬
،�ْ‫حان أ ْص ِل ْح ِ ن ي‬ ‫ِب ي‬ ‫ِب ي‬ ‫ِ ِ ِب ي‬
َ َ َ َ ُ َ َْْ ْ َ َ
ْ ‫ َ ي� َسل ُم ا ْس ِ ْل ِ ن ي‬،‫اب ت ْب عل َّيا‬
� ُ ‫ َ ي� ت َّو‬،�ْ ‫ح ن‬
‫ ي� َر ِح ي ُ� اِ ر ِ ي‬.
Kemudian melaksanakan shalat Maghrib beserta segala
amalan yang terkait dengannya, baik sebelum maghrib
maupun setelahnya beserta shalat-shalat sunnah yang
disunnahkan untuk dilaksanakan, seperti shalat sunnah
ba’diyah sebanyak 2 rakaat, shalat sunnah awwābîn enam
rakaat, shalat sunnah Firdaws dua rakaat, shalat Sunnah
Cahaya (‫ )صالة النور‬sebanyak 2 rakaat, shalat minta dicintai
(‫ )صالة االستحباب‬dua rakaat, shalat sunnah Mensyukuri Malam
(‫ )صالة لشكر الليل‬dua rakaat beserta doanya. Juga dilanjutkan
dengan shalat Sunnah untuk Menghidupkan dan Menerangi
َْْ
Hati (‫ ) ِ ِ إل ْح َي ِاء القل ِب َو ِض َيا ِئ ِه‬dua rakaat, shalat sunnah untuk
ْ ْ
menjaga iman (‫ال ْي َ� ِان‬ ‫ ) ِ ِلف ِظ ِإ‬dua rakaat, dan lain-lain.
Jika masuk waktu ‘Isya, hendaknya melaksanakan shalat
‘Isya beserta shalat sunnah sebelum dan sesudahnya, masing-
masing empat rakaat, dengan ketentuan dan bacaannya
masing-masing. Shalat Isya lebih disukai untuk diakhirkan
hingga sepertiga malam, untuk kemudian disambung dengan
shalat malam (tahajjud). Juga terdapat tuntunan untuk
melaksanakan beberapa shalat sunnah 2 rakaat di malam hari,
yang kemudian ditutup dengan shalat Witir yang sebaiknya

~80~
dikerjakan di akhir malam. Pada tiap-tiap akhir dan selama
melaksanakan shalat juga terdapat bacaan-bacaan khusus
yang harus dibaca sesuai dengan aturan dan jumlahnya.
Selain itu, juga dianjurkan untuk melaksanakan shalat minta
syafā’at, shalat Witir sambil duduk sesuai dengan ketentuan
dan doanya.

Menjelang waktu subuh, hendaknya melakukan istinjā,


mandi, lalu berwudhu, kemudian shalat Sunnah Menghormati
Wudhu 2 rakaat, shalat kebahagiaan (al-sa’ādah) 4 rakaat,
shalat sunnah untuk menghidupkan malam (li iḥyā’i al-layl)
sesuai dengan aturan dan bacaan yang telah ditetapkan. Bila
telah masuk waktu subuh, harus melaksanakan Shalat Subuh.

Selain shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunnah


yang telah disebutkan di atas, juga terdapat shalat-shalat
sunnah lainnya beserta zikirnya masing-masing, seperti:
shalat Sunnah Mingguan di malam Jumat sebanyak 12 rakaat
yang dilaksanakan antara dua waktu Isya, shalat sunnah di
hari Jumat diwaktu Dhuha sebanyak 12 rakaat, shalat sunnah
di malam Sabtu sebanyak 12 rakaat waktunya antara Maghrib
dan Isya, lalu shalat sunnah di hari Sabtu sebanyak 4 rakaat,
shalat sunnah di malam Ahad sebanyak 20 rakaat. Demikian
juga di malam Senin melaksanakan shalat sunnah 4 rakaat
sesuai ketentuan, lalu di hari Senin, setelah terbit matahari,
melakukan shalat sunnah 2 rakaat. Shalat sunnat di malam
Selasa sebanyak 10 rakaat sesuai ketentuan, di hari Selasa
melakukan shalat Sunnah Setelah Terbit Matahari, juga 10
rakaat sesuai ketentuan. Demikian seterusnya hingga malam
Kamis dan hari Kamis.

~81~
Untuk masing-masing hari dalam seminggu, memiliki
bacaan wirid tertentu yang masing-masing dibaca sebanyak
100 kali. Pada akhir wirid ditutup dengan shalat sunnah 2
rakaat di mana bacaan tiap rakaatnya sesuai kemampuannya.
Adapun yang dimaksud dengan wirid tersebut adalah:
َ�‫ال ْ ن‬ َّ َ ُ ْ ُ ِّ‫َ َ َ َّ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ن‬
1. ‫ل ِإل ِإل أنت سبحانك ِإ� كنت ِمن الظ ِ ِ ي‬
wirid untuk hari Sabtu dibaca 100x
ْ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َّ َ َ َ
2. �ُ‫ال ُّق ا ُمل ِب ْ ي ن‬ ‫ل ِإل ِإل هللا ال ِلك‬
wirid untuk hari Ahad dibaca 100x
ُ ً ُ ‫ َل إ َ َل إ َّل‬
‫هللا َع ِز ْ ي زً�ا َج ِل ْيل َ ي� َع ِز ْ ي زُ� َ ي� َج ِل ْيل‬
3. ِ ِ
wirid untuk hari Senin dibaca 100x

ْ‫آل َو َ ب� ِر ْك َو َس َّل‬ َ َ َ ِّ ِّ ُ‫َ َّ ُ َّ َ ِّ َ َ َ ِّ نَ ُ َ َّ َ َّ ِّ ْ أ‬


4. ِ ِ ‫م وعل‬ ‫اللهم صل عل سي ِد� مم ٍد الن ِب ي� ال ي‬
wirid untuk hari Selasa dibaca 100x

ُ ‫َخا ِل ًصا ُ خْم ِل ًصا َل إ َ َل إ َّل‬


‫هللا‬
5. ِ ِ
wirid untuk hari Rabu dibaca 100x
َ ْ َ‫َ َ َ َّ ُ َ ُ ُ ِّ ش‬
6. �‫� ٍء ق ِد ْ ي‬
‫ل ِإل ِإل هللا خا ِلق ك ي‬
wirid untuk hari Kamis dibaca 100x
َ َ ْ َ ُ َ ُ َّ َ َ َ َ َّ ُ ْ َ ْ َ َ
‫هللا أ ك َب ُ� ل َح ْول‬
7. ِ ِ ‫ُس ْب َحان هللاِ والمد‬
‫ل ول ِإل ِإل هللا و‬
ْ ْ َّ َ ُ َ
�ِ ‫َول ق َّوة ِإل ِب�هللِ ال َع ِ ِّيل ال َع ِظ ْي‬
wirid untuk hari Jumat dibaca 100x.

~82~
Bahkan, menurut Shaykh Zuhur al-haji Huduri, setiap
hari hendaknya diucapkan 1000 kali bacaan wirid masing-
masing, yakni: (hari Sabtu) ‫و‬ ُ ‫( ; َ ي� َا‬hari Ahad)�ُ ‫ح ُان َ ي� َر ِح ْي‬
َ ‫هلل َ ي� ُه‬ َ ْ ‫; َ ي� َر‬
ُ َ ُ ‫( ; َ� َو‬hari Selasa) ‫ص ُد‬ َ
َ َ �‫( ; َ ي� ف ْر ُد َ ي‬hari Rabu)�‫َ ي‬
(hari Senin)‫احد َ ي� أ َحد‬ ِ ‫ي‬
َ ُّ‫( ; َ ي‬hari Kamis) ‫ ; َ ي� َح َّنان َ ي� َم َّنان‬dan (hari Jum’at) ‫ال َل ِل‬
‫ح َ ي� ق ُّي ْو ُم‬
ُ ُ َ ‫َ ي� َذ ْ ج‬
ْ ْ
‫ َو ِإال ك َر ِام‬. Berbeda dengan al-Ḥaji Ḥuduri, Shaykh Shihabuddin
al-Suhrawardi justru mengajarkan wirid yang berbeda yang
diucapkan tiap hari sebanyak 1000 kali bacaan berikut: (hari
Sabtu) ‫( ;ال إهل إال هللا حممد رسول هللا صىل هللا عليه وسمل‬hari Ahad)‫ح‬ ‫ي� ي‬
‫ن‬
‫( ; ي� قيوم‬hari Senin)‫( ; اللهم صىل عىل سيد� حممد وعىل آل سيد� حممد‬hari ‫ن‬
Selasa) �‫العظ‬ ‫ي‬ ‫العل‬
‫( ;ال حول وال قوة إال ب�هلل ي‬hari Rabu)‫أستغفر هللا من‬
�‫عظ‬‫( ;لك ذنب ي‬hari Kamis) ‫ ; ي� هللا ي� هللا‬dan (hari Jumat) ‫سبحان هللا‬
.�‫العظ‬
‫العل ي‬
‫أك�ال حول وال قوة إال ب�هلل ي‬
‫واحلمد هلل وال إهل إال هللا وهللا ب‬
Selain shalat-shalat sunnah yang telah disebutkan di atas,
Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi juga mengajarkan
untuk melaksanakan shalat-shalat sunnah lainnya, seperti:
shalat sunnah Ahzāb, shalat sunnah istikhārah, shalat dalam
perjalanan (‫)صالة السفر‬, shalat sunnah hajat, shalat mohon
kesembuhan (‫)صالة لشفاء املرض‬, shalat pengganti shalat Jumat
(‫المعة‬
‫)صالة قضاء ج‬, shalat hati (‫)صالة القلب‬, shalat rindu (‫صالة‬
‫العاشق�ن‬
‫ي‬ ), shalat untuk menerangi kubur (�‫الق‬‫لتنو� ب‬
‫)صالة ي‬, shalat
sebagai denda (‫)صالة الكفارة‬, shalat agar ditunaikan segala
‫ئ‬
keperluan (�‫احلوا‬
‫ج‬ ‫)صالة لقضاء‬, shalat jenazah, shalat untuk
menolak penyakit Ambeien/Wasir (‫)صالة لدفع البوارس‬, shalat
bulan Muharram, shalat bulan Shafar, shalat bulan Rabi’ul
Awwal, shalat sunnah bulan Rabiul Akhir, shalat sunnah
bulan Jumadil Ula, shalat sunnah bulan Rajab, shalat sunnah
bulan Sha’ban, shalat pembebasan (‫ال�اءة‬ ‫)صالة ب‬, shalat sunnah
bulan Ramadhan, shalat Tarawih, shalat bulan Syawwal,

~83~
shalat bulan Dzulqadah, dan shalat sunnah bulan Dzulhjjah.
Selain itu, di malam-malam tertentu dari bulan-bulan
tersebut juga terdapat anjuran melaksanakan shalat sunnah,
seperti shalat sunnah Uwaisiyyah di hari ketiga, empat, dan
kelima bulan Rajab, shalat sunnah di malam 15 bulan Rajab,
shalat sunnah di malam Mi’rāj (27 Rajab), shalat sunnah di
hari Rabu terakhir bulan Safar atau yang kerap disebut hari
Rabu Wakasan, dan masih banyak lagi macam-macam shalat
sunnah lainnya.

Salah satu shalat sunnah lain yang dianjurkan untuk


dilaksanakan terkait upaya menggapai malam laylatul-
qadar dan posisi Mi’rāj adalah shalat sunnah pada malam
ketiga bulan Jumādi al-Ūlá dan malam ke-21 dan 27 bulan
tersebut (naskah al-Jawāhir al-Khamsah A. 37: 45). Terkait
konsep pencapaian Mi’rāj inilah yang kemudian mendapat
penentangan dari sejumlah ulama India lainnya, terutama
dari Shaykh Gada’i yang pada masa Sultan Akbar menduduki
posisi sebagai penasehat utama sultan. Sebetulnya, pencapai­
an Mi’rāj yang bisa digapai seorang sālik menurut Shaykh
Muhammad al-Ghawth adalah secara maknawi, tidak
sebagai­mana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Perbedaan
pendapat ini sebenarnya disebabkan karena perbedaan afiliasi
tarekat yang dianut, di mana Shaykh Gada’i menganut tarekat
Suhrawardiyah, sedangkan Shaykh Muhammad al-Ghawth
menganut tarekat Shattariyah. Perbedaan tersebut kemudian
kerap dibawa ke ranah perbedaan kecenderungan politik.

Adanya esensi pertama, yang menjadi salah satu pilar


pra-syarat untuk seorang murid yang hendak menempuh

~84~
jalan sufi, menunjukkan bahwa ajaran Shaykh Muhammad
al-Ghawth sebagaimana diadopsi dari para gurunya tersebut
tidak menolak syariat, bahkan: menjadikan syariat sebagai
pra-syarat sebelum menempuh jalan tarekat. Maka tarekat
yang kemudian diajarkannya dapat digolongkan ke dalam
corak tasawuf Imam al-Ghazali yang moderat, karena
berusaha mendekatkan unsur syariat dengan tasawuf. Hal
ini sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Shaykh
Muhammad al-Ghawth pada naskah kitab al-Jawāhir al-
Khamsah, A 42 halaman 308.

Pada petikan tersebut dijelaskan langkah latihan konsen­


trasi kelima untuk menyingkap pengetahuan akan hakekat
segala sesuatu sebagai salah satu langkah untuk mencapai
tingkat mushāhadah (mampu berhadapan dan melihat Tuhan),
Shaykh Muhammad al-Ghawth mempersyaratkan bahwa
seorang sālik harus telah dengan sempurna melaksanaan
segala yang terkait dengan perintah syari’at, juga jalan (sifat)
tarekat, dan mencapai posisi ḥāl dalam ilmu hakekat.

Apalagi, jika ditelusuri lebih dalam banyak pendapat-


pendapatnya yang bersumber dari dan bersesuaian dengan
pendapat-pendapat Imam al-Ghazali dan Imam al-Qushayri.
Sebagai contoh tentang bentuk shalat sunnah mingguan,
bulanan, dan beberapa bacaan yang dianjurkan kepada
muridnya itu bersumber dari kitab Iḥyā ‘Ulūmuddîn karya
Abu Hamid al-Ghazali.

Tentu saja ibadah yang dimaksud oleh Shaykh Muhammad


al-Ghawth tidak terbatas pada pelaksanaan shalat wajib dan

~85~
sunnah saja, melainkan termasuk puasa, zakat, dan haji ke
Baitullah, bahkan lebih luas dari itu, yakni setiap perbuatan
baik dan positif yang diniatkan ikhlas untuk mengabdi
kepada Allah termasuk dalam kategori ibadah dalam konteks
ini. Semua ibadah dalam rangka mengabdi kepada Allah
berdasarkan aturan syari’at Islam disebutnya sebagai ibadah
fisik (‘Ibādah Ẓāhiriyyah).

2. Permata Kedua: Zuhūd dan Tata caranya (Akhyār)

Zuhūd artinya tidak ingin dan tidak tertarik kepada dunia,


kemegahan, harta benda, pangkat maupun jabatan. Dengan
kata lain, zuhud merupakan keadaan meninggalkan segala
yang bersifat keduniaan dan hidup bergelimang materi.
Sebelum menjadi seorang sufi, seorang murid harus terlebih
dahulu menjadi seorang zāhid (ascetic), yaitu orang yang
mengamalkan sikap-sikap seperti di atas. Jadi, sikap zuhud
merupakan syarat pertama dan utama yang harus dilakukan
seorang penganut tarekat yang ingin menjadi sufi. Dalam
ilmu tasawuf, zuhud juga merupakan salah satu di antara
maqāmat-maqāmat (stations/stages) yang harus dilalui
selain maqām tawbat, warā’, sabar, fakir, taqwa, tawadhu’,
ridha, mahabbah, tawakkal, ma’rifat, dan lain-lain. Selain
itu, ada juga yang menambahkan dengan stations lainnya
seperti: fanā, baqā, dan ittiḥād (penyatuan). Masing-masing
sufi biasanya menawarkan tahapan berdasarkan urutan yang
berbeda-beda sesuai dengan pengalaman batinnya masing-
masing. Untuk pindah dari satu maqām ke maqām berikutnya
biasanya dilalui dengan tidak mudah, bahkan terkadang
memerlukan waktu hingga bertahun-tahun lamanya.

~86~
Berzuhud merupakan upaya olah batin (al-riyādah al-
bāṭiniyyah) sebagai jalan terbaik (ṭarîq al-akhyār) untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Upaya itu dapat dilakukan
melalui beberapa langkah, yaitu terlebih dahulu memahami
hasrat dan getaran yang ada dalam batin kita melalui guru/
pembimbing tarekat (murshid). Zuhud yang dimaksud
disini adalah station atau level kedua yang harus dilalui
dan dipraktekkan setelah segala yang terkait dengan
ibadah, sebagaimana yang dijelaskan pada bab pertama,
telah sempurna dilakukan. Adapun bersitan/getaran yang
dimaksud adalah: Getaran syaitan (‫الطرة الشيطانية‬ ‫ ;) خ‬Getaran
‫ ;) خ‬Getaran Malaikat (‫الطرة امللكية‬
nafsu (‫الطرة النفسانية‬ ‫ ;) خ‬dan
‫) خ‬.
Getaran ruh (‫الطرة الروحية‬

Jika bersitan/getaran shaiṭāniyyah mulai mempengaruhi


dan mengelilingi seorang zahid pada saat berzuhud, maka ia
wajib memperbanyak tasbîḥ dan taḥmîd, sehingga dengan
kehendak Allah bersitan/getaran tersebut akan hilang. Jika
bersitan/getaran nafsu mulai menghinggap, hendaknya
seorang zahid memperbanyak istighfār dan membaca surat
al-Ikhlaṣ 70 kali, dengan kehendak Allah bersitan/getaran
itu akan hilang. Jika bersitan/getaran dari Malaikat mulai
terbersit di hati, maka hendaknya ia membaca:
ُْ ْ َ ْ ْ َ ُ ََْ َ ُْْ ْ َ َ ْ ُ
‫اللك ْو ِت ُس ْب َحان ِذى ا ِلع َّز ِة َوا َلعظ َم ِة َو َال ْي َب ِة َوالق ْد َر ِة‬ ‫سبحان ِذى الل ِك و‬
ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ
‫ال ب�و ِت‬ ‫ وال ِك ب ِ� ي� ِء و ج‬sebanyak 11 kali, maka bersitan/getaran
tersebut akan hilang. Jika bersitan/getaran ruh mulai masuk,
maka hendaknya ia memperbanyak membaca kalimat tahlil,
ُ ُ ‫ َل إ َ َل إ َّل‬. Dan jika bersitan/
ٌ َ ُ ‫هللا‬
yakni membaca ِ‫م َّمد َر ُس ْول هللا‬ ِ ِ
getaran tersebut hilang secara rohaniyah, namun secara

~87~
jasmani tetap ada, maka bersitan/getaran itu adalah bersitan
ruhani yang berasal dari Allah swt.

Selain itu, Shaykh Muhammad al-Ghawth juga mengajar­


kan beberapa amalan untuk mencapai level zuhud ini dengan
membiasakan membaca doa-doa khusus, seperti doa untuk
menyingkap hati, doa kîmiyā al-sa’ādah, doa mohon dikabulkan
permohonan (‫)دعاء االستجابة‬, doa untuk menyingkap Cahaya
Ketuhanan, doa untuk mengangkat segala penyakit lahir dan
batin, doa untuk menyingkap Alam Arwah, doa Basmakh
(doa agar terhindar dari segala gangguan ketika sedang
menjalankan amalan khusus), serta berbagai doa lainnya
yang ditujukan untuk menjaga konsistensi dan keteguhan
dalam melaksanakan segala proses zuhud dan menghindari
segala godaan dan ujian. Semua doa yang diajarkan Shaykh
Muhammad al-Ghawth di sini selalu diakhiri dengan doa
penutup khusus. Selain itu, ada juga doa khusus agar kita
dapat bermimpi melihat Allah swt., dan doa agar selalu merasa
berdekatan dengan (ditemani) Allah swt.

Di samping doa-doa tersebut, juga diajarkan beberapa


doa tambahan, seperti doa untuk menghilangkan cobaan-
cobaan buruk, mencapai kedekatan kepada Allah, doa untuk
membersihkan hati dan memperoleh penglihatan batin, doa
untuk menghilangkan cobaan yang bersumber dari godaan
perempuan, beberapa keutamaan Ayat Kursi, doa untuk
menghilangkan siksa kubur, doa untuk menghilangkan rasa
malas untuk berzuhud, doa agar hajat kita dipenuhi oleh Allah
swt., doa untuk memperoleh kunci-kunci perbendaharaan
yang ga’ib, rahasia membaca shalawat Nabi, doa Qurayshiyyan,

~88~
َْْ َُْ
doa Hafta Baykar,atau pembuka segala rahasia, doa ‫ك ن ز� الفت َح‬,
ُ َ ْ ُ َ ْ ِ‫ْ أ‬
atau pembuka simpanan kemenangan doa ‫ال َب ُ� ْو ِت َّية‬
‫الساء ج‬, doa
mohon dapat bertemu Nabi Muhammad saw. lewat mimpi,
doa mohon selamat dari godaan syetan dan gangguan nafsu
‫أ‬
syahwat, doa keutamaan membaca dan mengamalkan ‫الامسء‬
‫ن‬
�‫احلس‬ dan doa mohon dihindarkan dari segala rintangan
dalam berzuhud, seperti waktu-waktu atau hari-hari sial
melalui hembusan yang ada pada benda-benda langit (planet).

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa Shaykh Muhammad


al-Ghawth al-Hindi tidak memerinci apa dan bagaimana
langkah-langkah zuhūd itu mesti dilakukan sebagai maqām
kedua menuju ḥakekat dalam tarekat Shattariyah. Penulis
atau penyalinnya, dalam hal ini shaykh Shibghatullah yang
kemung­kinan sebagai penyambung lidah gurunya, juga tidak
menjelaskan langkah-langkah zuhud yang dimaksud. Jadi
pada permata kedua ini, Shaykh Muhammad al Ghawth tidak
menjelaskan dan mendefinisikan istilah zuhud, melainkan
bagaimana cara mencapainya melalui berbagai doa yang harus
diamalkan untuk mendukung proses dalam melakukan zuhud.
Penjelasan tersebut dapat diperoleh pada sub al-Jawhar al-
Thālith, terutama dalam menjelaskan isim tertentu yang
menuntut dipraktekkannya tata cara berdoa khusus dalam
kondisi sunyi dan di tempat sepi seperti puncak gunung,
lembah, gua, sahara, dan lain-lain dalam kondisi berkhalwat
dan ber‘uzlah.

3. Permata Ketiga: Doa dan Tata caranya (Shaṭṭār)

Meski semua doa pasti akan dikabulkan oleh Allah, namun jika

~89~
kita ingin agar doa tampak nyata pengaruhnya terhadap apa
yang kita maksudkan, tentu kita harus memiliki pengetahuan
agar permohonan kita cepat dikabulkan. Shaykh Muhammad
al-Ghawth menyebutkan bahwa ada kondisi di mana doa
pasti dikabulkan Allah, seperti doanya sang musafir yang
melakukan perjalanan untuk kebaikan (tidak untuk maksiat),
dan doa kedua orang tua, doa orang-orang yang dianiaya, doa
para pemimpin yang adil, doa seseorang untuk saudaranya,
doa orang yang berpuasa saat berbuka, doa para haji, doa
orang yang berhijrah, doa orang yang berjihad di jalan Allah,
doa orang yang sedang sakit, dan lain-lain.

Menurut Shaykh Muhammad al-Ghawth, agar doa lekas


dikabulkan, selain tetap melaksanakan amal kebajikan,
kita juga harus terus menyibukkan diri berdoa dengan
menggunakan nama-nama Allah yang tepat, karena di
dalamnya tersimpan rahasia-rahasia yang tidak banyak
ketahui secara umum. Untuk itu, seorang murid harus
mengetahui dan mempelajari seni (kreasi) berdoa dari guru
yang kompeten (‫)مرشد‬, guru pembimbing terutama terkait
essensi (‫ )ذات‬yang terkandung dari tiap-tiap nama-nama
Tuhan, karena masing-masing memiliki tingkatan (‫)مرتبة‬
nya, dan tiap essensi memiliki perwakilan-perwakilan dari
‫أ‬
substansi aslinya (‫)موالكت من املاهية الصلية‬, sehingga terungkap
semua hakekat nama-nama tersebut, dan masing-masing
dapat hadir dalam sisi terdalam dari hati seseorang yang
‫)�ض ي� ي‬.
disinari (�‫املن‬

Adapun tatacara kreasi berdoa memiliki syarat-syarat


tertentu yang harus dipenuhi; pertama, mengetahui metode

~90~
menjumlahkan hitungan (‫المل‬ ‫)حساب ج‬, yakni perhitungan
yang dihasilkan dari penjumlahan bilangan-bilangan yang
dilambangkan dengan huruf Hijaiyah, karena tiap-tiap huruf
Hijaiyah merupakan lambang dari sejumlah bilangan, baik
satuan, puluhan, maupun ratusan. Sistem tersebut kerap
disebut sebagai Kronogram (huruf Hijaiyah sebagai lambang,
angka), seperti misal:

Rincian huruf Hijaiyyah dan bilangan angkanya

‫ = ق‬100 ‫ = ي‬10 ‫=أ‬1


‫ = ر‬200 ‫ = ك‬20 ‫=ب‬2
‫ = ش‬300 ‫ = ل‬30 ‫=ج‬3
‫ = ت‬400 ‫ = م‬40 ‫= د‬4
‫ = ث‬500 ‫ = ن‬50 ‫=ه‬5
‫ = خ‬600 ‫ = س‬60 ‫=و‬6
‫ = ذ‬700 ‫ = ع‬70 ‫=ز‬7
‫ = ض‬800 ‫ = ف‬80 ‫=ح‬8
‫ = ظ‬900 ‫ = ص‬90 ‫=ط‬9
‫ = غ‬1000

Kedua, mengetahui khasiat khusus masing-masing isim


melalui perhitungan jumlah yang bersesuaian dengan salah
satu gugusan (rasi) bintang yang berjumlah 12, caranya
dengan mengumpulkan huruf-huruf dari Nama-Nama Allah
‫أ‬
Yang Agung (‫ )الامسء العظام‬dengan menghitung jumlahnya, lalu
dikurangi angka 12, sedangkan sisanya dikembalikan dari
gugusan bintang pertama hingga habis sisa angka tersebut,
dan gugusan bintang tersebut itulah khasiat isimnya. Jika
tidak cocok atau tidak sesuai dengan aturan tersebut,
berkuranglah pengaruh doa yang disyaratkan. Adapun

~91~
nama-nama gugusan (rasi) bintang dan masing-masing sifat-
sifatnya adalah: Aries (‫)احلمل ن�رى‬, Taurus (�‫)الثور ت� با‬, Gemini
‫الوز ئ‬ ‫أ‬
‫)الرسطان ئ‬, Leo (‫السد ن�رى‬ ‫ة‬
(�‫هوا‬ ‫) ج‬, Cancer (�‫ما‬ ), Virgo (‫السنبل‬
‫امل�ان ئ‬
�‫) ت� با‬, Libra (�‫هوا‬ ‫)العقرب ئ‬, Sagitarius (‫القوس‬
‫) ي ز‬, Scorpio (�‫ما‬
‫) ن�رى‬, Capricornus (�‫الدى ت� با‬ ‫)الدلو ئ‬, Pisces
‫) ج‬, Aquarius (�‫هوا‬
(�‫ما‬ ‫الوت ئ‬ ‫) خ‬.
‫أ‬
Dalam hal ini, Aries (‫)احلمل‬, Leo (‫)السد‬, dan Sagitarius
(‫ )القوس‬semuanya bersifat api, sedangkan Taurus (‫)الثور‬, Virgo
‫ة‬
(‫السنبل‬ ), Copricornus (‫الدى‬ ‫ ) ج‬semuanya memiliki sifat tanah;
sedangkan Cancer (‫)الرسطان‬, Scorpio (‫)العقرب‬, dan Pisces
(‫الوت‬ ‫ ) خ‬semuanya bersifat air; adapun Gemini (‫الوز‬ ‫) ج‬, Libra
‫ز‬
(‫امل�ان‬‫) ي‬, dan Aquarius (‫ )الدلو‬bersifat udara.
Tiap huruf Hijaiyah yang 28 itu terbagi kepada 7 bintang
yang beredar, maka dari tiap bintang tersebut diberikan
‫ ( ب ج‬untuk Saturnus (al-zaḥl), H-w-
misalkan 4 huruf; A-b-j-d )‫ا�د‬
z-ḥ )‫ (هوزح‬untuk Jupiter (al-mushtari), T-y-k-l )‫ (طيلك‬untuk
Mars (al-marikh), M-n-s-‘a )‫ (منسع‬untuk Matahari (al-shams),
f-s-q-r )‫ (فصقر‬untuk Venus (al-zuhrah), sh-t-th-kh )‫ (شتثخ‬untuk
Merkurius (al-‘attarid), dh-dh-ẓ-gh )‫ (ذضظغ‬untuk Bulan (al-
qamar). Jika perwakilan nama planet itu huruf awalnya atau
salah satu hurufnya adalah salah satu dari huruf-huruf ini,
‫أ‬
maka nama-nama yang agung (‫ )االمس العظم‬tersebut berkaitan
dengan planet-planet tersebut. Jika mengacu pada huruf
Hijaiyah yang digunakan sebagai lambang dari bilangan,
dan masing-masing bilangannya dijumlahkan, maka masing-
masing planet (bintang) itu diwakili oleh angka-angka
berikut: Saturnus:10, Jupiter: 26, Mars: 69, Matahari: 220,
Venus: 470, Merkurius: 1800, dan Bulan: 3400

~92~
Untuk memilih khasiat bintang hendaknya isim dibaca
selama bintang itu berada pada gugusan (rasi) yang cocok.
Jika bintang tersebut berpindah (dari gugusannya) maka
berhentilah berdoa, lalu bacalah bacaan tertentu secara
ٌ
berulang-ulang (‫)دْرِو‬. Pembacaan doa juga harus disesuaikan
dengan harinya, karena masing-masing bintang memiliki
hari-hari khusus. Hari-hari bintang itu adalah: Sabtu untuk
Saturnus, Kamis untuk Jupiter, Selasa untuk Mars, Ahad
untuk Matahari, Jum’at untuk Venus, Rabu untuk Merkurius,
dan Senin untuk Bulan. Jika bintang itu telah sampai pada
gugusannya, bacalah doa dan pahami perpindahan bintang
dan rumah-rumahnya sesuai dua tabel berikut ini:

Nama-nama rasi bintang dan jadwal hari yang sesuai


dengannya beserta lambang huruf Hija’iyyahnya yang cocok

Capricornus Sagitarius Scorpio Libra Virgo Leo


(Kambing Laut) (Pemanah) (Kalajengking) (Timbangan) (sangPerawan) (Singa)
(juddî) (Qaws) (‘Aqrab) (mîzān) (al-Sunbulah) (al-Asad)
‫د‬-‫ج‬-‫ب‬-‫ا‬ ‫ح‬-‫ز‬-‫و‬-‫ه‬ ‫ل‬-‫ك‬-‫ي‬-‫ط‬ ‫ر‬-‫ق‬-‫ص‬-‫ف‬ ‫خ‬-‫ث‬-‫ت‬-‫ش‬ ‫ع‬-‫س‬-‫ن‬-‫م‬
)‫(زحل‬ ‫ت‬
)‫(مش�ى‬ ‫يخ‬
)�‫(مر‬ )‫(زهرة‬ )‫(عطارد‬ )‫(�س‬‫ش‬

Saturnus Jupiter Mars Venus Merkurius Matahari


Sabtu Kamis Selasa Jum’at Rabu Ahad
Aquarius Pisces Aries Taurus Gemini Canser (Dua
(dalw) (hut) (haml) (thawr) (jawza) Kalajengking)

‫ع‬-‫ظ‬-‫ض‬-‫ذ‬
‫ق‬
)‫(�ر‬
Bulan

Dampak negatif setiap bintang itu bersesuaian dengan


tujuh buah poros. Adapun dampak terburuk Saturnus (‫)زحل‬
jika bersesuaian dengan poros Capricornus (‫ )جدى‬ada pada

~93~
Canser (‫) ش�طان‬, dan jika bersesuaian dengan Aquarius (‫)دلو‬
‫أ‬ ‫ ) ت‬jika
ada pada Leo (‫)السد‬. Dampak terburuk Jupiter (‫مش�ي‬
bersesuaian dengan Sagitarius (‫ )قوس‬ada pada Gemini (‫)جوزة‬,
dan jika bersesuaian dengan Pisces (‫ )خوت‬maka ada pada Virgo
‫ة‬
(‫السنبل‬ ‫ ) ي خ‬jika bersesuaian dengan
). Dampak terburuk Mars (�‫مر‬
Scorpio (‫ )عقرب‬ada pada Taurus (‫)ثور‬, dan jika bersesuaian
dengan Aries (‫ )محل‬ada pada Libra (‫م�ان‬ ‫) ي ز‬. Matahari jika
bersesuaian dengan pengetahuan yang ada, karena dampak
terburuk Matahari sebenarnya ada pada Aquarius (‫)دلو‬. Dan
‫ق‬
dampak dari Bulan (‫ )�ر‬ada pada Capricornus (‫)جدى‬, dampak
dari Taurus (‫ )ثور‬ada pada Scorpio (‫)عقرب‬, dampak dari Libra
‫ ) ي ز‬ada pada Aries (‫)محل‬, keduanya untuk Venus (‫)زهرة‬.
(‫م�ان‬
Dampak dari Merkurius (‫ )عطرد‬jika bersesuaian dari poros
Jupiter (‫مش�ى‬ ‫ ) ت‬hingga Sagitarius (‫)قوس‬, dan jika dari sisi
persesuaian dengan Pisces (‫ )احلوت‬atau antara Pisces (‫)احلوت‬
‫ة‬
dengan Virgo (‫السنبل‬ ) maka sebagian bintang berada pada
gugusannya berhari-hari dan sebagian lainnya berbulan-
bulan bahkan sebagian lainnya tahunan.

Dengan demikian, rampunglah doa dengan adanya


tanda ini, yang masuk melalui pengalaman pelaku lewat
penggunaan Isim dan bintang-bintang (yang tentu saja dari
sini semuanya) berdasarkan rahasia dan kesempurnaannya.
Penjelasan yang ada ini tentu saja dengan cara general,
adapun secara terperinci akan dijelaskan pada tiap isim
yang berjumlah 41 isim. Dari penjelasan ini tampaknya
Shaykh Muhammad al-Ghawth berusaha mengkaitkan kreasi
berdoa dengan ilmu astrologi (ilmu perbintangan) yang
saat ini kerap disebut Zodiak (ramalan bintang) dan sering
digunakan oleh para ahli nujum atau ahli ilmu perbintangan

~94~
(astrolog) dalam membaca dan meramal nasib seseorang.
Berulang-ulang Shaykh Muhammad al-Ghawth menyebut
bahwa ilmu ini ia peroleh dari gurunya Shaykh Zuhur al-Haji
Huduri. Meski demikian, Shaykh Ghulam Mu’inuddin juga
pernah menyebutkan hal ini dalam sebuah karyanya terkait
Penyembuhan Cara Sufi.

Adapun ketika menghitung jumlah huruf ‫االامسء العظام‬


melalui perwakilan lambang-lambang angkanya, terdapat
beberapa istilah yang disebut ‫نساب‬, meliputi: ‫ دور‬,‫ قفل‬,‫ عرس‬,‫زاكة‬
‫ ت‬adalah jumlah huruf dalam keseluruhan
‫ بذل‬,‫املدور‬, dan ‫ نساب‬.�‫خ‬
doa tersebut dikalikan 100 atau (100 x jumlah huruf dalam
satu isim), sedangkan ‫ زاكة‬adalah setengah dari ‫ عرس‬.‫نساب‬
adalah setengah dari ‫ زاكة‬atau setengah dari setengahnya ‫نساب‬,
sedangkan ‫ قفل‬adalah setengah dari ‫عرس‬. Adapun ‫دور املدور‬
adalah hasil penjumlahan antara ‫ عرس‬dengan ‫قفل‬, sedangkan
‫ بذل‬jumlahnya selalu 7000, dan �‫خ‬ ‫ ت‬jumlahnya selalu 1200.

Hitung-hitungan itulah yang nantinya digunakan untuk


‫أ‬
mengetahui berapa banyak masing-masing ‫المس العظم‬ ‫إ‬
yang berjumlah 41 buah itu harus dibaca. Jumlah hitungan
itu, menurut Shaykh Zuhur al-Haji Huduri, semata-mata
untuk membuka kunci rahasia Tuhan yang tersembunyi. Ia
menyatakan bahwa Allah telah membangun‘Arsh dengan
tangan kekuasaan-Nya dalam bangunan semacam rumah
yang terdiri dari 360 kamar yang terbentuk dari sinar-sinar
jernih dan bersih lagi berkilauan. Pada tiap kamar terdapat
pondok-pondok yang terbuat dari zamrud biru berukuran
¼ dunia yang di atasnya diletakkan pahala membaca ‫االامسء‬
‫العظام‬, namun dikunci dan dijaga masing-masing oleh seorang

~95~
Malaikat penjaga. Selama kunci atau gembok tersebut belum
‫أ‬
dibuka, maka doa-doa ‫المس العظم‬ ‫ إ‬yang dipanjatkan berarti
belum diterima. Jika syarat-syarat yang telah disebutkan
dilakukan sesuai dengan Isim dan bintang-bintang serta
gugusannya, maka setelah itu juga terdapat syarat-syarat yang
‫أ‬
harus dipenuhi dalam membaca ‫المس العظم‬ ‫ إ‬secara sempurna,
di antaranya adalah: badhl, tikrar, dan tawahhum.
‫أ‬
‫ بذل‬adalah membaca ‫ إالمس العظم‬dengan tujuan untuk
mencintai Allah ta’ala dan pahalanya dihadiahkan untuk
mursyidnya, sedangkan ‫ تكرار‬adalah mengulang-ulang lafadh
pertama dari ‫ االامسء العظام‬di akhirnya setiap kali. Adapun ‫تومه‬
adalah membayangkan arti semua ‫االامسء العظام‬, jika tidak bisa,
maka hendaknya membayangkan huruf-huruf ‫االامسء العظام‬,
jika tidak bisa juga, maka hendaknya membayangkan lafaz
pertama dari ‫ االامسء العظام‬bersama artinya atau lafadhnya saja
pada semua bacaan, niscaya akan dikabulkan dengan segera.

Untuk membaca macam-macam doa ‫ االامسء العظام‬tersebut


harus sesuai dengan ketentuan harinya, sedangkan waktunya
(seperti waktu terbit Matahari, waktu fajar, waktu terbenam
Matahari, dsb.) tidak boleh melampaui sebagaimana yang
diperintahkan para shaykh. Jika melampaui itu, niscaya si
pembaca doa itu malah akan terkena mara-bahaya atau
setidaknya hanya dikabulkan sebagaimana doa kebanyakan,
karena waktu shuru’ (tenggelam) itu dapat mendatangkan
semua kebalikan dari ‫االامسء العظام‬. Demikian juga jika telah
selesai berdoa, harus menjaga tahapan-tahapan dari tatacara
membaca isim tersebut sesuai dengan rasi atau bintang-
bintang yang berputar dan unsur-unsur yang empat, atau

~96~
sifat-sifatnya, dengan cara mencari sejumlah bilangan dengan
mengurangi hitungan rasi bintang-bintang sekali lagi, sisanya
lalu digunakan untuk membaca wirid dengan kaidah satuan,
puluhan, ratusan, atau ribuan pada waktu yang tertentu itu.

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas,


pembaca doa ‫ االامسء العظام‬juga dituntut melakukan hal-hal yang
tidak boleh dilanggar, yaitu: makan makanan yang halal, jujur
dalam perkataan/ucapan, sedikit tidur, makan, dan bicara,
memantapkan niat, bebas dari pengaruh dosa, kerap dalam
bimbingan guru dan hadir bersama yang hak, berpuasa
tanpa henti, berkhalwat (menyendiri dan menghindar) dari
makhluk, ber’uzlah dari nafsu, mensucikan badan, pakaian,
dan tempat, memperoleh ijazah, lapang, tegas terhadap
godaan nafsu, berhati-hati, ikhlas menerima nasib tanpa
menuntut, berada dalam ruangan (kamar) yang gelap dan
bersih, melayani diri sendiri dalam makan, minum, berbicara,
dan dalam menyampaikan risālah dakwah, memelihara mata
dan hidung dari melihat daging dan menciumnya, menjaga hati
dari sifat dengki (Ḥasūd), sombong (takabbur), dan pemarah,
meninggalkan hewan-hewan peliharaan dan segala kelezatan,
meninggalkan segala yang Makruh, dan segala yang haram
sebagaimana ketika melaksanakan Ihram. Syarat-syarat
tersebut harus dipenuhi untuk mengamalkan doa-doa dengan
nama-nama Allah yang termasuk sifat-sifat Yang Agung dan
Perkasa (Jalālî) dan sifat-sifat Penuh Kelembutan (Jamālî).
Jika salah satu syarat itu ada yang dilanggar maka diwajibkan
sebelum melakukan rituan doa yang dimaksud untuk
melakukan puasa selama tiga hari, lalu di hari keempatnya
tetap tidak boleh makan makanan, melainkan melanjutkan

~97~
dengan berwudhu, lalu berkhalwat di tempat sunyi dengan
banyak beristighfar, di tengah malamnya bangun berwudhu
untuk melakukan shalat-shalat sunnah seperti tahiyat al-
wudū’, shalat sunnah li-kashfi al-arwāh (salat sunnah untuk
menyingkap dunia ruh), juga salat sunnah hadiah untuk para
shaykh tarekat, membaca banyak wirid dan doa al-istijābah.
Selain itu juga dianjurkan banyak bersedekah kepada fakir
miskin dan meminta didoakan kepada mereka.

Penjelasan tentang macam-macam doa dituangkan dalam


15 pasal berikut ini:

Pasal 1. Doa Hijaiyah (‫(الدعاء اهلجائية‬. Yang dimaksud


dengan doa Hijā’iyah adalah doa dengan menggunakan huruf-
huruf Hija’iyyah, karena huruf-huruf Hijaiyah merupakan
lambang dari Nama-Nama Tuhan, sifat, dan perbuatan-
‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬
Nya (‫ الامسء الفعالية‬،‫ الامسء الصفاتية‬،‫الهلية‬
‫)الامسء إ‬. Caranya dengan
memperhatikan secara seksama niat orang yang memiliki
hajat, lalu ungkapkan hajatnya dengan lisan, lalu ambil
huruf awalnya atau huruf yang diejanya (satu per satu) dan
diketahui tulisan huruf tersebut, lalu dikaitkan dengan sifat-
sifat Allah yang ada pada tabel di bawah ini.

Daftar persesuaian antara rasi bintang, zodiak dan sifat-


sifatnya yang empat beserta daftar huruf Hijaiyah yang
melambangkan Nama, Sifat dan Perbuatan Tuhan

~98~
‫ق‬
‫زحل‬ ‫ت‬
‫مش�ى‬ ‫يخ‬
�‫مر‬ ‫ش�س‬ ‫زهرة‬ ‫عطارد‬ ‫�ر‬

(Saturnus) (Jupiter) (Mars) (Matahari) (Venus) (Merkurius) (Bulan)

‫ن�رية‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ط‬ ‫م‬ ‫ف‬ ‫ش‬ ‫ذ‬ ‫محل‬

‫أسد‬

‫قوس‬
‫هوائية‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ص‬ ‫ت‬ ‫ض‬ ‫جوز‬

‫متصدية‬ ‫يز‬
‫م�ان‬
‫دلو‬
‫مائية مج رورة‬ ‫ج‬ ‫ز‬ ‫ك‬ ‫س‬ ‫ق‬ ‫ث‬ ‫ظ‬ ‫رسطان‬

‫عقرب‬

‫حوت‬
‫ت�ابية‬ ‫د‬ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ر‬ ‫خ‬ ‫غ‬ ‫ثور‬

‫ة‬
‫سنبل‬

‫جدي‬
‫حيوة‬ ‫عمل‬ ‫قدرة‬ ‫برص‬ ‫مسع‬ ‫الكم‬ ‫ارادة‬

Adapun tata cara mengetahui aturan hurufnya adalah


dengan mengeluarkan empat angka terbanyak, lalu dibagi
tiap-tiap hurufnya dengan tujuh dan ditulis pada tiap kolom­
nya satu huruf dengan cara berurutan hingga akhir dan ditulis
di atas tiap kepala sifat tiap huruf yang masuk beserta i’rāb-
nya dan ditulis tiap akhir angka terbanyaknya segitiga dari
segitiga sifat tiap rasi bintang yang 12 dan keempat sifatnya
sebagaimana telah diketahui, yakni bersifat api, udara, air,
dan tanah.

Kemudian, perhatikan empat kelompok dari 12 rasi


bintang beserta tiap hurufnya, mulai kolom kedua hingga
kelima vertikal agar diketahui tabi’at (sifat)nya dan i’rābnya,
dan pada tiap segitiga dari segitiga-segitiga agar diketahui

~99~
equivalennya, lalu ambillah huruf tersebut dan jadikan sesuai
dengan rasi bintangnya, lalu perhatikan kesesuaian huruf-
huruf tersebut dengan sifat-sifat Tuhan dibawahnya dengan
mengambil satu huruf dan memilih satu kekuatan untuk
menentukannya.

Tiap-tiap huruf memiliki tiga tingkatan, di mana


tiap tingkat memiliki doa khusus. Jika telah selesai
perhitungannya, namun belum tampak hasilnya, maka segera
ambil yang lainnya. Adapun tingkatan huruf-huruf tersebut
adalah ‫ بنيان‬,‫مذكور‬, dan ‫مدار‬. Tiap-tiap huruf tersebut intinya
memiliki pusat dan cabang berupa ‫ و‬secara fisik. Adapun
pusat seluruh huruf adalah alif sebagai poros, karena alif
merupakan poros Nama-Nama Tuhan dan nama-nama alam
semesta, karena angkanya sama dengan angka-angka poros
bilangan yang mencukupi untuk kalimat ‫ال إهل إال هو‬. Oleh
karena itu, jika memiliki sifat seperti hakekatnya alif, jadilah
pusat (poros) alam. Berdasarkan hal ini, maka berdoa harus
dimulai dengan menggunakan nama-nama berupa huruf-
huruf Hijā’iyah beserta wakil-wakilnya masing-masing dari
‫ن‬ ‫أ‬
huruf-huruf yang ada pada �‫احلس‬ ‫الامسء‬, apakah huruf awal
atau huruf pertamanya.

Selanjutnya, masing-masing huruf Hijaiyah merupakan


wakil dari satu Malaikat yang masing-masing terbentuk dari
gabungan beberapa huruf Hijaiyah.

~100~
Daftar huruf Hijaiyah beserta nama-nama
Malaikat yang diwakilinya

Huruf Wakil Huruf Wakil Huruf Wakil Huruf Wakil

‫أ‬ ‫إرسافيل‬ ‫د‬ ‫دردائيل‬ ‫ض‬ ‫يفاكئيل‬ ‫ك‬ ‫خذلورائيل‬


‫ب‬ ‫ج�ائيل‬
‫ب‬ ‫ذ‬ ‫أهراطيل‬ ‫ط‬ ‫إامسعيل‬ ‫ل‬ ‫طاطائيل‬
‫ت‬ ‫عزرائيل‬ ‫ر‬ ‫أتواكيل‬ ‫ظ‬ ‫لورائيل‬ ‫م‬ ‫رؤ�ئيل‬
‫ي‬
‫ث‬ ‫مياكئيل‬ ‫ز‬ ‫ت�فائيل‬ ‫ع‬ ‫لوماعيل‬ ‫ن‬ ‫حوالئيل‬
‫ج‬ ‫لكاكئيل‬ ‫س‬ ‫مهواكيل‬ ‫غ‬ ‫لودائيل‬ ‫و‬ ‫رفتائيل‬
‫ح‬ ‫تناكفيل‬ ‫ش‬ ‫مهرائيل‬ ‫ف‬ ‫رسمحائيل‬ ‫ه‬ ‫دود�ئيل‬
‫ي‬
‫خ‬ ‫هماكئيل‬ ‫ص‬ ‫أهمائيل‬
‫ج‬ ‫ق‬ ‫خذلورائيل‬ ‫ي‬ ‫رسكفائيل‬

Jika diperhatikan, tiap huruf Hijaiyah dianggap sebagai


realitas dari satu Nama Tuhan. Dalam dunia Malakūt huruf
Hijaiyah berarti kekuasaan-Nya, dan dalam kerajaan-Nya
huruf Hijaiyah adalah simbol dari substansi Malaikat yang
juga berjumlah 28, masing-masing disifati dengan kalimat a’il
di mana masing-masing mewakili Nama Raja Yang Mewakili
dan Yang Diwakili. Dalam hal ini, pengaruh bahasa dan
tradisi Persia tampak lebih dominan dibanding pengaruh
bahasa Arab, karena Shaykh Muhammad al-Ghawth pertama
kali mengarang kitab al-Jawahir al-Khamsah dalam bahasa
Persia. Setengah abad setelah kematiannya, kitab tersebut
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh
Shaykh Ṣibghatullāh bin Ruḥullah Jamāl al-Barwaji (wafat
1015H/1606M) yang kelahiran India tapi keturunan Persia.
Nama-nama Malaikat dalam bahasa Persia tersebut, jika kita
‫أ‬
baca dalam berdoa bersama ‫المس العظم‬ ‫ إ‬niscaya akan cepat
dikabulkan.

~101~
Pasal 2 Doa-Doa Pendek (‫)الدعوة املقطعات‬. Doa ini berfungsi
untuk memproteksi ditolak/tidak dikabulkannya doa yang
dipanjatkan oleh si pembaca doa. Disebut doa-doa pendek,
karena hanya menggunakan satu atau dua di antara sekian
‫أ‬
banyak ‫الامسء العظام‬. Cara menghitungnya adalah dengan
mengambil huruf yang terbaca dalam isim, lalu keluarkan
angkanya, lalu dibagi 12, sisanya dikembalikan dari awal
rasi bintang hingga habis bilangannya, maka isim yang cocok
(sesuai) dengan rasi bintang itu adalah apa yang menjadi
pengaruh rasi bintang tersebut menjadi pengaruh isim
tersebut, sebagaimana jika tersisa satu berarti sesuai (cocok)
dengan bintang Aries (‫)احلمل‬, jika dua sesuai dengan bintang
Taurus (‫)الثور‬, dan demikian seterusnya sebagaimana telah
dijelaskan di atas.

Adapun tatacara berdoanya adalah dengan mengambil


kertas seluas dua telapak tangan panjang dan lebarnya
sekiranya dapat ditulisi padanya nama-nama Allah Yang
‫أ‬ ‫ سبحانك ي� ث‬di mana
Agung (‫)الامسء العظام‬, lalu tulis diatasnya �‫غيا‬
posisinya tidak tetap, dan kertas itu dijadikan fokus pada
tempat khalwat di mana ia duduk dan beri’tikaf untuk berdoa,
lalu ujung (pojok) kertas itu dijahit dengan jarum. Seluruh
‫أ‬
nama-nama Allah Yang Agung (‫ )الامسء العظام‬tersebut dibaca
sebanyak 41x diatas pisau, dan dikeluarkan dengannya fokus
dalam khalwat dengan cara yang sama, lalu letakkan dalam
fokus itu dengan warna gugusan bintang, yakni: warna hitam
untuk Saturnus, coklat (‫صندل‬ ‫ي‬ ) untuk Jupiter, merah untuk
Mars, kuning untuk Matahari, putih untuk Venus, jingga
(‫ ) يف�وج‬untuk Merkurius, dan hijau untuk Bulan. Setelah
itu, gambarlah pada kertas tersebut rasi bintangnya dan

~102~
bentangkan di atasnya sajadah pada hari gugusan bintang
tersebut atau pada waktunya, dan segeralah berdoa di
atasnya.

Tatacara membacanya adalah: keluarkan angka-angka


‫أ‬
‫الامسء العظام‬, angka rasi bintang, angka gugusan planet-planet,
dan nama pembaca doa, lalu jumlahkan dan gandengkan
dengan yang diwakilkan dalam bentuk ganda, lalu duduklah
di atas fokus dan angka tersebut dibagi. Syarat utama agar
doanya tidak ditolak adalah berkonsentrasi dalam membaca
potongan-potongan doa (‫ )الدعوة املقطعات‬ini, lalu berkonsentrasi
juga pada doa apapun beserta syarat-syaratnya. Hal itu adalah
‫أ‬
syarat yang tersulit dalam doa ‫الامسء العظام‬, jika tiba waktunya,
di mana ia sudah tidak memperdulikan lagi yang lain, maka
doanya pasti takkan ditolak.

Pasal 3 Doa Harfiyah ‫الدعاء احلرفية‬. Doa harfiyah adalah doa


‫أ‬
yang dipanjatkan dengan menggunakan ‫ الامسء العظام‬setelah
terlebih dahulu menghitung jumlah hurufnya berdasarkan
ketentuan khusus. Hasil perhitungan dari angka yang mewakili
tiap huruf-huruf Hijaiyah dalam isim tersebut menunjukkan
jumlah yang harus dibaca. Alasan melakukan perhitungan
angka dari lambang masing-masing huruf Hijaiyah adalah
karena, menurut Shaykh Muhammad al-Ghawth sebagaimana
yang ia peroleh dari gurunya, huruf Hijaiyyah yang 28 asalnya
adalah 28 Nama Tuhan, tiap-tiap huruf tersebut memiliki ruh
(substansi) yang diwakilkan kepada huruf itu. Manakala suatu
‫أ‬
kaum ataupun seseorang berkonsentrasi dengan doa ‫الامسء‬
‫العظام‬, maka ia akan menemukan wakil-wakil dari substansi-
Nya dengan menyingkap (‫ )ماكشفة‬dan menyaksikan langsung

~103~
(‫)مشاهدة‬, lalu menetapkan dan menemukan di antaranya 28
Nama-Nama Tuhan (‫ )اامس إهليا‬tersebut, sebagaimana huruf
Hijaiyah yang 28 itu juga memiliki nama alami masing-masing.
Secara realitas ia merupakan wujud kekuasaan/kerajaan,
sedangkan secara batin ia adalah dunia Malakut. Maka jika
dipisahkan setiap satu dari keduanya dari yang lainnya,
niscaya substansinya tak kan diketahui kecuali dengan
menyibukkan diri (berkonsentrasi) dengan doa harfiyah ini
dan mengamalkannya.

Tata cara memperoleh jumlah hitungan yang harus


dibaca adalah dengan mengumpulkan huruf-huruf yang
ada pada isim. Tiap huruf dibaca dengan nisab 100 (hx100).
Jika lebihnya setengah dari jumlahnya, itu menjadi zakat
{(hx100)+(1/2xnisab)}. Jika lebihnya setengah dari setengah,
itu menjadi ‘ushr-nya (zakat+1/2nisab). Jika dibaca setengah
dari setengah, itu menjadi qufl (1/2 x1/2 nisab). Jika‘ushr-nya
digandakan dengan qufl-nya jadilah dawr al mudur (‘ushr +
dawr mudūr). 7000 adalah badhl-nya (7x1/2nisab), sedang
1200 adalah khatam-nya (12x100). Maka badhl dan khatam
adalah ketentuan akhir dalam doa ini.

Ukuran tersebut ini, misalnya, jika huruf yang ada dalam


satu isim berjumlah 20, maka nisabnya menjadi 2000, jika
ditambahkan padanya setengahnya, yakni 1000, maka
zakatnya menjadi 3000, ‘ushr-nya 3500, qufl-nya 250, dawr
al mudur-nya 7500.

Adapun cara berdoanya adalah: pertama pilih isim yang


diinginkan, lalu kembalikan semua huruf sesuai nisabnya

~104~
dengan kaidah Ali bin Abi Talib, di mana ia meletakkan untuk
tiap huruf tiga huruf dan ia membacanya untuk tiap huruf
sebanyak seribu kali, lalu mengambil jumlah huruf yang
asli juga, lalu mengumpulkan bilangan dan jumlahnya dan
membacanya di hari pertama kali terbenam seribu dengan
menggandengkan isimnya dengan surat al Fatihah, dan
diakhir doanya juga dengan cara menggandengkan surat al
Fatihah dengan isim, insya Allah doanya cepat terkabul.

Pasal 4 Doa Lafziyah ‫الدعاء اللفظية‬. Yang dimaksud


dengan do’a lafziyah adalah doa yang dipanjatkan dengan
‫أ‬
menggunakan lafaẓ khusus dari sejumlah ‫ االمس العظم‬sejak
‫ث‬
‫ سبحانك‬hingga �‫غيا‬
‫ ي‬sebanyak 41 ribu kali dengan perhitungan
sebagaimana yang telah disebutkan pada doa harfiyyah.
Doa ini bertujuan agar para jin, manusia, dan arwah (rūḥ)
berada dalam kendalinya, mentaati perintahnya, dan tidak
melenceng dari perintah dan urusan yang diinginkan.

Tata caranya adalah jika telah sempurna syarat-syaratnya,


maka hendaknya memilih tiga tempat sunyi berbeda untuk
berkhalwat, apakah di kota yang sunyi, gunung atau padang
pasir. Doa lafziyah ini harus dipanjatkan di ketiga tempat
berbeda tersebut. Namun, jika tidak bisa, berdoa dapat juga
dilakukan di tempat khalwat yang dirubah warna tanahnya
pada setiap kalinya. Adapun tatacaranya seperti berikut ini:

Cara khalwat pertama warnai tanahnya dengan warna


merah, lalu hamparkan diatasnya sajadah sesuai warnanya,
kemudian duduk di atasnya, lalu baca tiap hari 360 kali
dengan niat berdoa hingga 7 pekan. Pada setiap pekannya

~105~
akan tampak tanda-tanda hingga akhir pekan ketujuh semua
jin dan pengikutnya, mereka hadir di depan mata (dapat
dilihat), memberi peringatan kepadanya, dan menuntut janji
yang dikaitkan padanya.

Khalwat yang kedua hendaknya tempat khalwat tersebut


diberi warna coklat tanah atau hitam, lalu hamparkan
sajadah di atasnya dengan warna yang sama, lalu baca bacaan
tersebut hingga 7 pekan yang lain, lalu tampaklah tanda-
tanda pada tiap pekan selain yang telah tampak di awal
tadi, hingga akhirnya pada pekan-pekan terakhir gambaran
dari semua manusia, dan jin anak Adam, dan tak kan kekal
satupun dari mereka kecuali diberikan olehnya. Jika tingkat
ini telah dicapai maka hendaknya ia menjaga diri dari sifat
ujub (bangga diri) dan takabbur (sombong), bergaul dengan
orang-orang kaya, dan ahli kesenangan dunia (hedonis),
tujuannya agar ia dapat menikmati doa ini.

Khalwat yang ketiga dengan mewarnai yang coklat dengan


yang hijau, lalu hamparkan di atasnya sajadah, lalu baca
bacaan yang biasa, niscaya tampaklah baginya segala yang
aneh dan gaib, sehingga ia menjadi orang yang kuat hatinya,
fokus/konsen dan tidak mudah menoleh pada sesuatu, tidak
ditentang oleh seseorang, dan tidak ragu-ragu. Dan setiap
kali bertambah keanehan dan kegaiban, maka seorang
sālik mengurus urusannya sendiri sehingga bertambahlah
kemuliaan dan kemandiriannya. Akhir dari doa ini adalah
tersingkapnya semua hal yang selama ini tersembunyi dan
tak dapat dijangkau oleh pancaindra, termasuk ‫لوح احملفوظ‬.
Namun level ini tak dapat dicapai kecuali hanya sebentar saja

~106~
dan tak kan dapat menembus rahasia Ketuhanan.

Pasal 5 Doa Umum (‫ )الدعوة اللكية‬dan Doa Khusus (‫الدعوة‬


‫الزئية‬
‫) ج‬. Yang dimaksud dengan Doa Umum dan Doa Khusus
adalah doa-doa yang dipanjatkan dengan menggunakan
‫أ‬
‫ الامسء العظام‬di mana jumlah hitungan bacaannya diperoleh
berdasarkan jumlah tulisan hurufnya dan tata cara
membacanya secara bersama-sama. Yang dimaksud tulisan
adalah semua huruf dan harakat (tanda baca berupa fathah,
kasrah, dammah, dan sukun) nya sebagaimana sistem
perhitungan yang telah dijelaskan di atas. Manfaat bagi
orang yang mengamalkan doa ini adalah untuk merasakan
‫ت‬
Keagungan Tuhan (‫ ) ج�ليات‬yang tak dapat diulang kembali
dan agar dapat mencapai pengetahuan tersebut dalam waktu
kurang dari sesaat (‫)قليل من املدة‬.

Adapun syarat-syarat doa ini adalah ambil huruf-huruf


yang tertulis berulang-ulang dan yang lainnya untuk nisabnya,
sedangkan huruf-huruf yang ditulis tak berulang-ulang untuk
zakatnya, jumlah isim untuk ‘ushr-nya, huruf-huruf isim yang
‫أ‬
pertama untuk qufl-nya, 41 kali kumpulan ‫ الامسء العظام‬itu untuk
dawr al mudur-nya, sedangkan semua harakat (tanda baca),
sukun, dan tashdid-nya untuk badhal-nya, sedang jumlah titik
untuk khatam-nya. Untuk setiap huruf punya ḥarakat (tanda
baca), tashdid, sukun, dan titik sebanyak 1000 selain qufl, karena
pada qufl itu tiap hurufnya 100 titik. Kemudian pada setiap doa
terdapat huruf asli dan wasal (sambung) sesuai hukum (kaidah)
“ambil satu huruf, katakan 1000”, dan ambil jumlahnya juga,
maka dengan pertolongan Allah doanya cepat dikabulkan.
Contohnya pada doa pertama isim yang pertama adalah:

~107~
َ َ َ َ َ َ ْ َ ِّ ُ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ َ َ َ َ َ ْ ُ
ِ
‫اح ِه‬ ‫ئ‬
ِ ‫سبحانك ل ِإل ِإل أنت ي� رب ك ش ي ٍ� وو ِارِث ِه ور ِاز ِق ِه ور‬
nisab-nya 46.000, zakat-nya 17.000, ‘ushr-nya 2560, qufl-nya
‫أ‬
600, dawr mudūrnya sama dengan jumlah ‫ الامسء العظام‬-nya
yakni 41, badl-nya 41.000, sedangkan khatam-nya 19.000.
Karena huruf-huruf pada isim ini, sebagaimana kaidah yang
telah disebutkan, berjumlah 120, maka diambil dari tiap-tiap
huruf 1000 bersama angkanya atau isim yang ada dalam doa
di sini ada 120 huruf.

Pasal 6 Do’a Safîr Ādam ‫سف� آدم‬


‫ دعاء ي‬. Yang dimaksud dengan
do’a Safîr Ādam adalah doa yang paling aneh di antara doa-
doa yang lain, karena dalam doa ini terdapat perumpamaan-
perumpamaan yang tak ada contoh dan teorinya bagi para
murid yang taat untuk mencapai maksudnya. Dalam doa ini,
‫أ‬
‫ الامسء العظام‬itu dibagi kepada alam raya yang sembilan, lalu
keluar untuk tiap-tiap alam lima buah nama (isim) selain al-
kursi, karena baginya dua nama, juga selain al-‘arsh karena
ia memiliki tiga nama. Bagi tiap alam dari tujuh buah alam
itu tujuh buah musim (‘aqālim), sedangkan bagi al-kursi
memiliki dua musim, sedang al-‘arsh memiliki tiga musim.
Bagi tiap-tiap musim satu pemilik (tuan), maka dengan doa
lima buah isim tersebut terbitlah (muncullah) substansi lima
musim, dan tidak diketahui dua buah musim yang lain, jika
diketahui maka hilanglah keburukannya.

Tata-cara berdoanya adalah ambil semua huruf yang


tertulis dan kosa kata yang ganda maupun yang tidak dari
isim selain yang tujuh seperti (‫ )به‬dan isim jāmid (kata
benda mati) yang diidghamkan seperti (‫ )لك‬kecuali jika

~108~
dikumpulkan, dan huruf ganda yang terdiri dari tiga huruf
ganda seperti dal, dhal, alif, sehingga menjadi sembilan, dan
huruf yang tidak ganda yakni yang terdiri dari dua atau tiga
huruf dimana salah satu dari keduanya tidak termasuk huruf
‫ف‬
thulāthî, seperti: aynsuretes nad ,‫ ىه‬,� ,�‫ ت‬,�‫ ب‬. Pada tingkat
pertama ambil huruf yang asli dan yang waṣal (sambung),
lalu tinggal yang asli. Ambil yang asli itu lalu sambungkan
dengan yang wasal agar menjadi sembilan, karena tiap
huruf di antarannya tiga huruf, lalu keluarkan angka semua
huruf dengan perhitungan jumlah (ḥisāb al-jumal) dan baca
dengan cara seperti wirid hingga selesainya doa, lalu ambil
tiap bintang (planet) dari planet-planet angkasa yang tetap
1000, sedangkan planet-planet angkasa yang tetap bagi para
ahli matematika berjumlah 1120 buah. Maka jumlah bilangan
planet 11.020 lak, kemudian bagi bilangan planet dengan
huruf asli dan waṣal, lalu jadikan untuk doa.

Contohnya adalah isim yang pertama, yakni:


َ َ َّ َ َ
‫ُس ْب َح َان َك ل ِإ َل ِإل أ ْن َت َ ي� َر ِّب ُ ِّك ش ي ْ ٍ ئ‬
ِِ ‫� َو َو ِارِث ِه َو َر ِاز ِق ِه َو َر‬
‫اح ِه‬
huruf-hurufnya berdasarkan kaidah yang disebutkan di
tengah 9414, sehingga angka untuk huruf-hurufnya yang
disebutkan 10657, bilangan planet 11.020 lak, lalu bilangan
huruf isim tersebut dibaca setiap hari satu kali. Adapun
jumlah bilangan huruf asli dan wasal sebanyak 120 huruf,
maka bilangan planet-planet itu dibagi dengan waktu tersebut
sehingga wirid dengan isim dan jumlah planet setiap harinya
sebanyak 19.990, dengan rincian sebagai berikut: angka
isim-nya 10.957, bilangan pembagi planet 9.333 dan 40. dari

~109~
bilangan planet tidak bisa menerima (tidak cocok) dengan
pembagian, maka bacalah (sisanya) di hari akhir, niscaya
dengan pertolongan Allah doa tersebut akan ada khasiat dan
pengaruhnya.

Pasal 7 Doa Ṣirāṭ al-Mustaqîm �‫املستق‬ ‫ي‬ ‫دعاء رصاط‬. Yang


dimaksud dengan Doa Ṣirāṭ al-Mustaqîm adalah doa yang
dipanjatkan untuk memperkuat tercapainya penyatuan
wujud (‫ )وحدة الوجود‬dengan Tuhan. Selain itu, agar segala benda
yang ada keberadaannya menjadi tertutup atau terselubung,
sehingga selama berdoa tampak nyatalah semua ‘alam
(‫ )العوامل‬yang berjumlah 19.000 buah untuknya. Dari situ ia
memperoleh kabar halus (bisikan) tentang pengaruh Nama-
‫أ‬
Nama Yang Bagus (‫المالية‬ ‫ )الامسء ج‬atau alam universal (‫المل‬
‫)عامل ج‬,
‫أ‬
juga tentang Nama-Nama Yang Agung (‫الاللية‬ ‫ )الامسء ج‬atau Alam
Keagungan (‫الالل‬ ‫)عامل ج‬, rahasia nama-nama konotatif (‫تعي�ات‬ ‫ي‬
‫ت‬ ‫أ‬ ‫ت‬
‫ )الامسء املش�كة‬atau ‫عمل إالش�اك‬, dan diterangkan tentang Ilmu
Ketauhidan (‫)عمل الوحدانية‬, lalu dihapuskan atau dihilangkan
akal mereka, kemudian disucikanlah dengan nama-nama
‫أ‬
ketuhanan (‫الهلية‬ ‫ )الامسء إ‬itu yakni martabāt alam fisik
(‫ )الكونية‬dalam gambaran seorang sālik. Melalui penglihatan
gambar (simbol) tersebut, hilanglah jiwa sang sālik, lalu
masuklah ia dalam alam kebajikan, di mana ia berada dalam
ketidaksadaran fisik. Namun, tatkala sadar, ia temukan
dirinya telah berakhlak seperti akhlak Allah ta’ala, dan ia
lihat dirinya menyatu (‫ )متجليا‬dengan nama-nama Tuhan dan
alam. Kondisi ini atau level (‫ )مرتبة‬ini tentu saja berada diluar
apa yang dibicarakan manusia biasa. Itu hanya bisa dicapai
jika kita tahu wirid-wirid (‫ )الواردات‬dan sifat-sifat Allah Yang
Agung (‫الالالت‬ ‫) ج‬.

~110~
‫أ‬
Cara mengetahui seberapa banyak ‫ الامسء العظام‬itu dibaca
dalam doa ini adalah dengan mengetahui terlebih dahulu
jumlah titik-titik yang bersesuaian dengan doa ini, lalu ketahui
‫أ‬
juga jumlah huruf-huruf yang ada pada ‫ الامسء العظام‬yang
bersangkutan dengan mendahulukan lebih dahulu huruf-
huruf yang tak berulang. Adapun aturan menghitungnya
sama dengan cara-cara menghitung sebagaimana pada doa
sebelumnya.

Setiap huruf Hijaiyah terdiri dari satuan titik yang


jumlahnya telah disepakati untuk tiap hurufnya. Tabel
berikut ini berisi daftar huruf Hijaiyah beserta jumlah titik
yang membentuknya.

Daftar huruf Hijaiyah beserta jumlah titik yang


membentuknya

Huruf Jumlah Huruf Jumlah Huruf Jumlah Huruf Jumlah


Titik Titik Titik Titik

‫أ‬ 7 ‫د‬ 6 ‫ض‬ 9 ‫ك‬ 5


‫ب‬ 9 ‫ذ‬ 6 ‫ط‬ 11 ‫ل‬ 8
‫ت‬ 9 ‫ر‬ 4 ‫ظ‬ 11 ‫م‬ 1
‫ث‬ 9 ‫ز‬ 4 ‫ع‬ 5 ‫ن‬ 4
‫ج‬ 5 ‫س‬ 6 ‫غ‬ 5 ‫و‬ 9
‫ح‬ 5 ‫ش‬ 6 ‫ف‬ 4 ‫ه‬ 12
‫خ‬ 5 ‫ص‬ 9 ‫ق‬ 4 ‫ي‬ 5

Bila terdapat satu huruf yang tertulis ganda dalam suatu


‫أ‬
‫الامسء العظام‬, maka satu huruf dianggap seperti satu jasad,
sedangkan angka bagaikan satu ruh. Ruh tanpa jasad tak akan
dapat terlihat, sebaliknya jasad tanpa ruh tak akan bisa hidup.

~111~
Pemahaman semacam ini merupakan bentuk pemikiran yang
diupayakan Shaykh Muhammad al-Ghawth terkait adanya
hubungan dan ketersambungan antara ruh dengan jasad,
‫أ‬
terutama yang tertuang pada ‫ الامسء العظام‬beserta kandungan isi
(substansi) yang dimilikinya, sebagai wahana menjembatani
kaitan antara alam dengan Tuhan.

Contohnya adalah Isim yang pertama, yakni:


َ
َْ َ ُ ِ ‫� َو َوارُث ُه َو َراز ُق ُه َو َر‬
ُّ ‫اح ُه ُس ْب َح َانك ا َ ي‬
‫ل‬ ‫ئ‬ ْ ‫ُس ْب َح َان َك َل ِإ َ َل ِإ َّل أ ْن َت َ ي� َر ِّب ُ َّك َش ي‬
ِ ِ ٍ
dengan perhitungan huruf-huruf yang tidak diulang ada 17
dengan jumlah titik 144. Dari sisi titik yang berjumlah 144
maka ia menjadi lak ditambah 44.000, berdasarkan kaidah
“sembunyikan satu huruf maka berkuranglah seribu”,
dan dengan hitungan huruf asli jadilah satu lak 70.000,
dan dengan hitungan wasal yang di atas 26, maka jadilah
bilangannya 26.000, dan dengan perhitungan angka huruf-
huruf asli dan wasal 2.365, jumlah ini dibagi dengan 40, maka
hasilnya diperoleh jumlah wirid yang harus dibaca tiap hari
8.559. Karena 15 cocok untuk pembaginya, maka 40 adalah
jumlah yang harus dibaca isim pertama tersebut.

Pasal 8 Doa Tersembunyi (‫الفية‬‫)الدعوة خ‬. Doa tersembunyi


merupakan puncak utama tujuan tasawuf, yakni untuk
mencapai kebenaran suci dan meraih semua sifat kebenaran
‫ حق ي ن‬,�‫اليق‬
itu sehingga tersingkaplah‘�‫اليق‬ ‫‘ع� ي ن‬,
‫اليق� ي ن‬
‫عامل عمل ي ن‬, dan
‫حقيقة ي ن‬. Yang dimaksud dengan �‫اليق‬
�‫اليق‬ ‫ عمل ي ن‬adalah pengetahuan
tentang keadaan yang sesungguhnya. Selama memanjatkan
doa ini, si pelaku wajib hukumnya untuk tidak menghiraukan

~112~
selain Allah yang kepada-Nya doa dipanjatkan, agar doa itu
tidak ditolak. Jadi doa ini sebenarnya adalah upaya untuk
mencapai ma’rifat (pengetahuan rohani tertinggi) untuk
mengetahui Yang Hak.

Doa ini memiliki lahir (‫ )ظاهر‬dan batin (‫) ب�طن‬. Tiap


huruf terdiri dari 28 batin, sedangkan pada tiap-tiap batin
terdapat persaksian yang haq yang penutupnya diangkat dari
penggandaannya kepada suatu level (martabat) dari makhluk
kepada Yang Haq. Makhluk bukanlah Yang Haq. Semua doa
berada dalam pengaruh, upaya untuk memperoleh, dan untuk
menyingkap dunia Malakūt. Syarat-syarat doa ini ada tiga,
yakni: hendaknya mandi di hari Kamis pada waktu naiknya
bulan sebagaimana biasa, lalu shalat secara tertib, membaca
niat nisabnya 4.440 kali di satu tempat, lalu mandi di hari
Jum’at secara tertib, lalu shalat dan membaca niat zakatnya
setiap hari 7000 kali hingga tujuh hari, lalu mandi di hari
Jum’at yang kedua, lalu membaca niat 7000 kali dengan niat
‘ushr-nya di satu tempat, lalu dihari Sabtu membaca niat qufl
setelah bersalawat kepada Nabi dan surat al-Fatihah sekali,
‫أ‬
lalu membaca ‫المس العظم‬ ‫ إ‬, lalu membaca surat al Ikhlas 99
kali, dan dengan niat dawr al-mudur 20.001 lakk sebanyak
86 kali, dan dengan niat badl 7000, dan dengan niat khatam
1200 kali.

Adapun tata cara Doa yang Tersembunyi (‫الافية‬ ‫)الدعوة خ‬,


yakni ambil untuk tiap satu huruf dari huruf-huruf yang
sesuai dalam isim sebanyak 28 batin, lalu kumpulkan angka-
angkanya dan bacalah angka tersebut selama 99 hari sambil
mengumpulkan wakil-wakil langit.

~113~
Daftar 28 huruf Hijaiyah dan Jumlah batin yang
dikandungnya

Huruf Jumlah Huruf Jumlah Huruf Jumlah Huruf Jumlah


Batin Batin Batin Batin
‫أ‬ 784 ‫د‬ 855 ‫ض‬ 1815 ‫ك‬ 795
‫ب‬ 272 ‫ذ‬ 1496 ‫ط‬ 276 ‫ل‬ 774
‫ت‬ 275 ‫ر‬ 47 ‫ظ‬ 1185 ‫م‬ -
‫ث‬ 775 ‫ز‬ 277 ‫ع‬ 652 ‫ن‬ 665
‫ج‬ 483 ‫س‬ 562 ‫غ‬ 1532 ‫و‬ 643
‫ح‬ 287 ‫ش‬ 832 ‫ف‬ 355 ‫ه‬ 275
‫خ‬ 875 ‫ص‬ 855 ‫ق‬ 875 ‫ي‬ 285

Isim yang pertama, jika dilihat dari sisi 28 batinnya


menjadi 27.434, maka bilangan tersebut dibaca selama 99
hari sambil mengumpulkan wakil-wakil langit dengan cara
begini:
َ
ُ ِ ‫� َو َوارُث ُه َو َراز ُق ُه َو َر‬
ُ‫احه‬ ‫ئ‬ ْ ‫ َ ي� َر َّب ُ ِّك َش ي‬،‫اك ِب َ� ِّق ُس ْب َحا ِن َك َل ِإ َ َل ِإ َّل أ ْن َت‬
ْ ََْ َ
ِ ‫ي� هو‬
ِ ِ ٍ
Barang siapa yang menginginkan ilmu-ilmu yang ajaib
seperti ilmu ramal, geometri, Ilmu Nujum (astrologi), Ilmu
Falak, Ilmu Biologi, Iilmu Peradaban, maka hendaknya ia
berdoa sesuai jumlah bilangan yang melambangkannya, dan
belajar cara-cara memperoleh substansinya (ruhaniyyat)
yang kerap disebut wafaq atau wifiq. Tata cara memperoleh
unsur-unsur rohani dari tiap-tiap isim itu adalah dengan
cara menghitung huruf-hurufnya dan lambang angkanya, lalu
disusun dalam sebuah wafaq. Kemudian dikeluarkan darinya
lima nama, empat diantaranya menjadi pembagi (muqassim)
sedang yang kelima menjadi penyebut (muqassim bihi). Jika

~114~
wafaq tersebut berbentuk tunggal, seperti persegi tiga (tiga
kotak horizontal dan vertikal) atau persegi lima (lima kotak
horizontal dan vertikal), maka pertama-tama keluarkan angka
pojoknya. Jika wafaqnya berbentuk ganda, seperti persegi
empat (empat kotak horizontal dan vertikal) dan persegi enam
(enam kotak vertikal dan horizontal), maka yang pertama
dilakukan adalah meletakkan setengah jumlah bilangan dari
jumlah huruf-hurufnya tadi. Untuk kotak pertama adalah
bilangan dari wakil pertama, kotak kedua adalah bilangan
terakhir, kotak ketiga adalah bilangan pertengahannya, kotak
keempat adalah bilangan penyempurna diagonal wafaq,
dan kotak kelima adalah bilangan yang menentukan jumlah
wafaq. Jika bilangan tersebut jumlahnya misalkan 51, maka
tidak perlu bilangan tambahan, namun jika tidak sampai
pada angka 51 maka perlu ditambahkan, yakni dari angka
lingkaran penuh (al-dawr) 360 minus 51 sehingga tersisa
309 sebagai pengganti kalimat a’il pada isim pertama.

Sebagai contoh pembuatan wafaq untuk isim pertama


yang berbunyi:
َ
ُ ِ ‫� َو َوارُث ُه َو َراز ُق ُه َو َر‬
‫اح ُه‬ ‫ئ‬ ْ ‫ َ ي� َر َّب ُ ِّك َش ي‬،‫اك ِب َ� ِّق ُس ْب َحا ِن َك َل ِإ َ َل ِإ َّل أ ْن َت‬
ْ ََْ َ
ِ ‫ي� هو‬
ِ ِ ٍ
Jumlah bilangan yang mewakili semua huruf-hurufnya
adalah 2571. Jika dibuatkan wafaq berbentuk persegi empat,
maka jumlah bilangan tersebut dibagi 4; jika dibuatkan wafaq
berbentuk persegi lima, maka jumlah bilangan tersebut dibagi
5; sedang jika dibuatkan wafaq berbentuk persegi enam,
maka jumlah bilangan tersebut dibagi 6; dan seterusnya.

~115~
Jika kita putuskan bahwa wafaq yang akan kita buat
untuk isim pertama tersebut berbentuk persegi empat, maka
nisabnya adalah 643 yang diperoleh dari 1/4x2571, wakilnya
thasbayaa ’yil; sedangkan nisab tertingginya adalah 651, di
mana wakilnya khaayil. Jika nisabnya digandakan (643x2),
maka hasilnya adalah 1286, wakilnya gharsaayil; jika angka-
angka diagonalnya dikurangi hasil penggandaan nisabnya
maka ditemukan angka 1285, wakilnya bangkaa’il; jika dibagi
dua maka ditemukan angka 642, itulah pelengkap angka
diagonalnya. Setelah lengkap seluruh kotak persegi empat
terisi dengan angka-angka yang melambangkan perwakilan
dari huruf-huruf yang dihitung, maka bentuk wafaq persegi
empat untuk isim pertama adalah:

642 645 649 635


648 636 641 646
647 651 643 640
644 639 638 650

Namun bila ditinjau dari sisi matematis, wafaq berbentuk


persegi empat yang diisi dengan lambang-lambang angka
‫أ‬
yang mewakili huruf-huruf Hijaiyah dari ‫المس العظم‬ ‫إ‬
pertama, sebenarnya tidak memiliki kekuatan apa-apa, kare­
na persegi empat tersebut hanyalah kumpulan dari bilang­
an-bilangan yang bila dijumlahkan, baik secara horizon­
tal, vertikal, maupun secara diagonal menghasilkan jumlah
angka yang sama yakni 2571. Berdasarkan penelitian terha­
dap sejumlah wafaq yang dianggap oleh kalangan umat
Islam tradisional memiliki kekuatan gaib atau magis, wafaq
semacam itu digolongkan ke dalam bentuk persegi sempurna

~116~
magis (perfect magic square), yakni bentuk persegi ajaib yang
bila angka-angkanya dijumlahkan maka jumlah setiap baris,
kolom, diagonal utama, maupun diagonal keduanya memiliki
jumlah yang sama atau konstan.

Jika kita ingin mencapai ilmu hîmiya’, al-sîmiya, dan


rîmiya, maka hendaknya berkonsentrasi dalam berdoa dengan
kalimat-kalimat tertulis yang bertanda baca (berharakat) pada
setiap ism al-hîmiya, al-sîmiya, dan al-rîmiya. Maka dari sini
‫أ‬
tampaklah pengaruh Nama-Nama Keagungan (‫الل‬ ‫ال ي‬
‫)الامسء ج‬
pada alam kebesaran (‫الالل‬ ‫ )عامل ج‬dan alam kebaikan (‫المال‬
‫)عامل ج‬.
Cara berdoa dengan isim yang pertama adalah: pertama
penuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, lalu keluarkan
yang diwakilkan isim pertama dengan sanad ini. Jumlah titik
dari harakat kalimat ‫ سبحانك‬adalah 23, yang mewakilinya
Kaja’il, sedang jumlah titik dari kalimat ‫ ال إهل‬adalah 15, yang
mewakilinya Baha’il, sedang jumlah titik dari kalimat ‫إال أنت‬
adalah 29, yang mewakilinya adalah Kata ’il, sedang jumlah
titik dari kalimat ‫ ي� رب‬adalah 20, yang mewakilinya Jaba’il,
‫ لك ي ئ‬adalah 32, yang mewakilinya
jumlah titik dari kalimat�‫ش‬
adalah Bakya’il, jumlah titik dari kalimat ‫ ووارثه‬adalah 20,
yang mewakilinya adalah Jawaya’il, dan jumlah bilangan
kosong dari harakat isim adalah 179, lalu keluarkan darinya
yang diwakilkan; dari satuan hingga ratusan adalah Taqa’yil,
lawannya dari ratusan ke satuan adalah Qa’ta’yil; kemudian
tinggalkan ratusan dan keluarkan yang diwakilkan dari
puluhan ke satuan, jumlah bilangannya 79, yang diwakilinya
‘Atayil, kemudian tinggalkan puluhan dan keluarkan yang
diwakilinya dari satuan, bilangannya 9 sedang yang diwakili

~117~
adalah Dajbayil. Demikianlah cara memperoleh yang diwakili
dari isim yang pertama.

Cara perhitungan dalam doa ini sebagaimana 4432 4438 4422


diketahui adalah bahwa dalam isim ini terdapat
410 huruf, jumlah harakatnya adalah 179 kita
kalikan dengan 99 menjadi 17721, kemudian
bagi ke dalam bentuk persegi empat dan persegi
lima atas wafaqnya, lalu kencingi dan pendam
dalam kamar dan duduklah di atasnya, dan baca
bilangan yang tertulis dengan menggandengkan
yang diwakili tersebut selama 99 hari, tiap harinya
dibaca dengan sanad seperti ini: Ya Kaja’il wa Ya
Katayil wa Ya Jaya’il wa Ya Baykayil wa Ya Dhahyayil
wa Ya Rawyayil, wa Ya Jawayayil wa Ya Taghfayil wa
Ya Qa’tayil wa Ya ‘Atayil bihaqqi Jaba’il Subḥanaka
la ilaha illa Anta Ya Rabba kulli shay’in wa-warithuh
wa raziquh wa rahimuh; sisa dari al-asma al
husna yang ada dipraktekkan dengan dikiaskan
(dianalogikan) seperti itu. Adapun wafaq bentuk
persegi empatnya jika dibuat akan seperti ini: 29
4437 4423 4428 4433
4424 4440 4430 4427
4431 4426 4425 4439

Adapun wafaq bentuk persegi limanya adalah:

3542 3538 3555 3535 3551


3556 3536 3537 3543 3549
3538 3554 3550 3557 3522
3551 3553 3533 3539 3545
3534 3540 3546 3547 3554

Kedua wafaq tersebut, bila ditinjau dari sisi matematis,


sebenarnya juga tidak mengandung makna apa-apa dan,
tidak memiliki kekuatan magis apapun, karena keduanya

~118~
sebenarnya hanyalah kotak persegi empat yang terdiri dari
kumpulan bilangan-bilangan yang bila dijumlahkan, baik
secara horizontal, vertikal, maupun secara diagonal akan
menghasilkan jumlah angka yang sama yakni 17721. Wafaq
semacam ini juga digolongkan ke dalam bentuk persegi ajaib
sempurna (perfect magic square), yakni bentuk persegi ajaib
yang bila angka-angkanya dijumlahkan maka jumlah setiap
baris, kolom, diagonal utama, maupun diagonal keduanya
memiliki jumlah yang sama atau konstan. Jadi, sebenarnya
bacaan yang dibaca itu sangat bergantung pada keyakinan si
pembacanya saja, sedangkan wafaq yang dibuatnya tidak ada
kaitannya sama sekali.
‫أ‬
Pasal 9 Do’a al Uwaysiyyah ‫الدعاء الويسية‬. Kata ”Uwaysiyyah”
adalah gelar yang diperoleh seorang wali yang telah mencapai
kesempurnaan ruhani dari pengalaman suluknya dari guru
yang sudah meninggal dan tidak pernah dijumpainya. Jika
pembaca doa ingin mempraktekkan doa dengan Nama dari
‫أ‬
Nama-Nama Allah Yang Agung (‫ )الامسء العظام‬atau Nama-Nama
‫ن‬ ‫أ‬
Allah Yang Baik (�‫احلس‬ ‫ )الامسء‬atau dengan Nama-Nama yang
lainnya, maka ia wajib mengambil jumlah isim menurut
‫أ‬
jumlah hurufnya (‫المس ال ب ج�د‬ ‫) إ‬, lalu diambil 12, bilangan sisa
dari pengurangan yang diketahui itu dan habis darinya itulah
yang cocok untuk rasinya, lalu ambil sifat (kekhasan) dari rasi
itu dari sisi api, udara, atau lainnya, lalu kembalikan kepada
pembaca doa (dari sisi namanya atau nama orang yang minta
didoakan) dengan cara yang telah disebutkan. Jika cocok
dengan harapannya, lalu diambil kedua sifatnya, lalu baca
(sebanyak) bilangan itu, maka jika berlawanan seperti isim
bersifat udara sedangkan pembacanya atau orang yang punya

~119~
hajatnya bersifat air atau tanah, jika dibaca dengan jumlah
bilangan yang ditetapkan akan terjadi kerusakan (kecelakaan).
Oleh karenanya, seyogyanya ia menggandakan sisa yang ada
setelah mengurangi isimnya atau nama pembaca doanya,
dibaca dua kali, agar selamat dari kerusakan dan kecelakaan.

Jika ingin berdoa untuk keperluan orang lain atau untuk


dirinya sendiri dengan niat untuk menyingkap rahasia hati,
atau untuk menolong orang lain, dan yang semisalnya, maka
hendaknya ia bersegera membacanya saat terbit rasi bintang
‫أ‬
(yang terjadi sesuai hitungan ‫ )االمس العظم‬dan dibaca sebanyak
bilangan sisanya setelah dikurangi dari al-ism al-a’ẓam dan
nama pembaca doa, di mana tiap satunya 1000, jika sisanya
11 hari, maka dibaca tiap harinya 11.000. Dengan analogi
(qiyās) seperti inilah dari rasi bintang mana dimulai, dari rasi
bintang itu pula hendaknya disempurnakan kewajibannya.

Jika (seseorang) ingin menguasai segenap makhluk


untuk dirinya, dan ingin agar diperlihatkan kemuliaan dan
kebesaran serta diberi banyak murid dan banyak dipercaya
orang, dipuji oleh segenap makhluk dan tunduk semuanya
(kepadanya), maka hendaknya ia bersegera membaca doa ini
di waktu terbenam, dimulai pada rasinya sebagaimana biasa
pada sanad isim al-a’ẓam. Jika terlewat salah satu syarat di
antara syarat-syarat sebagaimana yang telah disebutkan
maka akan tertolak. Pada doa ini tak ada syarat lain, kecuali
syarat-syarat seperti ini.

Pasal 10 doa serba lima (‫والميسية‬ ‫)الدعوة املج موعية خ‬. Untuk
doa ini, tak ada syarat apapun selain ijāzah, karena kecintaan

~120~
Allah terhadap hamba-Nya maka dijadikanlah doa ini cepat
dikabulkan. Jika seorang teman ingin mempraktekkan
kumpulan doa serba lima ini, maka hendaknya ia berdoa di
tempat sunyi, padang pasir, tepi pantai, taman, kebun, gunung,
atau lembah. Jika sukar dilakukan, boleh juga dikerjakan
di rumah yang sunyi, atau pada tengah malam sambil
menghadirkan hati. Namun dalam kondisi yang mendesak
hendaknya dilakukan 2x, atau agar ditunaikannya keperluan
dengan cepat hendaknya dibaca 3x, atau agar berjumpa
dengan para sultan supaya ditunaikan segala keperluannya
dari mereka maka hendaknya dibaca 4x. Sedangkan untuk
menolak musuh atau memohon kekayaan maka hendaknya
dibaca 5x. Jika ingin terlepas dari kurungan (tawanan) maka
hendaknya dibaca 6x. Untuk menghadirkan yang gaib dibaca
7x. Untuk jaga-jaga dari begal (perampok) maka dibaca 8x,
sedangkan agar dicintai dalam hati para lelaki dibaca 9x, maka
kembalilah kepadanya semua makhluk dan ditunaikanlah
semua keperluannya tersebut.

Juga dibaca setiap hari dengan cara wirid setelah terbit


fajar 12x sesuai dengan jumlah rasi bintang (planet) yang
12, dan setelah waktu ‘Aṣar 5x sesuai dengan pilihan yang
lima agar bertambah faedah dari Nama-Nama Allah Yang
Agung dan untuk antisipasi ditolak. Bagi siapa yang belum
mengerti cara/jalan berdzikir dan berpikir, maka hendaknya
ia membacanya sebanyak 41x. Demikian juga setiap hari dan
setiap malam (sebanyak 41x) dengan cara wirid, niscaya
tercapailah faedahnya baik secara lahir maupun batin.

~121~
Setelah diketahui hal ini, maka cara berdoa khumaysiyyah­
nya adalah jika orang yang mengamalkan doa ini memiliki
hajat penting di hari Sabtu, maka untuk mencapainya
hendaknya dibaca dari isim pertama Subḥānaka hingga
Yā Ḥayyu sebanyak 500x, niscaya Allah akan tunaikan
keperluannya. Jika punya hajat di hari Ahad, maka bacalah
dari Yā Qayyūm hingga Yā Barr sebanyak 500x juga. Jika
punya hajat hari Senin, maka bacalah dari Yā Kabîr hingga Yā
Naqiyyā sebanyak 500x. Jika punya hajat hari Selasa, maka
bacalah dari Yā Ḥannān hingga Yā Raḥîm sebanyak 500x. Jika
punya hajat hari Rabu, maka bacalah dari Yā Tāmm hingga Yā
Mu’îd sebanyak 500x. Jika punya hajat di hari Kamis, maka
bacalah Yā Ḥamîd hingga Yā Mudhillu sebanyak 500x. Jika
punya hajat hari Jum’at, maka bacalah dari Yā Nūr hingga
Yā Jalîl sebanyak 500x. Jika punya hajat di suatu malam di
antara beberapa malam, maka bacalah Yā Maḥmūd hingga
Yā Ghiyāthî sebanyak 500x, niscaya Allah cukupkan segala
kepentingan/keperluannya. Jika belum tercapai maksudnya
di hari itu maka bacalah di malam hari dari Yā Maḥmūd
hingga Yā Ghiyāthî sebanyak 500x, dan jika belum terkabul
juga maka bacalah doa di hari ketujuhnya sejak malam hingga
tercapai maksudnya.

Pasal 11 Doa terbesar (‫الك�ى‬


‫)الدعوة ب‬. Yang dimaksud
‫أ‬
doa terbesar adalah doa yang menggunakan ‫االمس العظم‬
‫أ‬
dalam bentuk gabungan antara ‫ االمس العظم‬dalam bahasa
‫أ‬
Parsi dengan ‫ االمس العظم‬dalam bahasa Arab beserta yang
diwakilkannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan Shaykh
Muhammad al-Ghawth bahwa ia mengambilnya dari gurunya,
Sulṭān al-Muwaḥḥidî�n al-Shaykh Ẓuhūr al-Ḥāj Ḥaṣūr, yang

~122~
‫أ‬
juga berasal dari shaykh ‘Alî� al-Shayrāzî�. Adapun ‫االمس العظم‬
yang digunakan bersama 40 nama Nabi dalam bahasa Persia
beserta sejumlah khasiatnya masing-masing dapat diperiksa
lebih detail pada suntingan teks halaman 269-284.

Pasal 12 Doa terkecil (‫)الدعوة الصغري‬. Doa ini adalah doa


yang mencakup semua alam, baik yang tertinggi (‫)العامل العلوي‬
maupun alam terendah (‫السفل‬ ‫ي‬ ‫)العامل‬. Seorang pembaca doa
isim ini jika dapat memenuhi syarat-syarat salah satu di
antara keempat doa yang ada, yakni doa agung (‫الك�ى‬ ‫)الدعوة ب‬,
doa kecil (‫)الدعوة الصغري‬, dan doa umum (‫ )الدعوة اللكية‬dan doa
khusus (‫الزئية‬
‫)الدعوة ج‬, maka akan mampu memanfaatkan
isim-isim tersebut. Tentu saja setelah memenuhi syarat-
syaratnya dan dapat menjadi pelaku/pengamal semua doa
tiap bulannya.

Adapun tatacara perhitungan doa tersebut dengan


mengambil huruf yang tidak berulang dari isim di mana dari
tiap-tiap huruf dikalikan 1000, lalu kalikan jumlah ribuan
itu dengan 28 sehingga hasil perkaliannya sebagai nisabnya.
Setengah dari nisab adalah zakatnya, sedangkan setengah
dari zakat adalah ‘ushr, sedangkan 360 adalah qufl-nya, dan
dawr al-mudūr sama dengan nisab dan badhl, yakni 7000,
sedang khatm-nya 1200. Doa dibaca sebanyak 18.000 kali
perhari sejumlah bilangan ini dibaca hingga 28 hari.

Pasal 13 Doa Pedang (‫)الدعوة السيفية‬, Doa ‘Izra’ili, Doa


Besar, Doa Basmakh, Doa al-Qurayshiyyah, dan lain-lain.

Pasal 14 Doa untuk menolak doa dan sihir serta untuk


menambah atau mengurangi keampuhan keduanya.

~123~
Pasal 15: Amalan 40 hari (tirakat) dan tata caranya untuk
mencapai hal. Sebagaimana telah dijelaskan, hal merupakan
keadaan mental seperti perasaan senang, sedih, takut, dan
sebagainya. Adapun keadaan (kondisi) mental yang biasa
digolongkan ke dalam hal dalam term tasawuf adalah: takut
(khawf), rendah hati (tawadu’), patuh (taqwa), ikhlas, ramah
(al uns), gembira hati (al wajd), dan syukur. Berbeda dengan
maqam (station/stage), hal tidaklah diperoleh dengan usaha
menusia, namun diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan.
Selain itu, hal juga bersifat sementara, tidak permanen datang
dan pergi.

Perlu diketahui bahwa, ruh dan nafsu itu memiliki warna


yang sama. Masing-masing tidak memiliki kelebihan dan
tak seorangpun dapat membatasinya. Pembatas terendah
di antara keduanya dan yang menyebabkan keduanya dapat
dibedakan adalah adanya 70.000 tirai pembatas yang ber­
sifat terang dan gelap. Meski demikian, keduanya tak bisa
dibedakan dengan pikiran, pemahaman, maupun akal, kecuali
dengan cara latihan batin terus-menerus sehingga tampak
perwujudan rohaniah ketuhanan melalui upaya penyingkapan
(mukashafah). Untuk itu, setidaknya ada dua cara, pertama
dengan membiasakan hidup fakir (faqr) dan menjadikannya
sebagai pakaian hidup di dunia, karena meninggalkan segala
yang terkait dan bersifat duniawi (dunia meteri) adalah
pokok segala ibadah. Kedua dengan berbekalkan hidup sabar,
karena Allah mencintai orang-orang yang sabar. Setelah
kedua langkah itu dilakukan, barulah kita meninggalkan
segala godaan berupa sifat-sifat jelek yang tak berguna dan
‫ن‬
nafsu kemanusiaan (�‫النفسا‬ ‫ )الهسوات‬seperti: sombong, dengki,
‫ي‬

~124~
hasud, pemarah, menuruti hawa nafsu, serakah, suka dipuji,
suka mencela, dan sebagainya yang terkait dengan mencintai
kemegahan dan keduniaan. Termasuk dalam hal ini adalah
banyak makan, minum, bersenang-senang, banyak tidur,
dan sebagainya. Prilaku itu hendaknya ditinggalkan, karena
kerap meyebabkan darah menjadi tidak sehat, berkata-
kata sekehendak hati (kurang terkontrol) karena justru
dikendalikan oleh shahwat dan nafsu serta godaan syetan.

Langkah berikutnya adalah, melakukan ‘uzlah (menyen­


diri) untuk mencapai murāqabah (pendekatan kepada
Allah). Hal ini dapat dilakukan dengan beri’tikaf sambil
berpuasa tarekat selama 40 hari hingga terbuka pintu-
pintu pengetahuan (‫ )أبواب العرفان‬dan terungkap cahaya
hikmah dunia fisik dan dunia batin (‫)نور جمكة العامل الظاهر والباطن‬,
sehingga kita dapat memandang dunia fisik bersifat non-
fisik, sedangkan dunia non-fisik bersifat alam kasih sayang
(naskah al-Jawahir al-Khamsah, A 42: 206). ‘Uzlah atau
beri’tikaf sambil berpuasa selama 40 hari itu hendaknya
dilakukan berturut-turut hingga 120 hari (3X40 hari) dengan
variasi yang berbeda-beda agar tidak terjadi kejenuhan.
Adapun rahasia atau keutamaan ber’uzlah untuk beribadah
dan berpuasa selama 40 hari itu adalah anjuran yang ada
dalam al Qur’an maupun hadith Nabi saw. Siapa saja yang
dapat melakukan keutamaan ini, maka ia akan memperoleh
ilmu-ilmu hikmah berupa ilmu laduni, yakni ilmu keutamaan
yang diperoleh tanpa lewat proses belajar.

~125~
C. Tinjauan Atas Kitab al-Jawahir al-Khamsah

Dari penjelasan tentang berbagai macam doa dan tata cara


yang diajarkan oleh Shaykh Muhammad al-Ghawth al-Hindi
pada permata ketiga, tampak bahwa ia dipengaruhi oleh
tradisi Arab pra-Islam, tradisi Persia dan tradisi Yunani.
Yang dimaksud dengan tradisi Arab pra-Islam adalah tradisi
penggunaan huruf-huruf Hijaiyah sebagai lambang dari
angka atau bilangan tertentu yang memang telah digunakan
sejak sebelum Islam datang ke tanah Arab. Konsep ini juga
ia gunakan, antara lain, dengan menyatakan bahwa masing-
masing huruf Hijaiyah merupakan lambang dari satu Malaikat
Allah. Lebih jauh lagi, ia juga kerap mengggunakannya dalam
upaya menafsirkan beberapa ayat-ayat pembuka dalam al
Qur’an yang menggunakan huruf-huruf Hijaiyah, semisal Alif
Lam Mim, ditafsirkan sebagai lambang dari Dzat Allah yang
bersifat Perkasa dan Indah, di mana huruf Alif melambangkan
Allah, Lam melambangkan Keperkasaan Allah (al-Jalāl),
sedangkan Mim melambangkan Keindahan Allah (al-Jamāl).

Alasan yang dikemukakan Shaykh Muhammad al-Ghawth


adalah bahwa sebagaimana pada setiap ayat-ayat al-Qur’an,
pada setiap doa-doa juga memiliki unsur luar (ẓāhir) dan
unsur dalam (bāṭin). Unsur dalam (bāṭin) adalah unsur yang
sebenarnya, bukan unsur luar, sebagaimana ruh bagi jasad. Hal
itu dapat diketahui melalui ungkapan Shaykh Muhammad al-
Gahwth pada naskah kitab al-Jawāhir al-Khamsah A 37: 117.

Khusus untuk unsur batin hanya dapat diketahui oleh


orang yang memiliki pengetahuan terkait dengannya, dan

~126~
tidak semua orang dapat mengungkapnya. Pemahaman seperti
ini terutama dianut oleh para ulama Tasawwuf Falsafi, yang
menyatakan bahwa ilmu hakekat itu hanya dapat diperoleh
melalui jalan latihan batin, dan setiap ayat mengandung
unsur-unsur lahir maupun batin. Untuk mengungkap dan
memperoleh unsur dan makna batin tersebut tidak ada jalan
lain kecuali dengan cara takwîl (mengungkap makna yang
tersirat dari makna tersurat). Terkait dengan hal ini juga, apa
yang disebut dengan istilah al-tafsîr al-ishārî (menafsirkan
makna tersirat dari makna tersurat) sebagaimana yang
dilakukan oleh para mufasir belakangan ini. Juga dikatakan
kalau tahapan untuk mengungkap makna batin dari ayat
Qur’an maupun Hadits tentang kata atau kalimat tertentu
yang sulit dipahami itu dengan istilah ‘al-Bayān’ (definisi),
‘al-Tabayyun’ (identifikasi) dan ‘al-Tibyān’ (penjelasan).
Dalam melakukan identifikasi makna, dilakukan melalui cara
mentakwil (al-ta’awwul) yakni sebuah upaya yang dilakukan
melalui proses penghayatan dan pengamalan (al-takhalluq)
baik lahir maupun batin terhadap hikmah (makna terdalam)
al Qur’an maupun dari sisi sastranya. Pengetahuan yang
lahir dari pengalaman dengan menggunakan pendekatan
interaktif tersebut merupakan metode mentakwil (al-ta’wîl)
yang ditemukan oleh setiap sufi yang melakukan eksperimen
dengan bimbingan ilmu, pengalaman lahir maupun batin.
Dengan alat mentakwil itu, para sufi pada hakekatnya telah
melakukan “penjelasan” (al-tibyān) di mana ia berusaha
melakukan pemindahan makna terhadap “apa yang
diketahuinya”, “apa yang diperhatikannya”, dan “apa yang
pernah dialamainnya” berdasarkan teks dan konteks-nya.

~127~
Apa yang dilakukan Shaykh Muhammad al Ghawth adalah
dalam rangka melakukan upaya tersebut. Oleh sebagian
ulama, terutama para Ulama Syar’i, cara atau metode takwîl
ini terkadang dianggap bertentangan dengan Syari’at karena
tidak memiliki batasan yang jelas, bahkan kerap dianggap
telah melampaui batasan-batasan Syar’i.

Adapun yang dimaksud dengan tradisi Yunani adalah


penggunaan ilmu astrologi (ilmu perbintangan) dalam
membaca berbagai macam doa atau amalan yang telah
ditentukan dengan menyesuaikan waktu-waktu terbit dan
tenggelamnya rasi bintang masing-masing. Khusus dalam
‫أ‬
menggunakan ‫االمس العظم‬, perhitungannya pun disesuaikan
dengan banyaknya huruf Hijaiyah dan jumlah angka
yang melambangkannya, bahkan lebih detail lagi dengan
mengkaitkannya dengan jumlah titik masing-masing huruf
dan jumlah tanda baca (harakat) pada setiap kalimat.
Metode-metode ini, jika kita lihat dari sisi dan pandangan
Ilmu Syari’at, tentu saja tidak sejalan dengan prinsip dasar
Syari’at Islam. Apalagi jika kita kembalikan pada al Qur’an
yang menjadi sumber utama ajaran Islam, seperti dalam QS.
al-Baqarah (2): 186 berikut ini:
ّ ‫َوإ َذا َس َأ َل َك ع َباد ْي َع نِّ ْ� َفإ نِّ ْ� َقر ْيب ُأج ْي ُب َد ْع َو َة‬
ْ ‫الد ِ ي‬
‫اع‬ ِ ِ ‫ي ِ ي‬ ِ ِ ِ
)681 :‫ا� (البقرة‬ ْ‫ِإ َذا َد َع ِ ن ي‬
Ayat tersebut menyatakan, bahwa manusia itu berposisi
dekat sekali dengan Tuhannya. Allah akan menjawab dan
mengabulkan setiap doa yang dipanjatkan oleh setiap hamba-
Nya.

~128~
Demikian juga dalam surat yang sama ayat 115:
ُ ْ َ َّ َ‫َ ْ َ شْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ نَ َ ُ َ ُّ ْ َ ث‬
)511 :‫�ق والغ ِرب فأي�ما تولوا ف� وجه هللاِ (البقرة‬ ِ ‫وهللِ ال‬
Allah menyatakan bahwa ke mana saja manusia
menghadap maka manusia akan berjumpa dengan Tuhan-
Nya. Jadi, tidak harus tergantung pada suatu arah planet
maupun satuan waktu-waktu tertentu, karena semuanya
secara keseluruhannya berada dalam alam kekuasaan Allah.
Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa ulama sufi umumnya
memang tampak bersifat luwes dalam mengamplikasikan
beberapa aspek substansi Islam, khususnya terkait dengan
ajaran tatacara berdoa ini. Dalam artian, mereka lebih
mengedepankan tujuan tercapainya substansi ajaran tersebut
ketimbang metode dan tatacara yang dilakukan menuju ke
arahnya. Apalagi dalam beberapa hal, Shaykh Muhammad
al-Ghawth al-Hindi terlihat begitu toleran dan akomodatif
terhadap tradisi. Tentu saja hal itu tak lepas dari pengaruh
guru-gurunya semisal Shaykh Huduri yang kerap ia sebut
ُ ْ ‫) ُس ْل َط ُان‬. Selain itu,
sebagai pemimpin ajaran tauhid (�‫ال َو ِّح ِد ْ ي ِ ن‬
ia juga dipengaruhi oleh karya-karya ulama lainnya semisal
‘Awārif al-Ma’ārif karya al-Suhrawardi, al-Sirāj fî al-Mîrāth
li-Shaykh Sirāj al-Dîn al-Sajawandî al-Ḥanafî karya Shaykh
Jamaluddin Yunus al-Sajawandi, dan Shams al-Ma’ārif karya
al-Buni, Iḥyā’ ‘Ulūmuddîn karya Imam al-Ghazali, dan karya-
karya lainnya.

Dengan memperhatikan 41 jenis al-Ism al A’zam beserta


sejumlah tehnik dan tatacara perhitungan huruf-huruf
pembentuknya dan syarat yang kerap dikaitkan dengan

~129~
berbagai khasiat dan keampuhan membacanya, sekilas
tampak mirip dengan mantra dan jampe-jampe magis masa
pra-Islam. Agak sulit dibedakan antara ritual sufi yang
murni dengan praktek perdukunan dan pengajaran ilmu
kesaktian. Praktek penggunaan amalan-amalan tertentu
sebagai ajaran tarekat dengan tujuan-tujuan magis semacam
itu, memang bukan hal yang baru, karena beberapa shaykh
tarekat di Timur Tengah dan India juga kerap berprofesi
sebagai tabib sekaligus sebagai ulama yang memiliki ilmu
hikmah yang kerap didatangi masyarakat untuk berobat dan
menyembuhkan berbagai penyakit.

Pada beberapa tarekat selain Shattariyah juga memang


kerap kita jumpai, di mana bacaan-bacaan doa, zikir, wirid,
dan ratib tertentu bila diamalkan, diyakini memiliki khasiat-
khasiat magis. Pada masa-masa perjuangan melawan
panjajahan, shaykh-shaykh tarekat biasanya juga terlibat
dalam perang jihad melawan kekuasaan penjajah yang mereka
anggap sebagai kaum kafir, Shaykh Yusuf al-Makassari, Shaykh
Asnawi Menes, Shaykh Ahmad Rifa’i Kali salak, dan lain-lain
sehingga untuk menambah keyakinan dan kekuatan serta
motivasi perlindungan dari Yang Maha Kuasa, dicarikanlah
bacaan-bacaan tertentu sebagai doa yang dipanjatkan dalam
rangka berserah diri sepenuhnya kepada Allah swt. Jadi,
kalaupun ada yang kemudian menggunakannya untuk tujuan
magis (kekebalan dan kesaktian), maka itu sebenarnya
hanyalah akibat sampingan saja, bukan tujuan utamanya.

Dalam tarekat Rifaiyah misalnya, zikir yang dilakukan


hingga mencapai ekstase atau mabuk dalam berzikir kepada

~130~
Allah, kerap membuat para pelakunya tak mempan ditusuk
dengan pisau, golok, paku dan benda-benda tajam lainnya.
Tentunya, di masa perjuangan amalan itu digunakan agar
tidak mempan oleh senjata api milik musuh, namun amalan
itu kemudian juga kerap digunakan untuk pertunjukkan
debus di Banten. Demikian juga halnya dengan zikir diam
disertai dengan latihan pernafasan dan bacaan wirid tertentu
yang dilakukan para pengikut tarekat Naqsyabandiyah di
Sulawesi dan Lombok yang khasiatnya berfungsi untuk
menangkal rasa sakit, kebal terhadap senjata tajam dan anti
peluru. Dalam hal ini, tentunya akibat dari proses peresapan
unsur-unsur lokal berupa praktek-praktek magis pra-Islam
ke dalam ajaran tarekat itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, teks kitab al-Jawāhir al-Khamsah


yang telah disunting, disamping membahas tiga substansi
utama ajaran tarekat Shattariyah, juga memberikan informasi
kepada kita tentang berbagai aspek kehidupan masa lampau
yang pernah terjadi dan berlaku. Aspek-aspek kehidupan masa
lampau yang dimaksud mencakup aspek politik, ekonomi,
sosial, budaya dan keagamaan. Meski secara dominan, naskah
kitab al-Jawāhir al-Khamsah mengandung teks tentang
ajaran tasawuf, namun sejalan dengan perkembangannya
banyak unsur-unsur lokal juga turut mewarnai praktek dari
ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Shaykh Muhammad
al-Ghawth al-Hindi bersama murid-muridnya. Namun
demikian, para penganut tarekat tampaknya tetap cenderung
memandang bahwa ajaran dan amalan tarekat yang mereka
terima tidak pernah berubah, melainkan diturunkan secara
berkesinambungan dari waktu ke waktu melalui guru atau

~131~
syakhnya. Akan tetapi, dari penjelasan di atas dapat kita lihat
bahwa banyak sekali faktor lokal atau iklim sosial-intelektual
zamannya yang mempengaruhi, meskipun unsur-unsur itu
terkadang terkesan bertentangan dengan Syari’at. Contohnya,
unsur ilmu perbintangan yang kerap dibahas pada materi
tehnik dan kreasi berdoa.

Demikian juga penggunaan sistem kronogram untuk


‫أ‬
menentukan banyaknya jumlah doa ‫ االمس العظم‬harus dibaca
dan disesuaikan dengan tujuan dan keperluan (khasiat)
nya. Ditambah dengan sejumlah khasiat tertentu yang
dikhususkan untuk bacaan-bacaan tersebut, misalkan untuk
menundukkan sultan atau raja, menangkal sihir, membuat
gambar burung dapat terbang, dapat berjalan di air, untuk
menundukkan musuh, menambah rasa cinta wanita yang
dirindukan atau sebaliknya, mencapai keperluan yang
diinginkan, dan sebagainya. Semua itu merupakan khasiat
yang memang sengaja dibuat sebagai refleksi dari kondisi
sosial masyarakat yang memang memerlukannya waktu itu.

Untuk menambah keyakinan si pembacanya, doa yang


dipanjatkan juga kerap ditulis dalam sebuah cincin, kertas,
kulit rusa, atau wadah lainnya dalam bentuk wafak, yakni
tulisan yang menggunakan simbol-simbol dalam bahasa
Arab baik berupa angka, huruf-huruf Hijaiyah, gambar,
maupun kombinasi ketiganya dan diyakini memiliki khasiat
atau kekuatan tertentu yang kerap dianggap sebagai azimat.
Padahal, sebenarnya wafak yang kerap dianggap sebagai
azimat itu bila dilihat secara matematis tidak memiliki
kekuatan apa-apa, karena ia hanyalah merupakan susunan

~132~
bilangan dari persegi ajaib (magic square) yang dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh jenis, yakni persegi semi-
ajaib (semi-magic square), persegi-ajaib sempurna (perfect
magic square), persegi ajaib simetris (symetric magic square),
persegi ajaib konsentrik (bordered), persegi ajaib nol (zero
magic square), persegi ajaib perkalian (geometric) dan
persegi ajaib penjumlahan-perkalian (addition-multiplication
magic square).

Kandungan teks kitab al-Jawāhir al-Khamsah terkait


tehnik kreasi berdoa (‫ )فن الدعوة‬beserta khasiat-khasiat yang
dikandungnya inilah yang kemungkinan besar mendorong
Shaykh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani terdorong
untuk menyalinnya, karena sangat dibutuhkan dan sesuai
dengan kondisi masyarakat dan kesultanan Banten yang
tengah menghadapi masa-masa keruntuhannya akibat
tekanan kompeni Belanda pada akhir abad ke-18 Masehi.
Bahasan ini akan dipaparkan pada bab berikutnya.

~133~
~134~
Bagian Kelima
(Penutup)

~135~
~136~
KESIMPULAN

Berdasarkan penelusuran atas manuskrip al-Jawahir al-


Khamsah yang telah dilakukan telah ditemukan 5 manuskrip.
Kelima manuskrip al-Jawahir al-Khamsah itu adalah: dua
manuskrip koleksi PNRI yang masing-masing berkode dan
nomor A 37 dan A 42, satu manuskrip koleksi Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda dengan kode dan nomor Cod. Or
7201, serta dua manuskrip al-Jawahir al-Khamsah dari Timur
Tengah masing-masing manuskrip A–MSS-07150 koleksi al-
Maktabah al-Wathaniyyah Republik Tunisia, dan manuskrip
digital dengan kode 981 ‫خ‬.‫ ج‬berasal dari Perpustakaan
Universitas King Sa’ud 1957, Saudi Arabia.

Setelah melakukan pertimbangan dari berbagai sisi,


manuskrip A (A 37) telah dipilih sebagai teks suntingan,
dengan alasan: pertama dari segi keterbacaan, manuskrip
A memiliki kesalahan yang paling minim dibanding
kedua manuskrip lainnya. Kedua, catatan tambahan yang
melengkapinya, memiliki nilai historis yang dapat dijadikan
untuk melacak latar belakang penyalinan manuskrip,
sekaligus menjadi acuan dalam melacak konteks manuskrip
di Banten. Ketiga, meski hanya merupakan juz pertama

~137~
dari teks al-Jawahir al-Khamsah, namun kandungan isinya
dipastikan terkait dengan kondisi keagamaan, sosial, dan
politik masyarakat Banten abad XVIII yakni berkaitan dengan
masalah ibadah, zuhud, dan tehnik dan kreasi berdoa.
Adapun tema yang disebut terakhir merupakan bahasan
dominan karena berisi amalan-amalan berupa 41 macam
al-ism al-a’zam yang sangat diperlukan masyarakat Banten
yang saat itu tengah terpuruk akibat tekanan dari penjajah
Belanda. Adapun bagian kedua teks al-Jawahir al-Khamsah
(al-Jawhar 4-5) mengandung ajaran ritual tarekat Shattariyah
yang agak rumit, bahkan agak kontroversial, yakni tentang
tatacara berzikir yang juga mengadopsi metode Yoga dalam
agama Hindu, tata cara mencapai 10 tingkatan (maqamat)
dan 10 metode konsentrasi tarekat Shattariyah (al-Ashgal al-
Shathari) agar dapat berjumpa dengan Allah (mushahadah)
atau melihat Yang Mahabenar (ru’yat al-haqq). Adapaun
bagian kedua itu tidak dibahas di buku ini.

Secara garis besar, teks al-Jawahir al-Khamsah merupa­


kan intisari hasil-hasil pengalaman olah batin (al-riyadah
al-batiniyyah) yang dilakukan Shaykh Muhammad al-
Ghawth al-Hindi (wafat. 970H/1563M) dengan bimbingan
gurunya, Shaykh Zuhur al-Haj Huduri, selama lebih dari
13 tahun. Kitab ini sekaligus menjadi pegangan bagi para
murid tarekat Shattariyah yang ingin mendalami Jalan
Tasawuf. Teks al-Jawahir al-Khamsah pada hakekatnya
merupakan karya pelengkap dari dua karya shaykh tarekat
Shattariyah sebelumnya, yakni Lata’if al-Ghaybiyyah karya
Shaykh ‘Abdullah al Shathar (wafat. 890/1485M) dan Risalah
Shathtariyah karya Shaykh Baha’uddin (wafat. 921/1515-

~138~
16). Meski keduanya berbicara tentang tiga konsep utama
dalam tarekat Shattariyah, yakni tentang Abrar, Akhyar,
dan Shattar, namun kedua karya itu masih terlalu umum
dalam menjelaskan metode dan tata cara mencapai ketiga
martabat tersebut. Teks al-Jawahir al-Khamsah hadir dengan
memberikan penjelasan lebih rinci dan praktis ketiga konsep
tersebut, sehingga para salik memperoleh kemudahan dalam
mempraktekkannya.

Shaykh Muhammad al Ghawth al Hindi menjelaskan


bahwa pencapaian derajat Abrar dapat dilakukan dengan
melakukan ibadah-ibadah fisik (al-‘ibadah al-zahiriyah)
seperti shalat dan puasa baik yang wajib maupun yang
sunnah. Derajat Akhyar dapat dicapai dengan melakukan
latihan olah batin berupa zuhud dan melakukan tehnik serta
kreasi berdoa dengan menggunakan al-Ism al-A’zam. Adapun
derajat Shattar dapat ditempuh melalui latihan pernafasan
dalam berzikir yang bermacam-macam namanya, serta
melakukan latihan konsentrasi berupa 10 langkah al-Ashghal
al-Shattari. Penjelasan rinci terkait tema yang terakhir ini
terdapat pada al-Jawahir al-Khamsah juz 2 yang tidak dibahas
dalam buku ini.

Adapun yang dimaksud dengan ibadah zahir adalah shalat,


puasa, zakat, dan ibadah haji, baik yang wajib maupun yang
sunnah dengan diikuti bacaan-bacaan doa khusus dan zikirnya
masing-masing. Jika semua ibadah fisik itu dilakukan dengan
sempurna, maka akan tercapai derajat abrar (kebajikan)
sesuai dengan janji Allah dalam QS. Al Infitar (82): 13. Jadi
upaya membiasakan melakukan ibadah zahir merupakan

~139~
langkah awal bagi seorang murid dalam menempuh Jalan
Tasawuf. Dari sini dapat juga kita pahami bahwa shari’at
adalah syarat mutlak yang harus ditempuh setiap murid
dalam Tarekat. Meski terkadang kita temukan adanya nama-
nama shalat sunnah yang terkesan ‘agak aneh’ menurut
pandangan ahli fikih (fuqaha), semacam: shalat syukur
pagi (salat li-shukri al-shabah), shalat mohon perlindungan
(salat al isti’adhah), shalat cinta (salat al-hub), shalat syukur
untuk kedua orang tua (salat li shukri al walidayn), shalat
tergelincirnya matahari (salat zawal al-shams), shalat minta
dicintai (Istihbab), shalat sunnah mensyukuri malam (salat
li shukri al-layl), shalat mohon kesembuhan (salat li shifa’i
al marid), shalat pengganti Jum’at (shalat qada al-Jum’at),
shalat hati (salat al-qalbi), shalat orang-orang yang rindu
(salat al-‘Ashiqin), shalat untuk menerangi kubur (salat li
tanwir al-qubr), shalat denda (salat al-kifarat), dan lain-lain.
Semua bentuk shalat-shalat sunnah tersebut kemungkinan
digolongkan ke dalam bentuk shalat sunnah mutlak, di mana
pelaksanaannya boleh dilakukan kapan saja sesuai niat dan
tujuannya.

Zuhud merupakan langkah kedua yang harus ditempuh,


yaitu upaya olah batin (al-riyadah al-batiniyah) sebagai
jalan terbaik (tariq al-akhyar) untuk mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah. Upaya itu dapat dilakukan melalui
beberapa langkah, yaitu dengan memahami terlebih dahulu
bersitan-bersitan yang ada dalam batin dengan bimbingan
guru atau pembimbing tarekat (murshid). bersitan-bersitan
yang dimaksud adalah: 1) Bersitan Setan (al khatirat al
shaytaniyyah); 2) Bersitan Nafsu (al-khaṭirat al nafsaniyah);

~140~
3) Bersitan Malaikat (al khaṭirat al mulkiyah); 4) Bersitan
Ruh (al khaṭirat al ruhiyah).

Untuk mengalahkan bersitan setan dengan memfokuskan


diri memperbanyak mengucap kalimat tamjid. Untuk me­
nga­lah­
kan bersitan nafsu dengan memfokuskan diri dan
memperbanyak mengucap kalimat istighfar dan surat al Ikhlas.
Untuk mengalahkan bersitan malaikat dengan memfo­kuskan
diri memperbanyak kalimat tasbih. Dan untuk mengalahkan
bersitan dunia ruh dengan memfokuskan diri memperbanyak
kalimat tahlil. Seseorang yang telah mencapai derajat zahid
disebut sebagai akhyar. Hal ini sebagaimana janji Allah dalam
QS. Saad (38):47.

Untuk mempercepat pencapaian level zahid dengan


membiasakan membaca doa-doa khusus seperti: doa untuk
membuka hati, doa kimiya al-sa’adah, doa mohon dikabulkan
permohonan (du’a al-istijabah), doa untuk menyingkap cahaya
ketuhanan, doa untuk mengangkat segala penyakit lahir dan
batin, doa Basmakh (agar terhindar dari segala gangguan
ketika sedang menjalankan amalan khusus), serta berbagai
doa lainnya yang ditujukan untuk menjaga konsistensi dalam
melaksanakan segala proses zuhud dan menghindari segala
godaan dan ujian. Semua doa yang diajarkan selalu diakhiri
dengan doa penutup khusus. Selain itu, ada juga doa agar
kita dapat bermimpi melihat Allah swt., dan doa agar selalu
merasa berdekatan dengan Allah swt.

Beberapa tata cara berdoa dan syarat-syarat yang harus


dipenuhi sebagaimana dijelaskan pada permata ketiga adalah

~141~
memiliki pengetahuan tentang permohonan agar cepat
dikabulkan. Agar doa lekas dikabulkan, selain harus tetap
melaksanakan amal kebajikan, juga harus terus menyibukkan
diri berdoa dengan menggunakan nama-nama Allah yang
tepat, karena di dalamnya tersimpan rahasia-rahasia yang
tidak banyak diketahui. Untuk itu, seorang murid harus
mengetahui dan mempelajari seni (kreasi) berdoa dari
guru yang kompeten (murshid), terutama terkait esensi
yang terkandung dari tiap-tiap nama-nama Allah. Adapun
metode kreasi berdoa memiliki syarat-syarat tertentu yang
harus dipenuhi antara lain: pertama, menggunakan metode
hisab al-jumal, yakni perhitungan yang dihasilkan dari
penjumlahan bilangan-bilangan yang dilambangkan dengan
huruf Hijaiyah, Kedua, mengetahui khasiat khusus masing-
masing isim melalui perhitungan jumlah yang bersesuaian
dengan salah satu gugusan (rasi) bintang yang berjumlah
12, caranya dengan mengumpulkan huruf-huruf dari
Nama-Nama Allah Yang Agung (al-Asma’ al-A’zam) dengan
menghitung jumlahnya, lalu dikurangi angka 12, sedangkan
sisanya dikembalikan dari gugusan bintang pertama hingga
habis sisa angka tersebut, dan gugusan bintang tersebut
itulah khasiat isimnya. Jika tidak cocok atau tidak sesuai
dengan aturan ini, maka berkuranglah pengaruh doa yang
disyaratkan tersebut.

Dalam konteks India pada abad XVI-XVII, keberadaan


tarekat Shattariyah terkait erat dengan proses Islamisasi
yang tengah dilakukan. Dalam prakteknya, tarekat
Shattariyah diarahkan untuk meningkatkan nilai moral
dan praktek spiritual. Usaha tersebut dilakukan melalui

~142~
penyebaran berbagai ajaran Islam yang juga mengadaptasi
atau menyesuaikan diri dengan tradisi dan ritual masyarakat
setempat yang umumnya masih banyak dipengaruhi ajaran
dan ritual Hindu. Usaha ini kemudian menuai sukses, karena
banyak menarik pihak non-muslim melakukan konversi ke
dalam Islam dan memajukan organisasi tarekatnya. Namun
di lain sisi, usaha tersebut justru melahirkan beberapa ritual
tarekat yang bersifat sinkretis, karena memadukan konsep
ritual Islam dengan tradisi di luar Islam. Dalam konteks ini,
khususnya ketika membahas permata ketiga tentang kreasi
berdoa dan tatacaranya, Shaykh Muḥammad al-Ghawth al-
Hindî tampak begitu akrab dengan unsur-unsur yang berasal
dari Arab pra-Islam, Persia, bahkan tradisi Yunani.

Hal itu antara lain tercermin pada tatacara dan kreasi


berdoa yang dikaitkan dengan tatacara perhitungan
berdasarkan ḥisāb al-jumal atau yang kerap disebut
kronogram (penghitungan huruf-huruf ‘Arab beserta tanda
bacanya sebagai lambang dari sejumlah angka-angka).
Perhitungan tersebut sengaja digunakan untuk mengetahui
seberapa banyak doa dengan menggunakan kumpulan
Nama-Nama Allah Yang Maha Agung (al-Asmā al-‘Iẓām) itu
harus dibaca. Praktek semacam itu jelas akibat dari pengaruh
Arab pra-Islam, karena penggunaan perhitungan huruf-huruf
Hija’iyyah sebagai lambang angka-angka tertentu memang
telah berkembang sejak sebelum Islam datang. Apalagi jika
tiap huruf Hija’iyyah dipercayai sebagai lambang dari satu
Malaikat atau Nabi tertentu, maka jelas kepercayaan semacam
ini bertentangan dengan Islam.

~143~
Pada sisi ini, unsur kepercayaan Persia tampaknya juga
telah mempengaruhi ajaran atau tatacara yang digunakan
Shaykh Muhammad al Ghawth dalam mempraktekkan
keutamaan mengamalkan al-Ism al-A’zam, karena pada bagian
lain dalam kreasi berdoa itu, ia juga kerap menggunakan
bahasa dan istilah-istilah dari bahasa Parsi.

Adapun pengaruh tradisi Yunani tampak dengan diguna­


kannya ilmu perbintangan (astrologi) untuk keperluan
memanjatkan doa. Dalam hal ini, seseorang yang ingin agar
doanya cepat dikabulkan maka harus menyesuaikannya
dengan waktu-waktu terbit dan tenggelamnya rasi bintang
setelah sebelumnya terlebih dahulu mengkonversi hitungan
bilangan yang melambangkan huruf-huruf Hijaiyah dari
tiap-tiap al-Ism al-Azam. Metode tersebut agak mirip dengan
apa yang dewasa ini kerap disebut sebagai ramalan bintang
(zodiac). Padahal, fungsi utama zodiak hanyalah semacam
peta posisi matahari di angkasa, bukan sebagai penentu nasib
seseorang. Karena zodiak merupakan bagian dari astronomi
(ilmu untuk memahami bagaimana suatu evolusi ataupun
pergerakan benda langit dapat terjadi), bukan bagian dari
astrologi.

Bagi Shaykh Muhammad al-Ghawth, penggunaan kedua


ilmu bantu tersebut (kronogram dan astrologi) tidak berten­
tangan dengan syari’at, karena menurutnya itu hanyalah
usaha untuk mengungkap makna tersirat (ma’na batin) dari
yang ada di balik teks yang tersurat (ma’na zahir) pada setiap
ayat-ayat Allah. Demikian juga halnya makna yang dikandung
pada al-Asma al-‘Izam. Unsur dalam (al-batin) adalah unsur

~144~
yang sebenarnya, bukan unsur luar, sebagaimana ruh bagi
jasad. Unsur batin hanya dapat diketahui oleh orang yang
memiliki pengetahuan terkait dengannya, dan tidak semua
orang dapat mengungkapnya.

Terkait dengan hal itu, sebagian ulama tasawuf memang


berpendapat bahwa ilmu hakekat hanya dapat diperoleh
melalui jalan latihan batin, dan setiap ayat maupun hadits
mengandung unsur-unsur lahir maupun batin. Untuk meng­
ungkap dan memperoleh unsur dan makna batin tersebut
tidak ada jalan lain kecuali dengan cara takwil (mengungkap
makna yang tersirat dari makna tersurat). Atau yang
belakangan kerap disebut al-tafsir al-ishari (menafsirkan
makna tersirat dari makna tersurat) sebagaimana yang
kerap dilakukan oleh para ulama sufi. Menurut Muhammad
al-Mustafa Azzam, mentakwil (al-ta’awwul) merupakan
sebuah upaya identifikasi makna yang dilakukan melalui
proses penghayatan dan pengamalan (al-takhalluq) baik
lahir maupun batin terhadap hikmah (makna terdalam)
al-Qur’an maupun dari sisi sastranya. Pengetahuan yang
lahir dari pengalaman dengan menggunakan pendekatan
interaktif tersebut merupakan metode mentakwil (al-ta’wil)
yang ditemukan oleh setiap sufi yang melakukan eksperimen
dengan bimbingan ilmu dari para murshidnya yang sangat
menekankan pengalaman lahir maupun batin. Dengan alat
mentakwil itu, para sufi pada hakekatnya telah melakukan
“penjelasan” (al-tibyan) di mana ia berusaha melakukan
pemindahan makna terhadap “apa yang diketahuinya”, “apa
yang diperhatikannya”, dan “apa yang pernah dialamainnya”
berdasarkan teks dan konteks-nya. Apa yang dilakukan

~145~
Shaykh Muhammad al Ghawth adalah dalam rangka melaku­
kan upaya tersebut.

Salinan manuskrip al-Jawahir al-Khamsah yang disunting


oleh Shaykh Abdullah bin ‘Abdul a Qahhar al-Bantani yang
sempat bermukim dan belajar di Makkah dan Madinah
selama 3 tahun. Ulama Banten keturunan Arab ini sempat
belajar kepada Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Tabari, putra ‘Ali
al-Tabari yang juga guru dari Shaykh Yusuf al-Makassari dan
Shaykh ‘Abd al-Ra’uf bin ‘Ali al-Jawi

Shaykh Abdullah bin ‘Abdul al-Qahhar al-Bantani adalah


ulama Banten keturunan Arab yang memiliki reputasi
menonjol. Selama di Makkah ia tidak hanya belajar kepada
sejumlah ulama, melainkan juga sempat mengajar sejumlah
murid yang ingin belajar kepadanya. Berdasarkan sejumlah
manuskrip yang telah ditemukan, murid-muridnya antara
lain berasal dari wilayah Melayu-Nusantara. Sekembalinya
dari Makkah, dialah satu-satunya ulama yang bertanggung
jawab menyebarkan tarekat Shattariyah ke daerah Banten
dan sekitarnya pada paruh kedua abad 18 M, jauh setelah
kematian Shaykh Yusuf al-Makassari. Pengaruh ulama ini
antara lain dapat ditelusuri hingga wilayah Bogor, Sukabumi,
Cianjur, Cirebon, dan sekitarnya. Bahkan terdapat manuskrip
yang menyatakan bahwa muridnya juga berasal dari
Mindanao, Philipina Selatan.

Dari Shaykh ‘Abd Allāh bin ‘Abd al-Qahhār inilah,


manuskrip al-Jawahir al-Khamsah kemudian diturunkan
kepada anak dan kemudian cucunya, yakni Shaykh Maḥmūd

~146~
bin ‘Abd Allāh dan Shaykh Muḥammad Ḥabîb bin ‘Abd Allāh bin
‘Abd al-Qahhār, mengingat sejumlah catatan pinggir yang ada
pada halaman awal dan akhir manuskrip (sebagaimana yang
telah dijelaskan pada bagian akhir bab 2) terkait langsung
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di kesultanan Banten
sekitar akhir abad XVIII.

Dalam kontek kesultanan Banten, teks al-Jawahir al-


Khamsah disalin dalam suasana di mana kesultanan tengah
memasuki masa-masa keruntuhannya. Bila di India, tempat di
mana teks al-Jawahir al-Khamsah ditulis oleh pengarangnya
bersamaan dengan masa-masa proses Islamisasi tengah
berlangsung dan berhadapan-hadapan dengan masyarakat
Hindu beserta ajaran dan tradisinya yang telah lebih dulu
ada, sedangkan di Banten, teks al-Jawahir al-Khamsah disalin
dalam suasana di mana kesultanan tengah menghadapi
tekanan politik dan militer yang makin kuat, bahkan
kekuasaan Belanda kian mendominasi kesultanan dan rakyat
secara umum. Kondisi itu membuat rakyat makin sengsara
dan menderita.

Pada sisi lain, proses pengislaman masyarakat Banten


wilayah pedalaman dimungkinkan juga masih terjadi pada
masa-masa itu, bersamaan dengan didirikannya pusat-pusat
pengajaran Islam berupa Pesantren-Pesantren oleh beberapa
ulama yang anti penjajah. Manuskrip al-Jawahir al-Khamsah
salinan dari Banten disalin sekitar akhir abad ke 18 M, atau
setidaknya pada pertengahan kedua abad ke 18 M. Yaitu pada
masa ketika Kesultanan Banten tengah sedang digerogoti
secara politik, ekonomi, sosial, maupun keagamaan, hingga

~147~
akhirnya berada di bawah kendali pemerintah kompeni
Belanda. Periode yang dimaksud adalah periode 1750-1830 di
mana Kesultanan Banten tengah mengalami krisis politik dan
ekonomi sehingga menimbulkan pemberontakan berskala
besar yang menyebar ke seluruh wilayah Kesultanan Banten.

Kondisi itu diperkeruh dengan adanya perpecahan di


kalangan kesultanan maupun di kalangan ulama. Pada kedua
belah pihak, ada kelompok yang cenderung memilih posisi
aman dengan berlindung di bawah proteksi pemerintah
kompeni Belanda dan Sultan. Ada juga yang bersikap
mengambil jarak, bahkan berposisi menetang segala kebijakan
yang dinilai merugikan kesultanan serta yang berakibat pada
penyengsaraan rakyat. Kaum ulama yang mengambil sikap
menentang kebijakan kompeni Belanda maupun sultan,
kemudian menyingkir ke daerah pedalaman, terutama ke
daerah Banten wilayah selatan untuk kemudian mendirikan
pesantren dan pusat tarekat. Tipe ulama seperti ini biasanya
ada yang nyata-nyata menonjolkan penentangan dan ketidak-
setujuannya dengan pihak istana dengan memobilisasi massa
dan mengangkat senjata. Hal ini seperti yang ditunjukkan
Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang. Ada pula tipe ulama yang
tidak menunjukkan secara nyata penentangannya terhadap
kompeni Belanda maupun Sultan, tetapi tetap menyingkir
dari istana dan tidak mau lagi berhubungan dengan segala
yang terkait dengan urusan kesultanan. Shaykh Abdullahh
bin Abd al-Qahhar al-Bantani adalah termasuk tipe ulama
seperti yang disebut terakhir. Periode ini adalah periode di
mana para Shaykh tarekat mulai menanamkan benih-benih
persatuan dan merekrut murid-murid yang mumpuni,

~148~
sebelum kemudian menemukan momentum untuk mem­
bentuk semacam organisasi gerakan massa yang lebih besar.

Dari 41 al-asma al-’izam yang mendominasi bahasan


keseluruh­an teks

Al-Jawahir al-Khamsah (dibahas dalam 80 halaman)


khususnya pada “permata ketiga” (al-Jawhar al-Thalith),
aspek isim-isim inilah yang diduga kuat kerap diamalkan
dan dipraktekkan di Banten pada akhir abad 18M, bahkan
pengamalannya dimungkinkan terus dilakukan hingga kini.
Hal itu, tentu saja didasarkan pada kondisi sosial, politik,
ekonomi, dan semangat keagamaan yang dimiliki masyarakat
Banten yang sudah dikenal sejak zaman penjajahan. Di
antara 41 isim yang telah dijelaskan pada suntingan teks
dan terjemahan, di antara khasiatnya masing-masing ada
yang bersifat spesifik karena substansinya ditujukan untuk
keperluan peningkatan keimanan, ma’rifat dan zuhud serta
untuk memperkuat posisi kekuasan bagi seorang raja atau
sultan. Adapun yang sebagian lainnya, ada juga isim yang
kerap digunakan untuk keperluan menghadapi musuh,
memperoleh ilmu kekebalan, ilmu hikmah, ilmu laduni, untuk
pemikat, bahkan isim untuk menanam padi dan lain-lain.

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, meski


manuskrip al-Jawahir al-Khamsah secara substansi merupa­
kan manuskrip yang memuat ajaran-ajaran Tasawuf, namun
manuskrip ini juga dimanfaatkan masyarakat (setidaknya
di wilayah kesultanan Banten sekitar abad 18M) sebagai
salah satu referensi tatkala menghadapi tekanan penjajah
Belanda. Karena di antara isinya juga mengandung amalan-

~149~
amalan untuk kekebalan tubuh, amalan agar dapat meng­
hilang, amalan agar dapat bertemu sultan, amalan untuk
menundukkan raja dan musuh, amalan penangkal sihir dan
guna-guna, serta amalan-amalan umum lainya. Jadi, ternyata
di samping berfungsi untuk tujuan keagamaan, teks al-
Jawahir al-Khamsah juga berfungsi sosial dan politik. Dengan
kata lain, teks al-Jawahir al-Khamsah begitu aktual pada
masa-masa akhir kesultanan Banten.

Adapun pengaruh teks al-Jawahir al-Khamsah terhadap


teks-teks Shattariyah lainnya yang ada di Banten, khususnya
terkait praktek zikir, setidaknya dapat dilihat pada manuskrip
Futuh al-Asrar fi Fada’il al-Tahlil wa al Adhkar (A 131-i) dan
Fathu al-Muluk li yasila ila Malik al-Muluk ‘ala qa’idah Ahli
al-Suluk (A 111) yang merupakan karya Shaykh ‘Abdullah bin
‘Abd al-Qahhar. Demikian juga pada manuskrip-manuskrip
milik Sultan Abu al-Mafakhir Muhammad ‘Ali al Din (1777-
1802) dapat ditemukan sejumlah pengaruh teks al-Jawahir
al-Khamsah, khususnya mengenai keutamaan zikir dengan
menggunakan al-Asma al-Husna, yakni manuskrip yang
berjudul Kitab al-Dhikr atau Dhikr fi Khulasfat al-Mafakhir (A
73), manuskrip Majmu’at al-Ad’iyah wa Ghayruha (A 66), dan
manuskrip Hikayat al-Bara’ah (A 118).

***

~150~
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an
Kitab-kitab Hadis (dikutip dari Al-Maktabah Al-Shāmilah)

al-Athqalani, Ibnu Hajar, Fathu al-Bari li-ibn Hajar, juz VII.

Al-Bukhārî, Ṣaḥîḥ Al-Bukhārî, Jilid I.

Muslim b. al-Ḥajjāj Abū al-Ḥusain al-Qusyairî an-Nîsābūrî, Ṣaḥîḥ Mus-


lim, Taḥqiq, Muḥammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqî. Jilid 4. Beirut:
Dār Iḥyā’ at-Turās\ al-‘Arabî, tt.

Manuskrip:

al-Qahhār, Abd Allāh bin ‘Abd, Fatḥ al-Muluk li-yasila ilā Malik al-Muluk
‘alā Qā’idati Ahli al-Suluk, A 111, Koleksi PNRI.

____________, Mashāhid al-Nasik fî Maqām al-Sālik, A 31d, Koleksi PNRI.

____________, Risālah fi Shurūṭ al-Ḥajj, teks ke-4 dalam naskah A 131,


Koleksi PNRI.

Anonim, Kitāb al-Dhikr atau “Dhikr fî khulāṣat al-Mafākhir” , A 73,


Koleksi PNRI.

____________, Hikayat al-Bara’ah, A. 118, Koleksi PNRI.

____________, Majmu’at al-Ad’iyah wa-Ghayruhā, A. 66, Koleksi PNRI.

Bahā’uddîn, Risālah Shaṭṭāriyah, Naskah koleksi HMA. Tihami, desa


Pontang, Serang, Banten.

~151~
Khaṭir al-Dîn al-‘Aṭṭār, Muḥammad ibn, al-Jawāhir al-Khamsah, A 37,
Koleksi PNRI.

_____________, al-Jawāhir al-Khamsah, A 42, Koleksi PNRI.

_____________, al-Jawāhir al-Khamsah, Cod. Or. 7201, Universitas Leiden,


Belanda.

_____________, al-Jawāhir al-Khamsah, A–MSS-07150, al-Maktabah


al-Waṭaniyyah, Republik Tunisia.

_____________, al-Jawāhir al-Khamsah, ‫ج‬.‫ ح‬189, Perpustakaan Universitas


King Sa’ud 1957, Saudi Arabia.

Buku dan Artikel:

Abdullah, Taufik, dan Abdurachman Surjomihardjo (ed.), 1985, Ilmu


Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta: PT.
Gramedia.

Aceh, Abu Bakar, 1996. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ra-
madhani, cet. Ke- 10

Adiwimarta, Sri Sukesi dkk., 1997, Pendar Pelangi: Buku Persembahan


untuk Prof. Dr. Achadiati Ikram, Jakarta: FS-UI dan Yayasan
Obor Indonesia.

Aliviana, Rosy dan Abdussakir, 2012, “Analisis Matematik terhadap Az-


imat Numerik” dalam Jurnal CAUCHY, Vol.2, No.2, Mei 2012,
ISSN: 2086-0382, h. 105-114.

Ambary, Hasan Muarif, 2001, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis


dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

______________, 1995, “Agama dan Masyarakat Banten” dalam Sri Sutjian-


ingsih (peny.), Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra, Jakarta:
Dep. P&K Dirjend. Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyel Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional.

~152~
al-Attas, Syed M. Naquib, 1970, The Misticism of Hamzah Fansuri, Kuala
Lumpur: University of Malaya Press.

Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-Akar Pemba-
haruan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, cet.
Ke-1.

______________, 2002, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktuali-


tas, dan Aktor Sejarah, Jakarta: Gramedia.

______________, 2004, “Naskah dan Rekonstruksi Sejarah Sosial-Intelek-


tual Nusantara”, Keynote Speech dalam Simposium Interna-
sional Pernaskahan Nusantara VIII & Munas Manassa III di
Wisma Syahida UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 26-28 Juli
2004.

______________, 2009, “Naskah Terjemahan Antarbaris Kontribusi Kreatif


Dunia Islam Melayu-Indonesia” dalam Henri Chambert-Loir,
Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakar-
ta: Kepustakaan Populer Gramedia.

‘Azzām, Muḥammad Muṣṭafā, 2010, al-Khiṭāb al-Ṣūfî bayna al-Taawwul


wa al-Ta’wîl, (Beirut: Mu’assasat al-Riḥāb al-Ḥadîthah li al-
Ṭibā’ah wa al-Nashr wa al-Tawzî’), cet. ke-1.

al-Baghdādî, Isma’îl Bāsya, 1951, Hadiyyat al-‘Ārifîn: Asmā’ al-Mu’allifîn


‘Athar al-Muṣannifîn, juz I, Istambul: Milli Egitim Basimevi.

Baried, Siti Baroroh dkk., 1994, Pengantar Teori Filologi, Yogyakarta:


Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filolo-
gi Fakultas Sastra, UGM.

Behrend, T.E. (Ed.), 1998, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid


4, Perpustakaan Nasional RI., Jakarta: Yayayasan Obor Indo-
nesia dan EFEO.

Berg, L.W.C. van dan Friederich, R., 1873, Codicum Arabicorum in Bib-
lioteca Societatis Artium Scientiarum quae Bataviae Floret
asservatorum Catalogum, Den Haag: Witj & Nijhoff.

Berg, L.W.C. van den, 2010, Orang Arab di Nusantara, (Terj. Rahayu Hi-
dayat), Jakarta: Komunitas Bambu.

~153~
Brakel, L. F., 1975, The Story of Muhammad Hanafiyah, The Hague-Mar-
tinus Nijhoff.

Breugel, De Rovere van, “Bantam in 1786”, dalam BKI, hlm. 161, juga
153-154.

Brockelmann, Carl, 1949, Geschichte der Arabischen Literatur, Vol. I &


II, Leiden: E.J. Brill.

Bruinessen, Martin van, 1999, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Tr-
adisi-Tradisi Islam di Indonesia), Bandung: Mizan.

_______________, 1996, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Suvey Histo-


ris, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan.

Bulliet, R.W., 1979, Conversion to Islam in the Medieval Period, Cam-


bridge, Mass: Harvard University Press.

Chand, Tara, 1946, Influence of Islam on Indian Culture, Allahabad: The


Indian Press, Ltd.

Churchill, W.A., 1935, Watermarks in Paper in Holland, England, France,


etc., in the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection,
Amsterdam: Menno Hertzberger & Co.

Christomy, Tommy, 2011, “Ta’lif Syaikhuna al-Syaikh Haji ‘Abd al-Qah-


har al-Syaṭṭārī al-Bantani” dalam Titik Pujiastuti dan Tommy
Christomy (Peny.), Teks, Naskah dan Kelisanan Nusantara,
Festschrift untuk Prof. Achadiati Ikram, Depok: Yanassa.

Derryl N., 1989, Religion and Society in Arab Sind, London: Mac Lean.

Dipodjojo, Asdi S., 1996, Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah, Yo-


gyakarta: Lukman Ofset Yogyakarta

Drewes, G.W.J., 1969, The Admonitions of Seh Bari, The Hague-Martinus


Nijhoff, Published by the KITLV.

Djajadiningrat, Hoesein, 1983, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Bant-


en, Sumbangan bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah
Jawa, Jakarta: Djambatan.

~154~
Ekadjati, Edy S. (Peny.), 2000, Direktori Edisi Naskah Nusantara, Jakar-
ta : Yayasan Obor Indonesia dan Manassa.

Ernest, Carl W., 1999, Persecution and Circumspection in Shattārî Su-


fism In Islamic Mysticism Contested: Thirteen Centuries of De-
bate and Conflict, ed. Fred De Jong and Berndt Radtke, Islam-
ic History and Civilization. Leiden: E.J. Brill, p. 1-14.

____________, 2005, “Situating Sufism and Yoga”, (Reviewed works), da-


lam Journal of the Royal Asiatic Society (JRAS), Third Series,
Vol. 15, No. 1 (Apr, 2005), pp. 15-43, Cambridge University
Press.

____________, 2003, “The Islamization of Yoga in the Amrtakunda Trans-


lations”, dalam Journal of the Royal Asiatic Society (JRAS),
Third Series, Vol. 13, No. 2 (2003), pp. 199-226, Cambridge
University Press.

____________, 1996, “Sufism and Yoga According to Muhammad Ghawth,


dalam SUFI (published quarterly by Khaniqahi Nimatullahi),
41 Chepstow Place, London W2 4TS, England.

Fathurahman, Oman, 2008, Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks


dan Konteks, Jakarta: Prenada Media Group, Ḗcole Française
d’Extrême-Orient, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Jakarta.

______________, 2012, “Aceh, Banten, dan Mindanao”, Artikel Opini Repub-


lika edisi Jum’at, 9 Maret 2012 hlm. 4 dan

______________, 2012, Itḥāf al-Dhakî Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim


Nusantara, (Jakarta: Mizan Publika, EFEO, Yayasan Rumah
Kitab dan ISIF), cetakan pertama.

______________, 2009, “Penulis dan Penerjemah Ulama Palembang Men-


ghubungkan Dua Dunia” dalam Henri Chambert-Loir, Sadur
Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: Ke-
pustakaan Populer Gramedia.

______________, 2010, Filologi dan Islam Indonesia, Jakarta: Kemenag RI,


Balitbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan.

~155~
______________, 1999, Tanbîh al-Māsyî al-Mansūb ilā Tarîq al-Qusyāsyiyy,
Tanggapan as-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujūdi-
yyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi),
Bandung: Mizan.

______________, 2013, “Aceh, Banten, dan Mindanao 2 [plus Cirebon]”, da-


lam Republika khususnya pada rubrik Dialog Jum’at, Edisi
Jum’at, 23 Agustus 2013, h. 4.

al-Ghazālî, Abū Ḥāmid, Ihyā ‘Ulūm al-Dîn li- al-Imām al-Ghazālî, tt,
Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah, ‘I<sā al-Bābî al-Ḥalabî wa-
shurakāhu, tth.), juz I-IV.

______________, tth., al-Awfāq, Singapura, Jeddah, Indonesia: al-Ḥaramayn.

Guillot, Claude, Hasan M. Ambary and Jacques Dumarcay, 1996, The


Sultanates of Banten, Jakarta: Gramedia.

Gulen, Muhammad Fethullah, 2013, Tasawuf Untuk Kita Semua: Mena-


paki Bukit bukit Zamrud Kalbu Melalui Istilah-Istilah dalam
Praktik Sufi (terj. Fuad Syaifudin Nur), Jakarta: Republika.

Haig, Wolseley & Richard Burn, 1957, The Cambridge History of India:
The Mughal Period, Delhi-Jullundur-Lucknow: S. Chand & CO.
By Arrangement with the Cambridge University Press, Lon-
don, Vol. VI.

Hastings, James, (author) and John A. Selbie, (ed.), 2003, Encyclopedia


of Religion and Ethics, Part 21. Kessinger Publishing, LLC.

Heawood, Edward., 1950, Watermarks Mainly of the 17th and 18th Cen-
turies, (Monumenta Chartae Papyraceae Historiam Illustran-
tia, vol. I), Holland: The Paper Publications Society.

______________, 1950,“Watermarks Mainly of the 17th and 18th Centu-


ries” (Monumenta Chartae Papyraceae Historiam Illustrantia
or Collection of Works and Documents Illustrating the History
of Paper vol. I, General Editor : E.J. Labarre), Paper unpub-
lished, Holland: The Paper Publications Society Hilversum
(Holland).

~156~
______________, 1950, Historical Review of Watermarks, Amsterdam: Re-
printed from Dictionary & Encyclopaedia of Paper & Paper-
making Swets & Zeitlinger Publisher & Booksellers.

______________, 1924, “The Use of Watermarks in Dating Old Maps and


Documents”, (Reprinted from The Geographical Journal, Vol.
LXIII, pp. 391-410.

al-Ḥifnî, Abd al-Mun’im, 2003, al-Mawsū’ah al-Ṣūfiyyah (al-Kitāb al-


Shāmil li-‘A’lām al-Tasawwuf wa al-Munkirîn ‘alayh wa Ṭuruq
wa Lughah al-Ṣūfiyyah wa Muṣṭalahātihim mimmā yus-
ta’jamu ma’nāhu ‘alā ghayrihim), Kairo: Maktabah Madbūlá.

Hudaeri, Muhammad dkk., 2009, “Penyerapan Nilai-Nilai Budaya Lokal


dalam Kehidupan Beragama di Banten (Studi tentang Bu-
daya Lokal di Banten)” dalam “Anisatun Muti’ah dkk., Har-
monisasi Agama dan Budaya di Indonesia 1, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta)

al-Husni, ‘Ilm Jadahu Faidhullah, (tt.), Fatḥ al-Raḥmān li Ṭalabi Āyāt al-
Qur’ān, Bandung: Maktabah Dahlan.

Istadiyantha, 2011, “Problematika Penelitian Filologi: Tinjauan dari


Perspektif Edisi Teks dan Kajian Teks” dalam Manuskripta,
Jurnal Manassa Vol. 1, No. 2, 2011.

al-Jabarti, ‘Abd al-Raḥmān, (tt.), ‘Aja’ib al-Athār fî al-Tarājim wa al-Akh-


bār, 3 Jilid, Beirūt: Dār al-Fikr.

Johns, A.H., “Sufisme as a Category in Indonesian Literature and Histo-


ry”, JSAH, Vol.2, No. 2 (Jul. 1961): 10-23.

__________, “Islamization in Southeast Asia: Reflections and Reconsider-


ations with Special Reference to the Role of Sufism.” SAS,
Vol. 31, No. 1, (June 1993): 43-61.

__________, “Sufism in Southeast Asia: Refelections and Reconsider-


taions.” JSAS 26, I (March 1995): 169-183.

Jones, Russel, 1988, From Papermill to Scribe: The Lapse of Time, (Pa-
pers from the III European Colloquium on Malay and Indo-
nesian Studies (Naples, 2-4 June, 1981), Napoli: Instituto
Universitario Orientale.

~157~
Jumantoro, Totok dkk., 2012, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Amzah.

Kartodirdjo, Sartono, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888 Kondi-


si, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya: Sebuah Studi Kasus
Mengenai gerakan Sosial di Indonesia, (Terj. Hasan Basri),
Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Kaḥḥālah, ‘Umar Riḍā, (tt.), Mu’jam al-Mu’allifîn: Tarājim Muṣannifî


al-Kutub al-‘Arabiyyah, Beirūt: Dār al-Iḥyā al-Turāth al-‘Arabî,
juz 9.

Khalîfah, Ḥājî, 1996, Kashfu al-Ẓunūn’An Asāmî al-Kutub wa al-Funūn, 6


Jilid, Beirūt: Dār al-Fikr.

Khalikān, Ibnu, 1900,Wafayāt al-A’yān wa Anbā’u Abnā’i al-Zamān,


Beirūt: Dār al-Sādir, Juz 5.

Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana


Yogya.

Liaw Yock, Fang, 1993, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 2, Jakarta:


Erlangga.

Lubis, Nina H., 2003, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,
Jawara, Jakarta: LP3ES.

Ma’lūf, Louis, 1986, al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lām, Beirūt: Dār al-


Fikr.

Michrob, Halwani, dan A. Mujahid Chudari, 1993, Catatan Masa Lalu


Banten, Serang: Saudara Serang.

Midori, Kawashima and Oman Fathurahman, 2011, “Islamic Manu-


scripts of Southern Philippines: A Research Note with De-
scriptions of Three Manuscripts” dalam The Journal of So-
phia Asian Studies No. 29 (2011).

al-Muḥibbî, Muḥammad Amîn, 1284H., Khulāṣat al-Āthār fi A’yān al-Qa-


rn al-Ḥādî ‘Ashar, 4 Jilid, Kairo: tp., cetak ulang Beirut: Dār
al-Ṣādir, tth.

Mo’inuddin, Ghulam, 2000, Penyembuhan Cara Sufi (terj. Arif Rahmat),


Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, cet. ke-3.

~158~
Mulyadi, Sri Wulan Rujiati, 1994, “Kodikologi Melayu di Indonesia”,
dalam Lembaran Sastra UI Nomor 24/Des. 1994, Depok: Fak.
Sastra UI.

al-Nāshî, ‘Abd al-Bāsit, 2011, Mawsū’at al-Tasawwuf: Dirāsah Taḥlîli-


yyah Naqdiyyah Jāmi’ah wa Muwaththiqah, (Tunis: al-Dār
al-Tūnisiyyah li-al-Kitāb).

Nasution, Harun, 1978, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta:


Bulan Bintang.

Newmark, Peter, 1988, A Texbook of Translation, United Kingdom:


Prentice Hall.

Ota, Atsushi, 2006, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java:
Society, State, and the Outer World of Banten, 1750—1830,
Netherlands: Brill Leiden-Boston.

Pudjiastuti, Titik, 2006, Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi,


(Bogor: Akademia)

_____________, 2007, Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan


Banten, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & The Toyota Foun-
dation

Pijper, G.F. 1984, Beberapa studi tentang Sejarah Islam di Indonesia


1900-1950, (terj. Tudjimah & Yessy Augusdin), Jakarta: UI-
Press.

_____________, 1987, Fragmenta Islamica, Beberapa Studi Mengenai Sejar-


ah Islam di Indonesia Awal Abad XX, (terj. Tudjimah), Jakarta:
UI-Press.

_____________, 1992, Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 1930-


1950, (terj. Tudjimah), Jakarta: UI-Press.

Reynolds, L.D. dan N.G. Wilson, 1974, Scribes and Scholars, London: Ox-
ford University.

Renard, John, Historical Dictionary of Sufism. Maryland, Toron-


to, Oxford: The

Scarecrow Press, 2005.

~159~
Robson. S.O., 1978, ”Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional”, dalam Ba-
hasa dan Sastra Tahun IV. Nomor 6.

_____________, 1994, Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, (Terj. Kentjanawa-


ti Gunawan), Yakarta: RUL.

Ricci, Ronit, 2011, Islam Translated: Literatur, Conversion, and the Ara-
bic Cosmopolis of South and Southeast Asia, Chicago: Chicago
University Press.

Ricklefs, M. C., 1978, Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an


Original Kartasura Chronicle and Related Materials, London:
School of Oriental and African Studies, University of London.

Rizvi, S.A.A., 1983, A History of Sufisme in India, jilid I-II, New Delhi:
Munshiram Manoharlal.

Schimmel, Annemarie, 2000, Dimensi Mistik Dalam Islam, (terj. Sapardi


Djoko Damono et al.), Jakarta: Pustaka Firdaus

Soeratno, Siti Chamamah, 1997, “Naskah Lama dan Relevansinya den-


gan Masa Kini: Suatu Tinjauan dari Sisi Pragmatis” dalam
Karsono H. Saputra (peny.), Tradisi Tulis Nusantara (Kum-
pulan Makalah Simposium Tradisi Tulis Indonesia 4-6 Juni
1996), Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Nusantara.

Soerjo, Djoko, 2007, “Sejarah Sosial Intelektual Islam: Sebuah Pengan-


tar”, dalam Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial In-
telektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: ar-Ruz Media.

Sidek, Jahid Haji, 1984, Strategi Menjawab Sejarah Islam, Kuala Lum-
pur: Nurin Interprise.

Siwi Tri Puji B, 2012, “Memburu Manuskrip hingga Mancanegara” pada


Republika rubrik Teraju, Rabu 14 Maret 2012, h. 28, dan
“Berkiblat pada Aceh dan Banten” pada sumber yang sama.

Sudrajat, Budi, 2007, “Tema-Tema Tasawuf dalam Masyahid al-Nasik


fi Maqamat al-Salik dan Fath al-Mulk Liyasila ila Malik al-
Mulk” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol 5. No. 1, Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat De-
pag. R.I.

~160~
al-Suhrawardi, (t.th),‘Awārif al-Ma’ārif, (al-Hāmish fi kitāb Ihyā’
‘Ulūmuddîn, juz III), t.tp.: Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabiyyah
‘I<sā al-Bābî al-Halabî wa Shurakāhu.

Teew, A., 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, Jakarta:
Pustaka Jaya.

Thahir, Ajid & Ading Kusdiana, 2006, Islam di Asia Selatan, Bandung:
Humaniora.

__________, 2004, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam:


Melacak Akar-Akar Sejarah, Sosial, politik, dan Budaya Umat
Islam, Jakarta: PT. RajaGrapindo Persada.

Tjandrasasmita, Uka, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Ko-


ta Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi,
Kudus: Penerbit Menara Kudus.

__________, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG (Kepustakaan


Populer Gramedia.

______________, 1995, “Banten Sebagai Pusat Kekuasaan dan Niaga Antar-


bangsa, dalam Sri Sutjianingsih (peny.), Banten Kota Pelabu-
han Jalan Sutra, Jakarta: Dep. P&K Dirjend. Kebudayaan Di-
rektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyel Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Tudjimah, 1997, Syekh Yusuf Makasar; Riwayat dan Ajarannya, Jakarta:


UI-Press.

Umar, Nasaruddin, 2013, “Memahami Makna Batin Al-Qur’an Sirath


al-Mustaqim (bag-1)”, Republika, Edisi Jum’at, 23 Agustus
2013.

_____________, 2014, Tasawuf Modern: Jalan Mengenal dan Mendekatkan


Diri kepada Allah swt., Jakarta: Republika.

Voorhoeve, P. 1980, Handlist of Arabic Manuscripts in Library of the


University of Laiden and other Collections in Netherlands, The
Hague, Boston, London: Leiden University Press.

~161~
_____________, 1975, Codices Manuscripti VII Handlist of Arabic Manu-
scripts in the Library of the University of Leiden and Other
Collection in The Netherland, The Hague, Boston: Leiden Uni-
versity Press, cet. ke-1.

Wade, Bonnie C., 1998. Imaging Sound: An Ethnomusicological Study


of Music, Art, and Culture in Mughal India (Chicago Studies in
Ethnomusicology). USA: University Of Chicago Press.

Wahid, M.N.F. Huda dkk. (Ed.), 2003, Majmū’ Syarîf Kāmil, Bandung: CV.
Jumānatul ‘Alî Art.

Wehr, Hans, 1971, A Dictionary of Modern Written Arabic, Ed. J. Milton


Cowan, Wiesbaden: Otto Harrassowitz.

al-Ẓarkalî (al-Ziriklî), Khayr al-Dîn, 1989, al-A’lām: Qāmūs al-Tarājim


li-Ashhāri al-Rijāl wa al-Nisā’ min al-‘Arab wa al-Musta’ribîn
wa al-Mustashriqîn, Beirūt: Dār al-‘Ilmi li-al-Malāyîn, Juz 6.

Pustaka non-terbitan:
“Astronomical Almanac Online (subscribers) U.S. Naval Observatory
2008”. Asa.usno.navy.mil. Diakses 2010-06-02.

“Introduction to Sufi Shattari (Shuttari); An humble presentation from


Sufi Shattari Jamaat- Daroowala pool-Pune, India” ,didown-
load dari sufishattari.com pada 8/3/2014 Sabtu, pkl. 09.50.

Arkoun, Muḥammad, (tth.),‘Ilm al-Islāmiyyāt: kayfa nuṭabbiq manāhij


al-‘ulūm al-Insāniyyah wa-muṣṭalaḥātihā fî Qirā’at al-Turāth
al-Islāmî?, Artikel tidak diterbitkan.

Bahjatul Fitriyah, (2011),“Astronomi dan Astrologi: Seumpama Dua


Sisi yang Berlainan” pada: http://bahjatulfitriyah.blogspot.
com/2011_05_01_archive.html, diakses pada Sabtu, 14 Sep-
tember 2013, pkl. 21.27 WIB.

Fathurahman, Oman, Tanbîh al-Māshî al-Mansūb ilā Ṭarîq al-Qushāshi-


yy: Tanggapan al-Sinkili Terhadap Kontroversi Doktrin Wu-
jūdiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis
Isi), (Tesis Program Studi Ilmu Susastra, Program Pacasarja-
na UI Depok, 1998).

~162~
http://kbbi.web.id/index.php?w=Interdisipliner, diakses pada Sabtu,
27-9-2013, pkl. 14.41

http://planets.astronomy.net/days.html di akses pada Sabtu,


14/9/2013, jam 21.10

http://spicaku.blogspot.com/2011/12/“nama-nama-rasi-bin-
tang-dan-artinya” html#ixzz2erF10En4 diakses pada Sabtu,
14 September 2013, pkl. 16.30 wib.

http://langitselatan.com/2007/04/09/astronomi-astrologi-seru-
pa-tapi-tak-sama/

http://langitselatan.com/2011/01/20/zodiak-dalam-astronomi/

http://deking.wordpress.com/2007/08/15/zodiak-astrologi-atau-as-
tronomi-hanya-suatu-prequel/

http://www.faktailmiah.com/2011/03/08/horoskop.html

http://www.medlibrary.org/medwiki/Gwalior, pada Jum’at, pkl.


14.01wib

http://www.mapsofindia.com pada Minggu, 7/12/2014, pkl. 15.07


wib.

http://www.gimonca.com pada Minggu, 7/12/2014, pkl. 14.04 wib.

http://www.architectureofbuddhism.com. pada Minggu, 7/12/2014,


pkl. 14.21wib

http://www.bloraindonesia.blogspot.com., pada Minggu, 7/12/2014,


pkl. 16.04 wib.

Karim, Nur, 1991, Ratib Rifa’iyyah: Terjemahan Naskah dan Pengungka-


pan Isi, (Skripsi Fak. Sastra UI), tidak diterbitkan.

Khumaeni, Ayatullah, 2008, The Phenomenon of Magic in Banten Soci-


ety, (Tesis, Leiden University), tidak diterbitkan.

Pudjiastuti, Titik, 1991, Sajarah Banten: Edisi Kritik Teks, (Tesis Fakul-
tas Pascasarjana, UI Depok), tidak diterbitkan.

~163~
Ziauddin, Muhammad, 2005, Role of Persian at the Mughal Court: A
Historical Study, during 1526 A.D. to 1707 A.D., (Ph. D. Thesis
submitted for Middle East & Arab Coutries, University of Ba-
lochistan, Quetta, Pakistan), tidak diterbitkan.

Arsip:
Arsip Daerah Banten (ADB) 25: 180-182;

Diary of Commissioner H. Breton in Banten, 1 September 1777;

Corpus Diplomaticum VI: 417-419, 1 September 1777;

Opkomst XI: 374-375,

Memorie van Overgave, Commander J. Reijnouts to C. Van Westerbeek,


Banten, 20 January 1779.

~164~
Biografi Penulis

Dr. Muhamad Shoheh, M.A. adalah Pengajar Tetap di


UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten. Doktor alumnus
Universitas Indonesia, ahli di bidang Filologi. Banyak
melakukan penelitian dan kajian manuskrip keislaman
Nusantara, seperti diantaranya adalah buku “Kitab al-Jawāhir
al-Khamsah: Legasi Kitab Klasik Sepanjang Zaman dalam
Konteks Kesultanan Banten” ini.

Lahir di Jakarta, 21 Januari 1971. Memulai pendidikannya


di Madrasah Ibtidaiyah “Syamsul Huda”, Ciganjur. Lalu
melanjutkan belajarnnya di Madrasah Tsanawiyah
“Darusa’adah” Ciganjur. Setelah itu melanjutkan belajarnya di
Pondok Modern Gontor, Ponorogo menamatkan jenjang KMI
(Kulliyatul Mu’allimin al-Islāmiyah). Setamat dari Pondok
Modern Gontor, ia melanjutkan belajarnya S-1 di Fakultas
Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Kemudian mengambil
jenjang S-2 di kampus yang sama pada jurusan Sejarah
Peradaban Islam.

Dr. Muhamad Shoheh, M.A adalah putra dari H. Saalih


dan Hj. Masanih. Ia adalah putra ketujuh dari tiga belas
bersaudara. Cita-citanya sejak kecil ingin menjadi “Guru”.

~165~
Guru yang bisa melayani muridnya belajar, memperoleh ilmu
pengetahuan dan ketrampilan, juga mampu membentuk
karakter muridnya. Cita-cita itu kian menjadi lebih kuat
setelah belajar di Pondok Modern Gontor. Kini, cita-cita itu
sudah dicapainya. Ia terus belajar dan belajar.

Dr. Muhamad Shoheh, M.A menikah dengan Siti Jubaidah,


M.A yang juga seorang Doktor di bidang Linguistik. Keluarga
Doktor ini, dari pernikahannya dikaruniai dua orang putri:
Rizka Humaira Dhesvina dan Aqshal Amani Azhima.

Dr. Muhammad Shoheh, M.A telah banyak melakukan


penelitian manuskrip hingga ke perpustakaan-perpustakaan
manca negara. Ia juga aktif terlibat dalam penelitian-
penelitian, baik dalam lingkup Puslitbang Kemenag RI., pusat-
pusat kajian, lembaga-lembaga pendidikan, maupun lembaga
swadaya. Selain itu ia juga banyak menulis artikel ilmiah hasil
penelitiannya di beberapa jurnal ilmiah nasional maupun
internasional. Untuk menghubunginya bisa kontak langsung
via e-mail: muhamadshohe72@@gmail.com atau muhamad.
shoheh@uinbanten.ac.id.

~166~

Anda mungkin juga menyukai