Anda di halaman 1dari 17

KONSEP MANZILAH BAINA MANZILATAIN DALAM

PERSPEKTIF TAFSIR

(Studi terhadap kitab Tafsir Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari )

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Pada Fakultas Ushuluddin dan Adab Jurusan Ilmu Al-Qur’an Tafsir

Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Disusun Oleh:

AYU SEPTIANINGSIH
191320003

FAKULTAS USHULUDDIN DAN


ADAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2022 M/1434 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi ini guna
memenuhi persyaratan untuk dapat memperoleh gelar sarjana strata satu pada
jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Adab, UIN Sultan
Maulana Hasanuddin Banten.

Dengan pertolongan Allah dan usaha yang sungguh-sungguh penulis dapat


menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul: “KONSEP MANZILAH BAINA
MANZILATAIN DALAM PERSPEKTIF TAFSIR (Studi terhadap kitab
Tafsir Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari). Shalawat serta salam semoga
selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan
kita sebagai umatnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari, selama proses penyusunan proposal skripsi ini tidak


luput dari kekurangan, kelemahan dan jauh dari kesempurnaan, mengingat segala
keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Namun demikian penulis berharap
semoga dengan adanya proposal skripsi ini dapat membawa manfaat yang besar
dan berguna khususnya bagi diri penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarokatuh

Serang, 7 Desember 2022


Penulis

Ayu Septianingsih
NIM: 191320003

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………...
…………1

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................6

C. Tujuan Penelitian...................................................................................................6

D. Manfaat Penelitian..................................................................................................7

E. Kajian Pustaka........................................................................................................7

F. Kerangka Pemikiran...............................................................................................9

G. Metode Penelitian.................................................................................................12

H. Sistematika Pembahasan......................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam catatan sejarah, tafsir sudah muncul sejak awal perkembangan
Islam, karena bagaimanapun Islam tidak bisa lepas dari kitab sucinya al-Qur’an,
bahkan Islam sendiri muncul karena adanya wahyu ilahiyah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw.1 Al-Qur’an walaupun diturunkan kepada orang-
orang Arab dengan bahasa mereka, namun kadang kalanya ada kata-kata yang
tidak mereka mengerti seperti kasus Umar bin al-Khathab yang tidak mengerti arti
kata kalalah di ayat terakhir dari surah an-Nisa2, atau kasus Ibnu ‘Abbas3 yang
tidak mengerti makna al-Wasilah dalam surah al-Maidah4 sehingga ia merasa
perlu merujuk kepada syair-syair jahiliyah.
Al-Dzahabi dalam bukunya al-Tafsir wa al-Mufassirun membagi periode
perkembangan tafsir al-Qur’an ke dalam tiga periode. Pertama, perkembangan
tafsir pada zaman Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Kedua, perkembangan
tafsir pada zaman Tabi’in. Ketiga, perkembangan tafsir pada masa kodifikasi
(‘ashr al-tadwin).5
Salah satu teologi yang mempunyai peranan penting dalam sejarah
penafsiran al-Qur’an adalah corak teologi Mu’tazilah6. Corak teologi ini
menganggap bahwa akal mempunyai peranan yang penting tidak hanya dalam
kehidupan keduniawian saja namun juga dalam memahami agama. Kelompok ini
lahir pada awal-awal abad ke 2 Hijriyah ketika Washil bin ‘Atha memisahkan diri
dari majlis Hasan al-Bashri7.

1
Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), h. 33-36.
2
QS. Al-Nisa/4:176
3
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih, vol. 3 (Kairo: al-
Maktabah al-Salafiah, tt), h. 33.
4
QS. al-Maidah/5: 35
5
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 342-344.
6
Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq wa
al-Bayan Al-Firaq an-Najiyah Minhum, (Kairo: Maktabah Ibnu Sina, tt), h. 37-38.
7
Awwad bin Abdillah al-Mutiq, al-Mu’tazilah wa Ushuluhum al-Khamsah wa
al- Mauqif Ahlu al-Sunnah Minha, (Riyadh: Maktabah al-Rasyad, 1995). Cet ke 2, h. 14.

1
Salah satu tokoh Mu’tazilah yang berkecimpung di dunia tafsir adalah Abu
Qasim Mahmud Zamakhsyari (w. 538 H) yang telah melahirkan karya tafsir yang
sangat besar yaitu Tafsir al-Kasysyaf. Kitab ini merupakan salah satu kitab tafsir
populer yang ditulis di era keemasan Islam (periode pertengahan) yang
menggunakan metode bi ar-ra’yi8.
Melihat latar belakang perjalanan ilmiah Zamakhsyari (w. 538 H) dalam
menulis al-Kasysyaf maka tidak heran jika al-Kasysyaf menjadi tafsir paling
monumental di zamannya dan bisa bertahan hingga sekarang. Zamakhsyari
melakukan pengembaraan intelektual dengan optimal meski dalam kondisi tubuh
yang tidak normal. Berbagai kota dia kunjungi untuk menemui dan belajar
berbagai macam disiplin ilmu dari guru-gurunya. Disebutkan bahwa Zamakhsyari
(w. 538 H) menghabiskan waktu untuk merampungkan karyanya ini sekitar tiga
tahunan, yaitu sama dengan masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
(w. 13 H)9.
Pokok ajaran Mu’tazilah (Ushul Khomsah) yang mempengaruhi sekaligus
mendominasi para penafsiran pendukungnya adalah yang bertumpu pada ideologi
Ushul al-Khamsah yang mencakup: at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-
Amr bi al-Ma`ruf wa an-Nahyi an al-Munkar dan Manzilah baina al-
Manzilatain.10
Manzilah baina al-Manzilatain (posisi menengah bagi pelaku dosa besar)
menurut Washil bin Atha adalah orang Islam yang melakukan dosa besar
bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi berada pada posisi tengah-tengah,
maka dia memisahkan diri dari Hasan al-Bashri dan dia mendapatkan gelar
Mu’tazilah.11

8
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran
Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta:
Adab Press, 2014), h. 92.
9
Abu Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad az-Zamakhsyari, al-
Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil,
(Kairo: Maktabah Mishr, 2010), h. 13.
10
Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 320.
11
M.M. Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam Mu’tazilah, Asy’ariyyah,
Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa (Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia, 2017), h. 22.

2
Manzilah baina al-Manzilatain adalah ajaran yang mula-mula
menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status
orang mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah, Khawarij
menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut Ahlu
Sunnah pelaku dosa besar disebut sebagai mukmin yang kurang imannya (atau
mukmin yang bermaksiat) ini hukum di dunia. Sedangkan hukum di akherat
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa pelaku dosa besar masuk dalam kategori di
bawah kehendak Allah, bila Allah menghendaki untuk mengampuninya maka
Allah akan mengampuninya, atau akan menyiksanya, sebagaimana telah
dijelaskan pada prinsip sebelumnya yakni selama dosa yang dilakukan bukan
syirik karena Allah tidak akan mengampuni dosa syirik itu bila pelakunya belum
bertobat sebelum matinya.
Sedangkan kaum Murjiah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa
besar itu masih dianggap mukmin, karena dengan alasan yang sederhana, sejauh
dalam dirinya masih mempunyai iman, ia masih disebut sebagai mukmin
sekalipun ia telah membuat sesuatu tindakan yang buruk, seperti kejahatan yang
mengakibatkan ia telah berbuat dosa besar, Murjiah juga berpendapat bahwa suatu
keimanan seseorang pun kita tidak ada yang tau karena persoalan iman itu adalah
kepercayaan dan kepercayaan itu ada di hati tempatnya, dan selama ia masih
beriman maka ia masih dikatakan mukmin.
Berbeda dengan pandangan Khawarij, Ahlu Sunnah dan Murjiah, menurut
pandangan Mu’tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai
matinya belum taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin,
tetapi diantara keduanya. Mereka itu dinamakan orang fasiq, jadi mereka di
tempatkan di suatu tempat diantara keduanya.12 Menurut Mu’tazilah di akhirat
kelak orang yang berbuat dosa besar berada diantara dua posisi yakni diantara
surga dan neraka, walaupun di neraka menurut mereka nerakanya agak dingin,
berbeda dengan nerakanya orang kafir.13

12
Thahir Taib, Abd.Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya. 1986), h. 84.
13
Rusnani, Memahami Aliran Mu’tazilah (Yogyakarta: Penerbit Bintang Pustaka
Madani, 2020), h. 13.

3
Manusia diberi kebebasan untuk berbuat sesuatu dan apa yang
diperbuatnya akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat. Hal ini karena
keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan dan tidak cukup hanya
pengakuan dan pembenaran saja.
Berkenaan dengan pemahaman ini, mereka berpijak pada firman Allah
dalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 3114 sebagai berikut:

‫اِ ْن تَجْ تَنِبُوْ ا َكبَ ۤا ِٕى َر َما تُ ْنهَوْ نَ َع ْنهُ نُ َكفِّرْ َع ْن ُك ْم َسي ِّٰاتِ ُك ْم َونُ ْد ِخ ْل ُك ْم ُّم ْد َخاًل َك ِر ْي ًما‬

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang


(mengerjakan)-nya, niscaya Kami menghapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami
memasukkanmu ke tempat yang mulia (surga). (QS. An-Nisa’ [4] ayat 31)
Dan dalam QS. An-Najm [53] ayat 3215 sebagai berikut:

َ‫ك َوا ِس ُع ْال َم ْغفِ َر ۗ ِة هُ َو اَ ْعلَ ُم بِ ُك ْم اِ ْذ اَ ْن َشا َ ُك ْم ِّمن‬ ۤ


َ َّ‫ش اِاَّل اللَّ َم ۙ َم اِ َّن َرب‬ َ ‫اَلَّ ِذ ْينَ يَجْ تَنِبُوْ نَ َك ٰب ِٕى َر ااْل ِ ْث ِم َو ْالفَ َوا ِح‬
‫ض َواِ ْذ اَ ْنتُ ْم اَ ِجنَّةٌ فِ ْي بُطُوْ ِن اُ َّم ٰهتِ ُك ۗ ْم فَاَل تُ َز ُّك ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ۗ ْم هُ َو اَ ْعلَ ُم بِ َم ِن اتَّ ٰقى‬ ِ ْ‫ااْل َر‬

(Mereka adalah) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan


perbuatan keji. Akan tetapi, mereka (memang) melakukan dosa-dosa kecil.
Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia lebih mengetahui dirimu
sejak Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih berupa janin dalam
perut ibumu. Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih
mengetahui siapa yang bertakwa. (QS. An-Najm [53] ayat 32)
Mutazilah mengambil jalan tengahnya, pendapat ini didasarkan pada ayat-
ayat Alquran dan as-Sunnah (Hadis) yang menganjurkan jalan tengah (moderat)
dalam menyikapi segala suatu hal16, sebagaimana firman Allah dalam QS. At-
Taubah [9] ayat 10617 sebagai berikut
‫َو ٰا َخرُوْ نَ ُمرْ َجوْ نَ اِل َ ْم ِر هّٰللا ِ اِ َّما يُ َع ِّذبُهُ ْم َواِ َّما يَتُوْ بُ َعلَ ْي ِه ۗ ْم َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َح ِك ْي ٌم‬
14
QS. An-Nisa’/4:31
15
QS. An-Najm/53:32
16
Ahmad, Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul
Khomsah), (Jakarta: uinjakarta.ac.id, 2017)
17
QS. At-Taubah/9:106

4
Ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan (balasannya) menunggu
keputusan Allah. Mungkin Dia akan mengazab mereka dan mungkin Dia akan
menerima tobat mereka. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (QS. At-
Taubah [9] ayat 106)

‫ْص هّٰللا َ َو َرسُوْ لَهٗ َويَتَ َع َّد ُح ُدوْ د َٗه يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا خَالِدًا فِ ْيهَ ۖا َولَهٗ َع َذابٌ ُّم ِهي ٌْن‬
ِ ‫َو َم ْن يَّع‬

Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar


batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api
neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan. (QS. An-
Nisa’ [4] ayat 14)18
Pemahaman Plato yang mengatakan jika ada suatu tempat di antara hal
buruk dan hal yang baik, dan pikiran-pikiran Aristoteles yang menjadi keutamaan,
ialah mengambil jalan tengah di antara dua jalan yang begitu berlebihan.
Mu’tazilah yang kemunculannya sebagai reaksi dari aliran sebelumnya yang
mempunyai sudut pandang yang berbeda, dan di mana umat Islam pada waktu itu
telah banyak mempunyai kontak dengan keyakinan-keyakinan dan pemikiran-
pemikiran dari agama-agama lain dan dengan filsafat Yunani. Kontak dengan
falsafat Yunani membawa pemujaan akal ke dalam Islam. Kaum Mu’tazilah
banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran
teologinya banyak dipengaruhi oleh daya akal.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mereka rujuk sebagai legitimasinya antara lain
adalah: Qs. Al-Baqarah (2): 137 dan 143, Qs. Al-Isra’: 29, 31 dan 110. Adapun
hadis rujukannya adalah “khair al-umur ausatuha” (sebaik-baik perkara adalah
yang berada pada posisi moderasi atau tengah), tidak ekstrims kiri dan tidak pula
ekstrims kanan, dan hadis-hadis lain yang semakna dengannya. Sementara
argumen rasionalnya, Washil bin Atha’ merujuk kepada konsep etika filosofis

18
QS. An-Nisa’/4:14

5
Aristoteles yang menegajarkan bahwa “kebaikan adalah merupakan titik tengah
antara dua ekstrimitas kejahatan”19
Berangkat dari masalah inilah peneliti memiliki keinginan untuk
menjelaskan mengenai Manzilah baina al-Manzilatain dalam kitab tafsir Al-
Kasysyaf karya aZamakhsyari, oleh karena itulah dalam kajian skripsi ini peneliti
memberikan judul “Konsep Manzilah Baina Manzilatain dalam Perspektif Tafsir
(Studi terhadap kitab Tafsir Al-Kasysyaf karya azZamakhsyari). Dengan
dilakukannya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman terkait
Manzilah Baina Manzilatain.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah diatas, maka fokus
penelitian ini adalah mencari penafsiran az-Zamakhsyari dalam kitab tafsir Al-
Kasysyaf karya azZamakhsyari tentang Manzilah Baina Manzilatain dalam
Perspektif Tafsir. Oleh karena itu penulis merumuskannya dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep Manzilah baina al-Manzilatain?


2. Bagaimana penafsiran az-Zamakhsyari terhadap Manzilah Baina
Manzilatain dalam kitab Tafsir Al-Kasysyaf karya azZamakhsyari?
3. Bagaimana penafsiran az-Zamakhsyari dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf
karya az-Zamakhsyari?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka jelaslah
penelitian ini bertujuan sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui konsep Manzilah Baina Manzilatain
2. Untuk mengetahui penafsiran az-Zamakhsyari terhadap Manzilah Baina
Manzilatain dalam kitab tafsir Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari
3. Untuk mengetahui analisis penafsiran az-Zamakhsyari dalam kitab tafsir
Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari

19
Jarullah, Al-Mu’tazilah (Beirut: al-ahliyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1974), h.
54.

6
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat baik dari segi
manfaat teoritis maupun manfaat praktis, manfaat tersebut antara lain sebagai
berikut:

1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, yaitu membantu dan memberikan masukan, referensi kepada
pembaca tentang Manzilah Baina Manzilatain
a. Menambah wawasan dalam khazanah dan pengembangan skill
(kemampuan) bagi peneliti dalam bidang penelitian
b. Memberikan informasi dan wawasan bagi para pembaca tentang kajian
Manzilah baina al-Manzilatain dalam perspektif tafsir, khususnya dalam
kitab tafsir Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penetilian ini, diharapkan umat islam nantinya mampu
menerapkan nilai-nilai keislaman dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga umat
islam menjadi umat yang mempunyai karakteristik yang baik berlandaskan al-
Qur’an dan hadits.

E. Kajian Pustaka
Manzilah baina al-Manzilatain adalah salah satu pokok pemikiran atau
Ushul Khomsah yang dianut oleh kaum Mu’tazilah, tidak sedikit orang-orang
yang telah meneliti mengenai konsep Manzilah baina al-Manzilatain ini, akan
tetapi agar telihat sejauh mana penelitian terhadap konsep Manzilah baina al-
Manzilatain ini telah dilakukan, dalam penulisan skripsi ini tentunya telah terdapat
penelitian yang hampir sama tetapi ada perbedaan dengan skripsi yang telah
dibahas oleh kalangan mahasiswa/i. Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian
yang telah dikaji terdahulu yang dijadikan sebagai referensi. Adapun perbedaan
yang dapat diketahui seperti isi, rumusan masalah ataupun judul yang terlihat
seperti sama. Namun ada beberapa tulisan yang mempunya kesamaan, diantaranya
:

7
1) “Tafsir Mu’tazilah (Penelusuran Ideologi Ushul Khomsah dalam
Tafsir Tanzih Al-Qur’an al-Maja’in karya ‘Abd. Al-Jabbar) karya Trio
Anggoro, pembahasan dalam skripsi ini memaparkan tentang penafsiran
al-Qādī ‘Abd al-Jabbār tentang konsep Ushūl al-Khomsah dalam tafsir
Tanzīh al-Qur’ān ‘an al-Mataʻin. Dalam hal ini yang menjadi perbedaan
peneliti yaitu terletak pada perspektif mufassirnya.
2) “Al-Ushul al-Khamsah Perspektif Zamakhsyari (Studi Kritis
Penafsiran Ayat-ayat Terkait al-Ushul al-Khamsah dalam Tafsir Al-
Kasysyaf) ditulis oleh Riza Wahyuni, dalam skripsinya yang menjadi
fokus adalah kajian kritik terhadap ayat-ayat yang dipakai Zamakhsyari
mendukung lima pokok ajaran Mu’tazilah (al-Ushul al-Khamsah) dalam
Tafsir al-Kasysyaf, tidak fokus pada pembahasan mengenai Manzilah
baina al-Manzilatain dan sangat singkat.
3) “Aspek Paham Mu’tazilah Dalam Tafsir al-Kasysyaf tentang Ayat-
ayat Teologi (Studi Pemikiran Al-Zamakhsari) ditulis oleh Ermita
Zakiyah, dalam tesis ini pembahasan diarahkan kepada penafsiran-
penafsiran al-Zamakhshary terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan
lima dasar teologi Mu’tazilah, yang menjadi perbedaan dengan tesis ini
adalah fokus kajian tentang Manzilah baina al-Manzilatain hanya secara
singkat.
4) “Implementasi Hukum Islam Dalam Pemikiran Mu’tazilah” pada
jurnal Syariah dan Hukum Diktum Volume 15 No. 02 tahun 2017, yang
ditulis oleh Muliati. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa Washil bin Atha
berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar bukan mu’min dan bukan
kafir, berarti ia adalah fasik. Mu’tazilah dengan aliran teologi Islam
lainnya adalah pemahamannya yang lebih banyak mempergunakan dalil-
dalil rasional dan bersifat filosofis. Sehingga wajar bila Muʻtazilah dikenal
sebagai pengusung teologi rasional. Mereka lebih meninggikan kedudukan
akal ketimbang wahyu. Dalam memahami Al-Qur’an pun mereka
meninggalkan arti harfiah teks. Mereka hanya mengambil makna simbol
teks dengan metode ta’wil.

8
5) “Signifikasi Ajaran Mu’tazilah Terhadap Eksistensi Filsafat Di Dunia
Islam” pada jurnal Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam
Volume 9 No. 01 Juni 2015, yang ditulis oleh Ahmad Zaeny. Pada
awalnya kemunculan Mu’tazilah adalah berakar dari masalah teologi
tentang pelaku dosa besar. Khawarij menyatakan bahwa ia adalah kafir,
Murji’ah menyatakan bahwa ia tetap mu’min dan dosanya ditangguhkan
pada keputusan Allah kelak; kemudian Mu’tazilah meresponnya dengan
menyatakan bahwa pelaku dosa besar tempatnya antara mu’min dan kafir.
Kemudian aliran ini berlanjut menjadi satu aliran teologi.

F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan suatu gambaran atau rencana yang berisi
tentang penjelasan dari semua hal yang dijadikan sebagai bahan penelitian yang
berlandaskan pada hasil dari suatu penelitian. Kerangka yang sesuai berfungsi
untuk menjawab, memecahkan atau menerangkan masalah yang sedang
diidentifikasi.

Pada penelitian ini yang menjadi dasar teori adalah pandangan az-
Zamakhsyari mengenai Manzilah Baina Manzilatain, dalam ayat-ayat Al-Quran.
Hal yang pertama kali peneliti akan lakukan adalah menuliskan konsep Manzilah
baina al-Manzilatain yang di utarakan oleh para tokoh tafsir.

Kemunculan paham Mu’tazilah memberikan warna tersendiri dalam Islam


karena penganutnya memberikan porsi yang besar kepada akal dalam memahami
ayat-ayat Allah. Paham ini bahkan pernah dijadikan sebagai dasar ideologi bagi
seluruh dinasti yang dipimpin oleh al-Ma’mun dan ditentang oleh kalangan ahli
hadith, diantaranya adalah Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Paham
Mu’tazilah bahkan tetap ada sampai sekarang ini, oleh karena itu pembahasan
tentang aliran Mu’tazilah adalah pembahasan yang sangat luas.

Menurut pemikiran Mu’tazilah, pelaku dosa besar ini dikatakan tidak


mukmin dan tidak kafir tetapi fasik, dan ditempatkan tidak disurga dan tidak di
neraka tetapi menempati satu tempat di antara dua tempat yang terkenal dengan

9
satu dasar dari ajaran Mu’tazilah yaitu manzila bainal-manzilatain. Menurut
Mu’tazilah yang termasuk dosa besar adalah segala perbuatan yang ancamannya
disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah
sebaliknya yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam
nas.20 Jika meninggal dunia sebelum bertobat maka ia dimasukkan ke dalam
neraka namun siksaannya lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir.21

Menurut al-Qadli Abdul Jabbar, terdapat kesepakatan di kalangan


Mu’tazilah bahwa orang Muslim pelaku dosa besar adalah penduduk neraka, dan
mereka berada di neraka selama-lamanya.22Akan tetapi rasanya kurang adil kalau
Muslim pelaku dosa bersar itu mendapatkan siksa seberat siksa orang kafir, dan
oleh karena itu meski mereka dimasukan neraka, akan tetapi siksaan yang
diterima olehnya tentu lebih ringan daripada siksaan orang kafir.23

‫ْص هّٰللا َ َو َرسُوْ لَهٗ َويَتَ َع َّد ُح ُدوْ د َٗه يُ ْد ِخ ْلهُ نَارًا خَالِدًا فِ ْيهَ ۖا َولَهٗ َع َذابٌ ُّم ِهي ٌْن‬
ِ ‫َو َم ْن يَّع‬

Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar


batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api
neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan. (QS. An-
Nisa’ [4] ayat 14)24
Menurut tafsir as-Sa’di karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di,
”dan barangasiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya” dan termasuk dalam
kategori maksiat adalah kekufuran dan kemaksiatan lain yang lebih ringan
darinya, sehingga tidak ada suatu syubhat pun dalam ayat itu bagi khawarij yang
berpendapat bahwa pelaku-pelaku maksiat adalah kafir, karena Allah telah

20
Rosihan Anwar, Abdur Razak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
137.
21
Rosihan Anwar, Abdur Razak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h.
146.
22
A. Ya’kub Matondang, Tafsir Ayat Kalam Menurut al-Qadli Abdul Jabbar
(Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 67.
23
A. Ya’kub Matondang, Tafsir Ayat Kalam Menurut al-Qadli Abdul Jabbar
(Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 67-68.
24
QS. An-Nisa’/4:14

10
menyiapkan surga bagi orang-orang yang taat kepadaNya dan kepada rasulNya
maka barangsiapa yang menaati Allah dengan ketaatan yang sempurna, ia akan
masuk surga tanpa siksaan, dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dengan
kedurhakaan yang sempurna dan termasuk dalam hal itu adalah kesyirikan
ataupun selainnya ia akan masuk neraka dan ia kekal di dalamnya, sedangkan
barangsiapa yang bercampur padanya kemaksiatan dan ketaatan maka ia memiliki
penyebab pahala dan siksaan menurut apa yang ada padanya dari ketaatan dan
kemaksiatantersebut.
Dan sesungguhnya sudah banyak nash nash mutawatir yang menunjukkan
bahwa (ahli maksiat dari kalangan) orang-orang yang bertauhid yang melakukan
ketaatan taujid tidaklah kekal dalam neraka, dan siapapun yang memilki
ketauhidan maka ia menjadi penghalang baginya dari kekekalan dalam neraka.
Sebagaimana ditegaskan oleh al-Qadli Abdul Jabbar,25 ayat tersebut secara
eksplisit menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan kedurhakaan dan
kemaksiatan, selama tidak melakukan taubat, sungguh mereka akan kekal di
dalam neraka. Lebih jauh ditambahkan, sekalipun di dalam ayat ini tidak
disebutkan secara eksplisit tentang taubat, namun hal ini dapat diketahui melalui
akal fikiran manusia, karena Tuhan tidak mungkin menyiksa dan memberikan
cercaan terhadap orang-orang yang sudah sadar dalam pengertian yang
sesungguhnya. Dan dalam pada itu, Tuhan telah menyebutkan taubat di dalam
berbagai ayat al-Qur’an sebagai persyaratan mutlak bebasnya seseorang dari siksa
neraka.
Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan di atas maka kesimpulan
yang bisa diambil ialah bahwa Manzilah baina al-Manzilatain diartikan sebagai
Muslim pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan oleh karenanya ia tidak akan
bisa masuk surga, dan satu-satunya tempat baginya adalah neraka.

G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif,
karena data yang dihadapi berupa pernyataan teks dan verbal. Penelitian ini

A. Ya’kub Matondang, Tafsir Ayat Kalam Menurut al-Qadli Abdul Jabbar


25

(Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 68.

11
bermaksud mengeksplorasi ayat-ayat Manzilah Baina Manzilatain dalam al-
Qur’an dan merumuskannya menurut penafsiran tafsir Al-Kasysyaf. Penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan atau library research, karena sumber datanya
berasal dari literatur-literatur tertulis yang berkaitan langsung dengan materi yang
dikaji, baik berupa buku, ensklopedia, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain
sebagainya. Usaha ini dilakukan untuk memperoleh kerangka teori, pendapat-
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli yang ada relevansinya dengan masalah
yang dibahas.
1. Jenis Data
a) Data primer
Data primer merupakan data yang didapatkan secara langsung dari sumber
aslinya.26 Data primer ini digali dari sumber-sumber literatur yang ditulis secara
langsung oleh tokoh yang dikaji. Adapun data primer yang digunakan dalam
skripsi ini berbentuk kitab tafsir Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari.
b) Data sekunder
Data sekunder yaitu komentar orang lain atau data yang dihimpun dari
hasil penelitian orang lain.27 Untuk data sekunder yang digunakan peneliti adalah
buku, kitab tafsir dan literatur-literatur yang berhubungan dengan judul yang
diajukan peneliti.
2. Teknik Pengumpulan Data
Setelah menemukan jenis data dan sumber data yang akan digunakan,
data-data tersebut kemudian dihimpun dengan menggunakan tekhnik book survey.
Tekhnik pengumpulan datanya adalah dengan membaca sumber primer dan
sekunder.
3. Analisis Data
Dalam analisis data, peneliti menggunakan metode content analysis untuk
menganalisis penafsiran az-Zamakhsyari dalam menafsirkan ayat tentang
Manzilah Baina Manzilatain. Untuk memperoleh kesimpulan yang akurat dan
mendekati kebenaran, maka peneliti menggunakan alur pemikiran metode
26
Kartini Kartono, Metode Penelitian (Bandung: Bandar Maju, 1996), h. 29.
27
Dadang Akhmad, Metode Penelitian Agama (Bandung: CV Pustaka Setia,
2000), h. 85.

12
deduktif, yakni suatu pola pemahaman yang dimulai dengan mengambil kaidah-
kaidah yang bersifat umum, untuk mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang
bersifat khusus.

H. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah para
pembaca dalam menelaah isi kandungan yang ada di dalamnya, sehingga seluruh
ide yang hendak disampaikan dapat tersalurkan dengan baik.
Bab pertama, membahas mengenai pendahuluan, memuat latar belakang,
perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, kajian pustaka, kerangka
pemikiran, metodelogi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, menjelaskan tentang Ushul Khomsah Mu’tazilah. Dari mulai
Sejarah munculnya Mu’tazilah, Pokok Pemikiran Mu’tazilah, dan Manzilah Baina
Manzilatain.
Bab Ketiga, menjelaskan metodologi kitab tafsir Al-Kasysyaf karya az-
Zamakhsyari yang meliputi: Biografi, Karya-Karya, Latar Belakang Penulisan,
Sistematika Penulisan, Karakteristik Tafsir serta Sumber Penafsiran.
Bab Keempat, pada bab ini menjelaskan Klasifikasi Ayat-Ayat tentang
Manzilah Baina Manzilatain, Penafsiran az-Zamakhsyari, dan Analisis kitab tafsir
Al-Kasysyaf karya az-Zamakhsyari tentang Manzilah Baina Manzilatain.
Bab Kelima, bab ini merupakan bab akhir sebagai penutup yang yang
memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan jawaban atas rumusan
masalah dari hasil analisis keseluruhan permasalahan dalam bab-bab terdahulu.
Sehingga dalam uraian bab terakhir ini dapat menjadi saran untuk kegiatan lebih
lanjut yang berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, J. (2017). Muktazilah: Penamaan, sejarah dan lima prinsip dasar (Ushul
Alkhamsah). Uinjkt.ac.id.

13
Akhmad, Dadang. (2000). Metode Penelitian Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Baghdadi, Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir. (t.t). al-Farq Baina al-Firaq
wa al-Bayan Al-Firaq an-Najiyah Minhum. Kairo: Maktabah Ibnu Sina.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. (t.t). al-Jami’ al-Shahih, vol. 3. Kairo: al-
Maktabah al-Salafiah.
Al-Mutiq, Awwad bin Abdillah. (1995). Al-Mu’tazilahh wa Ushuluhum al-
Khamsah wa al- Mauqif Ahlu al-Sunnah Minha. Riyadh: Maktabah al-al-
Rasyad.
Al-Suyuthi. (2008). Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
Anwar, Rosihan, Abdur Razak. (2000). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Az-Zamakhsyari, Abu Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad.
(2010). Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh at-Tanzil wa ‘Uyun al-
Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil. Kairo: Maktabah Mishr.
Jarullah. (1974). Al-Mu’tazilah. Beirut: al-ahliyah li an-Nasyr wa at-Tauzi’.
Kartono, Kartini. (1996). Metode Penelitian. Bandung: Bandar Maju.
Matondang, A. Ya’kub. (1989). Tafsir Ayat Kalam Menurut al-Qadli Abdul
Jabbar. Jakarta: Bulan Bintang.
Mustaqim, Abdul. (2014). Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-
Aliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-
Kontemporer. Yogyakarta: Adab Press.
Rusnani. (2020). Memahami Aliran Mu’tazilah. Yogyakarta: Penerbit Bintang
Pustaka Madani.
Sharif, M.M. (2017). Aliran-aliran Filsafat Islam Mu’tazilah, Asy’ariyyah,
Maturidiyyah, Thahawiyyah, Zhahiriyyah, Ihwan al-Shafa. Bandung:
Penerbit Nuansa Cendekia.
Taib, Thahir. Abd. Mu’in. (1986). Ilmu Kalam. Jakarta : Penerbit Widjaya.

14

Anda mungkin juga menyukai