Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENGANTAR STUDI AL-QURAN DAN HADITS

ISI KANDUNGAN AL-QURAN

Disusun oleh:

Kelompok 7

Muhammad Rosli : 2215050140

Latifa Maharani : 2215050133

Vicha Salmiati : 2215050160

Dosen Pengampu:

FREDIKA RAMADHANIL, M.Ag

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan,atas karunia
nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Isi kandungan Al-Qur’an”. Shalawat serta salam
tercurahkan kehadiran nabi Muhammad SAW, yang telah membawa perubahan
dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
saat ini.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadist. Selain itu penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan dan memperluas pemahaman mahasiswa/i
mengenai materi tentang Isi kamdungan Al-Qur’an yang berkaitan dengan mata
kuliah Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini, oleh karena itu penulis sangat menghargai akan saran dan kritik
untuk membangun makalah ini lebih baik lagi, Dan terakhir ucapan terima kasih
yang sebesar besarnya kepada Bapak Fredika Ramadhanil, M.Ag selaku dosen
pembimbing mata kuliah Pengantar Studi Al-Qur’an dan Hadits. Demikian yang
dapat kami sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Padang, 5 Oktober 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................

DFTAR ISI..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................

A. Latar Belakang Masalah..........................................................................................


B. Rumusan Masalah ...................................................................................................
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................

A. Tauhid......................................................................................................................
B. Ibadah......................................................................................................................
C. Wa’ad dan Wa’id.....................................................................................................
D. Sabil Al-Sa’adah......................................................................................................
E. Qashash....................................................................................................................

BAB III PENUTUP.............................................................................................................

A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

1 Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Bogor, Pustaka Litera AntarNusa: 2009). 436. 2 Ahmad
Izzan, Ulumul Quran “telaah tekstualitas dan kontekstualitas al-Quran” (Bandung, Tafakur: 2013), 219.

3 Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, 439. 4 Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progresif.1997), 928.
5 Fachrudiin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an. (Jakarta: PT Melton Putra, 1992), 200.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan kepada Nabi


Muahammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dan dijadikan sebagai
pedoman hidup bagi manusia. Sebagai kitab hidayah sepanjang zaman, Al-
Qur’an memiliki beberapa kandungan diantaranya kandungan tentang
Tauhid, Ibadah, Wa’ad dan waid, Sabil Al-Sa’adah, Qashash.

Hal ini merupakan salah satu bukti tentang keluasan dan keberagaman
isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Salah satu isi kandungan Alquran
adalah kisah-kisah terdahulu (Qashasul Quran). Kisah-kisah dalam
Alquran tersebut memberitakan tentang hal ikhwal umat terdahulu,
nubuwawat (kenabian) dan peristiwa-peristiwa terdahulu yang dapat kita
ambil ibrahnya. Cerita atau kisah dalam Alquran bukanlah rekayasa.
Bagaimanapun dan sulit di pungkiri bahwa Alquran adalah kitab dakwah
dan kitab yang meyakinkan objeknya. Secara umum Alquran bertujuan
untuk menciptakan kebenaran dan semata-mata tujuan keagamaan. Jika
dilihat dari keseluruhan kisah yang ada, tujuan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:

A.Menetapkan keberadaan wahyu dan kerasulan

B.Menerangkan bahwa agama yang dibawa para nabi dan rasul adalah dari
Allah SWT, sejak nabi Nuh hingga Nabi Muhammad Saw.

C.Menerangkan bahwa cara yang ditempuh dalam berdakwah satu jalan


dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya pun juga serupa

D.Menerangkan dasar yang sama antara agama yang dibawa oleh nabi
Muhammad Saw dan agama yang digagas oleh nabi Ibrahim a.s. secara
khusus. Juga agama-agama bani Israil dan menerangkan bahwa hubungan
tersebut lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama.
Keterangan ini dikatakan secara berulangulang dalam cerita nabi Ibrahim,
Musa, dan Isa a.s Secara umum kisah dalam Alquran terbagi kedalam tiga
bentuk; pertama, kisah para nabi. Kisah ini mengandung dakwah mereka
kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap
orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan
perkembangan serta akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai
dan yang ingkar. Misalnya sebagaimana kisah Nabi Nuh a.s., Ibrahim,
Musa, dan masih banyak lagi. Kedua, kisah-kisah yang berhubungan
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan orang-
orang yang tidak dipastikan kenabiannya seperti kisah Zulkarnain, karun,
Ashab As-Sabt, Ashab al-Ukhdud, Ashabul Kahfi, dua putra Adam, Harut
Marut, dan lain sebagainya. Ketiga, Kisah-kisah yang berhubungan
dengan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah, seperti perang Badar
dalam surat Ali Imran, perang Hunain dalam surat at-Taubah, perang
Ahzab dalam surat al-Ahzab, cerita tentang isra mi’raj rasul, dan lainlain.3
Adapun kisah yang masuk kedalam kelompok pertama adalah kisah ulu
al-‘Azmi, yaitu Nabi Nuh a.s, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad
Saw. Adapun kisah yang masuk kedalam kelompok pertama adalah kisah
ulu al-‘Azmi, yaitu Nabi Nuh a.s, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi
Muhammad Saw. Secara etimologis ulu al-‘Azmi berasal dari kata dua
suku kata yaitu kata ulu dan azmi. Ulu berarti yang mempunyai (untuk
bentuk jamak) dan al- ‘Azmi berasal dari kata azama yang mempunyai arti
kemauan yang teguh dan kuat.4 Ulu al-‘Azmi adalah nabi dan rasul yang
mendapatkan keistimewaan dari Allah SWT. karenanya kedudukan
mereka lebih tinggi dan mereka mempunyai kemauan yang teguh.5
Dengan kata lain ulu al-‘Azmi adalah mereka yang memiliki keteguhan
hati dan ketabahan ketika menghadapi cobaan serta tekad yang membaja
untuk mewujudkan kebaikan. Hal ini telah di jelaskan oleh Imam as-
Sya’bi, al-KilabiNamun di kalangan pemikir islam khususnya para
mufassir, terdapat beberapa perbedaan, antara lain: 1. Dalam tafsir Tafsir
Ibnu Abbas disebutkan dua riwayat yaitu riwayat pertama menyebutkan
yang memiliki keyakinan dan keteguhan hati yang mantap dalam tauhid
ada empat yaitu: Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Riwayat kedua
menyebutkan yang memperoleh musibah dan kesabaran yang kuat
menghadapi musibah yaitu: Nuh, Ayyub, Zakaria, dan Yahya

2. Tafsir “Mahasin al-Takwil9 ” terdapat enam pendapat mengenai ulu


al-‘Azmi antara lain: Pertama: Ulu al-‘Azmi seluruh Rasul. Kedua: Ulu
al‘Azmi empat orang yaitu nabi Nuh a.s, Ibrahim a.s, Musa a.s, dan nabi
Muhammad Saw Ketiga: Ulu al-‘Azmi ada lima nabi Nuh a.s, Ibrahim a.s,
Musa a.s, Isa a.s, dan Nabi Muhammad Saw.
Tafsir al-Qurtubi merupakan tafsir yang didalamnya memuat
hukumhukum yang ada didalam al-Quran dan pembahasannya yang lebih
luas dengan menyatukan hadits dengan masalah-masalah ibadah, hukum,
dan linguistik.13 Dan tafsir inipun adalah kitab tafsir bi ar-ra’yi yang
paling banyak berpengaruh kepada madrasah tafsir bi ar-ra’yi pada
generasi berikutnya. Hal ini disebabkan karena tafsir-tafsir yang muncul
pada generasi setelah al-Qurthubi sebagian besarnya adalah tafsir bi ar-
Ra’yi. Meskipun penafsiran al-Qurthubi banyak menggunakan sumber bi
ar-Ra’yi, namun dia tetap menggunakan bi al-Ma’sur. Dia menggunakan
sumber periwayatan dengan mengutamakan riwayatriwayat dari Hadits
Nabi, kemudian atsar sahabat dan perkataan-perkataan Tabi’in. bahkan dia
berusaha untuk mengumpulkan riwayat-riwayat yang bersumber dari
sahabat dan perkataan-perkataan tabi’in, serta mufassir lainnya untuk
kemudian dibandingkan dan di tarjih sehingga dia memilih dari
riwayatriwayat tersebut mana yang paling dalilnya dan qarinah-qarinah
(tanda-tanda) seperti dalam pembahasan mengenai ulu al-‘Azmi ini.
Semasa hidupnya, al-Qurthubi dikenal sebagai ulama besar dari kalangan
tokoh Ahli Sunnah wa al-Jama’ah yang memiliki argumentasi yang kuat
sesuai dengan madzhab kalam Asy-Ariyyah. Beliau banyak tidak setuju
dan menolak pandangan mu’tazilah. Terlebih dalam menyikapi persoalan

politik dan beberapa masalah keagamaan yang menjadi pegangan


Madzhab Mu’tazilah.14 Oleh karena itu, al-Qurthubi berusaha
menganalisis, mendiskusikan serta memilah-milah pendapat Mu’tazilah
yang bertujuan untuk mengukuhkan pendapat-pendapat Ahli as-Sunah wa
al-Jama’ah, untuk memenangkan perebutan pengaruh tersebut. Tasir Al-
Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an adalah salah satu tafsir yang paling banyak
membahas persoalan hukum fikih. Karena itu, tafsirnya dikenal sebagai
tafsir yang bercorak fikih, karena didalamnya memuat banyak pembahasan
ayat-ayat hukum dan pembahasan tentang perbedaan pendapat
madzhabmadzhab fikih. Selain itu, didalam tafsirnya, al-Qurthubi
berusaha menggali al-Qur’an secara lebih mendalam tentang I’rab al-
Qur’an, qiraat, ushul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya hingga tafsir
tersebut menjadi kumpulankumpulan berbagai informasi seperti
ensiklopedia. Karena begitu banyaknya pembahasan tentang berbagai segi
keilmuan di dalam tafsir ini, maka tafsir ini disebut dengan nama al-
Jami’.1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tauhid
Pengertian Tauhid dalam kamus bahasa Indonesia merupakan
sebuah kata benda yang memiliki arti ke-Esaan Allah, kuat
kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Kata tauhid berasal dari bahasa
arab, masdar dari kata Wahhada, Yuwahhidu, Tauhidan.
Secara etimologis , Tauhid berarti ke- Esaan. Maksudnya, keyakinan
bahwa Allah SWT adalah Esa, Tunggal, satu. Pengertian ini sejalan
dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia,
yaitu ke-Esaan Allah, mentauhidkan berarti mengakui akan ke-Esaan
Allah, meng-Esakan Allah.

Menurut Syekh Muhammad Abduh, tauhid merupakan ilmu yang membahas


tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya sifat-sifat yang boleh
disifatkan kepada-Nya dan sifat-sifat yang wajib di lenyapkan pada-Nya. Setelah
memahami arti tauhid, selanjutnya perlu diketahui pula tujuan mempelajari ilmu
tauhid. Tujuan mempelajari ilmu tauhid ini tidak lain adalah upaya mengenal
Allah dan Rasul-Nya melalui dalil-dali yang pasti. Dalam hal ini, mempelajari
ilmu tauhid juga berarti meyakini segala sifat kesempurnaan yang dimiliki Allah
serta membenarkan setiap risalah atau ajaran Rasul-Nya.

Bukan hanya itu, mempelajari dan menerapkan arti tauhid dalam kehidupan
sehari-hari dapat menghindarkan umat Muslim dari pengaruh aqidah-aqidah lain
yang menyeleweng dari kebenaran. Hal inilah yang membuat ilmu tauhid
memiliki kedudukan istimewa dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Sebab, meyakini
keesaan Allah dan kebenaran setiap ajaran Rasul menjadi pedoman dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari.

Selain itu, tujuan mempelajari ilmu tauhid juga dapat menjadikan setiap
umat muslim sebagai pribadi yang ikhlas dalam menerima setiap
ketentuan Allah. Bahkan mempelajari ilmu tauhid juga mampu
memberikan jiwa yang tenang dan tentram bagi setiap orang yang
melakukannya. Setelah memahami arti tauhid dan tujuan mempelajarinya,
penjelasan selanjutnya akan membahas keutamaan ilmu tauhid.
Dikatakan, bahwa mempelajari ilmu tauhid penting untuk memhami
kedudukan makhluk hidup dan pengaruhnya pada dunia. Seperti
memahami mukjizat para nabi, ajaran yang bijak dan bermakna dari para
wali, serta kesenangan yang Allah berikan kepada umat yang auh dari-
nya sebagai bentuk ujian atau cobaan. Sehingga melalui ilmu tauhid,
dapat digunakan sebagai pedoman untuk membedakan hal yang
termasuk aqidah dan mana yang bukan.

1. Selain itu, keutamaan mempelajari dan menerapkan arti tauhid dalam


kehidupan sehari-hari juga dapat menjauhkan diri dari kemusyrikan,
mendudukan soal wasilah, mendudukan soal khilafah atau politik dalam
agama Islam. Dengan begitu, ilmu tauhid dapat menjadi pedoman bagi
setiap umat muslim dalam menjalankan kehidupan agar terhindari dari
pikiran buruk atau su’uzhan terhadap Allah. Sebagai umat Muslim, salah
satu cara untuk menerapkan arti tauhid di dalam diri adalah dengan
mengucapkan kalimat La ilaha illallah, serta meyakini bahwa tiada Tuhan
selain Allah. Bukan hanya itu, menanamkan arti tauhid dalam diri juga harus
dipenuhi dengan beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: Meyakini
keberadaan Allah sebagai Sang Maha Pencipta, agar terlepas dari
sikap ateisme atau pendiadaan Tuhan.

2. Menetapkan keesaan Allah, agar terhindar dari perilaku syirik.

3. Menetapkan bahwa Allah bukan jauhar (substansi atau materi) atau


‘aradh (atribut materi), supaya terhindar dari sikap penyerupaan Allah
dengan mahkluk lain.
4. Meyakini bahwa segala sesuatu tidak ada, sebelum Allah
menciptakan dan membuatnya ada. Hal ini agar terhindar dari sikap
atau pendapat yang mempercayai hukum sebab akibat dalam
penciptaan alam semesta dan isinya atau yang lainnya

5. Menetapkan abhwa Allah Maha Pengatur, bahwa apapun yang terjadi


sudah sesuai kehendak AllaH. Hal ini supaya terhindar dari pendapat
yang menyatakan adanya thaba’i (hukum alam yang berlaku dengan
sendirinya).

B. Definisi Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk.


Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya


melalui lisan para Rasul-Nya.

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu


tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah
(kecintaan) yang paling tinggi.

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling
lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa
khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah
(lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah
badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-
macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan
badan.Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah
berfirman:

‫ُأ‬ ‫ُأ‬
‫اق ُذو‬ ِ =‫ون َما ِري ُد ِم ْنهُم مِّن رِّ ْز ٍق َو َم==ا ِري= ُد َأن ي ُْط ِع ُم‬
ُ ‫=ون ِإنَّ هَّللا َ ُه= َ=و ال=رَّ َّز‬ َ ‫ت ْال ِجنَّ َواِإْل‬
ِ ‫نس ِإاَّل لِ َيعْ ُب ُد‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
ُ‫ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan
kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat/51: 56-58] Allah
Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia
adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa
Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah,
ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan
selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa
yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang
mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah yang Benar

Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb
(cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf
harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul
unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang
mukmin:

‫ُي ِح ُّب ُه ْم َو ُي ِحبُّو َن ُه‬

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah/5:


54]

ِ ‫ِين آ َم ُنوا َأ َش ُّد ُح ًّبا هَّلِّل‬


َ ‫َوالَّذ‬
“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada
Allah.” [Al-Baqarah/2: 165]

‫ِين‬ ِ ‫ُون فِي ْال َخي َْرا‬


َ ‫ت َو َي ْدعُو َن َنا َر َغبًا َو َر َهبًا ۖ َو َكا ُنوا َل َنا َخاشِ ع‬ ِ ‫ِإ َّن ُه ْم َكا ُنوا ُي َس‬
َ ‫ارع‬

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera


dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan
penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’
kepada Kami.” [Al-Anbiya’/21: 90]

Sebagian Salaf berkata[2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan


rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq[3], siapa yang beribadah kepada-
Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang
beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy[5].
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’,
maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah


Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah
yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa
yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak)
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫ْس َعلَ ْي ِه َأ ْم ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬


َ ‫ َمنْ َع ِم َل َع َمالً لَي‬.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka


amalan tersebut tertolak.”[6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak
bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.

Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca Juga  Islam Adalah Satu-Satunya Agama yang Benar(2)

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha


illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah
dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah
konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan
bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

َ ‫َبلَ ٰى َمنْ َأسْ لَ َم َوجْ َه ُه هَّلِل ِ َوه َُو مُحْ سِ نٌ َفلَ ُه َأجْ ُرهُ عِ ن َد َر ِّب ِه َواَل َخ ْوفٌ َعلَي ِْه ْم َواَل ُه ْم َيحْ َز ُن‬
‫ون‬

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri


sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya
pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah/2: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada


Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak
beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali
dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

‫صالِحً ا َواَل ُي ْش ِركْ ِب ِع َبا َد ِة َر ِّب ِه َأ َح ًدا‬


َ ‫ان َيرْ جُو لِ َقا َء َر ِّب ِه َف ْل َيعْ َم ْل َع َماًل‬
َ ‫َف َمن َك‬

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka


hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia
mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-
Kahfi/18: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua


kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang
kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib
membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara
kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat[7].

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi
sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah


kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping
beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

َ ‫َفاعْ ُب ِد هَّللا َ م ُْخلِصًا لَّ ُه ال ِّد‬


‫ين‬

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-


Zumar/39: 2]
Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah
dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa
beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya,
maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita[8]. Maka,


orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah
menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak
sempurna (mempunyai kekurangan).

Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara
dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya
tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di
dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena
perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan
perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan
kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan
Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah

Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan
diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para
Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang
melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


َ ُ‫ُون َعنْ عِ َبا َدتِي َس َي ْد ُخل‬
َ ‫ون َج َه َّن َم دَاخ ِِر‬
‫ين‬ َ ‫َو َقا َل َر ُّب ُك ُم ْادعُونِي َأسْ َت ِجبْ لَ ُك ْم ۚ ِإنَّ الَّذ‬
َ ‫ِين َيسْ َت ْك ِبر‬

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku


perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak
mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam
keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min/40: 60] Ibadah di dalam Islam tidak
disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak
pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu
disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar
yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam
semua adalah mudah.

C.Sa’adah

Hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa makna relasional dari kata sa’adah
adalah kebahagiaan yang berkaitan dengan hari kiamat yakni balasan Allah atas
orang-orang yang mentaati ajarannya berupa kebahagiaan Surga. kata surur adalah
kebahagiaan yang berkaitan dengan hari kiamat yakni perlindungan Allah kepada
orang-orang yang dijuluki Allah ‘Ibad Allah’ pada hari kiamat yang penuh
kemuraman dan kemasaman wajah dan kesulitan yang berkepanjangan. Kata farah
adalah kesenangan yang memiliki makna lebih negatif seperti kebahagiaan yang
dirasakan apabila melihat kesengsaraan orang lain. Dan kata dasar busyro adalah
kabar gembira dari Allah atas sesuatu yang besar. Adapun makna rasional dari kata
sa’adah dan padanannya didapati ketika disandingkan dengan medan semantiknya
yakni; kata sa’adah disandingkan dengan kata syaqi, yaum, dan jannah. Kata surur
disandingkan dengan kata yaum, mukmin, dan kafir. Kata farah disandingkan
dengan kata rahmat, fakhur, hijbun, hadiah, kunuz, dan dunia. Dan kata busyro
disandingkan dengan kata huda, tathmain, dunia dan akhirat, dan Nabi. Sehingga
penggunaan istilah tersebut dalam Alquran menggambarkan kebahagian yang
Allah inginkan untuk manusia dan indikasi-indikasi kebahagiaannya.
D. Kata Qashash berakar dari huruf " Qaf " dan " Shad ” yang bermakna
mengikuti sesuatu. (mengenai pengertian al-Quran, baca di sini) Qashash
atau al - Qishashu jama' Qishashun yang berarti cerita, kisah, hikayat.
Dalam Manna al-Qattan kata al-Qashshu yang berarti mencari atau
mengikuti jejak.

Alquran adalah petunjuk, pedoman hidup bagi segenap umat manusia dalam
kehidupannya, baik aspek yang berkenaan dengan masalah duniawi maupun
ukhrawi. Oleh karena itu, di dalam Alquran tertuang segenap aspek yang
dibutuhkan manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun pokok-
pokok kandungan dalam al-Alquran pada intinya mencakup lima hal, yakni
akidah, syariah, akhlak, kisah-kisah (qashash), dan dasar-dasar ilmu pengetahuan.
Salah satu pokok kajian tersebut adalah qashash yang berarti mengikuti jejak atau
mengungkapkan masa lalu. Al-Qashash adalah bentuk mashdar dari
QashshaYaqushshu-Qashashan. Kata al-Qashash juga berarti berita yang diikuti
karena kebenarannya, sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surat Ali Imran
ayat 62: ‫ق ۚ َو َما ِم ْن ِإ ٰلَ ٍه ِإاَّل ٱهَّلل ُ ۚ َوِإ َّن ٱهَّلل َ لَهُ َو ْٱل َع ِزي ُز ْٱل َح ِكي‬ َ َ‫ِإ َّن ٰهَ َذا لَه َُو ْٱلق‬
ُّ ‫صصُ ْٱل َح‬
 Artinya: “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Allah: dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Ali Imran: 62) Al-Alquran selalu
menggunakan terminologi qashash untuk menunjukkan bahwa kisah yang
disampaikan itu benar dan tidak mengandung kemungkinan salah atau dusta.
Sementara cerita-cerita lain yang mengandung kemungkinan salah dan benar
biasanya bentuk jamaknya diungkapkan dengan istilah qishash. Dari segi
terminologi, kisah berarti berita-berita mengenai suatu permasalahan dalam
masa-masa yang saling berurutan. Qashash al-Alquran adalah pemberitahuan
mengenai ihwal umat yang terdahulu dan Nubuwat (kenabian) yang terdahulu
dan peristiwa-peristiwa yang telah lalu, sedang terjadi dan yang akan terjadi.
B. Macam-macam Kisah dalam Alquran Keberadaan Alquran merupakan salah
satu bukti kebesaran dan ketinggian Tuhan yang terkandung di dalamnya dan
membuktikan eksistensinya sebagai mukjizat. Termasuk kemukjizatan Alquran
adalah pengaruh dan kesan psikologisnya terhadap setiap orang yang
mendengarkan, mempelajari, dan memahami maknanya. Selain itu,
kemukjizatan Alquran tersirat pada kemampuan menggambarkan peristiwa-
peristiwa masa lampau dan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi, baik yang
telah dapat disaksikan manusia, maupun yang belum dan kelak akan
disaksikan. Salah satu kisah yang menggambarkan wawasan prospektif
Alquran adalah tentang perjuangan eksistensi Islam di tengah-tengah
masyarakat jahiliyyah. Jazirah Arab merupakan sebuah wilayah yang terletak
di antara dua imperium raksasa, Romawi di Barat dan Persia di Timur. Ketika
terjadi peperangan antara Romawi, bangsa yang mengakui adanya Tuhan dan
Bangsa Persia, kaum yang mengingkari adanya Tuhan dan tidak percaya
kepada agamaagama yang dibawa oleh para nabi dan rasul, kaum
Kesimpulan:Memahami isi Al-Quran tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan
mushaf terjemah bahasa Indonesia saja. Bahkan tafsir terjemah pun tidak cukup
untuk dapat memahami Al-Quran. Agar dapat memahami Al-Quran dengan baik
maka kita harus belajar ulumul Quran dan belajar bersama guru yang ahli di
bidang tafsir Al-Quran.
 Dan Saran yang Kami dapatkan ialah
 Al-Quran adalah Kalamullah, Kalimullah, dan kalimah-Nya. Tidak ada
yang bisa menandingi kehebatan lafadz dan makna Al-Quran. Sebagai
teks bahasa yang sarat dengan tanda-tanda sebagai sebuah makna yang
akan disampaikan, Al-Quran membutuhkan pemahaman analisis makna
yang mendalam agar tidak terjadi kesalahan pada pengaplikasian
kehidupan manusia.
.

Anda mungkin juga menyukai