Disusun Oleh:
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak para tokoh intelektual Islam mulai dari masa klasik hingga
kontemporer menaruh perhatian besar pada pemahaman hadits dengan berbagai
teori pendekatan yang mereka gunakan. Dari berbagai teori tersebut lahir juga
bermacam disiplin keilmuan khususnya di bidang hadits yang masuk dalam
rumpun ilmu hadits. Disiplin ilmu yang secara teoritis mengkaji sumber ajaran
Islam yang kedua ini dikenal dengan istilah mushtalahul hadits.1
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, berbagai metode
diciptakan untuk mengurai makna dan maksud dari hadits Nabi Muhammad
SAW. Kajian-kajian juga dilakukan dengan meliputi eksperimentasi seputar
teks dan perawi Hadist, melalui kajian tersebut sehingga banyak melahirkan
karya-karya yang secara spesifik mengkaji tentang ilmu-ilmu hadist. Kemudian
setelah itu, muncul ulama-ulama modern dan kontemporer yang terus
melakukan pengkajian dan penelitian terhadap hadits-hadist seperti imam
Muhammad Al-Ghazali (1917–1996 M).
Muhammad Al-Ghazali merupakan sosok ulama kontemporer yang hasil
pemikirannya cukup banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan para
ulama, bahkan ada yang menuduhnya sebagai munkir al-sunnah. Akan tetapi
banyak juga yang memberikan apresiasi positif, antara lain Quraish Shihab
yang memandang bahwa hasil pemahaman Muhammad Al-Ghazali terhadap
hadist banyak memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi
sekarang ini, baik terkait dengan metode maupun konten hadist secara
komprehensif.2 Salah satu karya beliau dalam bidang hadist diantaranya As-
Sunnah an-Nabawiyyah: Baina al-Fiqh wa Ahl al-Hadist, yang telah
diterjemahkan ke dalam Bahasa dengan judul ”Studi Kritis atas Hadits Nabi
Saw: antara Pemahaman Tekstual dan Kontektual.”
1
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Al-Hadith (Yogyakarta: Puataka Pelajar,
2012). h.37-38.
2
Mhd Idris, ‘Metode Pemahaman Hadis Muhammad Al-Ghazali’, Jurnal Ulunnuha, 5.1
(2016), h. 27–36.
4
Pada tahun 1989, Muhammad Al-Ghazali menerbitkan buku dengan
judul as-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadist3 yang
mana buku tersebut menjadi fokus perhatian dan kontroversi oleh para ulama
di masanya. Dalam bukunya, Muhammad Al-Ghazali mengetengahkan banyak
tema pokok tentang otoritas religius, seperti bagaimana hubungan antara al-
Qur`an dan Sunnah, bagaimana posisi hadist Nabi sebagai sumber hukum
Islam, dan bagaimana metode kritik hadist.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dan judul makalah maka penulis merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Muhammad Al-Ghazali mengkompromikan hadis dan al-
Qur’an?
2. Bagaimana Muhammad Al-Ghazali membedakan antara tradisi dan ibadah?
3. Bagaimana Muhammad Al-Ghazali memahami al-Qur’an sebagai sarana
untuk memahami hadis?
4. Bagaimana Muhammad Al-Ghazali membedakan antara sarana dan tujuan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui cara Muhammad Al-Ghazali mengkompromikan hadis
dan al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui cara Muhammad Al-Ghazali membedakan antara tradisi
dan ibadah.
3. Untuk mengetahui cara Muhammad Al-Ghazali memahami al-Qur’an
sebagai sarana untuk memahami hadis.
4. Untuk mengetahui cara Muhammad Al-Ghazali membedakan antara sarana
dan tujuan.
3
Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Bayina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl Al-
Hadis (Kairo, 1989). h. 15
5
BAB II
PEMBAHASAN
4
Fejrian Yazdajird Iwanebel, Paradigma Dan Aktualisasi Interpretasi Dalam Pemikiran
Muhammad Al-Ghazali, Jurnal Studia Islamika (Yogyakarta: Pusat Kajian Keislaman (PAKIS)
Pesantren Baitul Hikmah Krapyak, 2014).
5
Abd al-halim Uwais, Syeikh Muhammad Al-Ghazal: Marahil Azimmmah (Kairo: al-
Shahwah, 1993), h. 15.
6
Fakultas yang ia ajar namun juga dari Fakultas-fakultas lain di sekitar
Universitas Al-Azhar tempat dia mengajar.6
Beberapa penghargaan yang telah diberikan kepada beliau, diantaranya
Pemerintah Mesir menganugerahkan bintang kehormatan tertinggi dalam
bidang Pengabdian kepada Islam, Pemerintah al-Jazair menganugerahkan
bintang kehormatan tertinggi dalam Bidang Dakwah Islam, dan Raja Faishal
dari Kerajaan Arab Saudi menganugerahkan penghargaan internasional dalam
Bidang Pengabdian kepada Islam. Disamping itu, Muhammad Al-Ghazali juga
pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kontrol Masjid, Ketua Dewan Da’wah,
Wakil Menteri Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir.
Muhammad Al-Ghazali juga seorang aktivis di organisasi Islam yaitu
Ikhwan al-Muslimun. Perkenalannya dengan Ikhwan Al-Muslimun terjadi pada
tahun 1935 M, ketika Hasan Al-Banna mengadakan kunjungan dan
memberikan ceramah umum di Nakla al-Inab. Pertemuan tersebut, memberikan
sentuhan yang sangat berarti dan penuh kesan yang mendalam pada diri
Muhammad Al-Ghazali, yang kemudian menghantarkannya untuk ikut
bergabung dalam Ikhwan Al-Muslim.
Pandangan dan pemikiran Muhammad Al-Ghazali mengenai hadis yang
termuat dalam satu buku yang diberinya judul as-Sunnah an-Nabawiyah Baina
Ahl-Fiqh wa Ahl-Hadist oleh seorang komentator al-Ahram disejajarkan
dengan program “restrukturisasi” yang terjadi di Uni Soviet. Pandangan
tersebut mungkin berangkat dari isi buku yang banyak menggugat pemahaman
hadis yang dilakukan selama ini, atau mungkin juga karena metode
pemahaman yang digunakan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam mengkritisi
sebuah hadis sangat sederhana bila dibanding dengan sistem kritik hadis yang
ada selama ini, khususnya tentang kritik matan.
Kitab As-Sunnah An-Nabawiyyah Bayna Ahl-Fiqh wa Ahl-Hadist adalah
salah satu kitab yang menjadi best seller dan telah diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia. Kitab ini termasuk salah satu kitab yang diperbincangkan
orang. Dari kitab ini, kita dapat mengetahui sikap intelektual Muhammad Al-
Ghazali dalam menilai dan memahami hadits Nabi, ia tidak terpaku pada
6
N N Azizah, ‘PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-GHAZALI DALAM STUDI HADITS
(Studi Kitab Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl-Fiqh Wa Ahl-Hadits)’, 2019.
7
persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh ulama hadits. Menurut dia, terdapat
hal yang lebih urgen dari sekedar metode pemahaman hadits, yaitu
kemaslahatan umat Islam.7
Muhammad Al-Ghazali juga menegaskan tentang pentingnya
bekerjasama antara ahl-hadist dan ahl-fiqh. Menurutnya, tugas ahl-hadits
adalah mengumpulkan hadits-hadits dan memperhatikan bagaimana kualitas
sanad maupun matan hadits. Kemudian tugas tersebut dilanjutkan oleh ahl-fiqh
sebagai penyempurna tugas ahl-hadits agar dapat diketahui cacat yang
tersembunyi dalam sebuah matan, menentukan validitas isi, dan relevansi
matan hadits dalam konteks pengambilan hukum secara keseluruhan.8
Terlepas dari berbagai kontroversi yang mengitari pemikiran Muhammad
Al-Ghazali mengenai hadist, yang jelas sebagai sebuah realitas, tak dapat
dipungkiri lagi bahwa pemikirannya telah meramaikan bursa pemikiran dan
khazanah intelektual Muslim di masa kontemporer ini. Oleh karena itu, tidak
terlalu berlebihan bila pemikiran dan gagasannya menarik perhatian untuk
dikaji dan dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan obyektif.9
Muhammad Al-Ghazali wafat pada hari sabtu tanggal 9 Syawal 1416 H,
bertepatan dengan tanggal 6 Maret 1996, ketika beliau sedang menghadiri
seminar “Islam dan Barat” di Riyadh, Saudi Arabiah.19 Jenazahnya
dipindahkan ke Madinah al- Munawarah untuk dimakamkan di makan al-baqi‟.
Beliau wafat pada usia 78 tahun. Atas kegigihan Muhammad Al-Ghazali inilah,
Yusuf Al-Qaradhawi menganggapnya sebagai syahid, karena beliau meninggal
dalam keadaan berdakwah dan membela Islam.10
7
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits; Studi Kritis Atas Kajian Hadits Kontemporer
(Bandung: Rosda Karya, 2004), h. 264.
8
Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadits Nabi SAW antara Pemahaman
Tekstual dan Kontekstual, terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. 26-27.
9
Azizah.
10
Faith Hasan Malkawi, Al-`Atha’al-Fikrli Syeikh Muhammad Al-Ghazali (Amman: t.p, 1996), h.
1.
8
kedua sumber tersebut. Beliau memaparkan bahwa, Al-Qur’an adalah undang-
undang Islam, sedangkan hadis merupakan implementasi dari perundang-
undangan tersebut. Setiap ummat Islam harus menghormati tata cara
implementasi itu, dan hal ini sama kedudukannya dengan undang-undang itu
sendiri.
Muhammad Al-Ghazali memilih lima kriteria keshahihan hadits. Kriteria
yang diterapkan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam menetukan status hadits
tidak hanya mengacu pada prinsip yang digunakan ulama hadits namun juga
melihat kebutuhan kondisi masyarakat yang dihadapi, sehingga Muhammad
Al-Ghazali selain menunjukan kriteria yang sama dengan ulama lain, juga
memiliki kriteria yang berbeda dengan menunjukan khasnya.11
Ia sepakat dan merangkul kaidah yang diungkapkan oleh ulama
sebagaimana yang ia ungkapkan dalam kitabnya As-Sunnah An-Nabawiyyah
bayna Ahl-Fiqh wa Ahl-Hadits, bahwa terkait dengan tradisi kritik sebagai
langkah dalam menggali dan menemukan serta berupaya dalam mencari
kebenaran hadits, para ulama menawarkan persyaratan dengan melakukan
penelitian secara sistematis pada sanad serta menerapkan prinsip keutuhan
bersama matan, dalam hal ini Muhammad Al-Ghazali memilih tiga kriteria
terkait dengan sanad hadits dan dua berkenaan dengan matan hadits. Kriteria
terkait dengan sanad antara lain:
1. Setiap perawi yang meriwayatkan hadits harus seseorang yang dikenal
sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa
yang didengarnya. Kemudian perawi meriwayatkan hadits sama seperti
aslinya.
2. Selain itu, perawi harus orang yang memiliki kepribadian dan ketakwaan
kepada Allah SWT dan memiliki sifat adil (orang yang benar-benar
monalak adanya pemalsuan maupun penyimpangan hadits)
3. Perawi wajib memiliki dua kriteria diatas, dan jika satu saja ada yang tidak
terpenuhi maka hadits tersebut tidak dianggap mencapai derajat shahih.12
Tidak seperti para ulama hadits, Muhammad Al-Ghazali tidak
memasukan unsur ketersambungan sanad sebagai kriteria keshahihan hadits.
11
Azizah.
12
Al-Ghazali.
9
Mengenai hal ini, Muhammad Al-Ghazali tidak memberikan alasan, jadi tidak
dapat ditelusuri, apakah hal itu merupakan kesalahan dalam pemikiran atau
karena unsur kesengajaannya.
Adapun kriteria yang terkait dengan matan, adalah: 13
1. Matan hadits tidak syadz.
2. Matan hadits yang tidak mengandung illah qadihah (cacat yang di ketahui
oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
Pada prinsipnya Muhammad Al-Ghazali dalam berbagai tulisannya
mengenai hadits tidak pernah memberikan tolak ukur yang pasti dalam menilai
sahih tidaknya matan hadits. Namun dari berbagai pernyataannya dalam kitab
As-Sunnah An-Nabawiyyah baina Ahl-Fiqh wa Ahl-Hadits, dapat diketahui
tentang tolak ukur yang dipakai oleh Muhammad Al-Ghazali dalam
menentukan kesahihan hadits atau menentukan otentisitas matan dan
pemahaman matan.
Menurut Muhammad Al-Ghazali untuk merealisasikan kriteria-kriteria
tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muhaddits dengan berbagai ahli-
ahli lain termasuk fuqaha’, mufassir, ushuliyyin dan ahli ilmu kalam.
Mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah
sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli tersebut.14 Atas dasar
itulah Secara garis besar terdapat 4 macam tolak ukur yang digunakan
Muhammad Al- Ghazali dalam memahami hadis, antara lain:
1. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan paling utama dari pemikiran
dan dakwah, sementara hadits adalah sumber kedua. Meskipun demikian,
Muhammad Al-Ghazali tidak menafikan bahwa kedudukan hadits sangat
penting ketika memahami Al-Qur’an, karena hadits adalah penjelas yang
praktis bagi Al-Qur’an. Dan bagi Muhammad Al-Ghazali, kebiasaan mengkaji
Al-Qur’an dengan porsi yang lebih sedikit dari hadits tidak mungkin dapat
memberikan gambaran yang tepat dan mendalam tentang Islam.15 Oleh sebab
13
Al-Ghazali.
14
Suryadi, ‘Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Mupammad Al-
Ghazali Dan Yusuf Al-Qaradhawi)’, Disertasi, 2004, h.20.
15
Al-Ghazali.
10
itu, sebelum melakukan kajian terhadap matan hadits, perlu upaya intensif
dalam memahami Al-Qur’an.
Namun dalam hal ini bukan berarti Muhammad Al-Ghazali menolak
keberadaan ilmu lainnya untuk memahami matan hadits dan hanya
menggunakan Al-Qur’an, sebagaimana pernyataan Muhammad Al-Ghazali:
“Jelas bahwa untuk menetapkan sahihnya suatu hadits dalam segi
matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang Al-Qur’an serta
kesimpulan-kesimpulan yamg dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik
secara lansung ataupun tidak. Juga ilmu tentang berbagai riwayat
lainnya, agar dengan itu semua dapat dilakukan perbandingan antara
yang satu dengan yang lainnya, ditinjau dari segi kuat atau lemahnya
masing-masing.”16
Dalam memfilter matan-matan hadits Nabi saw, pengujian dengan Al-
Qur’an yang dimaksud disini adalah bahwa setiap matan hadits harus sejalan
sesuai apa yang ditunjukan oleh Al-Qur’an baik secara langsung atau tidak.17
Pengujian dengan ayat-ayat Al-Qur’an ini menjadi fokus utama Muhammad
Al-Ghazali dibanding dengan tolak ukur yang lain. Penerapan kritik hadits
dengan penguji Al-Qur’an di jalankan secara konsisten oleh Muhammad Al-
Ghazali. Oleh karna itu, tidak heran jika banyak hadits shahih dipandang dha’if
oleh Muhammad Al-Ghazali. Bahkan tanpa ragu ia mengatakan akan
mengutamakan hadits yang sanadnya dha’if, bila kandungan maknanya sinkron
dengan prinsip-prinsip ajaran Al-Qur‟an, dari pada hadis yang sanadnya shahih
akan tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti ajaran Al-Qur’an,
terutama jika itu berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan mu’amalah
dunyawiyyah.
Muhammad Al-Ghazali lebih mengutamakan hadist yang sanadnya daif
namun kandungan dan maknanya sejalan dengan prinsip al-Quran, daripada
hadist yang sanadnya shahih tetapi kandungan dan maknanya tidak sejalan
dengan prinsip al-Quran.18 Contoh hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra :
16
Al-Ghazali.
17
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi Perspektif Muhammad Al-
Ghazali Dan Yusuf Qardhawi. (Yogyakarta: Teras, 2008).
18
Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-
Ghazâlî Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi (Yogyakarta: Program Pasca sarjana UIN
Sunan Kalijaga, 2004).
11
َ يل بم ُن َخلِ ٍيل َحدَّثَنَا َعلِ ُّي بم ُن ُم مس ِه ٍر َحدَّثَنَا أَبُو إِ مس َح
ََ ََاق َومه َو الشمَّيبَ ِاِنُّ َع من أَِِب بُمر ِ ِ
ُ َحدَّثَنَا إ مْسَاع
ِ ِ ِ َ ََع من أَبِ ِيه ق
َ ال ُع َم ُر أََما َعل مم
ت َ َخاُُ َ َق
َ ول َوا أ
ُ ب يَ ُق ُ يب ُع َم ُر َرض َي اللَّهُ َعمنهُ َج َع َل
ٌ ص َهمي َ ال لَ َّما أُص
ب بِبُ ََ ِاِ م
اَْ ِّي َ َصلَّى اللَّهُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق
َ ِّال إِ َّن الم َمي
ُ ت لَيُ َع َّذ َ َِّب َّ أ
َّ َِن الن
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Khalil telah menceritakan
kepada kami 'Ali bin Mushir telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dia
adalah dari suku Asy-Syaibaniy dari Abu Burdah dari bapaknya berkata;
Ketika Umar radliallahuanhu terbunuh Shuhaib berkata, sambil menangis:
"Wahai saudaraku". Maka Umar radliallahu 'anhu berkata: Bukankah kamu
mengetahui bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda
"Sesungguhnya mayat pasti akan disiksa disebabkan tangisan orang yang
masih hidup".
ۗ خ ٰرى
اُ م َوََل تَ ِزُر َوا ِزَر ٌَ ِّومزَر
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Alasan Muhammad Al-Ghazali menolak hadist ini dikarenakan hadist
tersebut dianggap bertentangan dengan al-Qur’an. Menurutnya, pemahaman
tersebut harus diluruskan, bahwa mayit yang dimaksud dalam hadist itu adalah
mayit orang kafir (bukan orang mukmin). Meskipun hadist tersebut masih
tercantum dalam kitab-kitab hadist shahih19
GHAZALI’, Al-Bayan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Hadist / Volume 4, No.1, 4.1 (2021), 105–19.
12
argument tersebut benar-benar tidak bertentangan dengan hadist mutawatir atau
hadist lainnya yang lebih kuat derajatnya.20 Sebagai contoh hadist tentang
larangan bagi wanita shalat berjamaah di masjid:21
ِ ِ ُ عائِ َشةَ قَالَت لَو رأَى رس...حدثنا يزيد
ُِِّسا
َ َ الن صلَّى اهللُ َعلَميه َو َسلَّ َم َما أ م
َ َح َد َ ول اهلل َُ َ م م َ
ِ ِ ِ لَمنَ عه َّن الممس ِج َد َكمامنِع
َ ت ن َساٌِ بَِِن إ مسَرائ
يل َُ م َ َُ َ م
Telah menceritakan kepada kami Yazid... Aisyah berkata; "Kalaulah
Rasulullah SAW. melihat apa yang diperbuat para wanita (sekarang ini) pasti
mereka akan dilarang pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya para wanita
bani Israel."
Hadist di atas tentang larangan perempuan shalat di masjid ditolak oleh
Muhammad Al-Ghazali, karena dianggap bertentangan dengan amalan
Rasulullah SAW yang menyediakan pintu khusus bagi perempuan untuk
mengikuti shalat berjamaah di masjid. Rasulullah SAW juga pernah
memendekkan shalat Subuhnya dengan membaca surat-surat pendek ketika
mendengar tangis bayi, karena dikhawatirkan sang ibu tidak khusyu shalatnya
karena tangisan anaknya.22
Muhammad Al-Ghazali berpendapat bahwa keikutsertaan perempuan
shalat berjamaah di masjid ini, lebih dianjurkan bagi mereka yang telah
menyelesaikan semua tugas-tugasnya di rumah. Jika mereka telah selesai
melakukannya, maka suaminya tidak berhak untuk melarangnya pergi ke
mesjid. Tentang hal ini, ada sebuah hadist yang berbunyi:
ول َّ اَ َع من ُُمَ َّم ِد بم ِن َع مم ٍرو َع من أَِِب َسلَ َمةَ َع من أَِِب ُهَريم َرَ َ أ
َ َن َر ُس ٌ َّيل َحدَّثَنَا ََحِ ِ
َ وسى بم ُن إ مْسَع
َ َحدَّثَنَا ُم
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َصلَّى اللَّهُ َعلَمي ِه َو َسلَّ َم ق ِ
ٌ ال ََل َتَمنَ عُوا إَِماَِ اللَّه َم َساج َد اللَّه َولََ من ليَ مخ ُر مج َن َوُه َّن تَف ََل
ت َ اللَّه
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'i telah menceritakan
kepada kami Hammad dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
20
Suryadi, ‘Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Mupammad Al-
Ghazali Dan Yusuf Al-Qaradhawi)’ h. 85.
21
Al-Ghazali.
22
Al-Ghazali, h. 70.73.
13
"Janganlah kalian menghalangi kaum wanita itu pergi ke masjid masjid Allah,
akan tetapi hendaklah mereka itu pergi tanpa memakai wangi-wangian."
Menurut Muhammad Al-Ghazali bahwa hadist yang menjelaskan tentang
larangan perempuan ikut shalat berjamaah di masjid adalah bathil. Terlebih
Hadist ini pun tidak dijumpai dalam kitab Shahih Bukhari maupun Muslim.
23
Al-Ghazali, h. 64-65.
14
hadist tersebut tidak dapat dijadikan dasar penolakan perempuan sebagai
pemimpin.24
24
Suardi, h. 115.
15
Muhammad Al-Ghazali menolak hadist tersebut disebabkan
mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa kemanusiaan. Karena
antara muslim dan kafir sebenarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam
kritik matan bukanlah sesuatu yang baru. Muhammad Al-Ghazali sendiri
mengakui bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama
terdahulu. Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana
mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadist
Nabi.
Berdasarkan uraian pemikiran Muhammad Al-Ghazali tersebut,
menunjukkan bahwa adanya upaya pengembangan dalam wawasan studi
pemikiran hadist. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadist
nabi harus relevan dengan masyarakat sekarang ini. Model pemahaman yang
ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali tersebut, banyak menjawab berbagai
problem realitas sosial umat Islam saat ini. Dengan kata lain, Muhammad Al-
Ghazali ingin mempertegas bahwa Islam adalah agama yang universal yang
berlaku untuk setiap masa dan tempat.25
25
Idris, h.37.
16
sungguh dan tulus. Sedangkan tradisi tidak memiliki nilai ibadah yang
sebenarnya dan harus dipertimbangkan dengan hati-hati untuk memastikan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Jika tradisi bertentangan dengan ajaran
Islam, maka harus ditinggalkan atau diubah.
Dengan demikian, perbedaan utama antara ibadah dan tradisi menurut
Muhammad Al-Ghazali adalah bahwa ibadah adalah tindakan yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan harus diutamakan, sedangkan tradisi adalah
kebiasaan atau budaya yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan tidak
boleh bertentangan dengan ajaran Islam.
Muhammad Al-Ghazali mengeritik tulisan seorang ulama India yang
membahas tentang etika makan-minum dalam Islam, yang mana mencampur
adukkan antara adat/tradisi dan agama. Menurut ulama India itu, makanan
harus diletakkan di atas tanah bukan di atas meja, dan ketika makan harus
duduk bersila, atau duduk di atas satu kaki atau kedua kakinya, tidak boleh
bersandar di kursi. Sebelum makan didahului dengan niat untuk memperoleh
kekuatan dalam ketaatan kepada Allah, makanan di satu wadah harus dimakan
bersama-sama, dan sebelum makan wajib membaca basmalah.26
Sebagian dari apa yang dikatakan itu tidak benar. Etika makan sebetulnya
merupakan tradisi yang berlaku di setiap bangsa dengan tetap memperhatikan
kode etik universal. Membaca basmala dan tujuan untuk makan dan minum
memang diharuskan untuk mencari keridhaan Allah. Dalam Surah An-Nur: 61
َِ لَيس علَي َُم جنَاح اَ من تَأم ُكلُوا...
... َۗجمي ًعا اَمو اَ مشتَاتًا م ٌ ُ م َ َم م
"Tidak ada salahnya jika kamu makan bersama-sama atau sendiri-
sendiri....”
Adapun yang memang wajib dilakukan adalah mengucapkan basmalah
sebelum memulai makan sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah SAW:
‘Ucapkanlah nama Allah (sebelum makan). Makanlah dengan tangan
kananmu, dan ambillah makanan yang dekat letaknya denganmu!’
Memang terdapat beberapa hadis yang berkaitan dengan adab makan-
minum sebagiannya sahih, sebagiannya lagi tertolak, dan ada pula yang
26
Al-Ghazali, h. 91.
17
berkaitan secara khusus dengan adat-istiadat bangsa Arab. Oleh sebab itu,
pernyataan bahwa menggunakan pisau makan adalah haram, sama sekali tidak
berdasar. Memang telah diriwayatkan oleh Abu Daud sebuah hadis melalui
Aisyah ra yang berbunyi, antara lain: Janganlah kamu memotong daging
dengan pisau, sebab yang demikian itu adalah kebiasaan bangsa-bangsa 'ajam
(yakni bukan bangsa Arab). Potonglah dengan gigi-gigimu, agar lebih lezat
dan lebih enak!
Menurut Muhammad Al-Ghazali hadis tersebut adalah batil. Yang benar
ialah seperti dalam sebuah hadis sahih bahwa Nabi saw adakalanya
menggunakan pisau untuk memotong-motong daging ketika sedang makan.
Sedangkan hadis sebelumnya, sanadnya tertolak. Dan tidak ada perintah untuk
makan sambil duduk di atas tanah, atau larangan memakan makanan yang ada
di atas meja. Sedangkan segala suatu yang didiamkan oleh syariat, termasuk
hal yang mubah, atau boleh-boleh saja, tidak terkena keharusan ataupun
larangan.
Adapun memaksakan kebiasaan duduk di atas tanah, melarang
penggunaan sendok dalam memakan sesuatu, dan mengharuskan menjilati jari
tangan, maka sikap seperti itu merupakan bentuk ekstremitas yang pasti akan
merugikan agama Islam dan misinya, di samping membuka pintu untuk isu-isu
buruk yang dilancarkan terhadap kaum Muslim. Menurut hemat penulis
memang jangan kita menimbulkan kesan Islam tidak menerima kemajuan
teknologi untuk kesehatan dan peradaban.27
Dalam hal berpakaian, tentu tidak ada model pakaian tersendiri dalam
islam, tradisi berpakaian arab bukan berarti adalah pakaian Islam. Yang
penting dari cara berpakaian Islam adalah tidak mengumbar nafsu, tidak
terbuka aurat, dan tidak menampakkan kesombongan dan boros.
Kemudian Muhammad Al-Ghazali membaca tulisan ulama India yang
telah disebutkan sebelum ini. Ia mengutip sebuah hadis riwayat Muhammad
Al-Baihaqi: Hendaknya kalian mengenakan surban, sebab surban adalah
tanda pegenal para malaikat. Dan biarkanlah ujungnya menjulur di belakang
punggung kalian.
27
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW : Antara
Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998).
18
Seperti dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Hamid Al-Hanafi: "Tak ada
satu pun hadis sahih tentang surban." Surban adalah pakaian bangsa Arab,
bukan lambang keislaman. Begitu pula igal (tali pengikat kerudung kepala).
Dalam kenyataannya, iklim yang amat panas mengharuskan penutupan kepala
dan punggung, serta lebih cocok dengan pakaian serba putih dan longgar.
Sebaliknya di negeri-negeri yang dingin, orang cenderung memilih baju yang
ketat dan berwarna gelap agar lebih hangat.
Berkenaan dengan ini, ada sebuah hadis yang menyatakan: ”Makanlah
apa yang kau ingini dan kenakanlah pakaian yang kau ingini, selama kau
menghindar dari dua hal: pemborosan dan kesombongan.” Yang menarik
perhatian ialah bahwa pemborosan dan kesombongan berada di balik pelbagai
kebiasaan bangsa Arab maupun Barat, sehingga seolah-olah nilai seseorang
ditentukan oleh pakaiannya. Sedangkan orang-orang yang berakhlak mulia dan
mengutamakan keseriusan dalam hidupnya pasti enggan berlebih-lebihan
dalam memilih pakaian mereka.
Adapun seorang Muslim dapat mengenakan pakaian apa saja asalkan
tidak menjurus kepada pemborosan ataupun kesombongan. Mayoritas ulama
mengharamkan sutera dan emas untuk pria dan membolehkannya untuk wanita.
Demikian pula pakaian untuk wanita tidaklah sama dengan yang untuk pria.
Pakaian wanita seharusnya menutupi seluruh tubuhnya. Walaupun demikian, ia
tidak dilarang untuk menjadi seorang yang cantik asalkan tidak merangsang.
Dalam islam tidak mempunyai bentuk pakaian tertentu. Namun, sebagian
di antara para pemuda mengira (secara keliru) bahwa jubah (kemeja longgar
yang panjangnya sampai di atas mata kaki) adalah pakaian atau seragam Islam.
Dan bahwa setelan baju dan celana adalah pakaian orang kafir, pendapat
seperti inilah yang keliru.
Kemudian hadis yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Khabbab
bin Aratt, bahwa "kawan-kawan kita terdahulu dan yang kini telah wafat, tidak
terkurangi derajat mereka oleh dunia. Sedangkan kita sekarang telah mem-
belanjakan sesuatu yang tak ada tempat baginya kecuali tanah." Kata
Khabbab selanjutnya: "Setiap Muslim akan beroleh pahala dalam apa saja
19
yang dinafkahkannya kecuali sesuatu yang dibelanjakannya di atas tanah
(yakni pembangunan rumah)"
Dari ucapan Khabbab r.a. di atas, jelas tercium perasaan pesimistis yang
mungkin menghinggapinya disebabkan penyakit menahun yang dideritanya.
Karena itu, kita tidak boleh ikut-ikutan menganggap pembangunan sebuah
rumah tempat tinggal sebagai perbuatan yang buruk. Bahkan adakalanya hal itu
dapat menjadi wajib hukumnya. Adapun landasan yang di atasnya kita
tegakkan segala tindakan kita, ialah niat yang baik yang menyertai perbuatan,
atau niat yang baik yang membangkitkan suatu perbuatan. Jika niatnya baik,
perbuatan pun menjadi amal saleh. Dan dengan itu pula, perbuatan yang
tadinya bersifat suatu adat kebiasaan, akan menjadi bagian dari ibadat.
Hal ini sesuai dengan Qoidah Fiqih yang mengatakan
ِ َّ ات
ِ ْا
ات ٍ َالمعاَات تَمن َقلِب ِعبا
ِ َّات بِالنِّ ي
َ الص ََ ُ ُ ََ
”Kebiasaan berubah menjadi ibadah dengan niat yang shalih”
Adapun perkara adat dan kebiasan, maka hukum asalnya halal dan
mubah, kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Maka, perkara adat yang
menjadi kebiasaan penduduk suatu negeri hukum asalnya adalah diperbolehkan
kecuali jika menyelisihi nash syar’i, maka ketika itu wajib untuk ditinggalkan.
20
Muhammad Al-Ghazali menekankan bahwa dalam memahami hadis,
harus diperhatikan aspek-aspek kualitas dan keabsahan hadis, serta konteks
historis dan sosial di mana hadis tersebut diucapkan. Dalam hal ini,
Muhammad Al-Ghazali memberikan penekanan pada pentingnya memahami
bahasa Arab, sejarah dan budaya Arab, serta tradisi keagamaan Arab dalam
memahami hadis.
Kebiasaan sedikit membaca Al-Quran dan lebih banyak membaca hadis
dapat memberikan gambaran tentang Islam yang kurang tepat. Misalnya,
seperti Ash-Shan'ani yang berpendapat bahwa nadzar adalah haram karena
tidak mendatangkan kebaikan, dengan menunjuk sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Nabi melarang perbuatan nadzar.
، إنه َل يرَ شيئا: هنى النِب (ص) عن النذر وقال:عن ابن عمر رضي اهلل عنهما قال
يُ موَُ مو َن بِالنَّ مذ ِر َوََيَاَُ مو َن يَ موًما َكا َن َشُّرُۗ ُم مستَ ِطمي ًرا
Artinya : “Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya
merata di mana-mana.”
28
Syekh Muhammad Al-Ghazali.
21
Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa tidak semua jenis nadzar itu
tidak diperbolehkan. Allah SWT memperbolehkan nadzar asalkan nadzar
tersebut memiliki tujuan yang baik, seperti untuk memotivasi, meyakinkan
seseorang tentang sautu kebenaran, atau lain sebagainya, maka diperbolehkan.
Dengan syarat tentunya harus menyempurnakan nadzar yang telah diucapkan
tersebut.
29
Mukhlis Mukhtar and others, ‘PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
PAKAR HADIS DAN PAKAR FIKIH SEPUTAR SUNNAH NABI (Studi Kritis Atas Pemikiran
Syaikh Muhammad Al-Ghazali)’, 9.1 (2011), 81–92.
22
Seperti contoh wudhu adalah persyaratan yang harus dipenuhi demi
keabsahan shalat. Tak ada peluang bagi pikiran manusia tentangnya, karena
syariat telah menetapkannya dengan nash yang tegas dan pasti. Tidak demikian
halnya tentang jenis peralatan perang dan sarana-sarananya. Syariat tidak
menentukannya secara terinci dan tidak pula menetapkan jumlahnya. Oleh
karenanya, akal manusia merupakan rujukan pertama mengenai hal itu.
Tak ada salahnya apabila kita mendatangkan senjata-senjata terbaru dari
Timur ataupun dari Barat. Dan tak ada salahnya jika untuk menggunakannya
kita memperoleh pelatihan dari orang-orang yang memang ahlinya, tak soal
apa warna mereka dan dari bangsa apa mereka berasal. Yang penting ialah
bahwa kita menggunakannya sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatan yang
telah digariskan oleh Islam.30
Untuk memahami hal tersebut maka diperlukan kaedah dalam memahami
makna hadis, yaitu:
30
Syekh Muhammad Al-Ghazali, h. 164.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode pemahaman hadist dan implementasinya yang dikemukakan oleh
Muhammad Al-Ghazali telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam
menjawab berbagai persoalan umat Islam saat ini. prinsip keutuhan bersama
matan, dalam hal ini Muhammad Al-Ghazali memilih tiga kriteria terkait
dengan sanad hadits dan dua berkenaan dengan matan hadits. Kriteria terkait
dengan sanad antara lain:
1. Setiap perawi yang meriwayatkan hadits harus seseorang yang dikenal
sebagai penghafal yang cerdas dan teliti serta benar-benar memahami apa
yang didengarnya. Kemudian perawi meriwayatkan hadits sama seperti
aslinya.
2. Selain itu, perawi harus orang yang memiliki kepribadian dan ketakwaan
kepada Allah SWT dan memiliki sifat adil (orang yang benar-benar
monalak adanya pemalsuan maupun penyimpangan hadits)
3. Perawi wajib memiliki dua kriteria diatas, dan jika satu saja ada yang tidak
terpenuhi maka hadits tersebut tidak dianggap mencapai derajat shahih.
4. Matan hadits tidak syadz.
5. Matan hadits yang tidak mengandung illah qadihah (cacat yang di ketahui
oleh para ahli hadits, sedemikian sehingga mereka menolaknya).
Metode pemahaman hadist menurut Muhammad al-Ghazali harus diukur
berdasarkan empat kriteria keshahihan matan hadist, yaitu :
1. Matan hadist harus sesuai dengan al-Qur`an
2. Matan hadist harus sesuai hadist shahih lainnya
3. Matan hadist harus sesuai dengan fakta sejarah
4. Matan hadist harus sesuai dengan kebenaran Ilmiah.
.
B. Saran
Demikian pemaparan makalah dari penulis, mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan kita semua tentang pendidikan dalam kajian hadist.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qaradhawi)’, Disertasi, 2004, 1–264
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW : Antara
Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998)
Uwais, Abd al-halim, Syeikh Muhammad Al-Ghazal: Marahil Azimmmah (Kairo:
al-Shahwah, 1993)
26