Anda di halaman 1dari 26

PEMIKIRAN PENDIDIKAN FIKIH AHMAD

MUSTHAFA AL-MARAGHI DALAM TAFSIR


AL-MARAGHI
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi al-Qur’an

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Salman Harun, MA


Dr. Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A.

Disusun Oleh :
Mia Amalya Amanda 21220110000019

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena berkat rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul “Pemikiran
Pendidikan Fikih Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi”. Penulis
turut berterimakasih kepada dosen pengampu yang telah membimbing saya Dr.
Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Studi al-Qur’am.

Penulis menyadari makalah ini bukanlah tugas yang sempurna karena


memiliki banyak kekurangan baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik
penulisan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 30 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB I ....................................................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................3
C. Tujuan ........................................................................................................3
D. Penelitian Terdahulu ..................................................................................3
BAB II ....................................................................................................................3
A. Teori tentang Pendidikan Fiqih ....................................................................5
B. Biografi Penulis Tafsir al-Maraghi ..............................................................8
C. Karir Intelektual Ahmad Mustafa Al-Maraghi ..........................................10
D. Karya-karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi .................................................11
E. Pemikiran Pendidikan Fiqih Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-
Maraghi ......................................................................................................13
BAB III ..................................................................................................................21
Kesimpulan ............................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum, fiqih dapat dipahami sebagai sebuah aturan main dalam
kehidupan yang berporos pada Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun -sebagai sebuah
formulasi hukum- ia merupakan produk ijtihad seorang mujtahid. Ia berisi
kewajibankewajiban yang diyakini dari Tuhan untuk umat manusia agar manusia
dapat berprilaku positif. Ketundukan manusia terhadap fiqih ini akan menjadi
indikasi “kesalehan manusia” baik di hadapan Tuhannya maupun di tengah-
tengah kehidupan manusia.1
Sebagai sebuah aturan, fiqih mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
dan juga mengatur hubungan manusia dengan sesama bahkan dengan alam
sekitarnya. Dua fungsi ini menjadikan fiqih terpetakan menjadi dua yaitu
pertama fiqih Ibadah yang lebih menekankan pada spek kesalehan individual,
kedua fiqih muamalah yang lebih menekankan pada aspek kesalehan sosial.2
Dalam makalah ini penulis akan mengambil dua permasalahan terkait
pernikahan dan shalat. Pernikahan dalam bentuk poligami sudah berkembang
lama, namun pembicaraan dan perdebatan antara setuju dan tidak setuju dengan
poligami tetap up to date di tengah masyarakat, dan dalam diskusi para intelual
muslim. Di antara alasan menentang poligami karena dianggap banyak
mendatangkan efek negatif dan dianggap mendiskriminasi kaum perempuan.
Sedangkan yang setuju dengan praktek ini, mengemukakan alasan bahwa Islam
tidak melarang poligami, dan dalam kondisi-kondisi tertentu poligami salah satu
solusi pengatasi problem rumah tangga dan masyarakat.3

1
Opik Taupik da Ali Khosim Al-Mansyur, Fiqih 4 Madzhab: Kajian Fiqih Ushul Fiqih,
(Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014), h. 2.
2
Ibid.
3
Usman, “PERDEBATAN MASALAH POLIGAMI DALAM ISLAM”, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 39, No. 1, h. 129.

1
2

Dalam Islam dalil yang dijadikan dasar dibolehkan poligami adalah QS al-
Nissa’ ayat 3. Para mufassir dan pemikir Islam memiliki pemahaman yang
berbeda-beda terhadap ayat di atas. Sebagian ulama menjadikan ayat di atas
sebagai dasar dibolehkan poligami. Sebagian yang lain menegaskan bahwa ayat
di atas berkaitan dengan perlakuan adil terhadap anak yatim yang dinikahi,
maupun terhadap istri-istri yang bukan dari kalangan anak yatim.
Permasalah yang kedua yaitu tentang shalat. Shalat ketika dikerjakan
dengan rasa khusyu‟ dan ikhlas, seseorang akan merasakan nikmatnya
menghadap sang khaliq, Allah SWT. Hal ini diperolehnya karena dalam ibadah
shalat dia mengesakan Allah semata, mentauhidkan-Nya, meyakini kekuasaan-
Nya dan mengharap pertolonganNya disamping menyatakan rasa takut dan
tunduk kepadaNya dan merasakan kehadiranNya.4
Di sisi lain, fenomena yang terjadi sekarang banyak orang shalat namun
tidak menghadirkan kekhusyuan dan keihklasan dalam shalatnya. Shalat
dikerjakan sebagai penggugur kewajiban semata, shalat dilakukan dengan asal
selesai, sekedar merangkai bacaan dan gerakan tanpa menghadrikan pemaknaan
di dalamnya. sehingga banyak orang yang rajin shalat namun masih memakai
sandal orang lain, mengejek orang lain. menyakiti tetangga, bahkan kejahatan-
kejahatan yang terjadi pada remaja yang merebak saat ini pun disebabkan karena
tidak menghadirkan khusyu‟ dan ikhlas dalam ibadah shalatnya.5
Tafsir Al-Maraghi merupakan karya besar dari hasil jerih payah dan
keuletan sang penulis dalam menyusunnya selama kurang lebih 10 tahun, yakni
dari tahun 1940-1950 M. Tafsir Al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun
1951 di Kairo, Mesir.
Menurut penulis tafsir Al-Maraghi ini merupakan karya tafsir yang
istimewa, karena tafsir Al-Maraghi merupakan salah satu kitab tafsir terbaik di
abad modern ini. Dan merupakan tafsir kontemporer yang akomodatif dan
relevan terhadap beragam masyarakat Islam. Salah satunya adalah masyarakat

4
Fath Andurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Konsep Shalat Menurut Al-Qur'an, diterj.
Abdullah Abbas, (Jakarta: Firdaus, 1996), h. 10.
5
Muhammad bin Qusri al-Jifari, Agar Shalat Tak Sia-sia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2007),
h. 8.
3

islam Indonesia karena ditulis secara sitematis dan mudah dipahami, serta
menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif, latar belakang penulisannya
pun tidak fanatik terhadap salah satu madzhab. Metode yang dipakai oleh al-
Maraghi dalam tafsirnya dari segi sumber penafsiran menggunakan Iqtirani. Dari
segi keluasan penjelasannya Itnabi/tafsili. Sedangkan dari segi sasaran dan tertib
ayatnya menggunakan tahlili. Sementara itu dari aspek kecenderungan atau
corak yang paling dominan Al-Maraghi memberikan warna tafsirnya dengan al-
‘adabi al-ijtima’i.6

B. Rumusan Masalah
Penulisan karya ilmiah ini akan dibatasi dengan membahas sebuah
permasalahan. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu “Bagaimana
pemikiran pendidikan fikih menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir
Al-Maraghi?”.

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka akan memunculkan jawaban
yang menjelaskan tujuan dari penulisan makalah ini. Tujuan penulisan yang akan
dituju penulis, yaitu “Mengidentifikasi dan menganalisis pemikiran pendidikan
fikih menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi.”.

D. Penelitian Terdahulu
Adapun pengkajian pemikiran atau nalar Ahmad Mustafa Al-Maraghi
pernah diteliti oleh Mursalin Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Judul penelitiannya adalah “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Ibadah Shalat pada
Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka dan Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad
Musthafa Al-Maraghi Dalam Membentuk Pribadi Muttaqin”. Adapun
perbedaannya dengan penulisan makalah ini, yaitu bukan hanya menelaah

6
Fithrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Musthafa Al-Maraghi
Dalam Kitab Al-Maraghi (Kajian Atas Al-Hujurat Ayat: 9): Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol.
I, No. II (Lamongan: Al-Furqan, 2018), h. 111.

3
4

pemikiran fikih, namun terdapat penambahan kajian dari segi pemikiran


pendidikan Ahmad Mustafa Al-Maraghi sehingga menghasilkan karya ilmiah
yang lebih luas jika dibandingkan dengan penelitian Mursalin tersebut sehingga
dapat dimanfaatkan pula dalam bidang pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori tentang Pendidikan Fiqih


1. Pendidikan
Pendidikan mempunyai pengertian yang luas, yang mencakup
semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
nilai-nilai serta melimpahkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, serta
keterampila kepada generasi selanjutnya, sebagai usaha untuk menyiapkan
mereka, agar dapat memenuhi fungsi hidup mereka, baik jasmani begitu
pula ruhani.7
Banyak ahli membahas pengertian “Pendidikan”, tetapi dalam
pembahasannya mengalami kesulitan, karena antara satu pengertian dengan
pengertian yang lain sering terjadi perbedaan. Ahmad D Marimba
merumuskan Pendidikan sebagai bimbingan atau didikan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan anak didik, baik jasmani maupun ruhani,
menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Pengertian ini sangat
sederhana meskipun secara substansi telah mencerminkan pemahan tentang
proses pendidikan. Menurut pengertian ini, pendidikan hanya terbatas pada
pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik.8
Dalam konteks Islam, istilah pendidikan mengacu kepada makna
dan asal kata yang membentuk kata pendidikan itu sendiri dalam
hubungannya dengan ajaran Islam. Maka pada konteks ini, perlu juga dikaji
hakikat pendidikan Islam yang didasarkan pada sejumlah istilah yang umum
dikenal dan digunakan para ahli pendidikan Islam.
Ada tiga istilah yang umum digunakan dalam pendidikan Islam,
yaitu al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Setiap istilah tersebut mempunyai

7
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemeikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al
Ma’arif, 1980), h. 3.
8
Moh Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 28.

5
6

makna yang berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya.


Walaupun dalam hal-hal tertentu istilah-istilah tersebut juga mempunyai
kesamaan makna.9

2. Fiqih
Menurut bahasa fiqih berasal dari kata faqaha ‫ فقه‬yang berarti
“memahami” atau “mengerti”. Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqh
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I
amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang
mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci.10
Fiqh menurut Bahasa (etimologi) adalah mengetahui sesuatu denga
mengerti. Menurut ibnu qayim, fiqh lebih khusus dari paham, ia adalah
paham akan maksud pembicaraan. Sedangkan fiqh menurut istilah fuqaha
seperti dalam Tajudin As-Subki, adalah ilmu tentang hukum syara’ yang
bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang tafsili. Abdul Wahab Khalaf di
samping mengemukakan definisi fiqh sebagai ilmu, juga mengemukakan
definisi fiqh sebagai materi ketentuan hukum, yaitu kumpulan hukum-
hukum syara yang bersifat amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.11
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa fiqh ialah, hukum syari yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, seperti mengetahui
hukum wajib, haram dan mubah, mandub, sunnah dan makruh, atau
mengetahui suatu akad itu sah atau tidak dalam suatu ibadah “qadha”
(pelaksanaan ibadah diluar waktunya) maupun ada (Ibadah dalam
waktunya).12
Secara umum, pembahasan fiqh ini mencakup dua bidang, yaitu
fiqih ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
shalat, zakat, haji memenuhi nazar dan membayar kafarat terhadap
pelanggaran sumpah. Kedua. fiqih muamalah yang mengatur hubungan

9
Ibid., h. 29.
10
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Depok : Rajawali Pers, 2016), h. 2.
11
Syahrul Anwar, Ilmi Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 14.
12
Ibid.
7

manusia dengan manusia lainnya. Kajiannya mencakup seluruh bidang fiqih


selain persoalan ubudiyah, seperti ketentuan-ketentuan jual beli, sewa-
menyewa, perkawinan, jinayah dan lain-lain.13
Sementara itu, Musthafa A. Zarqa membagi kajian fiqih menjadi
enam bidang, yaitu:
a. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiyah,
seperti shalat, puasa dan ibadah haji. Inilah yang kemudian disebut fiqih
Ibadah.
b. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan
keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafkah dan ketentuan nasab.
Inilah yang kemudian disebut ahwal saykhsiyah.
c. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan degan hubungan sosial
antara umat Islam dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti
jual-beli, sewa-menyewa, dan gadai. Bidang ini kemudian disebut fiqih
muamalah.
d. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan sangsi-sangsi
terhadap tindak kejahatan kriminal. Misalnya, qiyas, diat, dan hudud.
Bidang ini disebut dengan fiqih jinayah.
e. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan warga Negara
dengan pemerintahannya. Misalnya, politik dan birokrasi. Pembahasan
ini dinamakan fiqih siyasah.
f. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur etika pergaulan antara
seorang muslim dengan lainnya dalam tatanan kehidupan social.
Bidang ini disebut Ahlam khuluqiyah.14
Dalam pembelajaran fiqih seorang guru dituntut untuk mampu
memahamkan kepada siswa bahwa Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber
utama ilmu Fikih, perlu digali agar terus dapat berkembang mengikuti dan
menjawab setiap persoalan hukum disetiap saat, sebab sebagai ilmu harus

13
Hafsah, Pembelajaran Fiqh Edisi Revisi, (Bandung: Perdana Mulya Sarana, 2016), h.5.
14
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafinndo, 1992), h. 65-
76.

7
8

terus dikembangkan dan digali dari sumbernya. Jadi, setiap persoalan dalam
kehidupan dituntut untuk meresponnya dengan jalan berijtihad. Berbagai
metode ijtihad yang dilakukan oleh ulama dalam mengistimbatkan hukum
Islam antara lain metode qiyas, istihsan, istislah dan istishhab.15

B. Biografi Penulis Tafsir al-Maraghi


Al-Maraghi adalah ulama tafsir kontemporer murid Syekh
Muhammad Abduh. Nama lengkap Al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn
Mustafa Ibn Muhammad Ibn ‘Abd al-Mun’im al-Qadi al Maraghi. Ia lahir pada
tahun 1300 H/ 1883 M di kota Al-Maraghah, propinsi Suhaj, kira-kira 700 km
arah selatan kota Kairo. Menurut Abdul Aziz al-Maraghi, yang dikutip oleh
Abdul Djalal, kota Al-Maraghah adalah ibukota kabupaten al-Maraghah yang
terletak di tepi Barat Sungai Nil, berpenduduk 10.000 orang, dengan penghasilan
utama gandum, kapas dan padi.16
Ahmad Mustafa Al-Maraghi berasal dari kalangan ulama yang taat
dan menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa 5
dari 8 orang putera laki-laki Syekh Mustafa Al-Maraghi (ayah Ahmad Msutafa
Al-Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal.
1. Syekh Muhammad Mustafa Al-Maraghi yang pernah menjadi Syekh al-Azhar
dua periode tahun 1928-1930 dan 1935-1945.
2. Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi, pengarang Tafsir Al-Maraghi.
3. Syekh Abdullah Mustafa Al-Maraghi, Inspektur Umum pada Universitas Al-
Azhar.
4. Syekh Abul Wafa Mustafa Al-MAraghi, Sekretaris Badan Penelitian dan
Pengembangan Universitas Al-Azhar.17
Disamping itu ada 4 orang putera Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjadi
hakim, yaitu:
1. M. Aziz Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kairo.

15
Op.Cit., h. 12.
16
Hasan Zaini, “Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi”, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996), h. 15
17
Ibid., h. 15-16.
9

2. A. Hamid Al-Maraghi, Hakim dan Penasehat Menteri Kehakiman di Kairo.


3. Asim Ahmad Al-Maraghi, Hakim di Kuwait dan di Pengadilan Tinggi Kairo.
4. Ahmad Midhat Al-Maraghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo dan Wakil
Menteri Kehakiman di Kairo.
Julukan Al-Maraghi bukan kata yang menunjukkan marga atau nisbah
yang disandarkan pada nama keluarga, sebagaimana kata ‘al-Hasyimiy’ yang
menunjukkan keluarga dan keturunan Hasyim, melainkan disandarkan nama
tempat dimana ia dilahirkan. Karena itu, nama al-Maraghi, bukan serta merta
menunjukkan yang bersangkutan mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Abdul Mun’im al-Maraghi (kakek Ahmad Musthafa al-Maraghi). Dalam kitab
Mu’jam al Mu’allifin karya Umar Ridha Kahlanah, ditemukan biografi 13 tokoh
yang memakai julukan al-Maraghi, dan kesemuanya tidak memiliki pertalian
darah dengan tokoh yang sedang dibahas.18

Tahun Perjalanan
1300H/1883M Ahmad Mustafa Ibn Mustafa lahir
1314H/1897M Oleh kedua orangtuanya beliau disuruh meninggalkan
kota Al-Maraghah untuk pergi ke Kairo mennuntut ilmu
pengetahuan di Universitas Al-Azhar.
1909 M Beliau berhasil menyelesaikan studinya di kedua
perguruan tinggi yaitu Fakultas Dar al-Ulum Kairo
(Cairo University) dan Universitas Al-Azhar.
1916 M Ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas Al-Azhar
untuk mengajar ilmu-ilmu syari’ah Islam pada Fakultas
Ghirdun di Sudan. Selain itu beliau juga menyelesaikan
karangan bukunya yang berjudul Ulum al-Balaghah.
1920 M– Ia Kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen
1940 M Bahasa Arab dan ilmu-ilmu syari’ah Islam di Dar al-
Ulum.

18
Ibid., h. 16.

9
10

1944 M Mendapat piagam tanda penghargaan dari Raja Mesir,


Faruq
1951 M Setahun sebelum meninggal dunia, beliau masih
mengajar dan bahkan masih dipercayakan menjadi
direktur Madrasah Usman Mahir Basya di Kairo sampai
menjelang akhir hayatnya.
1952 M Beliau meninggal dunia pada tanggal 9 Juli 1952 M
ditempat kediamannya di Jalan Zul Fikar Basya nomor
37 Hilwan dan dikuburkan di pemakaman keluarganya
di Hilwan.

C. Karir Intelektual Ahmad Mustafa Al-Maraghi


Dalam usianya yang terbentang selama 69 tahun, ia telah melakukan banyak
hal. Selain sebagai tenaga pengajar/dosen, sumbangsih al-Maraghi juga
diberikan lewat karya-karyanya. Kedua jasa inilah yang memosisikan al-
Maraghi sebagai putera terbaik yang dilahirkan pada masanya.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi memulai karirnya di dunia pendidikan sebagai
seorang guru/pendidik di beberapa sekolah menengah.kemudian ia diangkat
menjadi Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum sebuah kota yang berjarak
kurang lebih 300km ke arah barat daya Kota Kairo. Kemudian pada tahun 1916
diangkat menjadi dosen ilmu-ilmu Sya’riah di Fakultas Ghidrun di Sudan
sebagai utusan dari Universitas al-Azhar.19
Selama mengajar di dua Universitas yang bertaraf internasional itu, ia telah
menularkan ilmunya kepada mahasiswa yang berasal dari berbagai negara Islam,
termasuk dari Indonesia. Adapun pemikir Islam Indonesia yang pernah menjadi
muridnya adalah Bustami Abdul Gani, Muchtar Yahya, Mastur Djahri, Ibrahim
Abdul Halim, Abdul Rajaq al-Amudy, dan mungkin masih banyak lagi.
Selama hidupnya, Ahmad Mustafa al-Maraghi tidak hanya mendalami al-
Qur’an dan tafsirnya saja, tetapi lebih dari itu dia menguasai berbagai disiplin

19
Ibid., h. 17.
11

ilmu. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika karya-karyanyapun tidak terbatas pada
bidang tafsir saja. Selain karya fenomenalnya berupa tafsir al-Qur’an 30 juz ini,
al-Maraghi juga banyak menuangkan pikirannya melalui berbagai tulisan.

D. Karya-Karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi


Al-Maraghi adalah seorang ulama yang produktif dalam menyampaikan
pemikirannya lewat tulisan-tulisan yang terbilang sangat banyak. Tafsir tersebut
di tulis 10 tahun lamanya, terdiri 30 juz dan telah diterjemahkan kedalam
beberapa Bahasa, diantaranya bahasa Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Ulum Balaghah
2. Hidayah at-Talib
3. Tarikh Ulum Al-Balaghah Wa Ta’rif Bi Rijaliha
4. Buhus Wa’ Ara’
5. Mursyid At-Tullab
6. Al-Mu’jaz Fi al-Adabi al-Arabi
7. Al-Mu’jaz Fi Uum al-Usul
8. Ad-Diyanah wa al-Akhlaq
9. Al-Hisbah Fi al-Islam
10. Ar-Rifq bi al-Hayawan fi al-Islam
11. Syarkh Salasih Hadisan
12. Tafsir Al-Maraghi
13. Risalah Isbat Ru’yah wa al-Hilal fi Ramazan20
Tafsir Al-Maraghi terkenal sebagai sebuah kitab tafsir yang terinci, mudah
dipahami dan enak dibaca. Hal ini sesuai dengan tujuan pengarangnya, seperti
dalam Muqaddimah yaitu menyajikan sebuah buku tafsir yang mudah dipahami
oleh masyarakat Muslim secara umum. Selain itu ada 2 faktor penulisan tafsir
Al-Maraghi:

20
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoave, 2005), h.
282.

11
12

1. Faktor Eksternal
Beliau banyak menerima pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat
yang berkisar pada maslah tafsir apakah yang paling mudah difahami dan
paling bermanfaat bagi para pembacanya serta dapat dipelajari dalam masa
yang singkat. Mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut, beliau merasa
agak kesulitan dalam memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Masalahnya, sekalipun kitab-kitab tafsir itu bermanfaat, karena
telah mengungkatpkan persoalan-persoalan agama dan macam-macam
kesulitan yang tidak mudah untuk difahami, namun kebanyakkan kitab tafsir
itu telah banyak dibumbui dengan menggunakan istilah-istilah ilmu lain,
seperti ilmu balaghah, nahwu, sorof fiqh, tauhid dan ilmu-ilmu lainnya,
yang semuanya itu merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur’an secara
benar bagi pembacanya.21
2. Faktor Internal
Yang mana factor ini berasal dari diri al-Maraghi sendiri yaitu bahwa
beliau telah mempunyai cita-cita untuk menjadi obor pengetahuan Islam
terutama dibidang ilmu tafsir, untuk itu beliau merasa berkewajiban untuk
mengembangkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka al-Maraghi yang sudah
berkecimpung dalam bidang Bahasa arab selama setengah abad lebih, baik
belajar, maupun mengajar, merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab
tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, Bahasa yang simple dan
selektif, serta mudah untuk difahami, kitab tersebut diberi nama dengan
“Tafsir Al-Maraghi”.22
Seleksi terhadap kisah-kisah yang terdapat di dalam kitab-kitab Al-
Maraghi merupakab salah satu usaha yang dilakukan al-Maraghi terhadap
cerita-cerita Israiliyat, melihat salah satu kelemahan kitab-kitab tafsir
terdahulu adlah dimuatkan cerita-cerita yang berasal dari ahli kitab

21
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1996), h. 24. Lihat juga Tafsir Al-Maraghi, Jilid. 1, h.3.
22
Ibid.
13

(Israilliyat), padahal cerota tersebut belum tentu benar. Lebih-lebih lagi


kepada ahli kitab yang memelik Islam seperti Abdullah Ibn Salam. Ka’ab
Ibn al-Azhar dab Wahab Ibn Munabbin. Ketiga-tiga orang tersebut
menceritakan kepada umat Islam tentang kisah yang dianggap sebagai
interpretasi hal-hal yang sulit di dalam Al-Qur’an.23

E. Pemikiran Pendidikan Fiqih Ahmad Mustafa al-Maraghi dalam Tafsir al-


Maraghi
Sebelumnya ada beberapa pandangan ulama terhadap Ahmad Mustafa Al-
Maraghi, berikut penjelasannya:
1. Abdurrahman Hasan Habannaka, dosen tafsir dan ‘Ulum al-Qur’an pada
Dirasah ‘Ulya (Pascasarjana) Universitas Ummul Qura Mekah, mengatakan:
“Mengenai mazhab fikih yang dianut Ahmad Mustafa al-Maraghi kami tidak
mengetahui secara pasti, namun berart dugaan bahwa ia menganut mazhab
Syafi’I atau Hanafi”.
2. Muhammad Tantawi, Ketua Jurusan Tafsir dan dosen Tafsir/’Ulum al-
Qur’an pada Pascasarjana Universitas Islam Madinah mengatakan : “Kami
tidak mengetahui secara pasti mazhab fikih yang dianutnya, namun ia
termasuk penyempurna dari pendapat-pendapat ulama terdahulu”.
3. Muhammad Jum’ah, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas al-Qur’an al-Karim
Universitas Islam Madinah mengatakan : “Al-Maraghi termasuk
pembaharu/reformis dalam bidang tafsir, yang berorientasi kepada
kebutuhan masyarakt. Ia tidak menganut suatu mazhab tertentu, sebab ia
mengikuti aliran baru yang dibawa Muhammad Abduh dan Rasyid Rida”.24

Pendidikan menurut Al-Maraghi salah satunya dijelaskan pada Surat Al-


Kahfi ayat 60-62, menurut penulis Ahmad Mustafa Al-Maraghi mengartikan
tujuan pendidikan yang dijelaskan pada surat Al-Kahfi adalah perubahan sikap
Nabi Musa yang semua membanggakan diri dengan ilmunya, menjadi rendah

23
Ibid., h. 28.
24
Ibid., h. 20-21.

13
14

hati dan mengakui kemampuan orang lain yang ternyata mempunyai ilmu yang
lebih tinggi darinya.25
Pemakalah mengambil dua kasus yaitu tentang nilai-nilai pendidikan dalam
ibadah shalat dan poligami pada Tafsir al-Maraghi, berikut penjelasannya:
1. Ibadah Shalat
a. Q.S. Al-Baqarah
Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi ketika
berbicara masalah shalat terutama dalam surat Al-Barqarah beliau
mengungkapkan paling baik mengenai keagungan yang disembah (Allah)
disamping menunjukkan betapa butuhnya hamba terhadap-Nya. Inipin
dengan syarat, shala dilakukan dengan benar menurut petunjuk-petunjuk
agama kemudian, jika shalat dilaksanakan dalam keadaan kosong dari
perasaan khusyu’, sama saja dengan jasad tanpa tuh, sekalipun tampak
Gerakan-gerakan shalat. Ketika shalat dilakukan dengan car aini, maka sang
hamba tidak bisa dikatakan telah melakukan pekerjaan shalat, atau
mendirikan shalat. Pengertian mendirikan shalat yang sebenarnya jika
dipandang demikian adalah memerlukan kekhusyuan di dalam melakukan
bagian-bagian shalat, dan hati tertuju kepada pengawasan Sang Maha
Pencipta, seakan-akan pelaku shalat melihat-Nya.26
Shalat mempunyai peranan penting di dalam menyucikan jiwa yang
dapat mengantarkan kepada kerajaan Allah yang luhur, karena itu Allah
menjelaskan pengaruh-pengaruh shalat bagi yang mendirikannya melalui
finman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar” Dan apabila engkau telah mendirikan dengan sebenamya dan tepat
seperti apa telah diperintahkan oleh agama, maka sesungguhnya shalatmu

25
Opik Taopikurohman, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-
QUR’AN SURAT AL-KAFI AYAT 60-82”, Jurnal Ilmiah Kajian Islam, Vol. 2, No. 2, h. 35.
26
Mursalin, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IBADAH SHALAT PADA TAFSIR
AL-AZHAR KARYA BUYA HAMKA DAN TAFSIR AL-MARAGHI KARYA AHMAD
MUSTHAFA AL-MARAGHI DALAM MEMBENTUK PRIBADI MUTTAQIN”, Skripsi,
(Malang: UIN Malang, 2018), h. 146-147.
15

dapat menahan dirimu dari perbuatan keji dan mungkar serta memelihara
jiwamu dari kejahatan dan perbuatan dosa. 27
Shalat seharusnya dikerjakan dengan penuh kesadaran bahwa
seorang hamba butuh kepada sang pencipta. Salah satu kesadaran yang
seharusnya ditumbuhkan itu adalah kesadaran bahwa seorang hamba pasti
akan kembali kepada penciptanya. Kesadaran kembali kepada-Nya
kemudian akan melahirkan kedekatan yang intens antara hamba dan
pencipta. Rasulullah SAW pun sadar tentang hal ini sehingga ketika beliau
tertimpa musibah berat beliau tidak mencari jalan keluar kecuali shalat,
tunduk, tersungkur kepada pencipta yang menguasai seluruh kehidupan dan
kematian.28

b. Q.S. An-Nisa’
Dalam surat an-Nisa‟ ini al-Maraghi menafsirkan firman Allah SWT
mengenai shalat dalam keadaan takut (khauf). Shalat dalam keadaan apapun
harus tetap dilaksanakan tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan shalat
menempati tingkat tertinggi dalam rukun islam yang lima. Sehingga shalat
dalam keadaan apapun tetap harus dikerjakan bahkan dalam peperangan
sekalipun tetap shalat dikerjakan. Apabila kalian telah melaksanakan shalat
dengan cara seperti ini (shalat khouf), maka ingatlah Allah Ta'ala di dalam
diri kalian dengan mengingat janji-Nya bahwa Dia akan menolong orang-
orang yang menolong agama-Nya di Dunia dan memberikan pahala di
akhirat; kemudian dengan lisan kalian, yakni dengan memuji, bertakbir dan
berdoa. Semua itu kalian lakukan dalam setiap keadaan, seperti berdiri
sewaktu berlari dan berkelahi, duduk sewaktu memanah atau untuk bergulat,
dan berbaring karena luka atau untuk memperdaya musuh. Mengingat Allah,
termasuk salah satu faktor yang meneguhkan hati, mengobarkan semangat,
membuat segala kepayahan dunia menjadi tidak ada artinya dan segala

27
Ibid., h. 147.
28
Ibid.

15
16

kesulitan menjadi mudah, serta memberikan ketabahan dan kesabaran yang


akan disusul dengan keberuntungan dan kemenangan.29
Allah SWT mengemukakan alasan diwajibkannya memelihara
shalat di dalam setiap keadaan, hingga dalam keadaan takut dan meskipun
harus dengan jalan mengqasarnya. Allah telah menentukan waktu untuk
melakukan pekerjaan. Yakni, di dalam hukum Allah, shalat adalah suatu
kewajiban yang mempunyai waktu-waktu tertentu dan sebisa mungkin harus
dilaksanakan di dalam waktu-waktu itu. Melaksanakan shalat pada waktunya
meskipun dengan diqasar tetapi syaratnya terpenuhi, adalah lebih baik
daripada mengakhirkannya agar dapat melaksanakannya dengan sempurna.
30

Hikmah dari ditentukannya waktu-waktu shalat itu, karena perkara


yang tidak mempunyai waktu tertentu biasanya tidak diperhatikan oleh
kebanyakan orang. Di samping itu, zikir yang mendidik jiwa ini mengandung
pendidikan amaliah bagi umat Islam, karena mereka melaksanakan amal-
amalnya di dalam waktu-waktu tertentu, tanpa uawarmenawar lagi. Karena
itu, barangsiapa melalaikan shalat di dalam lima waktu itu, maka boleh jadi
dia akan lupa kepada Tuhannya dan tenggelam di dalan lautan kelalaian.
Berbeda dengannya, orang yang imannya kuat dan hatinya bersih tidak
cukup dengan berzikir dan bermunajat kepada Allah dalam waktu yang
sedikit ini, akan tetapi dia menambahnya dengan shalat-shalat nafilah.31

c. Q.S. Luqman
Nasehat Luqman yang tertera dalam al-Qur‟an surat ke-31
merupakan modal hidup yang diberikan kepada anaknya dan dibawakan
menjadi modal pula bagi kita semua, salah satu nasehat yang ditafsirkan oleh
al-Maraghi adalah “Hai anakku, dirikanlah shalat, yakni kerjakanlah shalat
dengan sempurna sesuai dengan cara yang diridhai. Karena di dalam shalat

29
Ibid., h. 148.
30
Ibid.
31
Ibid., h. 149.
17

itu terkandung ridha Tuhan, sebab orang yang mengerjakannya berarti


menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam shalat terkandung pula
hikmat lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang bersangkutan dari
perbuatan keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan hal itu
dengan sempurna, niscaya bersihlah jiwanya dan berserah diri kepada
Tuhannya, baik dalam keadaan suka maupun duka.32

Adapun nilai-nilai pendidikan yang telah dipaparkan diatas mengenai nilai


pendidikan ibadah shalat dalam tafsir Al-Maraghi adalah sebagai berikut:
1) Shalat Menanamkan Komitmen dalam Kehidupan.
2) Shalat Menciptakan Kebersihan dan Keharmonisan dalam Kehidupan.
3) Shalat Mengajarkan Fokus dalam Kehidupan.
4) Shalat Mencegah Perbuatan Keji dan Munkar.

2. Poligami
Ada dua ayat yang dapat dijadikan dasar hukum poligami, yakni WS. Al-
Nisa’(4): 3 dan QS. Al-Nisa’(4): 129. Ayat 3 surat al-Nisa’ artinya:
“Dan jika kamu Khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir takut tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berlaku
zalim” (QS.al-Nisa’: 3).
Al-Maraghi tidak mengharamkan poligami, juga tidak menganjurkan.
Menurutnya, poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah (bima
ahallahuh lakum minattazwij bighoirihin). Bolehnya poligami menuru dia dalam
kondisi yang sangat darurat dan disyaratkan mampu berlaku adil terhadap
masing-masing istrinya. Al Maraghi tidak mengharamkan poligami, juga tidak
menganjurkan. Menurutnya, poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh

32
Ibid., h. 150.

17
18

Allah (bima ahallahuh lakum minattazwij bighoirihin). Bolehnya poligami


menurut dia dalam kondisi yang sangat darurat dan disyaratkan mampu berlaku
adil terhadap masing-masing istrinya.33
Di sisi lain, dia menganut paham monogami, karena ada beberapa ungkapan
dalam tafsirnya yang mengindikasi demikian, di antaranya adalah:
a. Jika kamu khawatir dan tidak yakin bisa berlaku adil, maka cukuplah kamu
beristri satu (fa alaikum antalzimu bi wahidatin faqoth).
b. Memilih beristri satu lebih memungkinkan tidak terjadinya kecurangan dan
kezaliman terhadap istrinya (ikhtiyaru al-wahidah aw al- tasarro aqrob ila
a’dami al-jur wa al-zhulm).
c. Salah satu penyebab brokenhome adalah poligami, sebagai penyebab yang
pasti di mana tidak terdapat kenyamanan dan ketenteraman dalam rumah
tangga tersebut (bianna al-bait allazi fihi zaujatani au aktsar li rojuli wahid
la tastiqimu lahu hal wala yastatibbu lahu nizhom).
d. Timbulnya tindakan kriminal dan pidana bersumber dari poligami.
e. Poligami itu bertentangan dengan cinta kasih dan ketenangan jiwa
perempuan. Padahal itu merupakan pondasi kebahagiaan hidup berkeluarga
(wa jumlah al-qaul anna ta’addud al-zaujat yukhalif al-mawaddah wa al-
rahmah wa sakinan al-nafsi ila al mar’ah wa hiyaarkan sa’adah al-hayah
al-zaujiyyah).
f. Poligami menyebabkan rusaknya struktur keluarga, karena kecenderungan
kepada salah satu istri dan mengikuti kemauannya (wa katsiron ma yuthi’u
ahabba ilahi nisaihi ilahi fa yadubbu al-fasad fi al usrah kulliha).
g. Pada dasarnya kebahagiaan dalam keluarga adalah seorang laki-laki yang
hanya memiliki satu istri (al-ashlu fi al-sa’aadah al-zaujiyyah ayyakuna li
al-rojuli zaujun wahidah).34

33
Usman, “PERDEBATAN POLIGAMI DALAM ISLAM”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol.
39, No. 1, h. 136-137.
34
Ibid., h. 137
19

Dari paparan di atas, diketahui asas perkawinan dalam Islam adalah


monogami. Karena keluarga yang monogami merupakan pondasi keluarga
sakinah, mawaddah wa rahmah. Al-Maraghi melihat bahwa poligami lebih
banyak membawa risiko dan darurat dari maslahat. Karena watak manusia
secara fitrah cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Poligami dapat menjadi
sumber konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi antara suami-istri, istri
satu dengan istri yang lain, dan anak-anak dari masing- masing istri. Maka tak
jarang tindakan kriminalitas, pencurian, perzinahan, dan pembunuhan
bersumber dari praktik poligami yang bebas.35
Akhirnya al-Maraghi berkesimpulan bahwa hukum asal perkawinan dalam
Islam adalah monogami. Tujuan perkawinan akan tercapai secara sempurna
dalam keluarga di mana seorang laki-laki hanya memiliki satu istri. Sedangkan
poligami bertentangan tujuan perkawinan mawaddah wa rahmah dan
ketenangan jiwa dalam diri wanita, yang merupakan kebahagiaan dalam
kehidupan keluarga.
Poligami menurut al-Maraghi dapat dilakukan dalam keadaan darurat dan
dalam kondisi yang poligami harus dilakukan. Itupun dilakukan dengan suatu
keyakinan bisa berlaku adil. Apabila diyakini tidak mampu berlaku adil, maka
tidak dibenarkan berpoligami. Poligami dapat dilakukan adalah:
a. Apabila istri mandul, sedangkan suami butuh anak.
b. Suami memiliki daya seks yang tinggi, sementara istri tidak sanggup
meladeni sesuai kebutuhan suami karena faktor usia atau sakit, sedangkan
suami mampu memberi nafkah seandainya dia kawin lagi dan mampu
menyempurnakan pendidikan anak-anaknya.
c. Suami merasa tidak puas dengan satu istri, sementara dia mempunyai
kemampuan, baik secara materil maupun non-materil untuk menikahi lebih
dari satu. Sedangkan istri dengan kekurangan tidak mampu meladeni
kebutuhan biologis suaminya, yang di antaranya disebabkan misalnya masa

35
Ibid.

19
20

haid yang panjang. Dengan pertimbangan agar suami tidak jatuh dalam
perbuatan zina, maka dibolehkan dia menikah lagi
d. Jika jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki yang mungkin terjadi akibat
perang, atau banyak janda dan anak yatim akibat perang, sehingga
dikhawatirkan kehormatan dan kemuliaan wanita tergadai, maka solusi
yang tepat adalah dilakukan poligami.36

36
Ibid., h. 138.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Nilai-nilai pendidikan dalam ibadah shalat pada tafsir al-maraghi
karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi adalah: 1) Pendidikan untuk menjaga
kebersihan, 2) Pendidikan untuk memiliki sifat tanggung jawab, 3)
Pendidikan untuk menepati janji, 4) Pendidikan untuk mendatangkan
keberkahan dalam hidup, 5) Pendidikan untuk meneguhkan pribadi dengan
dzikrullah, 6) Pendidikan untuk disiplin, 7) Pendidikan untuk meneguhkan
pribadi dengan tunduk kepada Allah, 8) Pendidikan untuk mencegah
perbuatan keji dan mungkar, dan 9) Pendidikan untuk menjadi manusia
yang fokus
Al-Maraghi tidak mengharam-kan poligami. Menurutnya, poligami
merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah (bima ahallahuh lakum
minattazwij bighoirihin). Makna boleh di sini rukhsah, di mana tidak ada
jalan lain kecuali poligami itu dilakukan untuk kemaslahatan, dan
disyaratkan dia mampu berlaku adil terhadap istri- istrinya. Al-Maraghi
memandang adil dalam poligami (seperti dalam QS. al-Nisa’ ayat 129)
adalah adil material, yaitu memberi perhatian yang sama terhadap istri-istri,
seperti tempat tinggal, nafkah, giliran malam, dan giliran musafir. Bentuk
adil seperti ini bisa diukur dan masih dalam kemampuan manusia
melakukannya. Sedangkan mempersamakan kebutuhan seksual dan rasa
cinta terhadap istri-istrinya bukan kewajiban dalam poligami, karena
seorang suami tidak akan mampu membagikannya sama rata rasa cinta.
Kendatipun keadilan immaterial tidak diwajibkan, tapi tetap dituntut untuk
melakukan semaksimal mungkin. Al-Maraghi melihat bahwa poligami
lebih banyak membawa risiko dan darurat dari maslahat. Karena watak
manusia secara fitrah cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Poligami dapat

21
menjadi sumber konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi antara suami-
istri, istri satu dengan istri yang lain, dan anak-anak dari masing-masing
istri.

22
DAFTAR PUSTAKA

al-Jifari, Muhammad bin Qusri, Agar Shalat Tak Sia-sia. Solo: Pustaka Iltizam. 2007.
al-Rumi, Fath Andurrahman bin Sulaiman. Konsep Shalat Menurut Al-Qur'an, diterj.
Abdullah Abbas. Jakarta: Firdaus, 1996.
Anwar, Syahrul, Ilmi Fiqih dan Ushul Fiqih. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Fithrotin. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Musthafa Al-Maraghi Dalam
Kitab Al-Maraghi (Kajian Atas Al-Hujurat Ayat: 9): Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir. Vol. ., No. II. Lamongan: Al-Furqan. 2018.
Hafsah. Pembelajaran Fiqh Edisi Revisi. Bandung: Perdana Mulya Sarana. 2016.
Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Depok : Rajawali Pers. 2016.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemeikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al
Ma’arif. 1980.
Mursalin. “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IBADAH SHALAT PADA TAFSIR
AL-AZHAR KARYA BUYA HAMKA DAN TAFSIR AL-MARAGHI KARYA
AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI DALAM MEMBENTUK PRIBADI
MUTTAQIN”. Skripsi. Malang: UIN Malang. 2018.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafinndo. 1992.
Salim, Moh Haitami dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media. 2012.
Taopikurohman, Opik. “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-QUR’AN
SURAT AL-KAFI AYAT 60-82”. Jurnal Ilmiah Kajian Islam. Vol. 2. No. 2.
Taupik , Opik Taupik dan Ali Khosim Al-Mansyur. Fiqih 4 Madzhab: Kajian Fiqih Ushul
Fiqih. Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014.
Tim Penulis. Ensiklopedi Islam. Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoave. 2005.
Usman. “PERDEBATAN MASALAH POLIGAMI DALAM ISLAM”. Jurnal Pemikiran
Islam. Vol. 39, No. 1.
Zaini, Hasan.“Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi”. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya. 1996.

23

Anda mungkin juga menyukai