Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Mia Amalya Amanda 21220110000019
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT. karena berkat rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul “Pemikiran
Pendidikan Fikih Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi”. Penulis
turut berterimakasih kepada dosen pengampu yang telah membimbing saya Dr.
Muhammad Sholeh Hasan, Lc., M.A. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Studi al-Qur’am.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum, fiqih dapat dipahami sebagai sebuah aturan main dalam
kehidupan yang berporos pada Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun -sebagai sebuah
formulasi hukum- ia merupakan produk ijtihad seorang mujtahid. Ia berisi
kewajibankewajiban yang diyakini dari Tuhan untuk umat manusia agar manusia
dapat berprilaku positif. Ketundukan manusia terhadap fiqih ini akan menjadi
indikasi “kesalehan manusia” baik di hadapan Tuhannya maupun di tengah-
tengah kehidupan manusia.1
Sebagai sebuah aturan, fiqih mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya
dan juga mengatur hubungan manusia dengan sesama bahkan dengan alam
sekitarnya. Dua fungsi ini menjadikan fiqih terpetakan menjadi dua yaitu
pertama fiqih Ibadah yang lebih menekankan pada spek kesalehan individual,
kedua fiqih muamalah yang lebih menekankan pada aspek kesalehan sosial.2
Dalam makalah ini penulis akan mengambil dua permasalahan terkait
pernikahan dan shalat. Pernikahan dalam bentuk poligami sudah berkembang
lama, namun pembicaraan dan perdebatan antara setuju dan tidak setuju dengan
poligami tetap up to date di tengah masyarakat, dan dalam diskusi para intelual
muslim. Di antara alasan menentang poligami karena dianggap banyak
mendatangkan efek negatif dan dianggap mendiskriminasi kaum perempuan.
Sedangkan yang setuju dengan praktek ini, mengemukakan alasan bahwa Islam
tidak melarang poligami, dan dalam kondisi-kondisi tertentu poligami salah satu
solusi pengatasi problem rumah tangga dan masyarakat.3
1
Opik Taupik da Ali Khosim Al-Mansyur, Fiqih 4 Madzhab: Kajian Fiqih Ushul Fiqih,
(Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014), h. 2.
2
Ibid.
3
Usman, “PERDEBATAN MASALAH POLIGAMI DALAM ISLAM”, Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 39, No. 1, h. 129.
1
2
Dalam Islam dalil yang dijadikan dasar dibolehkan poligami adalah QS al-
Nissa’ ayat 3. Para mufassir dan pemikir Islam memiliki pemahaman yang
berbeda-beda terhadap ayat di atas. Sebagian ulama menjadikan ayat di atas
sebagai dasar dibolehkan poligami. Sebagian yang lain menegaskan bahwa ayat
di atas berkaitan dengan perlakuan adil terhadap anak yatim yang dinikahi,
maupun terhadap istri-istri yang bukan dari kalangan anak yatim.
Permasalah yang kedua yaitu tentang shalat. Shalat ketika dikerjakan
dengan rasa khusyu‟ dan ikhlas, seseorang akan merasakan nikmatnya
menghadap sang khaliq, Allah SWT. Hal ini diperolehnya karena dalam ibadah
shalat dia mengesakan Allah semata, mentauhidkan-Nya, meyakini kekuasaan-
Nya dan mengharap pertolonganNya disamping menyatakan rasa takut dan
tunduk kepadaNya dan merasakan kehadiranNya.4
Di sisi lain, fenomena yang terjadi sekarang banyak orang shalat namun
tidak menghadirkan kekhusyuan dan keihklasan dalam shalatnya. Shalat
dikerjakan sebagai penggugur kewajiban semata, shalat dilakukan dengan asal
selesai, sekedar merangkai bacaan dan gerakan tanpa menghadrikan pemaknaan
di dalamnya. sehingga banyak orang yang rajin shalat namun masih memakai
sandal orang lain, mengejek orang lain. menyakiti tetangga, bahkan kejahatan-
kejahatan yang terjadi pada remaja yang merebak saat ini pun disebabkan karena
tidak menghadirkan khusyu‟ dan ikhlas dalam ibadah shalatnya.5
Tafsir Al-Maraghi merupakan karya besar dari hasil jerih payah dan
keuletan sang penulis dalam menyusunnya selama kurang lebih 10 tahun, yakni
dari tahun 1940-1950 M. Tafsir Al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun
1951 di Kairo, Mesir.
Menurut penulis tafsir Al-Maraghi ini merupakan karya tafsir yang
istimewa, karena tafsir Al-Maraghi merupakan salah satu kitab tafsir terbaik di
abad modern ini. Dan merupakan tafsir kontemporer yang akomodatif dan
relevan terhadap beragam masyarakat Islam. Salah satunya adalah masyarakat
4
Fath Andurrahman bin Sulaiman al-Rumi, Konsep Shalat Menurut Al-Qur'an, diterj.
Abdullah Abbas, (Jakarta: Firdaus, 1996), h. 10.
5
Muhammad bin Qusri al-Jifari, Agar Shalat Tak Sia-sia, (Solo: Pustaka Iltizam, 2007),
h. 8.
3
islam Indonesia karena ditulis secara sitematis dan mudah dipahami, serta
menggunakan bahasa yang sederhana dan efektif, latar belakang penulisannya
pun tidak fanatik terhadap salah satu madzhab. Metode yang dipakai oleh al-
Maraghi dalam tafsirnya dari segi sumber penafsiran menggunakan Iqtirani. Dari
segi keluasan penjelasannya Itnabi/tafsili. Sedangkan dari segi sasaran dan tertib
ayatnya menggunakan tahlili. Sementara itu dari aspek kecenderungan atau
corak yang paling dominan Al-Maraghi memberikan warna tafsirnya dengan al-
‘adabi al-ijtima’i.6
B. Rumusan Masalah
Penulisan karya ilmiah ini akan dibatasi dengan membahas sebuah
permasalahan. Adapun rumusan masalah dalam penulisan ini yaitu “Bagaimana
pemikiran pendidikan fikih menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir
Al-Maraghi?”.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka akan memunculkan jawaban
yang menjelaskan tujuan dari penulisan makalah ini. Tujuan penulisan yang akan
dituju penulis, yaitu “Mengidentifikasi dan menganalisis pemikiran pendidikan
fikih menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi.”.
D. Penelitian Terdahulu
Adapun pengkajian pemikiran atau nalar Ahmad Mustafa Al-Maraghi
pernah diteliti oleh Mursalin Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Judul penelitiannya adalah “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Ibadah Shalat pada
Tafsir Al-Azhar Karya Buya Hamka dan Tafsir Al-Maraghi Karya Ahmad
Musthafa Al-Maraghi Dalam Membentuk Pribadi Muttaqin”. Adapun
perbedaannya dengan penulisan makalah ini, yaitu bukan hanya menelaah
6
Fithrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Musthafa Al-Maraghi
Dalam Kitab Al-Maraghi (Kajian Atas Al-Hujurat Ayat: 9): Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol.
I, No. II (Lamongan: Al-Furqan, 2018), h. 111.
3
4
7
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemeikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al
Ma’arif, 1980), h. 3.
8
Moh Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), h. 28.
5
6
2. Fiqih
Menurut bahasa fiqih berasal dari kata faqaha فقهyang berarti
“memahami” atau “mengerti”. Dalam peristilahan syar’I, ilmu fiqh
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I
amali (praktis) yang penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang
mendalam terhadap dalil-dalilnya yang terperinci.10
Fiqh menurut Bahasa (etimologi) adalah mengetahui sesuatu denga
mengerti. Menurut ibnu qayim, fiqh lebih khusus dari paham, ia adalah
paham akan maksud pembicaraan. Sedangkan fiqh menurut istilah fuqaha
seperti dalam Tajudin As-Subki, adalah ilmu tentang hukum syara’ yang
bersifat amali diambil dari dalil-dalil yang tafsili. Abdul Wahab Khalaf di
samping mengemukakan definisi fiqh sebagai ilmu, juga mengemukakan
definisi fiqh sebagai materi ketentuan hukum, yaitu kumpulan hukum-
hukum syara yang bersifat amali dari dalil-dalilnya yang tafsili.11
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa fiqh ialah, hukum syari yang
berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, seperti mengetahui
hukum wajib, haram dan mubah, mandub, sunnah dan makruh, atau
mengetahui suatu akad itu sah atau tidak dalam suatu ibadah “qadha”
(pelaksanaan ibadah diluar waktunya) maupun ada (Ibadah dalam
waktunya).12
Secara umum, pembahasan fiqh ini mencakup dua bidang, yaitu
fiqih ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
shalat, zakat, haji memenuhi nazar dan membayar kafarat terhadap
pelanggaran sumpah. Kedua. fiqih muamalah yang mengatur hubungan
9
Ibid., h. 29.
10
Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Depok : Rajawali Pers, 2016), h. 2.
11
Syahrul Anwar, Ilmi Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 14.
12
Ibid.
7
13
Hafsah, Pembelajaran Fiqh Edisi Revisi, (Bandung: Perdana Mulya Sarana, 2016), h.5.
14
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafinndo, 1992), h. 65-
76.
7
8
terus dikembangkan dan digali dari sumbernya. Jadi, setiap persoalan dalam
kehidupan dituntut untuk meresponnya dengan jalan berijtihad. Berbagai
metode ijtihad yang dilakukan oleh ulama dalam mengistimbatkan hukum
Islam antara lain metode qiyas, istihsan, istislah dan istishhab.15
15
Op.Cit., h. 12.
16
Hasan Zaini, “Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi”, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1996), h. 15
17
Ibid., h. 15-16.
9
Tahun Perjalanan
1300H/1883M Ahmad Mustafa Ibn Mustafa lahir
1314H/1897M Oleh kedua orangtuanya beliau disuruh meninggalkan
kota Al-Maraghah untuk pergi ke Kairo mennuntut ilmu
pengetahuan di Universitas Al-Azhar.
1909 M Beliau berhasil menyelesaikan studinya di kedua
perguruan tinggi yaitu Fakultas Dar al-Ulum Kairo
(Cairo University) dan Universitas Al-Azhar.
1916 M Ia diangkat menjadi dosen utusan Universitas Al-Azhar
untuk mengajar ilmu-ilmu syari’ah Islam pada Fakultas
Ghirdun di Sudan. Selain itu beliau juga menyelesaikan
karangan bukunya yang berjudul Ulum al-Balaghah.
1920 M– Ia Kembali ke Kairo dan diangkat menjadi dosen
1940 M Bahasa Arab dan ilmu-ilmu syari’ah Islam di Dar al-
Ulum.
18
Ibid., h. 16.
9
10
19
Ibid., h. 17.
11
ilmu. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika karya-karyanyapun tidak terbatas pada
bidang tafsir saja. Selain karya fenomenalnya berupa tafsir al-Qur’an 30 juz ini,
al-Maraghi juga banyak menuangkan pikirannya melalui berbagai tulisan.
20
Tim Penulis, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoave, 2005), h.
282.
11
12
1. Faktor Eksternal
Beliau banyak menerima pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat
yang berkisar pada maslah tafsir apakah yang paling mudah difahami dan
paling bermanfaat bagi para pembacanya serta dapat dipelajari dalam masa
yang singkat. Mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut, beliau merasa
agak kesulitan dalam memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Masalahnya, sekalipun kitab-kitab tafsir itu bermanfaat, karena
telah mengungkatpkan persoalan-persoalan agama dan macam-macam
kesulitan yang tidak mudah untuk difahami, namun kebanyakkan kitab tafsir
itu telah banyak dibumbui dengan menggunakan istilah-istilah ilmu lain,
seperti ilmu balaghah, nahwu, sorof fiqh, tauhid dan ilmu-ilmu lainnya,
yang semuanya itu merupakan hambatan bagi pemahaman al-Qur’an secara
benar bagi pembacanya.21
2. Faktor Internal
Yang mana factor ini berasal dari diri al-Maraghi sendiri yaitu bahwa
beliau telah mempunyai cita-cita untuk menjadi obor pengetahuan Islam
terutama dibidang ilmu tafsir, untuk itu beliau merasa berkewajiban untuk
mengembangkan ilmu yang sudah dimilikinya.
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka al-Maraghi yang sudah
berkecimpung dalam bidang Bahasa arab selama setengah abad lebih, baik
belajar, maupun mengajar, merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab
tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, Bahasa yang simple dan
selektif, serta mudah untuk difahami, kitab tersebut diberi nama dengan
“Tafsir Al-Maraghi”.22
Seleksi terhadap kisah-kisah yang terdapat di dalam kitab-kitab Al-
Maraghi merupakab salah satu usaha yang dilakukan al-Maraghi terhadap
cerita-cerita Israiliyat, melihat salah satu kelemahan kitab-kitab tafsir
terdahulu adlah dimuatkan cerita-cerita yang berasal dari ahli kitab
21
Hasan Zaini, Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir Al-Maraghi, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1996), h. 24. Lihat juga Tafsir Al-Maraghi, Jilid. 1, h.3.
22
Ibid.
13
23
Ibid., h. 28.
24
Ibid., h. 20-21.
13
14
hati dan mengakui kemampuan orang lain yang ternyata mempunyai ilmu yang
lebih tinggi darinya.25
Pemakalah mengambil dua kasus yaitu tentang nilai-nilai pendidikan dalam
ibadah shalat dan poligami pada Tafsir al-Maraghi, berikut penjelasannya:
1. Ibadah Shalat
a. Q.S. Al-Baqarah
Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi ketika
berbicara masalah shalat terutama dalam surat Al-Barqarah beliau
mengungkapkan paling baik mengenai keagungan yang disembah (Allah)
disamping menunjukkan betapa butuhnya hamba terhadap-Nya. Inipin
dengan syarat, shala dilakukan dengan benar menurut petunjuk-petunjuk
agama kemudian, jika shalat dilaksanakan dalam keadaan kosong dari
perasaan khusyu’, sama saja dengan jasad tanpa tuh, sekalipun tampak
Gerakan-gerakan shalat. Ketika shalat dilakukan dengan car aini, maka sang
hamba tidak bisa dikatakan telah melakukan pekerjaan shalat, atau
mendirikan shalat. Pengertian mendirikan shalat yang sebenarnya jika
dipandang demikian adalah memerlukan kekhusyuan di dalam melakukan
bagian-bagian shalat, dan hati tertuju kepada pengawasan Sang Maha
Pencipta, seakan-akan pelaku shalat melihat-Nya.26
Shalat mempunyai peranan penting di dalam menyucikan jiwa yang
dapat mengantarkan kepada kerajaan Allah yang luhur, karena itu Allah
menjelaskan pengaruh-pengaruh shalat bagi yang mendirikannya melalui
finman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan
mungkar” Dan apabila engkau telah mendirikan dengan sebenamya dan tepat
seperti apa telah diperintahkan oleh agama, maka sesungguhnya shalatmu
25
Opik Taopikurohman, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-
QUR’AN SURAT AL-KAFI AYAT 60-82”, Jurnal Ilmiah Kajian Islam, Vol. 2, No. 2, h. 35.
26
Mursalin, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IBADAH SHALAT PADA TAFSIR
AL-AZHAR KARYA BUYA HAMKA DAN TAFSIR AL-MARAGHI KARYA AHMAD
MUSTHAFA AL-MARAGHI DALAM MEMBENTUK PRIBADI MUTTAQIN”, Skripsi,
(Malang: UIN Malang, 2018), h. 146-147.
15
dapat menahan dirimu dari perbuatan keji dan mungkar serta memelihara
jiwamu dari kejahatan dan perbuatan dosa. 27
Shalat seharusnya dikerjakan dengan penuh kesadaran bahwa
seorang hamba butuh kepada sang pencipta. Salah satu kesadaran yang
seharusnya ditumbuhkan itu adalah kesadaran bahwa seorang hamba pasti
akan kembali kepada penciptanya. Kesadaran kembali kepada-Nya
kemudian akan melahirkan kedekatan yang intens antara hamba dan
pencipta. Rasulullah SAW pun sadar tentang hal ini sehingga ketika beliau
tertimpa musibah berat beliau tidak mencari jalan keluar kecuali shalat,
tunduk, tersungkur kepada pencipta yang menguasai seluruh kehidupan dan
kematian.28
b. Q.S. An-Nisa’
Dalam surat an-Nisa‟ ini al-Maraghi menafsirkan firman Allah SWT
mengenai shalat dalam keadaan takut (khauf). Shalat dalam keadaan apapun
harus tetap dilaksanakan tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan shalat
menempati tingkat tertinggi dalam rukun islam yang lima. Sehingga shalat
dalam keadaan apapun tetap harus dikerjakan bahkan dalam peperangan
sekalipun tetap shalat dikerjakan. Apabila kalian telah melaksanakan shalat
dengan cara seperti ini (shalat khouf), maka ingatlah Allah Ta'ala di dalam
diri kalian dengan mengingat janji-Nya bahwa Dia akan menolong orang-
orang yang menolong agama-Nya di Dunia dan memberikan pahala di
akhirat; kemudian dengan lisan kalian, yakni dengan memuji, bertakbir dan
berdoa. Semua itu kalian lakukan dalam setiap keadaan, seperti berdiri
sewaktu berlari dan berkelahi, duduk sewaktu memanah atau untuk bergulat,
dan berbaring karena luka atau untuk memperdaya musuh. Mengingat Allah,
termasuk salah satu faktor yang meneguhkan hati, mengobarkan semangat,
membuat segala kepayahan dunia menjadi tidak ada artinya dan segala
27
Ibid., h. 147.
28
Ibid.
15
16
c. Q.S. Luqman
Nasehat Luqman yang tertera dalam al-Qur‟an surat ke-31
merupakan modal hidup yang diberikan kepada anaknya dan dibawakan
menjadi modal pula bagi kita semua, salah satu nasehat yang ditafsirkan oleh
al-Maraghi adalah “Hai anakku, dirikanlah shalat, yakni kerjakanlah shalat
dengan sempurna sesuai dengan cara yang diridhai. Karena di dalam shalat
29
Ibid., h. 148.
30
Ibid.
31
Ibid., h. 149.
17
2. Poligami
Ada dua ayat yang dapat dijadikan dasar hukum poligami, yakni WS. Al-
Nisa’(4): 3 dan QS. Al-Nisa’(4): 129. Ayat 3 surat al-Nisa’ artinya:
“Dan jika kamu Khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir takut tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berlaku
zalim” (QS.al-Nisa’: 3).
Al-Maraghi tidak mengharamkan poligami, juga tidak menganjurkan.
Menurutnya, poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah (bima
ahallahuh lakum minattazwij bighoirihin). Bolehnya poligami menuru dia dalam
kondisi yang sangat darurat dan disyaratkan mampu berlaku adil terhadap
masing-masing istrinya. Al Maraghi tidak mengharamkan poligami, juga tidak
menganjurkan. Menurutnya, poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh
32
Ibid., h. 150.
17
18
33
Usman, “PERDEBATAN POLIGAMI DALAM ISLAM”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol.
39, No. 1, h. 136-137.
34
Ibid., h. 137
19
35
Ibid.
19
20
haid yang panjang. Dengan pertimbangan agar suami tidak jatuh dalam
perbuatan zina, maka dibolehkan dia menikah lagi
d. Jika jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki yang mungkin terjadi akibat
perang, atau banyak janda dan anak yatim akibat perang, sehingga
dikhawatirkan kehormatan dan kemuliaan wanita tergadai, maka solusi
yang tepat adalah dilakukan poligami.36
36
Ibid., h. 138.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai-nilai pendidikan dalam ibadah shalat pada tafsir al-maraghi
karya Ahmad Musthafa Al-Maraghi adalah: 1) Pendidikan untuk menjaga
kebersihan, 2) Pendidikan untuk memiliki sifat tanggung jawab, 3)
Pendidikan untuk menepati janji, 4) Pendidikan untuk mendatangkan
keberkahan dalam hidup, 5) Pendidikan untuk meneguhkan pribadi dengan
dzikrullah, 6) Pendidikan untuk disiplin, 7) Pendidikan untuk meneguhkan
pribadi dengan tunduk kepada Allah, 8) Pendidikan untuk mencegah
perbuatan keji dan mungkar, dan 9) Pendidikan untuk menjadi manusia
yang fokus
Al-Maraghi tidak mengharam-kan poligami. Menurutnya, poligami
merupakan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah (bima ahallahuh lakum
minattazwij bighoirihin). Makna boleh di sini rukhsah, di mana tidak ada
jalan lain kecuali poligami itu dilakukan untuk kemaslahatan, dan
disyaratkan dia mampu berlaku adil terhadap istri- istrinya. Al-Maraghi
memandang adil dalam poligami (seperti dalam QS. al-Nisa’ ayat 129)
adalah adil material, yaitu memberi perhatian yang sama terhadap istri-istri,
seperti tempat tinggal, nafkah, giliran malam, dan giliran musafir. Bentuk
adil seperti ini bisa diukur dan masih dalam kemampuan manusia
melakukannya. Sedangkan mempersamakan kebutuhan seksual dan rasa
cinta terhadap istri-istrinya bukan kewajiban dalam poligami, karena
seorang suami tidak akan mampu membagikannya sama rata rasa cinta.
Kendatipun keadilan immaterial tidak diwajibkan, tapi tetap dituntut untuk
melakukan semaksimal mungkin. Al-Maraghi melihat bahwa poligami
lebih banyak membawa risiko dan darurat dari maslahat. Karena watak
manusia secara fitrah cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Poligami dapat
21
menjadi sumber konflik dalam keluarga yang mungkin terjadi antara suami-
istri, istri satu dengan istri yang lain, dan anak-anak dari masing-masing
istri.
22
DAFTAR PUSTAKA
al-Jifari, Muhammad bin Qusri, Agar Shalat Tak Sia-sia. Solo: Pustaka Iltizam. 2007.
al-Rumi, Fath Andurrahman bin Sulaiman. Konsep Shalat Menurut Al-Qur'an, diterj.
Abdullah Abbas. Jakarta: Firdaus, 1996.
Anwar, Syahrul, Ilmi Fiqih dan Ushul Fiqih. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Fithrotin. Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Musthafa Al-Maraghi Dalam
Kitab Al-Maraghi (Kajian Atas Al-Hujurat Ayat: 9): Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir. Vol. ., No. II. Lamongan: Al-Furqan. 2018.
Hafsah. Pembelajaran Fiqh Edisi Revisi. Bandung: Perdana Mulya Sarana. 2016.
Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Depok : Rajawali Pers. 2016.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemeikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al
Ma’arif. 1980.
Mursalin. “NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IBADAH SHALAT PADA TAFSIR
AL-AZHAR KARYA BUYA HAMKA DAN TAFSIR AL-MARAGHI KARYA
AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI DALAM MEMBENTUK PRIBADI
MUTTAQIN”. Skripsi. Malang: UIN Malang. 2018.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Grafinndo. 1992.
Salim, Moh Haitami dan Syamsul Kurniawan. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media. 2012.
Taopikurohman, Opik. “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-QUR’AN
SURAT AL-KAFI AYAT 60-82”. Jurnal Ilmiah Kajian Islam. Vol. 2. No. 2.
Taupik , Opik Taupik dan Ali Khosim Al-Mansyur. Fiqih 4 Madzhab: Kajian Fiqih Ushul
Fiqih. Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2014.
Tim Penulis. Ensiklopedi Islam. Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoave. 2005.
Usman. “PERDEBATAN MASALAH POLIGAMI DALAM ISLAM”. Jurnal Pemikiran
Islam. Vol. 39, No. 1.
Zaini, Hasan.“Tafsir Tematik Ayat-ayat Kalam Tafsir al-Maraghi”. Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya. 1996.
23