Anda di halaman 1dari 155

PERNAK-PERNIK PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

TRENDI: KAJIAN FIKRAH DAN AKSI

KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


‫الحمدهلل رب العالمين والصالة والسالم على اشرف االنبياء والمرسلين سيدنا‬
‫ومولنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين – اما بعد‬

Menulis adalah salah satu cara orang untuk


menyampaikan ide-ide pemikiran. Ketokohan seseorang
dapat dilihat bukan hanya disaat dia berbicara tapi juga
disaat menulis. Bahkan manfaat menulis jauh lebih baik
dibandingkan hanya memakai kebiasaan orasi.
Kelebihan menulis bukan hanya dapat dibaca oleh
orang yang hidup sezaman dengan penulis, tapi juga pasca
kematian penulis, karya-karya dan ide-ide sang tokoh dapat
dikenali dengan membaca hasil karya tangannya. Seorang
cendekiawan dengan mudah menyampaikan apa yang dipikiran
dengan lebih lama melalui tulisan. Bahkan untuk mengajak
dan mendorong orang lain untuk melakukan sesuatu yang
diinginkan tanpa harus bertemu bersentuhan. Maka media
yang paling efektif adalah dengan goresan tangan.

1
Dalam konteks sejarah, tulisanlah yang dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada masa itu. Sekalipun ada
peninggalan-peninggalan sebagai hasi karya peradaban,
namun gambaran penjelasan apa yang terjadi akan lebih
terang dengan tulisan. Sama halnya dengan cendekiawan
muslim di Indonesia, untuk mengenal kepribadian penulis
bisa dengan membaca buku-bukunya.
Islam sangat besar memberikan perhatiannya
terhadap ilmu pengetahuan. Membaca yang mencakup makna
memikirkan, menelaah, merenungkan, mencermati, mengkaji
serta meneliti yang semuanya itu bermula dengan turunnya
ayat pertama kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan
membaca itulah melahirkan sebuah tulisan. Ide-ide yang
ditangkap dari membaca dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya melalui tulisan.
Disamping banyak berbagai ayat Al-Qur’an dan
Sunnah yang mengutarakan keutamaan ilmu, kemuliaan bagi
orang yang berilmu, balasan pahala besar bagi mereka yang
menyebarkan ilmu bahkan adanya ancaman yang mengerikan
terhadap orang-orang yang menyembunyikan ilmu. Dalam
sejarah tercatat akan adanya persyaratan penebusan
tawanan perang dengan cara mengajarkan orang-orang untuk
bisa membaca dan menulis kecuali Islam. Hal ini dilakukan
oleh Nabi Muhammad Saw ketika hendak membebaskan
tawanan perang.
2
Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun Al-Qur’an disatukan
dalam bentuk mushaf pada permulaannya masa khalifah Abu
Bakar atas dorongan Umar bin Khattab *, hingga
menghasilkan sebuah prestasi yang luar biasa pada akhirnya
di masa kepemimpinan khalifah ketiga yaitu Utsman bin
Affan dikenal dengan Mushaf Usmani.*
Umar bin Abdul Aziz, dari Dinasti ‘Umayyah meminta
Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H/741M) seorang ulama
independen menyusun sebuah kitab kumpulan hadis untuk
dijadikan pedoman. Hal yang sama juga dilakukan oleh al-
Mansur (memerintah 136-158 H/754-775M) dari dinasti
‘Abbasyiyah, meminta Malik bin Anas menyusun kitab hadis
al-Muwatta.’*
Hal ini juga memberikan dorongan kepada para ulama
yang ada di Indonesia, mereka banyak melahirkan karya
tulisan ilmiahnya dengan berbagai aspek bidang. Tradisi
menulis setidaknya merupakan naluri para ulama untuk
mengabadikan gagasannya dan di sampaikan ke khalayak yang
lebih luas. Dengan adanya karya tulis dari seorang ulama
*
Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Terj: Masturi Ilham Dan Muhammad Aniq (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013), hal. 478
**
Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Biografi Ustman Bin Affan, Terj:
Masturi Ilham Dan Malik Supar (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013),
hal. 290
**
Nor Hoda, Sejarah Sosial Intelektual Islam Di Indonesia
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Hal. 162
3
maka kepribadian seseorang itu dapat dikenali melalui
membacanya. Sehingga tradisi menulis sejatinya diapresiasi
oleh semua orang, sehingga melahirkan generasi yang
berkualitas dengan ditopang oleh regulasi atau pengaturan
seperti penghargaan yang dapat menjaga konsistensi para
penulis dan tradisi tersebut.
Buku berjudul Pernak-Pernik Pemikiran Pendidikan
Islam Trendi: Kajian Fikrah dan Aksi yang ada di tangan
pembaca ini adalah himpunan karya para civitas akademika
(Mahasiswa dan Dosen) Prodi PAI UNU Purwokerto yang
telah terbit diberbagai media online. Artikel-artikel yang
terhimpun dalam buku ini memiliki relevansi terhadap
pengembangan Ilmu Pendidikan Islam. Buku Pernak-Pernik
Pemikiran Pendidikan Islam Trendi: Kajian Fikrah dan Aksi
ini ditulis sebagai kontribusi kecil dan sederhana untuk
mendapatkan pemahaman tentang pendidikan Islam.
Agar keseluruhan isi mudah dipahami, maka
sistematika penulisannya dikelompokkan menjadi 4 bagian.
Bagian pertama berisi uraian tentang Pengamatan Filosofis
Terhadap Islam. Bagian kedua berisi kajian tema-tema Fikih
Islam dalam Konteks Keseharian. Bagian ketiga berisi uraian
tema-tema Pandangan Hukum Islam Tentang Fikih Sosial.
Bagian keempat berisi uraian mengenai tema-tema Kontrol
Diri Sebagai Terapi Sufistik.

4
Akhirnya sebuah apresiasi pantas direkamkan kepada
para penyumbang artikel dalam buku ini. Pantas belaka jika
kemudian pembaca menemukan sisi-sisi menarik dan kurang
menarik dalam artikel-artikel tersebut. Tampaknya, cukup
fair untuk menempatkan artikel-artikel ini sebagai jejak-
jejak proses pematangan akademis para penulisnya. Di balik
tampilan realitas dan aktualitasnya saat ini, seorang bijak
pasti mampu melihat potensialitas tak terbatas yang sedang
mengintip peluang aktualisasinya. Ini barulah riak-riak
semangat akademis para kontributor yang In sya Allah pada
waktunya nanti akan menjadi arus kreativitas dan gelombang
produktivitas ilmiah mereka.
Buku ini tidak menutup kemungkinan masih banyaknya
kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang semata-
mata untuk perbaikan sangat kami harapkan, agar buku ini
lebih sempurna sesuai dengan perkembangan zaman dan
disiplin ilmu pengetahuan.
Akhirnya buku ini dihantarkan ke hadapan para
pembaca dengan seuntai harapan, semoga buku ini hanyalah
awal dari karya-karya lain yang lebih baik, dan dengan
kesederhanaannya penulis dan editor mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya tulisan ini . Semoga buku ini bermanfaat
adanya.
‫و الحمدهلل رب العالمين‬
5
Purwokerto, 13 Februari 2024
Tim Editor

Daftar Isi
6
Kata

Pengantar........................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................ vii
BAB I
PENGAMATAN FILOSOFIS TERHADAP ISLAM

A. Abdul Hayy Al-Farmawi: Pencetus Metode Tematik


dalam Tafsir........................................................................................ 2
B. Keabsahan Transaksi: Makna Literal Akad atau
Tujuan?................................................................................................. 7
C. ‘Membedah’ Merdeka Belajar dalam Pandangan Islam 11
D. Mengapa Tuhan Mengatur-ngatur Kita?..........................16
E. Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas
dari Budaya Arab............................................................................. 21
F. Tidak Hanya Khamar, pengharaman Riba dalam Al-
Qur’an Juga Bertahap................................................................... 27
BAB II

FIKIH ISLAM DALAM KONTEKS KESEHARIAN

A. Asal Mula dan Tujuan Mandi Jum’at.................................34


B. Do’a dengan Teknik LoA (Law of Attraction) dalam
Perspektif Islam............................................................................. 39
C. Empat Status Puasa Menurut M. Quraish Shihab.......45
7
D. Hukum Fidyah Puasa Menggunakan Makanan Siap Saji
50
E. Makna dari Isti’adzah Menurut Musthafa Umar.........57
F. Sahkah Sahur Sebelum Dini Hari.....................................63

BAB III
PANDANGAN HUKUM ISLAM TENTANG FIKIH SOSIAL

A. Bucin Yes, Toxic Financialship No!! Simak Penjelasan


Imam Nawawi Al-Bantani............................................................. 68
B. Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah
Ar-Rum Ayat 21............................................................................... 74
C. Fenomena Klitih dan Tips Memilih Pergaulan yang
Tepat dalam Islam.......................................................................... 80
D. Flexing Ramai Dipergunjingkan Netizen, Begini
Penjelasannya Menurut Islam..................................................... 84
E. Mental Kepiting dalam Al-Qur’an.......................................91
F. Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap
Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat
73 ....................................................................................................... 98
G. Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu
Berupa Kemampuan Bersikap Toleran....................................105
H. Tafsir Surah Fatir Ayat 43: Senjata Makan Tuan.....111

8
I. Penolakan atas Timnas Israel dan Refleksi Surah Al
Maidah Ayat 2 dan 8................................................................116

BAB IV

KONTROL DIRI SEBAGAI TERAPI SUFISTIK

A. Dua Macam Ujian Hidup...................................................... 123


B. Ngaji Jum’at: Jaga Lisan, Hati dan Pakaian.................128
C. Ngaji Jum’at: Tips Mencari Sekolah Yang Baik..........130
D. Peringatan Isra-Mi’raj: Refleksi Sufistik Kualitas
Shalat Kita...................................................................................... 133
E. Tafsir Surah Al-Araf Ayat 179: Makhluk yang Lebih
Sesat dari Binatang Ternak...................................................... 139

9
BAB 1
PENGAMATAN
FILOSOFIS
TERHADAP ISLAM

1
Abdul Hayy Al-Farmawi: Pencetus Metode Tematik dalam
Tafsir*

Aprilita Hajar
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Tafsir Maudhui atau tafsir tematik menjadi metode


tafsir yang banyak diminati oleh kalangan mufassir modern
karena dianggap sebagai salah satu metode yang
memberikan solusi atas permasalahan masyarakat di masa
kontemporer ini sebab kemenyeluhurahnnya ( wholeness).
Metode ini sangat penting untuk dipelajari. Abdul Hayy al-
Farmawi dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan metode
tafsir ini.
Pencetus Keberadaan Tafsir Tematik
Metode ini muncul pada abad ke-20. Salah satu tokoh
yang mencetuskan keberadaan tafsir tematik secara
metodologis adalah Abdul Hayy Al-Famawi dalam
kitabnya, Al-Bidayah fi Tafsir al-maudhui. Dia dilahirkan di
Manovia, Mesir pada Januari 1942. Beliau Menyelesaikan
hafalan Al-Qur’an pada saat menjadi siswa al-Ta’lim al-
Ibtida’i Ma’had Al-Ahmadi di Tonto, Mesir.

https://tafsiralquran.id/abdul-hayy-al-farmawi-pencetus-
**

metode-tematik-dalam-tafsir/
2
Pada tahun 1955, beliau melanjutkan pendidikannya di
Universitas Al-Azhar jurusan Tafsir hadis. Karir al-Farmawi
dimulai sejak masa perkuliahannya pada tahun 1969, dan dia
diangkat menjadi dosen tidak tetap. Lalu dia melanjutkan
studi S2 dan lulus pada tahun 1972, kemudian dia
melanjutkan kembali studi doktoral hinga akhirnya lulus pada
tahun 1975. Pada tahun 1985, Al-Farmawy diangkat menjadi
guru besar di Universitas Al-Azhar mesir.*
Abd Al-Hayy Al-Farmawi dikenal sebagai ulama
kontemporer yang memunculkan metode tematik yang dinilai
oleh sebagian masyarakat sebagai orang yang pertama kali
menyusunnya secara sistematis dan metodologis.
Dalam muqaddimah atau pengantar bukunya, dia menjelaskan
bahwa tujuan kajian tafsir Al-Qur’an mutlak dibutuhkan
untuk mengetahui perintah dan larangan serta memahami
petunjuk Allah.*
Dalam muqaddimah atau pengantar bukunya dijelaskan
bahwa tujuan kajian tafsir Al-Qur’an mutlak dibutuhkan
untuk mengetahui perintah dan larangan dari Allah serta
memahami petunjuk-Nya. Kitab tafsir yang telah ada dengan
metode pembahasan yng beranekaragam dirasa belum

Badruzzaman M. Yunus dkk, Studi Komparatif Pemikiran Al-


**

Farmawi, Baqir Shadr dan Abdussatar tentang Tafsir Maudhui , Jurnal


Iman dan Spiritualitas, hal. 289.
**
Al-Farmawy, Al-Bidayah fi Tafsir Maudhui, hal. 14.
3
banyak membantu para pelajar untuk mencapai tujuan yang
dimaksud.
Oleh karenanya, kitab ini sengaja ditulis dan disajikan
dengan penekanan pada pembahasan metodologis. Terdapat
dua macam bentuk kajian tafsir tematik menurut Abdul
Hayy al-Farmawi. Pertama, pembahasan mengenai satu surat
secara menyeluruh dan utuh. Kedua, menghimpun sejumlah
ayat dari berbagai surat yang membicarakan satu masalah
tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan
diletakkan dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya
ditafsirkan secara tematik.*
Pada zaman dahulu belum terdapat metode tematik,
karena para penafsir terdahulu belum merasakan penting
untuk melakukan kajian terhadap topik-topik tertentu yang
terdapat di dalam Alquran. Mereka telah menghafal Alquran
dan menguasai berbagai disiplin ilmu, baik ilmu keislaman
maupun keilmuan umum.
Para pengkaji atau pelajar tafsir pada zaman sekarang
cenderung mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan jika
hanya melalui metode kajian tahlily, karena: Pertama, pada
zaman ini sudah terbiasa dengan model kajian tematik dalam
upaya memahami sebuah masalah.
Kedua, metode tahlily tidak membantu dalam mengatasi
masalah-masalah Al-Qur’an yang dimaksud. Ketiga, mereka
**
al-Farmawy, Al-Bidayah fi Tafsir Maudhui, hal. 61.
4
tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu
keislaman, yang akhirnya mengalami kesulitan dalam
melakukan kajian. *

Al-Farmawy merumuskan pembahasannya melalui


langkah-langkah berikut: 1) memilih atau menetapkan
masalah pada Alquran yang akan dikaji secara tematik, 2)
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang
telah ditetapkan (Makkiyah dan Madaniyah), 3) menyusun
ayat secara runtut menurut kronologi sebab-sebab turunnya.
4) mengetahui korelasi ayat pada masing-masing suratnya,
dan 5) melengkapi pembahasan dengan hadis sehingga
pembahasan semakin jelas.
Urgensi dalam pembahasan tafsir tematik adalah: 1)
dapat menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan
satu topik masalah, 2) menjelaskan sebagian ayat dengan
ayat lainnya, 3) hal ini bertujuan untuk menjauhi kesalahan
dan mendekati kebenaran. Dengan menghimpun beberapa
ayat, seorang mufassir akan mengetahui adanya keteraturan
dan keserasian, serta korelasi antar ayat-ayat tersebut.
Penutup
Abdul Hayy Al-Farmawi telah melahirkan metodologi
keilmuan yang luar biasa penting dalam ranah keilmuan ilmu
tafsir Alquran. Dia mewariskan khazanah keilmuan tafsir,

Laila
**
Muyasaroh, Metode Tafsir Maudhui Perspektif
Komparatif, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadist, hal. 26.
5
melengkapi metide tafsir sebelumnya. Meskipun demikian,
catatan yang perlu diperhatikan oleh penafsir tematik
adalah bahwa dengan menggunakan metode tafsir ini tidak
berarti telah menafsirkan semua ayat-ayat Al-Qur’an
karena metode tafsir tematik hanya membahas satu topik
dengan tuntas atau setidaknya mendekati tuntas.

6
Keabsahan Transaksi: Makna Literal Akad atau Tujuan?*

Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

Melakukan transaksi muamalah merupakan sebuah


keniscayaan dalam kehidupan kita. Jual-beli, pinjam-
meminjam, sewa-menyewa, usaha bagi hasil, gadai, hutang,
dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh transaksi yang
sering kita lakukan. Semakin banyak kebutuhan, semakin
sering pula kita melakukan transaksi muamalah.
Karena sudah menjadi aktivitas yang sangat lazim
dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap kali tidak
memperhatikan persoalan akad. Sebagai contoh, kita sering
mengatakan “Saya pinjam pulpennya ya”, “Saya pinjam
motornya ya”, dan “Saya pinjam ponselnya ya”. Padahal
maksud kita tidak hanya meminjam barang-barang tersebut
tetapi juga mengambil tinta pulpen, mengurangi bensin
motor, dan memanfaatkan kuota internet ponsel teman kita.
Ketika kita berbelanja di mall atau minimarket, kita
malah sering mengabaikan akad. Kita hanya menyerahkan
uang dan kasir memberikan nota serta uang kembalian.
Tegur sapa kasir juga hanya kita balas dengan senyuman.

https://iqra.id/keabsahan-transaksi-makna-literal-akad-atau-
**

tujuan-229004/
7
Akad ijab dan kabul yang menjadi karakteristik fikih
muamalah sama sekali tidak tampak. Lantas, apakah
transaksi yang akadnya tidak jelas seperti contoh-contoh
yang disebutkan itu sah?
Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.
Mazhab Syafi’i, Syiah, dan Dzahiri menghukumi akad-akad di
atas tidak sah. Sementara mazhab Maliki, Hanafi, dan
Hambali menganggap sah akad-akad tersebut. Jika madzab
Maliki melegalkan secara mutlak, madzab Hanafi dan
Hambali menyaratkan dua hal yaitu bayaran harus jelas dan
pihak yang berakad tidak mengeluarkan pernyataan yang
bertetangan dengan akad yang diucapkan.
Dalam kitab Nadzariyyah al-Maqāṣid ind al-Imām al-
Shāṭibī, Aḥ mad al-Raisūnī menjelaskan bahwa perbedaan
antarmadzab mengenai persoalan legalitas akad berakar dari
kaidah yang dipegang oleh masing-masing mazhab. Kelompok
pertama berpegang pada kaidah al-‘ibrah fī al-‘uqūd li al-
alfadz wa al-mabānī (pertimbangan keabsahan akad adalah
lafaz dan penjelasan). Sementara kelompok kedua memegang
kaidah al-‘ibrah fī al-‘uqūd li al-maqāsid wa al-ma‘ānī
(pertimbangan keabsahan akad adalah tujuan dan makna).
Argumen kelompok pertama adalah bahwa syarat
mutlak dari keabsahan transaksi adalah kesalingrelaan di
antara dua orang yang bertransaksi. Karena kesalingrelaan
tidak bisa ditangkap secara empiris oleh indra,
8
kesalingrelaan harus ditunjukan dengan lafaz-lafaz yang
dapat menunjukannya. Oleh sebab itu, lafal-lafal tersebut
harus benar-benar sesuai dengan transaksinya.
Sebagai contoh, ucapan “Saya beli baju ini dengan
bayaran 100.000 rupiah” dan jawaban “Baik, saya terima”
merupakan bentuk akad yang menunjukan kesalingrelaan dari
pemindahan kepemilikan dengan jalan jual-beli.
Sementara kelompok kedua berpendapat bahwa
transaksi bisa tetap sah dengan segala ucapan, pekerjaan
atau praktik yang mampu menunjukan kesalingrelaan. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang dapat menunjukan jual-beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan, perwakilan,
dan transaksi-transaksi lainnya menyebabkan keabsahan
transaksi yang dimaksud tanpa memedulikan makna literal
akad dan keterucapannya.
Melihat argumen yang digunakan oleh masing-masing
mazhab, saya cenderung memilih pendapat mazhab kedua.
Karena, meskipun makna literal akad berbeda dengan
hakikat transaksi yang dilakukan, adat kebiasaan masyarakat
secara tak sadar telah mengkonstruksi alam pikiran kedua
belah pihak pada makna atau tujuan akad seperti dalam
kasus pinjam-meminjam yang dicontohkan di atas. Dalam ilmu
nahwu, ini disebut al-‘ahd al-dzihnī (pengetahuan mental
yang sudah terkonstruk).

9
Dalam kasus transaksi di mall atau minimarket,
penyerahan uang oleh pembeli dan pemberian nota
pembayaran serta uang kembalian oleh kasir telah
menunjukan bahwa praktik tersebut merupakan jual-beli.
Selagi kedua belah pihak tidak mempersoalkan barang yang
ditransaksikan, kesalingrelaan telah ditunjukan secara
empiris dalam praktik ini.
Kaidah kedua ini juga sejalan dengan spirit agama
Islam yang senantiasa memberikan kemurahan bagi para
pemeluknya. Sebagaimana Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Ashūr
jelaskan dalam Maqāṣid al-Sharī‘ah al-Islāmiyyah,
kemurahan merupakan sifat pertama dan tujuan yang paling
agung dari syariat Islam.
Terdapat banyak dalil yang Ibn ‘Ashūr sebutkan untuk
mengadvokasi klaim ini seperti “Sesungguhnya Allah
menghendaki kamu kemudahan dan tidak menghendaki
kesulitan ” (QS. al-Baqarah: 185), “Dan Allah tidak
menjadikan bagi kamu kesulitan dalam agama” (QS. al-Haj:
78), dan “Dan Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu ” (al-
Maidah:6)
Melihat zaman yang terus berubah dengan berbagai
kemajuan sains dan teknologi yang banyak merubah pola
interaksi manusia, pemikiran-pemikiran yang kontekstual dan
berorientasi pada tujuan lebih relevan untuk diterapkan.

10
‘Membedah’ Merdeka Belajar dalam Pandangan Islam*

Budi, M.Pd.
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

‘Merdeka Belajar’ menjadi kebijakan yang


diprogramkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Nadiem Makarim. Kebijakannya ini diterapkan dari tingkatan
pendidikan anak usia dini, dasar, menengah hingga perguruan
tinggi. Dalam konteks pendidikan tinggi misalnya, mahasiswa
diberi kesempatan satu semester untuk belajar di luar
kampus.
Berbicara tentang pendidikan yang membebaskan,
‘Merdeka Belajar’ memiliki kesejalanan dengan pemikiran
Faulo Freire. Ia merupakan salah satu tokoh pendidikan
internasional dari Brazil yang mengguncangkan dunia
pendidikan.
Karyanya yang terkenal “Pedadogy of the Oppressed”
(Pendidikan Kaum Tertindas), ia memberikan pesan terhadap
para pendidik dan peserta didik untuk menjadi subjek dalam
proses pendidikan. Tidak terkungkung dalam dilema
perbudakan dalam berkehendak atau berpikir.

**
https://nubanyumas.com/membedah-merdeka-belajar-dalam-
pandangan-islam/
11
Pendidikan melalui pendekatan kemanusian identik
dengan pendidikan pembebasan, yakni membebaskan hal hal
yang tidak manusiawi. Karena tujuannya adalah
memanusiakan manusia.
Namun saat ini, pendidikan lebih mengedepankan
pengetahuan dari pada nilai-nilai yang bersifat penghayatan
dan pengalaman tanpa melibatkan seluruh komponen
kecerdasan baik kecerdasan spritual, sosial, akhlak maupun
lainya. Bagaimana Islam memandang hal tersebut, mengenai
kebebasan dalam memilih, kemerdekaan dalam berpikir dan
berkehendak?
Islam memandang manusia merupakan makhluk ciptaan
Tuhan yeng memiliki potensi dasar yang dinamakan istilah
fitrah. Fitrah disini adalah kemampuan dasar dan
kecendrungan murni bagi setiap manusia untuk memilih
kebebasannya. Islam memberikan hak individu terkait
pendidikan yaitu empat kebebasan sebagai mana dalam al-
Quran yang menjadi sumber utama yaitu:
Pertama, Kebebasan merdeka dari kebudakan dalam
qs al- Imran ayat 79
‫َم ا َك اَن ِلَب َش ٍر َأْن ُيْؤ ِتَي ُه ُهَّللا اْلِك َت اَب َو اْلُح ْك َم َو الُّن ُبَّو َة ُث َّم َي ُقوَل ِللَّن اِس ُك وُنوا ِع َب اًد ا ِلي ِمْن ُد وِن ِهَّللا‬
٧٩ ﴿ ‫﴾َو َٰل ِكْن ُك وُن وا َر َّباِنِّييَن ِبَم ا ُكْنُت ْم ُتَع ِّلُموَن اْلِك َت اَب َو ِبَم ا ُكْنُتْم َتْد ُرُسوَن‬
“tidak wajar bagi seseorang manusia yang Alloh berikan
kepadanya alkitab, hikmah dan kenabian, kemudian dia
berkata pada manusia “ hendaklah kamu menjadi penyembah-

12
penyembahku bukan penyembah Alloh, akan tetapi (dia
berkata) hendaklah kamu menjadi orang orang rabbani
karena kamu mengajarkan al kitab dan disebabkan kamu
mempelajarinya”.(QS. al-Imran 79)
Ayat diatas menjelaskan bahwa islam mengajarkan
pendidikan tanpa perbudakan sebagaimana para pengikut
rahib yang menyembahnya. Islam membawa kebebasan dalam
perbudakan dengan menjadi orang yang bijaksana.
Kedua, kemerdekaan akidah dalam qs baqarah ayat
256
)256( ‫اَل ِإْك َر اَه ِفي الِّد يِن ۖ َقْد َت َبَّيَن الُّر ْش ُد ِمَن اْلَغ ِّي‬
“tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam,
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan
yang sesat.”(QS. Al-Baqarah 256)
Ayat diatas menjelakan tentang pendidikan yang
diajarkan oleh islam tanpa paksaan, manusia boleh memilih
mau ikuti islam yang didasarkan dengan dalil dan bukti yang
sudah jelas atau tidak sama sekali. Hal tersebut perlu
adanya hidayah terlebih dahulu untuk mengikuti ajaran islam
dengan sukarela dan penuh kesadaran.
Ketiga kemerdekaan dalam berpikir dan
mengemukakan pendapat dalam qs al-Baqarah 260
(‫َو ِإْذ َقاَل ِإْب َر اِهيُم َر ِّب َأِر ِني َك ْي َف ُت ْح ِيي اْلَم ْو َتٰى ۖ َقاَل َأَو َلْم ُت ْؤ ِمْن ۖ َق اَل َب َلٰى َو َٰل ِكْن ِلَي ْط َمِئَّن َق ْلِبي‬
)260

13
“dan ingatlah saat Ibrahim berkata”ya tuhanku perlihatkan
kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang-orang mati.
Alloh berfirman: Apakah kamu belum percaya? Ibrahim
menjawab: saya telah percaya, tetapi supaya bertambah
tenang hati saya.”(QS. al-Baqarah 260)
Ayat di atas menjelaskan tentang pendidikan yang
mengajarkan kebebasan dalam berpikir dan pendapat
mengenai pertanyaan nabi Ibrahim perkara menghidupkan
orang mati supaya menambah ilmu melalui kesaksian mata,
hal tersebut guna memberikan pengetahuan dan ketenangan
hati melalui buktinya.
Keempat, kemerdekaan dalam berkehendak dalam QS.
Al-Najm ayat 39-42
‫﴾ ُث َّم ُيْج َز اُه اْلَج َز اَء اَأْلْو َفٰى‬٤٠ ﴿ ‫﴾ َو َأَّن َس ْع َي ُه َس ْو َف ُيَر ٰى‬٣٩ ﴿ ‫َو َأْن َلْي َس ِلِإْل ْن َس اِن ِإاَّل َم ا َسَع ٰى‬
٤٢ ﴿ ‫﴾ َو َأَّن ِإَلٰى َر ِّب َك اْلُم ْن َت َه ٰى‬٤١ ﴿﴾
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu
kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan
diberikan balasan yang paling sempurna dan bahwasanya
kepada tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)”(qs A-Najm
ayat 39-42)
Ayat diatas menjelaskan tentang Islam mengajarkan
pendidikan yang bisa dihasilkan oleh usahanya sendiri tanpa
paksaan orang lain, ia bebas berkehendak sesuai nalurinya

14
sendiri, jika ia melakukan kebaikan maka akan mendapatkan
kebaikan begitupun sebaliknya.
Kesimpulan beberapa ayat diatas, islam mengajarkan
kebebasan bagi manusia yang menjadi fitrah dalam hidupnya
yaitu kebebasan dalam hidup, berakidah, berpikir,
berpendapat dan juga sesuai kehendaknya. Islam hadir
menjadi agama yang toleran, hal tersebut disebabkan islam
mampu hidup bersama dengan berbagai peradaban dan
kebudayaan. Kebebasan Islam juga memberikan tempat yang
mulia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

15
Mengapa Tuhan Mengatur-ngatur Kita?*

Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwkerto

Pertanyaan ini bagi sebagian orang mungkin merupakan


sebuah pertanyaan yang tidak etis (suul adab) karena telah
mempersoalkan perbuatan Tuhan. Kata “mengatur-ngatur”
dalam rangkaian kalimat tanya di atas juga berkonotasi
negatif yang seolah mencitrakan penanya telah enggan
mengikuti aturan Tuhan. Namun dalam perspektif filsafat,
pertanyaan ini justru merupakan pertanyaan yang sangat
mulia dan paling luhur sebab berusaha merambah tataran
aksiologi.
Aksiologi secara sederhana dapat diterjemahkan
sebagai cabang dari filsafat yang membahas persoalan nilai,
tujuan, manfaat, guna, dan kebijaksanaan dari sebuah
entitas. Tataran aksiologi melampai dua tataran filsafat lain
yaitu ontologi yang mendedah hakikat entitas dan
epistemologi yang menjabarkan bagaimana entitas
terformulasikan.

**
https://iqra.id/mengapa-tuhan-mengatur-ngatur-kita-229339/
16
Pertanyaan aksiologi “Mengapa Tuhan mengatur-
ngatur kita?” sebenarnya merupakan bentuk penyederhanaan
dari banyak pertanyaan parsial-fisosofis seperti “Mengapa
Tuhan mewajibkan kita salat?”, “Mengapa Tuhan melarang
kita berbuat zalim?”, “Mengapa Tuhan melarang kita
mengkonsumsi minuman keras?”, “Mengapa Tuhan
mengharuskan pernikahan untuk menghalalkan hubungan
dengan lawan jenis?, dan “Mengapa Tuhan melarang kita
mencuri?”
Kumpulan pertanyaan filosofis ini membutuhkan
jawaban yang tidak sederhana. Jawaban berupa penulikan
dalil-dalil baik dari Alquran maupun sunah tidak mencukupi
untuk merespon pertanyaan ini. Penulikan dalil dengan
analisis kebahasaan dan usul fikih baru sampai pada tataran
epistemologi atau formulasi hukum dan belum sampai pada
tataran aksiologi atau nilai.
Aspek nilai ini berkaitan erat dengan apa yang para
ulama sebut sebagai tujuan-tujuan syariat (maqashid al-
shari‘ah). Tujuan-tujuan ini ditemukan dari hasil istiqra’
atau penyimpulan secara komprehensif terhadap seluruh
aturan Tuhan (baca: syariat) baik berupa perintah, larangan,
aturan teknis, maupun sanksi hukum Tuhan yang mengikat
manusia.
Dalam kitab Maqashid al-Syari‘ah al-Islamiyyah,
Muhammad ath-Thahir ibn ‘Ashur (w. 1973 M) mengambil
17
konklusi bahwa tujuan dari seluruh aturan Tuhan ialah untuk
menjaga keteratuan umat (hifdz nidzam al-ummah). Secara
lebih spesifik, pemikiran Abu Hamid al-Gazali dalam kitab
al-Mustashfa dan Ibrahim al-Syathibi (w. 1388 M) dalam
kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah relevan untuk
menjawab lima pertanyaan partikular-filosofis di atas.
Menurut keduanya, penurunan aturan Tuhan bertujuan untuk
melestarikan lima keniscayaan (al-daruriyyah al-khams) yaitu
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Lima keniscayaan ini dilestarikan melalui dua jalan
yaitu jalan realisasi (nahiyah al-wujud) dan jalan proteksi
(nahiyah al-‘adam). Jalan realisasi termanifestasi dalam
perintah, larangan, dan arahan Tuhan agar lima keniscayaan
dapat terwujud sementara jalan proteksi terejawantah
dalam perintah, larangan dan sanksi hukum agar yang telah
terwujud dapat tetap eksis.
Untuk merealisasikan pelestarian agama dalam diri
setiap manusia, Tuhan memerintahkan manusia membenarkan
semua rukun iman dan menjalankan seluruh rukun Islam.
Setelah semua itu terealisasikan, Tuhan memerintahkan
jihad fi sabilillah ketika eksistensi keberimanan dan
keberislaman diganggu.
Untuk merealisasikan pelestarian jiwa, Tuhan
memerintahkan manusia untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya baik sandang, pangan, dan papan. Pelestarian jiwa
18
dilindungi dengan larangan pembunuhan dan segala perbuatan
perbuatan zalim yang mengancam jiwa manusia. Ketika
pelestarian jiwa terenggut, sanksi pidana seperti kisas dan
diat ditegakan.
Untuk merealisasikan pelestarian akal, Tuhan
memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu, makan
makanan yang halal dan bergizi. Di samping itu, jalan
proteksi diterapkan dengan larangan keras mengkonsumsi
minuman yang memabukan dan sanksi keras terhadap
pelanggarnya.
Untuk merealisasikan pelestarian keturunan, Tuhan
mengatur pola hubungan ideal antara laki-laki dan perempuan
dengan ikatan sakral pernikahan dan segala hal yang
berkaitan. Kesakralan ikatan ini diimbangi dengan larangan
zina dan sanksi bagi pelakunya. Perhatian Tuhan pada
bagaimana manusia mesti berinteraksi dengan lawan jenis
memang sungguh besar. Jalan proteksi telah dimulai dengan
perintah untuk mengeramkan mata dan menutup aurat.
Terakhir, Tuhan memberikan legitimasi terhadap
kepemilikan manusia. Dia memerintahkan manusia untuk
bekerja dan bermuamalah dengan baik untuk
memperolehnya. Pada saat bersamaan, hal-hal yang
mengancam kepemilikan manusia seperti pencurian, gasab,
dan perampokan dilarang sama sekali. Sanksi terhadap

19
pelanggar hak milik manusia terwujud dalam aturan-aturan
had (pidana) dan takzir.
Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilm Ushul al-Fiqh
menegaskan bahwa lima keniscayaan merupakan dasar
kehidupan manusia di mana kemaslahatan mereka tidak bisa
terwujud tanpa kehadiran lima hal fundamental ini. Ketika
salah satu dari lima hal ini tidak dilindungi, maka
keteraturan umat akan terganggu, kemaslahatan mereka
akan terabaikan, dan kekacauan akan merajalela.
Jadi, maksud Tuhan mengatur-ngatur hidup kita
bukanlah untuk kepentingan Tuhan sendiri, melainkan untuk
kepentingan kita umat manusia. Apapun yang Tuhan
perintahkan pada manusia bertujuan untuk memberikan
manusia kemaslahatan sedangkan segala hal yang Tuhan
larang adalah untuk menghindarkan manusia dari berbagai
macam kerusakan.

20
Kontekstualisasi Nas ala Abu Yusuf: Pembebasan Nas
dari Budaya Arab*

Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

Setelah peradaban manusia memasuki era modern


dengan berbagai perubahannya, peninjauan kembali khazanah
pemikiran Islam menjadi sebuah keharusan. Bisa jadi,
pemikiran yang di zaman pra-modern dianggap aneh, asing,
dan tidak diperhitungkan di zaman modern justru relevan
dan sangat dibutuhkan dalam upaya penyegaran pemikiran
Islam.
Saya tertarik untuk memaparkan pemikiran Abu Yusuf
(w.182/798) yang memiliki ide out of the box. Menurut al-
Qaradawi (l. 1926) dalam al-Ijtihad fi Syari’ah al-Islam
**
https://tafsiralquran.id/kontekstualisasi-nas-ala-abu-yusuf-
pembebasan-nas-dari-budaya-arab/
21
(116), dia merupakan seorang murid langsung Abu Hanifah
(w. 150/767) yang kerap berselisih dengan gurunya.
Subhi Mahmasani (w. 1986) dalam Falsafah al-Tasyri’
fi al-Islam (160-161) mengutip sebuah kaidah penting dari
Abu Yusuf yaitu:
‫ِنًّيا َعَلى اْل اَد ِة ُثَّم َغَّي ْت ِج اِّت اُع اْل اَد ِة اْل ِد َد ِة َعَلى اْل اَدِة اْلَق اِد ِة‬ ‫ِا‬
‫َم‬ ‫َع‬ ‫َت َر َي ُب َب َع َج ْي‬ ‫َع‬ ‫َذا َك اَن الَّنُص َمْب‬
“Ketika nas lahir atas dasar budaya kemudian budaya
tersebut berubah, maka wajib (bagi mujtahid) untuk
mengikuti atau mendahulukan budaya baru atas budaya
lama”
Kaidah ini merupakan distingsi Abu Yusuf dari
mayoritas ulama di mana mereka tidak memperhitungkan
pengaruh budaya terhadap lahirnya nas. Penggunaan kaidah
ini memungkinkan mujtahid untuk merumuskan produk hukum
yang berbeda dari makna eksplisit nas.
Dalam bukunya, Mahmasani menyebutkan dua contoh.
Contoh pertama merupakan produk pemikiran Abu Yusuf
sendiri sementara contoh kedua merupakan aplikasi kaidah
Abu Yusuf dalam permasalahan kontemporer yang
Mahmasani contohkan.
Contoh Aplikatif: Perubahan Budaya dari Satuan Volume
ke Satuan Masa
Contoh pertama adalah mengenai perubahan budaya
dari takaran ke timbangan. Mahmasani mengutip hadis

22
Rasulullah yang dikutip dari kitab al-Mughni karya Ibn
Qudamah (w. 620/1224):
‫اْلِبُّر ِباْلِبِّر َك ْيًال ِبَك ْيِل َو الَّش ِعْيُر ِبالَّش ِعْيِر َك ْياًل ِبَك ْيٍل‬
“Barter antara gandum satu dengan gandum lain diukur
berdasarkan takaran dan barter jerawut satu dengan
jerawut lain juga diukur berdasarkan takaran”
Hadis ini berkaitan dengan masalah riba dalam barter
yang mana jika dua barang yang dipertukarkan takarannya
(volume) tidak setara, maka statusnya adalah riba. Lantas
bagaimana hukum barter gandum dengan gandum, jika
pengukuran kesetaraannya menggunakan timbangan (masa)
yang berarti memungkinkan terjadinya perbedaan dalam
volume?
Mahmasani menjelaskan bahwa nas hadis di atas
terbangun atas dasar budaya Arab di masa Rasulullah. Jadi,
penggantian dari standar volume ke standar masa seperti di
masa sekarang bukanlah masalah, bahkan merupakan
kewajiban.
Dalam Kaifa Nata’amal ma’a al-Sunnah (152) karya al-
Qaradawi, pendapat ini merupakan pendapat asli Abu Yusuf.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat ulama lain yang
berpegang teguh pada apa yang Rasulullah tentukan dalam
sunah sungguhpun budaya telah berubah. Pada permasalahan
ini, kita dapat melihat sisi fleksibilitas Abu Yusuf.

23
Contoh Aplikatif: Perubahan dari Rukyat ke Hisab dalam
Penentuan Awal Bulan Hijriah
Contoh kedua adalah mengenai persoalan penentuan
awal bulan Hijriah. Persoalan ini selalu menjadi isu hangat di
Indonesia sebab berkaitan erat dengan kapan harus memulai
puasa Ramadan dan kapan harus mengakhirinya.
Rukyat menjadi metode mainstream di Indonesia dan,
menurut Sayyid Alawi al-Maliki (w. 1971) dalam Ibanah al-
Ahkam (II, 525-526), merupakan kesepakatan empat
mazhab.
Metode mainstream ini disandarkan pada petunjuk
eksplisit hadis (‘ibarah al-nashsh) yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah dalam Sahih Muslim yang menjelaskan bahwa
rukyat merupakan ilat memulai dan mengakhiri puasa:
‫ا ِل ْؤ ِته َأْفِط ا ِل ْؤ ِيِتِه‬
‫ِ ُصْو ُمْو ُر َي َو ُر ْو ُر‬
“Berpuasalah karena melihat (rukyat) hilal dan berhentilah
berpuasa karena melihat hilal” (H.R Muslim)
Hadis ini merupakan tafsir aplikatif Rasulullah
terhadap ayat Q.S al-Baqarah [2]: 185 yang menjelaskan
mengenai kewajiban berpuasa bagi orang yang menjumpai
Ramadan:
‫َفَمْن َش ِه َد ِم ْنُك ُم الَّش ْه َر َفْلَيُصْم ٌه‬
“Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu,
maka berpuasalah”

24
Ayat di atas hanya mengatakan “barang siapa di
antara kamu ada di bulan itu”, tidak mengatakan mengenai
cara mengetahui masuknya Ramadan. Rasulullah menentukan
cara mengetahui awal Ramadan dengan jalan melihat (baca:
rukyat) hilal. Cara Rasulullah ini kemudian dipahami secara
apa adanya oleh mayoritas ulama.
Adapun para penganut kaidah Abu Yusuf seperti
Mahmasani mencoba menyoroti lebih dalam mengenai status
rukyat apakah itu termasuk budaya atau bukan. Sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar dalam Sahih Bukhari
dan Sahih Muslim menjelaskan bahwa pemilihan Rasulullah
atas rukyat didorong oleh budaya berupa realita bahwa
kebanyakan masyarakat Arab abad ke-7 M tidak bisa
menulis dan menghitung (hisab).
‫ِإَّنا ُأَّمٌة ُأِم َّيٌة اَل َنْك ُتُب َو اَل َنْح ِس ُب الَّش ْه ُر َه َكَذ ا َو َه َكَذ ا َيْع ِني َم َّرًة ِتْس َعًة ِو ِع ْش ِر ْيَن َو َم َّرًة‬
‫ِث‬
‫َثاَل ْيَن‬
“Kita adalah umat ummi yang tidak bisa menulis dan
menghitung. Bulan itu begini dan begini. Rasulullah
menghendaki yang pertama 29 hari dan yang kedua 30
hari.”(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menujukan bahwa status ketidakmampuan
menulis dan menghitung merupakan alasan dari penggunaan
rukyat. Ketika umat telah keluar dari status ini dan ilmu
astronomi (hisab) telah berkembang sedemikian maju yang

25
memungkinkan bagi Muslim untuk mengetahui awal bulan
Hijrah secara pasti dan yakin, maka peralihan dari metode
rukyat ke hisab adalah kewajiban dan layak untuk
menjadikannya sebagai metode baru sebagaimana Yusuf al-
Qaradawi tegaskan juga dalam Kaifa Nata’amal (165-173).
Dari penjelasan di atas, saya ingin memberikan tiga
poin penutup. Pertama, adalah sebuah keniscayaan untuk
menyegarkan pemahaman agama dengan basis nalar yang
kuat agar agama dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
teknologi dapat berjalan berdampingan dan saling
menyempurnakan. Kedua, upaya kontekstualisasi pemahaman
nas masih memungkinkan untuk merevitalisasi khazanah
keilmuan klasik bernama usul al-fiqh. Ketiga, dengan
merevitalisasi khazanah pemikiran klasik, suatu pendapat
hukum tidak kehilangan otoritasnya. Hal ini berbeda dengan
ide pembaharuan yang mengusung metodologi baru yang
benar-benar lepas dari usul al-fiqh yang mana kelompok
tradisionalis masih menolaknya sungguhpun saya sebagai
akademisi dapat menerimanya secara kritis.

26
Tidak Hanya Khamar, Pengharaman Riba dalam Al-Quran
Juga Bertahap*

Limmatus Sauda’
Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id

Penerapan hukum Islam dari awal, sejak masa Nabi


dilakukan secara bertahap. Istilah ini dikenal
dengan tadarruj. Syeikh Mustafa Az-Zuhaili dalam At-
Tadarruj fi at-Tasyri’ wa Tathbiq fi Syari’ah Al-Islamiyah ,
hal. 27 menyampaikan bahwa praktik tadarruj itu
dimaksudkan untuk dua hal; pertama yaitu pembiasaan
secara bertahap, mulai dari yang dekat ke yang jauh, dari
yang ringan ke yang berat, dari yang mudah ke yang sulit;
kedua yaitu menetapkan peraturan atau hukum yang awalnya

**
https://tafsiralquran.id/tidak-hanya-khamar-pengharaman-
riba-dalam-al-quran-juga-bertahap/
27
hanya bersifat kebiasaan menjadi menjadi hukum atau
peraturan yang mengikat.
Tahapan pengharaman khamar merupakan salah satu
contoh penerapan model tadarruj yang sangat popular. Dan
ternyata tidak hanya khamar yang berlaku demikian,
pengharaman riba pun juga begitu, dilarang secara bertahap.
Tahapan pengharaman riba
Menurut As-Shabuni dalam Tafsir Ayat al-
Ahkam, jilid I, hal. 389, tahap-tahap pengharaman riba sama
dengan tahapan Al-Quran tentang khamr. Pada tahap
pertama hanya sekadar menggambarkan adanya unsur
negatif di dalam riba, sebagaimana tertera dalam surah Ar-
Rum ayat 39,

‫َو َم ا آَتْيُتْم ِم ْن ِرًبا ِلَيْر ُبَو ِفي َأْم َو اِل الَّناِس َفاَل َيْر ُبو ِع ْنَد ِهَّللا َو َم ا آَتْيُتْم ِم ْن َزَك اٍة ُتِريُد وَن َو ْج َه ِهَّللا‬
)39( ‫َفُأوَلِئَك ُهُم اْلُم ْض ِع ُفوَن‬
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta
manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah
orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar-
Rum [30]: 39)
Ayat pertama tentang riba ini merupakan ayat
Makkiyah, turun ketika Nabi di Makkah yang notabene fokus
dakwahnya tentang ajakan tauhid, mengesakan Allah, bukan

28
tentang hukum atau yang lainnya. Keterangan Ibn Abbas
tentang pengertian riba pada ayat ini juga bisa diambil dasar
bahwa memang praktik riba pada masa ini memang tidak
sama dengan masa Nabi di Madinah, apalagi masa sekarang.
Dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu
Katsir bahwa Ibn Abbas memberi pengertian riba dalam
ayat tersebut sebagai tradisi pemberian hadiah kepada
orang-orang yang mengharap imbalan lebih. Praktik riba yang
‘hanya’ seperti ini pada awalnya yang kemudian membuat Al-
Qurtubi dan Ibn al-Arabi menyebutnya dengan ‘riba halal’,
sedang Ibnu Katsir menamainya dengan ‘riba mubah’.
Tahap kedua kemudian disusul oleh ayat tentang
keharaman riba, meski dalam bentuk talwih (memberi
isyarat), bukan sharih (jelas). Ini tercantum dalam surah
An-Nisa’ ayat 161,

( ‫َو َأْخ ِذِهُم الِّر َبا َو َقْد ُنُهوا َع ْنُه َو َأْك ِلِهْم َأْم َو اَل الَّناِس ِباْلَباِط ِل َو َأْعَتْد َنا ِلْلَك اِفِر يَن ِم ْنُهْم َع َذ اًبا َأِليًم ا‬
)161
“Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh
mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan
harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan Kami sediakan
untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.”
(QS. An-Nisa [4]: 161)
Pemaknaan dan praktik riba kemudian berubah pada
tahap yang kedua ini. Ayat yang kedua ini merupakan ayat

29
Madaniyah. Praktik riba dilukiskan dalam Tafsir Ibnu
Athiyyah dengan berhutang satu dirham harus dibayar dua
dirham. Tuntutan untuk membayar lebih ini termasuk
cara batil dalam memakan harta seseorang. Inilah yang
kemudian menjadi alasan pelarangan riba.
Selanjutnya, pada tahap ketiga, Al-Quran secara
eksplisit (sharih) menyatakan keharaman riba, tetapi tidak
secara keseluruhan, hanya riba fahisy saja yang diharamkan.
Ini dapat dilihat dalam surah Ali Imran ayat 130,

)130( ‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَل َتْأُك ُلوا الِّر َبا َأْض َع اًفا ُمَض اَع َفًة َو اَّتُقوا َهَّللا َلَع َّلُك ْم ُتْفِلُحوَن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah
agar kamu beruntung.” (QS. Ali Imran [3]: 130)
Di ayat ini, At-Tabari dalam tafsirnya menukil riwayat
dari Atha’ bahwa seseorang dari Bani Tsaqif berhutang ke
salah seorang dari Bani Al-Mughirah, ketika sudah jatuh
tempo, Bani Al-Mughirah tadi meminta tambahan karena
yang berhutang tadi mengakhirkan bayarannya. Sampe di sini
riba berarti bukan hadiah yang diberikan secara suka rela,
tapi pemberian terpaksa oleh seseorang karena
keterlambatannya dalam membayar hutang.
Oleh karena unsur dzalim, menyakiti dan
menyengsarakan pihak yang berhutang ini berkali lipat, ia
belum bisa membayar di saat yang sama malah bebannya
30
sengaja ditambah, karena usnur ini maka riba secara jelas
dilarang.
Pada tahap terakhir, riba diharamkan secara
keseluruhan, apapaun bentuk dan namanya. Tahapan terakhir
ini ada dalam surah Al-Baqarah ayat 278-279.

‫) َفِإْن َلْم َتْفَع ُلوا‬278( ‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنوا اَّتُقوا َهَّللا َو َذ ُروا َم ا َبِقَي ِم َن الِّر َبا ِإْن ُكْنُتْم ُم ْؤ ِمِنيَن‬
)279( ‫َفْأَذُنوا ِبَح ْر ٍب ِم َن ِهَّللا َو َر ُسوِلِه َو ِإْن ُتْبُتْم َفَلُك ْم ُر ُء وُس َأْم َو اِلُك ْم اَل َتْظِلُم وَن َو اَل ُتْظَلُم وَن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka
umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika
kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu.
Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi
(dirugikan). ” (QS. Al-Baqarah [2]: 278-279)
Sebagaimana penutup, ayat terakhir pengharaman
riba ini semakin memperjelas dan mempertegas larangan
riba. Di ayat ini disampaikan bahwa tradisi riba itu tidak
boleh untuk diteruskan, harus stop. Hutang-hutang yang
masih belum dibayar dilarang untuk dimintai kelebihannya.
Pada tahap ini Allah tidak sekadar melarang, tetapi juga
memberikan ancaman pada siapapun yang masih melanjutkan
praktik riba, yaitu berperang dengan Allah dan RasulNya.
Setidaknya ada beberapa kesimpulan yang dapat
diambil dari penjelasan di atas. Antara lain Al-Quran dalam

31
menerapkan aturan-aturannya masih memperhatikan tradisi,
sekalipun tradisi itu tidak baik. Ia kemudian merubahnya
pelan-pelan, tujuannya tidak lain agar orang-orang bisa
terbiasa dan tidak terasa berat untuk menghadapi aturan
yang baru. Ini yang kemudian disebut dengan
metode tadarruj (bertahap).
Selain itu, dari segi keilmuan Al-Quran, status ayat-
ayat Makkiyah dan Madaniyah ini menjadi salah satu faktor
penting yang tidak bisa dilewati dalam mempelajari dan
memahami ayat Al-Quran, khususnya ketika membahas ayat-
ayat hukum. Wallahu a’lam.

32
BAB II
Fikih Islam Dalam
Konteks Keseharian

33
Asal Mula dan Tujuan Mandi Jumat*

Roni Dwiyanto
Mahasiswa PAI UNU Purwokerto

Seorang Muslim setiap hari jumat diwajibkan


melaksanakan salat Jumat. Karena hari Jumat adalah hari
raya umat Islam yang datang setiap seminggu sekali. Maka,
kedatanganya patut disambut dengan suka cita dan
dimuliakan. Salah satu cara penyambutan itu adalah dengan
adanya perintah mandi sebelum seseorang pergi menghadiri
salat Jumat. Namun sebenarnya bagaimana sih awal mula
disyariatkannya mandi Jumat? Dan apa tujuannya?
Bermula dari Bau Badan Jamaah
Di dalam Islam, terdapat sebuah keyakinan bahwa
syariat Islam dibagun atas dasar kemaslahatan. Ini
sebagaimana dinyatakan oleh imam al-Syathibi (w. 790 H)
dalam kitab al-Muwafaqat (hlm. 126) bahwa pemberlakukan
**
https://nubanyumas.com/ini-asal-mula-dan-tujuan-mandi-
jumat/
34
syariat Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik pada
masa yang dekat maupun masa yang jauh. Merujuk pada tesis
ini, diperintahkannya mandi Jumat berarti bukanlah hal yang
tidak berfaidah, tetapi merupakan hal yang memiliki faidah.
Diceritakan bahwa awal mula diperintahkannya mandi
Jumat adalah sebab bau badan Jamaah yang tercium oleh
Rasulullah sebagaimana hadis yang diceritakan oleh Ibu
‘Aisyah r.a.
‫ِة ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِئ‬
‫ َك اَن الَّناُس َيْنَت اُبوَن َيْو َم اْلُجُم َع ْن‬: ‫َعْن َعا َش َة َز ْو ِج الَّنِبِّي َص َّلى الَّل ُه َعَلْي َو َس َّلَم َقاَلْت‬
‫َم َناِز ِلِه ْم َو اْلَعَو اِلِّي َفَيْأُتوَن ِفي اْلُغَباِر ُيِص يُبُه ْم اْلُغَباُر َو اْلَعَر ُق َفَيْخ ُرُج ِم ْنُه ْم اْلَعَر ُق َفَأَتى َرُس وَل‬
‫ِه‬ ‫ِع ِد‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِه‬
‫ َل ْو‬: ‫الَّل َص َّلى الَّلُه َعَلْي َو َس َّلَم ِإْنَس اٌن ْنُه ْم َو ُه َو ْن ي َفَق اَل الَّنِبُّي َص َّلى الَّل ُه َعَلْي َو َس َّلَم‬
‫َأَّنُك ْم َتَطَّه ْر ُتْم ِلَيْو ِم ُك ْم َه َذ ا‬
Dari Aisyah, isteri Nabi shallallahu alaihi wasallam, ia
berkata, “Orang-orang datang berbondong-bondong pada
hari Jumat dari tempat tinggal mereka dan pinggiran kota
yang jauh, mereka datang melewati padang pasir yang
berdebu sehingga mereka pun berdebu dan berkeringat.
Lalu seorang dari mereka mendatangi Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam yang saat itu beliau sedang bersamaku,
beliau lantas bersabda, ‘Hendaknya kalian mandi dahulu
untuk hari Jumat ini’.” [H.R. Bukhari (no. 902) dan Muslim
(no. 847)]
Dalam kisah yang hampir sama, Ibnu ‘Abas juga
menerangkan sejarah mandi Jumat dengan perintah yang
35
lebih tegas lagi. Jika dalam hadis sebelumnya, Rasulullah
Saw. hanya menghimbau, dalam hadis ini Rasulullah
memerintahkan mandi dan menggunakan minyak wangi.
‫ِة ِج‬
‫ اَل َو َمْن َش اَء اْغَتَس َل‬: ‫َعِن اْبِن َعَّباٍس َو َس َأَلُه َرُج ٌل َعْن اْلُغْس ِل َيْو َم اْلُجُم َع َأَو ا ٌب ُه َو ؟ َق اَل‬
‫َو َس ُأَح ِّد ُثُك ْم َعْن َبْد ءاْلُغْس ِل َك اَن الَّناُس ُمْحَت اِج يَن َو َك اُنوا َيْلَبُس وَن الُّص وَف َو َك اُنوا َيْس ُقوَن‬
‫الَّنْخ َعَلى ُظُه وِر ِه َك اَن ِج ُد الَّنِبِّي َص َّلى الَّل ُه َعَلْي ِه َّل َض ِّيًق ا ُم َق اِر َب الَّس ْق ِف‬
‫َت‬ ‫َو َس َم‬ ‫َمْس‬ ‫ْم َو‬ ‫َل‬
‫ِه‬ ‫ِم‬ ‫ِف‬ ‫ِف‬
‫َفَر اَح الَّن اُس ي الُّص و َفَعِر ُق وا َو َك اَن ْنَبُر الَّنِبِّي َص َّلى الَّل ُه َعَلْي َو َس َّلَم َقِص يًر ا ِإَّنَم ا‬
‫ُه َو َثاَل ُث َد َرَج اٍت َفَع ِر َق الَّن اُس ِفي الُّص وِف َفَث اَر ْت َأْرَو اُحُه ْم َأْرَو اُح الُّص وِف َفَت َأَّذى‬
‫َبْع ُض ُه ْم ِبَبْع ٍض َح َّتى َبَلَغْت َأْرَو اُحُه ْم َرُس وَل الَّل ِه َص َّلى الَّل ُه َعَلْي ِه َو َس َّلَم َو ُه َو َعَلى اْلِم ْنَب ِر‬
‫ َيا َأُّيَه ا الَّناُس ِإَذا ِج ْئُتْم اْلُجُم َع َة َفاْغَتِس ُلوا َو ْلَيَم َّس َأَح ُد ُك ْم ِم ْن َأْطَيِب ِط يٍب ِإْن َك اَن‬: ‫َفَق اَل‬
‫ِع‬
‫ْنَدُه‬
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan ia ditanya oleh seorang
lelaki mengengai mandi di hari Jumat apakah itu hukumnya
wajib? Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, barangsiapa yang mau
silahkan mandi, aku akan menyampaikan kepada kalian
tentang permulaan disyariatkanya mandi (jumat). Dahulu
orang-orang membutuhkan, dan mereka biasa mengenakan
(baju) wol. Mereka bekerja menyirami kebun kurma (dengan
memanggul beban) di punggung mereka, sementara masjid
Nabi Saw. sempit dan atapnya rendah, lalu orang orang
datang ke masjid dengan memakai pakaian terbuat dari wol
sehingga mereka berkeringat, sementara itu mimbar Nabi

36
Saw. pendek hanya tiga anak tangga, maka orang orang pun
berkeringat di dalam wol, sehingga merebaklah bau mereka
yaitu bau wol, akibatnya, hal ini saling mengganggu satu sama
lain sehingga bau mereka pun sampai kepada Rasululloh SAW
yang berada di atas mimbar, lalu beliau bersabda, ‘Wahai
manusia, apabila kalian (hendak) mendatangi (sholat) jumat,
maka mandilah kalian dan hendaklah seseorang dari kalian
mengenakan pewangi terbaik bila ia memilikinya’.”[H.R.
Ahmad (no. 2419), sanadnya baik sebagaimana dinyatakan
oleh Syuaib al-Arnuth dalam tahqiq Musnad Ahmad(4/242)].
Tujuan dan Hukum Mandi Jumat
Berdasarkan dua hadis di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan mandi Jumat adalah untuk memberikan
kenyamanan pada semua jamaah. Hal ini dapat dipahami dari
alasan Rasulullah memerintahkannya yaitu bahwa Rasulullah
memerintahkan mandi Jumat sebab adanya sahabat yang
memiliki bau badan tak sedap. Agar para jamaah salat
Jumat, Rasulullah Saw. memerintahkan mandi sebelum
datang salat Jumat. Agar lebih nyaman lagi, Rasulullah Saw.
bahkan dalam riwayat kedua memerintahkan agar jamaah
menggunakan minyak wangi.
Melihat keadaan ini, tidak mengherankan ketika ulama
memberikan perhatian khusus mengenai hukum mandi Jumat.
Syaikh Abi Syuja’ dalam kitab al-Gayah wa al-Taqrib
menjelaskan bahwa mandi Jumat, Idul Fitri dan Idul Adha,
37
Istisqa (Salat meminta hujan), Khusuf (Salat gerhana
bulan), dan Kusuf (Salat gerhana matahari) merupakan
beberapa mandi yang disunahkan dalam Islam.
Dalam salah satu syarah kitab al-Gayah wa al-Taqrib
yakni kitab al-Tadzhib fi Adillah Matn al-Gayah wa al-
Taqrib, Syaikh Musthofa Dib al-Baga menjelaskan bahwa
dalil mengenai mandi untuk salat Khusuf, Kusuf, dan Istisqa
tidak ditemukan. Ia berpendapat bahwa tiga mandi ini
disunahkan oleh ulama barang kali sebab memiliki kesamaan
dengan salat Jumat dalam hal diperintahkannya berjamaah
dan berkumpulnya manusia. Hal ini semakin menguatkan
kesimpulan saya mengenai tujuan memberikan kenyamanan.
Kesimpulan
Jadi berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas,
substansi atau tujuan dari mandi Jumat adalah untuk
memberikan kenyamanan bagi semua jamaah atau semua
orang yang ditemui. Substansi ini tampak ulama gunakan
untuk menyunahkan mandi-mandi lain dengan melihat pada
sisi diperintahkannya berjamaah dan berkumpulnya manusia.
Oleh sebab itu, substansi memberikan kenyamanan bisa
diambil sebagai pegangan kita dari bagaimana kita
memperlakukan, berinteraksi, dan berkumpul dengan orang
lain dalam berbagai forum atau pertemuan. Kuncinya, kita
harus memberikan kenyamaan bagi orang lain agar orang lain
tidak merasa terganggu.
38
Doa dengan Teknik LoA (Law of Attraction)
dalam Perspektif Islam*

Vika Marshanda
Mahasiswa Prodi PAI UNU Purwokerto

KETIKA kita menginginkan sesuatu, usaha harus selalu


disampingi dengan doa. Ada yang mengatakan bahwa usaha
tanpa doa adalah kesombongan.Oleh sebab itu, doa adalah
sesuatu yang sangat urgen. Salah satu teknik doa yang
akhir-akhir ini menjadi pembicaraan adalah doa dengan
teknik LoA (Law of Attraction). Lantas apakah pandangan
Islam terhadap doa dengan teknik ini? Namun, sebelum kita
memasuki pembahasan yang lebih dalam mengenai pandangan
Islam, mari kita cari tahu terlebih dahulu apa itu Law of
Attraction?
Definisi dan Perkembangan Law of Attraction

**
https://nubanyumas.com/doa-dengan-teknik-loa-law-of-
attraction-dalam-perspektif-islam/
39
Law of Attraction (LoA) adalah hukum tarik menarik.
Setiap orang akan menarik apa yang dirasakan dan dipikirkan
kepada dirinya sendiri. Perasaan dan pikiran yang buruk
(negatif) akan menarik kejadian buruk kepada seseorang.
Demikian pula perasaan dan pikiran yang baik (positif),
keduanya akan menarik kejadian yang baik pada orang
tersebut.
Michael J. Losier dalam buku Law of Attraction:
Mengungkap Rahasia Kehidupan (hlm. 1), menjelaskan
mengenai embrilogi Law of Attraction. Menurutnya, konsep
Law of Attraction mulai didokumentasikan sejak awal tahun
1900-an. Ia menyebutkan bahwa pada tahun 1906, William
Walter Atkinson telah menerbitkan topik Or Thought
Vibration In The Thought Word. Kemudian pada tahun 1926,
Ernest Holmes juga sudah menulis tentang The Sciene Of
Mind dan pada tahun 1949 Raymond Holliwell mengarang
buku tentang Working With Law. Sejak awal dasawarsa
1990-an, berbagai informasi mengenai The Law of
Attraction beredar luas.
Dalam konsep LoA, pikiran adalah magnet yang sangat
kuat. Apapun yang menjadi gambaran dalam pola pikir kita,
itulah yang kita tarik, baik kita menyadarinya atau tidak.
Jika manusia meyakini bahwa kehidupan ini sangat keras dan
harus berjuang hanya untuk hidup pas-pasan, misalnya, maka

40
itulah yang terjadi. Hasil yang diperoleh selalu sesuai dengan
apa yang diyakininya.
Cara sederhana untuk memahami hukum tarik menarik
ini adalah dengan melihat magnet. Magnet menarik besi
karena ada unsur yang sama. Magnet tidak menarik kayu
karena unsurnya berbeda. Begitu juga air selalu berkumpul
dengan air. Minyak yang sifat molekulnya berbeda dengan
air akan menjaga jarak untuk bersatu dengan air. Adapun
manusia yang memiliki semua unsur semesta berpotensi
untuk menarik semua benda yang diinginkannya.
Imajinasi dan tindakan yang kita lakukan tanpa kita
sadari akan membantu kita bergerak ke arah tujuan. Maka
dari itu, alangkah baiknya kita harus selalu berpikir positif
dan melakukan hal-hal yang positif.
Kita bisa lihat dari tindakan seseorang apabila
seseorang mengambil tindakan dengan cara bersungguh-
sungguh, tentunya potensi yang digunakan akan semakin
besar. Semakin besar potensi yang digunakan, hasilnya akan
semakin besar pula. Semakin besar hasilnya, tentunya kita
akan semakin yakin. Dan sebaliknya, semakin kecil tindakan
yang kita ambil, sedikit pula potensi yang digunakan dan jika
hasil tersebut tidak bagus, keyakinan kita akan menciut.
Jadi, semakin kecil hasilnya, semakin yakin pula bahwa kita
tidak mampu.

41
Law of Attraction dalam Pandangan Islam
Pada dasarnya Law of Attraction selaras dengan Firman
Allah Swt dalam salah satu hadis qudsi:
: ‫ َيُقْو ُل ُهللا َتَع اَلى‬: ‫ َقاَل‬، ‫ َأَّن َر ُسْو َل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َو َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َر ِض َي ُهللا َع ْنُه‬
‫ َو ِإْن‬،‫ َذ َكْر ُت ُه ِفي َنْفِس ي‬،‫ َف ِإْن َذ َك َرِني ِفي َنْفِس ِه‬،‫ َو َأَنا َم َع ُه ِإَذ ا َذ َك َرِني‬،‫َأَنا ِع ْنَد َظِّن َع ْبِد ي ِبي‬
‫َذ َك رِني ِفي َم ٍأَل َذ َكْر ُتُه ِفي َم ٍأل َخْيٍر ِم ْنُهْم‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Allah Ta’ala
berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku
bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku
dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku.
Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, maka Aku akan
mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu.”
H.R. Bukhari dan Muslim.
Al-Qur’an sangat mendukung hukum ketertarikan.
Banyak ayat al-Qur’an yang mendukung prinsip bahwa
kejahatan atau keburukan akan menarik keburukan, dan
kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula. Antara lain
dalam Q.S. al-Jatsiyah:15

)15( ‫َم ْن َع ِمَل َص اِلًحا َفِلَنْفِس ٖۚه َو َم ْن َاَس ۤا َء َفَع َلْيَهاۖ ُثَّم ِاٰل ى َر ِّبُك ْم ُتْر َج ُعْو َن‬

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan maka itu adalah untuk


dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan,

42
maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada
Tuhanmu kamu dikembalikan.”
Dengan demikian, konsep dari Law of Attraction
bukan suatu hal yang baru. Sejak abad 14 yang lalu, Islam
telah mengajarkan hal yang sejenis secara terbuka kepada
umat manusia.
Hukum tarik menarik adalah sunnatullah atau hukum
alam, yakni hukum yang ditetapkan Allah guna mengatur
penciptaan dan mekanisme alam semesta yang bersifat
fitrah, tetap dan otomatis. Jadi, ia tidak memilih orang.
Siapapun akan mengalaminya. Ia juga tidak memandang
pikiran baik atau buruk, mau atau tidak mau. Ia hanya
menerima signal dari pikiran dan perbuatan seseorang, lalu
memantulkannya kembali. Ketika seseorang fokus pada
sesuatu, sebenarnya ia sedang memanggil sesuatu itu untuk
hadir pada dalam hidupnya. Ini merupakan manifestasi
rahmat Allah Swt. yang berlaku untuk seluruh makhluk-Nya
tanpa terkecuali.
Cara Penerapan Konsep Law of Attraction di dalam Doa
Berikut ini merupakan cara penerapan Law of
Attraction di dalam Doa. Pertama adalah visualisasi. Cara ini
dilakukan dengan mengimajinasikan apa yang ingin kita capai
dalam hidup. Lalu, afirmasikan seolah-olah kita sudah miliki
apa yang kita impikan.

43
Kedua adalah dengan berpikir positif. Kita harus
fokus pada hal positif dan berpikir positif dalam hidup.
Kerap kali memang berpikir positif itu bukan hal yang
mudah. Maka dari itu, kita butuh membiasakan berpikir
positif dan sebisa mungkin hindari berpikiran negatif dalam
kondisi apapun.
Ketiga adalah tindakan. Jika kita menginginkan
sesuatu sesuai dengan yang kita harapkan, kita harus
melakukan aksi. Sebab, aksi akan membantu kita sampai
dengan apa yang kita inginkan.
Keempat adalah yakin dan percaya bahwa doa,
harapan, dan hajat-hajat kita akan terkabul. Kita tentunya
harus percaya pada diri sendiri bahwa kita mampu menarik
hal-hal positif datang pada kehidupan kita. Di dalam QS. Al-
Ghofir: 60, Allah berfirman:

( ‫َو َقاَل َر ُّبُك ُم اۡد ُعۡو ِنۤۡى َاۡس َتِج ۡب َلـُك ؕۡم ِاَّن اَّلِذ ۡي َن َيۡس َتۡك ِبُر ۡو َن َع ۡن ِعَب اَد ِتۡى َس َيۡد ُخ ُلۡو َن َجَهَّنَم َداِخ ِرۡي َن‬
)60

“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya


akan Aku perkenankan bagimu.’ Sesungguhnya orang-orang
yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke
Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-
Ghofir:60)

44
QS. Al-Ghofir (60) di atas telah menunjukan bahwa
tidak ada tempat lain untuk berharap dan berdoa selain
Allah.
Kesimpulan
Hukum tarik-menarik menyatakan bahwa kebaikan
akan menarik kebaikan dan keburukan akan menarik
keburukan. Sebab, ia merupakan hukum alam (sunnatullah)
yakni bahwa ketika seseorang berpikir atau berbuat yang
positif, maka hal positif pula yang akan kembali padanya.
Hukum alam ini yang menjadi prinsip dasar LoA. Dalam
pandangan Islam, LoA bukanlah hal yang terlarang. Petunjuk-
petunjuk dalam al-Qur’an dan sunah telah menjunjukan
kesesuaiannya. Jadi, kita tidak perlu ragu untuk
mengerjakannya.
Empat Status Puasa Menurut M. Quraish Shihab*

Limmatus Sauda
Pemimpun Redaksi tafsiralquran.id

Selain sebagai rukun Islam, puasa juga berstatus


sebagai salah satu cara dalam beribadah dan cara
berkomunikasi antara seorang manusia dengan Allah.
Setidaknya hal tersebut yang disampaikan oleh M. Quraish

**
https://tafsiralquran.id/empat-status-puasa-menurut-m-
quraish-shihab/
45
Shihab, maestro tafsir Indonesia dalam bukunya, Lentera
Al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan ketika memahami
rukun Islam yang satu ini.
Cara beribadah itu dirinci lagi menjadi empat.
Pertama, puasa sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Kedua, puasa sebagai jihad akbar. Ketiga, puasa
sebagai upaya mengendalikan diri. Keempat, puasa sebagai
salah satu usaha melepaskan belenggu kebiasaan yang tidak
baik menuju kebiasaan yang lebih baik.
Puasa sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah
Status puasa yang pertama ini diambil oleh mufasir
asal Sulawesi Selatan tersebut berdasar pada isyarat ayat
186 surah Al-Baqarah yang beriringan dengan ayat tentang
puasa. Dengan berpuasa, dalam arti mengendalikan nafsu
dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Berbeda dengan mufasir lain, Al-Qurtubi misalnya.
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dia tidak secara gamblang
mengatakan bahwa ayat tentang posisi Allah itu berkaitan
dengan tujuan puasa, namun ketika memaparkan
tentang sabab nuzul, Al-Qurtubi menyinggung riwayat yang
berkaitan dengan puasa. Salah satunya yang dia kutip dari
keterangan Muqatil, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
peristiwa Umar yang ‘mendatangi’ istrinya setelah salat isya’,
dia menyesali dan menangisi perbuatannya tersebut,
kemudian dia mengadu kepada Rasulullah. Setelah itu turun
46
ayat 186 tersebut untuk merespon aduan Umar dan
penyesalan atas perbuatannya.
Pada ayat tersebut disampaikan bahwa Allah dekat
dengan hambaNya, jadi misal ada seorang hamba yang
merasa menjauh dari Allah karena merasa melanggar
aturanNya, maka jangan kawatir, Allah itu dekat. Nah, cara
yang bisa dilakukan agar bisa mendekatkan kembali
hubungan manusia dengan Allah yang ‘terasa’ mulai menjauh
ini bisa ditempuh dengan cara berpuasa.
Puasa sebagai jihad akbar
Ada hadis Nabi yang sangat populer tentang jihad
akbar, yaitu perang yang lebih dahsyat daripada perang fisik
semacam Perang Teluk dan lainnya. Jihad akbar ini adalah
perang melawan nafsu dan egoisme. Menurut Quraish
Shihab, salah satu cara, strategi dan senjata melawan nafsu
dan egoisme adalah dengan puasa.
Lebih jelas lagi, Quraish Shihab melanjutkan
bahwa jihad akbar ini disulut apinya pada bulan puasa. Di
saat itu waktunya umat Islam untuk berperang menaklukkan
nafsunya yang menggebu-gebu. Namun demikian, alumni
Universitas Al-Azhar ini memberi catatan seperti biasanya,
mengingatkan akan pesan perdamaian dalam setiap perang,
termasuk perang melawan nafsu. Sebagaimana tujuan perang
dalam Islam, perang melawan nafsu bukan bertujuan untuk
menghabisi potensi lawan, yakni nafsu, melainkan untuk
47
sekadar mengandalikannya, karena menurut Quraish Shihab
betapa pun jeleknya sesuatu, pasti ada sisi positif di
dalamnya yang dapat dimanfaatkan.
Puasa sebagai upaya mengendalikan diri
Status puasa yang ketiga ini berhubungan erat dengan
yang kedua. Namun pertanyaan yang muncul kali ini adalah,
apa hubungan puasa dengan pengendalian diri? Pendiri Pusat
Studi Al-Quran ini menerangkan bahwa secara umum, jiwa
manusia berpotensi untuk sangat cepat terpengaruh,
khususnya bila seseorang tidak memiliki kesadaran
mengendalikan diri dan tekad yang kuat untuk menghadapi
bisikan-bisikan negatif.
Tekad yang kuat itu juga harus dibarengi dengan
ketenangan jiwa. Kesadaran dan ketenangan dalam tekad
seseorang perlu, karena tekad yang tidak disertai kesadaran
akan membuahkan sikap keras kepala; sedang tekad tanpa
ketenangan akan membawa pada kecemasan dan kegelisahan.
Dua hal tersebut, yakni tekad pengendalian diri yang
disertai kesadaran dan ketenangan itu ada pada puasa.
Kesadaran diperoleh dari hakikat puasa yang diketahui
hanya oleh Allah dan pelakunya, sedang ketenangan didapat
dari niat puasa yaitu karena Allah. Ini senada dengan hadis
Qudsi ‘Puasa itu untukKu, dan Aku akan membalasnya’ (As-
Suyuthi, Lubab Al-Hadits).

48
Puasa sebagai salah satu usaha melepaskan belenggu
kebiasaan
Untuk status puasa yang keempat ini, Quraish Shihab
berargumentasi bahwa kehidupan manusia sangat
dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaannya, termasuk
pemenuhan makan dan minum dengan kadar dan jam
tertenyu. Quraish Shihab mengistilahkan kebutuhan ini
dengan kebutuhan fa’ali. Menurutnya, jika seseorang sudah
terbiasa dengan pemenuhan kebutuhan fa’ali secara
berlebihan, maka walaupun seseorang tersebut mampu
mengendalikannya, dia akan kesulitan dan kalah dengan
kebiasaannya.
Makanan dan minuman menurut Syekh Nawawi Al-
Bantani dalam tafsir Murah Labid merupakan kesenangan
yang paling menonjol daripada kesenangan-kesenangan
lainnya juga yang paling sulit mengendalikannya. Jika
seseorang mampun mengendalikan perihal makanan dan
minuman maka dia akan lebih mudah untuk mengendalikan
kesenangan lainnya, termasuk juga rutinitas atau kebiasaan-
kebiasaan ‘tidak sehat’ yang lain, seperti jam tidur yang
berlebihan, waktu bekerja yang kurang disiplin dan
semacamnya.
Tentu empat status ini tidak paten dan pula tidak
final, bisa saja bertambah atau bahkan berbeda, sesuai
dengan pengalaman dan argumentasi dari pengkajinya.
49
Namun satu hal yang jelas, yaitu bahwa puasa tidak hanya
sekadar tidak makan dan minum, ada banyak latihan-latihan
dalam berpuasa, baik latihan jasmani maupun rohani. Dengan
begitu, tidak heran ketika selesai puasa atau idul fitri, hari
itu diistilahkan pula dengan hari kemenangan. Hal ini
dimaksudkan menang dan berhasil dalam latihan-latihan
tersebut. Semoga ‘latihan’ kita ini berhasil dan lulus
sehingga bisa mencapai kemenangan. Wallahu a’lam.

Hukum Fidyah Puasa Menggunakan Makanan Siap Saji*

Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

Menjelang Ramadan, banyak flayer bertebaran dari


lembaga-lembaga sosial yang menawarkan penyaluran fidyah

**
https://nubanyumas.com/hukum-fidyah-puasa-menggunakan-
makanan-siap-saji/
50
puasa. Hal yang mengejutkan adalah bahwa lembaga-lembaga
sosial tersebut menawarkan penyaluran berupa makanan siap
saji. Padahal, yang selami ini diketahui adalah bahwa fidyah
diserahkan dalam bentuk makanan pokok/biji-bijian mentah.
Mekanisme pembayaran yang ditawarkan adalah bahwa
pembayar fidyah membayarkan dalam bentuk uang tunai.
Ada yang mematok Rp. 19.000,-, Rp. 25.000,- dan nominal-
nominal lain untuk setiap tanggungan puasa. Uang tunai ini
kemudian dibelanjakan oleh pengelola dalam bentuk makanan
siap saji (nasi, sayur, dan lauknya) dan selanjutnya diberikan
kepada fakir miskin.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “ apakah
membayar fidyah menggunakan makanan siap saji itu sah? ”
Pertanyaan ini kemudian disikapi oleh LBM NU Banyumas
dalam forum bahstul masail triwulan-an yang
diselenggarakan di PP Darunnajah Pliken, Kembaran asuhan
KH. Slamet Subakhi pada Sabtu (19/3).
Selain dihadiri oleh KH. Ahmad Hadidul Fahmi, Lc
selaku ketua LBM NU Banyumas dan anggota-anggotanya,
acara ini juga dihadiri oleh tokoh-tokoh penting di jajaran
PCNU Banyumas, seperti Rois Suriyah NU Banyumas KH.
Mughni Labib, M.Ag dan Katib Suriyah Dr. Ansori, M.Ag, dan
Ketua Tanfidziyah H. Sabar Munanto, M.Pd. Turut hadir pula
Pengasuh PP Al-Amin Purwokerto KH. Ibnu Mukti, M.Pd.
Forum bahtsul masail menjadi semakin meriah sebab dihadiri
51
oleh para delegasi dari MWC NU dan pesantren-pesantren
di Banyumas.
Perselisihan Ulama mengenai Fidyah
Tim LBM menemukan bahwa pembayaran fidyah dalam
bentuk makanan siap saji merupakan sesuatu yang
diperselisihkan oleh para ulama. Sebagai catatan, mekanisme
dari pembayaran berupa uang, kemudian dibelanjakan, dan
diserahkan dalam bentuk makanan siap saji oleh pengelola
didudukan sebagai akad taukil (perwakilan/penyerahan
kuasa). Jadi, permasalahan yang dihukumi tetap mengenai
fidyah berupa makanan siap saji.
1. Hukum tidak Boleh menurut Mazhab Syafi’iyah
Mazhab Syafi’iyah bersikap ketat terhadap persoalan
ini. Bagi mereka, fidyah hanya sah ketika diserahkan dalam
bentuk biji-bijian yang belum dimasak (beras, gandum, dll).
Mazhab Syafi’iyah menguatkan pendiriannya dengan alasan
bahwa nas hadis menyebutkan biji-bijian dan berdasarkan
penalaran manfaat biji-bijian lebih banyak daripada makanan
matang, sebab biji-bijian bisa disimpan, ditanam, dan
dijadikan makanan pokok. Pendapat ini diambil dari kitab al-
Hawi al-Kabir karya al-Mawardi.
‫ (َو اَل ُيْج ِز ُئ ُه َأْن ُيْع ِط َيُه ْم َد ِقيًق ا َو اَل َس ِو يًق ا َو اَل ُخ ْبًز ا َح َّتى‬:‫قاَل الَّش اِفِعُّي َر ِض َي اُهلل َعْن ُه‬ َ
‫ِط‬
‫ َص َّلى الَّل ُه‬- ‫ َأَّن الَّنِبَّي‬:‫ َأَح ُد ُه َم ا‬: ‫ َو َه َذ ا َص ِح يٌح َأِلْم َر ْيِن‬: ‫ َق اَل اْلَم اَو ْر ِد ُّي‬. )‫ُيْع َيُه ُم وُه َح ًّب ا‬
‫ َأَّن اْلَح َّب َأْك َثُر َم ْنَف َع ًة َأِلَّنُه‬:‫ َنَّص َعَلى اْلُحُب وِب َفاَل ُيْج ِز يِه َغْيُر ُه َم ا َو الَّثاِني‬- َ‫َعَلْيِه َو َس َّلم‬
52
‫ِف‬ ‫ِق‬ ‫ِت‬ ‫ِك‬
‫ َفِإ َذا َص اَر َد يًق ا َأْو َس ِو يًق ا َأْو ُخ ْبًز ا َنَق َص ْت َم َنا ُع ُه َو ِإْخ َر اُج‬،‫ُيْم ُن اِّدَخ اُرُه َو َز ْر ُعُه َو اْق َناُؤ ُه‬
. ‫الَّناِقِص ِفي َمْو ِض ِع اْلَك اِم ِل َغْيُر ُمْج ِز ٍئ‬
“al-Syafi’i ra. mengatakan: “Memberikan orang-orang miskin
tepung, gilingan gandum, dan roti tidak mencukupi sampai
pembayar fidyah memberikan biji-bijian.” al-Mawardi
berkata: “Ini benar dilihat dari dua sisi. Pertama, Nabi Saw.
menyebutkan biji-bijian. Maka, selain itu berarti tidak
mencukupi bagi pembayar fidyah. Kedua, sesungguhnya biji-
bijian lebih bermanfaat sebab ia memungkinkan untuk
disimpan, ditanam, dan dijadikan makanan pokok. Ketika biji-
bijian telah berubah menjadi tepung, gilingan gandum, dan
roti, maka manfaatnya berkurang sedangkan mengeluarkan
barang yang kurang di tempat barang yang sempurna itu
tidak mencukupi.”
Hukum Boleh Menurut Imam Ahmad ibn Hanbal
Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad ibn Hanbal
pernah berfatwa bahwa memberikan makanan matang
diperbolehkan untuk membayar fidyah. Beliau bahkan tidak
memberikan batasan khusus. Beliau berfatwa agar pembayar
fidyah mengumpulkan orang miskin sesuai jumlah tanggungan
puasannya, memberi mereka makanan dan membuat mereka
kenyang. Ini diambil dari kitab al-Mugni karya Ibn Qudamah.
، ‫ ُثَّم َأْد َر َك َه ا َرَم َض اُن آَخ ُر‬، ‫ َس ِم ْعُت َأْح َم َد ُيْس َأُل َعِن اْم َر َأٍة َأْفَط َر ْت َرَم َض اَن‬:‫َق اَل َأُبْو َداُو ُد‬
‫ِع‬ ‫ِث ِم ِك‬ ‫ِث‬
‫ َو َأْط ْمُه ْم‬،‫ َف اْج َم ْع َثاَل ْيَن ْس ْيًنا‬: ‫ َق اَل‬.‫ َثاَل ْيَن َيْو ًم ا‬: ‫ َك ْم َأْفَط َر ْت ؟ َق اَل‬: ‫ َق اَل‬. ‫ُّثمَ َم اَتْت‬
53
‫ِع‬ ‫ِل ِم‬ ‫ِه‬ ‫ِب‬ ‫ِل‬ ‫ِب‬ ‫ِح‬
‫ (َأْط ْم‬: ‫ َق اَل ْلُمَج ا ِع‬- ‫ َص َّلى اُهلل َعَلْي َو َس َّلَم‬- ‫ َو َذ َك َأِلَّن الَّن َّي‬. ‫ َو َأْش ْعُه ْم‬،‫َم َّرًة َو ا َد ًة‬
‫ِس ِم ِك‬
‫ َو َه َذ ا َقَد َأْطَعَم ُه ْم‬. )‫ِّتْيَن ْس ْيًنا‬
“Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar bahwa Ahmad
(ibn Hanbal) ditannya mengenai perempuan yang tidak
berpuasa di bulan Ramadan, kemudian Ramadan yang lain
telah mendatanginya, dan kemudian perempuan tersebut
meninggal. Dia bertannya: “Berapa hari dia tidak berpuasa?”
Penanya menjawab: “30 hari.” Imam Ahmad menjawab:
“Kumpulkan 30 orang miskin, beri makan mereka sekali, dan
kenyangkan mereka. Ini sebab Nabi Saw. bersabda pada
orang yang berjimak: “Beri makan 60 orang miskin.” Penanya
ini telah memberi makan mereka.”
Pendapat Boleh menurut Mazhab Hanafiah
Menurut mazhab Hanafiah, hukum fidyah
menggunakan makanan siap saji adalah boleh. Mazhab
Hanafiah tidak mengharuskan penyerahan fidyah berupa
biji-bijian, tetapi memperbolehkannya dengan sesuatu yang
senilai (qimah) dengannya, sebab tujuan pokok fidyah adalah
memberikan kecukupan bagi orang miskin. Qimah ini bisa
berupa uang atau barang (‘urudh). Dalam hal ini, makanan
siap saji masuk dalam kategori ‘urudh. Keterangan ini diambil
dari kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah al-
Zuhaili.

54
‫ِن‬ ‫ِه‬ ‫ِم ِل ِق‬ ‫ِط‬ ‫ِف ِة‬ ‫ِع‬ ‫ِق ِة ِع‬
‫ َيُج ْو ُز ْنَد اْلَح َن َّي َأْن ُيْع َي َعْن َج ْي ِع َذ َك اْل ْيَم َة َد َر ا َم َأْو َدَنا ْيَر‬: ‫َد ْفُع اْل ْيَم ْنَد ُه ْم‬
‫ِق ِل ِلِه‬ ‫ِق ِة‬ ‫ِج ِف‬
‫ َق ْو َص َّلى اُهلل‬، ‫َأْو ُفًلْو ًس ا َأْو ُعُر وًض ا َأْو َم ا َش اَء؛ َأِلَّن اْل َو ا َب ي اْلَح ْيَق ِإْغَن اُء اْلَف ْي ِر‬
‫ِم‬
‫ َب ْل َأَتُّم‬،‫ «َأْغُنْو ُه ْم َعِن اْلَمْس َأَلِة ِفيِ ِم ْث ِل َه َذ ا اْلَيْو » َو اإْل ْغَن اُء َيْحُص ُل ِباْلِق ْيَم ِة‬: ‫َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬
. ‫ َفَيَتَبَّيُن َأَّن الَّنَّص ُمَعَّلٌل بِاإْل ْغَناِء‬،‫َو َأْو َفُر َو َأْيَسُر ؛ َأِلَّنَه ا َأْقَر ُب ِإَلى َدْفِع اْلَح اَج ِة‬
“Menyerahkan sesuatu yang senilai menurut para ulama. Bagi
ulama Hanafiah, seseorang boleh memberikan sesuatu yang
senilai sebagai ganti dari itu semua dalam bentuk dinar,
dirham, uang receh, barang, atau apapun yang seseorang
kehendaki, karena yang wajib sejatinya adalah memberi
kecukupan pada orang fakir berdasarkan sabda Rasulullah
Saw. “Cukupilah mereka dari meminta-minta di hari seperti
ini”. Memberi kecukupan bisa hasil dengan sesuatu yang
senilai, bahkan yang lebih sempurna, memenuhi, dan mudah.
Sebab, sesuatu yang senilai lebih dekat memenuhi
kebutuhan. Maka, bahwasanya nas digantungkan pada
memberi kecukupan adalah jelas.”
Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
standar qimah dalam mazhab Hanafiah adalah seharga
setengah sha' gandum (+ 1.9 kg gandum) sebagaimana al-
Zuhaili jelaskan di kitab yang sama.
‫ ِبَش ْر ِط َد َو اِم َعْج ِز اْلَف اِنْي َو اْلَف اِنَي ِة ِإَلى‬،‫ َأْي ِقْيَم ِتِه‬، ‫ ِنْص ُف َص اٍع ِم ْن ُبٍّر‬:‫َو اْلِف ْد َيُة ِع ْنَد اْلَح َنِف َّيِة‬
‫اْل ِت‬
‫َمْو‬

55
“Fidyah menurut mazhab Hanafiah adalah setengah sho dari
gandum, maksudnya nilainya, dengan syarat terus-
menerusnya sifat lemah dari kakek-kakek dan nenek-nenek
sampai meninggal.”
Rekomendasi
Merujuk pada tiga pendapat di atas dan
mempertimbangkan argumen mengenai manfaat dari fidyah.
LBM NU Banyumas merekomendasi. Pertama, penyerahan
fidyah mengikuti mazhab Hanafiah dengan
ketentuannya.Kedua, penyerahan fidyah yang disarankan
tidak berupa makanan siap saji, tetapi berupa uang tunai. Ini
didorong oleh alasan, 1) uang tunai memiliki keserupaan
dengan manfaat biji-bijian yaitu bisa disimpan, bisa
dibelikan biji untuk ditanam, dan bisa dibelanjakan untuk
membeli makanan, 2) kebutuhan mendesak orang miskin
mungkin saja bukan makanan, tetapi bisa kebutuhan yang
lain, dan 3) penyerahan fidyah dalam bentuk makanan siap
saji membuka kemungkinan tidak memuaskan penerima sebab
ada kemungkinan penerima alergi atau tidak suka dengan
makanan yang dibagikan.

56
Makna dari Isti’adzah Menurut Musthafa Umar*

Muhammad Rifa’i Nur Wijaya


Mahasiswa PAI UNU Purwokerto

**
https://nubanyumas.com/makna-dari-istiadzah-menurut-
musthafa-umar/
57
Sering kali kita dalam membaca al-Qur’an tidak dapat
membaca dengan waktu yang lama. Kadang dalam
pelaksanaannya banyak sekali hal-hal yang kita rasakan,
misalnya rasa capek, melamun, mengantuk, dan lain
sebagainya. Demikian itu adalah cara setan menghalangi kita
dalam beribadah kepada Allah Swt. terutama dalam
membaca al-Qur’an.
Salah satu caranya untuk mengatasi ini adalah dengan
membaca isti’adzah guna menjauhkan diri dari godaan setan.
Kita sebagi umat Islam sangat dianjurkan membaca
isti’adzah yang biasa kita kenal dengan ta’awudz sebelum
membaca surat dalam al-Qur’an, dengan maksud supaya
mendapat perlindungan dari godaan setan baik berupa jin
maupun manusia.
Maka dari itu, dalam membaca al-Qur’an sangat
penting untuk didahului membaca isti’adzah. Dalam tulisan
ini, penulis akan mengupas mengenai isti’adzah menurut
Musthafa Umar dalam karyanya tafsir al-ma’rifah,
bagaimana maksud dari isti’adzah itu, apakah hanya ucapan
belaka atau memang ada maksud tertentu mengenai anjuran
membaca isti’adzah.
Mengenal Musthafa Umar dan Tafsirnya
Musthafa Umar dilahirkan di Riau, Indonesia pada
tahun 1967 dan mendapatkan pendidikan awal di kampung
kelahirannya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Pondok
58
Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur, Indonesia dan tamat pada tahun 1987. Selanjutnya,
beliau mendapatkan gelar sarjana dari Universitas al-Azhar
Mesir, pada fakultas ushuluddin jurusan dakwah tahun 1994.
Setelah memperoleh gelar S1, beliau melanjutkan
pendidikan S2 di Universitas Antar Bangsa Malaysia, dan
memperoleh ijazah master jurusan dakwah pada tahun 2000.
Gelar doktoral diperoleh di jurusan al-Quran dan Hadits,
Akademi Pengajian Islam Universitas Malaya Malaysia tahun
2009. Saat ini beliau aktif berdakwah di Riau, Malaysia
serta berbagai kota di Indonesia.
Dasar Pelafadzan Isti’adzah
Perintah dalam pelafadzan isti’adzah banyak
ditemukan di dalam al-Qur’an dan hadits. Berikut ini adalah
perintah isti’adzah dalam surat al-A’raf ayat 199-200:
,‫غ َفٱۡس َتِع ۡذ ِبٱِهَّلل‬ٞ ‫ َو ِإَّم ا َينَزَغ َّنَك ِم َن ٱلَّش ۡي َٰط ِن َن ۡز‬. ‫ُخ ِذ ٱۡل َع ۡف َو َو ۡأ ُم ۡر ِبٱۡل ُع ۡر ِف َو َأۡع ِر ۡض َع ِن ٱۡل َٰج ِهِليَن‬
. ‫ِإَّن ۥُه َسِم يٌع َع ِليٌم‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka
berlindunglah kepada Allah. Q.S. al-A’raf [7]:199-200”
Surat al-Mukminun ayat 96-98 juga menyebutkan
mengenai perintah isti’adzah.
‫ َو ُقل َّرِّب َأُعوُذ ِبَك ِم ۡن َهَم َٰز ِت ٱلَّش َٰي ِط يِن‬. ‫ َنۡح ُن َأۡع َلُم ِبَم ا َيِص ُفوَن‬،‫ٱۡد َفۡع ِبٱَّلِتي ِهَي َأۡح َس ُن ٱلَّسِّيَئَة‬
. ‫َو َأُعوُذ ِبَك َر ِّب َأن َيۡح ُضُروِن‬.

59
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik.
Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan
katakanlah: Ya Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari
bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada
Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku. Q.S.
al-Mukminun [23]:96-98.”
Ada juga dalil yang disebutkan dalam surat an-Nahl
ayat 98:
. ‫َفِإَذ ا َقَر ۡأ َت ٱۡل ُقۡر َء اَن َفٱۡس َتِع ۡذ ِبٱِهَّلل ِم َن ٱلَّشۡي َٰط ِن ٱلَّر ِج يِم‬
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Q.S.
an-Nahl [16]:98”
Hukum Pelafadzan Isti’adzah
Mengenai hukum tentang membaca isti’adzah, para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Ada sebagian yang
mewajibkan, dan ada pula yang berpendapat hukumnya sunah.
Para ulama dan ahli qira’at yang berpendapat membaca
isti’adzah itu sunah karena didasarkan pada kalimat perintah
yang berbunyi ‫َفٱۡس َتِع ۡذ ِبٱِهَّلل‬. Maka dari itu, tidak berdosa bagi
orang yang tidak membaca isti’adzah, karena tidak ada
tuntutan nabi yang mengharuskan membaca isti’adzah.
Adapun sebagian ulama lain menghukumi membaca
isti’adzah sebagai wajib. Kalimat perintah di atas
menunjukkan arti yang hakiki yang harus dilaksanakan dan
tidak ada petunjuk yang dapat merubah perintah tersebut.
60
Menurut pendapat Ibnu Sirin, membaca isti’adzah
mempunyai kewajiban sekali dalam seumur hidup. Maka,
telah gugur kewajiban seorang hamba dalam masa hidupnya
jika hanya membaca sekali saja.*
Isti’adzah Menurut Musthafa Umar
Surat an-Nahl ayat 98 menyebutkan bahwa ketika
seorang hamba akan membaca ayat-ayat Allah maka ia
dianjurkan untuk memohon perlindungan agar dijauhkan dari
godaan setan yang terkutuk. Lafadz isti’adzah yang berbunyi
“a’uudzu billahi minasysyaithaanirrajiim”. Jika kita penggal
antar lafadznya maka lafadz “a’uudzu” mempunyai arti “aku
berlindung”. Maknanya adalah bahwa seseorang meminta
perlindungan kepada yang mampu memberikan perlindungan.
Allah Swt. adalah dzat yang mampu memberikan
perlindungan kepada yang meminta perlindungan. Untuk itu,
meminta perlindungan sejatinya hanyalah kepada Allah Swt.
Di dalam bahasa arab, kata “a’uudzu” mempunyai dua
makna. Yang pertama adalah bermakna menutupi (as-satru).
Maksud dari menutupi disini adalah meminta perlindungan
kepada Allah Swt, dari gangguan setan, karena hanya Allah
lah yang dapat mampu untuk menutupi kita dari godaan
setan yang terkutuk. Yang kedua mempunyai makna melekat.
Maksud dari melekat di sini adalah meminta perlindungan
**
https://islam.nu.or.id/ilmu-al-quran/hukum-waktu-dan-cara-
membaca-taawudz-atau-istiadzah-mJ3Ah
61
agar kita sebagai hamba dalam membaca al-Qur’an selalu
melekat dalam perlindungan Allah Swt. Maka dari itu,
merupakan sebuah kepentingan membaca isti’adzah sebelum
membaca firman-firman Allah SWT.
Kata selanjutnya setelah “a’uudzu” adalah kata
“billaahi”, mempunyai makna bahwa hanya kepada Allah lah
satu-satunya tempat meminta perlindungan, tidak ada yang
lain. Kata selanjutnya “minasysyaithon” bermakna dari
gangguan setan. Kata “Syaithon” berasal dari kata
“syathona” yang maknanya sama dengan kata “ba’uda” (jauh).
Maksudnya berarti setan adalah makhluk yang dijauhkan
dari rahmat Allah SWT karena dilaknat. Disebutkan dalam
al-Qur’an yang dimaksud setan di sini bukan hanyalah bangsa
jin, tetapi juga termasuk gangguan manusia dan hewan
melata. Kata yang terakhir adalah kata “ar-rajiim” berasal
dari kata “ar-rajam” yang bermakna melempar. Maksudnya
adalah bahwa Allah SWT melempar setan dari surga menuju
dunia. Menurut Musthafa Umar, hukum membaca isti’adzah
adalah “mustahabbah” atau sangat dianjurkan untuk
dibacanya agar mendapatkan perlindungan dari Allah Swt.*
Kesimpulan

https://www.youtube.com/watch?
**

v=PYQUGxJmRkU&pp=ygUXaXN0aWFkemFoIG11c3RoYWZhIHVtYXI
%3D
62
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isti’adzah
mempunyai tiga dimensi, yaitu antara Allah Swt, manusia dan
setan. Allah Swt adalah dzat yang memberikan perlindungan,
manusia adalah makhluk yang meminta perlindungan dan
setan adalah makhluk yang dapat mengganggu manusia.
Untuk itu, membaca al-Qur’an dengan diawali dengan
isti’adzah sangat dianjurkan karena manusia biasa tidak akan
mampu melawan godaan setan tanpa perlindungan dari Allah
Swt.

63
Sahkah Sahur Sebelum Dini Hari*

Rakhel Putri Ramadhani


Mahasiswi Prodi PAI UNU Purwokerto

Untuk mengantisipasi rasa haus dan lapar saat


berpuasa, agama menganjurkan agar Muslim mengakhirkan
makan sahur. Hal ini tidak lain agar Muslim lebih kuat dan
semangat dalam menjalankan ibadah puasa. Namun,
terkadang sebagian orang melaksanakan sahur sebelum jam
12 malam karena mereka merasa malas untuk bangun dini
hari. Lantas apakah yang demikian masih mendapatkan
kesunahan sahur?
Sahur adalah aktivitas makan dan minum yang
dilakukan pada dini hari sebelum masuk waktu berpuasa.
Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa waktu terbaik untuk
sahur adalah di sepertiga malam hingga subuh. Meski makan
sahur dihukumi sunah, namun makan sahur pada bulan
Ramadhan sangat dianjurkan karena terdapat keutamaan
didalamnya, yaitu:
1. Sahur di sepertiga malam adalah waktu yang baik untuk
memohon ampunan
Allah SWT berfirman dalam QS. Al Imran: 17
)17( ‫ٱلَّٰص ِبِر يَن َو ٱلَّٰص ِدِقيَن َو ٱْلَٰق ِنِتيَن َو ٱْلُم نِفِقيَن َو ٱْلُم ْسَتْغ ِفِريَن ِبٱَأْلْس َح اِر‬
**
https://nubanyumas.com/sahkah-sahur-sebelum-dini-hari/
64
“(Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap
taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang
memohon ampun di waktu sahur”
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
‫َيْنِز ُل َر ُّبَنا َتَباَر َك َو َتَع اَلى ُك َّل َلْيَلٍة ِإَلى الَّس َم اِء الُّد ْنَيا ِح يَن َيْبَقى ُثُلُث الَّلْيِل اآلِخ ُر َيُقوُل َم ْن‬
‫َيْد ُعوِنى َفَأْسَتِج يب َلُه َم ْن َيْس َأُلِنى َفُأْع ِطَيُه َم ْن َيْسَتْغ ِفُر ِنى َفَأْغ ِفَر َلُه‬
“(Rahmat) Tuhan kita tabaroka wa ta’ala turun ke langit
dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia
berfirman: ‘Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan
Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepadaKu, maka akan Aku
beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan
Aku ampuni.’” (HR Al-Bukhari:7494).

2. Di dalam sahur ada keberkahan


Sebagaimana di ketahui, hukum sahur adalah sunnah.
Rasulullah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari
Anas bin Malik:
‫َتَس َّحُروا َفِإَّن ِفي الَّسُحوِر َبَر َك ة‬
“Sahurlah kalian semua. Sesungguhnya sahur itu
mengandung keberkahan.” (HR Bukhari: 1923)
‫ َتَس َّحُروا َفِإَّن ِفي َالَّسُحوِر َبَر َك ًة – ُم َّتَفٌق َع َلْيِه‬: ‫َقاَل َر ُسوُل ِهَّللَا‬: ‫َو َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َقاَل‬

3. Didoakan oleh para malaikat


Makan sahur pada bulan Ramadan juga dapat
menambah keberkahan karena para malaikat turun
65
mendoakan kebaikan kepada orang yang melaksanakan sahur.
Hadits ini dinukil dari Abu Sa’id Al Khudri r.a yang menyebut
bahwa Rasulullah Saw pernah berkata, Allah SWT dan para
malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.
‫الُّسُحوُر َأْكَلٌة َبَر َك ٌة َفاَل َتَدُعوُه َو َلْو َأْن َيْج َر َع َأَح ُد ُك ْم َج ْر َع ًة ِم ْن َم اٍء َفِإَّن َهَّللا َو َم اَل ِئَكَت ُه ُيَص ُّلوَن‬
‫َع َلى اْلُم َتَس ِّح ِرين‬
“Bersahur itu adalah suatu keberkahan, maka janganlah
kamu meninggalkannya, walaupun hanya dengan seteguk air,
karena Allah dan para malaikat bersalawat atas orang-orang
yang bersahur (makan sahur)” (HR Ahmad:11101).
Waktu Dimulainya Sahur
Melihat keutamaan-keutamaan di atas, meninggalkan
makan sahur atau melakukan sahur tidak pada waktunya
merupakan sesuatu yang sangat disayangkan. Lantas, mulai
kapan kita sudah diperbolehkan makan sahur?
Syaikh Ibrahim al-Baijuri dalam Hasyiyah al-
Baijuri (1/293) menjelaskan bahwa waktu makan sahur
dimulai sejak tengah malam.
‫ فاألكل قبله ليس بسحور‬،‫وقوله وتأخير السحور – إلى ان قال – ويدخل وقته بنصف الليل‬
‫فال تحصل السنة‬
“Ucapan pengarang berupa ‘mengakhirkan sahur sampai ia
mengatakan dan waktu sahur masuk ketika tengah malam’.
Maka, makan sebelum tengah malam bukanlah sahur
sehingga kesunahan tidak bisa diperoleh.”

66
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa waktu sahur
dimulai dari tengah malam. Makan yang dilakukan sebelum
tengah malam tidak dinamakan sahur. Yang menjadi catatan
adalah bahwa dalam sahur sendiri ada kesunnahan
mengakhirkan hingga menjelang waktu imsak. Orang yang
makan sahur pukul 01.00 dini hari misalnya karena sudah
melewati tengah malam akan mendapatkan satu kesunnahan.
Apabila makan sahurnya setengah jam menjelang waktu
subuh, maka mendapatkan kesunahan tambahan berupa
mengakhirkan waktu sahur.
Penutup
Jadi berdasarkan keterangan di atas, makan sahur
harus sudah melewati tengah malam. Jika tidak, maka
seseorang tidak mendapatkan kesunahan. Oleh sebab itu,
penulis menyarankan agar para pembaca bisa mengatur
waktu istirahat agar bisa melaksanakan sahur sesuai
ketentuan sunah sehingga para pembaca mendapat pahala-
pahala kesunahan dan kekuatan dalam berpuasa.

67
BAB III
Pandangan Hukum
Islam Tentang
Fikih Sosial

68
Bucin Yes, Toxic Financialship No!!
Simak Penjelasan Imam Nawawi al-Bantani*

Ramdhan Yurianto
Dosen PBA UNU Purwokerto

Fenomena toxic financialship, yakni merujuk pada


istilah rela mengahabiskan finansial untuk menyenangkan
pasangan. Lebih jauh, simak penjelasan Imam Nawawi al
Bantani terkait fenomena ini.
Baru-baru ini CR7 pemain bola terkenal klub
Manchester United, Inggris, ketahuan telah memberikan
kejutan kepada kekasihnya Georgina Rodriquez dengan
menyewa Gedung tertinggi di Burj Khalifa Dubai Uni Emirat
Arab begitu yang diliput Kompas TV.
Fantastisnya, biaya sewa Burj Khalifa serta memesan
iklan selama durasi 3 menit itu merogoh kantong sampe
50ribu GBP atau kisaran Rp 977 juta, hampir 1 miliar. Waw!!
Sehingga banyak orang beranggapan bahwa yang dilakukan
Cristiano Ronaldo kepada kekasihnya lantaran
bentuk “kebucinan” atas kisah asmaranya.
Istilah bucin (budak cinta) sendiri merupakan bahasa
gaul yang digunakan oleh para remaja atau orang dewasa

**
https://bincangsyariah.com/khazanah/bucin-yes-toxic-
financialship-no-simak-penjelasan-imam-nawawi-al-bantani/
69
dalam menggambarkan rasa asmaranya yang sangat dalam
kepada pasangannya, yang diejawantahkan dalam bentuk
macam-macam, ada yang
mengajaknya ngedate (kencan), healing ke tempat rekreasi,
membelikan hadiah dan lain sebagainya.
Tentu saja dalam kaidah percintaan, tidak ada
problema bagi sesorang untuk bucin kepada pasangannya.
Asalkan tidak mengganggu masalah finansial, atau istilah
yang sekarang disebut toxic financialchip.

Tiga Indikator Bukti Cinta Sejati


Lantas sebenarnya apa indikator orang
dikatakan bucin?. Cinta dalam KBBI berarti terpikat, rindu,
sayang, dan suka sekali atau ingin sekali. Imam Nawawi al-
Bantani mengartikan orang yang jatuh cinta sebagai orang
yang larut dalam kerinduan. Lalu bukti apa yang bisa
dibuktikan bahwa kita sedang benar-benar cinta?
Berikut bukti cinta sejati menurut Imam Nawawi al-
Bantani dalam kitabnya. Diriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda:
‫ َأْن َيْخ َتاَر َكاَل َم َح ِبْيِبِه َع َلى َكاَل ِم َغْيِر ِه َو َيْخ َتاَر ُمَج اَلَس َة َح ِبْيِب ِه‬: ‫ِص ْدُق المَح َّبِة ِفى َثاَل ِث ِخَص اٍل‬
‫َع َلى ُمَج اَلَسِة َغْيِر ِه َو َيْخ َتاَر ِر َض ا َح ِبْيِبِه َع َلى ِر َض ا َغْيِر ِه‬
Artinya:“Kebenaran (bukti) cinta sejati terdapat dalam tiga
perkara, yaitu pertama pecinta lebih memilih perkataan
kekasihnya dari pada perkataan selainnya. Kedua pecinta

70
lebih memilih bersanding dengan kekasihnya dari pada
dengan selainnya. Ketiga, pecinta lebih memilih kerelaan
(ridha) kekasihnya dari pada ridha
selainnya” (Terjemahan Nashaiḥul ‘Ibad hlm. 85)
Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa bucin ada
tiga indikator: pertama, Lebih memilih perkataannya
daripada perkataan orang lain. Kedua, Lebih memilih
bersanding dengannya dari dengan orang lain. Ketiga, lebih
memilih kerelaanya dari pada kerelaan orang lain.
Nampaknya jika sudah bucin tidak peduli dengan
orang lain lagi. Secara prioritas akan mengedepankan
pasangannya dari pada orang lain. Orang lain dianggap
sekunder. Dan tidak terlalu penting. Bahkan saking bucin nya
banyak orang ikut komentar buruk mengenai pasang kita
sekalipun tidak kita dengarkan. Seolah kita tuli dan buta.
Hal ini juga disampaikan dalam hadist riwayat Abi
Darda:
‫َع ِن الَّنِبِّي َص َّلى ُهللا َع َلْيَه َو َس َّلَم َقاَل ُحُّبَك الَّش ْي َء ُيْع ِم ي َو ُيِص ُّم‬
“Kecintaanmu terhadap sesuatu akan membuatmu buta dan
tuli.” HR Abu Daud 5130, Menuru M. Nasiruddin al-Albani
dan Abu Thahir Zubair ‘Ali Zai menganggap hadis
ini dhaif sedang dalam HR Ahmad 21694, 27548, Syuaib Al
Arnauth menganggapnya Shahih
Mauquf dan Sanad nya Dhaif.

71
Hal serupa juga dijelaskan Imam Nawawi
dalam Syarkh Burdah karangan Imam Bushiri dalam bait-
baitnya saat memuji Rasulullah SAW.
‫َم َح ْض َتِني الُّنْص َح َلِكْن َلْس ُت َأْس َم ُعُه ِإَّن المِح َّب َع ِن الُع َّذ اِل فِي َص َمِم‬
“Kau beri aku nasihat, akan tetapi aku tak kan pernah
mendengarnya. karena sang pecinta tuli bagi para pencaci.”
Selain memang orang yang bucin itu tutup telinga atas
komentar orang lain, orang bucin juga nampaknya ada yang
salah dengan matanya. Pasalnya, orang yang bucin, melihat
cacat pasangannya tidak tampak, sedang cacat orang lain
bisa sangat jelas di matanya.
Ini juga selaras dengan kata Imam Syafi’i
‫َو َع يُن الِر ضا َعن ُك ِّل َعيٍب َك ليَلٌة * َو َلِكَّن َعيَن الُسخِط ُتْبِد ْي الَم َس اِوَيا‬
“Dan pandangan ridha akan seluruh aib itu menjadi tumpul
seperti halnya pandangan benci itu menampakan seluruh
kesalahan” (Al-‘Umdah Fī Syarkh al-Burdah, halaman:136)
Lantas kalau orang yang sedang bucin itu tidak bisa
dinasihati, bagaimana cara kita menahan diri kita agar
tidak bucin yang negative?

Boleh Bucin Asal Tidak Toxic Financialship


Imam Nawawi al-Bantani juga mewanti-wanti perilaku
bucin sebab itu membuatakan. Dan buta itu berbahaya,
sebab tidak melihat apa yang terjadi dengan benar. Beliau

72
mengutip hadits yang diriwayatkan dari Mu’awiyah berkata
al-‘Askari, bahwa Nabi SAW bersabda;
‫ َو َأَّن الَّرُج َل ِإَذ ا َغ َلَب‬،‫َأَّن ِم َن الُحِّب َم ا ُيْع ِم ْيَك َع ْن َطِر ْيِق الُّر ْش ِد َو ُيِص ُّم َك َع ْن اْس ِتَم اِع الَح ِّق‬
‫ َو َأْع َم اُه َع ِن الُّر ْش ِد‬، ‫الُحُّب َع َلى َقْلِبِه َو َلْم َيُك ْن َلُه َر اِد ٌع ِم ْن َع ْقٍل ًأْو ِد ْيٍن َأَصَّم ُه ُحُّبُه َع ِن الَع ْد ِل‬
“Bahwa ada cinta yang membutakanmu dari jalan kebenaran
dan membutakanmu dari mendengarkan kebenaran, dan
sungguh jika seorang pria cinta di dalam hatinya
mendominasi dan tidak terhalang oleh akal atau agama,
cintanya membutakannya dari keadilan, dan membutakannya
dari rasionalitas”
Dari hadis diatas dapat disimpulkan bahwa cinta ada
juga membutakan dari jalan kebenaran dan mendengarkan
dari jalan kebenaran, mengenai hal ini Imam Nawawi al-
Bantani menegaskan bahwa bucin yang tidak boleh adalah
yang membutakan kita sehingga lalai akan perkara akhirat.
(Al-‘Umdah Fī Syarkh al-Burdah, halaman 136)
Pentingnya peranan akal dan agama saat dalam
keadaan bucin. Sebab cinta yang suci bisa menjadi ladang
maksiat jika tidak dibarengi dengan akal dan agama. Seperti
berita yang dimuat di detiknews bahwa pemuda bucin jual
perabotan rumah demi pacar. Bukankah ini over bucin?
Sampai-sampai isi perabotan dijual hanya demi pacaran.
Bagaimana bisa dalam mencintai seseorang harus
mengorbankan orang lain dalam hal ini cinta ke pasangan tapi
menjual harta orang tua. Cinta sejati justru lahir dari diri

73
sendiri, dengan apa yang dimiliki dari hasil dan jerih payah
tangan sendiri. Bukan membelikan pasangan dari hasil atau
uang orang tua. Atau karena agar terlihat baik didepan
pasangan? Inilah Toxic Financialship yang harus dihindari.
Toxic Financialship tidak melulu harus dari uang orang
tua. Tetapi percintaan yang menganggu masalah finansial ini
juga disebut Toxic Financialship. Meskipun sudah bekerja
sendiri dan memiliki uang sendir, tapi kalau tidak bisa
mengatur keuangannya karena masalah cinta, itu juga
disebut Toxic Financialship.
Siapapun boleh dan berhak mencintai dan dicintai
orang lain, bahkan saling cinta dengan pasangannya. Namun
dalam mencintai juga harus imbang antara akal dan juga
agama, akal harus harus hadir sebagai self
awareness (kesadaran diri), cinta ini sebatas apa, untuk apa,
dan agama harus hadir sebagai self devender (pertahanan
diri) akan perbuatan keji dan munkar.
Semoga kita dihindarkan dari bucin toxic
financialship atau bahkan toxic relationship.

74
Childfree dan Tujuan Pernikahan dalam Tafsir Surah Ar-
Rum Ayat 21*

Limmatus Sauda
Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id

Tema childfree belum lama ini cukup menyita


perhatian banyak orang. Melansir Narasi Newsroom, ‘Kenapa
Sih Ada yang Mau Childfree?’ topik ini mulai ramai jadi
obrolan di media sosial karena ada dua publik figur yang
menyatakan ketidakinginannya untuk memiliki anak. Bagi
yang belum tahu childfree, di sini disampaikan bahwa
childfree itu adalah istilah bagi seseorang yang memilih dan
memutuskan untuk tidak menjadi seorang ibu.
Melihat pengertian di atas, keengganan untuk tidak
melahirkan anak ini dapat dipahami sebagai sebuah pilihan
dan keputusan yang bersifat selamanya, bukan sekadar
menunda, karena jika hanya menunda maka akan sama halnya
dengan praktik KB yang selama ini sudah berlangsung. Kita
harus bisa membedakannya. Childfree juga tidak sama
dengan childless.
Childfree itu memilih untuk tidak memiliki anak,
sementara childless adalah tidak bisa mempunyai anak. Dan

**
https://tafsiralquran.id/childfree-dan-tujuan-pernikahan-
dalam-tafsir-surah-ar-rum-ayat-21/
75
mestinya childfree tidak hanya terfokus pada sang istri
atau pihak perempuan, karena keputusan untuk tidak
memiliki anak dalam hubungan pernikahan harusnya adalah
keputusan bersama, laki-laki dan perempuan, suami dan istri.
Anak itu sendiri merupakan konsekuensi bawaan dari
hubungan pernikahan pasangan suami istri. Oleh sebab itu,
kesan menentang fitrah -bawaan alami- pernikahan ini yang
menjadikan childfree kontroversi. Dan karena memiliki anak
atau melestarikan keturunan erat kaitannya dengan
pernikahan, bahkan ada ulama, sebut saja Jamaluddin
Atiyyah dalam Nahw Taf’il Maqashid Asy-Syariah yang
menjadikannya sebagai salah satu tujuan pernikahan atau
berkeluarga (maqasid al-usrah), maka perspektif yang akan
kami sampaikan dalam melihat fenomena childfree kali ini
yaitu dari sudut tujuan pernikahan, lebih tepatnya tujuan
pernikahan dalam pandangan tafsir Al-Quran. Anak menjadi
faktor terwujudnya sakinah dan rahmah dalam
pernikahan
Tujuan pernikahan dalam Al-Quran disinggung dalam surah
Ar-Rum ayat 21

‫َوِم ْن آَياِتِه َأْن َخ َلَق َلُك ْم ِم ْن َأْنُفِس ُك ْم َأْز َو اًجا ِلَتْس ُكُنوا ِإَلْيَها َو َجَعَل َبْيَنُك ْم َم َو َّد ًة َو َر ْح َم ًة ِإَّن ِفي َذ ِلَك‬
‫آَل َياٍت ِلَقْو ٍم َيَتَفَّك ُروَن‬
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu

76
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.” (terjemah kemenag 2019)
Berdasar pada ayat ini, tujuan pernikahan itu ada tiga,
yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Mufasir berbeda-beda
dalam memposisikan anak dalam tiga tujuan tersebut.
Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir memang tidak
menyebutkan anak secara langsung, namun melihat
penjelasannya tentang makna litaskunu ilaiha yang
dimaknainya dengan litamilu ilaiha (saling terikat), maka
adanya anak sangat memungkinkan masuk dalam pengikat
antara suami dan istri tersebut. Suami istri pun kemudian
beralih status menjadi orang tua yang selamanya, keduanya
akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup sang anak.
Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa At-Tanwir juga sama
dengan mufasir asal Damaskus di atas. Selain itu, mufasir
yang dikenal dengan teori maqashid dalam penafsirannya ini
menyatakan bahwa surah Ar-Rum ayat 21 merupakan asas
at-tanasul (dasar dari proses reproduksi) manusia, yaitu
pernikahan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa salah
satu konsekuensi dari adanya pernikahan ini adalah
reproduksi atau melestarikan keturunan.

77
Sementara itu, Ar-Razi dalam Mafatih Al-
Ghaib mengatakan bahwa hadirnya rahmah itu bersamaan
dengan lahirnya anak, merujuk pada ayat Al-Quran lain yang
berkisah tentang dikabulkannya doa Nabi Zakariya yang
memohon untuk diberikan seorang anak sebagai bentuk kasih
sayang (rahmah) Allah kepadanya.
Lebih lanjut, Ar-Razi menyampaikan posisi anak ada
dalam tujuan pernikahan yang keitga, yaitu rahmah.
Menurutnya, rahmah hadir seiring dengan lahirnya anak itu
karena sang anak membutuhkan kasih sayang orang tua, dan
secara alami pasangan suami istri tersebut menjelma
menjadi orang tua yang kehadiran mereka dibutuhkan oleh
sang anak. Sama hal nya dengan Al-Qurtubi, ia
menafsirkan rahmah di sini juga dengan kondisi ketika
lahirnya seorang anak.
Mirip dengan Ar-Razi dan Al-Qurthubi, M. Quraish
Shihab juga menyatakan bahwa tahap rahmah pada suami
istri itu bersamaan dengan lahirnya anak. Namun sedikit
berbeda, karena mufasir Indonesia ini mengajukan kondisi
lain, yaitu ketika suami istri itu telah mencapai usia lanjut,
masa keduanya sudah sama-sama lemah, tiada lain yang
dibutuhkan adalah kasih sayang dari keduanya. Untuk
penafsiran yang terakhir ini, kurang lebih sama dengan yang
disampaikan oleh mufasir asal Mesir, Mutawalli Asy-
Sya’rawi.
78
Tugas berat dan kebahagiaan besar menjadi orang tua
Penafsiran di atas, terlihat sangat cenderung
mengatakan bahwa anak lah perantara harmonis dan
bahagianya pasangan suami istri, lantas bagaimana dengan
keterangan yang sangat kontras dalam Al-Quran yang
menyatakan bahwa anak itu ujian dan musibah bagi kedua
orang tuanya, bukankah berarti anak juga berpotensi
mendatangkan kegaduhan pada kedua orang tuanya, bahkan
pada lingkungannya yang lebih luas?
Sebagai orang tua, orang yang lebih dulu hidup
menghirup udara dunia mestinya bisa waspada dan melakukan
tindakan preventif sejak dini atas potensi anak yang tidak
baik ini. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam hadis Nabi
dalam Shahih Al-Bukhari

‫ َك َم َثِل الَبِهيَم ِة ُتْنَتُج‬،‫ َأْو ُيَم ِّج َس اِنِه‬،‫ َأْو ُيَنِّص َر اِنِه‬،‫ َفَأَبَو اُه ُيَهِّو َداِنِه‬،‫ُك ُّل َم ْو ُلوٍد ُيوَلُد َع َلى الِفْطَر ِة‬
‫الَبِهيَم َة َهْل َتَر ى ِفيَها َج ْد َعاَء‬
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian
kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu
Yahudi, Nasrani atau Majusi, sebagaimana binatang ternak
yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna, apakah
kamu melihat ada cacatnya?”
Pesan Rasulullah saw. ini memberi isyarat bahwa
menjadi orang tua itu tidak mudah, tanggung jawabnya
sangat berat, namun jika tugas ini dijalani bersama-sama

79
oleh ayah dan ibu, maka secara alami akan membuat
keduanya semakin erat hubungannya, semakin saling terikat
dan semakin saling membutuhkan. Apapun hasilnya, berhasil
atau tidak keduanya siap menanggung bersama.
Jika hadis di atas berbicara tentang tugas berat
orang tua menjaga anak, maka hadis berikut berbicara
tentang nikmat besar orang tua karena sudah menjaga anak,

‫ َأْو َو َلٍد‬،‫ َأْو ِع ْلٍم ُيْنَتَفُع ِبِه‬،‫ ِإاَّل ِم ْن َص َد َقٍة َج اِر َيٍة‬:‫ِإَذ ا َم اَت اِإْل ْنَس اُن اْنَقَطَع َع ْنُه َع َم ُلُه ِإاَّل ِم ْن َثاَل َثٍة‬
‫َص اِلٍح َيْد ُعو َلُه‬
“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka
terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah
jariyah; ilmu yang bermanfaat baginya dan anak salih yang
selalu mendoakannya”
Pada hadis ini, sudah jelas bahwa hubungan anak
dengan orang tua begitu erat, tidak terpisahkan, doa
seorang anak menjadi salah satu perantara kebahagiaan bagi
orang tuanya, bahkan hingga kedua orang tua itu sudah
meninggal.
Berdasar pada penjelasan di atas, para mufasir
menyatakan bahwa anak -dengan segala permasalahnnya-
adalah salah satu faktor yang mengantarkan pada
tercapainya tujuan pernikahan,
khususnya sakinah dan rahmah, dan memang bukan satu-
satunya faktor. Meskipun demikian, ibarat sedang bepergian

80
ke suatu tempat, bukankah lebih banyak mempunyai jalan
alternatif itu akan menjadi lebih ringan dan lebih cepat
sampai pada tujuan daripada hanya punya satu
jalan? Wallahu a’lam

Fenomena Klitih dan Tips Memilih Pergaulan yang Tepat


dalam Islam*

Adnan Riskita
Mahasiswa Prodi PAI UNU Purwokerto

Klitih, fenomena penyerangan yang dilakukan oleh para


remaja dengan senjata tajam terhadap para pengendala
jalan, merupakan kenakalan remaja yang kini banyak
meresahkan masyarakat. Awalnya, klitih terjadi di
Yogyakarta. Namun belakangan, fenomena serupa ini
menjalar ke kota-kota lainnya.
Perluasan dan penyebaran fenomena klitih ini tidak
lepas dari pergaulan yang dipilih oleh kalangan remaja.
Teman yang baik akan membawa pada kebaikan sedangkan
teman yang buruk akan membawa pada keburukan pula.

**
https://nubanyumas.com/fenomena-klitih-dan-tips-memilih-
pergaulan-yang-tepat-dalam-islam/
81
Dalam Islam, memiliki teman yang baik sangat penting
untuk membantu seseorang dalam memperbaiki dirinya dan
mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu, memilih teman
yang tepat adalah hal yang sangat penting bagi setiap
Muslim. Seperti yang telah dikutip dalam Hadist Nabi
sebagai berikut:
‫ْل‬ ‫َّل‬ ‫َأ‬
‫ َم َش ُل ا َج ِلْي ِس الَّصاِلِح‬: ‫َع ْن ِبي ُمو َس َر ِض َي ُهللا َع ْن ُه َع ْن الَّن ِبِّي َصَّل ُهللا َع َلْيِه َو َس َم َقاَل‬
‫َو الَّسْو ِء َك َح ا ِم ِل اْلِمْس ِك َو َن اِفِخ اْلِكير َفَح ا ِم ٌل اْلِمْس ِك ِإَّما َأْن ٌيْح ِذَيَك َو ِإَّما َأْن َت ْب َت ا َع ِم ْن ُه َو إَّما‬
. ‫َأْن َت ِجَد ِم ْن ُه ِر يًح ا َط ِّب َب ًة َو َن ا ِفُخ اْلِكيٍر إَّما َأْن ُيْح ِر َق ِش َي ا َبَك َو إَّما َأْن تِجَد ِر ْيًح ا َخ ِبْي َس ًة‬
Artinya: Dari Abu Musa, Dari Nabi Muhammad, beliau
bersabda: perumpamaan teman yang baik dan teman yang
buruk bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi, ada
kalanya penjual minyak wangi itu akan menghadiahkan
kepadamu atau kamu membeli darinya atau kamu
mendapatkan aroma wanginya. Sedangkan pandai besi ada
kalanya (percikan apinya) akan membakar bajumu atau kamu
akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya. (HR. Al-
Bukhari: 5108, Muslim: 2628), Ahmad: 19163)
Secara tersirat, hadist tersebut menjelaskan tentang
arti pertemanan bagi seseorang. Jika berteman dengan
orang baik, seorang Muslim bisa menjadi baik. Namun, jika
berteman dengan orang yang buruk ia pun bisa ikut demikian.
Berikut adalah beberapa cara memilih teman refrensi
diambil dari kitab Ta’lim Muta’alim karya Burhan al-Din
Ibrahim al-Zarnuji al-Hanafi sebagai berikut:

82
Memilih Teman
Tentang memilih teman, hendaklah memilih yang
tekun, waro, bertabiat jujur serta mudah memahami
masalah. Menyingkiri orang pemalas, penganggur, banyak
bicara, suka mengacau, gemar memfitnah.
Sebuah syair pernah didendangkan,
‫ َفِاْن اْلَقِر ْي َن ِباْلُم َقا ِر ِن َي ْق َت ِدْى‬،‫َع ِن اْلَم ْر ِء َال َت ْس َأ ْل َو َاْبِص ْر َقِر ْي َن ُه‬
Artinya: ‘’Jangan bertanya siapakah dia? Cukup kau tahu oh
itu temanya. Karena siapapun dia, mesti berwatak seperti
temanya.’’
‫ َو اْن َك اَن َذ ا َخ ْي ٍر َفَقا ِر ْن ُه َت ْه َت ِدْى‬، ‫َفِاْن َك اَن َذ ا َش ٍر َفَج ّن ِبُه ُسْر َع ًة‬
Artinya: ‘’Bila kawanya durhaka, singkirilah dia serta merta.
Bila bagus budinya, rangkullah dia berbahagia.’’
Ada dikatakan kata hikmah dalam bahasa Persi:
‫ َي ا َر ِنْي ٌك ْو ِكْي َر َت ا َي ا ِبْي َن ِعْي ِم‬، ‫َي ا َر َب ْد آَر ْد َت ْر آ ِس َو ى َج ِحْي ِم‬
Artinya: ‘’Teman buruk, membawamu ke neraka jahim, teman
bagus mengajak mu ke surga na’im,’’
Jadi, seseorang harus memilih teman yang memiliki
kualitas moral yang baik dan menjauhi teman yang memiliki
sifat-sifat buruk. Selain itu, seseorang harus memilih teman
yang memiliki tujuan yang sama dalam hidup, sehingga bisa
saling mendukung dan menginspirasi satu sama lain.
Kitab Ta’lim Muta’alim memberikan paduan yang baik
dalam memilih teman. Seseorang harus memilih teman yang
bisa membawa kebaikan dan keberkahan dalam hidupnya,

83
serta memperhatikan nilai-nilai moral dan lingkungan sosial
dimana pun ia hidup.
Agar terhindar dari fenomena klitih sebaiknya kita
bisa menjaga hubungan antar kelompok sosial, mengontrol
emosi, mengembangkan akhlak yang baik, terlibat dalam
komunitas yang sehat dan juga selalu menjaga hubungan
dengan Allah SWT.

84
Flexing Ramai Dipergunjingkan Nitizen, Begini
Penjelasannya Menurut Islam*

Ramdhan Yurianto
Dosen PBA UNU Purwokerto

Flexing, istilah yang sedang marak netizen


perbincangkan, pasalnya media sosial membuat fenomena ini
menjadi lebih populer. Lantas, sebenarnya apa itu flexing?
Bagaimana melihat flexing menurut Islam?
Flexing seperti yang dikatakan Prof Rhenald Kasali
adalah istilah yang diperuntukan kepada orang yang suka
mengekspos kekayaannya di media sosial. Flexing identik
disandingkan dengan crazy rich, orang super kaya, meskipun
banyak pula para crazy rich yang tidak memamerkan
hartanya.
Memamerkan harta kekayaan dulunya dianggap tabu,
tidak diperbolehkan, bahkan tidak layak dipertontonkan,
namun berbeda dengan sekarang, nampaknya banyak orang
yang mengaku crazy rich justru kerap kali memamerkan
harta yang dimilikinya ke khalayak umum agar mendapat
pengakuan.

**
https://bincangsyariah.com/khazanah/flexing-ramai-
dipergunjingkan-nitizen-begini-penjelasannya-menurut-islam/
85
Orang yang benar-benar kaya tidak karena mendadak
dan pura-pura kaya, tentu saja jarang sekali memamerkan
hartanya, bahkan tidak pernah terlintas di benak mereka
untuk pamer, Misalkan saya Michael Hartono pemilik Grup
Djarum dan saham mayoritas Bank Central Asia (BCA), kita
tidak pernah melihatnya flexing harta dan kekayaannya.
Menurut Prof Rhenald Kasali, bahwa flexing sudah
terjadi dalam lama, hanya baru marak sekarang, dimana pada
waktu dulu, flexing tidak untuk memamerkan kekayaannya
tetapi kedermawanannya. Yaitu dengan memamerkan bahwa
dia orang yang dermawan, tetapi sumbangannya di tonjol-
tonjolkan.
Penjelasan terkait Flexing menurut Islam, lebih jauh
simak penjelasan ulama fikih dan tafsir terkait persoalan
yang tengah hangat ini. Berikut adalah penjelasannya.
Dalil Mengenai Flexing
Flexing sama halnya memamerkan sumbangan, harta,
kekayaan kepada orang lain. Agaknya ayat berikut berkaitan
dengan perilaku flexing;
‫ِإْن ُتْبُد وا الَّصَد َق اِت َفِنِعَّما ِهَي َو ِإْن ُتْخ ُفوَه ا َو ُتْؤ ُت وَه ا اْلُفَق َر اَء َفُه َو َخ ْي ٌر َلُك ْم َو ُيَك ِّف ُر َع ْنُك ْم ِمْن‬
‫َس ِّي َئ اِتُك ْم َو ُهَّللا ِبَم ا َت ْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر‬
Artinya: Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu
adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan
kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan

86
menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu;
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS Al-
Baqarah [2] ayat 271.
Wahbah Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir jilid
2, halaman 96-98, berpendapat bahwa Allah Maha tahu
apakah infak, sedekah itu dilakukan dengan ketaatan atau
kemaksiatan. Sehingga memberikan dua pilihan baik
ditampakkan atau dirahasiakan. Hal ini sesuai dengan hadits
orang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi hingga
tangan kirinya tidak tau apa yang disedekahkan oleh tangan
kanannya.
Menampakan sedekah agar orang lain meneladani itu
baik. Namun menyembunyikan tanpa memberitahu siapapun
itu lebih baik untuk menghindari
munculnya riya’ dan sum’ah atau gemar menunjukan amal
yang dilakukan agar mendapat sanjungan atua pujian.
Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar jilid 1 halaman
660-001, juga berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan kalau
memberikan sedekah, bantuan, sokongan, harta benda,
dengan cara terang-terangan adalah perbuatan yang bagus.
Tetapi pada taraf lebih tinggi, kalau bisa memberi sedekah
kepada fakir, miskin, itu dilakukan secara sembunyi-
sembunyi.
Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah jilid
1 halaman 583-584, mengemukakan bahwa kita jangan
87
menduga bahwa yang diterima oleh Allah yang dirahasiakan.
Sebab keikhlasan itu sangat rahasia bagi manusia, dan hanya
Allah yang tau kadarnya.
Menyumbang secara terang-terangan pun bisa
melebihi keikhlasan menyumbang secara sembunyi-sembunyi.
Sedang sedekah secara sembunyi-sembunyi ditakutkan
karena lahirnya riya’ dan pamrih, serta lebih menjaga air
muka kaum fakir yang menerimanya.
Dengan bersedekah dari harta yang halal dan sesuai
dengan anjuran-anjuran agama, akan dihapuskan dosanya
oleh Allah. Yaitu dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar
apalagi dosa yang ada kaitannya dengan manusia. Ini perlu
digaris bawahi agar tidak bersedekah dengan harta yang
haram dan sebagian dengan yang halal agar dapat menghapus
dosa.
Menampakkan dan menyembunyikan sedekah juga
dijelaskan dalam hadis H.R Abu Daud 1333, Nasai 2561,
Musnad Ahmad 17368, 17444
‫ ” اْلَج اِهُر ِب اْلُقْر آِن‬: ‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن ُع ْق َب َة ْب ِن َع اِم ٍر اْلُج َه ِنِّي َقاَل‬
‫ َو اْلُمِس ُّر ِباْلُقْر آِن َك اْلُمِس ِّر ِبالَّصَد َقِة‬،‫َك اْلَج اِه ِر ِبالَّصَد َقِة‬
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al Juhani dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang
mengeraskan bacaan Al Qur’an bagaikan orang yang
menampakkan sedekah, dan orang yang memelankan bacaan

88
Al Qur’an ibarat orang yang bersedekah dengan sembunyi-
sembunyi.”
Dalam Sunan Tirmidzi menjelaskan maksud hadis ini
lebih jauh:
‫ْل ْل‬ ‫َأ‬ ‫َذ‬ ‫ْل‬ ‫َأ ْل ْل‬ ‫َأ‬ ‫َأِل‬
‫ َو ِإَّن َم ا َم ْع َن ى َه ا ِع ْن َد ْه ِل ا ِع ِم‬،‫َّن َص َد َقَة الِّسِّر ْف َض ُل ِع ْن َد ْه ِل ا ِع ِم ِمْن َص َد َقِة ا َع اَل ِنَي ِة‬
‫ِلَك ْي َي ْأَمَن الَّر ُجُل ِمَن اْلُعْج ِب ؛ َأِلَّن اَّلِذي ُيِس ُّر اْلَع َمَل اَل ُيَخ اُف َع َلْي ِه اْلُعْج ُب َم ا ُي َخ اُف َع َلْي ِه‬
.‫ِمْن َع اَل ِنَي ِتِه‬
Artinya: “Hadist ini ḥasan tapi gharib. Arti dari hadits ini
adalah bahwa orang yang secara sir(sembunyi-sembunyi)
membaca Al-Qur’an lebih baik daripada orang yang
mengeraskan bacaan al-Qur’an. Karena bersedekah secara
sembunyi-sembunyi lebih baik bagi orang yang berilmu
daripada bersedekah secara terang-terangan, tetapi yang
dimaksud adalah bagi orang yang berilmu agar terhindar dari
sifat ujub(sombong).
Karena yang yang menyembunyikan amal dari
perbuatan baiknya tidak takut akan sifat ujub sebagaimana
yang ditakutkan dari orang-orang yang menampakan amalnya.
“(H.R Tirmidzi, Nomor 2919)
Bahayanya Flexing menurut Imam Nawawi Al-Bantani
Terkait penjelasan flexing menurut Islam, Imam
Nawawi menuliskan dalam kitabnya Naṡaiḥul ‘Ibād.
Sebagaimana diriwayatkan dari Abdurrahman bin Shakhr
dan Abu Hurairah ra. Mereka berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda:

89
‫َث اَل ٌث ُم ْن ِجَي اٌت َو َث اَل ٌث ُمْهِلَك اٌت َو َث اَل ٌث َد َر َج اٌت َو َث اَل ٌث َكَف اَر ٌة َأَّم ا المْن ِج َي اُت َفَخ ْش َي ُة ِهللا‬
‫َت َع الى ِفي الِّس رِ َو الَع اَل ِنَي ِة َو الَقْص ُد ِفي الَفْق ِر َو الِغ َن ى َو الَع ْد ُل ِفي الِّر َض ا َو الَغ َض ِب وَأَّم‬
‫َأ‬
‫المهِلَك اُت َف ُش ٌّح َش ِدْي ٌد َو َه َو ى ُم َت َّب ٌع َو ِإْع َج اُب المْر ِء ِبَن ْف ِس ِه َو َّم ا الَّد َر َج اُت َفِإْف َش اُء الَّس اَل ِم‬
‫َو ِإْط َع اُم الَّط َع اِم َو الَّص اَل ُة ِبالَّلْي ِل َو الَّن اُس ِنَي اٌم َو َأَّما َكَفاَر ُة َفِإْس َب اُغ الُو ُض وِء ِفي الَّس َبَر اِت َو َن ْق ُل‬
‫اَألْق َد اِم ِإلَى الَج َماَعِة َو اْن ِتَظ اُر الَّص اَل ِة َب ْع َد الَّص اَل ِة‬
Artinya: “Tiga perkara yang dapat menyebabkan selamat,
tiga perkara yang dapat menyebabkan kerusakan, tiga
perkara yang dapat mengangkat derajat, dan tiga perkara
yang dapat menebus dosa. Adapun tiga perkara yang
menentukan keselamatan adalah: takut kepada Allah
(taqwa), baik dalam keadaan sepi maupun ramai, penuh
kesederhanaan, baik ketika dalam keadaan fakir maupun
berkecukupan, dan bersikap adil baik pada waktu senang
maupun saat marah.
Dan tiga perkara yang dapat menyebabkan rusak
adalah: bakhil(pelit) yang berlebihan, mengikuti hawa nafsu,
membanggakan diri sendiri. Adapun tiga perkara yang dapat
mengangkat derajat adalah: menguluk salam, memberi
makanan, mengerjakan sholat malam saat orang lain terlelap.
Dan tiga perkara sebagai penebus dosa adalah
menyempurnakan wudhu ketika cuaca sangat dingin
berangkat mengerjakan sholat
berjamaah. (Terjemah Nashaihul ‘Ibad hlm 51)
Berkaitan dengan flexing yang mencoba memamerkan
harta dan membanggakan diri, berhati-hatilah karena itu
dapat menyebabkan kerusakan. Pamer harta dapat menjadi
90
incaran orang jahat, dan menumbuhkan riya’, sombong,
maupun sum’ah.
Demikian sajian singkat mengenai flexing menurut
Islam. Meskipun singkat semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

91
Mental Kepiting dalam Al-Qur’an*

Ramdhan Yurianto
Dosen PBA UNU Purwokerto

Crab Mentality atau Mental Kepiting adalah


ketidaksukaan terhadap kesuksesan yang akan dicapai orang
lain. Oleh karena itu jika diilustrasikan, saat salah satu di
antara kepiting tersebut berusaha keluar dari ember,
kepiting lainnya berusaha menahan kepiting tersebut agar
tidak keluar.
Fenomena ini sungguh sangat banyak kita jumpai di
sekitar kita, bahkan bisa jadi orang terdekat kita atau
sahabat kita sendirilah justru yang iri melihat kita sukses
maupun keberhasilan kita, atau jangan-jangan kita sendirilah
yang justru iri kepada orang lain dan bermental kepiting.
Lantas, seperti apa pendapat Al-Qur’an mengenai
fenomena ini? Atau sebenarnya hal ini sudah Al-Qur’an
jelaskan? Mari kita diskusikan.
Penyebab Mental Kepiting adalah Dengki
Sebelum membahas mental kepiting, mari kita usut
dulu ternyata awal mulanya disebabkan oleh rasa iri/dengki.
Berikut ayat Al-Qur’an yang berkaitan

**
https://ibtimes.id/mental-kepiting-dalam-al-quran/
92
‫َأْم َيْح ُس ُد وَن الَّناَس َع َلٰى َم ا آَتاُهُم ُهَّللا ِم ْن َفْض ِلِه ۖ َفَقْد آَتْيَنا آَل ِإْبَر اِهيَم اْلِكَتاَب َو اْلِح ْك َم َة َو آَتْيَن اُهْم‬
﴾٥٥﴿ ‫﴾ َفِم ْنُهْم َم ْن آَم َن ِبِه َوِم ْنُهْم َم ْن َص َّد َع ْنُه ۚ َو َكَفٰى ِبَجَهَّنَم َسِع يًرا‬٥٤﴿ ‫ُم ْلًك ا َع ِظ يًم ا‬
Artinya: Ataukah mereka dengki kepada manusia
(Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan
kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan
Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (54) Maka di
antara mereka (orang-orang yang dengki itu), ada orang-
orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada
orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman
kepadanya. Dan cukuplah (bagi mereka) Jahannam yang
menyala-nyala apinya. (55) (QS. An-Nisā’: 54-56)
Thabari menjelaskan bahwa ayat ini merujuk pada
kaum Yahudi, di mana mereka iri atau dengki dengan kabilah
Arab yang telah diberi karunia oleh Allah, lebih jelasnya
mereka benci terhadap Nabi Muhammad SAW atas
kenabiannya tidak sebatas itu saja, tapi mereka juga
mencegah orang lain dalam beriman.
Dalam pendapat lain disebutkan bahwa mereka iri
dengan nabi Muhammad lantaran Nabi bebas menikahi
wanita mana yang beliau kehendaki dan dalam hal ini Allah
membolehkan Nabi Muhammad.
Sedang, bagi mereka Muhammad hanya orang lapar
dan haus dengan perempuan dan tidak ada keinginan kecuali
menikahi para wanita (Tafsir Thabari [6]: 222).

93
Sedang Asy-Syaukani berpendapat bahwa ayat ini
menunjukan adanya sifat dengki kepada Nabi Muhammad
atas kenabian, pertolongan dan penaklukan musuh. (Tafsir
Fathul Qadir [1]: 734)
Seluk Beluk Sifat Dengki dan Mental Kepiting
Ar-Razi mengemukakan bahwa dengki tidak akan ada
kecuali adanya kelebihan atau karunia. Maka sekalin besar
dan banyak karunia yang diterima seseorang maka akan sekin
besar pula rasa iri maupun dengki bagi para pendengki
(Tafsir al-Kabir Wa Mafatih al-Ghaibi [10]: 137).
Al-Khazin menambahkan bahwa tujuan dengki (hasud)
adalah berharap agar nikmat yang dimiliki/dinikmati oleh
orang lain itu hilang termasuk dengan berupaya
menghilangkan nikmat tesebut dari orang lain (Tafsir al-
Khazin [1]: 389).
Selain itu Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa orang-
orang yang dengki ini tidak ingin ada kaum lain yang melebihi
mereka. Mereka berharap bahwa anugerah hanya turun
untuk mereka saja. Mereka sangat egois dan pendengki
(Tafsir al-Munir [3]:126).
Imam Qurthubi menjelaskan bahwa dengki adalah
dosa pertama yang dilakukan dalam bermaksiat kepada Allah
di langit, yaitu kedengkian iblis kepada Nabi Adam yang
menyebabkan iblis diusir dar surga begitu pula dengki adalah

94
dosa pertama di muka bumi, yaitu kedengkian Qabil kepada
Habil (Tafsir Qurthubi [2]: 765).

Apa Yang Orang Dengkikan dari Orang lain.


Maksud dari ayat
‫َفَقْد آَتْيَنا آَل ِإْبَر اِهيَم اْلِكَتاَب َو اْلِح ْك َم َة َو آَتْيَناُهْم ُم ْلًك ا َع ِظ يًم ا‬
“Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah
kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan
kepadanya kerajaan yang besar.”.
Kami telah memberikannya kepada keluarga Ibrahim,
sanak, kerabat, dan pengikut agamanya.
Abu Ja’far menjelaskan bahwa ayat ini itu sedang
mengilustrasikan orang yahudi yang telah dengki terhadap
orang-orang yang diberikan karunia oleh Allah, karena
mereka tidak termasuk golongan yang diberikan karunia.
Bagaimana mereka tidak dengki terhadap keluarga Ibrahim
yang telah diberikan al-Kitab pada mereka?
Dalam penggalan ayat ini, ada dua hal menjadikan
iri/dengki yaitu:
Pertama karena Nabi diberikan al-kitab, artinya kitab
yang Allah wahyukan kepada mereka, itu sama seperti
lembaran atau ṣuḥuf yang diberikan kepada Ibrahim dan
Taurat kepada Musa, dan Zabur kepada Daud serta semua
kitab yang telah diberikan kepada mereka.

95
Kedua mereka dengki karena karunia Allah pada Nabi
Ibrahim berupa kerajaan yang besar. Maksudnya adalah
kenabian. Dan maksud lain adalah kehalalan atas para wanita.
Seperti kedengkian kepada Nabi Muhammad atas menikahi
banyak wanita, yang padahal hal serupa juga telah Allah
bolehkan pula pada Nabi terdahulu, seperti Daud, Sulaiman,
dan lainnya (Tafsir Thabari [6]: 223).
Ar-Razi menjelaskan bahwa karunia Allah berupa
kitab adalah isyarat adanya penetapan syariah, sedangkan
karunia berupa hikmah adalah isyarat atas rahasia-rahasia
hakikat Allah, inilah yang disebut sebagai kesempurnaan
Ilmu.
Sedangkan kerajaan yang agung disebut sebagai
kesempurnaan kekuasaan (Tafsir al-Kabir Wa Mafatih al-
Ghaibi [10]: 137).
Respon Orang atas Karunia Allah: Beriman atau Bermental
Kepiting
Asy-Syaukani menjelaskan bahwa arti dari ayat
‫َفِم ْنُهْم َم ْن آَم َن ِبِه َوِم ْنُهْم َم ْن َص َّد َع ْنُه‬
adalah diantara keluarga Ibrahim ada yang beriman kepada
Ibrahim, dan ada juga yang menghalangi orang lain untuk
beriman kepadanya. Dalam pendapat lain maksudnya adalah
beriman kepada Nabi Muhammad dan selain itu mengingkari
kebenaran Nabi Muhammad serta para nabi-nabi lain.
(Terjemah Tafsir Fathul Qadir [1]: 895)
96
Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa arti ‫َوِم ْنُهْم َم ْن َص َّد َع ْنُه‬
dalam berdakwahnya para Nabi mendapatkan orang-orang
yang menentang dan bahkan menghalangi para Nabi untuk
mengajak orang-orang beriman (Tafsir al-Munir [3]:126)
Fenomena menentang dan mencegah orang lain untuk
beriman inilah yang disebut sebagai mental kepiting.

Ancaman Bagi Orang Yang Bermental Kepiting


‫َوِم ْنُهْم َم ْن َص َّد َع ْنُهۚ َو َكَفٰى ِبَجَهَّنَم َسِع يًرا‬
Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir[2]: 334) dan Ath-Thabari
(Tafsir Thabari [6]: 229) sependapat bahwa ayat diatas
menjelaskan dengan sangat jelas orang-orang yang mencoba
untuk mencegah orang lain untuk beriman maka akan
diganjar masuk ke dalam neraka Jahannam.
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa orang yang iri
apalagi mencegah orang lain mencari kebenaran (bermental
kepiting) itu jika tidak mendapatkan siksa di dunia, maka
sudah pasti mereka akan mendapatkan siksa paling buruk di
neraka Jahannam yang apinya menyala-nyala (Tafsir al-
Munir [3]:133).
Jika kita kaitkan dengan kehidupan kita, ada dua
respond atas keberhasilan kita.
Pertama orang yang percaya dan mendukung kita.
Kedua orang yang iri/dengki bahkan bermental kepiting yang
mencoba menjatuhkan kita agar kita tidak keluar menuju
97
kesuksesan dan tetap pada zona kegagalan sama seperti
mereka.

98
Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap
Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat
73*

Limmatus Sauda
Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id

Bagaimana seharusnya kita bersikap ketika


berhadapan dengan orang munafik atau orang kafir? Surah
At-Taubah ayat 73 seringkali dibuat sebagai legitimasi
teologis oleh beberapa pihak untuk bersikap keras dan kasar
terhadap orang kafir dan munafik. Padahal tidak seharusnya
dipahami hanya secara redaksional seperti itu, situasi dan
kondisi yang ada di sekitar pembacaan ayat juga harus
diperhatikan. Demikian pernyataan M. Quraish Shihab dalam
bukunya, Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama.
Jika hanya membaca surah At-Taubah ayat 73 dan
terjemahannya, sangat mungkin seseorang akan menjawab
pertanyaan tadi dengan ‘kita harus lawan dan bersikap keras
terhadap keduanya, karena begitulah bunyi ayatnya dalam
Al-Quran.’ Namun jika sebentar saja, kita mau mengingat
perlakuan Nabi Muhammad kepada orang kafir dan munafik,

**
https://tafsiralquran.id/haruskah-selalu-bersikap-keras-
terhadap-orang-kafir-dan-munafik-tafsir-surah-at-taubah-ayat-73/
99
misal pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah, dakwah Nabi di
Madinah, dan seterusnya, maka kita tidak akan ‘titik’ pada
jawaban yang awal tadi.
Lantas bagaimana memahami surah At-Taubah ayat
73 ini? Coba kita lihat kembali beberapa penjelasan para
mufasir dalam masing-masing kitabnya. Berikut bunyi surah
At-Taubah ayat 73,

‫َيا َأُّيَها الَّنِبُّي َج اِهِد اْلُك َّفاَر َو اْلُم َناِفِقيَن َو اْغ ُلْظ َع َلْيِه ْم َو َم ْأَو اُهْم َجَهَّنُم َو ِبْئَس اْلَم ِص يُر‬
“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap
mereka. Tempat mereka ialah Neraka Jahanam. Dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.”
Tidak harus selalu keras, bisa juga dengan ‘senyum’
Kata perintah jahid pada ayat ini bisa dikatakan
sebagai ‘sumber permasalahannya’, karena pemaknaan
terhadap kata jahid ini akan menuntun pada pemahaman
berikutnya. Sementara itu, ada dua penjelasan yang berbeda
disampaikan oleh para mufasir mengenai perintah jahid.
Pertama, jahid dimaknai sebagai perintah berjihad
dalam arti melawan dengan pedang atau senjata lainnya.
Kedua, jahid dipahami sebagai perintah untuk berusaha
sekuat tenaga. Penjelasan yang pertama banyak sekali
ditemukan dalam beberapa kitab tafsir, seperti Tafsir At-
Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Bahrul Ulum li As-
100
Samarqandi, Marah Labid dan Mafatih Al-Ghaib; sedang
penjelasan yang kedua, dari beberapa kitab tafsir yang
disebutkan tadi, hanya Mafatih Al-Ghaib yang
mengatakannya.
Kedua pemahaman yang berbeda ini menuntun pada
pemahaman selanjutnya, yaitu tentang cara menghadapi
orang kafir dan munafik. Jika menggunakan
makna jahid yang pertama, maka sudah pasti cara yang
digunakan dalam berjihad menghadapi orang kafir dan
munafik adalah menggunakan pedang atau senjata lainnya.
Berbeda dengan pemahaman yang kedua yang terlihat lebih
terbuka, memungkinkan cara-cara yang lain untuk digunakan
dalam menghadapi keduanya, kuffar dan munafik, karena
tidak menyebutkan secara spesifik cara yang digunakan.
Namun demikian, meski selain Mafatih Al-Ghaib tadi
tidak mendefinisikan jahid seperti penjelasan yang kedua,
ternyata mereka masih tetap memberikan alternatif cara
lain dalam menghadapi orang kafir dan munafik. Dalam At-
Thabari misalnya,

‫ َو ِبُك ِّل َم ا َأَطاَق ِج َهاَدُهم ِبه‬،‫ َأْم ُر ُه ِبِج َهاِدِهْم ِباْلَيد َو اِّللَس ان‬:‫فقال بعضهم‬.
“Beberapa ahli ta’wil itu berkata: perintah menghadapi para
kafir dan munafik itu bisa dilakukan dengan tangan, lisan dan
dengan setiap apapun yang bisa maksimal dalam berjihad”

101
Masih tentang riwayat lain yang dikutip At-Thabari,
dan kali ini bersumber dari Ibnu Mas’ud, yang juga dikutip
oleh mufasir lainnya, seperti As-Samarqandi, Al-Qurtubi
dan Ibnu Katsir.

‫ َفِإْن َلْم َيْسَتِط ْع َفْلَيْك َفِهَّر ِفي َو ْج ِهِه‬،‫ َفِإن َلْم َيْسَتِط ْع َفِبَقْلِبه‬،‫ َفإْن َلْم َيْسَتِط ْع َفِبِلَس اِنِه‬،‫ ِبَيِدِه‬:‫قال‬.
“Ibnu Mas’ud berkata bahwa berjihad (melawan) orang kafir
dan munafik ini bisa dengan tangan, jika belum mampu bisa
dengan lisan, jika masih belum berhasil juga maka dengan
hati (yang mengingkari) dan jika belum bisa juga maka
bermuka masamlah di hadapan kafir dan munafik”
Dua riwayat di atas memberikan gambaran bahwa dari
awal para mufasir telah memberikan banyak alternatif cara
melawan orang kafir dan munafik, tidak harus selalu dengan
pedang dan senjata, pun tidak selalu kasar, bisa juga dengan
menyangkal dengan hati atau bahkan cukup dengan hanya
cemberut di hadapan keduanya. Bahkan dalam riwayat yang
lain, bukan dengan cemberut tapi dengan ‘senyum
’menyeringai
‫َفْلُيْك ِش ْر ِفي َو ْج ِهه‬
Melanjutkan semangat dari riwayat Ibnu Mas’ud,
terutama dalam hal ‘senyum menyeringai’, M. Quraish Shihab
dalam Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi
Beragama memperkenalkan dua
istilah, mudarah dan mudahanah.
102
Mudarah adalah bersikap lemah lembut, menampilkan
senyum, dan berbicara halus terhadap orang yang
berkebiasaan buruk. Sikap ini ditampilkan kendati hati sama
sekali tidak simpatik pada orang tersebut. Ini dilakukan
ketika orang yang berperangai buruk itu dianggap bisa
berubah menjadi baik dengan sikap lemah lembut, atau jika
dihadapi dengan kasar maka akan timbul kejahatan atau
kemudaratan yang lainnya.
Sedangkan mudahanah adalah bersikap lemah lembut
terhadap orang yang berperangai buruk demi meraih
keuntungan duniawi dan pemenuhan syahwat dengan
merugikan agama. Sikap mudahanah ini akan membawa orang
yang melakukannya untuk ikut ke dalam keburukan juga.
Lebih lanjut, M. Quraish Shihab menuturkan bahwa
Nabi pernah melakukan mudarah, yaitu ketika ada seseorang
yang berperangai buruk izin bertamu kepada Nabi. Nabi
Saw. mengizinkannya sambil berkomentar tentang
keburukannya terhadap Aisyah. Meski demikian, Nabi tetap
menerimanya selayaknya tamu, dan berbasa-basi dengannya.
Ketika sikap Nabi tersebut ditanya oleh Aisyah, Nabi
menjawab bahwa ia tidak ingin menjadikan tamu tadi sebagai
orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah, karena
semua orang ingin menjauhi keburukannya.
Beginilah sikap Nabi, terhadap orang yang
berperangai buruk sekalipun, Nabi masih tetap
103
menyambutnya dengan baik, meski hatinya tetap tidak
membenarkan perangai buruk tamunya.
Perintah berjihad terhadap orang kafir dan munafik,
bukan cara berjihadnya
Satu lagi pilihan tafsir yang diberikan oleh para
mufasir dalam memahami ayat tersebut. Banyak pilihan ini
semakin menguatkan bahwa makna surah at-Taubah ayat 73
ini banyak, tidak tunggal. Jadi tidak benar ketika
disampaikan bahwa satu-satunya cara menghadapi orang
kafir dan munafik ini harus selalu keras dan kasar,
pertimbangkan dulu situasi dan kondisi sekelilingnya.
Pilihan lain yang dimaksud adalah mufasir
membedakan cara melawan orang kafir dan munafik. Ini
karena mufasir masih sangat menghargai keislaman dari para
munafik, beda dengan orang kafir yang sudah secara terang-
terangan mengingkari dan menolak ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah Saw ketika itu. Oleh karena itu, para mufasir itu
mengatakan bahwa cara melawan orang kafir itu dengan
pedang, sedang melawan orang munafik itu dengan
argumentasi yang kuat.
Jika menghadapi orang kafir lebih banyak
menggunakan tangan untuk melawan, maka untuk orang
munafik maka pandailah berargumen dengan lisan. Selain
para mufasir yang telah disebutkan di awal, Ibnu Asyur
dalam At-Tahrir wa at-Tanwir menampilkan penjelasan ini.
104
Sebagai penutup, salah satu penjelasan Ar-Razi dalam
tafsirnya sangat tepat ditampilkan di sini. Menurut Ar-Razi,
ayat 73 surah at-Taubah ini memang benar mengandung
perintah kewajiban berjihad (berusaha sekuat tenaga)
menghadapi orang kafir dan munafik, namun mengenai cara
melawan atau cara menghadapi keduanya, bukan di ayat ini
tempatnya. Wallahu a’lam

105
Tafsir Surah Hud ayat 118-119: Rahmat Allah itu
Berupa Kemampuan Bersikap Toleran*

Limmatus Sauda
Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id

Perbedaan manusia -dalam segala hal nya-, merupakan


sebuah keniscayaan. Demikian kurang lebih pesan dalam
surah Hud ayat 118. Sebagai individu, setiap orang
mempunyai sifat, karakter, ketertarikan dan cara berpikir
masing-masing. Sebagai bagian dari sebuah kelompok,
berbangsa dan bernegara, sebut saja Indonesia misalnya,
masing-masing rakyatnya mempunyai suku, adat, tradisi,
bahasa dan keyakinan atau agama yang berbeda-beda.
Bahkan sebagai pemeluk agama, masing-masing orang
mempunyai cara keberagamaan dan cara memahami ajaran
agama yang tidak sama.
Tidak jarang perbedaan-perbedaan itu berujung pada
perselisihan, konflik atau perpecahan, meski sebenarnya
dalam perbedaan itu ada potensi besar untuk mewujudkan
harmoni, keindahan dan kedamaian. Sayangnya, tidak banyak
orang yang menyadari pesan tersembunyi itu, kecuali orang
yang mendapat rahmat Allah (QS. Hud [11]: 119). Mengingat

**
https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-hud-ayat-118-119-
rahmat-allah-itu-mampu-bersikap-toleran/
106
sedikitnya orang yang peka terhadap pesan yang
tersembunyi tersebut, maka pertanyaannya kemudian,
siapakah ‘orang yang mendapat rahmat Allah itu?’
Allah berfirman dalam surah Hud ayat 118-119,

‫) ِإاَّل َم ْن َر ِح َم َر ُّب َك َو ِل َذ ِلَك‬118( ‫َو َلْو َش اَء َر ُّبَك َلَجَعَل الَّناَس ُأَّم ًة َو اِح َد ًة َو اَل َيَزاُل وَن ُم ْخ َتِلِفيَن‬
)119( ‫َخ َلَقُهْم َو َتَّم ْت َك ِلَم ُة َر ِّبَك َأَلْم َأَلَّن َجَهَّنَم ِم َن اْلِج َّنِة َو الَّناِس َأْج َم ِع يَن‬
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
(pendapat); kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.
Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat
(keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi
neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka)
semuanya.” (QS. Hud [11]: 118-119)
Konteks ayat 118-119 dalam Surah Hud dan Al-Quran
Kaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 116-117,
ayat 118-119 ini menegaskan bahwa keragaman manusia, ada
yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah, seperti yang
terjadi pada kisah umat-umat sebelum umat Nabi
Muhammad saw, hingga kemudian Allah menghukum dan
membinasakan mereka ini bukan berarti karena sifat tidak
kuasanya Allah, seandainya saja Allah berkehendak untuk
semuanya patuh, maka tentu hal tersebut yang akan terjadi.
Namun ternyata Allah tidak menghendaki demikian, sehingga
perbedaan dan keragaman, mulai dari hal-hal yang remeh

107
misal sifat atau karakter seseorang hingga hal yang prinsip
seperti agama akan terus terjadi.
Realita di lapangan sekarang, kehendak Allah ini masih
banyak yang belum bisa menerima, dan seringkali keragaman
ini dituntut untuk menjadi seragam, oleh karena itu Al-
Quran menyatakan bahwa hanya ‘orang mendapat rahmat
Allah’ yang bisa menerima dan mengelolanya.
Adapun kaitannya dengan ayat yang lain dalam Al-
Quran, tema yang sama juga dapat ditemui dalam surah Asy-
Syura ayat 8

‫َو َلْو َش اَء ُهَّللا َلَجَع َلُهْم ُأَّم ًة َو اِح َد ًة َو َلِكْن ُيْد ِخ ُل َم ْن َيَش اُء ِفي َر ْح َم ِت ِه َو الَّظ اِلُم وَن َم ا َلُهْم ِم ْن َو ِلٍّي‬
‫َو اَل َنِص يٍر‬
“Dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia jadikan
mereka satu umat, tetapi Dia memasukkan orang-orang yang
Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang yang
zalim tidak ada bagi mereka pelindung dan penolong.” (QS.
Asy-Syura [42]: 8)
Sekali lagi Allah menyatakan bahwa Ia menghendaki
perbedaan dan keragaman manusia yang senantiasa diiringi
dengan pemberian rahmatNya. Ini senada dengan surah Hud
ayat 118-119 yang mengiringi pernyataan perbedaan dengan
rahmat dari Allah.
Yang mendapat Rahmat Allah adalah ia yang toleran

108
Seringkali dua ayat ini dibaca secara terpisah, ayat
118 sendiri dan ayat 119 dikaji sendiri, padahal dua ayat ini
berkesinambungan. Ini terlihat dari kata ‘illa’ atau ‘kecuali’
di awal ayat 119 yang menandakan bahwa ayat sebelumnya,
118 belum selesai. Ini menjadi penting, karena di awal ayat
119 tercantum pengecualian dari pernyataan sebelumnya,
ayat 118. Di situ ditegaskan bahwa manusia akan terus
berbeda dan berselisih, kecuali yang dirahmati Allah, dan
seterusnya.
Ada yang menarik dalam penjelasan M. Quraish
Shihab tentang penjabaran atas pengecualian di awal ayat
119 di atas. Dalam bukunya, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak ,
hal. 181, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa orang yang
dirahmati Allah ini adalah orang yang mampu mengelola
perbedaan tersebut, antara lain dengan bersikap toleran
atas perbedaan dan keragaman manusia. Padahal
sebelumnya, di Tafsir Al-Misbah, vol. 5, hal. 786 ia hanya
menjelaskan frasa ini dengan ‘hanya’ orang yang
mendapatkan petunjuk dari Allah.
Penjelasan ini tampak berbeda meski tidak
bertentangan dengan penafsir-penafsir pendahulunya. At-
Tabari misalnya, ia menafsirkan frasa ‘man rahima Allah’
dengan banyak pilihan, antara lain ahlu al-haq (sebagai
kebalikan ahl al-batil), al-hanifiyah (sebagai padanan dari
Yahudi, Nasrani dan Majusi), ahl al-iman, ahl al-
109
jamaah (sebagai kebalikan dari ahl al-firqah) dan pilihan
yang terakhir yaitu man ja’alah ‘ala al-Islam
Masih berbeda dengan mufasir yang lain, seperti As-
Samarqandi. Mufasir asal Samarkand ini memaknai kata
‘rahima’ dengan penjagaan Allah terhadap perselisihan yang
terjadi. Sedang Al-Kasysyaf dan Al-Baidhawi memahami
‘orang yang dirahmati Allah’ itu dengan sekelompok orang
yang mendapatkan petunjuk Allah dan bersikap lemah
lembut; ini tidak jauh berbeda dengan Nawawi Al-Bantani
yang memaknai ‘man rahima Allah’ dengan suatu kelompok
yang Allah memberi petunjuk kepada mereka dengan fadhol
dari Allah.
Meskipun demikian, pemahaman yang beraneka raga
mini dapat ditarik benang merahnya bahwa ia yang mendapat
rahmat Allah adalah orang yang mendapat petunjuk Allah
untuk senantiasa terhindar dari perselisihan atau konflik
dengan tetap bersikap lemah lembut dan menjaga persatuan
(al-jamaah) tidak terpecah belah (al-firqah). Dalam konteks
pemaknaan yang seperti ini, maka penjelasan M. Quraish
Shihab di awal tadi dapat diposisikan sebagai teknis dalam
mewujudkan rahmat atau petunjuk Allah tersebut, yaitu
dengan bersikap toleran.
Toleransi termasuk yang hilang dari akhlak kita
Quraish Shihab memasukkan sikap toleransi ini pada
salah satu nilai akhlak terpenting. Toleransi sendiri
110
diartikannya dengan sikap membiarkan, menenggang dan
menghormati pendapat atau sikap pihak lain, walau yang
membiarkannya tidak selalu sependapat dengannya.
Lebih lanjut, mufasir Indonesia ini memaparkan
beberapa langkah untuk mewujudkan sikap toleransi. Sikap
toleran bisa terwujud kalau kita mengenal pihak lain yang
berbeda dengan kita. Untuk mengenal, perlu adanya dialog.
Namanya dialog, berarti di dalamnya ada interaksi dari
kedua belah pihak, keduanya saling menghargai, tidak
bersikap apriori dan memonopoli, baik memonopoli kebenaran
maupun memonopoli kesalahan. Berdialog untuk mencari titik
temu menemukan substansi, bukan untuk berdebat dan
membanggakan diri.
Kalaupun dialog itu tidak menemukan titik temu, maka
prof. Quraish meminta kita untuk mengingat pesan Allah
kepada Nabi Muhammad saw. “Sampaikanlah bahwa
sesungguhnya kami atau kamu pasti berada di atas
kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah:
“Kamu tidak akan ditanyai menyangkut dosa yang telah kami
perbuat dan kami tidak akan ditanyai tentang apa yang kamu
perbuat” (QS. Saba’ [34]: 25-26.
Mengingat Indonesia adalah Negara yang sangat
beragam penduduknya, maka toleransi bukan lagi pilihan
sikap untuk diterapkan, tetapi memang sikap yang harus
dipraktikkan. Wallahu a’lam
111
Tafsir Surah Fatir Ayat 43: Senjata Makan Tuan*

Ramdhan Yurianto
Dosen PBA UNU Purwokerto

Senjata makan tuan adalah salah satu dari beragam


kekayaan peribahasa Indonesia. Tentu saja peribahasa
memiliki fungsinya masing masing. Senjata makan tuan dalam
KBBI berarti sesuatu yang direncanakan untuk
mencelakakan orang lain, tetapi berbalik mengenai diri
sendiri.
Berencana mencelakai orang lain tentu saja tidak
diberperbolehkan dalam agama apa pun. Dalam tradisi
Konghucu, salah satu doktrin golden rule ajaran Konfusius
adalah “Apa yang tidak ingin orang lain lakukan kepada anda.
Jangan lakukan kepada orang lain”. (100 Tokoh Paling
Berpengaruh di Dunia hlm. 32). Islam juga mengusung
semangat yang sama dengan slogan dan prinsip rohmatan lil
‘ālamīn.
Lalu, mengapa seseorang bisa berencana jahat kepada
orang lain? Biasanya seseorang ingin mencoba mencelakai
orang lain, lantaran tidak suka, iri, dengki, cemburu dengan
apa yang dimiliki, dicapai, atau diperoleh orang lain; atau

**
https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-fatir-ayat-43-senjata-
makan-tuan/
112
sebenarnya juga memang menginginkan keburukan terjadi
kepada orang lain tanpa harus ada motifnya.
Gambaran senjata makan tuan
Mengenai rencana buruk seseorang dan juga ancaman
senjata makan tuan tergambar dalam Alquran pada potongan
surah Fatir ayat 43.
ۚ ‫َو اَل َي ِحيُق اْلَم ْك ُر الَّسِّيُئ ِإاَّل ِبَأْه ِلِه‬
Artinya: Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain
orang yang merencanakannya sendiri (QS. Fātir [35] ayat
43)
Imam al-Baghawi menafsirkan frasa ‫ َو َم ْك َر الَّسِّي ِئ‬sebagai
perbuatan buruk. Perbuatan tercela tidak akan menimpa
orang lain, kecuali kembali kepada pelaku. ( Tafsir al-
Baghawi, jilid 6, hlm. 427). Penafsiran yang sama juga
disampaikan oleh Ibnu Katsir dan Wahbah Az-Zuhaili dalam
karya mereka.
Sedang Ibnu Jarir menambahkan penjelasan terkait
bentuk rencana jahat dalam ayat ini. Makar yang dimaksud
adalah syirik. Hampir sama dengan Al-Qurthubi yang
memaknai makar pada ayat ini dengan kekufuran,
pengkhianatan, dan pendustaan dengan tujuan menghalangi
manusia untuk beriman.
Dalam Tafsir Al-Qurtubi, dijelaskan tentang kisah
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi) yang mengutip kembali
surah Fatir ayat 43 ini ketika merespon pertanyaan sahabat
113
yang lain yaitu Ka’ab tentang isi kitab Taurat yang mirip
dengan maksud ayat dalam Alquran tersebut.
Ka’ab berkata kepada Ibnu Abbas, “aku mendapati
dalam Taurat perkataan, ‘Barangsiapa yang menggali lubang
untuk saudaranya, maka dia sendiri yang nantinya masuk
kedalamnya’. Ibnu Abbas lantas merespon, “Aku juga
menemukan ayat seperti itu dalam Alquran”. Ka’ab kemudian
menanyakan bunyi ayatnya dan Ibnu Abbas menjawab dengan
surah Fatir ayat 43.
Dari beberapa penjelasan para mufasir di atas, sudah
jelas bahwa berniat jahat, merencanakan hal buruk
terhadap orang lain pada akhirnya akan berbalik kepada
pelakunya sendiri, senjata makan tuan. Dengan begini orang
yang berniat jahat tadi akan mikir-mikir lagi untuk
melanjutkan niatnya.
Lantas, apakah ancaman tersebut hanya diperuntukan
bagi orang yang merencanakan saja atau juga berlaku kepada
orang yang membantunya?
Pelaku utama kejahatan dan yang membantunya,
keduanya sama
Selain sepagai pelaku utama, otak dari perencanaan
jahat, membantu kelancaran rencana buruk tersebut juga
tidak diperbolehkan, karena status keduanya sama.
Hal ini dikuatkan dari hadis yang diriwayatkan oleh az-Zuhri
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
114
‫ َو اَل ُتِعْن‬، ‫ال َت مُك ْر وال ُتِعْن ماِكًر ا؛ فإَّن َهللا يقوُل َو اَل َي ِحيُق اْلَم ْك ُر الَّس ِّيُئ ِإاَّل ِبَأْه ِل ِه َو اَل َت ْب ِغ‬
‫َباِغ ًيا؛ فإَّن َهللا َت َع الى يقوُل ِإَّن َم ا َب ْغ ُيُك ْم َع َلى َأْنُفِس ُك ْم‬
Artinya: “Janganlah kamu merencanakan makar dan
janganlah kamu membantu orang yang membuat makar
karena sesungguhnya Allah SWT berfirman (QS Fātir [35]
ayat 43), “Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain
orang yang merencanakannya sendiri.” Janganlah kamu
berlaku dzalim dan melanggar (melampaui batas), dan
janganlah kamu membantu orang yang berbuat dzalim dan
melanggar karena sesungguhnya Allah Swt. berfirman (QS
al-Fath [48] ayat 10), “Barangsiapa yang melanggar janjinya
niscaya dirinya sendiri yang akan menanggung akibat
buruknya.” Allah Swt. juga berfirman (QS Yunus [10] ayat
23), “Wahai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu
akan menimpa dirimu sendiri.” (Tafsir al-Munir, jilid 11, hlm.
604-608)
Hadis di atas secara jelas melarang berencana buruk,
atau membantu orang lain dalam rencana buruknya. Semua
akan berbalik kepada pembuat makar dan yang
membantunya.
Dalam pepatah Arab yang sudah sangat familier,
‫َم ْن َح َفَر ُح ْف َر ًة َو َقَع ِفْي َه ا‬
“Barang siapa menggali lubang pasti dia akan terperosok
kedalam lubang itu sendiri”. Ungkapan ini erat kaitannya
dengan maksud surah Fatir ayat 43.

115
Gambaran tentang senjata makan tuan pada ayat dan
hadis di atas semoga menjadi pengingat dan alarm bagi kita
semua untuk berpikir seribu kali ketika berniat jelek
terhadap orang lain dan tidak melanjutkan niat
tersebut. Wallah a’lam

116
Penolakan atas Timnas Israel
Dan Refleksi Surah al-Maidah Ayat 2 dan 8*

Muhammad Izharuddin
Mahasiswa IAT STKQ Al-Hikam

Beberapa waktu lalu, FIFA sepakat untuk


membatalkan gelaran Piala Dunia U-20 digelar di Indonesia.
Keputusan yang diambil FIFA sebagai federasi tertinggi
sepak bola di dunia ini disinyalir merupakan buah dari
penolakan beberapa tokoh publik dan masyarakat terhadap
larangan bagi timnas Israel untuk hadir di kompetisi
internasional tersebut.
Memang kita yakini, langkah yang diambil oleh
Indonesia tersebut bagian dari sikap tegas terhadap
tindakan brutal Israel yang melanggar asas kemanusiaan
dengan tetap menteror dan menjarah tanah Palestina yang
telah merdeka sekian tahun lamanya. Indonesia sebagai
pihak yang pro kemerdekaan Palestina apalagi didasari
dengan saudara seagama tentu tak akan tinggal diam. Oleh
**
https://tafsiralquran.id/timnas-israel-dan-refleksi-surah-al-
maidah-ayat-2-dan-8/
117
karenanya, tindakan menolak kedatangan timnas Israel
berlaga di Piala Dunia U-20 dianggap sebagai bentuk
komitmen Indonesia memperjuangkan kemerdekaan
Palestina.
Tapi apakah tindakan demikian dibenarkan dalam
Islam? Penulis merasa tertarik untuk mencoba mengkaji
bagaimana sikap yang sepantasnya kita lakukan sebagai
seorang muslim. Kali ini, penulis, mencoba mengutip sebuah
ayat dalam al-Qur’an, yakni Surah al-Maidah (5): 2.
‫َو اَل َيْج ِرَم َّنُك ْم َشَنٰا ُن َقْو ٍم َاْن َص ُّد ْو ُك ْم َع ِن اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم َاْن َتْعَتُد ْو ۘا َو َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقٰو ۖى‬
‫َو اَل َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اِاْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن ۖ َو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َقاِب‬
Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum,
karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam,
mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka).
Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah sangat berat siksaan-Nya. (Q.S. Al-Maidah [5] 2).
Jika kita menelisik lebih lanjut ayat tersebut, Al-
Maidah ayat 2 ini turun berkenaan dengan rombongan
Rasulullah saw. yang hendak pergi menuju Baitullah pada
tahun 8 H. Namun, di tengah perjalanan mereka dicegat oleh
kaum kafir Quraisy untuk memasuki kota Makkah. Padahal,
sebelumnya mereka telah melakukan gencatan senjata dalam
perjanjian Hudaibiyah dua tahun sebelumnya.

118
Singkatnya, pemblokadean tersebut memicu
kebencian dan rasa dendam di sebagian pihak kaum muslimin.
Mereka ingin membalas dengan perbuatan yang sepadan
dengan yang apa yang telah mereka terima di masa silam.
Jika mereka kaum kafir Quraisy datang maka akan dihalangi
serupa dengan yang pernah mereka alami. Mengenai hal
tersebut, maka turunlah ayat tersebut.
‫َو اَل یۡج َم َّنُك ۡم َش َنَٔـاُن َقۡو ٍم َأن َص ُّد وُك ۡم َع ِن ٱۡل َم ۡس ِج ِد ٱۡل َحَر اِم َأن َتۡع َتُدوۘا‬
‫ِر‬
Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ketika mengomentari
penggalan ayat ini memberi penjelasan bahwa janganlah
karena faktor kebencian karena perlakuan mereka terhadap
kaum muslimin yang dihalang masuk ke Masjidil Haram
sewaktu perjanjian Hudaibiyah mendorong mereka
melanggar ketentuan Allah terhadap mereka. (Ibnu Katsir,
Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal 12)
Lebih lanjut, Ibnu Katsir menambahkan kemudian
sebab perbuatan itu memancing rasa balas dendam terhadap
mereka dengan berbuat aniaya dan permusuhan. Akan tetapi,
berlakulah adil sebagaimana yang telah Allah perintahkan.
Sebagian ulama salaf mengatakan “Selama engkau
memperlakukan orang yang zalim terhadap dirimu sesuai
dengan ketentuan Allah dan engkau berlaku adil

119
terhadapnya, maka tegaklah langit dan bumi ini. (Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal 12)
Kita bisa melihat bagaimana menakjubkannya pesan
Ilahi ayat tersebut. Kaum muslimin tetap disuruh untuk
berbuat adil kepada mereka yang pernah menghalangi jalan
mereka menuju Baitullah. Keadilan memerintahkan kaum
muslimin untuk membiarkan mereka masuk tanpa ada
halangan dan hambatan. Kendatipun ketentuan membolehkan
kaum Musyrikin memasuki Baitullah itu kemudian di naskh
pada tahun 9 H saat turun At-Taubah ayat 28: “ Jangan
mereka (orang Musyrik) mendekati Masjidil Haram sesudah
tahun ini”, tapi pesan keadilan terus berlaku sepanjang
zaman.
Ar-Razi memberikan penjelasan tidak sepatutnya bagi
seorang muslim untuk membalas perbuatan buruk yang
mereka terima dengan perbuatan buruk pula. Seseorang pun
tak layak untuk saling bahu membahu dalam menimbulkan
permusuhan karena mereka yang menjadi sasaran pasti akan
berbuat demikian pula terhadap mereka. Namun, yang
dikehendaki dari ayat ini agar tiap orang saling tolong
menolong dalam kebaikan dan takwa. (Fakhruddin ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib, Juz 11, hal.133)
Yang tak kalah menarik dari ayat tersebut, Allah
menggunakan redaksi ‫ َش َنَٔـ اُن‬yang berarti “kebencian yang
telah mencapai puncaknya”. Musuh yang sudah kita benci
120
sampai ke ubun-ubun lantaran menghalangi kita
melaksanakan perintah agama pun harus tetap diberlakukan
secara adil. Kita dilarang bertindak kejam dan zalim kepada
mereka. (Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an di Medsos, hal.
181)
Di dalam ayat yang ke-8 Surah Al-Maidah juga
menggunakan redaksi yang hampir serupa.
‫َو اَل َيْج ِرَم َّنُك ْم َشَنٰا ُن َقْو ٍم َع ٰٓلى َااَّل َتْع ِد ُلْو اۗ ِاْع ِد ُلْو ۗا ُهَو َاْق َر ُب ِللَّتْق ٰو ۖى َو اَّتُق وا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َخ ِبْي ٌۢر ِبَم ا‬
‫َتْع َم ُلْو َن‬
Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil)
itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. Al-Maidah [5] 8).
Begitulah pesan keadilan tersebut diulang. Kebencian
tak bisa menjadi alasan pembenar untuk bisa menzalimi
pihak lain. Kita tak boleh main hakim dan membuat peraturan
sendiri di luar batas-batas keadilan dan hukum.
Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Munir,
mengemukakan bahwa kekufuran orang kafir itu tidak
menghalangi kita untuk berbuat adil dalam berinteraksi
dengan mereka. Dalam ayat tersebut, terkandung batasan
dan petunjuk yang perlu dibuat dalam pertempuran.
Misalnya, mereka membunuh para wanita dan anak-anak kita,

121
maka kita tidak dibenarkan melakukan pembunuhan yang
serupa. (Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Juz 3, hal. 470)
Dua ayat tersebut setidaknya menegaskan bahwa
Islam adalah agama yang sangat memerhatikan prinsip
keadilan dalam segala hal. Kendatipun kita merasa dirugikan,
teraniaya, dan dizalimi sehingga membuat kita sangat benci
kepada orang tersebut – baik muslim atau non-muslim– kita
tidak boleh membalas mereka dengan kezaliman baik kepada
orang tersebut ataupun pihak ketiga.
Begitu halnya dengan peristiwa yang baru saja terjadi.
Jangan sampai kebencian kita terhadap mereka yang telah
merusak dan menghancurkan saudara kita sesama muslim
membuat kita bertindak sewenang-wenang. Bahkan kita
lakukan kepada mereka yang barangkali tidak ada sangkut
paut keterlibatannya. Kita wajib berlaku adil dan bijak
karena memang mereka memiliki hak tersebut untuk ikut
berpartisipasi dalam gelaran Piala Dunia U-20. Bukannya,
malah menghalangi mereka. Di sinilah kita perlu untuk
merenungkan kembali bagaimana pesan keadilan bisa
merasuk dalam diri kita sebagai muslim kemudian
menerapkannya dengan menebar rahmat ke alam semesta.

122
BAB IV
Kontrol Diri
Sebagai Terapi
Sufistik
123
Dua Macam Ujian Hidup*

Akhmad Sulaiman
Dosen PAI UNU Purwokerto

Sebagian dari kita kerap kali mengeluh dengan


keadaan kekurangan, kemiskinan, ketidakadaan prestasi, dan
lain sebagainya. Lebih jauh, terkadang sebagian dari kita
bahkan iri dengan keadaan kecukupan, kekayaan, dan
prestasi orang lain atau bahkan menginginkan semua nikmat
itu hilang dari mereka. Lantas, apakah sikap seperti itu
benar? Bagaimana pandangan al-Qur’an mengenai hal ini?
Tafsir QS. al-An’am (6): 164
Dalam perspektif al-Qur’an, kekayaan dan kemiskinan,
kecukupan dan kekurangan, prestasi dan tanpa prestasi, dan
ketampanan/kecantikan dan keburukan merupakan ujian.
Ujian tidak semata terjadi pada keadaan kekurangan atau
negatif saja seperti kemiskinan, tetapi keadaan positif
dalam kacamata duniawi juga merupakan ujian.
**
https://tafsiralquran.id/dua-macam-ujian-hidup/
124
Kita mendapati dalam lintas sejarah bahwa banyak
orang yang memiliki kelebihan duniawi tetapi tidak lulus
ujian dan dimurkai oleh Allah Swt. Sebut saja misalnya
Firaun. Firaun diberi kekuasaan sebagai raja dengan segala
harta, fasilitas, dan pengikut yang banyak, namun ia justru
menjadi sombong dan bahkan mengaku sebagai Tuhan. (al-
Qashash (28): 38)
Di dalam ayat terakhir dari surah al-An’am yakni QS. al-
An’am (6): 164, Allah menjelaskan bahwa Dia meninggikan
derajat sebagian manusia atas sebagian manusia yang lain
untuk mengujinya.
‫ُه َو اَّل ِذ ْي َجَعَلُك ْم َخ اَل ِئ َف اَأْلْر ِض َو َر َف َع َبْع َض ُك ْم َفْو َق َبْع ٍض َد َرَج اٍت ِلَيْبُل َو ُك ْم ِفْي َم ا‬
‫ِع‬
‫آَتاُك ْم ِإَّن َر َّبَك َس ِر ْيُع اْل َق اِب َو ِإَّنُه َلَغُف ْو ٌر َّر َحْيٌم‬
“Dan Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia
meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) untuk
menguji kamu melalui apa yang Dia berikan kepadamu.
Sesungguhnya Tuhanmu cepat siksa-Nya dan sesungguhnya
Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Titik pokok pembahasan kita adalah potongan ayat “…
dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain)
untuk menguji kamu melalui apa yang Dia berikan
kepadamu.”, namun ada baiknya kita sedikit mengulas
tafsiran dari potongan ayat sebelumnya.

125
Maksud dari “Dan Dia menjadikan kamu khalifah-
khalifah di bumi” bukan seperti yang dimaksud oleh para
pejuang khilafah yang berarti pemimpin politik dari sistem
kekhilafahan (negara Islam supranasional) melainkan
maksudnya adalah pengganti umat-umat yang sebelumnya di
bumi. Maksudnya adalah bahwa umat-umat yang telah lalu
digantikan oleh umat yang baru. Demikian tafsiran yang
dijelaskan oleh al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain (107) dan
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (3: 768).
Kembali ke pembahasan pokok, Allah Swt. meninggikan
sebagian manusia atas sebagian yang lain bertujuan untuk
menguji mereka melalui apa yang diberikan oleh-Nya.
Peninggian derajat ini menurut al-Mahalli melalui harta,
pangkat, dan lain sebagainya. Adanya hal ini menurutnya
bertujuan agar menjadi jelas mana orang yang yang taat ( al-
muthii’) kepada Allah dan mana yang orang yang durhaka ( al-
Aashi) kepada-Nya. Allah akan menyiksa dengan cepat orang
yang durhaka dan mengampuni orang-orang mukmin.
Secara spesifik, Syeikh Ahmad al-Showi dalam
Hasyiyah al-Showi ‘ala Tafsir al-Jalalain (2:61) menjelaskan
bahwa Allah menjadikan manusia kaya dan miskin,
cantik/tampan dan jelek, pintar dan bodoh, dan kuat dan
lemah untuk menguji manusia melalui apa yang telah Dia
berikan. Penjadian manusia menjadi dua sisi yang berbeda ini

126
agar orang-orang yang bersabar dan bersyukur menjadi
jelas.
Dua jenis Ujian menurut al-Qur’an
Berdasarkan penjelasan tafsir dari beberapa tokoh di
atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya segala keadaan
memiliki ujiannya sendiri-sendiri. Saya ingin menyebut
bahwa ujian dari Allah itu ada Paket A dan Paket B. Paket A
maksudnya seseorang mendapatkan ujian berupa kemegahan
dalam kenikmata berupa misalnya harta, kepintaran,
kekuatan, dan ketampanan. Ujian dari orang-orang yang
mendapat Paket A ini adalah apakah mereka mampu
bersyukur, bersedekah, membantu sesama, tidak sombong,
dan tidak terbuai dengan kemegahan hidup yang dimiliki atau
tidak.
Sementara itu, Paket B maksudnya adalah seseorang
mendapatkan ujian berupa kekurangan yang jauh dari
keadaan yang dimiliki oleh orang-orang yang mendapat ujian
Paket A. Ujian dari orang-orang ini adalah apakah mereka
mampu bersabar, mau berusaha, tidak jatuh pada kekufuran,
dan tidak putus asa atau tidak.
Penutup
Fenomena ini menunjukan bahwa jalan manusia untuk
mendapat ridho Allah berbeda-beda. Ada yang mendapatkan
ridho-Nya dengan jalan bersyukur, bersedekah, rendah hati,
dan lain-lain, namun ada pula yang mendapatkan ridho-Nya
127
dengan jalan bersabar, memiliki etos kerja dan lain-lain.
Jalan yang berbeda ini merupakan ujian yang Allah
kehendaki dari kita agar kita mampu mempersembahkan
kepadanya amal terbaik untuk-Nya sebagaimana firmannya
“Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya”
(QS. al-Mulk (67): 2). Semoga kita senantiasi bisa menjalani
ujian kita masing-masing dan dapat mempersembahkan amal
terbaik untuk-Nya.

128
Ngaji Jumat: Jaga Lisan, Hati dan Pakaian*

Djito El-Fateh
Dewan Penasehat nubanyumas.com

Secara manusiawai, kecenderungan orang itu minta


dihormati. Padahal, secara esensi sejatinya kita yang harus
memulai menghormati dan menghargai diri sendiri. Kalau kita
tidak bisa menghargai diri sendiri, maka jangan berharap
pada orang lain untuk menghargai atau menghormati kita.
Dinukil dari maqolah Syeikh Abu Madyan, KH Zuhrul
Anam Hisyam memberikan tiga rumusan agar kita
menghargai diri sendiri. Pertama, idza jalasta ahlal ‘ilmi
fahfadz lisanaka. Kedua, waidza jalasta ahlallah fahfadz
qolbaka. Ketiga, waidza jalasta ahla ad dunya, fahfadz
libasaka.
“Ketika berkumpul dengan orang berilmu, jagalah
lisanmu. Artinya, jangan banyak bicara, karena sedikit saja

**
https://purwokertokita.com/rehat/ngaji-jumat-jaga-lisan-hati-
dan-pakaian.php
129
salah bicara kita sama saja pamer kebodohan. Kelihatannya
sederhana, tapi praktiknya sulit,” kata Gus Anam.
“Ketika berkumpul dengan orang-orang yang dekat
dengan Allah (kekasih-Nya), jagalah hatimu. Artinya, jagalah
hati untuk senantiasa berfikir baik,
positif, khusnudzon. Kualitas hati kita akan mencerminkan
siapa kita,” katanya lagi.
Ahlulloh, menurut Gus Anam adalah mereka-mereka
yang terpilih. Mereka yang melihat sesuatu tidak hanya
dengan mata lahir, tetapi juga mata batin. Merekalah para
kekasih Allah yang bisa tahu krenteg hati seseorang, tanpa
orang tersebut melahirkannya dalam ucapan.
“Ketiga, ketika berkumpul dengan ahli dunia
(maksudnya yang urusan dunia), maka jagalah pakaianmu.
Artinya kita juga harus menghormati diri termasuk dari
pakaian, atau apa yang melekat pada diri kita,” kata Gus
Anam yang juga Pengasuh Ponpes At Taujieh 2, Leler,
Randegan, Banyumas.
Anda juga barangkali pernah mendengar filosofi
Jawa: ajining diri soko lathi, ajining sariro soko busono .
Semoga, Ngaji Jumat ini semakin memantapkan kita menjadi
pribadi unggul. Pandai menghormati diri, menuntut diri
sendiri, bukan mencari kelemahan orang lain. Karena
kebaikan itu dimulai dari diri sendiri. Wallahu a’lam bi as
showab.
130
Ngaji Jumat: Tips Mencari Sekolah Yang Baik*

Djito el Fateh
Dewan Penasehat nubanyumas.com

Menjaga generasi Nusantara sekaligus pendidikan


karakter, KH Zuhrul Anam Hisyam mengutip sebuah
maqolah. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW memiliki dua
warisan; ilmu dan hal (perilaku). Pada zamannya, para
sahabat menyerap ilmu dengan cara belajar (ta’allum). Ngaji
kalau istilah zaman sekarang dengan Nabi Muhammad SAW.
Lalu, pada saat bersamaan Sahabat juga menyerap hal atau
perilaku Nabi Muhammad SAW.
“Kalau hal diperoleh atau diserap dengan cara suluk,
suhbah atau membersamai Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, Sahabat tau apa dan bagaimana Nabi bersikap,
bergerak dan kegiatan serta kebiasaan-kebiasaan baik
lainnya. Istilah zaman sekarang learning by doing,” kata Gus
Anam menggambarkan.
**
https://purwokertokita.com/rehat/ngaji-jumat-tips-mencari-
sekolah-yang-baik.php
131
Dengan dua warisan tersebut, jadilah para Sahabat
pribadi-pribadi berkarakter; memiliki ilmu sekaligus
membersamai Nabi sehingga tindak-tanduknya merupakan
duplikasi Nabi. Menurut Gus Anam, dua hal tersebut sudah
paket. Pengin pinter berilmu ya harus belajar, tidak ada
jalan lain. Pengin persis atau mendekati tindak tanduk orang
sholeh (baik) yang suhbah atau membersamai.
Dua warisan di atas jika diperhatikan begitu akrab
sudah dilakukan di lembaga pendidikan pondok pesantren.
Santri, mereka akan fokus belajar (ta’allum) berbagai
disiplin ilmu yang sudah ditentukan di pesantren. Masih
dilengkapi dengan evaluasi, untuk mengukur sejauh mana ilmu
diserap. Begitu juga dengan suhbah atau membersamai sang
guru.
“Maka, sudah banyak cerita santri itu biasanya meniru
segala gerak gerik kyainya. Cara bicara, cara berdoa, cara
menerima tamu, cara berkomunikasi dengan sesama dan
sebagainya. Kalau bagi saya, pesantren itu solusi untuk
menjaga generasi anak Bangsa dan pendidikan karakter,”
imbuh Gus Anam.
Gus Anam juga menyebut ajaran Ki Hajar Dewantoro,
tokoh pendidikan Nasional sejatinya terinspirasi maqolah di
atas. Yakni, ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun
karso, tut wuri handayani. Tiga ajaran luhur tersebut, cocok
untuk pendidik, baik guru ataupun orang tua. Yakni, ada
132
kalanya menjadi tauladan, turun langsung memberi contoh,
serta memberi support ketika ‘di belakang’.
“Kyai-kyai kita, ulama salafus shaleh sudah begitu
akrab dengan nilai-nilai Ki Hajar Dewantoro. Mereka
memposisikan diri menjadi uswah (contoh), tidak bosan
membersamai santri (mendampingi langsung), juga tidak
putus mensupport atau mendoakan santri (atau alumni) saat
sunyi atau sendiri,” katanya mengumpamakan.
Semoga tips di atas menjadi inspirasi, bagi orang tua,
atau generasi muda yang tengah mencari lembaga
pendidikan. Mengingat, tidak jarang orang hendak sekolah
dibuat bingung. Karena pendidikan itu, tidak hanya untuk
bekal dunia, tapi langgeng sampai bekal akhirat. Wallahu
a’lam bi as shawab.

133
Peringatan Isra-Mi’raj: Refleksi Sufistik Kualitas Salat
Kita*

Akhmad Sulaiman
Dosen Prodi PAI UNU Purwokerto

Isra Mi’raj merupakan peristiwa monumental yang


ketika itu Nabi Muhammad saw. diamanahi oleh Allah Swt.
untuk menyampaikan kewajiban salat lima waktu kepada
umatnya. Peristiwa itu menurut mayoritas ulama terjadi
pada tanggal 27 Rajab di tahun ke-10 dari kenabian. Ada
pula pendapat lain, seperti dalam Tafsir al-Qurthubi yang
mengatakan bahwa Isra-Mi’raj terjadi pada tanggal 27
Rabiul Awal.
Di hari menjelang peringatan Isra Mi’raj ini, penulis
ingin mengajukan pertanyaan sebagai bahan refleksi.
Pertanyaan yang dimaksud adalah “Untuk apa Allah

**
https://tafsiralquran.id/peringatan-isra-mikraj-refleksi-
sufistik-kualitas-salat-kita/
134
memerintahkan kita salat?” Lalu, “Apa yang semestinya
dilakukan setelah kita mengetahui tujuan salat?”
Secara umum, salat diwajibkan untuk membuat agama
manusia tetap lestari. Ini merupakan tujuan umum dari
perintah-perintah agama lainnya yang masuk kategori
ibadah, seperti puasa, zakat, dan haji. Semua ibadah
ditujukan untuk mewujudkan apa yang al-Shatibi sebut
dalam al-Muwafaqat sebagai pelestarian agama (hifdz al-
din).
Lantas, apa tujuan salat secara khusus? Secara
khusus, Allah wajibkan salat agar para hamba mengingat-
Nya. Atas dasar ini, al-Ghazali dalam Mauidzah al-
Mu‘minin (hlm. 25-27), menjadikan pekerjaan hati berupa
khusyuk dan kehadiran hati sebagai syarat batin dari salat.
Dia mendasarkan pendapatnya pada tiga ayat, yaitu:
Q.S. Taha: 14;
‫َو َأِقِم الَّص َلوَة ِلِذ ْك ِر ي‬
“Dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”
Q.S. Ala’raf: 205;
‫َو اَل َت ُك ْن ِّم َن اْلَغ اِفِلْي َن‬
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
Dan Q.S. Annisa: 43;
‫َي َاُّيَه ا اَّلِذْي َن آَم ُنْو ا اَل َت ْق َر ُبوا الَّص َلوَة َو َأْنُت ْم ُس َك َر ى َح َت ى َت ْع َلُمْو ا َم ا َت ُقْو ُلْو َن‬

135
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sekali-kali
kamu mendekati salat sedangkan kamu mabuk, sampai kamu
mengetahui apa yang kamu katakan.”
Menurut al-Ghazali, ayat pertama menunjukan bahwa
khusyuk dan kehadiran hati adalah wajib. Sementara ayat
kedua menunjukan bahwa lalai dalam salat adalah haram.
Sedangkan ayat ketiga menunjukan bahwa mabuk adalah
‘illat (alasan) ketidakbolehan melaksanakan salat.
Menurutnya, makna ini juga berlaku sama bagi orang yang
lalai; yang pikirannya hanya dipenuhi oleh rasa was-was dan
urusan duniawi.
Apa yang al-Ghazali jelaskan di atas sungguh teramat
berat dan sebenarnya memang telah melampaui batas-batas
fikih yang biasa kita gunakan untuk mengukur sah atau
tidaknya salat kita. Namun, bukankan lebih baik ketika kita
melaksanakan salat dengan cara yang paling sempurna?
Dengan memperhatikan aspek lahir seperti terpenuhinya
syarat dan rukun salat, juga aspek batin seperti kehadiran
hati dan khusyuk. al-Ghazali mengajak kita untuk
menyempurnakan kualitas salat secara lahir dan batin.
Al-Ghazali mengibaratkan salat seperti halnya
manusia yang memiliki aspek lahir dan batin. Rukun-rukun
salat diibaratkan seperti jantung dan kepala manusia, yang
mana salat tidak bisa tegak tanpa adanya rukun-rukun
tersebut. Sunah-sunah salat diibaratkan seperti tangan dan
136
mata manusia, yang mana salat dipandang tidak pantas tanpa
keberadaan sunah-sunahnya.
Haiat-haiat (tingkatan sunah paling rendah) salat
diibaratkan seperti alis dan jenggot manusia, yang mana
salat menjadi tidak indah tanpa keberadaannya. Adapun
khusyuk, kehadiran hati, dan ikhlas diibaratkan seperti
nyawa dan ruh manusia, di mana salat tidak “hidup” tanpa
adanya tiga hal ini.
Enam Pekerjaan Hati yang Menghidupkan Salat
Al-Ghazali menyebutkan bahwa ada enam pekerjaan
hati yang memberikan perbedaan terhadap kualitas salat,
yaitu kehadiran hati (hudhur al-qalb), pemahaman terhadap
makna (al-tafahhum), rasa mengagungkan Allah ( al-ta‘dzim),
rasa takut pada Allah (al-haibah), rasa harap pada Allah (al-
raja), dan rasa malu pada Allah (al-haya’).
1. Kehadiran Hati
Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati mengikuti apa yang
menjadi perhatiannya. Oleh sebab itu, hati tidak bisa hadir
kecuali dalam perkara yang menarik perhatiannya. Ini
merupakan watak dari hati. Ketika hati tidak hadir dalam
salat, maka berarti hati sedang hadir dalam perkara lain
dari urusan duniawi.
Tidak ada jalan lain untuk menghadirkan hati dalam
salat kecuali dengan menjadikan salat sebagai perhatian. Ini
hanya akan terjadi ketika salat dilandasi dengan keimanan
137
dan keyakinan bahwa kehidupan akhirat itu lebih baik dan
abadi dan bahwa salat adalah wasilah untuk sampai ke
kebahagiaan kehidupan akhirat.
2. Memahami Makna
Setelah hati hadir dalam salat, seseorang harus
memfokuskan dan mengarahkan hati pada perenungan
terhadap makna bacaan dan aktivitas dalam salat. Hal yang
perlu dilakukan adalah menghindari segala hal yang dapat
menimbulkan bisikan-bisikan hati selain salat.
3. Mengagungkan Allah
Mengagungkan Allah merupakan sebuah keadaan yang
lahir sebab adanya dua kesadaran, yaitu kesadaran akan
keagungan Allah dan kesadaran akan kerendahan diri
manusia sebagai hamba yang diatur dan dikuasai oleh Allah.
Dari dua kesadaran ini, rasa mengagungkan Allah tertanam.
4. Takut pada Allah
Rasa takut pada Allah merupakan keadaan batin yang
lahir sebab adanya kesadaran akan adanya kekuasaan dan
kehendak Allah terhadap hamba-Nya. Allah bisa saja
menghancurkan suatu kaum, namun itu sama sekali tidak
mengurangi kebesaran kerajaannya.
5. Mengharap pada Allah
Rasa mengharap kepada Allah lahir sebab adanya
kesadaran akan kelembutan, kemurahan, dan keluasan Allah
dalam memberikan nikmat dan kesadaran akan kebenaran
138
janji Allah berupa surga bagi orang yang salat. Ketika
keyakinan akan kebenaran janji Allah dan kesadaran akan
kemurahan Allah itu hasil, maka sifat al-raja’ akan lahir.
6. Rasa Malu pada Allah
Rasa malu pada Allah lahir dari adanya kesadaran akan
kekurangan dan kesewenang-wenangan seorang hamba dalam
menyembah Allah dan pengetahuan mengenai kelemahan diri
hamba dalam menegakan hal-hak Allah. Kesadaan ini akan
menjadi semakin kuat ketika hamba menyadari aib-aib
dirinya, kurangnya keikhlasan, dan kecondongan terhadap
kepentingan dunia.
Penutup
Penulis berharap tulisan ini bisa menjadi bahan
perenungan, baik untuk diri penulis sendiri maupun para
pembaca. Isra Mi’raj merupakan peristiwa di mana Allah
menghendaki para hamba-Nya senantinasa mengingat-Nya.
Namun, sudahkah kita berusaha untuk merealisasikannya?
Jalan yang diajarkan oleh al-Ghazali adalah cara untuk
merealisasikannya. Semoga kita dapat konsisten menempuh
jalan ini dengan menjalakan salat dengan menyempurnakan
aspek lahir dan batinnya.

139
Tafsir Surah Al Araf Ayat 179: Makhluk yang Lebih
Sesat dari Binatang Ternak*

Ramdhan Yurianto
Dosen PBA UNU Purwokerto

Binatang ternak atau hewan ternak adalah hewan yang


dipelihara oleh banyak orang untuk sumber pangan, missal
saja, ayam, bebek yang diambil daging dan telurnya.
Beberapa lain hewan ternak juga digunakan untuk membantu
pekerjaan manusia, seperti kerbau, digunakan tenaganya
untuk membajak sawah. Dan binatang ternak lainnya.
Binatang ternak tidak punya pikiran, tidak bisa
melihat dengan benar, mengapa mereka dipelihara manusia,

https://tafsiralquran.id/tafsir-surah-al-araf-ayat-179-
**

makhluk-yang-lebih-sesat-dari-binatang-ternak/
140
diberi makan dan minum, dibuatkan tempat untuk tinggal
atau beranak-pinak, yang mana tidak lain adalah karena
nantinya binatang ternak itu untuk dimanfaatkan oleh
manusia sendiri.
Begitu pula manusia, kalau dia tidak punya pikiran, tidak
punya hati dan tidak bisa menggunakan matanya untuk
melihat kebenaran, atau telinganya untuk mendengarkan
kebenaran, maka sama lah kita sebagai manusia seperti
halnya binatang ternak. Tersesat tanpa tahu arah hidupnya
untuk apa, tidak paham dengan perintah tuhannya.
Bukankan sebagai manusia seharusnya menyadari,
mengapa manusia diciptakan oleh Allah? Mengapa manusia
dibekali dengan pikiran, hati, serta juga dilengkapi dengan
mata dan juga telinga?
Tiga Bekal Manusia Agar Tidak Tersesat
Berkaitan dengan hal ini, Allah SWT berfirman dalam
QS. A’raf [7] ayat 179:

‫َو َلَقْد َذ َر ْأَنا ِلَجَهَّنَم َك ِثيًرا ِم َن اْلِج ِّن َو اِإْل ْنِس َلُهْم ُقُلوٌب اَل َيْفَقُهوَن ِبَها َو َلُهْم َأْع ُيٌن اَل ُيْبِص ُروَن ِبَه ا‬
‫َو َلُهْم آَذ اٌن اَل َيْس َم ُعوَن ِبَها ُأوَٰل ِئَك َك اَأْلْنَع اِم َبْل ُهْم َأَض ُّل ُأوَٰل ِئَك ُهُم اْلَغاِفُلوَن‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka
Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
141
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi)
tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Imam Thabari (Tafsir Thabari, jilid 11: 801)
menjelaskan bahwa, neraka Jahannam Allah ciptakan untuk
mereka-mereka (jin dan manusia) yang memiliki Hati namun
tidak memahami ayat-ayat Allah, baik itu merenungi
keesaan-Nya, kebenaran rasul-Nya, yaitu orang yang kufur
atau menolak kebenaran.
Selain itu juga mereka-mereka yang
memiliki Mata namun tidak bisa melihat keagungan Allah,
tanda-tanda kebesaran-Nya dan keesaan-Nya, yaitu orang
yang syirik, atau menyekutukan Allah, menganggap masih ada
yang lebih agung dari pada Allah.
Setelah itu adalah mereka-mereka yang
memiliki Telinga namun tidak bisa dipergunakan untuk
mendengar ayat-ayat Allah, tidak bisa merenungi dan
memikirkannya, lebih dari pada itu, bahkan menolak adanya
kebenaran yang telah disampaikan oleh Rasul-Nya
kepadanya.
Imam Qurthubi juga menambahkan bahwa ayat ini bukan
berarti mereka itu benar-benar tuli maupun buta secara
fisik, mereka memang punya mata berfungsi untuk melihat,
punya telinga berfungsi untuk mendengar, namun yang
142
dimaksud adalah tidak mempergunaka fungsi panca indranya
dengan benar. (Tafsir Qurthubi, jilid 7: 817-818)
Tidak mempergunakannya dengan benar menurut
Wahbah Zuhaili yaitu menggunakan akal dan indra hanya
untuk kepentingan dunia semata tidak untuk kepentingan
agama (akhirat). Hati mereka tidak digunakan untuk
memahami segala hal untuk mewujudkan kemaslahatan
agama. Dan mata dan telinganya tidak digunakan untuk
melihat dan mendengar hal-hal yang dapat mewujudkan
kemaslahatan. (Tafsir al-Munir, jilid 5: 169-170)
Tersesat Layaknya Binatang Ternak
Orang-orang yang tidak bisa memanfaatkan hati, mata
dan telinganya dengan benar oleh Allah diibaratkan laksana
bintang ternak, yaitu dalam redaksi ‫ُأوَٰل ِئَك َك اَأْلْنَع اِم‬.
Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3: 490)
menjelaskan yang dimaksud layaknya binatang ternak adalah
orang-orang yang diserukan kepada mereka untuk beriman
sama halnya binatang ternak yang diseru oleh sang
penggembala, dimana mereka hanya mendengar suaranya
saja, namun tidak memahami apa maknanya sama sekali.
Imam Qurthubi menyebutnya seperti binatang karena
mereka tidak mencari pahala dari suatu perbuatan baik,
dimana pikiran mereka hanya perihal makan dan minum saja
atau hanya perut yang mereka pentingkan.

143
Bukankah manusia diciptakan dengan ciptakan paling
sempurna? Mengapa manusia tidak menggunakannya dengan
sebaik-baiknya? Apakah sebenarnya mereka sedang lupa?
Siapa Sebenarnya Orang Lebih Tersesat?
Ada yang lebih parah dari pada hanya sekedar
disamakan seperti binatang ternak. Siapakah mereka?
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa binatang ternak
terkadang masih bisa menuruti perintah sang penggembala
meski tak paham maksud ucapannya, namun yang dimaksud
lebih sesat disini adalah orang kafir yaitu orang yang
menyekutukan Allah. Menganggap ada tuhan lain yang lebih
hebat, dan berkuasa.
Imam Qurthubi memperjelas bahwa ‫وَٰل ِئ َك ُهُم اْلَغ اِفُلوَن‬
orang-orang yang lebih sesat adalah orang-orang yang lalai,
yaitu orang orang yang tidak mau bertadabbur dan menolak
adanya surga serta neraka.
Sampai-sampai Ibnu katsir mengibaratkan bahwa
orang yang taat kepada Allah lebih mulia dari para Malaikat
yang taat, namun sebaliknya, yang kufur kepada Allah, itu
lebih hina dari pada binatang, lebih sesat atau bisa
dikatakan kalau binatang lebih sempurna darinya.
Lantas apakah ada ancamannya untuk orang-orang lalai
ini?
Ancaman Bagi Para Manusia dan Jin

144
Ayat diatas selain memang menunjukan 3 bekal agar
manusia tidak tersesat, sekaligus juga ancaman bagi manusia
yang lupa akan 3 bekal tersebut. Tidak main-main dalam ayat
ini. Di ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah benar-benar
telah menyiapkan neraka Jahannam, yaitu neraka yang paling
pedih siksanya, untuk menyiksa orang-orang yang sesat.
Imam Syaukani menjelaskan bahwa ayat
‫ْأ‬
‫َو َلَقْد َذ َر َنا ِلَجَهَّنَم َك ِثيًرا ِم َن اْلِج ِّن َو اِإْل ْنِس‬
yaitu Allah benar-benar telah menciptakan neraka Jahannam
itu untuk menyiksa kebanyakan makhluq (jin dan manusia)
atas keadilan-Nya dan sesuai dengan amal perbuatan hidup
di dunia, kebanyakan makhluq ini adalah mereka yang tidak
menggunakan hati, mata dan telinganya dengan benar.
(Tafsir Fathul Qadir, jilid 4: 323-324)
Dari penjelasan para ahli tafsir diatas mengenai ayat
tersebut. Jelas sudah bahwa ada 3 hal yang bisa kita
jadikan bekal agar kita tidak tersesat hidup didunia yaitu:
1) Hati 2) Mata dan 3) Telinga. Tidak sebatas itu saja
bahkan dengan 3 bekal ini jika digunakan dengan benar
harapannya akan mewujudkan kemaslahatan bagi umat
manusia.
Contohnya dalam kehidupan sosial adalah saat
seseorang melihat orang lain kelaparan, mendengar mereka
menjerit kesakitan menahan rasa lapar dan mengemis sesuap
nasi, pasti hati yang berfungsi dengan benar akan merasa
145
kasihan dan berupaya peduli memberikan uluran bantuan
karena tidak tega melihat sesamanya menderita.
Bukankah manusia makhluk sosial yang saling butuh
satu sama lain? Tidakkah hati, mata dan telinga kita
berfungsi dengan benar? Wallahu’Alam

146

Anda mungkin juga menyukai