Anda di halaman 1dari 25

Makalah

BIOGRAFI AL-GHAZALI DAN KRITIK DAN SERANGANNYA


TERHADAP KAUM FILOSOF SERTA PEMIKIRAN/AJARAN
TASAWUFNYA

Oleh:

Muslem Ilyas (2022530062)

(Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam)

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah..........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................................4
1.3. Tujuan Penulisan Makalah......................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................5
2.1. Biografi Imam Al- Ghazali......................................................................................5
2.2. Kritik Dan Serangannya Terhadap Kaum Filosof/filsuf.........................................9
2.3. Pemikiran / Ajaran Tasawufnya............................................................................11
1) Karya-karyanya Imam Al- Ghazali.......................................................................11
2) Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali....................................................................12
BAB III PENUTUP............................................................................................................18
3.1. Sesimpulan............................................................................................................18
3.2. Saran......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................21

i
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Makalah Karya Ilmiah dengan judul " Biografi
Al-Ghazali Dan Kritik Dan Serangannya Terhadap Kaum Filosof Serta Pemikiran / Ajaran
Tasawufnya." Makalah ini disusun dan buat untuk memenuhi syarat mata kulia Sejarah
Peradaban Islam pada Fakultas Manajemen Pendidikan Islam di IAIN Malikussaleh
Lhokseumawe. Disamping itu, penulisan ini juga bertujuan untuk memberikan
pengetahuan kepada pembaca. Makalah ini dapat diselesaikan semata karena penulis
menerima banyak bantuan dan dukungan. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:

1. (Bapak/Ibu) Ketua Jurusan Manajemen Pendidikan Islam IAIN Malikussaleh


Lhokseumawe, yang telah memberi dorongan semangat serta memotivasi penulis
untuk segera menyelesaikan makalah ilmiah ini.
2. (Bapak/Ibu) Pembimbing mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang selalu
memberikan bimbingan, waktu, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ilmiah ini.
3. Seluruh Teman seangkatan di Prodi MPI Serta berbagai pihak yang tidak mungkin
dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa makalah ilmiah ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang
bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati. Penulis berharap semoga
makalah ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Lhokseumawe, 03 Oktober 2022

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Al-Ghazali, yang nama lengkapnya adalah Abu Ḥamid Muḥammad bin Muḥammad
al- Ghazali, dilahirkan di Ṭūṣ, sebuah kota di Khurasan (dekat Masyhad sekarang), Persia,
pada tahun 450 H/1058 M. Dia mempunyai seorang saudara laki-laki bernama Aḥmad
yang tercatat sebagai sufi dan menulis buku dalam bahasa Persia. Ayahnya adalah seorang
penenun bulu (ghazzal) yang miskin. Menjelang akhir hayatnya, dia menitipkan kedua
anaknya itu kepada salah seorang sufi teman karibnya, dengan pesan agar keduanya
dididik dengan baik sampai harta peninggalannya habis. Pesan tersebut dilaksanakannya
dan setelah harta itu habis, mereka disarankan agar tetap menuntut ilmu sedapat-dapatnya.1
Mengenai riwayat pendidikan al-Ghazali ini secara singkat dapat dikemukakan
sebagai berikut. Mula-mula dia belajar kepada Aḥmad bin Muḥammad al-Razikani di Tus,
kemudian merantau ke Jurjan, di Tenggara Laut Kaspia, untuk melanjutkan belajar kepada
Abu Naṣr al-Isma’il. Setelah itu dia kembali lagi ke Ṭuṣ sebelum berhijrah ke Naisapur,
pada sekitar tahun 1077, untuk mempelajari Fiqh, Usul, Mantiq (Logika) dan Ilmu Kalam
kepada Diya’ al-Din alJuwaini, kepada Madrasah Niẓamiyah pada waktu itu, yang juga
dikenal sebagai Imām al-Ḥaramain. Dia belajar kepadanya sampai beliau wafat pada tahun
478 H/1085 M, dan daripadanya dia memperoleh gelar Baḥr al-Mughriq (laut yang
menenggelamkan) sebagai penghargaan atas kecerdasan otaknya dan kepandaiannya
berdiskusi.2
Tentang al-Juwaini, guru al-Ghazali, ini dapat dijelaskan bahwa dia adalah tokoh
Asy’ariyah di Naisapur yang terpaksa mengungsi ke Mekkah dan Madinah karena aliran
yang dianutnya, semenjak tahun 1053, dimusuhi oleh al-Kundurī, wazir Tughril Bek yang
berkuasa pada waktu itu. Dan setelah Tughril Bek ini meninggal, dan digantikan oleh Alp
Arsalan, al-Kunduri juga diganti oleh Nizam alMulk yang menganut mazhab teologi
Asy’ariyah dan mazhab Fiqh Syafi’i. Pada saat itulah al-Juwaini kembali dari Mekkah dan

1
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan M. Imam Aziz,
Jakarta: P3M, 1986, h. 6; W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim,
Jakarta: P3M, 1987, h. 138-139; dan Sulaimān Dunyā, “Ijmāl ‘an Ḥayāti al- Ghazali al-Fikriyah”, dalam al-
Ghazali, Taḥāfut alFalāsifah, disunting oleh Sulaimān Dunyā, Qāhirah: Dār al-Ma’ārif bi Miṣra, 1966, h. 49.
2
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep, h. 7-8; H.A.R. Gibb & J.H. Kraemers, Shorter Encyclopedia of
Islam, Leiden: E.J. Brill, 1953, h. 111; dan W. Montgomery Watt, The Majesty that Was Islam, The Islamic
World, 661-1100, London: Sedgwick & Jackson, 1974, h. 251-252.

1
2

Madinah, dan karena itu pula, dia dikenal sebagai Imām al-Ḥaramain.3 Dari sini jelas
bahwa untuk pertama kalinya al-Ghazali mengenal mazhab teologi Asy’ariyah dan mazhab
Fiqh Syafi’i dari al-Juwaini ini. Sepeninggal gurunya yang terakhir ini, al-Ghazali
berhijrah ke al-Mu’askar, sampai akhirnya menjadi guru pada Madrasah Niẓamiyyah di
Baghdad selama empat tahun (484 H/1091 M – 488 H/1095 M). Sambil mengajar, al-
Ghazali mulai menulis buku-buku, diantaranya adalah: al-Basiṭ, al-Wasiṭ, al-Wajiz, al-
Khulasah fi al-‘Ilm al-Fiqh, al-Munqil fi ‘Ilm al-Jidal, Ma’khad al-Khilaf, Lubab al-Naẓar,
Taḥsin al-Ma’akhiz, dan al-Mabadi’ wal Ghayah fī Fann al-Khilaf.4
Satu hal yang barangkali istimewa dalam karir intelektual al-Ghazali ini adalah
bahwa pada saat yang sama dia mampu mempelajari sendiri dan menguasai filsafat al-
Farabi dan Ibn Sina suatu prestasi yang belum pernah dicapai oleh teolog manapun pada
saat itu, Maqaṣid al-Falasifah, yang sejak abad pertengahan telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan juga sangat berpengaruh. Kemudian dia menulis kritik terhadap
pemikiran-pemikiran filosofik mereka dalam buku lainnya, Taḥāfut al-Falasifah.
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan
kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam
hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah
moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran
terdapat banyak ayat yang mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela,
cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim
sebagai kesempurnaan iman. Al-Quran sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah
suri teladan yang terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan
keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur.5
Perkembangan pemikiran filsafat ikut memberi andil cukup besar untuk hidupnya
pemikiran tasawuf dalam dunia muslim. Para ulama tasawuf akhirnya dapat menyuguhkan
konsep religio-moral yang disebut maqamat (stasiun-stasiun) yang bersifat psikognostik
yang harus dilewati oleh para sufi.6

3
W. Montgomery Watt, The Majesty, h. 251-252.
4
Fathiyah Hasan Sulaiman, 2001, Konsep ilmu filsafat, h. 8.
5
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 10-11.
6
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf: Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h. 7-8.
3

Pemikiran tokoh sufi dalam kajian tasawuf sangat beragam bentuknya dan masing-
masing sufi memiliki kekhasan yang berbeda-beda walapun muaranya sama yaitu menuju
al-Haq (Allah Swt). Semisal Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al-wujud-nya, al-Halaj
dengan konsep hulul,Rabiah al-Adawiyah dengan konsep mahabbahdan masih banyak lagi.
Selain yang telah disebutkan, ada seorang tokoh sufi yang sangat cemerlang pemikirannya
dan terkenal yaitu Imam al-Ghazali yang memiliki julukan Hujjatul Islam. Imam al-
Ghazali adalah tokoh sufi yang terkenal pada abad ke-5. AlGhazali menempuh dua masa
kehidupan yang berbeda. Pertama, ketika ia dalam kondisi penuh semangat dalam
menimba ilmu, mengajar dan penuh gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di
Perguruan Nizamiyah yang senantiasa diliputi oleh harta duniawi. Kedua, masa syakk
(ragu) terhadap kebenaran ilmu yang didapatnya dan terhadap kedudukan yang
dipegangnya. Akhirnya keraguan itu terobati dengan pengamalan tasawufnya. Hal ini
terjadi di akhir masa pertamanya dan merupakan masa peralihannya. Maka bagian kedua
dari kehidupannya dijalani dengan ketenteraman dan keheningan tasawuf. Pada masa
inilah ia banyak menulis tentang tasawuf.7
Al-Ghazali dalam sejarah Islam dikenal sebagai orang yang pada mulanya syakk
(ragu-ragu) terhadap segala-galanya. Perasaan syakk ini kelihatannya timbul dalam dirinya
dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperolehnya dari alJuwaini. Sebagaimana
diketahui dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Dari
paparan sekilas tersebut di atas, maka artikel ini akan membahas tentang pemikiran
tasawuf Imam al-Ghazali Serta sanggahan-sanggahan baik itu kritikan maupun masukan
terkait filsuf pada masa itu. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sosio-historis
pada masa Imam al-Ghazali, biografi Imam al-Ghazali, karya-karya Imam al-Ghazali,
pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali, dan terakhir bagaimana pengaruh tasawuf Imam al-
Ghazali serta sanggahan dan kritikan. Pembahasan ini perlu dikaji karena al-Ghazali
sebagai salah satu tokoh di bidang tasawuf memiliki segudang ilmu keislaman. Beliau
dapat menggabungkan antara syariat dan hakikat sehingga pemikirannya dapat diterima
oleh kalangan sunni. Inilah salah satu kejeniusan dan kecerdasan al-Ghazali dalam bidang
tasawuf.

1.2. Rumusan Masalah

7
Ahmad Zaini , Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali, STAIN Kudus, Esoterik: Jurnal
Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016, h. 146-159.
4

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini:


1. Bagaimana biografi imam Al-Ghazali?
2. Apa saja kritikan dan serangannya terhadap kaum filsuf pada masa itu?
3. Bagaimana pemikiran/ajaran tasawufnya?
1.3. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan sejarah biografi imam Al-Ghazali!
2. Untuk mengetahui kritikan serta serangan beliau terhadap kaum filsuf pada masa
itu!
3. Untuk mendeskripsikan serta menjelaskan pemikiran-pemikiran dan ajaran tasawuf
menurut imam Al-Ghazali!
1.4. Manfaat Penulisan Makalah
Adapun manfaat penulisan makalah ini untuk mengetahui fase Tasawuf dalam
Islam yang melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang
dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu
asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas
yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup
sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan
iman.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi Imam Al- Ghazali


Apabila diurut dari rentang perjalanan sejarah Islam, maka kendatipun masa hidup
al-Ghazali masih berada dalam periode klasik (650-1250 M), namun sudah masuk ke
dalam masa kemunduran atau jelasnya masa disintegrasi (1000-1250 M). Secara politis
kekuatan pemerintahan Islam yang ketika itu di bawah kekuatan Dinasti Abbasiyah sudah
sangat lemah dan mundur karena terjadinya konflikkonflik internal yang berkepanjangan
dan tak kunjung terselesaikan8. Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah sebenarnya
banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti Abbasiyah.
Beberapa gerakan politik yang merongrong pemerintah dan mengganggu stabilitas
muncul di mana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari
luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. Keberhasilan penguasa Abbasiyah
mengatasi gejolak dalam negeri ini makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka
sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan betul-betul berada di tangan khalifah.
Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu
para khalifah sangat lemah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain9
Berpuluh-puluh tahun sebelum kelahiran al-Ghazali, para khalifah Abbasiyah sudah
menjadi boneka di tangan para tentara pengawal dan dominasi Dinasti Buwaihi sejenis
negara federal atas Bagdad. Kemunduran dan kelemahan tersebut terus berlangsung di
masa kehidupan al-Ghazali bahkan sampai masa kehancuran Bagdad di tangan Hulagu
Khan, tahun 1258 M. di samping kerajaan Abbasiyah mengalami masa disintegrasi di
bidang politik dan kebudayaan mulai dari pemberontakan yang dilancarkan kaum Zanj,
Qaramitah dan Hasysyasin sampai pada intrik-intrik yang dilancarkan oleh Bani Buwaihi
yang berfaham Syiah pula.
Misalnya kaum Qaramitah dapat mengacau keamanan dan ketenangan masyarakat
dengan jalan menyerang Bagdad dan Mekkah, bahkan berhasil membawa lari Hajar al-
Aswad dan sempat menguasainya selama 2 tahun. Demikian pula gerakan kaum
Hasysyasin yang berpusat di Alamut berhasil mengusik keamanan dan ketenangan umat
melalui aksi penculikan dan pembunuhan terdapat para pembesar kerajaan yang memusuhi

8
Syukur,Amin, dan Masharudin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan LEMBKOTA Semarang. h. 119.
9
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 61.

5
6

mereka. Di antara para pembesar kerajaan yang berhasil diculik dan dibunuh ketika al-
Ghazali masih hidup adalah Perdana Menteri Nizam al-Mulk dari Dinasti Saljuk di Tahun
1092 M.10
Dinasti Saljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah
Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijriah mereka pergi ke arah barat menuju
Transoxiana dan Khurasan. Ketika itu mereka belum bersatu. Mereka dipersatukan oleh
Saljuk bin Tuqaq. Karena itu, mereka disebut orangorang Saljuk. Pada mulanya Saljuk bin
Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut
Arab dan laut Kaspia. Saljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Saljuk sangat
besar sehingga Raja Bequ khawatir kedudukannya terancam. Raja bermaksud
menyingkirkan Saljuk. Namun, sebelum rencan itu terlaksana, Saljuk mengetahuinya. Ia
tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia
bermigrasi ke daerah Jand atau disebut juga wama wara`a an-nahr, sebuah daerah muslim
di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun).11
Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-
Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad
kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang pemikir besar Islam yang
dianugerahi gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan
agama). Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir
505 H (19 Desember 1111 M). Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus,
kemudian meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai
yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H/1085 M.12
Ayah al-Ghazali adalah seorang wara’ yang hanya makan dari usaha tangannya
sendiri. Pekerjaannnya ialah sebagai pemintal dan penjual wol. Pada waktu-waktu
senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh agama dan para ahli fikih
di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk mendengarkan nasihatnasihatnya.
Tampaknya tentang pribadi dan sifat-sifat ayah al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang,
kecuali sikap pengabdiannya yang mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu
pengetahuan. Sang ayah wafat ketika al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad, masih
dalam usia anak-anak. Ketika hendak wafat, sang ayah berwasiat kepada salah seorang

10
Syukur,Amin, dan Masharudin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan LEMBKOTA Semarang. h. 119-120.
11
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 72-73.
12
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. h. 143-144.
7

teman dekatnya dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia
berkata kepadanya, “Saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap
agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini maka didiklah keduanya dan
pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.”13
Di masa kanak-kanak Imam al-Ghazali belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-
Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia
kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya
seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan
kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal tersebut merebut tas Imam al-
Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi.
Kemudian Imam al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikan tasnya,
karena beliau ingin mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam
buku itu. Kawanan perampok merasa iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka
mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya. Diceritakan pula setelah itu beliau menjadi rajin
sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di dalamnya dan
berusaha mengamalkannya. Bahkan, beliau menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat khusus
yang aman.14
Pengetahuan-pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak cukup memadai untuk
membekali al-Ghazali. Untuk itu, ia kemudian pergi ke Naisabur, salah satu dari sekian
kota ilmu pengetahuan yang terkenal pada zamannya. Di sini, ia belajar ilmu-ilmu yang
populer pada saat itu, seperti belajar tentang mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam dan ushul,
filsafat, logika, dan ilmu-ilmu agama yang lainnya kepada Imam al-Haramain Abu al-
Ma’ali al-Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ariah yang paling terkenal pada masa itu dan
profesor terpandang di Perguruan Nizamiyah di Naisabur.15
Karena kecerdasan yang dimilikinya, semua ilmu tersebut dapat dikuasai dalam
waktu yang singkat. Bahkan, al-Ghazali sempat menampilkan karya perdananya dalam
bidang ilmu fikih, yaitu Mankhul fi ‘Ilmi al-Ushul. Dengan demikian, semakin lengkaplah
ilmu yang diterimanya selama di Naisabur. Boleh dikatakan, saat itu al-Ghazali telah
tampak sebagai figur intelektual yang menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di
sekolah Nizamiyah ini pula ia diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Kemudian

13
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. h. 144.
14
Iqbal, Abu Muhammad, 2015, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-Gagasan Besar
Para Ilmuwan Muslim, Yogy: Pustaka Pelajar, h. 89.
15
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. h. 145.
8

setelah gurunya, alJuwaini, wafat 478 H al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan berhubungan
baik dengan Nizam al-Mulk, Perdana Menteri Sultan Bani Saljuk, yang kemudian
mengangkatnya menjadi guru besar di Perguruan Nizamiyah Bagdad. Pengangkatannya ini
juga didasarkan atas reputasi ilmiahnya yang begitu hebat.16
Di Kota Bagdad ini, nama al-Ghazali semakin populer, halaqah (kelompok)
pengajiannya semakin luas. Di kota ini pula ia mulai berpolemik terutama dengan
golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode ini pula ia menderita
krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-syak), yang oleh orang Barat dikenal
dengan skepticism, yaitu krisis yang menyangsikan terhadap semua ma’rifah, baik yang
bersifat empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan
sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan
yang disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus.
Di masjid Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan
sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098M, ia menuju
Palestina berdoa di samping Kubur Nabi Ibrahim a.s. kemudian, ia berangkat ke Mekkah
dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah
Muhammad saw. akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.17
Selesai ibadah haji, tahun 489 H, dia pergi ke Syam serta tinggal di Damaskus,
mengajar di ruangan sebelah barat masjid kota itu. Dari situ lalu dia pergi ke Baitul Maqdis
untuk beribadah. Diriwayatkan bahwa dari sana dia terus pergi ke Mesir dan untuk
beberapa lama tinggal di Iskandariah dan kemudian dia kembali ke Thus untuk menulis
karya-karyanya. Menurut Ibnu Khallikan, “Dia diminta untuk kembali ke Naisabur dan
mengajar kembali di Perguruan Nizamiyah. Setelah berkalikali diminta, dia lalu
meluluskan permintaan itu. Namun dia kembali meninggalkan perguruan tersebut dan
kembali ke rumahnya di Thus, mendirikan khanaqah bagi para sufi serta madrasah bagi
para penuntut ilmunya, serta menghabiskan waktunya untuk berbuat kebajikan, seperti
mengkhatamkan al-Quran, bertemu dengan para sufi dan mengajar, sampai dia menghadap
Tuhannya.”18

16
Zar, Sirajuddin, 2014, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
h. 160-161
17
Ibid, h. 161
18
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 153.
9

Imam al-Ghazali memiliki daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelari
Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam
yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan
mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.
Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya sufi ternama
seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang
telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu
tinggi.19

2.2. Kritik Dan Serangannya Terhadap Kaum Filosof/filsuf


Kritik terhadap Para Filosof Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa kritik
al-Ghazali terhadap para filosof terdiri dari atau menyangkut 20 permasalahan. Secara
rinci ke-20 masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pendapat tentang keazalian atau ke-qudūm-an alam.20
2. Pendapat tentang kekekalan alam.21
3. Kerancuan pemikiran tentang Allah sebagai pencipta alam dan alam sebagai ciptaan-
Nya.22
4. Ketidakmampuan mereka untuk membuktikan adanya pencipta alam.23
5. Ketidakmampuan mereka untuk menunjukkan ketidakmungkinan adanya dua tuhan.24
6. Pendapat mereka tentang peniadaan sifat Allah.25
7. Pendapat tentang Zat Pertama (Tuhan) yang tidak dapat dibagi menjadi jins(jenis) dan
faṣl (diferensia).26
8. Pendapat tentang Tuhan yang tidak memiliki māhiyah (hakekat).27

19
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf: Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h. 164-
165
20
Ghazālī, 1966, Tahatufut al-Falāsifah, disunting oleh disunting oleh Sulaimān Dunyā, Qāhirah:
Dār al Ma’ārif bi Miṣra,h. 77-123.
21
Ibid., h. 124-133.
22
Ibid., h. 134-154.
23
24Ibid., h. 155-159.
24
Ibid., h. 160-171.
25
Ibid., h. 172-183.
26
Ibid., h. 184-189.
27
Ibid., h. 190-192.
10

9. Ketidakmampuan mereka untuk menjelaskan bahwa Tuhan tidak memilikitubuh


(jism).28
10. Ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa alam mempunyai pencipta.29
11. Ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa Tuhan mengetahui yang ada di luar
diri-Nya.30
12. Ketidakmampuan mereka membuktikan bahwa Tuhan mengetahui esensi-Nya
sendiri.31
13. Pendapat mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui yang rinci (juz’iyat).32
14. Pendapat mereka bahwa langit adalah bintang yang bergerak dengan kemauan.33
15. Pendapat mereka tentang adanya tujuan yang menggerakkan langit.34
16. Pendapat mereka bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua juz’iyat.35
17. Pendapat mereka tentang ketidakmungkinan terjadinya peristiwa yang luar biasa.36
18. Pendapat mereka bahwa jiwa manusia merupakan substansi yang terdiri sendiri, bukan
jism bukan ‘arḍ (accident).37
19. Pendapat mereka tentang ketidakmungkinan hancurnya jiwajiwa manusia.38
20. Pendapat mereka tentang tidak adanya kebangkitan jasmani, beserta kesenangan dan
kesengsaraan di surga dan neraka dengan kesenangan dan siksa jasmaniah.39
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya bahwa 17 masalah diantaranya dapat
menyebabkan orang menjadi mubtadi’ (melakukan bidah), sedangkan 3 masalah lainnya
dapat menyebabkan orang menjadi kafir. Yang disebut belakangan adalah:
1. Pendapat (masalah ke-1) tentang keazalian atau ke-qudum-an alam.
2. Pendapat (masalah ke-13) bahwa Tuhan tidak mengetahui yang rinci (juz’iyat).
3. Pendapat (masalah ke-20) tentang tidak adanya kebangkitan jasmani.40

28
Ghazālī, 1966, Tahatufut al-Falāsifah, disunting oleh disunting oleh Sulaimān Dunyā, Qāhirah:
Dār al Ma’ārif bi Miṣra,h. 193-195.
29
Ibid., h. 196-197.
30
Ibid., h. 197-202.
31
Ibid., h. 203-205.
32
Ibid., h. 206-217.
33
Ibid., h. 218-221.
34
Ibid., h. 222-225.
35
Ibid., h. 226-233.
36
Ibid., h. 239-245.
37
Ibid., h. 252-273.
38
Ibid., h. 274-281.
39
Ibid., h. 282-306.
40
Ibid., h. 307-309.
11

Sedangkan pendapat-pendapat lainnya, menurut al-Ghazali, ada kemiripannya


dengan mazhab Mu’tazilah tetapi dia tidak berani mengkafirkannya, melainkan hanya
menyebut ahl al-bida’.41
Dengan demikian sebenarnya sasaran utama kritik al-Ghazali bukanlah filsafat
secara in toto, melainkan beberapa aspek saja dari cabang filsafat, yaitu metafisika, yang
dianggapnya berlawanan sama sekali dengan Islam. Walaupun kritiknya ini bisa dikatakan
sangat keras, ternyata ia tidak menghambat perkembang filsafat Islam pada masa-masa
sesudahnya, kecuali di kalangan sebagian kecil umat Muslim Sunni. Henri Corbin dari
Prancis dalam bukunya Histoire de la Philosophie Islamique, sebagaimana dikutip oleh
Harun Nasution, menyatakan bahwa “salahlah pendapat yang mengatakan bahwa falsafah
sesudah al-Ghazali, berpindah ke dunia Islam bagian Barat; demikian pula salah pendapat
yang mengatakan bahwa filsafat tidak bangkit sesudah mendapat pukulan dari al-Ghazali.
Dia tetap tinggal di dunia Islam bagian Timur, dan demikian kecil pengaruh pukulan itu
sehingga masih terdapat pengikut-pengikut Ibn Sīnā sampai hari ini.Karya-karya besar
yang dihasilkan sekolah Isfahan menjadi buktinya”.42

2.3. Pemikiran / Ajaran Tasawufnya


1) Karya-karyanya Imam Al- Ghazali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat
produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negara di
Mu’askar maupun ketika sebagai profesor di Bagdad, baik sewaktu skeptis di Naisabur
maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya
dan sampai akhirnya hayatnya, al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang.43
Dijelaskan dalam pengantar buku karya Imam al-Ghazali yang berjudul
Mukhtashar Ihya Ulumuddinbahwa As-Subki di dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah
menyebutkan bahwa karangan Imam al-Ghazali sebanyak 58 karangan. Thasi Kubra Zadeh
di dalam Miftah as-Sa’adah wa Misbah as-Siyadah menyebutkan bahwa karya-karyanya
mencapai 80 buah. Ia berkata, “Buku-buku dan risalah-risalahnya tidak terhitung
jumlahnya dan tidak mudah bagi seseorang mengetahui juduljudul seluruh karyanya.

41
Ghazālī, 1966, Tahatufut al-Falāsifah, disunting oleh disunting oleh Sulaimān Dunyā, Qāhirah:
Dār al Ma’ārif bi Miṣra,h. 309.
42
Harun Nasution, “al-Ghazali dan Filsafat”, makalah dalam Simposium tentang al-Ghazali di
Jakarta, 26 Januari 1985, h. 9.
43
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, h. 151.
12

Hingga dikatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan. Ini memang sulit dipercaya. Tetapi,
siapa yang mengenal dirinya, kemungkinan ia akan percaya.”44
Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy bahwa penelitian paling
akhir tentang jumlah buku yang dikarang oleh al-Ghazali adalah yang dilakukan oleh
Abdurrahman al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul
Muallafat al-Ghazali.Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab
yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. 45 Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72 buah
kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yangasli terdiri atas 22
buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31
buah kitab. Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali tersebut meliputi berbagai bidang ilmu
yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir alQuran, ilmu kalam, ushul fikih,
tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-lain.Berbeda dengan pernyataan di atas, Badawi
mengatakan bahwa jumlah karangan al-Ghazali ada 47 buah. Di antara judul-judul buku
tersebut adalah:
1. Ihya Ulum ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama).
2. Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
3. Al-Iqtishad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam).
4. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
5. Jawahir al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Quran).
6. Mizan al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan).
7. Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (tentang arti namanama Tuhan)
8. Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan Zindiq).
9. Al-Qisthas al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

2) Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali


Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya memilih
jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh
lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai
buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat
44
Al-Gazali, 1997, Mutiara Ihya Ulumuddin, Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dari Mukhtashar
Ihya Ulumuddin. Bandung: Mizan, h. 10-11.
45
Dedi Supriyadi, 2013, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, hal. 152-153.
13

karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata


pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan
belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian
tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman
maupun penderitaan yang riil.46
Jalan (at-Thariq) Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus
dilalui oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan
tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar.
Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan tindakan untuk
bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa. Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan
ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk
berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang
melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan
jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar. Ketiga, kefakiran. Yaitu berusaha
untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi
itu sedang memerlukan sesuatu, seperti makanan, namun makanan yang diberikan
kepadanya harus diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan
halal atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya, kendatipun
makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat motivasi orang yang
memberinya. Keempat, zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan
kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Kelima, tawakal.
Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan
Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun
demikian, harus pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha pengasih, tak pilih
kasih kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya
dengan sepenuh hati.Dalam penyerahan diri kepada Allah swt.seorang sufi merasakan
dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri bagaikan
mayat.Keenam,ma’rifat. Yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih

46
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 165.
14

bermutu daripada pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat inilah yang kemudian


menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan).47
Seorang murid yang menempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali, harus konsisten
menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam hari. Hal ini
semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat menyaksikan Tuhannya.
Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali adalah untuk mengosongkan kalbu dari
berbagai pesona duniawi yang menghambat dalam jalan para sufi. Sebab pelaksanaan jalan
para sufi tidak lain ialah penaklukan hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan
menuju Allah kecuali tabiattabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi.48
Ma’rifah Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tahun). Ma’rifah
merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang
ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti
melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang memancar dari nyala api tersebut.
Ma’rifah secara etimologis, adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam
terminologi kaum sufi, ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan lagi di
dalamnya ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah swt. dan sifat-sifat-
Nya. Jika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan ma’rifahZat dan apa pula maksud dari
ma’rifah sifat?” Maka jawabnya: “ma’rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya
keagungan yang bersemayan dalam diri-Nya dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
Adapun ma’rifahsifat, adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha Hidup,
Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala
sifat kemahasempurna lainnya.”49
Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah Swt.
karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-Nya. Tandatanda
ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’,
lawami’ dan barq. Kata-kata tersebut masing-masing sinonim yang berarti kilatan cahaya
dan kecemerlangan. Beda antara al-barq dan al-wajd, adalah al-barq lebih merupakan
proses memasuki jalan tauhid,sedangkan al-wajd (perasaan) adalah yang menyertai di
dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah daging maka jadilah zauq (rasa sukma).50

47
Tim Penyusun. 2002. Ensiklopedi IslamJilid 2, 4, 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, h. 27-28
48
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 170.
49
Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta: Pustaka Sufi, h. 221.
50
Ibid., h. 236.
15

Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukannya perasaan
dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak
pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri dada seorang manusia, tapi adalah
percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi
belum mampu memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan
cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya.
Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas
ilmu. Menurutnya lagi, yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.
Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang
justru membuat kalbu berlinang dan cemerlang.51
Tujuan-tujuan pengetahuan, menurut al-Ghazali adalah moral yang luhur, cinta
pada Allah, fana di dalam-Nya dan kebahagiaan. Karena itu, menurutnya pengetahuan
diarahkan pada tujuan-tujuan moral, sebab ia tergantung dari kebersihan dan kebeningan
kalbu. Dan pengetahuan adalah tanda-tanda petunjuk dan setiap kali pengetahuan
bertambah, moral luhur serta kebeningan kalbu pun semakin meningkat. Cinta kepada
Allah dipandang al-Ghazali sebagai buah pengetahuan. Sebab tidak terbayangkan adanya
cinta kecuali adanya pengetahuan serta pemahaman, karena seseorang tidak mungkin jatuh
cinta kecuali pada sesuatu yang telah dikenalinya. Dan tidak ada sesuatu yang lebih layak
dicintai yang selain Allah. Karena itu, barang siapa mencintai yang selain Allah, jika bukan
karena dinisbatkan kepada Allah, hal itu timbul karena kebodohan-kebodohan dan
kekurangtahuannya terhadap Allah.52
Tingkatan Manusia Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu
sebagai berikut: Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua,
kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga,
kaum ahli debat (ahl al-jadl).53 Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali
tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan
menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk
(almauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan
sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap mematahkan
argumen-argumen (al-mujadalah).
51
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 171.
52
Ibit., h. 175.
53
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras, h. 137.
16

Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini


membagi manusia ke adalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya
tangkapnya kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam.
Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak
selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya berfikir masing-masing.
Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, sebaliknya, membaca apa yang
tersirat.54
Kebahagiaan Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan
para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan ini al-Ghazali
mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia al-Sa’adah. Di samping itu teori
kebahagiaan ini juga telah dikemukakannya secara terinci dalam karyanya Ihya Ulum al-
Din.55 Menurut al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia
menjelaskan bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya melihatnya
bagaikan begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Anda pun
niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan juga
sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, hal ini mustahil tercapai kecuali
dengan ilmu tersebut. Dan yang paling tinggi peringkatnya, sebagai hak umat manusia
adalah kebahagiaan abadi.
Sementara yang paling baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang
mengantarnya kepada kebahagiaan tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai
dengan ilmu cara beramal. Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu.
Teori kebahagiaan, menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa psikologis dan
dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari
semacam kelezatan atau kebahagiaan.56 Lanjut al-Ghazali bahwa segala sesuatu
memilikirasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa nikmat akan peroleh bila ia melakukan
semua yang diperintahkan oleh tabiatnya. Tabiat segala sesuatu adalah semua yang tercipta
untuknya.Kenikmatan mata pada gambar-gambar indah, kenikmatan telingga pada bunyi-
bunyi yang merdu dan demikian semua anggota badan. Kenikamatan hati hanya dirasakan
ketika mengetahui Allah (ma’rifah Allah), sebab ia diciptakan untuk melakukan hal itu.
Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia akan berbahagia,
54
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras, h. 188.
55
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung:
Pustaka. h. 182.
56
Ibid., h. 182-183.
17

seperti permainan catur, ketika mengetahuinya ia pun senang, jika ia dijauhkan dari
permainan itu, maka ia tak akan meninggalkannya dan tak akan sabar untuk kembali
memainkannya. Begitu juga mereka yang telah sampai pada ma’rifah Allah, pun merasa
senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah ma’rifat,
setiap kali ma’rifat bertambah besar, maka nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya,
ketika manusia mengetahui sang menteri, maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang
raja, maka kebahagiaannya tertentu besar lagi.57
Tak ada satu eksistensi pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt., sebab
kemuliaan yang dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua keajaiban alam
adalah karya-Nya, ada pengetahuan (ma’rifah) yang lebih mulia selain pengetahuan
tentang-Nya, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat ma’rifatNya, tak ada pemandangan
indah yang melebihi hadirat-Nya. Semua nikmat dari nafsu duniawi, tergantung pada jiwa,
ia akan berakhir bersama kematian, sedang pengetahuan (ma’rifah) tentang ketuhanan
tergantung pada hati, ia tidak lenyap bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan
bahkan kenikmatannya akan lebih banyak, cahayanya lebih besar, karena ia keluar dari
rahim kegelapan manuju alam cahaya.58

57
Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta: Pustaka Sufi, h. 118-119.
58
Ibid., h. 119.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan
kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam
hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah
moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran
terdapat banyak ayat yang mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela,
cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim
sebagai kesempurnaan iman. Selanjutnya dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti
dari pemikiran al-Ghazali adalah sebagai berikut:
1. tentang jenjang (maqamat) menurut al-Ghazalai yang harus dilalui oleh seorang
calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud,tawakal, dan makrifat.
Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan).
Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tahun). Ma’rifah merupakan
hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba yang ada
akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti
melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang memancar dari nyala api
tersebut. Kedua, sarana ma’rifat seorang sufi menurut beliau adalah kalbu,
bukannya perasaan dan bukan pula akal budi.
2. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian kiri dada seorang manusia, tapi adalah percikan
rohaniah ke-Tuhan-an yang merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi
belum mampu memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali
bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat
di dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Ketiga, tentang manusia al-Ghazali membagi
manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:pertama, kaum awam,
yang cara berfikirnya sederhana sekali.
3. kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam.Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Adapun tentang kebahagiaan,
alGhazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi,

18
19

sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Dan keempat, melalui pendekatan


sufistik, alGhazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber fundamental
dan historis serta memberikan suatu tempat kehidupan emosional keagamaan
(esoterik) dalam sistemnya.

3.2. Saran

Adapun saran terkait topik makalah ini sebaiknya untuk dibuat dalam bentuk dua
pembahasan topik. Pertama terkait topik biografi imam Al-Ghazali terkait ia lahir dimana
besar dimana hingga ia belajar sampai ia wafat. Kedua, terkait kritik dan serangan kepada
kaum filsuf serta pemikiran dan ajaran tasawufnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zaini , 2016, Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali , STAIN Kudus, Esoterik:
Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 (1), h. 146-159.
Ghazali Munir, 2014 , KRITIK AL-GHAZALI TERHADAP PARA FILOSOF, Jurnal:
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang TEOLOGIA, Vol, 25
(1), h. 1-16.
Ahmad Zaini , Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali, STAIN Kudus, Esoterik: Jurnal
Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016, h. 146-159.
Al-Ghazali, 1997, Mutiara Ihya Ulumuddin, Diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan dari
Mukhtashar Ihya Ulumuddin. Bandung: Mizan, h. 10-11.
Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta: Pustaka Sufi, h. 221.
Ibid., h. 118-119.
Ibid., h. 119.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar
tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ila al-
Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka. h. 10-11.
Ibid.,. h. 153.
Ibid., h. 165
Ibid., h. 170.
Ibid., h. 171.
Ibid., h. 175.
Ibid., h. 182.
Dedi Supriyadi, 2013, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, hal. 152-153.
Fathiyah Hasan Sulaiman, 2001, Konsep ilmu filsafat, Jakarta: Pustaka Media, h. 8.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan M.
Imam Aziz, Jakarta: P3M, 1986, h. 6; W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi
dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, Jakarta: P3M, 1987, h. 138-139; dan
Sulaimān Dunyā, “Ijmāl ‘an Ḥayāti Al-Ghazali al-Fikriyah”, dalam Al-Ghazali,
Taḥāfut alFalāsifah, disunting oleh Sulaimān Dunyā, Qāhirah: Dār al-Ma’ārif bi
Miṣra, 1966, h. 49.
Ibid., h. 251-252.
Ghazali, 1966, Tahatufut al-Falāsifah, disunting oleh disunting oleh Sulaimān Dunyā,
Qāhirah: Dār al Ma’ārif bi Miṣra,h. 77-123.

20
Ibid., h. 193-195.
Ibid., h. 309.
Ibid., h. 124-133.
Ibid., h. 134-154.
Ibid., h. 155-159.
Ibid., h. 160-171.
Ibid., h. 172-183.
Ibid., h. 182-183.
Ibid., h. 184-189.
Ibid., h. 190-192.
Ibid., h. 196-197.
Ibid., h. 197-202.
Ibid., h. 203-205.
Ibid., h. 206-217.
Ibid., h. 218-221.
Ibid., h. 222-225.
Ibid., h. 226-233.
Ibid., h. 236.
Ibid., h. 239-245.
Ibid., h. 252-273.
Ibid., h. 274-281.
Ibid., h. 282-306.
Ibid., h. 307-309.
Harun Nasution, “al-Ghazali dan Filsafat”, makalah dalam Simposium tentang al-Ghazali
di Jakarta, 26 Januari 1985, h. 9.
Iqbal, Abu Muhammad, 2015, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-Gagasan Besar Para
Ilmuwan Muslim, Yogy: Pustaka Pelajar, h. 89.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras, h. 137.
Ibid., h. 188.
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar, 2013, Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi),
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, h. 7-8.
Ibid., h. 164-165
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. h. 143-144
Ibid., h. 144.
Ibid., 145.
Ibid., h. 151.
Syukur,Amin, dan Masharudin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar dan LEMBKOTA Semarang. h. 119.
Ibid., h. 119-120.
Tim Penyusun. 2002. Ensiklopedi IslamJilid 2, 4, 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, h.
27-28
W. Montgomery Watt, The Majesty, h. 251-252.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 61.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. h. 72-73
Zar, Sirajuddin, 2014, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, h. 160-161
Ibid, h. 161

Anda mungkin juga menyukai