Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

BIOGRAFI IMAM AL-GAZALI

Dosen Pengampu : Akhmad Kharis Kurniawan, M.Pd.

Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Filsafat Islam

Disusun oleh : Kelompok IV

1. Melianna Sari (21.01.01.0089)


2. Susyana (21.01.01.0084)
3. Juwariyah (21.01.01.0076)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI NIDA EL-ADABI
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah, atas Rahmat dan


Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang Biografi Imam
Al-Gazali tepat waktu. Shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah SAW,
yang syafaatnya kita natikan kelak.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Dasar-dasar Pendidikan.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta


bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kami
mengucapkan terima kasih kepada.

1. Bapak Akhmad Kharis Kurniawan, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat
Islam.
2. Dan dalam penyusunan makalah ini kami juga memperoleh bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada teman – teman yang sudah memberikan konstribusinya dalam
penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga dengan terselesaikannya makalah Biografi Imam Al-
Gazali ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Tangerang, Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
2.1. Biografi Imam Al-Gazali .......................................................................... 2
2.2. Karya-karya Imam Al-Ghazali ................................................................. 4
2.3. Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali........................................................ 5
2.4. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat ...................................... 7
2.5. Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali ....................................................... 11
2.6. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Ilmu ......................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
(Daulay & Dahlan, 2021) Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan
kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-
aspek saja. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup
sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai
kesempurnaan iman. Al-Quran sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah
suri teladan yang terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan
keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur (al-Taftazani,
2003, hal. 10-11).

Pemikiran tokoh sufi dalam kajian tasawuf sangat beragam bentuknya dan
masing-masing sufi memiliki kekhasan yang berbeda-beda walapun muaranya
sama yaitu menuju al-Haq (Allah swt.). Semisal Ibnu Arabi dengan konsep wahdat
al-wujud-nya, al-Halaj dengan konsep hulul,Rabiah al-Adawiyah dengan konsep
mahabbahdan masih banyak lagi.

Selain yang telah disebutkan, kami akan membahas seorang ulama besar
yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur,
seorang tokoh sufi yang sangat cemerlang pemikirannya dan terkenal yaitu Imam
Al-Ghazali yang memiliki julukan Hujjatul Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu
beragam, mulai dari bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka
dapat di rumuskan :

1. Bagaimana pandangan Imam Al-Gazali terhadap Filsafat?


2. Apa saja karya Imam Al-Gazali?
3. Apa saja Pemikiran Imam Al-Gazali?

1.3.Tujuan Penulisan
Berpijak dari hal di atas, maka dalam tulisan ini akan dieksplorasi secara luas
tentang biografi, karya, dan pemikiran Imam Al-Gazali.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Biografi Imam Al-Gazali


(Zaini, 2017) Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-
Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan
wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah
memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf
yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang
bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali.
Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya
hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya
pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada
Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan
orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di
negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat
ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai
menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai
beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu matiq (logika),
falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-
Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”.
Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur
untuk menuju ke Mu’askar, ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan
kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai
di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar.
Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri
Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai
guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota
Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4
(empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang
datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri dari
keramaian.
Di samping ia menjadi guru besar di perguruan tinggi Nizamiyah ia juga
diangkat sebagai konsultan (mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat. Akan
tetapi kedudukan yang diperoleh di Baghdad tidak berlangsung lama akibat adanya
berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik pemerintahan pusat
(Baghdad) maupun pemerintahan Daulah Bani Saljuk, di antara musibah itu ialah:
pertama, pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan al-Ghazali
dengan permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya, Raja Malik Syah yang terkenal adil

2
3

dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M),
perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati
dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga,
dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah,
Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang
selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai
menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal ini, karena mengingat
ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan
bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya
ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar
Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat
lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam
menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan
secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir
Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan
menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran
Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan
judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum,
shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat
direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan
pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk
mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang
pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
1. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah
selama 4 (empat) tahun.
2. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap
hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras
membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan
dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
3. Kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan
Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa
mendapat wahyu pertama dari Allah.
4. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di
kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492
4

H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi
kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
5. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari
sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya
yang bernama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut
kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan
baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk
pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia beralasan
untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni
melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
6. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama
(khanqah) untuk melatih mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.

2.2. Karya-karya Imam Al-Ghazali


(Atabik, 2014) Sebagai seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam,
tentunya ia sangat tekun untuk menulis kitab. Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali
sampai sekarang belum disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya.
Dijelaskan dalam pengantar buku karya Imam al-Ghazali yang berjudul
Mukhtashar Ihya Ulumuddin bahwa As-Subki di dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah
menyebutkan bahwa karangan Imam al-Ghazali sebanyak 58 karangan. Thasi Kubra
Zadeh di dalam Miftah as-Sa’adah wa Misbah as-Siyadah menyebutkan bahwa
karya-karyanya mencapai 80 buah. Ia berkata, “Buku-buku dan risalah-risalahnya
tidak terhitung jumlahnya dan tidak mudah bagi seseorang mengetahui judul-
judul seluruh karyanya. Hingga dikatakan bahwa ia memiliki 999 buah tulisan. Ini
memang sulit dipercaya. Tetapi, siapa yang mengenal dirinya, kemungkinan ia akan
percaya.” (Al-Ghazali, 1997, hal. 10-11).

Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy seperti dikutip oleh
Dedi Supriyadi (2013, hal. 152-153) bahwa penelitian paling akhir tentang jumlah
buku yang dikarang oleh al-Ghazali adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman
al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat
al-Ghazali. Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab
yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72
buah kitab.Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yangasli terdiri
atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya,
terdiri atas 31 buah kitab. Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali tersebut meliputi
berbagai bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-
Quran, ilmu kalam, ushul fikih, tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-lain.Berbeda
5

dengan pernyataan di atas, Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan al-Ghazali


ada 47 buah. Di antara judul-judul buku tersebut adalah:

1. Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama).


Ini merupakan kitab paling terkenal yang dikarangnya selama beberapa tahun
dalam keadaan berpindah-pindah antara syam, Yerussalem, Hijaz dan Yus, dan
yang berisi paduan indah antara fiqh, tasawuf dan falsafat, bukan saja terkenal
di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia Barat dan luar Islam.
2. Tahafut al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
agama).
3. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
Kedua kitab ini , yaitu Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal
merupakan kitab yang memuat di dalamnya tentang permasalahan adanya
peperangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd), disebabkan sikap
al-Ghazali yang menentang para filosof Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan
dalam tiga hal, yaitu: Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani, Membatasi
pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, Adanya kepercayaan
tentang qadimnya alam dan keasliannya.
4. Al-Iqtashad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam),
5. Jawahir Al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Qur’an),
6. Mizan Al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan),
Dalam buku ini, juga menyepakati bahwa persoalan yang tiga hal dalam kitab
Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalal menjadi kepercayaan
orang-orang tasawuf juga. Bahkan dalam bukunya Al-Madhum ‘ala Ghairi
Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam.
7. Al-Maqasshid Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-
nama Tuhan),
8. Faishal At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan
Zindiq),
9. Al-Qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).

2.3. Pemikiran Filsafat Imam Al-Ghazali


A. Metafisika

(Try Subakti, 2019) Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari


karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari
filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal
semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak
mencukupi kebutuhan. Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan
bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat
sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan
bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu
logika. Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
6

mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun


menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya
yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya
kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk
memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang
metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan
dengan akidah Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan
kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan
matematika. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran
tentang filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan
Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.

B. Iradat Tuhan

(Nawawi, 2017) Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali


berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semata-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-
undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.
Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang
merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini. Iradat tuhan adalah mutlak,
bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang
dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam
pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah
transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan
sebab hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti


sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari
berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap
berkuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat
tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak
Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika
dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

C. Etika
(Nisa’, 2016) Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita
lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat
etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-
7

Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi


Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya
meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai
pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat
(kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang
menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti,
hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai
pangkal keburukan sama sekali. Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui
bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya
yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan. Bagi Al-Ghazali,
tasawuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini
nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban
agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-
makna yang terkandung di dalamnya.

2.4. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Filsafat


(Munir, 2016) Mengenai pandangan al-Ghazali, para ilmuwan berpendapat
bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan
membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya
yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

1. ”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-
nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya
..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu
para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka
mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa
agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan ...”
2. Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat
digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya
didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan
sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk
membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan
kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga
diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah
8

mungkin filsafat justru menghukumi atas dirinya sendiri? Al-Ghazali dengan


beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk
menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap
filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat
disebut sebagai seorang filosof?.
3. Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali
mengelompokkan filosof menjadi 3 (tiga) golongan:
a. Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara
itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
b. Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adala para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam
ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak
menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui
adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka
tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti
hewan.
c. Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis
dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia
kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang
kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan
pemikiran ini di dunia Islam.

Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-
bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara
lain:
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil
adanya dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan
al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith
(simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9

9. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang


selain-Nya,
10. Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir),
11. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang
selain-Nya
12. Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah
hanya mengetahui zat-Nya,
13. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14. Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang
bergerak dengan kemauan-Nya,
15. Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-
planet,
16. Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang
juz’iyyat,
17. Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya
sesuatu di luar hukum alam,
18. Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi)
yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19. Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana
(lenyap) jiwa manusia,
20. Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan
dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan
dalam nereka hanya roh.

Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang
bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
1. Alam semesta dan semua substansi qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya
(ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan
dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan
atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan
bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti
bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-
Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
10

sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada
di samping adanya Tuhan.

2. Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/ kecil) yang
terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang
sifatnya terperinci/ kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para
filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim
itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para
filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat
Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang
selain-Nya.

Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an


yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang
kecil.

Dalil pertama:

‫ن ِم ْن ُهُ تَتْلُو َو َما شَأْنُ ِفي تَ ُكونُُ َو َما‬ ُْ ‫ن تَ ْع َملُونَُ َوال قُ ْرآنُ ِم‬ ُ ْ‫َو َما ِفي ُِه ت ُ ِفيضُونَُ ِإ ُذ‬
ُْ ‫ش ُهودًا َعلَ ْي ُك ُْم ُكنَّا ِإال َع َملُ ِم‬
ُُ‫ن َي ْع ُزب‬
ُْ ‫ن َر ِبِّكَُ َع‬ ُِ ‫ض ِفي ذَ َّرةُ ِمثْقَا‬
ُْ ‫ل ِم‬ ُ ِ ‫األر‬
ْ ‫اء ِفي َوال‬ ُِ ‫س َم‬ ْ َ‫ن أ‬
َّ ‫صغ ََُر َوال ال‬ ُْ ‫ُم ِبينُ ِكتَابُ ِفي ِإال أ َ ْك َب َُر َوال ذَ ِلكَُ ِم‬

Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan
kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)

Dalil kedua :

ُ‫اَللَ أَتُعَ ِلِّ ُمونَُ قُ ْل‬ َُّ ‫ت فِي َما يَ ْعلَ ُُم َو‬
َُّ ‫اَللُ بِدِي ِن ُك ُْم‬ ُِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫ض فِي َو َما ال‬
ُ ِ ‫األر‬
ْ ُ ‫اَلل‬ ُِِّ ‫ش ْيءُ بِ ُك‬
َُّ ‫ل َو‬ َ ‫َع ِليم‬

Artinya: ”Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah


tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"(Q.S. Al-Hujurat: 16).

3. Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.

Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di
alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur.
Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani
(jasad) merasakan kebahagiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
11

Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali mengatakan; banyak hadits


yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atu siksa
kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’,
yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh
yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat
berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan
seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang
dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan
segala sesuatu. dan dengan KeMahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-
Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti
tulang, daging, kulit, urat saraf, otoit, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik
berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi
mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh
lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang
penciptaan-Nya pertama kali.

2.5. Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali


(S. Ibnu Pakar, 2013) Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya
mencari kebenaran akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah
pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi
adalah paduan ilmu dengan amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas.
Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka
ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa
keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar,
tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian
tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman
maupun penderitaan yang riil (al-Taftazani, 2003, hal. 165).

A. Jalan (at-Thariq)

(S. Ibnu Pakar, 2013) Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat)
yang harus dilalui oleh seorang calon sufi.

1. Tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah
pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar.
Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan
tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang
penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa.
2. Sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya
nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang
melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan
12

berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat,


maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar.
3. Kefakiran. Yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang
diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan
sesuatu, seperti makanan, namun makanan yang diberikan kepadanya harus
diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan halal
atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya,
kendatipun makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat
motivasi orang yang memberinya.
4. Zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan
kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi.
5. Tawakal. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh
akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia berkuasa melakukan apa
saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus pula diyakini bahwa Dia
juga Maha Rahman, Maha pengasih, tak pilih kasih kepada makhluknya.
Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada Tuhannya dengan
sepenuh hati.Dalam penyerahan diri kepada Allah swt.seorang sufi merasakan
dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling tinggi adalah berserah diri
bagaikan mayat.
6. Ma’rifat. Yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-
peraturan-Nya tentang segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari
ma’rifat lebih bermutu daripada pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat
inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan)
(Ensiklopedi Islam, 2002, hal. 27-28).

Seorang murid yang menempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali, harus
konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam
hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat
menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali adalah
untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona duniawi yang menghambat dalam
jalan para sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain ialah penaklukan
hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju Allah kecuali tabiat-
tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi (al-Taftazani,
2003,hal.170).

B. Ma’rifah

(Badrudin, 2015) Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada


Tahun).Ma’rifahmerupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi
jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas
ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang
memancar dari nyala api tersebut.
13

Ma’rifah secara etimologis, adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit


pun. Dalam terminologi kaum sufi, ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada
keraguan lagi di dalamnya ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat
Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan ma’rifahZat
dan apa pula maksud dari ma’rifah sifat?” Maka jawabnya: “ma’rifah Zat mengetahui
bahwa sesungguhnya keagungan yang bersemayan dalam diri-Nya dan tidak ada
satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun ma’rifahsifat, adalah mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha
Mendengar, Maha Melihat dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya,”(Al-
Ghazali,2002,hal.221).

Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah Swt.
karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-Nya. Tanda-
tanda ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan kecermelangan cahaya
lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq. Kata-kata tersebut masing-masing sinonim
yang berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Beda antara al-barq dan al-wajd,
adalah al-barq lebih merupakan proses memasuki jalan tauhid,sedangkan al-wajd
(perasaan) adalah yang menyertai di dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah
daging maka jadilah zauq (rasa sukma) (Al-Ghazali, 2002, hal. 236).

Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukannya


perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri dada
seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang merupakan
hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu memahami perkaitan
antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah
pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu
tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurutnya
lagi, yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara
ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang
justru membuat kalbu berlinang dan cemerlang (al-Taftazani, 2003, hal. 171).

Tujuan-tujuan pengetahuan, menurut al-Ghazali adalah moral yang luhur,


cinta pada Allah, fana di dalam-Nya dan kebahagiaan. Karena itu, menurutnya
pengetahuan diarahkan pada tujuan-tujuan moral, sebab ia tergantung dari
kebersihan dan kebeningan kalbu. Dan pengetahuan adalah tanda-tanda petunjuk
dan setiap kali pengetahuan bertambah, moral luhur serta kebeningan kalbu pun
semakin meningkat. Cinta kepada Allah dipandang al-Ghazali sebagai buah
pengetahuan. Sebab tidak terbayangkan adanya cinta kecuali adanya pengetahuan
serta pemahaman, karena seseorang tidak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu
yang telah dikenalinya. Dan tidak ada sesuatu yang lebih layak dicintai yang selain
Allah. Karena itu, barang siapa mencintai yang selain Allah, jika bukan karena
14

dinisbatkan kepada Allah, hal itu timbul karena kebodohan-kebodohan dan


kekurangtahuannya terhadap Allah (al-Taftazani, 2003, hal. 175).

C. Tingkatan Manusia

(Badrudin, 2015) Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan,


yaitu sebagai berikut: Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam. Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl) (Maftukhin, 2012, hal. 137).

Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat
menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.
Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk (al-
mauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi
dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap
mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).

Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini


membagi manusia ke adalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya
tangkapnya kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada
kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang
hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut
daya berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum
khawas, sebaliknya, membaca apa yang tersirat (Maftukhin, 2012, hal. 138).

D. Kebahagiaan

(Nawawi, 2017) Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan


akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Tentang
kebahagiaan ini al-Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia al-
Sa’adah. Di samping itu teori kebahagiaan ini juga telah dikemukakannya secara
terinci dalam karyanya Ihya Ulum al-Din (al-Taftazani, 2003, hal. 182).

Menurut al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia
menjelaskan bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya
melihatnya bagaikan begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena
kemanfaatannya. Anda pun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat
serta kebahagiannya dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun,
hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Dan yang paling tinggi
peringkatnya, sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara
yang paling baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada
kebahagiaan tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai dengan ilmu cara
beramal. Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu. Teori
kebahagiaan, menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa psikologis dan
15

dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari
semacam kelezatan atau kebahagiaan (al-Taftazani, 2003, hal. 182-183).

Lanjut al-Ghazali bahwa segala sesuatu memilikirasa bahagia, nikmat dan


kepuasan. Rasa nikmat akan peroleh bila ia melakukan semua yang diperintahkan oleh
tabiatnya. Tabiat segala sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya.Kenikmatan
mata pada gambar-gambar indah, kenikmatan telingga pada bunyi-bunyi yang
merdu dan demikian semua anggota badan. Kenikamatan hati hanya dirasakan
ketika mengetahui Allah (ma’rifah Allah), sebab ia diciptakan untuk melakukan hal
itu. Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia akan
berbahagia, seperti permainan catur, ketika mengetahuinya ia pun senang, jika ia
dijauhkan dari permainan itu, maka ia tak akan meninggalkannya dan tak akan
sabar untuk kembali memainkannya. Begitu juga mereka yang telah sampai pada
ma’rifah Allah, pun merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab
kenikmatan hati adalah ma’rifat, setiap kali ma’rifat bertambah besar, maka nikmat
pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui sang menteri,
maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang raja, maka kebahagiaannya tertentu
besar lagi (Al-Ghazali, 2002, hal. 118-119).

Tak ada satu eksistensi pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt., sebab
kemuliaan yang dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua keajaiban
alam adalah karya-Nya, ada pengetahuan (ma’rifah) yang lebih mulia selain
pengetahuan tentang-Nya, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat ma’rifat-
Nya, tak ada pemandangan indah yang melebihi hadirat-Nya. Semua nikmat dari
nafsu duniawi, tergantung pada jiwa, ia akan berakhir bersama kematian, sedang
pengetahuan (ma’rifah) tentang ketuhanan tergantung pada hati, ia tidak lenyap
bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan kenikmatannya akan
lebih banyak, cahayanya lebih besar, karena ia keluar dari rahim kegelapan manuju
alam cahaya (Al-Ghazali, 2002, hal. 119).

2.6. Pandangan Imam Al-Ghazali Terhadap Ilmu


(M. Fadhlulloh Mubarok, 2020) Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi
setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah
hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, Al-Ghazali berupaya
membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu
menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karyanya al-Ghazali
yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini
merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama
kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam
buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah,
dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.
16

Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-
Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu
menjadi empat bagian :

1. Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.


2. Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan
pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4. Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan
fardhu kifayah (wajib atas umat).

Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya,
yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/ diskusi adalah
pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya,
yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat
yang sama.
BAB III
PENUTUP

Jika dilihat pemikiran dari Imam Al-Ghazali, maka akan terlihat


pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak
orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat,
karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan
yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak
mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab
itu, Imam Al-Ghazali banyak dikenal masyarakat sebagai ahli tasawuf, akan tetapi
ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni
tasawuf inkarnasi dan tasawuf panteisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki
oleh Imam Al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan
sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari
hasil argument-argumen ilmu kalam.

Demikianlah, profil Imam Al-Ghazali yang memberikan pengaruh besar


dalam semua aspek disiplin ilmu terutama karya besarnya Ihya Ulum Ad-Din
yang menggabungkan aspek filsafat, kalam, fiqh, dan tasawuf yang sampai
sekarang digunakandan dikembangkan dengan pola-pola yang berbeda.

17
DAFTAR PUSTAKA

Atabik, A. (2014). Telah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat. 2(1), 19–40.

Badrudin. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. In A. A. Dzawafi (Ed.), Buku. Penerbit


A-Empat.

Daulay, H. P., & Dahlan, Z. (2021). Pemikiran Al-Ghazali Dalam Konsep


Pendidikan Tasawuf. 9–15.

M. Fadhlulloh Mubarok. (2020). ILMU DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-


GHAZALI Muhammad Fadhlulloh Mubarok Institut Agama Islam Negeri
Purwokerto. Ilmu Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali, 08(01).

Munir, G. (2016). Kritik Al-Ghazālī Terhadap Para Filosof. Jurnal THEOLOGIA,


25(1), 143–158. https://doi.org/10.21580/teo.2014.25.1.341

Nawawi, N. (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. In Pusaka Almaida
Makassar.

Nisa’, K. (2016). Al-ghazali: ihya’ ulum al-din dan pembacanya. Jurnal Ummul
Qura, VIII(2), 1–15.

S. Ibnu Pakar. (2013). Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya (H. Rahmadhani (ed.);
ISBN 978-6, Vol. 1). Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA.

Try Subakti. (2019). FILSAFAT ISLAM (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi). Αγαη, 8(5), 55.

Zaini, A. (2017). Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali. Esoterik, 2(1), 146–159.


https://doi.org/10.21043/esoterik.v2i1.1902

18

Anda mungkin juga menyukai