Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Dasar-dasar Pendidikan.
1. Bapak Akhmad Kharis Kurniawan, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat
Islam.
2. Dan dalam penyusunan makalah ini kami juga memperoleh bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada teman – teman yang sudah memberikan konstribusinya dalam
penyelesaian makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
(Daulay & Dahlan, 2021) Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan
kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-
aspek saja. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang
mendorong asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup
sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai
kesempurnaan iman. Al-Quran sendiri menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah
suri teladan yang terbaik bagi orang yang hendak menyempurnakan diri dengan
keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur (al-Taftazani,
2003, hal. 10-11).
Pemikiran tokoh sufi dalam kajian tasawuf sangat beragam bentuknya dan
masing-masing sufi memiliki kekhasan yang berbeda-beda walapun muaranya
sama yaitu menuju al-Haq (Allah swt.). Semisal Ibnu Arabi dengan konsep wahdat
al-wujud-nya, al-Halaj dengan konsep hulul,Rabiah al-Adawiyah dengan konsep
mahabbahdan masih banyak lagi.
Selain yang telah disebutkan, kami akan membahas seorang ulama besar
yang pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur,
seorang tokoh sufi yang sangat cemerlang pemikirannya dan terkenal yaitu Imam
Al-Ghazali yang memiliki julukan Hujjatul Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu
beragam, mulai dari bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka
dapat di rumuskan :
1.3.Tujuan Penulisan
Berpijak dari hal di atas, maka dalam tulisan ini akan dieksplorasi secara luas
tentang biografi, karya, dan pemikiran Imam Al-Gazali.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
3
dan bijaksana meninggal dunia. Kedua, pada tahun yang sama (485 H/1092 M),
perdana Menteri Nidham Al-Muluk yang menjadi sahabat karib al-Ghazali mati
dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di daerah dekat Nahawand, Persi. Ketiga,
dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula Khalifah Abbasiyah,
Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang tersebut di atas, bagi al-Ghazali, merupakan orang-orang yang
selama ini dianggapnya banyak memberi peran kepada al-Ghazali, bahkan sampai
menjadikannya sebagai ulama yang terkenal. Dalam hal ini, karena mengingat
ketiga orang ini mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap pemerintahan
bani Abbas yang pada saat itu dikendalikan oleh daulah Bani Saljuk, meninggalnya
ketiga orang ini sangat mengguncangkan kestabilan pemerintahan bergelar
Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487 H/1094 M). Pemerintahan menjadi sangat
lemah untuk menangani kemelut yang terjadi di mana-mana terutama dalam
menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi penggerak dalam pembunuhan
secara gelap terhadap Perdana Menteri Nidham Al-Muluk.
Dalam suasana kritis itulah, Al-Ghazali di minta oleh Khalifah Mustadhir
Bilah (Masa Bani Abbasiyah) untuk terjun dalam dunia politik dengan
menggunakan penanya. Menurutnya, tidak ada pilihan, kecuali memenuhi
permintaan Khalifah tersebut. Ia kemudian tampil dengan karangannya yang
berjudul Fadha’il Al-Bathiniyah wa Fadha’il Al-Mustadhhiriyah (tercelanya aliran
Bathiniyah dan baiknya pemerintahan Khalifah Mustadhhir) yang disingkat dengan
judul Mustadhhiry. Buku itupun disebarluaskan di tengah masyarakat umum,
shingga simapti masyarakat terhadap pemerintahan Abbasiyah kala itu dapat
direbut kembali. Kemudian timbullah gerakan menentang aliran Bathiniyah, tetapi
sebaliknya pula, gerakan Bathiniyah ini tidak berhenti untuk menjalankan
pengaruhnya untuk membuat kekacauan.
Al-Ghazali merupakan seorang yang berjiwa besar dalam memberikan
pencerahan-pencarahan dalam Islam. Ia selalu hidup berpindah-pindah untuk
mencari suasana baru, tetapi khususnya untuk mendalami pengetahuan. Dalam
kehidupannya, ia sering menerima jabatan di pemerintahan, mengenai daerah yang
pernah ia singgahi dan terobosan yang ia lakukan antara lain:
1. Ketika ia di Baghdad, ia pernah menjadi guru besar di perguruan Nidzamiyah
selama 4 (empat) tahun.
2. Ia meninggalkan kota Baghdad untuk berangkat ke Syam, di Syam ia menetap
hampir 2 (dua) tahun untuk berkhalwat melatih dan berjuang keras
membersihkan diri, akhlak, dan menyucikan hati hati dengan mengingat Tuhan
dan beri’tikaf di mesjid Damaskus.
3. Kemudian ia menuju ke Palestina untuk mengunjungi kota Hebron dan
Jerussalem, tempat di mana para Nabi sejak dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Isa
mendapat wahyu pertama dari Allah.
4. Tidak lama kemudian ia meninggalkan Palestina dikarenakan kota tersebut di
kuasai Tentara Salib, terutama ketika jatuhnya kota Jerussalem pada tahun 492
4
H/1099 M, lalu iapun berangkat ke Mesir, yang merupakan pusat kedua bagi
kemajuan dan kebesaran Islam sesudah Baghdad.
5. Dari Palestina (Kairo), iapun melanjutkan perjalanannya ke Iskandariyah. Dari
sana ia hendak berangkat ke Maroko untuk memenuhi undangan muridnya
yang bernama Muhammad bin Taumart (1087-1130 M), yang telah merebut
kekuasaanya dari tangan kaum Murabithun, dan mendirikan pemerintahan
baru yang bernama Daulah Muwahhidun. Ia mengurungkan niatnya untuk
pergi memenuhi undangan ke Maroko, ia tetap tinggal di Mekkah, ia beralasan
untuk melaksanakan kewajiban yang ke lima dalam rukun Islam, yakni
melaksanakan ibadah haji, kemudian ia menziarahi kuburan Nabi Ibrahim.
6. Selanjutnya ia kembali ke Naisabur, di sana ia mendirikan Madrasah Fiqh,
madrasah ini khusus untuk mempelajari ilmu hukum, dan membangun asrama
(khanqah) untuk melatih mahasiswa-mahasiswa dalam paham sufi di tempat
kelahirannya.
Jumlah kitab yang ditulis al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy seperti dikutip oleh
Dedi Supriyadi (2013, hal. 152-153) bahwa penelitian paling akhir tentang jumlah
buku yang dikarang oleh al-Ghazali adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman
al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat
al-Ghazali. Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab
yang ada hubungannya dengan karya al-Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya al-Ghazali yang terdiri atas 72
buah kitab.Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yangasli terdiri
atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya,
terdiri atas 31 buah kitab. Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali tersebut meliputi
berbagai bidang ilmu yang populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir al-
Quran, ilmu kalam, ushul fikih, tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-lain.Berbeda
5
B. Iradat Tuhan
C. Etika
(Nisa’, 2016) Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita
lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat
etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-
7
1. ”...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-
nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya
..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam
menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu
para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka
mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak
percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa
agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi
keindahan ...”
2. Jikalau melihat ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat
digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya
didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan
sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk
membantu menerangi jalan menuju Allah SWT. Hal ini dikuatkan dengan
kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga
diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat. Sehingga apakah
8
Dalam bidang Ke-Tuhanan, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-
bid’at dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, dan ia membaginya menjadi 20 bahagian, antara
lain:
1. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2. Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3. Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan
sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4. Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5. Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil
adanya dua Tuhan,
6. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan
al-fashl,
8. Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith
(simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang
bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
1. Alam semesta dan semua substansi qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab
qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya
(ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan
dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa
membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan
atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu
diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan
bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti
bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah
yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya). Bagi al-
Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada,
10
sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada
di samping adanya Tuhan.
2. Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (hal-hal yang terperinci/ kecil) yang
terjadi di alam.
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang
sifatnya terperinci/ kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para
filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim
itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para
filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat
Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang
selain-Nya.
Dalil pertama:
ن ِم ْن ُهُ تَتْلُو َو َما شَأْنُ ِفي تَ ُكونُُ َو َما ُْ ن تَ ْع َملُونَُ َوال قُ ْرآنُ ِم ُ َْو َما ِفي ُِه ت ُ ِفيضُونَُ ِإ ُذ
ُْ ش ُهودًا َعلَ ْي ُك ُْم ُكنَّا ِإال َع َملُ ِم
ُُن َي ْع ُزب
ُْ ن َر ِبِّكَُ َع ُِ ض ِفي ذَ َّرةُ ِمثْقَا
ُْ ل ِم ُ ِ األر
ْ اء ِفي َوال ُِ س َم ْ َن أ
َّ صغ ََُر َوال ال ُْ ُم ِبينُ ِكتَابُ ِفي ِإال أ َ ْك َب َُر َوال ذَ ِلكَُ ِم
Artinya: ”Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu
ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan
kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”(Q.S. Yunus: 61)
Dalil kedua :
ُاَللَ أَتُعَ ِلِّ ُمونَُ قُ ْل َُّ ت فِي َما يَ ْعلَ ُُم َو
َُّ اَللُ بِدِي ِن ُك ُْم ُِ س َم َاوا
َّ ض فِي َو َما ال
ُ ِ األر
ْ ُ اَلل ُِِّ ش ْيءُ بِ ُك
َُّ ل َو َ َع ِليم
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di
alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur.
Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun
kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani
(jasad) merasakan kebahagiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
11
A. Jalan (at-Thariq)
(S. Ibnu Pakar, 2013) Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat)
yang harus dilalui oleh seorang calon sufi.
1. Tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu, sikap, dan tindakan. Ilmu adalah
pengetahuan seseorang tentang bahaya yang diakibatkan dosa besar.
Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal yang melahirkan
tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang
penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa.
2. Sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya
nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang
melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan
12
Seorang murid yang menempuh jalan para sufi, menurut al-Ghazali, harus
konsisten menjalani hidup menyendiri, diam, menahan lapar, dan tidak tidur malam
hari. Hal ini semua dimaksudkan untuk membina kalbunya, supaya dia dapat
menyaksikan Tuhannya. Dan manfaat hidup menyendiri menurut al-Ghazali adalah
untuk mengosongkan kalbu dari berbagai pesona duniawi yang menghambat dalam
jalan para sufi. Sebab pelaksanaan jalan para sufi tidak lain ialah penaklukan
hambatan-hambatan, serta tidak terdapat hambatan menuju Allah kecuali tabiat-
tabiat yang muncul dari sikap berpaling pada pesona duniawi (al-Taftazani,
2003,hal.170).
B. Ma’rifah
Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah Swt.
karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-Nya. Tanda-
tanda ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan kecermelangan cahaya
lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq. Kata-kata tersebut masing-masing sinonim
yang berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Beda antara al-barq dan al-wajd,
adalah al-barq lebih merupakan proses memasuki jalan tauhid,sedangkan al-wajd
(perasaan) adalah yang menyertai di dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah
daging maka jadilah zauq (rasa sukma) (Al-Ghazali, 2002, hal. 236).
C. Tingkatan Manusia
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat
menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.
Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk (al-
mauizah). Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi
dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap
mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).
D. Kebahagiaan
Menurut al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia
menjelaskan bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya
melihatnya bagaikan begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena
kemanfaatannya. Anda pun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat
serta kebahagiannya dan juga sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun,
hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Dan yang paling tinggi
peringkatnya, sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara
yang paling baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada
kebahagiaan tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai dengan ilmu cara
beramal. Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu. Teori
kebahagiaan, menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa psikologis dan
15
dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu asalnya bersumber dari
semacam kelezatan atau kebahagiaan (al-Taftazani, 2003, hal. 182-183).
Tak ada satu eksistensi pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt., sebab
kemuliaan yang dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua keajaiban
alam adalah karya-Nya, ada pengetahuan (ma’rifah) yang lebih mulia selain
pengetahuan tentang-Nya, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmat ma’rifat-
Nya, tak ada pemandangan indah yang melebihi hadirat-Nya. Semua nikmat dari
nafsu duniawi, tergantung pada jiwa, ia akan berakhir bersama kematian, sedang
pengetahuan (ma’rifah) tentang ketuhanan tergantung pada hati, ia tidak lenyap
bersama kematian, sebab hati tidak akan hancur dan bahkan kenikmatannya akan
lebih banyak, cahayanya lebih besar, karena ia keluar dari rahim kegelapan manuju
alam cahaya (Al-Ghazali, 2002, hal. 119).
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-
Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu
menjadi empat bagian :
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas yang telah diuraikannya,
yang paling luas di bahas olehnya dalam melakukan pengajaran/ diskusi adalah
pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurutnya,
yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat
yang sama.
BAB III
PENUTUP
17
DAFTAR PUSTAKA
Nawawi, N. (2017). Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. In Pusaka Almaida
Makassar.
Nisa’, K. (2016). Al-ghazali: ihya’ ulum al-din dan pembacanya. Jurnal Ummul
Qura, VIII(2), 1–15.
S. Ibnu Pakar. (2013). Tokoh-tokoh Tasawuf dan Ajarannya (H. Rahmadhani (ed.);
ISBN 978-6, Vol. 1). Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA.
Try Subakti. (2019). FILSAFAT ISLAM (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi). Αγαη, 8(5), 55.
18