Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM GHOZALI

DAN IMAM HASAN AL BISRI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah sejarah pendidikan islam
Dosen Pengampu :

Disusun oleh

Monika Lia El Tiana

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH(STIT)NU SUMBER AGUNG


KEC.BUAY MADANG TIMUR KAB.OKU TIMUR
PROVINSI SUMATERA SELATAN
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama allah swt.juga sebagai pembuka sebelum


melakukan suatu pekerjaan yang baik maka dari itu penulis tidak hanya
membatasi pengucapan hanya dengan asma melainkan juga sifatnya,yakni lafadz
‫ الحمن الرحيم بسم هللا‬dengan niatan tabbaruk pada salah satu hadist nabi”‫كل امرذي بال‬
‫تر‬77‫ اليبدافيه ببسم هللا الرحمن الرحيم فهواب‬ahawa setiap sesuatu yang memiliki kebaikan
jika tidak diawali dengan basmallah maka terputus(kurang) keberkahannya.
Sholawat dan salam tak lupa selalu penulis hadiahkan kepada beliau sang
junjungan alam seorang manusia yang ucapannya,perbuatannya serta
ketetapannya menjadi rujukan diseluruh dunia,bukan hanya di dunia islam tapi
memang seluruh dunia bahkan bapak fisikawan albert enstein yang katanya anti
agama pun di buat kagum oleh sosok beliau,katanya”saya yakin dengan pemikiran
dan mentalitas yang tercerahkan,muhammad mampu menjauhkan orang-orang
yahudi yang bermaksud menjatuhkan islam,yang seingga saat ini masih kekuatan
besar yang memusuhi islam.”
Kemudian penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada para tokoh dibalik
pertumbuhan saya,yang menjadi perantara saya bisa menjejakkan kaki hingga ke
jenjang sekarang ini.Beliau semua bagaikan emas dalam hidup saya,susah untuk
menemui nya tetapi sangat berharga dalam hidup saya,yang doanya selalu
selangkah didepan saya beliau adalah ibu dan ayah saya.semoga allah senantiasa
melindngi mereka,amiin.

Gumawang,5 oktober 2023

ii
Penulis

DAFTAR ISI
COVER

KATA PENGANTAR.............................................................................................2
A. Riwayat Hidup..............................................................................................6
1. Imam AGhazali.........................................................................................6
2. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali....................................................9
3. Riwayat Hidup Hasan Al-Basri...............................................................16
4. Pemikiran Tasawuf Hasan Al-Basri........................................................18
5. Corak Pemikiran Tasawuf Hasan Al-Basri.............................................19
6. Ajaran-Ajaran Tasawuf Hasan Al-Basri.................................................19
BAB III..................................................................................................................21
PENUTUP..............................................................................................................21
A. Kesimpulan.................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bergulirnya masa ke masa tidak pernah memakan sosok Imam Al-

Ghazali sebagai seorang filosof dan teolog muslim besar yang berpengaruh

terhadap dunia pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran Beliau sangat perlu

diketahui pada zaman sekarang ini yang semakin kompleks sebagai solusi

untuk mengapai “ketenaganan diri”.

Beradasarkan latar belakang tersebut, maka kami berusaha sebisa

mungkin untuk membuat makalah ini, sebagai wujud keperdulian kami untuk

masyarakat dan sebagai bukti pengamalan ilmu yang kami dapat. Selain itu, ini

juga sebagai tanggung jawab kami dalam memenuhi tugas pada mata kuliah

Akhlak dan Tasawuf.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat hidup Imam Al-Ghazalil ?

2. Bagaimana pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali ?

3. Bagaimana Riwayat Hidup Hasan Al-Basri ?

4. Bagaimana pemikiran-pemikiran Hasan Al-Basri ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup

1. Imam AGhazali

Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota

kecil yang terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak

pada tahun 1058 M/450 H, kira-kira bersamaan dengan pengangkatan

Sultan al-Arsalan pada singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14

Jumadil Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah desa dekat Thus.

Thus adalah salah satu di antara kota-kota yang terkenal di Khurasan pada

zaman dahulu. Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi termasyhur

karena hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal di

sana pada tahun 1020 M.

Beliau adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal

sebagai algazel di dunia Barat pada abad pertengahan. Ia berkuniah Abu

Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid. Gelar beliau al-

Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal

bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus,

Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa

beliau bermazhab Syafi'i.

2
Beliau hidup miskin bersama ayahnya. Ayah Ghazali gemar

mempelajari ilmu tasawuf, karena ayah Ghazali hanya mau makan dari

hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta

ilmu dan selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat

disayangkan ajal tidak memberikan kesempatan padanya untuk

menyaksikan keberhasilan anaknya sesuai do’a yang ia panjatkan. Namun,

cita-cita ayah Ghazali terbukti dengan keberhasilan Imam Al-Ghazali

menjadi filosof dan teolog muslim terkemuka pada zamannya.

Awal mula Al-Ghazali mengenal tasawuf adalah ketika sebelum

ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:

1. Ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali kepada saudaranya yang

bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan untuk dididik

dan dibimbing dengan baik.

2. Ayahnya menitipkan Al-Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada

seorang sufi, untuk didik dan dibimbing dengan baik.

Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut

ilmu. Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar

dengan sejumlah guru di kota kelahirannya. Di antara guru-gurunya pada

waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Kemudian pada

masa mudanya ia belajar di Nisyapur juga di Khurasan, yang pada saat itu

merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam.

Ia kemudian menjadi murid Imam Al-Haramaîn Al-Juwaini guru An

3
Nizhâmiyah Nisyapur. Al-Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat,

logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam.1

Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al-Juwaini

kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang

menenggelamkan). Al-Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur setelah

Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H (1085 M). Kemudian

ia berkunjung kepada Nizhâm Al-Mâlik di kota Mu’askar. Ia mendapat

penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu

selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah

Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil.

Selama di Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-

bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan Bathiniyyah, Ismâiliyyah,

golongan filsafat dan lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti

di Baghdad, Syam dan Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya

di Thus pada tahun 1105 M.

Empat tahun lamanya Al-Ghazali memangku jabatan tersebut,

bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia

banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang

demikian tidak selamanya mententramkan hatinya. Di dalam hatinya mulai

timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya mulai muncul, ‘Inikah

ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan yang dikasihi

Allah?, Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk madu

dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari


1
Ahmad Syadani, Filsafat Umum (Bandung: Pustaka Setia. 1997), hlm. 178.

4
hati sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal

benar-benar menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi

kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus

dan tinggal di sana sambil mengisolir diri untuk beribadah.

Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia

tidak lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang

dilimpahkan Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh

menuntut kebenaran. Dari Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali

ke kampungnya di Thus. Di sini ia menghabiskan hari-harinya dengan

mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil Tuhan ke hadirat-Nya pada

tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam usia 52-53 tahun

dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang

mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54/55 tahun.2

2. Pemikiran-Pemikiran Imam Al-Ghazali

a. Filsafat Al-Ghazali

Sebagaimana kecenderungan umum pemikir filsafat yang selalu

bergerak di antara manusia, alam, dan Tuhan, maka hampir seluruh

pemikiran Islam terpusat pada masalah usaha manusia memahami dirinya

sendiri, alam sekitarnya dan kemudian Tuhan. Manusialah di antara

makhluk yang paling mampu menganalisis dirinya sendiri. Suatu

kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia termasuk

malaikat dalam tradisi pemikiran Islam.


2
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991) hlm. 67.

5
Usaha manusia untuk mengerti tidak hanya berhenti pada objek

dirinya sendiri, akan tetapi bahkan ia ingin mengungkapkan rahasia

segala sesuatu yang ‘ada’, termasuk mencoba mengerti Tuhan.

Dalam tradisi pemikiran Islam, dunia dan alam semesta ini justru

diciptakan karena Allah mencipta manusia. Manusia yang menjadikan

alam dunia ini mempunyai makna dan berfungsi. Untuk maksud tersebut

Tuhan menjadikan manusia sebagai pemimpin dan khalifah di muka

bumi.

Namun segera sebuah pertanyaan dapat diajukan mengenai siapa

manusia itu sesungguhnya. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan

yang cukup pelik untuk dijawab. Akan tetapi tingkat kesadaran manusia

terhadap eksistensinya sendiri yang bertaraf lebih tinggi daripada

makhluk Tuhan lainnya telah menuntun manusia menjawab pertanyaan

di atas dengan jawaban-jawaban yang hampir mendekati kebenaran.

Kehampiran terhadap penemuan kebenaran di atas menyebabkan

manusia sangat bersemangat untuk mencapainya. Akan tetapi,

pengalaman sejarah menunjukkan bahwa ternyata sepanjang sejarah itu

sendiri manusia belum selesai dan mencapai apa yang dicarinya. Di

sinilah manusia selalu terdorong untuk bersikap kreatif dan kritis namun

juga menyebabkan sebagian orang bersikap skeptis dan pesimistis.

Di samping sikap tersebut di atas, sebagian lain kemudian

menyebutkan bahwa kebenaran pengetahuan manusia itu relatif. Bahkan

akhir-akhir ini sebagian mereka menyebutkan bahwa apa yang disebut

6
dengan kebenaran ilmiah haruslah berupa suatu proposisi yang

menimbulkan keraguan. Akankan demikian pemikiran Islam dan Imam

Al-Ghazali? Yang pasti berbeda adalah keyakinan mereka terhadap

adanya suatu kebenaran mutlak. Kesanalah setiap pemikir muslim

mengarahkan kegiatan pemikiran mereka.3

Berdasarkan pandangan tentang alam dan manusia, Imam Al-

Ghazali menempatkan roh dalam kerangka metodologi untuk

memperoleh dan memahami kebenaran Islam. Oleh karena itu Imam Al-

Ghazali memandangan bahwa penempatan roh dalam struktur

kepribadian dan tindakan adalah merupakan problem utama konsistensi

manusia terhadap hakikat keberadaannya.

Bagi Imam Al-Ghazali, hanya menempatkan roh sebagai substansi

eksistensi secara fungsional, manusia akan memiliki kekuatan dan

keberanian untuk bersedia menyerah secara mutlak kepada kebenaran.

Hal itu disebabkan hanya roh yang memilki kebebasan sebagai landasan

mengatasi dunia objektif yang dimensional. Hanya roh yang memiliki

kemampuan membebaskan diri dari keterbatasan penguasaan terhadap

objek duniawi dalam arti yang kesekarangan yang kedekatan serta

pendek. Dengan demikian maka hanya roh yang memiliki peluang untuk

memahami dan mencapai masa depan yakni kebebasan, kelepasan dan

kebahagian. Inilah salah satu pemikiran Imam Al-Ghazali dalam

berfilsafat.

3
Abdul Munir Mulkhan, Mencari Tuhan dan Tujuan Jalan Kebebasan
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 71-73.

7
b. Tasawuf Al-Ghazali

Al-Ghazali dalam tasawufnya memilih tasawuf sunni yaitu

berdasarkan dengan Al-Qur’an dan Sunnah serta ditambah dengan

doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral

yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat dilihat dalam karya-

karyanya seperti Ihya’ullum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-

Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin, Ayyuhal Walad. Al-

Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham

hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru

tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)

tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya:

1) Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat

Menurut Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah

dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada,

alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Pada

saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya

Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya

akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan

cahayanya kepada sang sufi sehingga yang dilihatnya hanyalah Allah,

di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.

2) Pandangan Al-Ghazali tentang As-As’adah

Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan kebahagiaan yang paling

tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah), di dalam kitab Kimiya As-

8
Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai

dengan watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan

ciptaannya; nikmatnya mata terletak pada ketika melihat gambar yang

bagus dan indah, nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara

merdu.

Al-Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya pada

kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya

melahirkan skeptik.4 Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait

cahaya, sebagai berikut:

“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan

siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung

pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat

Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya

yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”

Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa

satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan

kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh

secara langsung dari Tuhan dengan Tashawuf.5 Ungkapan ini ada

setelah dia tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat serta

meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizhamiyah,

4
Ahmad Mustofa., Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm.
224.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
5

hlm. 31.

9
Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Masjid

Umawi di Damaskus.

Tashawuf Al-Ghazali berbeda dengan tashawuf yang

berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf

inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah

Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan hasil-hasil

argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut, tasawuf mulai

digandrungi masyarakat lagi.

c. Filsafat Etika/Akhlak Imam Al-Ghazali

Akhlak sebagai bidang studi pada saat ini, sangat diperlukan di

dalam proses sosialisasi. Hubungan manusia kepada ‘Alam pada

kenyataannya kurang dapat dikatakan bagus. Kerusakan-kerusakan

yang ada pada dunia ini, semuanya itu bermula dari ulahnya manusia

yang kurang bertanggung jawab. Maka mengkaji secara mendalam

“Akhlak” sangat diperlukan sebagai pedoman dalam bersosialisasi

dengan ‘alam secara baik.

Menurut Al-Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam dalam

jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk

dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan

pertimbangan. Dalam hal ini, terdapat persamaan antara Imam Al-

Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq harus dimulai dengan

pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya. Karena ia

merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.

10
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof lainnya,

Al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu

(an-nafs al-bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an-nafs

as-sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an-nafs an-nâthiqah) yang berasal

dari ruh Tuhan yang tidak akan hancur. Al-Ghazali juga membuat

tabulasi kebaikan pokok, yang terdiri dari empat hal, yaitu

kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan keadilan. Empat hal

ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan untuk

mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi

terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif

untuk terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.

Al-Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash-shirât al-

mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan

lebih tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat

dicapai dengan penggabungan antara akal dan wahyu.

Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salah satu karya Al-Ghazali

yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat

dikatakan bahwa filsafat etika Al-Ghazali adalah Tashawuf Al-Ghazal,

yang bertujuan pokok: Maksudnya bahwa manusia semampunya

meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang,

pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan, seperti

sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.

11
Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya

pengendalian amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan

naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini dilakukan dengan amal-

amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri dari

mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya

mencintai Allah SWT.

Al-Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya

adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang

memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al-Ghazali

menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat

memelihara dan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada

Allah, yang terpenting adalah muqârabah dan muhâsabah. Adapun

kesenangan menurut Al-Ghazali ada dua, yaitu kepuasan (ladzdzât)

ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan (sa’âdah) ketika

mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri

(ma’rifatullâh disertai musyâhadah al-qalb).6

3. Riwayat Hidup Hasan Al-Basri

Nama asli dari Hasan Al-Basri adalah Abu Sa’id Al Hasan bin

Yasar. Beliau dilahirkan oleh seorang perempuan yang bernama Khoiroh,

dan beliau adalah anak dari Yasaar, budak Zaid bin Tsabit. tepatnya pada

tahun 21 H di kota Madinah setahun setelah perang shiffin, ada sumber lain

yang menyatakan bahwa beliau lahir dua tahun sebelum berakhirnya masa
6
Magniz Franz Suseno, Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20 (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 33.

12
pemerintahan Khalifah Umar bin Al- Khattab. Khoiroh adalah bekas

pembantu dari Ummu Salamah yang bernama asli Hindi Binti Suhail yaitu

istri Rosullullah SAW. Sejak kecil Hasan Al-Basri sudah dalam naungan

Ummu Salamah. Bahkan ketika ibunya menghabiskan masa nifasnya

Ummu Salamah meminta untuk tinggal di rumahnya. Dan juga

nama Hasan Al-Basri itupun pemberian dari Ummu Salamah. Ummu

Salamahpun terkenal dengan seorang puteri Arab yang sempurna akhlaknya

serta teguh pendiriannya. Para ahli sejarah menguraikan bahwa Ummu

Salamah paling luas pengetahuannya diantara para istri-istri Rosullah SAW

lainnya. Seiring semakin akrabnya hubungan Hasan Al-Basri dengan

keluarga Nabi, berkesempatan untuk bersuri tauladan kepada keluarga

Rosullulahdan menimba ilmu bersama sahabat di masjid Nabawy.

Dan ketika menginjak 14 tahun, Hasan Al-Basri pindah ke kota

Basrah ( Iraq ). Disinilah kemudian beliau mulai dengan sebutan Hasan Al-

Basri. Kota Basrah terkenal dengan kota ilmu dalam daulah Islamiyyah.

Banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang singgah di kota ini. Banyak

orang berdatangan untuk menimba ilmu kepada beliau. Karena perkataan

serta nasehat beliau dapat menggugah hati sang pendengar.

Kemudian pada tahun 110 H, tepatnya pada malam jum’at diawal

bulan Rajab beliau kembali ke rahmatullah pada usianya yang ke 80

tahun. Banyak dari penduduk Basrah yang mengantarkan sampai ke

pemakaman beliau. Mereka merasa sedih serta kehilangan ulama besar,

yang berbudi tinggi, soleh serta fasih lidahnya.

13
4. Pemikiran Tasawuf Hasan Al-Basri

Dalam pengenalan Tasawuf beliau mendapatkan ajaran tasawuf dari

Huzaifah bin Al-Yaman, sehinggan ajaran itu melekat pada dirinya sikap

maupun perilaku pada kehidupan sehari-hari. Dan kemudian beliau dikenal

sebagai Ulama Sufi dan juga Zuhud. Dengan gigih dan gayanya

yang retorik, beliau mampu membawa kaum muslim pada garis agama dan

kemudian muncullah kehidupan sufistik.

Dasar pendirian yang paling utama adalah Zuhud terhadap kehidupan

dunia, sehingga ia menolak segala kesenangan dan kenikmatan dunia.

Hasan Al Basri mangumpamakna dunia ini seperti ular, terasa mulus

kalau disentuh tangan, tetapi racunnya dapat mematikan. Oleh sebab itu,

dunia ini harus dijauhi dan kemegahan serta kenikmatan dunia harus

ditolak. Karena dunia bisa membuat kita berpaling dari kebenaran dan

membuat kita selalu memikirkannya.

Prinsip kedua ajaran Hasan Al basri adalah Khauf dan Raja’, dengan

pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering

melalaikan perintah Allah. Merasa kekurangan dirinya dalam mengabdi

kepada Allah, timbullah rasa was was dan takut, khawatir mendapat murka

dari Allah. Dengan adanya rasa takut itu pula menjadi motivasi tersendiri

bagi seseorang untuk mempertinggi kualitas dan kadar pengabdian kepada

Allah dan sikap daja’ ini adalah mengharap akan ampunan Allah dan

karunia-NYA. Oleh karena itu prinsip-prinsip ajaran ini adalah

14
mengandung sikap kesiapan untuk melakukan muhasabah agar selalu

mamikirkan kehidupan yang hakiki dan abadi.

5. Corak Pemikiran Tasawuf Hasan Al-Basri

Hasan Al Basri adalah seorang sufi angkatan tabi’in, seorang yang

sangat takwa, wara’ dan zuhud pada kehidupan dunia yang mana dikala

masanya banyak dari kalangan masyarakt khususnya dari kalangan atas

yang hidup berfoya-foya. Yang mana kezuhudan itu masih melekat

ajarannya dari para ulama-ulama lainnya pada masa sahabat. Yang mana

ajran beliau masih kental ataupun berdasarkan Al Qur’an dan Hadist nabi,

untuk itu beliau termasuk golongan Tasawuf Sunni.

6. Ajaran-Ajaran Tasawuf Hasan Al-Basri

Ajaran-ajaran Hasan Al-Bashri adalah anjuran kepada setiap orang

untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan

seluruh perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya Lebih jauh

lagi, Hamka mengemukakan bahwa ajaran tasawuf Hasan yaitu:

Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari

pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.

Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia

dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh

faedah darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan

rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan

15
berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”

“tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk

mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita

bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun

banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya.

Waspadalah terhadap negeri yang cepat ating dan pergi serta penuh tipuan.”

“dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa

kali ditinggalkan mati suaminya.”

“orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore

hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang

telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya

yang akan mengancam.”

“hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa

mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih

janjinya.”Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.”

Sikap tasawuf Hasan Al-Bashri senada dengan sabda Nabi yang

berbunyi:

“Orang yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya

adalah laksana yang orang duduk di bawah sebuah gunung besar yang

senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya”.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nama lengkap Imam Al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali ath-Thusi al-Syafi’i. Beliau lahir di sebuah kota kecil

yang terletak dekat kota Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Irak pada

tahun 1058 M/450 H, kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan al-

Arsalan pada singgasana Seljuk dan wafat pada tahun 1111 M/14 Jumadil

Akhir 505 H (52-53 tahun) di Tabaran, sebuah desa dekat Thus. Thus adalah

salah satu di antara kota-kota yang terkenal di Khurasan pada zaman dahulu.

Saat ini ia sudah bukan lagi sebuah desa, tetapi termasyhur karena

hubungannya dengan penyair terkenal Firdausi yang meninggal di sana pada

tahun 1020 M.

Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika sebelum

ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat

menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil,

Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini

kemudian memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan).

Dan empat tahun Al Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan

duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat.

Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati sanubarinya. Dia menyingkir

dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke

Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah dan

17
mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H

(1111 M) dalam usia 55 tahun.

Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas

pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap

kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir

dalam ilmunya dan pengarang produktif.

Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah, Tahâfut Al

Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl Dlalâl,

Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al Iqtishâd fî

Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al

Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.

B. Saran

Semakin bergumulnya dunia sekarang ini, maka perlu adanya sebuah

suplement untuk mengapai ketenangan diri. Hal tersebut dapat kita capai salah

satunya dengan memamahi pemikiran-pemikiran Imam Al-Ghazali dan imam

hasan al basri. Pemikiran-pemikiran Beliau niscaya dapat menajadi solusi

dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang semakin kompleks ini.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

Qayyum, Abdul. 1983. Surat-surat Al-Ghazali. Bandung: Mizan.

Iroelizzta. 2012. “Makalah tentang Imam Al-Ghazali” dalam

http://ruruls4y.wordpress.com/2012/03/14/makalah-tentang-imam-al-

ghazali/ diakses tanggal 22 November 2014 pukul 10:14 WIB.

Mulkhan, Abdul Munir. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebebasan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Congt, Tong Sam. “Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Ghazali dalam

http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/ajaran-ajaran-

tasawuf-ghazali/ diakses tanggal 23 November 2014 pukul 14:17 WIB.

Haq, Zia Ul. 2014. “Reformasi ala Imam Al-Ghazali” dalam

www.santrijagad.org/2014/09/reformasi-ala-imam-ghazali.html?m=1

diakses tanggal 23 November 2014 pukul 14:29 WIB.

Syadani, Ahmad. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta:

Bumi Aksara.

Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.

Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta:

Kanisius

Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan

Mandiri.

20

Anda mungkin juga menyukai