Anda di halaman 1dari 13

Al-Ghazālī dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia islam

Diajukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah


Studi Peradaban Islam

Dosen pengampu:
Dr. H. Agus Aditomi M. Ag

Oleh:
Muhammad Athaillah (02040122013)

PROGRAM STUDI ISLAM PASCASARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2022/2023
1

Al-Ghazālī dan pengaruhnya terhadap perkembangan dunia islam


Muhammad Atha’illah
Muhammadathoillah1313@gmail.com
Pascasarjana Universitas Negeri Islam Sunan Ampel
Abstrak
Imam Ghazali adalah merupakan sosok sejuta wajah, yang mana beliau telah berhasil
menguasai berbagai disiplin ilmu dengan sangat mendalam secara berbarengan, sebagaimana
ilmu tasawuf, filsafat, dan berbagai ilmu agama lainnya, ia juga dikenal sebagai ilmuan yang
ahli di dalam ilmu alam dan ilmu pasti yang setara dengan cendikiawan eropa, keahlian beliau
terhadap berbagai disiplin ilmu, dan juga perhatiannya yang tinggi dalam hal mencari
kebenaran yang hakiki membuat beliau sangat berpengaruh terhadap dalam gerakan intelektual
islam, yang mana kehebatannya tidak akan hilang dimakan oleh zaman.
Kata kunci: al-Ghazālī, pengaruhnya, terhadap perkembangan dunia islam.
Pembahasan
A. Biografi Imam al-Ghazālī
Nama lengkap Imam al-Ghazālī ialah Zainuddin Abū Ḥāmid Muhammad bin
muhammad bin Ahmad a-Thusi al-Ghazālī1. Dilahirkan di Thus 450/1058.2 Kota Thus adalah
kota kedua dari propinsi Khurasan (Iran) Naysapur.3 gelarnya Zainuddin ( hiasan agama) dan
hujjatul Islam (bukti Islam).4 Beliau juga dikenal dengan julukan mujaddid (pembaharu
agama). Beliau ialah ahli pikir yang telah memberikan pengaruh begitu besar dan memberikan
bentuk baru dalam Islam, beliau terkenal sebagai ahli fiqih, filsafat, kalam, dan sufi, yang
membawa pembaharuan terhadap tafsiran-tafsiran yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Karna mendapatkan julukan imam al-Ghazali, imam ad-Dzhahabi berpendapat
sebagaimana berikut ini:
“Aku membaca dalam tulisan tangun al-Nawawi, dia berkata: syaikh Taqiyuddin ibnu
Shalah ditanya kenapa al-Ghazālī disebut demikian. Dia menjawab: orang yang ku percayai
memperceritakan kepadaku, dari Abu Haram al-Makisi al-Adib: Abu tsana’ Mahmud al-Fardhi
menceritakan kepada kami, dia berkaya Tajul Islam Ibnu Khamis menceritakan kepadaku: al-
Ghazzālī (tukang pintal), padahal aku bukanlah al-Ghazzālī. Tapi aku adalah al-Ghazālī, nisbat
kepada sebuah desa yang bernama Ghazalah.” Atau sebagaimana yang dikatakannya”.5
Ayah beliau adalah seorang wara’ yang menjauhi perkara syubhat sehingga hanya
makan dari hasil kerja kerasnya sendiri. Profesinya adalah penjual wol dan pemintal wol, disaat

1
Bahrudin Achmad, PERMULAAN JALAN HIDAYAH Kitab Panduan Ibadah dan Muamalah (Terjemah Bidayatul
Hidayah) (Almuqsith Pustaka, 2021), 1.
2
“Hierarki Ilmu : Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Duthb Al-Din Al-
Syirazi / Osman Bakar ; Pengantar, Seyyed Hossein Nasr ; Penerjemah, Purwanto | OPAC Perpustakaan
Nasional RI.,” 179, accessed December 2, 2022, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=460808.
3
Referensi Agama, “Referensi Agama: PEMIKIRAN AL GHOZALI DAN PENGARUHNYA DALAM DUNIA ISLAM,”
Referensi Agama, January 15, 2011, accessed December 3, 2022,
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/pemikiran-al-ghozali-dan-pengaruhnya.html.
4
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Pustaka Al-Kautsar, n.d.), 361.
5
Al-Ghazali, Minhajul Abidin: meniti jalan menuju surga, jakarta: pustaka amani, hlm 3.
2

senggangnya, beliau selalu sempatkan untuk mengunjungi para ulama’ dan para ahli fiqih di
berbagai majelis dan khalawat mereka untuk mendengarkan pengajian dan nasihat-nasihat
mereka.6 Disebabkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, maka suatu saat beliau menagis
setelah mendengarkan ceramah-ceramah tentang fiqih dan juga banyak berbicara tentang fiqih
dan para ahlinya, sehingga beliau juga selalu berdoa agar supaya putranya menjadi orang yang
mencintai ilmu dan ulama’ sehingga menjadi ulama’ yang pandai dan dan juga suka memberi
nasihat. Beliau meninggal dunia di saat Imam al-Ghazālī dan Ahmad saudaranya masih belia.
Yang mana kemudian kedua anaknya nanti dititipkan kepada saudaranya yang merupakan
seorang sufi yang hidup sederhana.
Berkat doa ayahnya yang di ijabahi Allah akhirnya al-Ghazālī dan Ahmad saudaranya
menjadi seorang ulama’ hebat dan pecinta ilmu. Dan dengan bantuan sufi tersebut dan
peninggalan harta warisan ayahnya membuat al-Ghazālī bisa masuk sekolah Madrasah
Ibtidaiyah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar. Gurunya yang utama di dalam Madrasah
tersebut adalah Syekh Yusūf al-Nasa’iy yang merupakan seorang sufi juga. Al-Nasa’iy adalah
guru imam al-Ghazālī yang pertama kali memberikan dasar-dasar yang akan menjadi
pemikiran imam al-Ghazālī tentang sufisme.7 Namun hal yang disayangkan adalah imam al-
Ghazālī dan Ahmad hanya bisa belajar sebentar kepada al-Nasa’iy karna harta yang
ditinggalkan ayahnya untuk keduanya sudah habis. Sehingga beliau dianjurkan untuk belajar
kepada suatu tempat belajar atau pesantren karna di pesantren itu terdapat beasiswa bagi para
santri.
Diceritakan di dalam kitab Ṭabaqā Al-Syāfi’iyyat al-Kubrā yang di karang oleh al-
Subkī, al-Ghazālī kecil belajar fiqi kepada gurunya Syaikh Ahmad bin Muhammad al-
Radzikānī. Lalu melanjutkan perjalanan belajarnya ke kota jurjan nyantri kepada Syaikh Abû
Nas r al-Ismâ’ilî. Al-Ghazâlî kecil merupakan anak yang rajin mencatat ilmu-ilmu dari gurunya
tersebut sampai tamat.
Dalam upaya melanjutkan pendidikannya, al-Ghazâlî berangkat pergi ke Naisabur dan
bersekolah di Madrasah Nizâmiyyah Naisabur yang dibimbing oleh ulama terkemuka yaitu
Imam Haramain Abû Ma’âly al-Juwainî, yang merupakan seorang ulama’ bermadhab Syafi‟i
yang mengikuti aliran Ash’ariyah, meski begitu al-Juwainî merupakan termasuk ulama’ yang
memiliki keberanian untuk mengkritik pendapat-pendapat yang sedang beredar pada saat itu.
Di Naisabur beliau menjadi mahasiswa sekaligus Asdos (Asisten Dosen) Imam Juwainî setelah
ia belajar secara sungguh-sungguh kepada tokoh yang digelari Imam Dua Tanah Suci sampai-
sampai diceritakan bahwa gurunya kagum dan iri dengan kegeniusan muridnya tersebut. Muh.
Jawadi Ridha berpendapat bahwa pertemuan Imam al-Ghazâlî dengan Imam Haramain
berlangsung dari tahun 470 H. hingga wafatnya pada tahun 478 H. Dia belajar dari al-Juwainî
tentang ilmu-ilmu jadal, kalâm, fiqih, mantîq dan segala hal yang berkaitan dengan filsafat dan
pada akhirnya dia menjadi terpelajar yang menurut ukuran pada masa itu telah menguasai ilmu-
ilmu yang harus dikuasai. Namun begitu sumbangan pengajaran dari ulama’ sebelumnya baik
di Thus maupun di Jurjan seperti al-Razikanî dan Ibnu Nash al-Ismâ’il banyak mempengaruhi
jiwa al-Ghazâlî.

6
Evan Hamzah Muchtar, “Pengaruh Pemikiran Imam Al-Ghazali Terhadap Perkembangan Peradaban Islam,”
STAI Asy-Syukriyyah (January 1, 2020), accessed December 3, 2022,
https://www.academia.edu/41619591/Pengaruh_Pemikiran_Imam_Al_Ghazali_Terhadap_Perkembangan_Per
adaban_Islam.
7
M. Bahri GHAZALI, Konsep IImu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik (Pedoman Ilmu
Jaya, 1991), 22.
3

Setelah kematian al-Juwainî (478 H) beliau merantau ke al-Muaskar dengan tujuan


menjumpai Menteri Niẓamul Mulk yang memiliki Majelis A’lim Ulama’ (tempat diskusinya
para ulama’). Saat itu Imam al-Ghazâlî masih berumur 28 tahun. Di sana ia nimbrung,
berdialektika, dan berdebat ilmiah dengan para ulama senior hingga suaranya didengar dan
pendapatnya diperhitungkan berkat kecerdasan dan kedalaman ilmunya. Mereka mengakui
kejeniusannya dan menaruh hormat padanya. Akhirnya Menteri Nizamul Mulk meminangnya
menjadi dosen di pusat Universitas Niz amiyah di Baghdad. Menjadi dosen dikampus ini
merupakan jabatan bergengsi dan prestisius yang didambakan dan diperebutkan oleh para
cendikiawan dan ulama’.
Ketika para tokoh berebutan mencari dan mempertahankan posisi yang dimiliki al-
Ghazâlî (Dosen di Al-Niz amiyah) ia dengan sadar dan atas ‘abqariyah-nya (kejeniusannya)
memilih untuk meninggalkannya. Kemudian al-Ghazâlî mengembara ke Damaskus (Suria),
Quds (Palestina), Mekkah, Madinah dan lain-lain. Selama pengembaraan inilah beliau
mencatat pengalaman spiritual-intelektualnya yang kemudian hari dikenal dengan Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn.
Sekembalinya dari pengembaraannya tahun 499 H beliau diminta mengajar lagi di Niz
amiyah Cabang Naisabur oleh Menteri Fakhruddîn al-Mulk. Dengan terpaksa ia memenuhi
perintah tersebut namun tidak berlangsung lama. Dan Pada akhirnya beliau kembali ke tanah
kelahirannya, Thus, membangun semacam pesantren sufi (khanzah atau zawiyyah) di dekat
rumahnya dimana beliau menghabiskan sisa waktunya untuk mengajar, mengkhatamkan Al-
Qur‟an, bercengkrama dengan para sufi dan beribadah disana sampai Malaikat Maut
menjemputnya.8
B. Kondisi Zaman Imam al-Ghazâlî
Agar supaya kita bisa lebih memahami tentang sosok al-Ghazālī dalam aspek
keagamaan ataupun intelektual, maka displin ilmu dan pengetahuan terhadap situasi dan
kondisi Islam pada zamannya tak bisa diabaikan, dan harus diketahui. Diantaranya adalah:
a. Kondisi Intelektual dan Keagamaan
Negara Islam Sunni di zaman pemerintahan Bani Saljuq memiliki kemampuan yang
luar biasa terlebih yang berada di bawah kepemimpinan Wazîr Niz âm al-Mulk benar-benar
pengaruh Islam Sunni di dunia Internasional telah kembali, baik di dalam aspek politik,
intelektual ataupun budaya.9
Islam pada masa itu telah mengalami perkembangan yang luar biasa pesat namun
mengkhawatirkan, disebabkan kebebasan berfikir dan pemikiran filsafat telah mendominasi
pola kehidupan masyarakatnya yang mengesampingkan moralitas keagamaan. Agama
hanya sebagai sarana mencapai setiap ambisi duniawi.10 Tindas menindas antar suku, antar
faham, antar aliran dan antar agama menjadi suatu tradisi untuk saling menguasai dan saling
ber-oposisi. Karena itu peran kaum intelektual dan ulama’ merupakan salah satu vitalitas
Negara.
Dorongan berkompetisi dalam berbagai pemikiran, filsafat, teologi dan fiqh, demi
memperoleh penghormatan dan kekuatan materi duniawi, memacu masyarakatnya
bergairah di bidang ilmu pengetahuan. Dominasi ilmu pengetahuan dalam setiap pemikiran

8
Dwi Runjani Juwita, “Al-Ghazâlî Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Dunia Islam,” Tafáqquh: Jurnal
Penelitian Dan Kajian Keislaman 4, no. 2 (December 1, 2016): 62.
9
Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam
(Penerbit Serambi, 2005), 473.
10
al-Ghazālī, al-Munqīd min al Ẓalāl, ed. „Abdul Halim Mahmud, (Kairo: Dâr al-Nasr Li T abâ‟ah, 1968), 15.
4

dan keagamaan tersebut memperkuat budaya rasionalis dan formalis dalam Islam. Dari sini
muncul satu kelompok oposan yang menentang budaya tersebut dengan lahirnya kembali
budaya sufistik dikalangan masyarakat ekonomi lemah. Fenomena di atas menunjukkan
bahwa segala aktivitas, baik yang bersifat keagamaan maupun ilmiyah tidak menjamin
kejujuran intelektual religius seseorang.
b. Situasi Sosial Budaya
Budaya kebebasan berfikir dan pemikiran filsafat yang menguasai pola pemikiran
muslim saat itu telah merevolusi pemahaman agama. Agama kita surut dari otoritas dan
autentitas-nya. Kebenaran tidak lagi berdiri di atas azas religius-nya. Kebenaran menjadi
spekulasi para intelektual. Dan umat yang ummi hanya mengekor dibelakangnya,
mendukung fanatisme tumbuh subur dikalangan tersebut. Rasionalisme dan formalisme
telah menjadi budaya masyarakat yang lemah. Di sinilah yang melahirkan pertentangan
antara ahli kalam, ahli fiqh dan ahli tasawwuf.
Kelompok mutakallimûn dan fuqahâ’ selalu melecehkan dan mengabaikan kelompok
sufi dan sebaliknya. Kecenderungan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi telah
menggiring terjadinya degradasi moral di mana-mana. Para ulama‟ dan intelektual
kehilangan idealisasi keagamaan dan keislamannya. Para Sultan kehilangan kepercayaan
terhadap agama, dan masyarakat dilanda obsesi terhadap nilai spiritual keagamaannya.9
C. Pola Pemikiran
Membicarakan pemikiran seorang tokoh senantiasa harus dihubungkan dengan keadaan
yang mengitarinya, sebab al-Ghazâlî adalah kegiatan integral dari sejarah pemikiran Islam
secara keseluruhan. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang turut menentukan.
Hasilhasil pemikiran dalam kenyataan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi senantiasa
mempunyai kaitan histori dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya dan mempunyai
hubungan dengan pemikiran yang ada pada zamannya. Asumsi ini tentu berlaku pada al-
Ghazâlî. Ini dinyatakan sendiri dalam Munqid min al-Zalal:
“Dan ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih aku mengarungi intinya lautan yang
dalam lalu aku menyelam kedalamannya bukanlah seperti seorang pengecut yang sangat
penakut, aku menelusuri setiap sisi yang amat gelap dan aku serang setiap ada rintangan
kemuskilan, aku hamparka diriku pada setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap
akidah masing-masing golongan.”10
Dominasi rasional terhadap agama yang menjadi ciri perkembangan Islam masa itu
membuka kreatifitas pemikiran muslim tanpa bisa dibendung. Penafsiran dan pemahaman
agama diletakkan di atas konstitusi formal dan rasional. Kebenaran disanjung di atas
spekulasispekulasi intelektual, fanatisme menjadi sistem keabsolutannya. Karena itu masing-
masing aliran menganggap kelompoknya yang paling benar.11 Lenyapnya moral religius
dikalangan ulama‟ dan intelektual, melahirkan kesombongan intelektual di atas segala-
galanya. Agama diperalat sebagai pemicu segala ambisi duniawinya. Dan masyarakat
dikelabuhi oleh pesona pemikirannya. Di sinilah pusat kegentingan keagamaan dalam
masyarakat pada masa itu, sebaba agama telah dikaburkan dan dikorbankan.
Ulama‟ fiqh terlalu menekankan pemahaman formal terhadap AlQur‟an dan al-
Sunnah. Ulama‟ mutakallimûn terlalu terbuai oleh premispremis spekulatif (filosofis), sedang
perkembangan tasawwuf cenderung menggiring kepada pemahaman esoteric. Kecenderungan
masing-masing kelompok yang tidak saling kompromi melahirkan pertikaian diantara mereka.
Dari sini produktifitas karya-karya yang bernada subyektivitas golongan memenuhi pustaka
intelektual muslim saat itu.
5

Pertikaian yang sering terjadi dalam masyarakat dan dalam pemikiran keagamaan
menimbulkan kegelisahan dalam diri al-Ghazâlî, terutama setelah menyaksikan fenomena riil
di kota Nisyabur. Sejak itu beliau berusaha menguasai, mendalami menganalisa dan berupaya
mencari harmonisasi dari berbagai aliran keagamaan dengan penuh keberanian untuk
mengungkap segala misteri yang ada dibalik pertikaian aliran-aliran tersebut.12 Keberanian al-
Ghazâlî tersebut didorong oleh semangat pencariannya terhadap kebenaran sejati (substansial),
karena itu alGhazâlî selalu curiga dan bersikap kritis terhadap berbagai pemikiran yang
mendorong produktifitasnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan.
D. Karya imam al-Ghazâlî
Imam al-Ghazâlî menciptakan banyak berbagai karya tulisnya. Hasan Ibrāhīm Hasan
mnyebutkan 228 jumlah karya tulisnya. Yang mana mencakup tentang filsafat, agama, sejarah
dan tasawuf.11 Abdul Aziz Dahlan dkk., merinci lagi karya-karya imam al-Ghazâlî sesuai
bidang ilmunya, Dalam bidang fikih contohnya antara lain al-Wasit (Yang pertengahan) dan
al-basit (Yang sederhana). Sedangkan dalam bidang akhlak dan tasawuf Ihyā' Ulūmid-Dīn
(Menghidupkan Ilmu-Imu Agama), Minhājul-'Abidin (jalan Orang-Orang yang Beribadah),
Kimya'us- Sa'adah (Kimia Kebahagiaan) dan lain-lain. Dalam bidang usul-fikih menyebutkan
al- Mankhūl min Ta'liatil-Uṣhūl (Pilihan yang Tersaring dari Noda-Noda Usul Fikih). Dan di
bidang filsafat menyebutkan Maqāṣidul-Falāsifah (tujuan Para Filsuf), Taẖāfutul falāsifah
(Kekacauan Para Filsuf). Dan di bidang ilmu kalam sebagaimana al Iqtis̱ād fil I'tiqād
(Kesederhanan dalam Beriktikad), Fa'is̱ālut-Tafrīqah bainal-Islām waz-Zibndiqah (Garis
Pemisah antara Islam clan Kezindikan). Di bidang ilmu Alquran contohnya jawāhirul-Qur'ān
(Mutiara-Mutiara Al-qur’an), Yaqūtut-Ta'wīl fi Tafsīrit-Tanzīl (Permata Takwil dalam
Menafsirkan Alqur'an). Tapi karya beliau yang paling terkenal di antara karya tulisnya adalah
Ihyā' Ulūmid-Dīn. Kitab ini berisi filsafat, akhlak dan tasawuf yang terbagi menjadi 4 bagian
(Rub’).
Pada bagian yang awal dikasih nama Rub'ul 'Ibādāt. pada bagian yang pertama ini
dianggap sebagai dasar pokok bagi pembinaan akhlak manusia. Sebagaimana judul tersebut
maka bagian ini mencakup 10 kitab yaitu: 1. Kitābul-'Ilm; 2. Kitāb Qawa'idul- 'Aqāid ; 3. Kitāb
Asrārut Tahārah; 4. Kitāb Asrarus̱-S̱alāh; 5. Kitāb Asrār az-Zakāh; 6. Kitab Asrārus̱ -S̱iyām;
7. Kitāb Asrārul-Hajj; 8. Kitāb Adab Tilāwatil-Qur'an; 9. Kitābul-Azkār wa Da'awāt; 10. Kitāb
Tartībul Aurād fil-Auqāt. Imam al-Ghazâlî pada kitab 3 s.d. 7, pada pembahasaanya lebih
menekankan terhadap segi hikmah atau rahasia pada setiap kegiatan ibadah.
Yang kedua adalah bagian Rub'ul-'Ādāt. Dalam bagian ini al-Gazali membahas
berbagai macam kegiatan yang menjadi kebiasaan adat manusia sehari-hari. Al-Gazali
menawarkan berbagai proses agar perilaku itu menjadi baik sesuai dengan ajaran Islam yang
bersumber Al-Quran dan sunnah Nabi. Dalam bagian ini juga telah mencakup 10 kitab yaitu:
1.Kitāb Adabul-'Aql; 2. Kitāb Adabun-Nikaẖ; 3. Kitāb Aẖkāmul-Khamsah; 4.Kitābul-Halāl
wal-Harām; 5. Kitāb Adabus-Suẖbah wal-Mu'āsyarah ma'a As̱nāfil-Khalq; 6.Kitābul-'Uzlah
;7. Kitāb Adabus-Safar, 8. Kitabus-Simā' wal-Wijd; 9. Kitāb Amr bil-Ma'ruf wan-Nahy 'anil-
Munkar; 10. Kitābul- Ma'īsyah wa Akhlāqun-Nubuwwah.
Yang ketiga, bagiannya disebut Rubu'l Muhlikat. Sesuai dengan judulnya maka pada
kitab ini akan dibahas hal-hal yang dianggap oleh al-Gazali sebagai perusak akhlak dan budi-
pekerti manusia, terutama pada kitab 3 dan seterusnya. Kitab ini mencakup 10 kitab yaitu : 1.
Kitāb 'Ajā'ibul-Kholq; 2. Kitāb Riyādatun-Nafs; 3. Kitāb Āfātus Syahwatain (Syahwatul-Baṯn

11
M. Asyhari, “PENGARUH FILSAFAT ETIKA DAN TASAWUF IMAM GAZALI DI INDONESIA,” Al Qalam 21, no. 100
(April 30, 2004): 103.
6

wa Syahwatul-Farj); 4. Kitāb Afatiul lisan; 5. Kitāb Afātul-Gaḏab wal-H̱iqd ·wal-H̱asad; 6.


Kitāb Žammud-Dunya; 7. Kitāb Žamul-Mal wal-Bukhl,· 8. Kitāb Žammul-Jāh war-Riyā'; 9.
Kitāb Žammul-Kibr wal-'Ujub; 10. Kitāb Žammul Gurūr.
Yang keempat, bagiannya disebut Rub'ul Munjiyāt. Sesuai dengan judulnya maka di
dalamnya mengulas tentang hal-hal · yang bisa menaikkan derajat manusia, memperluhur
akhlak atau budi pekerti yang nantinya mengarah kepada tasawuf. Pada bagian ini juga terdiri
dari 10 kitab yaitu : 1. Kitābut-Taubah; 2. Kitābus̱-S̱abr wasy-Syukr; 3. Kitābul-Khauf war-
Rajā'; 4. Kitābul-Faqr waz-Zuhd; 5. Kitābut-Tauẖīd wat-Tawakkul,· 6. Kitābul-Maẖabbah
wasy-Syauq wal-'Uns war-Ridā; 7. Kitābun-Niyyah was̱-S̱idq wal-Ikhlās; 8. Kitābul-
Murāqabah wal-Muẖāsabah; 9. Kitābut-Tafakkur; 1o. Kitabuž-Žikril-Maut.
Dari penjelasan di atas maka menjadi jelas bahwasanya rub' yang terakhir (munjiyāt)
yang membahas tentang ajaran tasawuf al-Gazālī. Corak yang terdapat pada tasawuf al-Gazali
tetap sesuai dengan jalan syariat tetapi dengan cara yang mendalam dan khusu' namun tidak
sampai kepada wihdatul-wujud.12
Kemudian Hasan Ibrahim Hasan memaparkan bahwasanya karya tulis terpenting
kedua ialah al-Munqiž minad-Dalāl yang berkaitan dengan filsafat dan diuraikan dengan
ilmiah.13 Karya-karya yang lain ialah: 1Adabus-Sufiyah; 2. Ayyuhal- Walad; 3. Bidāyatul-
Hidāyah; 4. Tahžibun-Nufūs; 5. Jawahirul-Qur'an wa Ḏuraruhu; 6. KhuIasātut-Tas̱ānīf; 7. Ar-
Rasā'ilul-Qudsiyyah fi Qawa'idil-'Aqā'd; 8. Faḏā'ilul-Bāṯiniyyah wa Fadā'ilul-Mustaḏriyyah;
9. Asrārul-Hajj fil-Fiqhisy-Syāfi'i; 10. Taẖafutul-Falāsifah; 11. Mi’yārul-'Ilm fil-Mantiq.
Sebagian karya tersebut di atas telah dibahas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan
bahasa-bahasa lainnya.14
E. Kedudukan dan Peran al-Ghazâlî dalam Sejarah Islam dan Sejarah Ilmu Pengetahuan.
Samuel M. Zwemer berpendapat, bahwasanya ada empat orang yang memiliki jasa
paling besar untuk agama Islam, yaitu: Nabi Muhammad saw, Imâm Bukhârî yang berjasa
sebagai pengumpul hadits-hadits yang paling mashhûr, Imâm Asha’rî yang berperan sebagai
teolog terhebat dan juga beliau berani menantang rasionalisme, dan imam al-Ghazâlî sebagai
sufi dan juga reformer. Imam Al-Ghazâlî merupakan sosok penyelamat tasawwuf dari ambang
kehancuran yakni dengan mengintegrasikannya dengan fiqh dan kalam sehingga ajaran Islam
menjadi ajaran yang utuh juga telah meninggalkan pengaruh begitu luas terhadap sejarah Islam.
Bahkan di saat ia masih hidup, Karya-karya al-Ghazâlî dan kuliah-kuliahnya tersebar
luas dan diterima secara luas. Oleh karna itu menyebabkan ajaran-ajaran alGhazâlî bisa
terkenal ke berbagai daerah, ketika al-Ghazâlî masih hidup, dikalangan komunitas muslim yang
berbahasa arab, baik di Timur maupun di Barat. meskipun sudah hampir lebih seribu tahun al-
Ghazâlî wafat, tapi ilmunya, serta goresan tinta buah penanya menjadi abadi. hingga kini masih
sangat berpengaruh sebab masih diperlukan dan dikaji oleh kalangan umat manusia dari
berbagai bangsa dan agama.15
Upaya yang dilakukan oleh Imam al-Ghazâlî adalah mengatasi dan menyelesaikan
problem spiritualnya guna menghadapi berbagai pemikiran yang hidup dalam berbagai aliran

12
Wihdatul-Wujud (Manunggaling Kawula Gustt) atau unitJ of existence mempakan tujuanakhir ajaran sufi
tertentu dengan menyatunya seorang sufi dengan Tuhannyasebagaiman ajaran Muhyid-Din lbnu�'Arabi
kemudian diikuti al-Hallaj dan Syeh SitiJenar. Lihat Hamn Nasution, op.cit., h. 92-93.
13
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h, 535.
14
Ibid, 536.
15
“Pemikiran Dan Doktrin Mistis Imam Al Ghazali,” 225, accessed December 4, 2022,
https://psbsekolah.kemdikbud.go.id/kamaya/index.php?p=show_detail&id=15012.
7

keagamaan, sudah berhasil mengatasi macam-macam problem keagamaan yang tengah


ditantangi oleh umat manusia.
Kejelian analisisnya kepada berbagai macam pemikiran yang berkembang pada
zamannya, menjadikan al-Ghazâlî berhasil mengangkat namanya dalam bidang-bidang yang
dikajinya sebagai tokoh pembaharu. Ketokohannya tersebut pada saat yang sama telah
merekonstruksikan Islam di atas autentisitas Kalam Allah. Sebab inilah keberhasilan al-
Ghazâlî memperkuat, memperkokoh dan memperluas wilayah Islam Sunni hingga saat ini.
Kesuksesan al-Ghazâlî sebagai pembimbing spiritual yang berlandasan pada moralitas
keagamaan telah dapat mengakhiri sejarah perdebatan panjang dikalangan fuqahā’ dalam
Islam, dan mutakallimûn dan sufi melalui sintesa harmonisnya yang dikekalkan dalam karya
Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.
Adapun sikap Imam al-Ghazâlî ketika menghadapi bermacam-macam dinamika
problem spiritual dan kesabarannya untuk menemukan kebenaran substansial, sebagaimana
yang dituliskan di dalam karya auto biografinya, telah menarik simpati dari berbagai tokoh-
tokoh modern, baik dari Timur maupun Barat. Watt dalam hal ini secara implisit mengangkat
menjadikan al-Ghazâlî sebagai tokoh spiritual dikalangan umat Kristiani.16 Dalam berbagai
visinya telah memantapkan pengikut dan Negara Islam sunni atas Negara Islam sufi, sampai
kini.17
Demikian juga tanggapan dan kritikannya terhadap filsafat, teologi dan sufistik yang
berkembang pada masanya, melahirkan karya-karya yang pengaruhnya tidak dapat diabaikan,
baik di dunia Islam sendiri maupun di luar Islam. Sebab itulah ia mendapat gelar Hujjat al-
islâm dan juga dianggap intelektual muslim terbesar.18
Kesuksesan Imam al-Ghazâlî dalam merintis suatu jalan yang siap untuk dilewati oleh
orang-orang dengan menggiring Islam kembali kepada fakta-fakta sejarah dan fakta-fakta
fundamentalnya dan juga meletakkan kehidupan keagamaan yang emosional dalam sistemnya
memberi daya hidup dan daya tahan religius. Karena itu penyebaran sufisme pasca al-Ghazâlî
telah tunduk dibawah prinsip-prinsip Islam Sunni. Arah kedua dari pengaruh sistem al-Ghazâlî
adalah bersifat intelektual. Di sini terbelah menjadi dua arah yang kontradiktif, teologi
sistematis dan teologi sufisme spekulatif (teosofi).
Teologi yang bersifat dogmatis dan formal rasional terus mempertahankan struktur
kredo sharî’ah dengan senjata rasional yang dihidupkan kembali dengan materi-materi
filosofis. Perkembangan teologi ini dalam rangka mempertahankan sistem Islam Sunni yang
memungkinkan ekspansi teologi menjadi kumpulan pemikiran sistematis yang meliputi
epistemologi dan metafisik, suatu ekspansi yang pertama kali dimunculkan oleh karya Teolog
al-Râzî (606 H/1209 M).19
Sumbangannya Imam al-Ghazâlî terhadap ilmu pengetahuan. Adalah dengan senjata
moral religiusnya yang mana beliau menempatkan arti, nilai dan tanggung jawab moral di atas
standar ilmu pengetahuan. Beliau memaparkan bahwasanya ilmu pengetahuan berasal dari
Tuhan, maka bentuk manifestasi dari ilmu tersebut merupakan media penunjang kesempurnaan
manusia sebagai Khalîfat Allâh fi al-Arḍ . 19

16
W. Montgomery Watt and Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, The Faith and Practice of Al-
Ghazali (Simon and Schuster, 2020), 15.
17
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), 268
18
William Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (University Press, 1963), 173.
19
Abu Hamid Al-Ghazâlî, Ih yâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Mesir: Isa Al-Bab al-Halaby, t.t.), vol. I, 10
8

Sebab itulah setiap individu manusia memilki tanggung jawab atas kebenaran ilmu
pengetahuan yang ia milki. dikarenakan Konsep inilah yang membuat Imam al-Ghazâlî
terbayangi dengan kebimbangan dan ketidakpuasan beliau terhadap pemikiran yang
berkembang pada eranya. Metodologi dan sikap al-Ghazâlî inilah yang menciptakan muncunya
sifat skeptisisme dalam dunia ilmu pengetahuan.
Buah kesuksesan Imam al-Ghazâlî menguasai terhadap berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, baik dalam ilmu shâri’a ataupun ilmu-ilmu umum, yang akhirnya mengantarkan
al-Ghazâlî menduduki pangkat mufti kesultanan Saljuk, yang telah sukses mempertahankan
kebesaran Islam Sunni hingga saat ini. Kemudian lewat karya-karyanya dalam banyak bidang,
baik dalam bidang tasawwuf, logika, etika, sosial, filsafat, politik, hukum dan bidang lainnya
telah memberikan berbagai suasana baru untuk perkembangan dunia intelektual muslim yang
ontology pemikiran Islam lewat studi Al-Qur’an, di samping dunia intelektual secara umum.
Imam al-Ghazâlî yang ditokohkan telah menjadi fokus perbincangan telah menempati
kedudukan yang unik di dalam sejarah agama dan pemikiran Islam disebabkan kedalaman
ilmunya, keoriginalan pemikirannya, dan kebesaran pengaruhnya dikalangan ummat Islam.
Disamping keahlian beliau dalam bidang agama, pendidikan dan hukum Islam, ia juga
mempunyai ilmu yang sangat luas tentang tasawwuf, filsafat, masalah kejiwaan dan akhlaq
beserta spiritualitas Islam. Dibagian timur dunia Islam beliau sangat berpengaruh terhadap
masyarakat Islam Sunni dan mendapatkan kesuksesan dalam memimpin mereka, bahkan juga
di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil, hingga sekarang pengaruh alGhazâlî masih tetap
ada diseluruh penjuru dunia Islam.20
Di Timur, al-Ghazâlî mendapat kesuksesan di dalam bidang pembaharu spriritual dan
mental umat, sampai-sampai pendapat-pendapatnya merupakan pemikiran yang sangat penting
dalam Islam. Bukunya Ih yâ’ ‘Ulûm al-Dîn adalah bukti kongkrit dari adanya usaha tersebut.
Dalam masa itu juga ia telah berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh
pemikiran negatif pada filsafat Yunani, ilmu Kalam dan aliran kebatinan. Yang mana pada
pembelaannya itu beliau telah berhasil memperbaiki kondisi masyarakat Islam pada waktu itu
dari memujakan akal di atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah swt, yaitu dalam artian
hukum sharî’at Islam itu menguasai terhadap akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan
bisa diraih. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak salah jika orang-orang menggelari
Imam al-Ghazâlî dengan gelar Hujjat al-Islâm (pembela agama Islam), Zain al-Dîn (permata
agama Islam) dan Mujaddid (pemabaharu).
Fazlur Rahman berpendapat bahwasanya Imam al-Ghazâlî telah melakukan
pembaharuan dalam bidang tasawwuf. Adapun pemabaharuan yang dilakukan adalah
mengintegrasikan tasawwuf dengan kesadaran sharî’at yang telah dilakukan mulai dalam
pertengahan kedua abad ketiga hijriyah dengan tokoh-tokoh seperti al-junaid dan al-kharrāz
dan gerakan ini sudah mencapai tahap puncaknya dibawah komando Imam al-Ghazâlî yang
nantinya akan sangat menentukan perkembangan pemikiran Islam.21
Tulisan al-Ghazâlî di bagian barat dunia Islam, tidak saja memberikan pengaruh para
pemikir Islam seperti Ibnu Rushd, namun juga memberi pengaruh terhadap para pemikir yahudi
dan kristen sebagaimana Thomas Aquinas dan Blaise Puscal,22 serta kepada filosof-filosof
Barat lainnya, seperti halnya yang diakui oleh Asim Palaeros, yang mana pemikiran beliau

20
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian & Kesehatan Mental (Ruhama,
1994), 12–13.
21
Fazlur Rahman, Islam….., 202.
22
Al-Ghazâlî, al-Munqîd min al-Z alâl, ed. Abd al-Halim Mahmud, (Kairo: Dar al-Nasr Li Taba‟ah 1968), 14.
9

banyak persamaannya dengan al-Ghazâlî dalam pendiriannya, yaitu bahwa pengetahuan-


pengetahuan agama tidak hanya bisa didapatkan dari buah akal pikiran semata tetapi juga harus
dengan rasa dan hati.23
Imam al-Ghazâlî Dalam literatur Barat, derajatnya ditempatkan setarakan dengan St.
Agustinus, yang merupakan filosof Kristen yang telah mengarang buku The City of God.
Bahkan seorang orientalis H.A.R. Gibb selain menempatkan Imam al-Ghazâlî sejajar dengan
St. Agustinus, namun juga disejajarkan kedudukannya dengan Martin Luther, yaitu pembaharu
agama Kristen.24 Adapun Di Eropa Barat, Imam al-Ghazâlî mendapat perhatian khusus, tidak
jarang yang memberikan penghargaan kepada beliau. sebagaimana Filosof asal Prancis, Renan,
Pujangga-pujangga Cassanova, Carra De Vaux merupakan termasuk orang-orang yang kagum
terhadap Imam al-Ghazâlî.25
Imam al-Ghazâlî membagi ummat manusia menjadi 3 golongan: yakni kaum awam,
kaum pilihan, dan kaum penengkar, adapun kaum awam dengan akalnya yang sangat sederhana
sekali tidak mampu menagkap suatu hakikat, oleh karena itu mereka memiliki sifat lekas
percaya dan penurut, untuk menghadapi kelompok ini harus diatasi dengan sikap memberi
nasihat dan petunjuk, dan adapun kaum pilihan yang akalnya kuat serta memiliki pikiran yang
mendalam maka sikap untuk menghadapinya dengan memberikan pemahaman tentang hikmat-
hikmat, sedangkan untuk kaum pengingkar maka sikap yang seharusnya untuk menghadapinya
yaitu dengan mematahkan argumen-argumennya.26
Inilah yang dimaksud dengan ayat berikut:
ُ َ َّ َ َْ َ ُ َ َّ ْ َ َّ ْ َ َ َْ َ ْ ْ ْ َ ٰ ُ ُْ
‫ال ك َم ِة َوال َم ْو ِعظ ِة الح َسن ِة َوج ِادل ُه ْم ِبال ِت ْي ِه َي اح َس ُنُۗ ِان َرَّبك ه َو اعل ُم ِب َم ْن ضل ع ْن َس ِب ْي ِل ٖه َوه َو‬ ِ‫ادع ِالى َس ِب ْي ِل َر ِبك ِب ح‬
َ ْ َْ َ
‫اعل ُم ِبال ُم ْهت ِد ْي َن‬
Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah424) dan pengajaran yang baik serta
debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat
petunjuk.(QS. Al-Nahl: 125)
Hikmah adalah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak
dengan yang batil.
Imam al-Ghazâlî termasuk ulama’ yang tegas terhadap dua hal: yakni anlisis dan
pengamatan, dan pentingnya keraguan. Di dalam kitab Al-Munqidh min al-Dalal beliau
menulis27:
“ Sejak aku berusia kurang dari dua puluh tahun (sekarang berusia lebih dari lima puluh
tahun)....aku tidak pernah berhenti meneliti setiap keyakinan atau dogma. Setiap penganut
bathiniah yang temui membuat diriku berkeinginan untuk meneliti atau menyelidiki
esoterismenya, tidak ada dari penganut zahiriyah yang tidak mendorong keinginan ku untuk

23
A. Ahmadi and M. A. Rosali, Seluk-Beluk Filsafat Islam: Untuk Perguruan Tinggi (Rosda, 1988), 55,
https://books.google.co.id/books?id=byyvAAAACAAJ.
24
M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah: kumpulan karangan (Girimukti Pasaka, 1988), 175.
25
Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam / Yunasril Ali | Online System Library, n.d., 126–128, accessed
December 5, 2022, //digilib.staidagresik.ac.id%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D1326.
26
“Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam / Oleh Harun Nasution | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” 50,
accessed December 5, 2022, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=261023.
27
“Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam C.A.Qadir ; Penerjemah, Hasan Basri | Dinas Perpustakaan Dan
Arsip Daerah DIY,” 133, accessed December 5, 2022, http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-
opac?id=80642.
10

memahami literalismenya, dan juga tidak ada filsuf yang tidak mendorong keinginanku untuk
memahami esensi filsafatnya, dan juga tidak ada teolog dialektis (ahli ilmu kalam) yang tidak
membangkitkan keinginanku untuk memastikan objek dialektika dan teologinya, begitu pula
tiada sufi yang tidak mendorong hasratku untuk mengulas rahasia sufismenya, dan tidak ada
asketik (zahid) yang aku lewati untuk mengkaji sumber asketismenya, dan tidak ada zindik
yang ateistik yang tidak menyebabkan aku meraba-raba untuk mencari sebab-sebab
keateismenya dan kezindikannya yang nekad. Sebagaimana kehauskan yang tidak pernah
terpuaskan di dalam relung jiwaku terhadap penyelidikan yang sejak awal keremajaanku, suatu
naluri dan karakter yang di anugrahkan oleh Allah tanpa keinginanku sendiri.”
Imam al-Ghazâlî dalam bidang pengetahuan teoligis memiliki jasa yang sangat besar,
yaitu bahwa ia telah menyajikan kelima rukun Islam, yaitu kalimia (kesaksian bahwa Allah itu
esa dan nabi Muhammad SAW adalah rosulnya), namaz (sholat wajib yang lima), puasa (tidak
makan dan minum sejak fajar hingga matahari tenggelam dalam bulan romadhon), zakat
(memberikan dua setengah persen dari tabungan tahunan kepada para fakir miskin), dan juga
hajj (naik haji) dengan kata-kata mistik disertai tafsiran mistiknya. Dengan cara tersebut dia
mampu mengatasi arti yang secara harfiah (tampak), dengan menggal jauh menuju arti yang
riil dan yang tersembunyi dari nash-nash al-Qur’an. Dengan upaya itu juga ia berhasil
memberikan arti yang lebih dalam dan cakupannya lebih halus terhadap kata-kata yang ada
dalam al-Qur’an sehingga membuatny menjadi lebih menarik teruntuk para pemikir dan orang
awam.28
Walaupun bisa dikatakan usahanya Imam al-Ghazâlî merupakan usaha yang cukup
berani, karna usahanya sudah sampai pada tingkatan tertentu, namun Imam al-Ghazâlî belum
pernah menyimpang dari jalan ortodoks, beliau memaparkan bahwasanya segala tatacara itu
harus dilaksanakan dengan sesuai al-Qur’an dan sunnah menurut huruf dan jiwanya. Yang ia
lakukan adalah memberikan makna spiritual dan mistik terhadapnya, dan dengan demikian
menyelamatkannya dari literalisme (sikap yang berpegang kepada bunyi nash saja).29
Imam al-Ghazâlî dalam dunia tasawwuf, beliau punya peran yang sangat yang penting
melalui gerakan ortodoksi sufisme. Imam al-Ghazâlî mengikis semua ajaran tasawwuf yang
menurutnya tidak islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru,
mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan menegaskan bahwa ucapan ekstatik berasal dari
orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Karna Imam al-Ghazâlî berpendapat
bahwa kenyataan setelah mereka sadar mereka mengakui juga bahwa kesatuan dengan tuhan
bukanlah kestauan yang hakiki tapi hanya kesatuan simbolik.30
Pendekatan yang di lakukan oleh Imam al-Ghazâlî, sepertinya bagi satu pihak
memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip, bahwa Allah dan ciptaannya adalah dua
hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan
kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman kesufian puncak itu
tanpa kekhawatiran di tuduh kafir, gambaran ini menunjukkan tasawwuf sebagai ilmu telah

28
Ibid., 105.
29
Ibid., 107.
30
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme / H.A. Rivay Siregar) (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002), 42, accessed December 5, 2022,
http://opac.library.um.ac.id/index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&id=19484&mod=b&cat=3.
11

sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat31, yang di tandai dengan
timbulnya dua aliran tasawwuf, yaitu tasawwuf sunni dan tasawwuf filsafati.32
Kesimpulan
Imam al-Ghazali adalah merupakan seorang ulama’ yang hidup pada saat pemikiran
keagamaan di dunia Islam sedang mengalami perkembangan dan keberagamaan. Lahirnya
berbagai pemikiran dan gagasan dari al-Ghazâlî memberi warna dan corak intelektualitas di
dunia Islam. Pengaruh al-Ghazâlî baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu
pengetahuan memang sangat besar. Pemikirannya banyak dijadikan rujukan bagi umat
sesudahnya. Karya-karya dan tulisannya tidak pernah berhenti dibicarakan hingga sekarang.
Pemikirannya tidak hanya mencakup ilmu agama atau masalah keislaman saja, tetapi juga ilmu
pengetahuan umum. Pengaruh pemikirannya tidak hanya mencakup wilayah Timur saja tapi
juga dunia Barat.
Daftar Pustaka
Achmad, Bahrudin. PERMULAAN JALAN HIDAYAH Kitab Panduan Ibadah dan Muamalah
(Terjemah Bidayatul Hidayah). Almuqsith Pustaka, 2021.

Agama, Referensi. “Referensi Agama: PEMIKIRAN AL GHOZALI DAN


PENGARUHNYA DALAM DUNIA ISLAM.” Referensi Agama, January 15, 2011.
Accessed December 3, 2022. http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/pemikiran-
al-ghozali-dan-pengaruhnya.html.

Ahmadi, A., and M. A. Rosali. Seluk-Beluk Filsafat Islam: Untuk Perguruan Tinggi. Rosda,
1988. https://books.google.co.id/books?id=byyvAAAACAAJ.

Asyhari, M. “PENGARUH FILSAFAT ETIKA DAN TASAWUF IMAM GAZALI DI


INDONESIA.” Al Qalam 21, no. 100 (April 30, 2004): 101–118.

GHAZALI, M. Bahri. Konsep IImu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik


Pedagogik. Pedoman Ilmu Jaya, 1991.

Hitti, Philip Khuri. History of the Arabs: Rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah
peradaban Islam. Penerbit Serambi, 2005.

Jaya, Yahya. Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian & Kesehatan
Mental. Ruhama, 1994.

Juwita, Dwi Runjani. “Al-Ghazâlî Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Dunia Islam.”
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 4, no. 2 (December 1, 2016): 59–
72.

Muchtar, Evan Hamzah. “Pengaruh Pemikiran Imam Al-Ghazali Terhadap Perkembangan


Peradaban Islam.” STAI Asy-Syukriyyah (January 1, 2020). Accessed December 3,
2022.
https://www.academia.edu/41619591/Pengaruh_Pemikiran_Imam_Al_Ghazali_Terha
dap_Perkembangan_Peradaban_Islam.

31
Ibid., 36–41.
32
Ibid., 43.
12

Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka Al-
Kautsar, n.d.

Natsir, M. Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah: kumpulan karangan. Girimukti


Pasaka, 1988.

Siregar, H. A. Rivay. Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme / H.A. Rivay Siregar).
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. Accessed December 5, 2022.
http://opac.library.um.ac.id/index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&id=19484&mod=
b&cat=3.

Watt, W. Montgomery, and Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. The Faith
and Practice of Al-Ghazali. Simon and Schuster, 2020.

Watt, William Montgomery. Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali. University Press,


1963.

“Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam C.A.Qadir ; Penerjemah, Hasan Basri | Dinas
Perpustakaan Dan Arsip Daerah DIY.” Accessed December 5, 2022.
http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=80642.

“Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam / Oleh Harun Nasution | OPAC Perpustakaan Nasional
RI.” Accessed December 5, 2022.
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=261023.

“Hierarki Ilmu : Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali,
Duthb Al-Din Al-Syirazi / Osman Bakar ; Pengantar, Seyyed Hossein Nasr ;
Penerjemah, Purwanto | OPAC Perpustakaan Nasional RI.” Accessed December 2,
2022. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=460808.

“Pemikiran Dan Doktrin Mistis Imam Al Ghazali.” Accessed December 4, 2022.


https://psbsekolah.kemdikbud.go.id/kamaya/index.php?p=show_detail&id=15012.

Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam / Yunasril Ali | Online System Library, n.d.
Accessed December 5, 2022.
//digilib.staidagresik.ac.id%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D1326.

Anda mungkin juga menyukai