Dosen pengampu:
Dr. H. Agus Aditomi M. Ag
Oleh:
Muhammad Athaillah (02040122013)
1
Bahrudin Achmad, PERMULAAN JALAN HIDAYAH Kitab Panduan Ibadah dan Muamalah (Terjemah Bidayatul
Hidayah) (Almuqsith Pustaka, 2021), 1.
2
“Hierarki Ilmu : Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali, Duthb Al-Din Al-
Syirazi / Osman Bakar ; Pengantar, Seyyed Hossein Nasr ; Penerjemah, Purwanto | OPAC Perpustakaan
Nasional RI.,” 179, accessed December 2, 2022, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=460808.
3
Referensi Agama, “Referensi Agama: PEMIKIRAN AL GHOZALI DAN PENGARUHNYA DALAM DUNIA ISLAM,”
Referensi Agama, January 15, 2011, accessed December 3, 2022,
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/pemikiran-al-ghozali-dan-pengaruhnya.html.
4
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Pustaka Al-Kautsar, n.d.), 361.
5
Al-Ghazali, Minhajul Abidin: meniti jalan menuju surga, jakarta: pustaka amani, hlm 3.
2
senggangnya, beliau selalu sempatkan untuk mengunjungi para ulama’ dan para ahli fiqih di
berbagai majelis dan khalawat mereka untuk mendengarkan pengajian dan nasihat-nasihat
mereka.6 Disebabkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, maka suatu saat beliau menagis
setelah mendengarkan ceramah-ceramah tentang fiqih dan juga banyak berbicara tentang fiqih
dan para ahlinya, sehingga beliau juga selalu berdoa agar supaya putranya menjadi orang yang
mencintai ilmu dan ulama’ sehingga menjadi ulama’ yang pandai dan dan juga suka memberi
nasihat. Beliau meninggal dunia di saat Imam al-Ghazālī dan Ahmad saudaranya masih belia.
Yang mana kemudian kedua anaknya nanti dititipkan kepada saudaranya yang merupakan
seorang sufi yang hidup sederhana.
Berkat doa ayahnya yang di ijabahi Allah akhirnya al-Ghazālī dan Ahmad saudaranya
menjadi seorang ulama’ hebat dan pecinta ilmu. Dan dengan bantuan sufi tersebut dan
peninggalan harta warisan ayahnya membuat al-Ghazālī bisa masuk sekolah Madrasah
Ibtidaiyah dengan mempelajari ilmu-ilmu dasar. Gurunya yang utama di dalam Madrasah
tersebut adalah Syekh Yusūf al-Nasa’iy yang merupakan seorang sufi juga. Al-Nasa’iy adalah
guru imam al-Ghazālī yang pertama kali memberikan dasar-dasar yang akan menjadi
pemikiran imam al-Ghazālī tentang sufisme.7 Namun hal yang disayangkan adalah imam al-
Ghazālī dan Ahmad hanya bisa belajar sebentar kepada al-Nasa’iy karna harta yang
ditinggalkan ayahnya untuk keduanya sudah habis. Sehingga beliau dianjurkan untuk belajar
kepada suatu tempat belajar atau pesantren karna di pesantren itu terdapat beasiswa bagi para
santri.
Diceritakan di dalam kitab Ṭabaqā Al-Syāfi’iyyat al-Kubrā yang di karang oleh al-
Subkī, al-Ghazālī kecil belajar fiqi kepada gurunya Syaikh Ahmad bin Muhammad al-
Radzikānī. Lalu melanjutkan perjalanan belajarnya ke kota jurjan nyantri kepada Syaikh Abû
Nas r al-Ismâ’ilî. Al-Ghazâlî kecil merupakan anak yang rajin mencatat ilmu-ilmu dari gurunya
tersebut sampai tamat.
Dalam upaya melanjutkan pendidikannya, al-Ghazâlî berangkat pergi ke Naisabur dan
bersekolah di Madrasah Nizâmiyyah Naisabur yang dibimbing oleh ulama terkemuka yaitu
Imam Haramain Abû Ma’âly al-Juwainî, yang merupakan seorang ulama’ bermadhab Syafi‟i
yang mengikuti aliran Ash’ariyah, meski begitu al-Juwainî merupakan termasuk ulama’ yang
memiliki keberanian untuk mengkritik pendapat-pendapat yang sedang beredar pada saat itu.
Di Naisabur beliau menjadi mahasiswa sekaligus Asdos (Asisten Dosen) Imam Juwainî setelah
ia belajar secara sungguh-sungguh kepada tokoh yang digelari Imam Dua Tanah Suci sampai-
sampai diceritakan bahwa gurunya kagum dan iri dengan kegeniusan muridnya tersebut. Muh.
Jawadi Ridha berpendapat bahwa pertemuan Imam al-Ghazâlî dengan Imam Haramain
berlangsung dari tahun 470 H. hingga wafatnya pada tahun 478 H. Dia belajar dari al-Juwainî
tentang ilmu-ilmu jadal, kalâm, fiqih, mantîq dan segala hal yang berkaitan dengan filsafat dan
pada akhirnya dia menjadi terpelajar yang menurut ukuran pada masa itu telah menguasai ilmu-
ilmu yang harus dikuasai. Namun begitu sumbangan pengajaran dari ulama’ sebelumnya baik
di Thus maupun di Jurjan seperti al-Razikanî dan Ibnu Nash al-Ismâ’il banyak mempengaruhi
jiwa al-Ghazâlî.
6
Evan Hamzah Muchtar, “Pengaruh Pemikiran Imam Al-Ghazali Terhadap Perkembangan Peradaban Islam,”
STAI Asy-Syukriyyah (January 1, 2020), accessed December 3, 2022,
https://www.academia.edu/41619591/Pengaruh_Pemikiran_Imam_Al_Ghazali_Terhadap_Perkembangan_Per
adaban_Islam.
7
M. Bahri GHAZALI, Konsep IImu Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik (Pedoman Ilmu
Jaya, 1991), 22.
3
8
Dwi Runjani Juwita, “Al-Ghazâlî Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Dunia Islam,” Tafáqquh: Jurnal
Penelitian Dan Kajian Keislaman 4, no. 2 (December 1, 2016): 62.
9
Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah peradaban Islam
(Penerbit Serambi, 2005), 473.
10
al-Ghazālī, al-Munqīd min al Ẓalāl, ed. „Abdul Halim Mahmud, (Kairo: Dâr al-Nasr Li T abâ‟ah, 1968), 15.
4
dan keagamaan tersebut memperkuat budaya rasionalis dan formalis dalam Islam. Dari sini
muncul satu kelompok oposan yang menentang budaya tersebut dengan lahirnya kembali
budaya sufistik dikalangan masyarakat ekonomi lemah. Fenomena di atas menunjukkan
bahwa segala aktivitas, baik yang bersifat keagamaan maupun ilmiyah tidak menjamin
kejujuran intelektual religius seseorang.
b. Situasi Sosial Budaya
Budaya kebebasan berfikir dan pemikiran filsafat yang menguasai pola pemikiran
muslim saat itu telah merevolusi pemahaman agama. Agama kita surut dari otoritas dan
autentitas-nya. Kebenaran tidak lagi berdiri di atas azas religius-nya. Kebenaran menjadi
spekulasi para intelektual. Dan umat yang ummi hanya mengekor dibelakangnya,
mendukung fanatisme tumbuh subur dikalangan tersebut. Rasionalisme dan formalisme
telah menjadi budaya masyarakat yang lemah. Di sinilah yang melahirkan pertentangan
antara ahli kalam, ahli fiqh dan ahli tasawwuf.
Kelompok mutakallimûn dan fuqahâ’ selalu melecehkan dan mengabaikan kelompok
sufi dan sebaliknya. Kecenderungan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi telah
menggiring terjadinya degradasi moral di mana-mana. Para ulama‟ dan intelektual
kehilangan idealisasi keagamaan dan keislamannya. Para Sultan kehilangan kepercayaan
terhadap agama, dan masyarakat dilanda obsesi terhadap nilai spiritual keagamaannya.9
C. Pola Pemikiran
Membicarakan pemikiran seorang tokoh senantiasa harus dihubungkan dengan keadaan
yang mengitarinya, sebab al-Ghazâlî adalah kegiatan integral dari sejarah pemikiran Islam
secara keseluruhan. Oleh karena itu situasi dan kondisi yang berkembang turut menentukan.
Hasilhasil pemikiran dalam kenyataan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi senantiasa
mempunyai kaitan histori dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya dan mempunyai
hubungan dengan pemikiran yang ada pada zamannya. Asumsi ini tentu berlaku pada al-
Ghazâlî. Ini dinyatakan sendiri dalam Munqid min al-Zalal:
“Dan ketika usiaku sudah mencapai lima puluh tahun lebih aku mengarungi intinya lautan yang
dalam lalu aku menyelam kedalamannya bukanlah seperti seorang pengecut yang sangat
penakut, aku menelusuri setiap sisi yang amat gelap dan aku serang setiap ada rintangan
kemuskilan, aku hamparka diriku pada setiap tanah berlumpur, dan saya memeriksa setiap
akidah masing-masing golongan.”10
Dominasi rasional terhadap agama yang menjadi ciri perkembangan Islam masa itu
membuka kreatifitas pemikiran muslim tanpa bisa dibendung. Penafsiran dan pemahaman
agama diletakkan di atas konstitusi formal dan rasional. Kebenaran disanjung di atas
spekulasispekulasi intelektual, fanatisme menjadi sistem keabsolutannya. Karena itu masing-
masing aliran menganggap kelompoknya yang paling benar.11 Lenyapnya moral religius
dikalangan ulama‟ dan intelektual, melahirkan kesombongan intelektual di atas segala-
galanya. Agama diperalat sebagai pemicu segala ambisi duniawinya. Dan masyarakat
dikelabuhi oleh pesona pemikirannya. Di sinilah pusat kegentingan keagamaan dalam
masyarakat pada masa itu, sebaba agama telah dikaburkan dan dikorbankan.
Ulama‟ fiqh terlalu menekankan pemahaman formal terhadap AlQur‟an dan al-
Sunnah. Ulama‟ mutakallimûn terlalu terbuai oleh premispremis spekulatif (filosofis), sedang
perkembangan tasawwuf cenderung menggiring kepada pemahaman esoteric. Kecenderungan
masing-masing kelompok yang tidak saling kompromi melahirkan pertikaian diantara mereka.
Dari sini produktifitas karya-karya yang bernada subyektivitas golongan memenuhi pustaka
intelektual muslim saat itu.
5
Pertikaian yang sering terjadi dalam masyarakat dan dalam pemikiran keagamaan
menimbulkan kegelisahan dalam diri al-Ghazâlî, terutama setelah menyaksikan fenomena riil
di kota Nisyabur. Sejak itu beliau berusaha menguasai, mendalami menganalisa dan berupaya
mencari harmonisasi dari berbagai aliran keagamaan dengan penuh keberanian untuk
mengungkap segala misteri yang ada dibalik pertikaian aliran-aliran tersebut.12 Keberanian al-
Ghazâlî tersebut didorong oleh semangat pencariannya terhadap kebenaran sejati (substansial),
karena itu alGhazâlî selalu curiga dan bersikap kritis terhadap berbagai pemikiran yang
mendorong produktifitasnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan keagamaan.
D. Karya imam al-Ghazâlî
Imam al-Ghazâlî menciptakan banyak berbagai karya tulisnya. Hasan Ibrāhīm Hasan
mnyebutkan 228 jumlah karya tulisnya. Yang mana mencakup tentang filsafat, agama, sejarah
dan tasawuf.11 Abdul Aziz Dahlan dkk., merinci lagi karya-karya imam al-Ghazâlî sesuai
bidang ilmunya, Dalam bidang fikih contohnya antara lain al-Wasit (Yang pertengahan) dan
al-basit (Yang sederhana). Sedangkan dalam bidang akhlak dan tasawuf Ihyā' Ulūmid-Dīn
(Menghidupkan Ilmu-Imu Agama), Minhājul-'Abidin (jalan Orang-Orang yang Beribadah),
Kimya'us- Sa'adah (Kimia Kebahagiaan) dan lain-lain. Dalam bidang usul-fikih menyebutkan
al- Mankhūl min Ta'liatil-Uṣhūl (Pilihan yang Tersaring dari Noda-Noda Usul Fikih). Dan di
bidang filsafat menyebutkan Maqāṣidul-Falāsifah (tujuan Para Filsuf), Taẖāfutul falāsifah
(Kekacauan Para Filsuf). Dan di bidang ilmu kalam sebagaimana al Iqtis̱ād fil I'tiqād
(Kesederhanan dalam Beriktikad), Fa'is̱ālut-Tafrīqah bainal-Islām waz-Zibndiqah (Garis
Pemisah antara Islam clan Kezindikan). Di bidang ilmu Alquran contohnya jawāhirul-Qur'ān
(Mutiara-Mutiara Al-qur’an), Yaqūtut-Ta'wīl fi Tafsīrit-Tanzīl (Permata Takwil dalam
Menafsirkan Alqur'an). Tapi karya beliau yang paling terkenal di antara karya tulisnya adalah
Ihyā' Ulūmid-Dīn. Kitab ini berisi filsafat, akhlak dan tasawuf yang terbagi menjadi 4 bagian
(Rub’).
Pada bagian yang awal dikasih nama Rub'ul 'Ibādāt. pada bagian yang pertama ini
dianggap sebagai dasar pokok bagi pembinaan akhlak manusia. Sebagaimana judul tersebut
maka bagian ini mencakup 10 kitab yaitu: 1. Kitābul-'Ilm; 2. Kitāb Qawa'idul- 'Aqāid ; 3. Kitāb
Asrārut Tahārah; 4. Kitāb Asrarus̱-S̱alāh; 5. Kitāb Asrār az-Zakāh; 6. Kitab Asrārus̱ -S̱iyām;
7. Kitāb Asrārul-Hajj; 8. Kitāb Adab Tilāwatil-Qur'an; 9. Kitābul-Azkār wa Da'awāt; 10. Kitāb
Tartībul Aurād fil-Auqāt. Imam al-Ghazâlî pada kitab 3 s.d. 7, pada pembahasaanya lebih
menekankan terhadap segi hikmah atau rahasia pada setiap kegiatan ibadah.
Yang kedua adalah bagian Rub'ul-'Ādāt. Dalam bagian ini al-Gazali membahas
berbagai macam kegiatan yang menjadi kebiasaan adat manusia sehari-hari. Al-Gazali
menawarkan berbagai proses agar perilaku itu menjadi baik sesuai dengan ajaran Islam yang
bersumber Al-Quran dan sunnah Nabi. Dalam bagian ini juga telah mencakup 10 kitab yaitu:
1.Kitāb Adabul-'Aql; 2. Kitāb Adabun-Nikaẖ; 3. Kitāb Aẖkāmul-Khamsah; 4.Kitābul-Halāl
wal-Harām; 5. Kitāb Adabus-Suẖbah wal-Mu'āsyarah ma'a As̱nāfil-Khalq; 6.Kitābul-'Uzlah
;7. Kitāb Adabus-Safar, 8. Kitabus-Simā' wal-Wijd; 9. Kitāb Amr bil-Ma'ruf wan-Nahy 'anil-
Munkar; 10. Kitābul- Ma'īsyah wa Akhlāqun-Nubuwwah.
Yang ketiga, bagiannya disebut Rubu'l Muhlikat. Sesuai dengan judulnya maka pada
kitab ini akan dibahas hal-hal yang dianggap oleh al-Gazali sebagai perusak akhlak dan budi-
pekerti manusia, terutama pada kitab 3 dan seterusnya. Kitab ini mencakup 10 kitab yaitu : 1.
Kitāb 'Ajā'ibul-Kholq; 2. Kitāb Riyādatun-Nafs; 3. Kitāb Āfātus Syahwatain (Syahwatul-Baṯn
11
M. Asyhari, “PENGARUH FILSAFAT ETIKA DAN TASAWUF IMAM GAZALI DI INDONESIA,” Al Qalam 21, no. 100
(April 30, 2004): 103.
6
12
Wihdatul-Wujud (Manunggaling Kawula Gustt) atau unitJ of existence mempakan tujuanakhir ajaran sufi
tertentu dengan menyatunya seorang sufi dengan Tuhannyasebagaiman ajaran Muhyid-Din lbnu�'Arabi
kemudian diikuti al-Hallaj dan Syeh SitiJenar. Lihat Hamn Nasution, op.cit., h. 92-93.
13
Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h, 535.
14
Ibid, 536.
15
“Pemikiran Dan Doktrin Mistis Imam Al Ghazali,” 225, accessed December 4, 2022,
https://psbsekolah.kemdikbud.go.id/kamaya/index.php?p=show_detail&id=15012.
7
16
W. Montgomery Watt and Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, The Faith and Practice of Al-
Ghazali (Simon and Schuster, 2020), 15.
17
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1984), 268
18
William Montgomery Watt, Muslim Intellectual: A Study of Al-Ghazali (University Press, 1963), 173.
19
Abu Hamid Al-Ghazâlî, Ih yâ’ ‘Ulûm al-Dîn, (Mesir: Isa Al-Bab al-Halaby, t.t.), vol. I, 10
8
Sebab itulah setiap individu manusia memilki tanggung jawab atas kebenaran ilmu
pengetahuan yang ia milki. dikarenakan Konsep inilah yang membuat Imam al-Ghazâlî
terbayangi dengan kebimbangan dan ketidakpuasan beliau terhadap pemikiran yang
berkembang pada eranya. Metodologi dan sikap al-Ghazâlî inilah yang menciptakan muncunya
sifat skeptisisme dalam dunia ilmu pengetahuan.
Buah kesuksesan Imam al-Ghazâlî menguasai terhadap berbagai disiplin ilmu
pengetahuan, baik dalam ilmu shâri’a ataupun ilmu-ilmu umum, yang akhirnya mengantarkan
al-Ghazâlî menduduki pangkat mufti kesultanan Saljuk, yang telah sukses mempertahankan
kebesaran Islam Sunni hingga saat ini. Kemudian lewat karya-karyanya dalam banyak bidang,
baik dalam bidang tasawwuf, logika, etika, sosial, filsafat, politik, hukum dan bidang lainnya
telah memberikan berbagai suasana baru untuk perkembangan dunia intelektual muslim yang
ontology pemikiran Islam lewat studi Al-Qur’an, di samping dunia intelektual secara umum.
Imam al-Ghazâlî yang ditokohkan telah menjadi fokus perbincangan telah menempati
kedudukan yang unik di dalam sejarah agama dan pemikiran Islam disebabkan kedalaman
ilmunya, keoriginalan pemikirannya, dan kebesaran pengaruhnya dikalangan ummat Islam.
Disamping keahlian beliau dalam bidang agama, pendidikan dan hukum Islam, ia juga
mempunyai ilmu yang sangat luas tentang tasawwuf, filsafat, masalah kejiwaan dan akhlaq
beserta spiritualitas Islam. Dibagian timur dunia Islam beliau sangat berpengaruh terhadap
masyarakat Islam Sunni dan mendapatkan kesuksesan dalam memimpin mereka, bahkan juga
di Barat dunia Islam pengaruhnya tidak kecil, hingga sekarang pengaruh alGhazâlî masih tetap
ada diseluruh penjuru dunia Islam.20
Di Timur, al-Ghazâlî mendapat kesuksesan di dalam bidang pembaharu spriritual dan
mental umat, sampai-sampai pendapat-pendapatnya merupakan pemikiran yang sangat penting
dalam Islam. Bukunya Ih yâ’ ‘Ulûm al-Dîn adalah bukti kongkrit dari adanya usaha tersebut.
Dalam masa itu juga ia telah berjasa dalam membela agama Islam dan umatnya dari pengaruh
pemikiran negatif pada filsafat Yunani, ilmu Kalam dan aliran kebatinan. Yang mana pada
pembelaannya itu beliau telah berhasil memperbaiki kondisi masyarakat Islam pada waktu itu
dari memujakan akal di atas agama, menjadi ketaatan kepada Allah swt, yaitu dalam artian
hukum sharî’at Islam itu menguasai terhadap akal dan akhlak manusia sehingga kebahagiaan
bisa diraih. Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak salah jika orang-orang menggelari
Imam al-Ghazâlî dengan gelar Hujjat al-Islâm (pembela agama Islam), Zain al-Dîn (permata
agama Islam) dan Mujaddid (pemabaharu).
Fazlur Rahman berpendapat bahwasanya Imam al-Ghazâlî telah melakukan
pembaharuan dalam bidang tasawwuf. Adapun pemabaharuan yang dilakukan adalah
mengintegrasikan tasawwuf dengan kesadaran sharî’at yang telah dilakukan mulai dalam
pertengahan kedua abad ketiga hijriyah dengan tokoh-tokoh seperti al-junaid dan al-kharrāz
dan gerakan ini sudah mencapai tahap puncaknya dibawah komando Imam al-Ghazâlî yang
nantinya akan sangat menentukan perkembangan pemikiran Islam.21
Tulisan al-Ghazâlî di bagian barat dunia Islam, tidak saja memberikan pengaruh para
pemikir Islam seperti Ibnu Rushd, namun juga memberi pengaruh terhadap para pemikir yahudi
dan kristen sebagaimana Thomas Aquinas dan Blaise Puscal,22 serta kepada filosof-filosof
Barat lainnya, seperti halnya yang diakui oleh Asim Palaeros, yang mana pemikiran beliau
20
Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian & Kesehatan Mental (Ruhama,
1994), 12–13.
21
Fazlur Rahman, Islam….., 202.
22
Al-Ghazâlî, al-Munqîd min al-Z alâl, ed. Abd al-Halim Mahmud, (Kairo: Dar al-Nasr Li Taba‟ah 1968), 14.
9
23
A. Ahmadi and M. A. Rosali, Seluk-Beluk Filsafat Islam: Untuk Perguruan Tinggi (Rosda, 1988), 55,
https://books.google.co.id/books?id=byyvAAAACAAJ.
24
M. Natsir, Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah: kumpulan karangan (Girimukti Pasaka, 1988), 175.
25
Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam / Yunasril Ali | Online System Library, n.d., 126–128, accessed
December 5, 2022, //digilib.staidagresik.ac.id%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D1326.
26
“Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam / Oleh Harun Nasution | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,” 50,
accessed December 5, 2022, https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=261023.
27
“Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam C.A.Qadir ; Penerjemah, Hasan Basri | Dinas Perpustakaan Dan
Arsip Daerah DIY,” 133, accessed December 5, 2022, http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-
opac?id=80642.
10
memahami literalismenya, dan juga tidak ada filsuf yang tidak mendorong keinginanku untuk
memahami esensi filsafatnya, dan juga tidak ada teolog dialektis (ahli ilmu kalam) yang tidak
membangkitkan keinginanku untuk memastikan objek dialektika dan teologinya, begitu pula
tiada sufi yang tidak mendorong hasratku untuk mengulas rahasia sufismenya, dan tidak ada
asketik (zahid) yang aku lewati untuk mengkaji sumber asketismenya, dan tidak ada zindik
yang ateistik yang tidak menyebabkan aku meraba-raba untuk mencari sebab-sebab
keateismenya dan kezindikannya yang nekad. Sebagaimana kehauskan yang tidak pernah
terpuaskan di dalam relung jiwaku terhadap penyelidikan yang sejak awal keremajaanku, suatu
naluri dan karakter yang di anugrahkan oleh Allah tanpa keinginanku sendiri.”
Imam al-Ghazâlî dalam bidang pengetahuan teoligis memiliki jasa yang sangat besar,
yaitu bahwa ia telah menyajikan kelima rukun Islam, yaitu kalimia (kesaksian bahwa Allah itu
esa dan nabi Muhammad SAW adalah rosulnya), namaz (sholat wajib yang lima), puasa (tidak
makan dan minum sejak fajar hingga matahari tenggelam dalam bulan romadhon), zakat
(memberikan dua setengah persen dari tabungan tahunan kepada para fakir miskin), dan juga
hajj (naik haji) dengan kata-kata mistik disertai tafsiran mistiknya. Dengan cara tersebut dia
mampu mengatasi arti yang secara harfiah (tampak), dengan menggal jauh menuju arti yang
riil dan yang tersembunyi dari nash-nash al-Qur’an. Dengan upaya itu juga ia berhasil
memberikan arti yang lebih dalam dan cakupannya lebih halus terhadap kata-kata yang ada
dalam al-Qur’an sehingga membuatny menjadi lebih menarik teruntuk para pemikir dan orang
awam.28
Walaupun bisa dikatakan usahanya Imam al-Ghazâlî merupakan usaha yang cukup
berani, karna usahanya sudah sampai pada tingkatan tertentu, namun Imam al-Ghazâlî belum
pernah menyimpang dari jalan ortodoks, beliau memaparkan bahwasanya segala tatacara itu
harus dilaksanakan dengan sesuai al-Qur’an dan sunnah menurut huruf dan jiwanya. Yang ia
lakukan adalah memberikan makna spiritual dan mistik terhadapnya, dan dengan demikian
menyelamatkannya dari literalisme (sikap yang berpegang kepada bunyi nash saja).29
Imam al-Ghazâlî dalam dunia tasawwuf, beliau punya peran yang sangat yang penting
melalui gerakan ortodoksi sufisme. Imam al-Ghazâlî mengikis semua ajaran tasawwuf yang
menurutnya tidak islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru,
mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan menegaskan bahwa ucapan ekstatik berasal dari
orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Karna Imam al-Ghazâlî berpendapat
bahwa kenyataan setelah mereka sadar mereka mengakui juga bahwa kesatuan dengan tuhan
bukanlah kestauan yang hakiki tapi hanya kesatuan simbolik.30
Pendekatan yang di lakukan oleh Imam al-Ghazâlî, sepertinya bagi satu pihak
memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip, bahwa Allah dan ciptaannya adalah dua
hal yang berbeda sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan
kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman kesufian puncak itu
tanpa kekhawatiran di tuduh kafir, gambaran ini menunjukkan tasawwuf sebagai ilmu telah
28
Ibid., 105.
29
Ibid., 107.
30
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme / H.A. Rivay Siregar) (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2002), 42, accessed December 5, 2022,
http://opac.library.um.ac.id/index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&id=19484&mod=b&cat=3.
11
sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat31, yang di tandai dengan
timbulnya dua aliran tasawwuf, yaitu tasawwuf sunni dan tasawwuf filsafati.32
Kesimpulan
Imam al-Ghazali adalah merupakan seorang ulama’ yang hidup pada saat pemikiran
keagamaan di dunia Islam sedang mengalami perkembangan dan keberagamaan. Lahirnya
berbagai pemikiran dan gagasan dari al-Ghazâlî memberi warna dan corak intelektualitas di
dunia Islam. Pengaruh al-Ghazâlî baik dalam bidang agama maupun dalam bidang ilmu
pengetahuan memang sangat besar. Pemikirannya banyak dijadikan rujukan bagi umat
sesudahnya. Karya-karya dan tulisannya tidak pernah berhenti dibicarakan hingga sekarang.
Pemikirannya tidak hanya mencakup ilmu agama atau masalah keislaman saja, tetapi juga ilmu
pengetahuan umum. Pengaruh pemikirannya tidak hanya mencakup wilayah Timur saja tapi
juga dunia Barat.
Daftar Pustaka
Achmad, Bahrudin. PERMULAAN JALAN HIDAYAH Kitab Panduan Ibadah dan Muamalah
(Terjemah Bidayatul Hidayah). Almuqsith Pustaka, 2021.
Ahmadi, A., and M. A. Rosali. Seluk-Beluk Filsafat Islam: Untuk Perguruan Tinggi. Rosda,
1988. https://books.google.co.id/books?id=byyvAAAACAAJ.
Hitti, Philip Khuri. History of the Arabs: Rujukan induk dan paling otoritatif tentang sejarah
peradaban Islam. Penerbit Serambi, 2005.
Jaya, Yahya. Spiritualisasi Islam Dalam Menumbuh Kembangkan Kepribadian & Kesehatan
Mental. Ruhama, 1994.
Juwita, Dwi Runjani. “Al-Ghazâlî Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Dunia Islam.”
Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 4, no. 2 (December 1, 2016): 59–
72.
31
Ibid., 36–41.
32
Ibid., 43.
12
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Pustaka Al-
Kautsar, n.d.
Siregar, H. A. Rivay. Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme / H.A. Rivay Siregar).
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002. Accessed December 5, 2022.
http://opac.library.um.ac.id/index.php?s_data=bp_buku&s_field=0&id=19484&mod=
b&cat=3.
Watt, W. Montgomery, and Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali. The Faith
and Practice of Al-Ghazali. Simon and Schuster, 2020.
“Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam C.A.Qadir ; Penerjemah, Hasan Basri | Dinas
Perpustakaan Dan Arsip Daerah DIY.” Accessed December 5, 2022.
http://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=80642.
“Filsafat Dan Mistisisme Dalam Islam / Oleh Harun Nasution | OPAC Perpustakaan Nasional
RI.” Accessed December 5, 2022.
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=261023.
“Hierarki Ilmu : Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Ghazali,
Duthb Al-Din Al-Syirazi / Osman Bakar ; Pengantar, Seyyed Hossein Nasr ;
Penerjemah, Purwanto | OPAC Perpustakaan Nasional RI.” Accessed December 2,
2022. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=460808.
Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam / Yunasril Ali | Online System Library, n.d.
Accessed December 5, 2022.
//digilib.staidagresik.ac.id%2Findex.php%3Fp%3Dshow_detail%26id%3D1326.