Anda di halaman 1dari 16

FILSAFAT YUNANI DAN KEBANGKITAN DUNIA ISLAM

Makalah ini disusun dan dipresentasikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam pada Program Studi Magister Studi Islam

Pengampu:
Dr. H. Agus Aditonin, M.Ag

Oleh:
Hasyim Asy’ari
02040122006

MAGISTER STUDI ISLAM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2022
Daftra Isi

Cover ........................................................................................................................ i
Daftar Isi ................................................................................................................... ii
Pendahuluan .............................................................................................................. 1
Berfilsafat Pada Masa Yunani .................................................................................. 2
Tuhan dan Penciptaan Alam dalam Pandangan Filsafat Yunani .............................. 3
Abad Pertengahan dalam Sejarah Eropa dan Islam .................................................. 5
Kebangkitan Islam .................................................................................................... 8
Perkembangan Keilmuan dan Sains dalam Islam .................................................... 9
Simpulan ................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 13

ii
1

FILSAFAT YUNANI DAN KEBANGKITAN DUNIA ISLAM

Hasyim Asy’ari
hasyim.ikhac@gmail.com
Magister Studi Islam Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

A. Pendahuluan
Muncul falsafat di Yunani setidak-tidaknya ada tiga faktor yang
memengaruhinya: pertama, bangsa Yunani seperti bangsa-bangsa yang ada di
wilayah sekitarnya memiliki mitologi.1 Kedua, Bangsa Yunani telah memiliki
kesusastraan seperti puisi karya Homer (8 SM) dengan judul Iliad dan Odyssey
sehingga ikut memengaruhi munculnya falsafat. Ketiga, pengaruh ilmu yang
berkembang saat itu di wilayah sekitarnya. Ketiga, pengaruh ilmu yang
berkembang saat itu di wilayah sekitarnya.
Seluruh falsafat Yunani dapat dianggap sebagai suatu pergumulan yang
panjang antara mitos dan rasio. Para failasuf pertama memandang dunia dengan
cara yang belum pernah dipraktikkan orang lain. Mereka mulai berpikir sendiri di
belakang kejadian- kejadian yang dapat diamati oleh umum. Mereka mencari
suatu keterangan yang memungkinkan untuk mengerti kejadian-kejadian itu.
Perkembangan ilmu di dunia Islam masa klasik ditandai dengan
kemunculan perpustakaan-perpustakaan di wilayah Islam. Perpustakaan
‘Abbāsīyah di Baghdad dinamakan dengan “Bayt al- Ḥikmah” yang didirikan oleh
Khilafah al-Ma’mūn (813-833 M). Peran utama perpustakaan Bayt al-Ḥikmah
adalah menyimpan terjemahan ilmu-ilmu Yunani.2 Hubungan ilmu dan agama
pada masa kejayaan Islam merupakan sebuah hubungan yang sangat harmonis di
antara keduanya. Bahkan dapat menjadi contoh bagi pengembangan ilmu dan
agama sepanjang sejarah peradaban manusia sampai saat ini.3 Islam sebagai
agama dapat menerima warisan kebudayaan yang telah dikembangkan oleh
bangsa Yunani dan kemudian disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam.

1
K. Bertens, Sejarah Falsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 19.
2
J. Pedersen, Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab, terj.
Alwiyah Abdurrahman (Bandung: Mizan, 1996), 14.
3
M.M Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy (Otto Harassowitz Wiesbaden, 1963), vol 1, 68.
2

B. Berfilsafat Pada Masa Yunani


Berfilsafat tak lain sebenarnya terus menerus merasa ingin tahu atau heran
(curious), tetapi hendak memahaminya. Menurut Plato, filsafat mulai dengan rasa
ingin tahu.4 Aristoteles pun menegaskan bahwa berfilsafat mulai dengan rasa
ingin tahu. Seperti, ingin tahu jawaban dari pertanyaan: Siapa kamu? dan
darimana datangnya dunia? Untuk itu, filsafat berakar pada keinginan memahami
dunia. Yakni, dunia dalam diri manusia sendiri dan dunia luar.5
Filsafat dan pemikiran Yunani sesungguhnya telah mulai dikenal dan
dipelajari kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (wilayah
Syiria Utara), juga di Nisibis dan Ras‘aina (wilayah dataran tinggi Irak) sejak abad
ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh
penaklukan tantara Muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa
kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Kenyataan ini, setidaknya bisa
dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara.6 Qinissirin di
Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karyakarya filsafat, seperti
Severus Sebokht (575-667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica
Aristoteles (384-322 SM), juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan
Menterjemahkan buku Categories karya Aristoteles (384-322 SM) ke dalam
Bahasa Arab.7
Yunani berada di letak geografis Laut Tengah tepatnya ujung Tenggara Benua
Eropa. Yunan Memiliki iklim yang panas dan sebagian besar daerah tanahnya
berkondisi kering. Dengan demikian sudah dipastikan turunnya hujan sangat
jarang sekali di negeri Yunani. Pada mulanya, Yunani merupakan bangsa
campuran yang berasal dari bangsa dari Laut Kaspia, Laut Aegea, dan Laut Lonia
dengan penduduk asli di sana dan pada akhirnya membentuk wilayah.8
Lahirnya pemikiran intelektual dari bangsa Yunani disebabkan oleh faktor
berikut ini9:

4
Plato, The Collected Dialogues, (ed) Edith Hamilton and Huntington Cairns (New Jersey: Princeton
University Press, 1982), 155.
5
F, Copleston, Contemporery Philoshopy (London: Burns and Oates, 1963), 61-62.
6
Philip K. Hitti, History of the Arabs (New York: Martin Press, 1986), 241.
7
Madjid Fakhry, a History of Islamic Philosophy (New York: Colombia University Press, 1983), 3-4.
8
Adha Santri Madani dkk, Tokoh Filosof Yunani Kuno Serta Pemikirannya Mengenai Asal Mula
Penciptaan Alam,
9
R. Aizid, Sejarah Terlengkap Peradaban Dunia (Depok: PT Huta Parhapuran, 2018), 2.
3

1. Faktor Geografis, yaitu alam Yunani berupa gunung-gunung yang tidak


subur dan tandus. Dari hal tersebut masyarakat Yunani merasa tertantang
dan memutar otak untuk lebih bisa kreatif dalam menjalani hidup.
2. Orang-orang Yunani banyak membangun diplomasi dengan bangsa-
bangsa lain, seperti Babilonia, Mesir, dan yang lainnya, sehingga dari hasil
diplomasi tersebut terjadilah suatu tukar-menukar pengetahuan.
3. Masyarakat Yunani memiliki hak otonom kemerdekaan dan kemakmuran
dibidang ekonomi. Sehingga mereka bisa lebih berkreasi untuk
mengembangkan perekonomian keluarga mereka.
4. Bangsa Yunani sangat menghargai logika atau akal dan cara berfikir yang
rasional setiap manusia.
5. Bangsa Yunani selalu terlibat aktif dalam urusan ekonomi, politik, dan
sosial. Hal itulah yang membuat mereka pintar dalam berusaha untuk
mencari pemecahan dalam setiap masalah yang muncul.

C. Tuhan dan Penciptaan Alam dalam Pandangan Filsafat Yunani


Ciri umum filsafat Yunani adalah Rasionalisme. Konon orang Yunani
yang bernama Thales yang hidup sekitar tahun 624-546 SM inilah orang yang
mula-mula sekali menggunakan akal secara serius untuk mencari jawaban atas
pertanyaan: Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini? Walau pun bercorak
rasionalisme pada tahap permulaan, tetapi iman atau kepercayaan masih kelihatan
memain kan peranannya. Thales di dalam argumennya belum murni akliah. Kita
masih dapat melihat adanya pengaruh kepercayaan pada mitos.10 Menurut Thales,
alam ini penuh dewa-dewa yang menggerakkan setiap yang bergerak baik
makhluk hidup atau benda mati.11 Dari sini Thales mengakui adanya ke kuatan
dari luar yang menggerakan setiap yang bergerak yaitu dewa.
Yang datang sesudah Thales adalah Anaximander. Ia mengatakan bahwa
segala sesuatu berasal dari benda pertama, tetapi benda pertama itu bukan air,
bukan api, bukan tanah, dan bukan udara, melainkan berasal dari asal yang lebih

10
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Cet.4 (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994), 55.
11
Abbas Mahmoud al­‘Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran Manusia, terj.
A.Hanafi, cet.3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 123.
4

dahulu dari padanya. Secara ringkas dapat di katakan bahwa masalah penciptaan
(kejadian) bagi dia adalah masalah perpindahan dari satu bentuk ke bentuk lain,
dari satu rupa ke rupa lain, dan bukan masalah mengada kan atau menciptakan
dari tiada. Jelaslah bahwa benda-pertama, dimana semua wujud akan kembali
kepadanya. Dewa adalah sumber penggerak dan perkara-perkara yang bergerak12.
Filsuf berikutnya adalah Herakleitos. Ia mengatakan tentang tidak
butuhnya semua yang wujud kepada Zat yang mewujudkannya. Akan tetapi ia
mengatakan tentang kebutuhannya terhadap keadilan Tuhan yang tidak bisa tidak
harus ada bagi wujud-wujud tersebut. Berbicara tentang Tuhan, seperti halnya
berbicara tentang Zat yang mengatur dan berkemauan, kata Herakleitos. Di antara
kata-kata Herakleitos adalah sesungguhnya Tuhan tanpa diragukan lagi adalah
kunci keadilan pada alam semesta keseluruhannya dan sesungguhnya
perbuatan-perbuatan manusia kosong dari akal fikiran, tetapi perbuatan-perbuatan
Tuhan tidak kosong dari padanya. Manusia tidak lain adalah seperti kanak-kanak
dibanding dengan Allah. Manusia yang paling berakal adalah seperti hewan
nas-nas dibanding dengan Tuhan. Jika ia dibandingkan dengan Tuhan, maka ia
buruk-cacat, seperti buruk-cacatnya kera yang terbagus dibanding dengan
manusia.13
Tuhan menurut Plato adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali
segala sesuatu. Dia ada dengan sendiri nya sebelum ada masa dan akan tetap ada
sesudah masa, tidak ada hubungannya dengan masa dan tidak ada pengaruh masa
bagi diri Nya. Daripadanya terbit segala kebenaran yang kekal.14 Selanjutnya ia
mengatakan alam ini mempunyai pembuat yang amat indah, pembuat itu bersifat
azali, wajib ada Zatnya, pembuat itu mengetahui sekalian keadaan. Plato
menyebutkan bahwa ada beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak
mengetahuinya, antara lain bahwa manusia itu mempunyai Tuhan yang
membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu.
Watak Tuhan dalam tradisi Yunani mencakup dua unsur, yaitu unsur
agama dan unsur falsafat. Ide pertama tentang Tuhan terdapat dalam Iliad dan
Odyssey karya Homer. Dalam epik (syair-syair pahlawan) tersebut, digambarkan

12
Waris, Pengantar Filsafat (Ponorogo, STAIn Press Ponorogo, 2014), 18.
13
Abbas Mahmoud al­‘Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama …, 127.
14
Hamzah Ya’kub, Filsafat Ketuhanan, cet.2 (Bandung: PT Al­Ma’arif, 1984), 52­53.
5

ada dewa-dewa yang memerintah alam, yang paling penting adalah Zeus, dewa
keteraturan. Ia adalah mahakuasa selama mengikuti tugasnya; tetapi jika
menyeleweng akan terjadi kekacauan dalam alam. Zeus memunyai anak-anak
yang juga menjadi dewa-dewa tetapi tidak kekal; ia bukan pencipta alam dan
sangat mengikuti kemauannya sendiri dalam menghadapi manusia; hal ini adalah
watak dewa-dewa yang lain juga.
Dewa-dewa Yunani, dan kemudian dewa-dewa Romawi, adalah sangat
penting dari segi politik; mereka itu mewakili dewa-dewa penjaga tata tertib dan
kemakmuran; semua warga negara diharap ikut serta dalam upacara keagamaan
umum sebagai tanda kejujuran dan loyalitas mereka. Dewa-dewa semacam itu
sangat tidak memuaskan bagi orang-orang Yunani yang berpikir. Terdapat orang-
orang Yunani yang berusaha memahami sumber wujud dengan memergunakan
akal mereka.
Pada abad ke-5 dan ke-4 SM., suatu sistem falsafat besar dikembangkan
oleh failasuf Yunani Plato; sistemnya merupakan puncak dari usaha-usaha orang-
orang sebelumnya digabungkan dengan buah pikirannya sendiri. Dalam mencari
benda yang tidak berubah dan abadi, Plato kemudian berpikir bahwa hanya benda
yang berada di luar alam, di luar ruang dan waktu, yang dapat menjadi realitas
tertinggi. Tuhan bagi Plato adalah esensi atau ide dari yang baik. Zat yang
transenden (dan alam ini merupakan partisipasi refleksi) zat yang sempurna.

D. Abad Pertengahan dalam Sejarah Eropa dan Islam


Filsafat Barat abad pertengahan (476 – 1492 M) dapat di katakan sebagai
abad gelap. Pendapat ini didasarkan pada sejarah gereja.15 Abad pertengahan
sejarah Eropa merupakan suatu masa peralihan dari masa kejayaan kekaisaran
Romawi dan Hellenisme ke kemenangan kelompok Kristen. Pada masa ini, agama
Kristen sudah menjadi agama resmi negara.16 Kekaisaran Romawi berubah
menjadi kekaisaran Romawi Suci; kaisar harus taat dan patuh pada perintah
agama dan Paus. Untuk menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, agama Kristen
memerlukan waktu yang panjang dan perjalanan yang penuh liku.

15
Ahmad Syadali, Filsafat Umum, cet. I (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 80.
16
J.H.Rapar, Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001), hlm. 266.
6

Abad pertengahan juga disebut sebagai “The Dark Ages” atau “Zaman
Kegelapan atau Zaman Kebodohan” stilah ini menggambarkan kondisi dan situasi
Eropa pada Abad Pertengahan yang mengalami dekadensi intelektual dan ilmu
pengetahuan di seluruh bidang. Kegelapan juga dimaknai sebagai tertutupnya
intelektual dan rasionalitas manusia oleh dogma agama serta hegemoni gereja.
Etnosentris dan logosentris yang berkembang pesat pada masa Yunani Klasik dan
Kekaisaran Romawi berubah secara drastis menjadi theosentris sehingga segala
sesuatunya harus berlandaskan pada dogma agama dan gereja. Semua yang
berasal dari agama dan kitab suci adalah yang paling benar, dan selain itu adalah
bid’ah. Penggunaan intelektual dan rasionalitas adalah sesuatu yang menyimpang
dari agama dan akan merusak keimanan seseorang. Sains dan ilmu pengetahuan
harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat. Sebab, sains dan ilmu pengetahuan
mendorong orang mempertanyakan segala hal termasuk tentang kebenaran
agama.
Dengan demikian, kelam dan gelap merupakan sebuah gambaran
kehidupan pada Abad Pertengahan karena akal, rasionalitas, dan ilmu
pengetahuan dilarang keras untuk berkembang. Sementara itu bagi kalangan
agamawan, masa ini merupakan abad yang didambakan karena kehidupan begitu
damai dengan berpegang pada dogma agama dan kitab suci sehingga tujuan hidup
adalah menuju kedamaian dan surga.17
Situasi kebudayaan seperti ini tidak lepas dari pengaruh “jiwa zaman”
pada waktu itu sebagai berikut.
1. Theosentrisme, yaitu pandangan hidup yang berpusat pada Tuhan. Maksudnya
bahwa kehidupan manusia itu berpusat pada Tuhan, dan Tuhanlah yang
mengatur seluruh hidup manusia baik secara individu maupun kelompok.
Dalam hal ini Tuhan juga mengatur seluruh sejarah manusia.
2. Providensi, yaitu pandangan hidup yang menganggap bahwa segala sesuatu di
dunia dan seisinya ini berjalan menurut rencana Tuhan (God Plan). Sengsara
merupakan peringatan terhadap manusia. Faktor Tuhan selalu dikaitkan

17
Herawati, Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan Dan Kontribusi Bagi Kajian Sejarah Islam,
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, 144-145.
7

dengan segala hal, demikian juga dengan sejarah selalu dikembalikan kepada
Tuhan.
3. Yenseitigheit, yaitu pandangan hidup yang mementingkan kehidupan di alam
baka atau akhirat. Artinya yang terpenting dalam hidup ini adalah untuk
mempersiapkan diri demi kehidupan di alam baka.
Berbeda dengan Eropa yang menyebutkan bahwa abad pertengahan
dengan zaman kegelapan, Islam menganggap bahwa bahwa zaman ini dengan
masa keemasan. Pada saat itu ilmu pengetahuan berkembang pesat. Karya-karya
ulama Islam tidak hanya terfokus pada kajian keislaman saja, namun kajian
mereka meliputi berbagai macam ilmu pengetahuan. Di antara ilmu pengetahuan
yang berkembang saat itu adalah historiografi, astronomi, astrologi, fisika, kimia,
matematika, kedokteran, hukum dan filsafat, selain ilmu-ilmu agama Islam dan
pemikiran Islam.18
Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan
khalifah Harun al-Rasyid yang memberikan dukungan penuh terhadap kemajuan
ilmu pengetahuan. Salah satu usaha yang dilakukan oleh Harun al-Rasyid dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan adalah dengan mendirikan perpustakaan
Baitul Hikmah, yang menjadi sumber dan inspirasi para ulama dan intelektual
Islam saat itu untuk melakukan pelbagai kegiatan pengembangan ilmu
pengetahuan. Perpustakaan tersebut tidak hanya menjadi tempat buku-buku
ilmiah, akan tetapi perpustakaan itu juga menjadi tempat kegiatan para ulama
dalam melakukan penterjemahan/alih bahasa, penelitian dan penulisan karya-
karya ilmiah. Ahmad Syalabi dalam bukunya menjelaskan bahwa kegiatan para
ulama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada periode tersebut terdiri
dari: Menyusun buku-buku ilmiah, mengatur ilmu-ilmu keislaman, terjemahan
dari Bahasa asing.19
Sumbangan terpenting pertama para ilmuwan Arab muncul pada
pertengahan abad ke-8 hingga ke-9, terutama dalam bidang kimia. Namun
berbeda dari para alkimiawan Aleksandria yang tertutup, para alkimiawan Arab

18
Kustiana Arisanti, “Sejarah yang Terlupakan: Khazanah Tokoh Islam Abad Pertengahan”, FENOMENA,
Vol. 16 No. 1 April 2017, 122
19
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Muhammad Labib Ahmad, Jilid III, Cet. II
(Jakarta: al-Husna Dzikra, 1997), 186.
8

lebih terbuka. Mereka menyumbangkan berbagai karya penting yang sangat


membantu melicinkan pengembangan ilmu kimia beberapa abad kemudian di
Eropa Barat. Awalan al- yang muncul dalam nama senyawa kimia seperti alkohol,
alkana, alkali, bahkan alkimia sendiri merupakan bekas yang mengingatkan pada
asal usul Arabnya.20

E. Kebangkitan Islam
Sejarah Islam terbagi menjadi 3 priode besar, yaitu: yaitu priode klasik
berlangsung pada tahun 650 M sampai 1250 M; priode pertengahan berlangsung
pada tahun 1250 M sampai 1800 M; priode modern berlangsung pada tahun 1800
M sampai sekarang. Dalam tiga priode tersebut, Islam telah melewati berbagai
rintangan yang sangat besar, baik dari segi penyebaran agama islam, pemikiran,
kebudayaan dan sebagainya.21
Barat menyebut abad-abad pertengahan (antara abad ke-9 sampai abad ke-
14) sebagai “the dark ages” (abad-abad kegelapan). Hal ini benar dan tepat hanya
untuk dunia Barat, sedangkan bagi islam abad pertengahan adalah “Ashr al-
Izdihar” (zaman kejayaan) dan “AlAshr Adz-Dzahabi” (zaman keemasan). Di saat
Barat diliputi oleh kegelapan-kegelapan, Islam ditimur telah bersinar terang
dengan peradaban-peradaban kemanusiaan, bahkan Islampun telah menerangi
Eropa yang gelap dengan bijaksana.22
Pada masa ini para ulama juga menghimpun ide-ide yang mempunyai
tema sama untuk kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berupa kajian
tematik mengenai persoalan-persoalan tertentu. Melalui penyusunan tersebut
maka muncul berbagai karya tulis atau buku-buku ilmiah yang sampai saat ini
tetap menjadi referensi primer pada berbagai ilmu pengetahuan. Yang dimaksud
dengan mengatur ilmu-ilmu keislaman pada masa itu adalah munculnya berbagai
konsentrasi yang berbeda dalam kajian keilmuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang signifikan saat itu banyak
dipengaruhi oleh kegiatan penerjemahan para ulama terhadap dokumen-dokumen

20
Hans J. Wospakrik, Dari Atomos Hingga Quark (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2005), 24.
21
Rizem Aizid, Para Pelopor Kebangkitan Islam (Yogyakarta: Diva Press, 2017), 5.
22
Moh. Yahya Obaid, “Kontribusi Islam Terhadap Kebangkitan Barat”, Shautut Tarbiyah, Volume 16,
Nomor 1, 2010, 19.
9

pengetahuan Yunani, Sansekerta, dan Suryani. Salah satu bentuk kegiatan tersebut
adalah penerjemahan terhadap karya-karya filsafat Plato, Aristoteles, dan lain
sebagainya. Bahkan menurut Philip K. Hitti dalam History of The Arab23, para
ilmuan Islam sangat berjasa dalam menyebarkan karya-karya filsafat Yunani,
karena mereka lah yang pertama kali melakukan penerjemahan terhadap karya
filosof Yunani. Jika bukan karena kreatifitas ilmuan Islam dalam melakukan
penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, lanjut Philip, niscaya filsafat Yunani
tidak akan pernah dinikmati oleh semua ilmuan di belahan dunia manapun saat
ini. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Ilmuan Islam yang pertama kali
melakukan pembaharuan kebudayaan maka wajar saja jika dikatakan bahwa Islam
yang menjadi pencetak peradaban dan kebudayaan, sehingga menjadi inspirasi
bagi ilmuan-ilmuan pada saat ini.
Melalui kegiatan ilmiah tersebut, khususnya kegiatan penerjemahan,
muncul beragam ilmu-ilmu baru di dalam Islam. Kajian keilmuan mereka tidak
hanya terfokus pada konsentrasi kajian Islam saja, akan tetapi lebih luas lagi
sehingga pada masa itu muncul ilmu-ilmu baru seperti matematika, fisika, kimia,
astronomi, astrologi, geografi dan lain sebagainya. Perluasan kajian keilmuan ini
disebabkan karena para ulama saat itu, tidak hanya menerjemahkan, tetapi
mengkaji, memahami dan meneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
tersebut. Kreatifitas mereka itulah yang kini ditiru oleh pegiat pengetahuan Barat.
Oleh karena itu wajar saja jika David Levering Lewis menyebutkan bahwa Islam
sangat berjasa terhadap kemajuan Eropa saat ini.24 Menurutnya kebangkitan
Eropa saat ini dirangsang oleh kemajuan Islam pada abad pertengahan, khususnya
kemajuan Islam di Andalus.

F. Perkembangan Keilmuan dan Sains dalam Islam


Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu
dalam bidang sains seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan lainnya. Hal
ini juga kita bisa dilihat dari adanya observatorium yang berada di Sinjar pada
khalifah al Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur.

23
Philip K. Hitti, History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Slamet Riadi (Jakarta: Serambi,
2013), 462.
24
David Levering Lewis, The Greatness of al-Andalus, Terj. Yuliani Liputo (Jakarta: Serambi, 2012), 21.
10

Penelitian akan Hadits dan lain sebagainya. Itulah keingintahuan meraka yang
sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga
bernuansa ilmu umum dan alam.
Sains sebagai sebuah ilmu pengetahuan menghasilkan produk serta
menjadi cermin atas kemajuan peradaban dunia. Hal ini menyebabkan sains
menjadi tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan peradaban ke arah yang
lebih maju. Kemajuan tersebut merupakan bukti akan sebuah kekuatan
pengetahuan sebagai tokoh utama dalam peradaban. Namun kemajuan tersebut
jika tidak ditempatkan pada porsi yang tepat, justru akan berbalik menyerang
manusia sebagai pelaku dari eksistensi sains itu sendiri. Hal ini terbukti dalam
sejarah, sains mengalami sebuah pergeseran paradigma terhadap alam semesta
dan mengakibatkan butanya sains terhadap hakikat dirinya sendiri.
Secara historis, kegalauan sains pernah diatasi oleh adanya sebuah
keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dengan kuatnya paradigma
holistik. Abad pertengahan merupakan abad kemajuan sains di atas paradigma
holistik. Seluruh pencarian kebenaran sains turtuju pada satu tujuan kebenaran
yang utuh. Islam menjadi pelopor atas kemajuan tersebut, sehingga sains Islam
menjadi kiblat pengetahuan bagi seluruh bangsa pada masa itu. Seluruh prestasi
tersebut tidak lain disebabkan oleh ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan umat
muslim untuk mencari pengetahuan tanpa memandang sumber pengetahuan
tersebut “The primordial character of revelation and its confidence that it was
expressing the Truth at the hearth of all revelation, permitted Islam to absorb ideas
from many sources, historically alien yet inwardly related to it” tulis Nasr dalam
Science and Civiliazation in Islam”.25
Permulaan sains Islam berawal dari penerjemahan besar-besaran yang
terjadi di Gudinshapur. Hal ini terjadi ketika kota tersebut ditaklukan oleh bangsa
Arab pada tahun 638 M Penerjemahan tersebut kemudian membuat Islam kaya
akan ilmu pengetahuan, sehingga menjadi pusat bagi penyebaran pengetahuan
Yunani dan pengetahuan lain. Penerjemahan yang dilakukan tidak bisa terlepas
dari peran para cendikiawan serta ilmuan Yahudi maupun Nasrani seperti Hunain
bin Ishaq sebagai salah satu penerjemah Kristen terbaik pada masa kebangkitan

25
S. H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Chicago: ABC International Group, 2001), 30.
11

sains Islam. Dua abad setelah program penerjemahan, sains Islam mampu
menerjemahkan bahkan merevisi beberapa karya-karya penting bagi kemajuan
peradaban dunia seperti karya: Plato, Aristotles, Euclid, Archimedes,
Hippocrates, Galen, Ptolemy dan lain-lain. Keberhasilan atas penerjemahan
tersebut akhirnya menggemilangkan muslim pada beberapa sector ilmu
pengetahuan diantaranya: astronomi, matematika, fisika, kimia dan kedokteran.
Sejarah Islam dibuktikan dengan maraknya perkembangan ilmu dari
berbagai bidang dan munculnya ratusan bahkan ribuan sarjana-sarjana Muslim.
Penghargaan Islam terhadap akal dan ilmu pengetahuan bukan hanya basa-basi,
karena hal itu telah dilaksanakan dan dipraktekkan oleh para ulama, atau kaum
terpelajar Islam, yang luar biasa jumlahnya. Keadaan yang kondusif seperti itu
telah berhasil menampilkan beberapa filosof muslim terkemuka, seperti al-Kindī
(801-873 M), al-Farabī (870-950 M), al-Rāzī (864-930 M) atau (251-313 H), Ibn
Tufail (1105-1185 M), Ibn Bajjah (1085-1138 M), dan sejumlah pakar pada
bidangknya masing-masing, seperti Ibn Rushd (11261198 M), Ibn al-Haytham
(965-1040 M atau 354-430 H), dan Jabir ibn Hayyan (721-815 M) serta pakar
etika muslim, Ibn Maskawaih (932-1030 M) atau (330 - 421H).26
Dalam kitab Uyūn al-Anbā’ fi Ṭabaqat al-Aṭibba’ karangan Ibn Abi
Ushaybi’ah, seorang ahli kedokteran abad ketiga belas, dimuat informasi dan
biografi lebih dari tiga ratus lima puluh ilmuwan muslim. Ada ahli kedokteran,
ahli kimia, geometri, geologi, geografi, matematika, astronomi dan sebagainya.
Padahal yang dikenal masih segelintir saja. Hanya sayangnya, karena system
pendidikan kita masih bercermin dan berkiblat ke Barat, sedangkan Barat
menyembunyikan jasa-jasa Islam dalam arena ilmu pengetahuan, maka public
pada dasarnya tidak mengenal tokoh-tokoh Islam yang sebenarnya sangat besar
dan terkenal. Padahal perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Barat
merupakan imbas dan terpengaruh oleh kemajuan yang terjadi di dunia Islam,
terutama setelah adanya gerakan Averroisme yang membumi di Eropa. Barat
mendapatkan pengaruh positif dalam ilmu pengetahuan dari dunia Islam.

26
Muhammad Yūsuf Mūsā, Falsafat al-Akhlāq al-Islām (Kairo: Mu’assasah al-Khārijī al‘Arabiyyah,
1963), 73.
12

G. Simpulan
Berfilsafat tak lain sebenarnya terus menerus merasa ingin tahu atau heran
(curious), tetapi hendak memahaminya. Menurut Plato, filsafat mulai dengan rasa
ingin tahu. Lahirnya pemikiran intelektual dari bangsa Yunani disebabkan oleh
factor geografis, pembangunan diplomasi, hak otonom kemerdekaan dan
kemakmuran dibidang ekonomi, mmenghargai logika atau akal dan cara berfikir
yang rasional, terlibat aktif dalam urusan ekonomi, politik, dan sosial.
Menurut Thales, alam ini penuh dewa-dewa yang menggerakkan setiap
yang bergerak baik makhluk hidup atau benda mati. Anaximander menjelaskan
bahwa masalah penciptaan (kejadian) bagi dia adalah masalah perpindahan dari
satu bentuk ke bentuk lain. Tuhan menurut Plato adalah sumber segala sesuatu
dan tempat kembali segala sesuatu. Watak Tuhan dalam tradisi Yunani mencakup
dua unsur, yaitu unsur agama dan unsur falsafat.
Filsafat Barat abad pertengahan (476 – 1492 M) dapat di katakan sebagai
abad gelap. Kegelapan juga dimaknai sebagai tertutupnya intelektual dan
rasionalitas manusia oleh dogma agama serta hegemoni gereja. Berbeda dengan
Eropa yang menyebutkan bahwa abad pertengahan dengan zaman kegelapan,
Islam menganggap bahwa bahwa zaman ini dengan masa keemasan. Pada saat itu
ilmu pengetahuan berkembang pesat. Karya-karya ulama Islam tidak hanya
terfokus pada kajian keislaman.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang signifikan saat itu banyak
dipengaruhi oleh kegiatan penerjemahan para ulama terhadap dokumen-dokumen
pengetahuan Yunani, Sansekerta, dan Suryani. Muncul beragam ilmu-ilmu baru
di dalam Islam, seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, astrologi, geografi
dan lain sebagainya.
Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu
dalam bidang sains seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan lainnya.
Kemajuan tersebut merupakan bukti akan sebuah kekuatan pengetahuan sebagai
tokoh utama dalam peradaban. Keberhasilan atas penerjemahan tersebut akhirnya
menggemilangkan muslim pada beberapa sektor ilmu pengetahuan diantaranya:
astronomi, matematika, fisika, kimia dan kedokteran.
13

DAFTAR PUSTAKA

Aizid, R. Sejarah Terlengkap Peradaban Dunia. Depok: PT Huta Parhapuran. 2018.

Aizid, Rizem. Para Pelopor Kebangkitan Islam. Yogyakarta: Diva Press. 2017.

al­‘Akkad, Abbas Mahmoud. Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama-Agama dan Pemikiran


Manusia, terj. A.Hanafi. Jakarta: Bulan Bintang. 1981.

Arisanti, Kustiana. “Sejarah yang Terlupakan: Khazanah Tokoh Islam Abad Pertengahan”,
FENOMENA, Vol. 16 No. 1 April 2017.

Bertens, K. Sejarah Falsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 1999.

Copleston, F. Contemporery Philoshopy. London: Burns and Oates. 1963.

Fakhry, Madjid. a History of Islamic Philosophy. New York: Colombia University Press. 1983.

Herawati. Augustinus: Potret Sejarawan Masa Pertengahan Dan Kontribusi Bagi Kajian Sejarah
Islam, ThaqÃfiyyÃT, Vol. 13, No. 1, Juni 2012.

Hitti, Philip K. History of The Arab, Terj. Cecep Lukman Yasin dan Slamet Riadi. Jakarta:
Serambi. 2013.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. New York: Martin Press. 1986.

Lewis, David Levering. The Greatness of al-Andalus, Terj. Yuliani Liputo. Jakarta: Serambi.
2012.

Madani, Adha Santri, dkk. Tokoh Filosof Yunani Kuno Serta Pemikirannya Mengenai Asal Mula
Penciptaan Alam.

Mūsā, Muhammad Yūsuf. Falsafat al-Akhlāq al-Islām. Kairo: Mu’assasah al-Khārijī


al‘Arabiyyah. 1963.

Nasr, S. H. Science and Civilization in Islam. Chicago: ABC International Group. 2001.

Obaid, Moh. Yahya. “Kontribusi Islam Terhadap Kebangkitan Barat”. Shautut Tarbiyah, Volume
16, Nomor 1, 2010.

Pedersen, J. Fajar Intelektualisme Islam: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di Dunia Arab,
terj. Alwiyah Abdurrahman. Bandung: Mizan. 1996.

Plato. The Collected Dialogues, (ed) Edith Hamilton and Huntington Cairns. New Jersey:
Princeton University Press. 1982.

Rapar, J.H. Filsafat Politik: Plato Aristoteles Augustinus Machiavelli. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. 2001.

Sharif (ed.), M.M. A History of Muslim Philosophy. Otto Harassowitz Wiesbaden. 1963.

Syadali, Ahmad. Filsafat Umum. Bandung: CV. Pustaka Setia. 1997.


14

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Muhammad Labib Ahmad, Jilid III, Cet.
II. Jakarta: al-Husna Dzikra. 1997.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai James. Cet.4. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. 1994.

Waris. Pengantar Filsafat. Ponorogo, STAIN Press Ponorogo. 2014.

Wospakrik, Hans J. Dari Atomos Hingga Quark. Jakarta: Universitas Atma Jaya. 2005.

Ya’kub, Hamzah. Filsafat Ketuhanan. Bandung: PT Al­Ma’arif. 1984.

Anda mungkin juga menyukai