Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL OF ISLAMIC THOUGHT AND PHILOSOPHY

Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


e-ISSN 2829-5323; p-ISSN 2829-5625
DOI. https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.1

AL-GHAZALI: IMPLEMENTASI TASAWUF FALSAFI


DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum


UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Abstract
The tasawuf thoughts of Imam al-Ghazali, who is known as a person who is
doubtful about everything. Syakk's feelings arose in him from studying
theology or theology from al-Juwaini. After al-Ghazali wandered in search
of the truth he chose the path of Sufism. According to him, the Sufilah seek
the ultimate truth. Not only that, the way of the Sufilah is a combination of
knowledge and charity, while the fruit is morality. Among the results are the
maqamat that must be passed by a Sufi candidate, including: repentance,
patience, asceticism, trust, and makrifat. Which in this journal will contain
discussions about al-Ghazali's thoughts and how the influence of al-
Ghazali's tasawuf in everyday life. Not only that, al-Ghazali's influence has
spread to various regions of the Islamic world to this day.
Keywords: Sufism, Al-Ghazali's Thought

Abstrak
Pemikiran tasawuf imam al-Ghazali yang dikenal sebagai orang yang syakk
(Ragu-ragu) terhadap segalanya. Perasaan Syakk yang timbul pada dirinya
dari ia mempelajari ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juwaini.
Setelah al-Ghazali mengembara mencari kebenaran beliau memilih jalan
tasawuf. Menurutnya, para sufilah mencari kebenaran yang paling hakiki.
Tidak hanya itu jalan para Sufilah adalah paduan antara ilmu dan amal,
sementara buahnya adalah moralitas. Diantara hasilnya adalah maqamat
yang harus dilalui oleh seorang calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, zuhud,
tawakal, dan makrifat. Yang mana pada jurnal ini akan memuat pembahas
mengenai pemikiran al-Ghazali dan bagaimna pengaruh tasawuf al-Ghazali
dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu pengaruh al-Ghazali telah
tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga saat ini.
Kata Kunci: Tasawuf, Pemikiran al-Ghazali

Article History: Reccived 30 May 2023, Revised: 05 June 2023, Accepted: 06


June 2023, Available online 20 June 2023

https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.1.54-68
Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

A. Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang menerangkan dimensi atau
aspek spiritual dari Islam. Spiritual ini dapat mengambil bentuk yanh berbeneka
ragam didalamnya.dalam kaitanya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaniyahnya ketimbang aspek jasmaniyah, dalam kaitanya dengan
kehidupan dunia fana, sedangkan dengan aspek pemahaman ia lebih menekankan
penafsiran batiniah ketimbang penafsiran lahiriyah.
Oleh karena itu ilmu Tasawuf sangat penting untuk dipelajari dan dipahami
terutama bagi masyarakat pemeluk agama Islamumumnya dan para
pemuka agama Islam khususnya,mengingat dewasa ini masyarakat mengalami
banyak masalah dalam kehidupan duniawi dan atau spritual keagamaan, sehingga
mempelajari dan memahami tasawuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang
manjur untuk menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.
Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist sahih sebagai dokrin ajaran Islam
yang berlaku mutlak, nilai-nilai Tasawuf (nilai-nilai sufi ) sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan perbuatan nabi yang
mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana sangat erat
relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah,
yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia.
Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat terkenal adalah Imam Al-
Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka, sehingga
digelari sebagai hujjat ul-Islam. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang
pengembara ilmu, terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai
cabang keilmuan. Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh
dengan karyanya al-mustashfa, dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan
karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat
itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal
mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya
akidah kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan
pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan
guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 55


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui karya terbesarnya, “Ihya’ U’lum
al-Din ” (The Revival of Religion Sciences).
Jurnal ini akan memaparkan kerangka dasar pemikiran Tashawuf Imam Al-
Ghazali , latar belakang Imam Al-Ghazali, pengertian Tasawuf menurut beberapa
pendapat dan juga pandangan tasawuf Imam Al-Ghazali dalam kehidupan sehari-
hari.
B. Biografi Al-Ghazali
Al- Ghazali yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad bin al-Ghzali,
di lahirkan di Thus, salah satu salah satu kota di Khurasan (Persia) pada
pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang
pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran
agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-Ghazali meninggal di kota
kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M).
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di
kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini
wafat pada tahun 478 H/1085 M.
Ayah al-Ghazali adalah seorang wara’ yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri.Pekerjaannnya ialah sebagai pemintal dan penjual wol. Pada
waktu-waktu senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh
agama dan para ahli fikih di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk
mendengarkan nasihatnasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat-sifat ayah
al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya yang
mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.Sang ayah wafat
ketika al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad, masih dalam usia anak-anak.
Ketika hendak wafat, sang ayah berwasiat kepada salah seorang teman dekatnya
dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia
berkata kepadanya, “Saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya
berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini maka didiklah
keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk
mengurus keperluannya.” 1

1
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia 2013.

56 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

Di masa kanak-kanak Imam al-Ghazali belajar kepada Ahwad bin


Muhammad ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili
di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain diceritakan
bahwa dalam perjalanan pulangnya seperjalanannya dihadang sekawanan
pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka
bawa. Para pembegal tersebut merebut tas Imam al-Ghazali yang berisi buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Imam al-Ghazali
berharap kepada mereka agar sudi mengembalikan tasnya, karena beliau ingin
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku itu.
Kawanan perampok merasa iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka
mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya. Diceritakan pula setelah itu beliau
menjadi rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang
terkandung di dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan, beliau menaruh
kitab-kitabnya di suatu tempat khusus yang aman.
Di Kota Bagdad ini, nama al-Ghazali semakin populer, halaqah
(kelompok) pengajiannya semakin luas. Di kota ini pula ia mulai berpolemik
terutama dengan golongan Bathiniyah Isma’iliyah dan kaum filosof. Pada periode
ini pula ia menderita krisis rohani sebagai akibat sikap kesangsiannya (al-syak),
yang oleh orang Barat dikenal dengan skepticism, yaitu krisis yang menyangsikan
terhadap semua ma’rifah, baik yang bersifat empiris maupun rasional. Akibat
krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga dokter kehabisan daya
mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya,
seperti rektor dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid
Jami’ Damaskus, ia mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kontemplasi, dan
sufistik yang berlangsung selama dua tahun. Lalu pada tahun 490 H/1098M, ia
menuju Palestina berdoa di samping Kubur Nabi Ibrahim a.s. kemudian, ia
berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah
ke makam Rasulullah Muhammad saw. akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan
jiwa ini dengan jalan tasawuf. 2
Imam al-Ghazali memiliki daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia
digelari Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua
2
Muhammad Abu, Iqbal.: Pemikiran Pendidikan Islam Gagasan-Gagasan Besar Para Ilmuwan
Muslim. Yogyakarta:2015 Pustaka Pelajar.

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 57


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam.
Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat
mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan
hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup
demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau
telah mempelajari karya sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid
Busthami. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama
ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.3
C. Pandangan Tasawuf Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya
memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling
hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan
amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa
mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah
daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus
milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan
ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan
demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan
yang riil (al-Taftazani, 2003, hal. 165).
1. Jalan (at-Thariq)
Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui
oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu,
sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang
diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal
yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan
kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa.
Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia,
yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan
daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan

3
Ahmad Bangun, Nasution dan Rayani Hanum Sirega. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi). Jakarta:2013 PT RajaGrafindo Persada.

58 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan


jahat, maka seseorang sudah dapat dikategorikan sabar.
Ketiga, kefakiran. Yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal
yang diperlukan. Maksudnya, meskipun calon sufi itu sedang memerlukan
sesuatu, seperti makanan, namun makanan yang diberikan kepadanya harus
diteliti dengan seksama apakah halal, haram, atau syubhat (diragukan halal
atau haramnya). Jika haram atau syubhat, makanan itu harus ditolaknya,
kendatipun makanan itu sangat diperlukannya. Untuk itu, juga harus dilihat
motivasi orang yang memberinya.
Keempat, zuhud. Dalam keadaan ini seorang calon sufi harus
meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan
ukhrawi. Kelima, tawakal. Menurut al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari
keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Dia
berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Walaupun demikian, harus
pula diyakini bahwa Dia juga Maha Rahman, Maha pengasih, tak pilih kasih
kepada makhluknya. Karena itu, manusia seharusnya berserah diri kepada
Tuhannya dengan sepenuh hati.Dalam penyerahan diri kepada Allah
swt.seorang sufi merasakan dirinya tiada lagi. Tingkat tawakal yang paling
tinggi adalah berserah diri bagaikan mayat.Keenam,ma’rifat. Yaitu
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang
segala yang ada. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih bermutu
daripada pengetahuan yang diperoleh akal.Ma’rifat inilah yang kemudian
menimbulkan mahabbah (mencintai Tuhan).4
2. Ma’rifah
Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada
Tahun).Ma’rifahmerupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi
kondisi jiwa seorang hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh
aktivitas ragawi. ‘Ilm, diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah
ibarat cahaya yang memancar dari nyala api tersebut. Ma’rifah secara
etimologis, adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam
terminologi kaum sufi, ma’rifah disebut pengetahuan yang tidak ada keraguan

4
Ensiklopedi Islam, 2002, hal. 27-28

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 59


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

lagi di dalamnya ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah
swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan
ma’rifahZat dan apa pula maksud dari ma’rifah sifat?” Maka jawabnya:
“ma’rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya keagungan yang bersemayan
dalam diri-Nya dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun
ma’rifahsifat, adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha
Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat
dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya,”
Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah
Swt. karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-
Nya. Tandatanda ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan
kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq. Kata-kata tersebut
masing-masing sinonim yang berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Beda
antara al-barq dan al-wajd, adalah al-barq lebih merupakan proses memasuki
jalan tauhid,sedangkan al-wajd (perasaan) adalah yang menyertai di
dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah daging maka jadilah zauq (rasa
sukma).
Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukannya
perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri
dada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang
merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu
memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan
cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di
dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurutnya lagi, yang membuat cermin
kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada
Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang justru
membuat kalbu berlinang dan cemerlang.5
3. Tingkatan Manusia

5
Al-Ghazali. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta:2002 Pustaka Sufi.

60 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai


berikut: Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua,
kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam. Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Kaum awam dengan daya
akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-hakikat.
Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus
dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk (almauizah). Kaum
pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap
menjelaskan hikmah-hikmah,sedang kaum ahli debat dengan sikap
mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah). bagaimana filosof-filosof dan
ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi manusia ke adalam dua
golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya kepada golongan
khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya,
pengertian kaum awam dan kaum khawas tentang hal yang sama tidak
selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya berfikir
masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas,
sebaliknya, membaca apa yang tersirat6.
4. Kebahagiaan
Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para
sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan ini al-
Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia al-Sa’adah. Di
samping itu teori kebahagiaan ini juga telah dikemukakannya secara terinci
dalam karyanya Ihya Ulum al-Din. Menurut al-Ghazali jalan menuju
kebahagiaan itu adalah ilmu serta amal. Ia menjelaskan bahwa seandainya
anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya melihatnya bagaikan begitu
lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. Anda pun niscaya
mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan juga
sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, hal ini mustahil
tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Dan yang paling tinggi peringkatnya,
sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara yang paling
baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada

6
Maftukhi. Filsafat Islam. Yogyakarta:2012 Teras.

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 61


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

kebahagiaan tersebut dan kebahagiaan tersebut mustahil tercapai dengan ilmu


cara beramal. Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu.
Teori kebahagiaan, menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa
psikologis dan dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu
asalnya bersumber dari semacam kelezatan atau kebahagiaan.
D. Pengaruh Tasawuf Imam al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan dalam. Dia menguasai
berbagai pengetahuan pada masanya, dan dia mampu mengungkapkannya secara
menarik, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya. Dalam tasawuf, pilihan al-
Ghazali jatuh pada tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan
gnostis yang yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Isma’iliyyah dan alirah
Syiah, Ikhwanus Safa, dan lain-lainnya. Ia juga menjauhkan tasawufnya dari teori-
teori ke-Tuhan-an menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan
penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazali benar-benar
bercorak Islam.
Menurut analisa Duncan B. MacDonald seperti dikutip oleh Amin Syukur dan
Masyharuddin bahwa luas dan kuatnya pengaruh tasawuf al-Ghazali di dunia
Islam disebabkan karena beberapa hal. Pertama, al-Ghazali dapat membawa orang
(Islam) kembali dari kegiatan-kegiatan skolastik mengenai dogma-dogma
teologisnya kepada pengkajian, penafsiran dan penghayatan kalam Allah dan
sunah Nabi.
Kedua, dalam nasihat-nasihat dan pengajaran moralnya, ia memperkenalkan
lagi elemen-elemen al-khauf (takut) terutama pada api neraka. Ketiga, karena
ketakutan dan pengaruhnyalah tasawuf memperoleh kedudukan kuat dan
terhormat serta terjamin dalam Islam. Keempat,ia membawa filsafat dan teologi
filosofisyang semula bersifat elitis ke dalam daratan pemikiran orang awam yang
pada mulanya hanya bisa dipahami orang-orang tertentu, mengingat istilah dan
bahasa yang dipakai bukan bahasa awam, sehingga merupakan misteri bagi
mereka. Al-Ghazali telah mengubah atau paling tidak telah berusaha merubah
istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam.Melalui
pendekatan sufistik, al-Ghazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber

62 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

fundamental dan historis serta memberikan suatu tempat kehidupan emosional


keagamaan (esoterik) dalam sistemnya.Atau lebih konkritnya al-Ghazali berusaha
merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan sufistik dengan
bahasa yang mudah diterima oleh orang awam.Hal ini sangat menetukan,
mengapa ajaran-ajaran tawasuf yang merupakan upaya spiritualisasi lslam banyak
tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga sekarang7.
E. Implementasi Tasawuf dalam kehidupan Sehari-hari
Tasawuf merupakan upaya membersihkan pandangan, memurnikan
orientasi, meluruskan niat dan cara bersikap untuk tidak terlalu mementingkan
“yang selain Allah” (dunia). Dalam tasawuf ada nilai-nilai yang menjadi hal
penting untuk tasawuf itu sendiri. Pada kenyataanya diera milienium ini nilai-nilai
tasawuf itu sendiri mulai diabaikan. Padahal jika nilai-nilai itu bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, maka peluang untuk mendapatkan masyarakat islami
itu sangat besar, dengan kesopan-santunan dan kekentalan unsur spritual. Berikut
beberapa nilai-nilai tasawuf yang bisa diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
:
1. Zuhud
Orang yang zuhud tidak merasa senang dengan berlimpah ruahnya harta
dan tidak merasa susah dengan kehilangannya. Firman Allah dalam surah Al-
Hadid:3, yang artinya : “Agar kalian tidak merasa susah dengan apa yang
hilang, dan juga tidak merasa bangga dengan apa yang datang kepada kalian”.
Zuhud menurut Al-Junaid adalah kosongnya tanga dari kemilikan dan
bersihnya hati daripada keinginan untuk memiliki sesuatu. Al-Harraz dalam
kitab as-shidqu menyebutkan bahwa zuhud adalah orang yang meniadakan
keinginan keduniaan dari hatinya secara sedikit demi sedikit, dan ia akan
melihat tujuan dari zuhud itu.
Untuk nilai zuhud ini, Nabi Muhammad jelas menjadi contoh yang tepat
untuk kita jadikan pedoman. Banyangkan saja seorang pemimpin umat dan
khalifah besar seperti beliau pernah tidur dengan beralas pelepah kurma,
dimana ketika begitu terbangun bekas pelepah tersebut menempel
ditubuhnya. Padahal beliau bisa hidup jauh lebih mewah dari hal itu, tapi
7
Masharudin, Syakur. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: 2002 Pustaka Pelajar dan Lembkota
Semarang

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 63


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

beliau dengan kesederhanaannya memilih tidak begitu mencintai dunia.


Artinya kita bisa melakukan nilai-nilai zuhud dengan bentuk kesederhanaan
kita dalam kehidupan sehari-hari.
2. Ridho
Secara harfiah, Ridho artinya rela, suka, senang. Harun nasution
mengatakan ridho tidak berusaha, tidak menentang qada’ dan qadar tuhan.
Dalam hal ini ketika kita mampu melakukan ridho dengan penerimaan atas
qada dan qadar, secara tidak langsung kita telah mengeluarkan perasaan benci
dari hati sehingga yang tinggal didalam hati kita hanya perasan sengan dan
gembira. Dengan demikian penting sekali implikasi dari ridho untuk
kehidupan kita. Contohnya ketika kita harus mengikuti ujian, dan
mendapatkan hasil. Pada akhirnya ketika kita mendapat IPK yang baik atau
tidak, ketika sifat ridho telah tertanam dalam diri kita maka, apapun hasil dari
IPK yang ada, akan diterima dengan kerelaan sebagai bentuk penerimaan atas
qada dan qadar.
3. Qanaah
Qanaah merupakan satu dari nilai-nilai tasawuf yang juga begitu penting
dalam pengaplikasiaannya. Dalam keseharian kita terkadang apa yang kita
inginkan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Boleh digambarkan
ketika kita berjalan dipinggir jalan, seusai huja reda. Tiba-tiba saja sebuah
mobil sedan lewat dan menyebabkan genangan air setelah hujan membasahi
kita. Sementara si pengendara mobil tampaknya tak menyadari kekeliruannya
dan tetap melaju. Pertanyaanya, apa yang akan anda lakukan untuk
menghadapi hal semacam ini? Marah? Atau anda akan menggerutu?. Marah
atau menggerutu, itu pilihan anda, hanya saja pada siapa anda akan marah
atau menggerutu? Sementara si pengendara mobil sudah berlalu
meninggalkan anda. Disinilah qanaah diperlukan, sifat menerima takdir Allah
dengan lapang dada, itulah qanaah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan
sehari-hari kita.
4. Tawakal
Tawakal adalah perasaan dari seorang mu’min dalam memandang alam,
bahwa apa yang terdapat didalamnya tidak akan luput dari tangan Allah,

64 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

dimana di dalam hatinya digelar oleh Allah ketenangan, dan disinilah seorang
muslim merasa tenag dengan tuhannya, setelah ia melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Pada hakikatnya sebelum
bentuk ketawakalan itu muncul, hal yang pertama kita lalui adalah ikhtiar.
Dimana ikhtiar merupakan proses yang dilakukan semaksimal mungkin
dengan fisik dan raga, lalu setelah proses tersebut dilakukan, kini giliran hati
atau jiwa untuk bersika pasrah secara penuh kepada ketentuan Allah SWT,
inilah yang kemudian disebut tawakal.
Namun dalam keseharian kita terkadang sering terlihat kekeliruaan akan
hal seperti ini. Banyak terkadang dari mereka yang berusaha sekuat tenaga
untuk mendapatkan sesuatu, tanpa melakukan proses tawakkal setelah itu.
Inilah yang membuat kita tak jarang menganggap semua yang dihasilkan
hanya atas kerja keras pribadi, bukan bantuan atau campur tangan tuhan.
Padahal ketika kita telah berusaha keras, dan dilanjutkan dengan proses
tawakal. Maka kebimbangan hati atau kekecewaan kita akan segera terobati
ketika apa yang kita usahakan tidak terlaksana dengan baik.
5. Sabar
Secara hafiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun Al-Nun al-Mishry,
sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan
manampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi. Selanjutnya ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap
tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Dikatakan bahwa sabar adalah sesuatu yang tak ada batasnya, sebab sabar
tidak memiliki tolak ukur. Hanya Allah pemilik sifat sabar yang sempurna.
Tapi kesabaran tetap saja harus kita implikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Namun dalam hal ini juga diperlukan kejelian kita dalam menghadapi
suatu masalah. Terkadang apa yang dicobakan untuk kita adalah buah untuk
melihat sejauh mana kesabarannya ataupun melatih sikap sabar yang ada pada
diri kita sendiri.
6. Syukur

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 65


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

Menurut Al- Kharraz syukur dibagi menjadi tiga, yaitu syukur dengan hati
meliputi keyakinan kita bahwa nikmat yang adalah hanyalah dari Allah bukan
dari selain-Nya. Yang kedua, syukur dengan lisan, berupa ucapan
Alhamdulillah, yang kita ucapkan atas nikmat yang diberikan. Dan ketiga
syukur dengan jasmani, dimana perwujudannya dilakukan dengan
mempergunakan setiap anggotanya, yang telah disehatkan oleh Allah dan
yang telah dicipkanan dengan bentuk yang sangat baik. Apa yang terjadi jika
Allah menskor 3 menit tanpa nikmatya, maka dalam tiga menit orang akan
hancur dan sibuk mencari pertolongan. Udara berhenti dan manusia
kesusahan bernapas, itu salah satu contoh kecilnya. Betapa besar nikmat yang
diberikan untuk kita para manusia, tapi terkadang manusia jarang
mengapresiasikan nikmat itu. Bersyukur itu menjadi jalan keluar yang mesti
didukung pelaksanaanya. Allah telah memberi banyak, jadi rasa syukur
merupakan hal yang pastinya menjadi wajib untuk kita lakukan.8
F. Kesimpulan
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan
kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu,
dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa
tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek
moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong asketisme,
kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala
hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman.
Selanjutnya dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari pemikiran al-
Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang jenjang (maqamat) menurut al-Ghazalai yang harus dilalui
oleh seorang calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud,tawakal, dan
makrifat. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai
Tuhan). Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tahun). Ma’rifah
merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang
hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm,

8 Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azam : Jakarta, hal 238.

66 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023


Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari

diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang memancar
dari nyala api tersebut.
Kedua, sarana ma’rifat seorang sufi menurut beliau adalah kalbu, bukannya
perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri
dada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang
merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu memahami
perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan cermin. Sementara
ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya jika
cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas
ilmu.
Ketiga, tentang manusia al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan,
yaitu sebagai berikut:pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana
sekali.Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam.Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Adapun tentang kebahagiaan,
alGhazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi,
sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Dan keempat, melalui pendekatan
sufistik, alGhazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber fundamental
dan historis serta memberikan suatu tempat kehidupan emosional keagamaan
(esoterik) dalam sistemnya.

Daftar Pustaka

Al-Ghazali. 2002. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta: Pustaka Sufi.

al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu
Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani
dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka.

An-Najar, Amir. 2004. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf. Pustaka Azam : Jakarta

Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-Gagasan


Besar Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.

JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023 67


Wasiatul Mahfidhoh Jaya Ningrum

Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh
Sufi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Tim Penyusun. 2002. Ensiklopedi IslamJilid 2, 4, 5. Jakarta: PT Ichtiar Baru van


Hoeve

68 JITP, Volume 2, Nomor 1, Juni 2023

Anda mungkin juga menyukai