Abstract
The tasawuf thoughts of Imam al-Ghazali, who is known as a person who is
doubtful about everything. Syakk's feelings arose in him from studying
theology or theology from al-Juwaini. After al-Ghazali wandered in search
of the truth he chose the path of Sufism. According to him, the Sufilah seek
the ultimate truth. Not only that, the way of the Sufilah is a combination of
knowledge and charity, while the fruit is morality. Among the results are the
maqamat that must be passed by a Sufi candidate, including: repentance,
patience, asceticism, trust, and makrifat. Which in this journal will contain
discussions about al-Ghazali's thoughts and how the influence of al-
Ghazali's tasawuf in everyday life. Not only that, al-Ghazali's influence has
spread to various regions of the Islamic world to this day.
Keywords: Sufism, Al-Ghazali's Thought
Abstrak
Pemikiran tasawuf imam al-Ghazali yang dikenal sebagai orang yang syakk
(Ragu-ragu) terhadap segalanya. Perasaan Syakk yang timbul pada dirinya
dari ia mempelajari ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juwaini.
Setelah al-Ghazali mengembara mencari kebenaran beliau memilih jalan
tasawuf. Menurutnya, para sufilah mencari kebenaran yang paling hakiki.
Tidak hanya itu jalan para Sufilah adalah paduan antara ilmu dan amal,
sementara buahnya adalah moralitas. Diantara hasilnya adalah maqamat
yang harus dilalui oleh seorang calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, zuhud,
tawakal, dan makrifat. Yang mana pada jurnal ini akan memuat pembahas
mengenai pemikiran al-Ghazali dan bagaimna pengaruh tasawuf al-Ghazali
dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya itu pengaruh al-Ghazali telah
tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga saat ini.
Kata Kunci: Tasawuf, Pemikiran al-Ghazali
https://doi.org/10.15642/jitp.2023.2.1.54-68
Al-Ghazali: Implementasi Tasawuf Falsafi dalam Kehidupan Sehari-Hari
A. Pendahuluan
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu yang menerangkan dimensi atau
aspek spiritual dari Islam. Spiritual ini dapat mengambil bentuk yanh berbeneka
ragam didalamnya.dalam kaitanya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan
aspek rohaniyahnya ketimbang aspek jasmaniyah, dalam kaitanya dengan
kehidupan dunia fana, sedangkan dengan aspek pemahaman ia lebih menekankan
penafsiran batiniah ketimbang penafsiran lahiriyah.
Oleh karena itu ilmu Tasawuf sangat penting untuk dipelajari dan dipahami
terutama bagi masyarakat pemeluk agama Islamumumnya dan para
pemuka agama Islam khususnya,mengingat dewasa ini masyarakat mengalami
banyak masalah dalam kehidupan duniawi dan atau spritual keagamaan, sehingga
mempelajari dan memahami tasawuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang
manjur untuk menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.
Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist sahih sebagai dokrin ajaran Islam
yang berlaku mutlak, nilai-nilai Tasawuf (nilai-nilai sufi ) sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan perbuatan nabi yang
mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana sangat erat
relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah,
yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia.
Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat terkenal adalah Imam Al-
Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka, sehingga
digelari sebagai hujjat ul-Islam. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang
pengembara ilmu, terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai
cabang keilmuan. Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh
dengan karyanya al-mustashfa, dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan
karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat
itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal
mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya
akidah kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan
pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan
guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada
zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui karya terbesarnya, “Ihya’ U’lum
al-Din ” (The Revival of Religion Sciences).
Jurnal ini akan memaparkan kerangka dasar pemikiran Tashawuf Imam Al-
Ghazali , latar belakang Imam Al-Ghazali, pengertian Tasawuf menurut beberapa
pendapat dan juga pandangan tasawuf Imam Al-Ghazali dalam kehidupan sehari-
hari.
B. Biografi Al-Ghazali
Al- Ghazali yang memiliki nama lengkap Abu Muhammad bin al-Ghzali,
di lahirkan di Thus, salah satu salah satu kota di Khurasan (Persia) pada
pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang
pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran
agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-Ghazali meninggal di kota
kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M).
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, kemudian meneruskan di
kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang terakhir ini
wafat pada tahun 478 H/1085 M.
Ayah al-Ghazali adalah seorang wara’ yang hanya makan dari usaha
tangannya sendiri.Pekerjaannnya ialah sebagai pemintal dan penjual wol. Pada
waktu-waktu senggangnya, menurut cerita, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh
agama dan para ahli fikih di berbagai majelis dan khalawat mereka untuk
mendengarkan nasihatnasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat-sifat ayah
al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali sikap pengabdiannya yang
mengagumkan terhadap para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.Sang ayah wafat
ketika al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad, masih dalam usia anak-anak.
Ketika hendak wafat, sang ayah berwasiat kepada salah seorang teman dekatnya
dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia
berkata kepadanya, “Saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya
berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini maka didiklah
keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk
mengurus keperluannya.” 1
1
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia 2013.
dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam.
Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat
mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan
hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup
demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau
telah mempelajari karya sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid
Busthami. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama
ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.3
C. Pandangan Tasawuf Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali, setelah melalui pengembaraannya mencari kebenaran akhirnya
memilih jalan tasawuf. Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling
hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dengan
amal, sementara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa
mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah
daripada mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus
milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan
ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan
demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan
yang riil (al-Taftazani, 2003, hal. 165).
1. Jalan (at-Thariq)
Menurut al-Ghazali, ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui
oleh seorang calon sufi. Pertama, tobat. Hal ini mencakup tiga hal: ilmu,
sikap, dan tindakan. Ilmu adalah pengetahuan seseorang tentang bahaya yang
diakibatkan dosa besar. Pengetahuan itu melahirkan sikap sedih dan menyesal
yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Tobat harus dilakukan dengan
kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa.
Kedua, sabar. Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia,
yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan
daya yang melahirkan dorongan berbuat jahat.Jika daya jiwa yang melahirkan
3
Ahmad Bangun, Nasution dan Rayani Hanum Sirega. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh Sufi). Jakarta:2013 PT RajaGrafindo Persada.
4
Ensiklopedi Islam, 2002, hal. 27-28
lagi di dalamnya ketika pengatahuan itu terkait dengan persoalan Zat Allah
swt. dan sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan
ma’rifahZat dan apa pula maksud dari ma’rifah sifat?” Maka jawabnya:
“ma’rifah Zat mengetahui bahwa sesungguhnya keagungan yang bersemayan
dalam diri-Nya dan tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Adapun
ma’rifahsifat, adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. Maha
Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat
dan dengan segala sifat kemahasempurna lainnya,”
Ma’rifah kepada Allah Swt. dengan sendirinya adalah zikir kepada Allah
Swt. karena ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-
Nya. Tandatanda ma’rifah, pada mulanya, munculnya kilatan-kilatan
kecermelangan cahaya lawa`ih, tawali’, lawami’ dan barq. Kata-kata tersebut
masing-masing sinonim yang berarti kilatan cahaya dan kecemerlangan. Beda
antara al-barq dan al-wajd, adalah al-barq lebih merupakan proses memasuki
jalan tauhid,sedangkan al-wajd (perasaan) adalah yang menyertai di
dalamnya. Baru setelah keduannya mendarah daging maka jadilah zauq (rasa
sukma).
Menurut al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu, bukannya
perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri
dada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang
merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu
memahami perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan
cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di
dalamnya. Jelasnya jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat
memantulkan realitas-realitas ilmu. Menurutnya lagi, yang membuat cermin
kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara ketaatan kepada
Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa-nafsu itulah yang justru
membuat kalbu berlinang dan cemerlang.5
3. Tingkatan Manusia
5
Al-Ghazali. Samudera Pemikiran al-Gazali.Yogyakarta:2002 Pustaka Sufi.
6
Maftukhi. Filsafat Islam. Yogyakarta:2012 Teras.
dimana di dalam hatinya digelar oleh Allah ketenangan, dan disinilah seorang
muslim merasa tenag dengan tuhannya, setelah ia melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Pada hakikatnya sebelum
bentuk ketawakalan itu muncul, hal yang pertama kita lalui adalah ikhtiar.
Dimana ikhtiar merupakan proses yang dilakukan semaksimal mungkin
dengan fisik dan raga, lalu setelah proses tersebut dilakukan, kini giliran hati
atau jiwa untuk bersika pasrah secara penuh kepada ketentuan Allah SWT,
inilah yang kemudian disebut tawakal.
Namun dalam keseharian kita terkadang sering terlihat kekeliruaan akan
hal seperti ini. Banyak terkadang dari mereka yang berusaha sekuat tenaga
untuk mendapatkan sesuatu, tanpa melakukan proses tawakkal setelah itu.
Inilah yang membuat kita tak jarang menganggap semua yang dihasilkan
hanya atas kerja keras pribadi, bukan bantuan atau campur tangan tuhan.
Padahal ketika kita telah berusaha keras, dan dilanjutkan dengan proses
tawakal. Maka kebimbangan hati atau kekecewaan kita akan segera terobati
ketika apa yang kita usahakan tidak terlaksana dengan baik.
5. Sabar
Secara hafiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun Al-Nun al-Mishry,
sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan
manampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi. Selanjutnya ibn Atha mengatakan sabar artinya tetap
tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik.
Dikatakan bahwa sabar adalah sesuatu yang tak ada batasnya, sebab sabar
tidak memiliki tolak ukur. Hanya Allah pemilik sifat sabar yang sempurna.
Tapi kesabaran tetap saja harus kita implikasikan dalam kehidupan sehari-
hari. Namun dalam hal ini juga diperlukan kejelian kita dalam menghadapi
suatu masalah. Terkadang apa yang dicobakan untuk kita adalah buah untuk
melihat sejauh mana kesabarannya ataupun melatih sikap sabar yang ada pada
diri kita sendiri.
6. Syukur
Menurut Al- Kharraz syukur dibagi menjadi tiga, yaitu syukur dengan hati
meliputi keyakinan kita bahwa nikmat yang adalah hanyalah dari Allah bukan
dari selain-Nya. Yang kedua, syukur dengan lisan, berupa ucapan
Alhamdulillah, yang kita ucapkan atas nikmat yang diberikan. Dan ketiga
syukur dengan jasmani, dimana perwujudannya dilakukan dengan
mempergunakan setiap anggotanya, yang telah disehatkan oleh Allah dan
yang telah dicipkanan dengan bentuk yang sangat baik. Apa yang terjadi jika
Allah menskor 3 menit tanpa nikmatya, maka dalam tiga menit orang akan
hancur dan sibuk mencari pertolongan. Udara berhenti dan manusia
kesusahan bernapas, itu salah satu contoh kecilnya. Betapa besar nikmat yang
diberikan untuk kita para manusia, tapi terkadang manusia jarang
mengapresiasikan nikmat itu. Bersyukur itu menjadi jalan keluar yang mesti
didukung pelaksanaanya. Allah telah memberi banyak, jadi rasa syukur
merupakan hal yang pastinya menjadi wajib untuk kita lakukan.8
F. Kesimpulan
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan
kondisi yang dilewatinya terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu,
dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa
tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mengenai aspek
moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong asketisme,
kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala
hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman.
Selanjutnya dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari pemikiran al-
Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, tentang jenjang (maqamat) menurut al-Ghazalai yang harus dilalui
oleh seorang calon sufi, diantaranya: tobat, sabar, kefakiran, zuhud,tawakal, dan
makrifat. Makrifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai
Tuhan). Ma’rifah adalah esensi taqarrub (pendekatan pada Tahun). Ma’rifah
merupakan hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang
hamba yang ada akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. ‘Ilm,
8 Amir An-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Pustaka Azam : Jakarta, hal 238.
diibaratkan seperti melihat api sementara ma’rifah ibarat cahaya yang memancar
dari nyala api tersebut.
Kedua, sarana ma’rifat seorang sufi menurut beliau adalah kalbu, bukannya
perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh
yang dikenal terletak pada bagian tubuh yang dikenal terletak pada bagian kiri
dada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah ke-Tuhan-an yang
merupakan hakikat realitas manusia, namun akal-budi belum mampu memahami
perkaitan antara keduanya. Kalbu menurut al-Ghazali bagaikan cermin. Sementara
ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya jika
cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas-realitas
ilmu.
Ketiga, tentang manusia al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan,
yaitu sebagai berikut:pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana
sekali.Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara
mendalam.Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl). Adapun tentang kebahagiaan,
alGhazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi,
sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Dan keempat, melalui pendekatan
sufistik, alGhazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber fundamental
dan historis serta memberikan suatu tempat kehidupan emosional keagamaan
(esoterik) dalam sistemnya.
Daftar Pustaka
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu
Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani
dari Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka.
An-Najar, Amir. 2004. Ilmu Jiwa dalam Tasawuf. Pustaka Azam : Jakarta
Nasution, Ahmad Bangun, dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Tokoh-tokoh
Sufi). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.