Anda di halaman 1dari 7

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI

DALAM BIDANG TASAWUF

Rizky Ade Aulia Nurulhuda, Shafara Faiza

Jurusan Manajemen Pendidikan Islam Unit 2 Fakultas Tarbiyah

dan Ilmu Keguruan IAIN Lhokseumae

Email :

rizkyadeaulia31@gmail.com

shafarafaiza@gmail.com

Pendahuluan

Pada saat ini memang kata tasawuf tidak lagi asing didengar, namun masih banyak orang
yang belum paham dengan jelas apa itu tasawuf sebenarnya. Tasawuf secara umum merupakan
ilmu ajaran islam yang berfokus pada hal-hal menyucikan diri, baik itu menyucikan jiwa, hati,
akhlak, pikiran, dan hal-hal duniawi yang bisa membuat manusia lalai dari Allah, yang oleh
karenanya banyak Tokoh-tokoh terkemuka Islam yang juga memperlajari dan mengamalkan
ilmu ini. Dan tentu saja mereka memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang tasawuf, salah
satu Tokoh tersebut ialah Imam Al-Ghazali.

Pada penulisan kali ini kami membahas tentang biografi atau riwayat kehidupan dari
Imam Al-ghazali dan pemahaman seperti apa yang dimiliki oleh Imam Al-ghazali tentang
tasawuf, tujuannya untuk memahami tasawuf secara mendalam, memilah tasawuf seperti apa
yang benar, dan dapat mengamalkan ilmu tasawuf dari pemikiran yang disampaikan oleh Imam
al-ghazali.

Pemahaman yang berbeda-beda dari berbagai tokoh sufi islam banyak menjadi
perdebatan dalam dunia ilmu tasawuf, sebagian dari mereka juga mengajarkan pemahaman yang
menyesatkan dari tasawuf, oleh karenanya tema kami kali ini dapat membantu kita mengenal
salah satu tokoh yang memiliki pemahaman yang tidak menyesatkan adalah Imam Al-ghazali.

Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penelitian kualitatif,
memaparkan bacaan secara alamiah dan menganalisis data secara induktif. Analisis data makalah
ini bersumber dari buku berjudul “Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah oleh Dr. Abdul
Fattah Sayyid Ahmad, buku “Fungsi Akal dalam Tasawuf Al-Ghazali” oleh Ansori Ma, juga
dari beberapa artikel jurnal di internet.
PEMBAHASAN

A. Biografi Imam Al-Ghazali


Nama lengkap beliau ialah Abu Hamid Al-Ghazali ibn Muhammad ibn
Muhammad Al-Tusi Al-Ghazali beliau lahir pada pertengahan abad ke-5 Hijriah (450
H/1058 H) dan wafat pada tahun 505 H/1111 M di Thus sebuah kota di Khurasan yang
pada masa itu kebanyakan penduduknya menganut agama Kristen dan pengikut madzhab
Syi’ah.1
Ayah Imam al-Ghazali meninggal pada saat umur beliau belum mencapai usia
baligh, beliau kemudian dimasukkan ke Madrasah Nizhamiyah dalam asuhan seorang
sufi yang merupakan teman dari Ayah Imam al-Ghazali. Dimasa kecil beliau belajar ilmu
fiqih yang diajarkan oleh Ahmad bin Muhammad Ar-Razkani, lalu beliau memperdalam
ilmu fiqihnya di kota Jurjan (Georgia) dengan seorang guru bernama Abu Nashr Al-
Isma'ili dan setelah selesai beliau kembali ke kota Thus.
Tidak puas dengan ilmu yang ia pelajari di kota Thus, beliaupun pergi ke kota
Naisabur2 untuk berguru kepada ulama-ulama lain. Di sana beliau berguru kepada
Imamul Haramain Dhiyauddin Al-Juwaini yang merupakan seorang kepala Madrasah
Nizhamiyah. Di Madrasah ini beliau banyak mendapat ilmu dari berbagai guru yang
menguasai berbagai ilmu, mulai dari Fiqih, Usul fiqih, Ilmu Kalam, Ilmu mantiq dan
lain-lain.
Pada saat umur belum genap 18 tahun sepeninggalnya Imam Al-Juwaini tahun
478 H, beliau pergi ke markas militer menemui Wazir Nizhamul Muluk. Setelah Wazir
Nizhamul bertemu dan melihat potensi yang dimiliki Imam al Ghazali, beliau
menugaskan Imam al-Ghazali ke Madrasah Nizhamiyah cabang Baghdad, yang mana
pada zaman itu pekerjaan ini banyak diincar dan didambakan para ulama di sana. Selama
mengajar di Madrasah Nizhamiyah beliau dikagumi banyak orang disana karena
kecerdasannya yang sempurna, gaya bicaranya yang baik, kefasihan lidahnya, dan
isyaratnya yang halus. Dalam kitab beliau “Al-Munqidz min Adh-Dhalal” beliau
melukiskan keadaannya di Madrasah Nizhamiyah, “saya mengajar dan memeberi faedah
kepada 300 murid di Baghdad.”3
Setelah mengajar di Baghdad Para pencari ilmu dari seluruh penjuru dunia islam
mendengar ke’arifan dan kegemilangan pretasi Imam al-Ghazali yang membuat mereka
berdatangan kepada beliau untuk menimba ilmu, Bahkan Para penguasa, ulama, dan
Pejabat Negara tuntuk pada beliau. Karena ketenaran dan kedudukan tinggi yang Beliau
miliki ini, Imam al-Ghazali memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad, alasannya

1
Asrori, Fungsi Akal dalam Tasawuf, cet.I(Tangerang Selatan : Al Qolam, 2018), hlm.68. Lihat juga, Abdut Fattah
Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, (Khalifah), hlm.56.
2
Naisabur adalah daerah subur yang kaya buah-buahan dan hasil Bumi. Kota ini menjadi bagian wilayah kekuasaan
islam pada masa Usman bin Affan
3
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah,(Khalifah), hlm.56. Lihat juga, (Al-
Ghazali, Al-Munqidz min Adh-Dhalal, hlm.85.)
karena beliau takut terjerumus kepada sifat riya dan lain-lain. Beliau memutuskan
berhenti mengajar dan memfokuskan dirinya untuk membersihkan jiwa, bahkan beliau
meninggalkan semua fasilitas dan harta yang dimilikinya dan pergi melewati padang
pasir layaknya seorang fakir dan musafir.
Beliau meninggalkan Baghdad menuju Makkah dan Madinah. Lalu beliau pergi
menuju Syam dan menetap selama dua tahun, Di sana beliau beri’tikaf di dalam masjid
dan memfokuskan diri dalam beribadah, shalat, merenung, dan memrangi nafsunya.
Kemudian pada tahun 492 H beliau kembali ke Baghdad untuk menemui anakn-anaknya,
lalu beliau pindah ke Thus dan mulai mengajar orang-orang yang ingin mendapat
keberkahan ilmu darinya. Sembari mengajar beliau memfokuskan diri untuk merenung
dan ibadah serta mengasingkan diri dari masyarakat. Hal ini beliau lakukan sampai akhir
hayat beliau.
1. Guru-guru Imam al-Ghazali
 Imam Ahmad Ar-Razikani
 Abu Nashr Al-Isma'ili
 Imam Al-Haramain Al-Juwaini
 Abu Ali Al-Qarmidi.
2. Kitab-kitab karya Imam al-Ghazali
Kitab utama Imam al-ghazali ialah kitab Ihya’ ulumuddin, kitab ini berisi
ajaran yang mengajak ummat islam berakhlak mulia dan beradab terpuji selain itu
kitab ini juga mengajak membersihkan jiwa serta meningkatkan derajat agar
mampu mencapai kedudukan ihsan.
Karya-karya beliau yang lain ialah : kitab Ma qashid Al-Falasifuh,Tahafut
Al-Falasifuh, Al-lqtishad fi All'tiqad, Mahwu An-Nazhar, Ma,arij Al-euds,
Fadha'ih AlBathiniyyah, Bidayah Al-'Amal, Al-Maqshad Al-Asna fi syarhi
Asma'I Allah Al-Husna, Al-Munqidz min Adh-Dhalal, lawahir Al-eur'an, Al-
Madhnun bihi'ala Ghairi Ahlihi, Bidayah Al-Hidayah, Al-waqfu wa At-Ibtida' fi
At-Tafsir, Ar-Ma'arif Al-'Aqliyyah, At-Tabr Al-Masbuq fi Nashihah Al-Muluk,
lljam Al-,Azoam, Tanbih Al-Ghafilin, Ad-Durrah Al-Fakhirah fi Knsyfi'Lilum
Ar-Akhirah, Ushul Al-Fiqh, Mukasyafah Al-Qulub, Minhaj At:Abidin,,Aqidah
Ahl Assunnah, Faishal Al-Tafriqah baina Al-lslam lna Az-Zandaqah, Musykilah
Al-Anwar, Miz,an Al:Amal, Mi'yar Al:Ilmi, Hujjah AtHaqq, Al-Manhul fi'Ilmi
Al-Llshul, Al-Wajiz fi At-Fiqh, dan masih banyak karya-karya tulis lainnya yang
bernilai tinggi.

B. Kitab Ihya’ Ulumuddin


Kitab Ihya’ Ulumuddin ialah kitab utama dari seluruh karya’’ Imam Al-Ghazali,
Kitab ini ditulis dengan tujuan menghidupkan kembali ajaran-ajaran islam yang
dianggapnya telah terkubur. Oleh karena itu, Kitab ini berisi ajaran yang mengajak
ummat Islam berakhlak mulia dan beradab terpuji, berbagai disiplin ilmu ajaran Islam,
mengajak membersihkan jiwa serta meningkatkan derajat agar mampu mencapai
kedudukan ihsan.
Kitab Ihya’ Ulumuddin terdiri dari empat Rubu’, yaitu :
1. Rubu’ul ibadah : yang membahas mengenai ilmu secara sistematis, tauhis semesta
secara mendalam, dan rahasia ibadah sesuai ajaran fiqih.
2. Rubu’ul al-Adat : membahas mengenai adab sehari-hari sampai kepada adab
kenabian.
3. Rubu’ul al-muhlikat : yang membahas mengenai keajaiban hati, latihan spiritual, serta
pengkajian terhadap penyakit spiritual sesuai Al-Qur’an.
4. Rubu’ul al-Munjiyat, membahas mengenai maqamad dan ahwal para sufi sesuai
keterangan yang syar’i dan aqli.

C. Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Tasawuf


Selama pengasingan Imam al-Ghazali di Thal, ia mendalami dan mengamalkan
ilmu tasawuf pada diriya sehingga muncullah pemikiran beliau mengenai tasawuf.
Konsep Tasawuf imam al-Ghazali ialah Tasawuf Akhlaki yaitu Hamblumminallah
(hubungan baik manusia dengan Allah dan hablumminannas (hubungan baik antar
sesama manusia).
Inti ajaran Tasawuf menurut Imam Al-Ghazali ialah : Jalan (thariq), Ma’rifah,
Tingkatan manusia, dan kebahagiaan. 4
1. Jalan (Thariq)
Menurut Imam Al-Ghazali ada 5 Maqamat (jenjang) yang dapat dilalui
seorang calon sufi, Pertama, taubat. Taubat dapat dilakukan jika memenuhi 3
syarat, yaitu ilmu (pengetahuan tentang taubat), lalu jika pengetahuan sudah
dimiliki, maka dibutuhkan hal. Lalu dilanjut dengan perbuatan (tindakan
nyata sebagai wujud pelaksanaan taubat). Imam al-Ghazali mengatakan “Ilmu
meniscayakan keberadaan hal; hal meniscayakan keberadaan perbuatan.
Keniscayaan ini setara dengan keniscayaan keteraturan sunnatullah atas alam
malaikat dan semesta."5
Kedua, sabar. Sabar ialah kemampuan mengendalikan diri, Imam al-
Ghazali mengatakan “Sabar berarti bersemayamnya pembangkit ketaatan
sebagai ganti pembangkit hawa-nafsu.” Ketiga, kefakiran. Yaitu berusaha
untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Keempat, zuhud.
Salah satu ciri istimewa orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah
ialah sifat zuhud, terutama zuhud dalam melihat dunia dan meninggalkan
harta kekayaannya yang kelak pasti akan musnah. Menurut Imam al-Ghazali

4
Ahmad Zaini, “Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali”, Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf, Volume. II, no.1, 2016,
hlm.153-156.
5
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah,(Khalifah), hlm.56. Lihat juga, (Al-
Ghazali, Al-Munqidz min Adh-Dhalal, hlm.112.
"Zuhud berarti membenci dunia demi mencintai akhirat. Zuhud bisa juga
berarti membenci selain Allah demi mencintai Allah."
Kelima, tawakkal. Tawakkal adalah bergantungnya hati hanya kepada
Allah (berserah diri kepada Allah). Imam al-Ghazali menafsirkan "Betapa
agung kedudukan orang yang mendapatkan cinta Allah, yang
menggantungkan dirinya pada karunia Allah. Allah akan memberikan
kecukupan, cinta, dan perhatian padanya. Ia telah mendapatkan keuntungan
yang agung, karena orang yang dicintai Allah tidak akan disiksa, tidak dijauhi
Allah, dan tidak ada penghalang antara dirinya dengan Allah.
2. Ma’rifah
Ma’rifah adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Ma’rifah
menurut Imam al-Ghazâlî ialah “Mengetahui rahasia - rahasia ketuhanan dan
peraturan-peraturan – Nya, yang meliputi segala yang maujud.” Dalam kitab
al-Ghazali al-Munqidz min al – Dalâl disebut bahwa ma’rifah ialah ilmu yang
meyakinkan, yang disebut ilmu yang meyakinkan itu imam al-Ghazali
mengatakan “Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah tersingkapnya
sesuatu dengan jelas sehingga tida ada lagi keraguan untuk ragu - ragu, tak
mungkin salah satu keliru, tak ada tempat di hati untuk itu”. 6
Imam al-ghazali menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah
(ma’rifatullah), beliau memandang ma’rifah sebagai tujuan akhir yang harus
ditempuh manusia yang mana ma;rifah juga merupakan kesempurnaan
tertinggi dan merupakan kebahagiaan yang hakiki. 7
Ma’rifatullah adalah tahapan mengenal Allah, seorang manusia takkan
dapat mengenal Allah jika ia sendiri belum mengenal dirinya. Menurut Imam
al-Ghazali seseorang yang tidak mengenal dirinya tidak akan bisa mengenal
Allah dengan baik. Jika seseorang inginmencapai ma’rifatullah ia harus bisa
mencapai keseimbangan akal dan rohaninya terbebas dari segala maksiat.
3. Tingkatan Manusia
Menurut Imam al-Ghazali manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu
Pertama, kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kedua, kaum
pilihan (khawas) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Ketiga,
kaum ahli debat (ahl al-jadl). Kaum awan ialah orang-orang yang tidak
mampu beijtihad dan menemukan hukum sendiri dari dalil-dalil dalam agama
islam. Kaum pilihan (khawas) ialah orang-orang yang daya akalnya kuat dan
mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,sedang
kaum ahli debat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).
4. Kebahagiaan

6
Asrori, Fungsi Akal dalam Tasawuf, cet.I(Tangerang Selatan : Al Qolam, 2018), hlm.107.
7
Ibid., hlm.106.
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan ialah ilmu serta
amalannya. Artinya jika seseorang telah mempelajari ilmu tasawuf yang
artinya ia mempelajari cara menyucikan diri maka ia akan mendapat
kebahagiaan itu sendiri, yang sudah pasti kebahagiaan yang kita dapat tidak
hanya kebahagiaan duniawi tetapi juga kebahagiaan di akhirat nanti.
Setelah mendapat kebahagiaan saat mempelajari tasawuf, seseorang akan
mendapat kebahagiaan selanjutnya setelah mengamalkan ajaran tasawuf itu
sendiri. Misalnya seseorang telah mencapai maqam ma’rifatullah ia akan
mendapat kebahagiaan karena telah mengenal Allah serta dirinya sendiri. Juga
ketika seseorang telah mengamalkan sifat Zuhud maka ia akan mendapat
kebahagiaannya sendiri karena ia mampu meninggalkan hal-hal duniawi dan
lebih mencintai akhirat.
Teori kebahagiaan, menurut al-Ghazali didasarkan pada semacam analisa
psikologis dan dia menekankan pula bahwa setiap bentuk pengetahuan itu
asalnya bersumber dari semacam kelezatan atau kebahagiaan.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada intinya pandangan Imam al-Ghazali dalam Tasawuf itu ialah suatu jalan
menuju kedekatan kepada Allah, yang dalam menjalaninya seseorang akan melewati
berbagai tahapan menyucikan diri, baik itu jiwa, akal, dan hati (qalbu). Pemahaman
Tasawuf Imam al-Ghazali yaitu pendekatan menuju Allah dengan menyucikan akhlak
dan hati seseorang tersebut terlebih dahulu, karena jika akhlak maupun hati manusia
sudah disucikan dari segala sifat tercela maka manusia dapat menuju tahapan-tahapan
selanjutnya untuk menuju kepada mengenal Allah nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abdul Fattah Muhammad Sayyid. 2005. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyah. Jakarta : Khalifa.
Ansori. 2018. Fungsi Akal Dalam Tasawuf Al-Ghazali. Tangerang Selatan : Al Qolam.
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/esoterik/article/viewFile/1902/pdf
https://id1lib.org/

Anda mungkin juga menyukai