Anda di halaman 1dari 4

Pertemuan 6

Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali &

5 Inti Tasawuf Akhlaki Menurut Pemikiran Al Ghazali

Imam Al-Ghazali adalah ulama dan pemikir besar dalam Islam. Selain
menjadi akademisi, Al-Ghazali kesohor sebagai ahli tasawuf. Karyanya yang
bertajuk Ihya Ulumuddin merupakan warisan intelektual abadi yang terus dipelajari
hingga sekarang. Di masa mudanya, Al-Ghazali amat haus pada ilmu pengetahuan.
Ia dikenal sebagai sosok polimatik, pandai di berbagai disiplin pengetahuan, mulai
dari Tafsir Al-Quran, Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, dan lain sebagainya.

Pemahamannya yang kuat menjadikan Al-Ghazali sebagai sosok intelektual terkenal


di Iran kala itu. Atas prestasinya di bidang akademik, pada usia 34 tahun, Al-Ghazali
diangkat menjadi rektor Universitas Nizhamiyah. Nama asli Al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thusi. Ia lahir di
Thus, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak kecil, Al-Ghazali sudah menjadi yatim karena
ditinggal wafat ayahnya.

Perjalanan hidupnya yang keras menjadikannya pembelajar tekun untuk


menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman di masa itu. Awalnya, ia menuntut ilmu
di negerinya sendiri, Iran. Al-Ghazali muda belajar fikih Imam Syafi'i, serta dasar-
dasar logika. Setelah dirasa cukup, ia pun merantau ke Nisapur dan belajar pada
Imam Al-Haramain. Di sanalah, Al-Ghazali menyerap secara mendalam ilmu logika,
filsafat, tafsir, hadis, dan lain sebagainya. Setelah Imam Al-Haramain wafat, Al-
Ghazali kemudian mengunjungi menteri Nizamul Mulk dari pemerintahan Dinasti
Seljuk. Karena kapasitas ilmunya yang luar biasa, Nizamul Mulk menghormati Al-
Ghazali sebagai ulama besar. Pada saat bersamaan, ulama di masa itu juga
mengakui ketinggian dan keahlian Al-Ghazali. Nizamul Mulk kemudian mengutus Al-
Ghazali untuk mengajar di Universitas Nizhamiyah pada 484 H/1091 M.

Dalam masa pengabdiannya di dunia akademik, Al-Ghazali banyak menulis


karya-karya ilmiah, termasuk buku filsafat menumental bertajuk Tahafut Al-Falasifah
yang menerangkan kekeliruan filosof-filosof muslim di masa itu. Namun, di tengah
produktivitas akademik, Al-Ghazali malah mengalami krisis rohani. Padahal, ia
sangat terkenal di masa itu dan sudah menjabat sebagai rektor Universitas
Nizhamiyah, salah satu universitas tertua di dunia yang terletak di Iran. Merespons
kekeringan jiwanya itu, Al-Ghazali meninggalkan Baghdad ke Syam secara diam-
diam.

Pekerjaan mengajarnya ia tinggalkan dan ia pun memulai hidup sederhana,


zuhud, dan warak. Di masa menyepinya itu, Al-Ghazali mendalami tasawuf dan
menyimpulkan bahwa kebenaran yang hakiki dapat ditempuh melalui jalan sufistik.
Inti dari ajaran tasawuf yang dilakoni oleh Al-Ghazali adalah tasawuf akhlaki untuk
perbaikan akhlak. Konsep dari tasawuf akhlaki Al-Ghazali adalah hablum minallah
(hubungan baik dengan Allah) dan hablum minannas (hubungan baik dengan
manusia). Jika sudah menempuh dua jalan tersebut, menurut Al-Ghazali, seorang
muslim sudah menjadi sufi, tanpa harus mengenakan atribut kesufian, seperti jubah,
bertongkat, janggut lebat, dan lain sebagainya.

Berikut ini sejumlah inti dari ajaran tasawuf menurut Al-Ghazali :

1. Jalan (At-Thariq) Jalan tasawuf yang dapat ditempuh seorang muslim terbagi
menjadi lima jenjang (maqamat), yaitu tobat, sabar, kefakiran, zuhud, dan
tawakal. Kelima jenjang itu harus harus dilakoni dengan hidup menyendiri
atau setidaknya diam sejenak, mengintrospeksi diri untuk membina kalbu
agar tidak tergoda pada kenikmatan duniawi.
2. Makrifat Makrifat adalah pengetahuan tanpa ada keraguan sedikit pun. Dalam
hal ini, pengetahuan yang dimaksud adalah zat Allah SWT dan sifat-sifatnya.
Mencapai makrifat adalah esensi dari taqarrub atau pendekatan diri seorang
hamba pada Tuhannya. Sarana untuk mencapai makrifat, menurut Al-Ghazali
adalah kalbu yang suci, bukan dari perasaan atau akal budi. Kalbu dalam
tasawuf adalah percikan rohaniah ilahiah yang merupakan inti dari hakikat
manusia. Kalbu yang suci ini akan menuntun pada hati nurani yang bersih.
Namun, makrifat ini tidak boleh hanya bersandar pada intuisi semata,
melainkan juga harus sejalan dengan syariat (Al-Quran dan hadis), serta
bertujuan untuk menyempurnakan moral dan akhlak manusia.
3. Tingkatan Manusia Dalam tasawuf Al-Ghazali, terdapat tiga tingkatan
manusia, yaitu orang awam yang cara berpikirnya sederhana sekali, kaum
pilihan yang berpikir tajam dan mendalam atau golongan khawas, dan kaum
ahli debat yang dapat mempersuasi orang dan mematahkan argumen (al-
mujadalah). Dari tiga tingkatan tersebut, yang paling umum adalah golongan
pertama dan kedua, yaitu orang awam dan orang khawas. Orang awam
sering kali hanya dapat membaca tanda-tanda dan pengetahuan yang
tersirat. Sementara itu, orang khawas dapat membaca yang implisit dan
melihat gagasan di balik suatu peristiwa.
4. Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari jalan
sufi, sebagai buah perkenalannya dengan Allah SWT. Dalam konsep tasawuf,
kebahagiaan itu dapat hadir melalui ilmu dan amal. Ketika seorang manusia
paham dan mengerti suatu konsep, serta mempraktikkannya, maka ia akan
menemukan kebahagiaan. Contohnya, permainan catur akan sangat
memusingkan bagi orang yang tidak paham tata aturan permainannya.
Sebaliknya, pecatur yang paham teori dan konsepnya akan menikmati
permainan tersebut. Kebahagiaan permainan catur hanya dapat diraih melalui
pengetahuan dan praktik bermain catur tersebut.

Bagi Al-Ghazali, kehidupan manusia ini pun tak berbeda dari konsep catur di
atas. Jika seseorang memiliki pengetahuan dunia dan akhirat, maka ia akan sampai
pada kebahagiaan yang hakiki. Selain itu, bukankah kehidupan dunia ini juga
permainan belaka, sebagaimana tergambar dalam surah Muhammad ayat 36:
"Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika
kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia
tidak akan meminta hartamu," (QS. Muhammad [47]: 36).
KESIMPULAN

Tasawuf Akhlaki merupakan gabungan antara ilmu Tasawuf dan Ilmu akhlak.
Akhlak erat hubungannya dengan perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi
sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi Tasawwuf Akhlaki dapat terealisasi
secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah SWT dibuktikan
dalam kehidupan sosial .

Tasawuf Akhlaki ini juga dikenal dengan TASAWWUF SUNNI , yaitu bentuk
Tasawwuf yang memagari dirinya dengan Al Qur'an dan Al Hadits secara ketat ,
serta mengaitkan Ahwal ( keadaan ) dan maqamat ( tingkatan rahaniah ) mereka
pada dua sumber tersebut .

Tokoh sufi yang termasuk tasawuf Akhlaki adalah Hasan Al -Bashri ( w t 728 M ) , Al
Muhasibi ( w.241 ) , Al Qusyairi ( w 405 ) dan Al Ghazali ( w. 1111M )

Anda mungkin juga menyukai