Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Disusun oleh :
HAFIZHURRAHMAN
(22101020064)
2023
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,
dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima
Hijriyah (450 H/1058 M). Ia adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi
gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-
Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19
Desember 1111 M). Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, kemudian
meneruskan di kota Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam Juwaini sampai yang
terakhir ini wafat pada tahun 478 H/1085M (Supriyadi, 2009, hal. 143-144).Tasawuf dalam
Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya
terkandung sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf
yang tidak diperselisihkan yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan
Islam. Mengenai aspek moral, dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang mendorong
asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala
hal yang diniscayakan pada setiap muslim sebagai kesempurnaan iman. Al-Quran sendiri
menyatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah suri teladan yang terbaik bagi orang yang hendak
menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling
luhur. Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung pada sudut pandang
yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para
ahli untuk mendefinisikan tasawuf yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas,
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang dan manusia sebagai makhluk yang ber-
Tuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf
dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh
kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
B. ALASAN PEMBAHASAN
bertujuan untuk mengetahui kondisi sosio-historis pada masa Imam al-
Ghazali, biografi Imam al-Ghazali, karya-karya Imam alGhazali, pemikiran tasawuf
Imam al-Ghazali, dan terakhir bagaimana pengaruh tasawuf Imam al-Ghazali.
C. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pemikiran Imam Al Ghozali tentang tasawuf ?
2. Bagaimana peran tasawuf dalam kehidupan Imam Al Ghozali ?
3. Apa saja karya-karya Imam Al Ghozali ?
PEMBAHASAN
Jalan (at-Thariq)
Secara etimologis, ma’rifah adalah pengetahuan tanpa keraguan sedikit pun. Dalam
terminologi kaum sufi, ma’rifah merujuk pada pengetahuan yang tidak diragukan lagi
terkait dengan zat Allah swt. dan sifat-sifat-Nya. Ma’rifah Zat adalah pengetahuan
bahwa keagungan Tuhan terdapat dalam diri-Nya sendiri dan tidak ada sesuatu yang
1
Ahmad Zaini, Pemikiran tasawuf Al Ghozali, Jurnal Akhlak Dan Tasawuf, Vol.2 No.1 (2016), 154-155.
menyerupai-Nya. Ma’rifah sifat adalah pengetahuan bahwa Allah Swt. adalah Maha
Hidup, Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan
memiliki sifat kemahakuasaan lainnya.
Ma’rifah kepada Allah Swt. secara alami adalah bentuk zikir kepada-Nya karena
ma’rifah berarti hadir bersama-Nya dan bersaksi atas-Nya. Tanda-tanda ma’rifah
awalnya adalah munculnya kilatan cahaya dan kecemerlangan dalam kalbu, seperti
kilatan cahaya, tawali’, lawami’, dan barq. Kata-kata ini adalah sinonim yang merujuk
pada kilatan cahaya dan kecemerlangan. Perbedaan antara al-barq dan al-wajd adalah
al-barq lebih terkait dengan proses memasuki jalan tauhid, sementara al-wajd
(perasaan) mengiringinya. Setelah keduanya mengakar, maka munculah zauq (rasa
sukma). Menurut al-Ghazali, akses ke pemahaman mendalam tentang Tuhan
(ma’rifah) bagi seorang sufi terletak pada kalbu, bukan pada perasaan atau akal budi.
Kalbu bukanlah bagian fisik di kiri dada manusia, tetapi merupakan refleksi rohaniah
yang mewakili hakikat sejati manusia. Meskipun demikian, akal budi masih belum
dapat sepenuhnya memahami hubungan antara keduanya. Kalbu diibaratkan sebagai
cermin, sedangkan ilmu adalah gambaran realitas yang tercermin di dalamnya.
Kekaburan kalbu disebabkan oleh dorongan hawa nafsu tubuh. Ketaatan kepada Allah
dan menjauhi dorongan hawa nafsu adalah kunci untuk menjernihkan dan menerangi
kalbu.2
Tingkatan Manusia
Imam Al-Ghazali mengelompokkan manusia ke dalam tiga kategori yang
berbeda. Pertama, ada kaum awam yang memiliki pemikiran yang sederhana. Kedua,
terdapat kaum pilihan yang memiliki kecerdasan dan pemikiran yang mendalam. Dan
ketiga, ada kaum ahli debat. Kaum awam dengan pemikiran yang sederhana tidak
selalu dapat memahami inti permasalahan dengan baik, mereka cenderung mudah
percaya dan mengikuti. Untuk menghadapi kelompok ini, perlu memberikan nasihat
dan bimbingan. Sementara itu, kaum pilihan yang memiliki pemikiran yang kuat dan
mendalam perlu dihadapi dengan cara menjelaskan makna filosofis, sedangkan kaum
ahli debat harus dihadapi dengan cara menguji dan membantah argumen-argumen
mereka.
2
Ibid.Hal,154-155
Seperti banyak filosof dan ulama lainnya, Al-Ghazali membagi manusia menjadi dua
kelompok utama, yaitu awam dan orang-orang istimewa (khawas). Kemampuan
mereka untuk memahami hal-hal yang kompleks tidak selalu dapat diterima oleh
orang awam. Selain itu, pandangan mereka tentang hal yang sama seringkali berbeda,
bergantung pada kemampuan berpikir individu masing-masing.
Kebahagiaan
Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan utama bagi para sufi adalah mencapai
kebahagiaan, yang merupakan hasil dari kesadaran akan Allah. Dalam upaya
menjelaskan konsep kebahagiaan ini, Al-Ghazali mengembangkan teorinya dalam dua
karyanya, "Kimia al-Sa'adah" dan "Ihya Ulum al-Din". Menurut pandangan Al-
Ghazali, jalan menuju kebahagiaan terdiri dari ilmu dan amal. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa ilmu memiliki daya tarik yang begitu besar sehingga sangat
berharga. Ilmu ini dipelajari karena manfaatnya dalam mencapai tujuan akhirat dan
kebahagiaan, serta dalam mendekatkan diri kepada Allah. Namun, ia menekankan
bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui penggabungan ilmu dan amal.
Kebahagiaan abadi dianggap sebagai tujuan tertinggi manusia.
Al-Ghazali juga menyoroti bahwa pengetahuan pada dasarnya berasal dari kelezatan
atau kebahagiaan tertentu. Dalam pandangannya, teori kebahagiaan didasarkan pada
analisis psikologis, dan dia menegaskan bahwa setiap bentuk pengetahuan memiliki
akar dalam pengalaman kelezatan atau kebahagiaan.3
B. Peran Tasawuf Imam al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas, menguasai berbagai
bidang ilmu pada zamannya, dan mampu mengungkapkannya dengan cara menarik
dalam karyanya. Dalam konteks tasawuf, Al-Ghazali memilih aliran tasawuf sunni
yang didasarkan pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dia menolak pengaruh
gnostisisme yang mempengaruhi filosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syiah,
Ikhwanus Safa, dan lain-lain, sehingga mengakibatkan tasawufnya sangat bercorak
Islam.
Pengaruh besar tasawuf al-Ghazali di dunia Islam dapat dijelaskan melalui beberapa
faktor. Pertama, Al-Ghazali berhasil membimbing orang Islam kembali dari kajian-
kajian skolastik tentang dogma-dogma teologis menuju pengkajian, penafsiran, dan
3
Ibid,Hal,154-156
penghayatan kalam Allah dan sunah Nabi. Kedua, melalui nasihat dan pengajaran
moralnya, ia mengenalkan kembali elemen khauf (ketakutan), terutama terkait api
neraka. Ketiga, kehadiran rasa takut dan pengaruhnya membuat tasawuf mendapatkan
posisi kuat dan dihormati dalam Islam. Keempat, Al-Ghazali membawa filsafat dan
teologi filosofis yang awalnya bersifat eksklusif ke dalam pemikiran orang awam,
yang awalnya sulit dipahami karena penggunaan istilah dan bahasa yang kompleks.
Al-Ghazali berusaha mengubah istilah-istilah sulit menjadi lebih mudah dipahami
oleh orang awam. Melalui pendekatan sufistik, Al-Ghazali berupaya mengembalikan
Islam ke akar-akarnya yang mendasar dan historis, dan memberikan tempat bagi
dimensi emosional keagamaan (esoterik) dalam sistemnya. Secara lebih spesifik, Al-
Ghazali berusaha merumuskan ajaran-ajaran Islam yang sarat muatan sufistik dengan
bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh orang awam. Hal ini sangat
mempengaruhi penyebaran ajaran-ajaran tawasuf yang mencakup upaya spiritualisasi
Islam di berbagai wilayah dunia Islam hingga saat ini.4
C. karya-karya Imam Al Ghozali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat
produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar
negara di Mu’askar maupun ketika sebagai profesor di Bagdad, baik sewaktu skeptis
di Naisabur maupun setelah berada dalam perjalanannya mencari kebenaran dari apa
yang dimilikinya dan sampai akhirnya hayatnya, al-Ghazali terus berusaha menulis
dan mengarang.
.Kitab-kitab yang ditulis oleh al-Ghazali tersebut meliputi berbagai bidang ilmu yang
populer pada zamannya, di antaranya tentang tafsir alQuran, ilmu kalam, ushul fikih,
tawasuf, mantiq, falsafah, dan lain-lain. Di antara judul-judul buku tersebut adalah:
a. Ihya Ulum ad-Din (membahas ilmu-ilmu agama).
b. Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi agama).
c. Al-Iqtishad fi Al-‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam).
d. Al-Munqidz min adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu).
e. Jawahir al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam al-Quran).
f. Mizan al-‘Amal (tentang falsafah keagamaan).
g. Al-Maqashid al-Asna fi Ma’ani Asma’illah al-Husna (tentang arti namanam Tuhan)
4
Rina Rosia, Pemikiran Tasawuf Imam Al Ghozali Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Inspirasi, Vol.1 No.3
(Januari-Juni 2018),101-102.
h. Faishal at-Tafriq Baina al-Islam wa al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan
Zindiq).
i. Al-Qisthas al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat).5
PENUTUP
KESIMPULAN
5
Ibid.Hal,152-153
A. Imam Al-Ghazali mengemukakan bahwa bagi seorang calon sufi, ada
beberapa tahapan (maqamat) yang harus dilalui. Tahap pertama adalah tobat,
di mana seseorang menyadari dosa besar, merasa sedih, dan berusaha untuk
bertaubat. Tahap kedua adalah sabar, di mana jiwa yang mendorong kebaikan
harus mengatasi dorongan untuk berbuat jahat. Tahap ketiga adalah kefakiran,
yang mencakup menghindari hal-hal yang tidak perlu. Tahap keempat adalah
zuhud, di mana seseorang meninggalkan kesenangan dunia. Tahap kelima
adalah tawakal, yaitu keyakinan pada kemahakuasaan Allah dan penyerahan
sepenuh hati kepada-Nya. Tahap keenam adalah ma’rifat, yaitu pengetahuan
tentang rahasia Allah dan peraturan-Nya, yang memunculkan cinta kepada
Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zaini, Pemikiran tasawuf Al Ghozali, Jurnal Akhlak Dan Tasawuf, Vol.2 No.1
(2016), 154-156.
Rina Rosia, Pemikiran Tasawuf Imam Al Ghozali Dalam Pendidikan Islam, Jurnal Inspirasi,
Vol.1 No.3 (Januari-Juni 2018),101-102