Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

ALLAH

DOSEN PENGAMPU

H. Uus Muhammad Husaini, Lc, M.Pd.I

Disusun oleh

Kelompok 6:

-Ongen Alle Nanulaitta

-Annisa Nujiya

-Fitri Ani

-Wulan Puspitasari

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SERANG RAYA

2021
I. Latar Belakang

Allah SWT adalah dzat yang menciptakan semua makhluk di alam raya ini.
Makhluk-makhluk itu ada kalanya makhluk tampak mata atau nyata dan adapula
makhluk yang tidak kasat mata yang biasa disebut makhluk ghaib. Tolok ukur
kategorisasi tersebut adalah berdasar pada dapat atau tidak dapat dijangkau oleh
panca indra yang dimiliki manusia. Makhluk nyata meliputi segala hal yang dapat
dijangkau manusia adalah manusia, hewan, tumbuhan. Sedangkan makhluk ghaib
berarti segala hal yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra manusia, seperti
malaikat, jin setan. Islam mengakui dan meyakini adanya malaikat. Bagi orang
yang beragama Islam, wajib percaya dan yakin terhadap adanya malaikat, karena
salah satu pilar keimanan seseorang (rukun iman).1

Mengimani malaikat dalam ajaran Islam bukan saja membenarkan akan


keberadaannya tetapi juga menempatkan posisinya bahwa mereka adalah salah
satu dari sekian banyak hamba Allah seperti halnya manusia dan jin yang
diperintahkan untuk beribadah kepada Nya. Mereka memiliki berbagai macam
tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan kematian adalah
sesuatu hal yang pasti bagi mereka, hanya saja Allah menentukan kehidupan bagi
mereka dengan masa yang panjang. Malaikat tidak akan mati, terkecuali telah
datang masa kematiannya. Mengimani malaikat berarti mengakui bahwa mereka
adalah salah satu utusan yang diutus kepada makhluk yang lain.2

1
Hakim Muda, Rahasia Al-Quran (Depok: Ar-Ruzz Media, 2007), 147.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Menjelajah Alam Malaikat, Terj. Muhammad al-
2

Mighwar (PT. Pustaka Hidayah, Cet I, Bandung, 2003), 19-20.


II. Pembahasan

1. Ma’rifatullah
Menurut Abdul Qadir al-Jailani, Ma’rifat adalah tidak dapat dibeli atau
dicapai melalui usaha manusia. Ma’rifat adalah anugerah dari Allah swt.3 Setelah
seseorang berada pada tingkatan ma’rifat, maka akan mengenal rahasia-rahasia
Allah. Allah memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila
hati mereka hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat,
dan keinginan untuk menerima rahasia Ketuhanan. Menurut Tgk. H. Abdullah
Ujong Rimba ma’rifat dalam pandanga sufi adalah mengetahui bagaimana hakikat
Allah yang sebenarnya. Para sufi membagi ilmu mereka kepada empat bagian
yaitu; ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.4
Tujuan terakhir dari sufi ahli tharikat adalah ilmu ma’rifat yakni ilmu mengetahui
hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya dijadikan sebagai
maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai hakikat guna untuk
mencapai ma’rifat (mengetahui hakikat Allah swt). Ma’rifatullah menurut konsep
al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali
dengan pensucian jiwa dan zikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga
pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan dengan hati nuraninya.5 Ma’rifah yang
paling lezat adalah yang paling mulia daripadanya. Kadar kemuliaannya, menurut
kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang diketahui
itu lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya
itu akan menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan yang paling baik.

a) Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Ma’rifah


Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah
yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan
3
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi, Cet, VIII, (Yogyakarta:
Pustaka Sufi, 2004), hal. 102.
4
Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba, Ilmu Tharikat dan Hakikat, (Banda
Aceh, 1975), hal. 47-48.
5
Hussein Bahreis, Ajaran-ajaran Akhlak Al-Ghazali, (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1981), hal. 104.
tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang
biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan
yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat keTuhanan, dan
hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya
menurut (Harun Nasution, 1983: 75) ma’rifah digunakan untuk menunjukkan
pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan
sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu
demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang
diketahuinya itu, yaitu Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa
ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan
dengan hati sanubari.6Selanjutnya dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah
sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati-sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi
mengatakan:
1) Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup, ketika itu yang dilihat hanya Allah.
2) Makrifah adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu 3) Yang
dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya... dan
semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang
gemilang7
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifah adalah mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian
tujuan tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-
rahasia Tuhan yang terdapat dalam diri Tuhan. Sebagaimana halnya dengan
mahabbah, makrifah ini terkadang dipandang sebagai maqam dan terkadang

6
Harun Nasution, 1983: 75
7
Harun Nasution, 1983: 75-76
dianggap sebagai hal. Dalam literatur barat, ma'rifah dikenal dengan istilah
gnosis. Dalam pandangan al-junaid (w. 381 H), ma' rifah dianggap sebagai hal,
sedangkan dalam risalah al-qusyairiyah, ma’rifah dianggap sebagai maqam.
Sementara itu al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulum al-Din memandang ma'rifah
datang sesudah mahabbah. Selanjutnya ada pula yang mengakatan bahwa ma'rifah
dan muhabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut berbarengan.
Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seoarang sufi dengan
Tuhan. Dengan kata lain, mahabbah dan ma'rifah menggambarkan dua aspek dari
hubungan rapat yang ada antara seorang sufi dengan Tuhan8. Dengan demikian,
kelihatannya yang lebih dapat dipahami bahwa
ma’rifah datang sesudah mahabbah sebagaimana dikemukakan al- Kalabazi. Hal
ini disebabkan karena ma’rifah lebh mengacu kepada pengetahuan, sedangkan
mahabbah menggambarkan kecintaan. yang akan dilihatnya hanyalah Allah.

b) Ma’rifatullah Sebagai Landasan Utama Pendidikan Akhlak al-Karimah.


Ma’rifatullah menurut konsep al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal
Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan zikir kepada
Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Tuhan
dengan hati sanubarinya.Ma’rifatullah adalah sebagai pengarah yang akan
meluruskan orientasi hidup seorang muslim. Dari sinilah dia menyadari bahwa
hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah, jika seseorang hidup
dengan menegakkan prinsip prinsip ma’rifatullah ini, insya Allah alam semesta ini
akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Misalnya dalam beramal
bukan untuk dilihat oleh orang lain agar mendapatkan pujian, bekerja bukan
karena ada pemimipin di depan baru akan bekerja, maksudnya apapun amalan dan
pekerjaan yang dilakukan sematamata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah
swt. Dengan fasilitas itulah, manusia akan memperoleh kemudahan dalam setiap
urusan yang dihadapi dan diperbuatnya. Menurut al-Ghazali, seorang muslim
selayaknya memahami bahwa keindahan cinta yang paling hakiki adalah ketika
mencintai Allah swt. Pondasi utama yang harus dibangun oleh seorang muslim

8
Harun Nasution, 1983: 75
untuk menggapai keindahan cinta tersebut dengan mengenal Allah.9 Bagi seorang
muslim ma’rifatullah adalah bekal untuk meraih prestasi hidup setinggi-
setingginya. Sebaliknya, tanpa ma’rifatullah, tidak mungkin seorang muslim
memiliki keyakinan dan keteguhan hidup.

c) Sains Sebagai Jalan Mengenal Allah


Sains yang diartikan ilmu pengetahuan menjadi bagian penting dalam Islam.
Suatu keilmuan yang kita cari harus mampu menjadi jembatan untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Keseluruhan ilmu tanpa terkotak-kotakan
oleh umum dan agama akan semakin meneguhkan keimanan seseorang yang
memikirkannya.
Allah menurunkan wahyu Alqur’an sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi
manusia yang Allah ciptakan dengan segala kesempurnaannya yang meliputi akal
untuk berpikir. Apalagi bagi ummat Islam yang telah mengetahui Alqur’an, bagi
yang berpikir Alqur’an akan sangat membantu dalam kehidupannya. Orang yang
benar-benar mempelajari Alqur’an akan menemukan berbagai petunjuk meliputi
segala ilmu pengetahuan.
Dalam konteks pembicaraan ini, kita kembali teringat kepada sikap Islam dan
penghargaannya terhadap ilmu pengetahuan. Sejak awal kemunculannya, Islam
adalah agama yang tegas mewajibkan pemeluknya agar mencari ilmu dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Adalah suatu kenyataan penting, bahwa
Alqur’an mengajak manusia untuk memperdalam sains.10 Dengan memperdalam
sains akan ada banyak hal yang memperkuat akan keimanan seseorang sehingga ia
menjadi benar-benar yakin atas apa yang diimaninya.

2. Keesaan Allah Perspektif Al-Quran

9
Lihat Abdullah Gymnastiar , Meraih Bening Hati Dengan Manajemen
Qolbu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 2.
10
Nanang Gojali, Manusia Pendidikan dan Sains, (Jakarta:Rineka Cipta, 2004),
Hal. 103
a) Asbabun Nuzul
Sebab turunnya ayat 1-3 sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas: orang-orang Nasrani beranggapan bahwa Allah
swt. Mempunyai anak, yaitu Isa Al-Masih bin Maryam. Orang-orang Yahudi
beranggapan, bahwa para malaikat adalah anak perempuan Allah swt. (lihat Q.S.
5: 17, 72). Sedangkan orang-orang kafir lainnya tidak mengakui kekuasaan dan
keesaan Allah swt. Sehubungan dengan keadaan yang seperti itu, Allah swt.
Menurunkan ayat 1-3 ini untuk memuji Dzat-Nya sendiri sebagai bantahan
terhadap anggapan-anggapan orang-orang kafir tersebut. Allah swt. adalah Zat
yang Maha Kuasa, yang telah menciptaan langit dan bumi seisinya, termasuk
didalamnya umat manusia.11

b) Bukti-Bukti Keesaan Allah Dalam Surah Al-An’aam Ayat 1-83 Menurut Para
Mufassir
Berikut pendapat beberapa mufassir tentang ke-esaan Allah dalam ayat
tersebut:
Fakhru al-Razi dalam tafsir al-Kabir menjelaskan, bahwa,9 Surah al-An’aam
memiliki dua keutamaan/kekhususan dibandingkan dengan surah-surah lain dalam
al-Qur’an Surah al-An’am diturunkan sempurna sebelum hijrah dan termasuk
surat Makkiyah terkecuali 6 ayat yang Madaniyah. Yang menyertai di saat
diturunkannya surah ini adalah 70 ribu malaikat. Hal ini disebabkan karena surah
al-An’aam itu menyangkut dalil tauhid, keadilan, kenabian, kebangkitan, dan
aliran-aliran sesat dan mulahhidin.
Lebih jauh lagi Al-Razi juga mengungkapkan, bahwa turunnya surah al-An’aam
dengan cara satu kali ini menunjukkan betapa sangat tinggi kedudukannya ilmu
Ushuluddin. Itu pula sebabnya pengetahuan tentang ilmu dasar agama (ilmu
tauhid) segera menjadi kewajiban untuk diketahui oleh umat, dibandingkan
dengan ilmu hukum yang penerapan dan pengaturannya oleh al-Qur’an dilakukan
secara bertahap, dan hal ini sangat disesuaikan dengan kondisi umat.

11
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi pendalaman Al-Qur;an. Cet. I
(Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 70
Di dalam surat al-An’aam ini menampakkkan betapa Allah menunjukkan ke Maha
Esaan Nya, sehingga dalam surah ini menjadi ulasan yang paling utama.
Di awal surah dimulai dengan kata “al-Hamdu li Allah”. Menurut al-Razi, hal ini
adalah merupakan suatu pernyataan yang sangat jelas bahwa sesungguhnya yang
menciptakan dan yang menentukan adanya alam ini adalah “Yang Maha
Pencipta”, yang menciptakan dengan kekuasaan dan kehendak-Nya, dan tiada
suatu sebab yang mewajibkan diri-Nya untuk mewujudkannya, dan pula tiada
suatu keraguan dan sangkalan akan faedah yang begitu besar dari apa yang
diciptakan bagi agama.

3. Konsep Af‘al (Perbuatan) Allah dalam al-Qur’an:

Dalam al-Qur’an, Allah diperlihatkan sebagai Tuhan atau lebih tepatnya,


Allah Yang Maha Sempurna. Bukti kemahasempurnaan Allah tidak perlu dicari
dalam sumber yang lain, kerana al-Qur’an sendiri sebagai Kalam Allah telah
memperjelaskan Allah sendiri sebagai yang dikehendaki-Nya. Nabi Muhammad
sebagai nabi dan rasul daripada-Nya turut memperkenalkan Allah sebagaimana
yang diperintahkan oleh Allah sendiri tanpa sebarang perubahan dan pindaan. Al-
Qur’an sebagai sumber autoriti Islam yang tertinggi mengemukakan keterangan
tentang Allah dalam beberapa ayat berikut yang bermaksud:
Pertama:
Jُ‫م‬J‫ ي‬J‫ ِك‬J‫ح‬Jَ J‫ ْل‬J‫ ا‬J‫ ُم‬J‫ ي‬Jِ‫ ل‬J‫ َع‬J‫ ْل‬J‫ ا‬J‫ت‬
Jَ J‫ ْن‬Jَ‫ أ‬J‫ك‬
َ Jَّ‫ ن‬Jِ‫ إ‬Jۖ J‫ ا‬Jَ‫ ن‬Jَ‫ ت‬J‫م‬Jْ Jَّ‫ ل‬J‫ َع‬J‫ ا‬J‫ اَّل َم‬Jِ‫ إ‬J‫ ا‬Jَ‫ ن‬Jَ‫ ل‬J‫ َم‬J‫ ْل‬J‫ اَل ِع‬J‫ك‬
َ Jَ‫ن‬J‫ ا‬J‫ح‬Jَ J‫ ْب‬J‫ ُس‬J‫ا‬J‫ و‬Jُ‫ل‬J‫ ا‬Jَ‫“ “ ق‬Sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui (alim) lagi Maha Bijaksana (hakim).”12
Kedua:
َ‫ق َواَ ْنتَ اَحْ َك ُم ْال ٰح ِك ِم ْين‬
ُّ ‫ك ْال َح‬
َ ‫ “ َون َٰادى نُوْ ٌح َّربَّهٗ فَقَا َل َربِّ اِ َّن ا ْبنِ ْي ِم ْن اَ ْهلِ ۚ ْي َواِ َّن َو ْع َد‬Sesungguhnya
janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya
(ahkam al-hakimin).”13
Ketiga:
َ ‫ت ٰه َذا تَأْ ِو ْي ُل ُر ْءيَا‬
َ‫ي ِم ْن قَ ْب ُل ۖقَ ْد َج َعلَهَا َرب ِّْي َحقًّ ۗا َوقَ ْد اَحْ َسن‬ َ َ‫ش َوخَرُّ وْ ا لَهٗ ُس َّجد ًۚا َوق‬
ِ َ‫ال ٰيٓاَب‬ ِ ْ‫َو َرفَ َع اَبَ َو ْي ِه َعلَى ْال َعر‬

12
Al-Qur’an, surah al-Baqarah (2): 32.
13
Al-Qur’an, surah Hud (11): 45.
ٌ ‫بِ ْٓي اِ ْذ اَ ْخ َر َجنِ ْي ِمنَ السِّجْ ِن َو َج ۤا َء بِ ُك ْم ِّمنَ ْالبَ ْد ِو ِم ۢ ْن بَ ْع ِد اَ ْن نَّزَ َغ ال َّشي ْٰطنُ بَ ْينِ ْي َوبَ ْينَ اِ ْخ َوتِ ۗ ْي اِ َّن َرب ِّْي لَ ِطي‬
‫ْف لِّ َما‬
‫يَ َش ۤا ُء ۗاِنَّهٗ هُ َو ْال َعلِ ْي ُم ْال َح ِك ْي ُم‬
“ Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut (latif) terhadap apa yang yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui (‘alim) lagi Maha
Bijaksana (hakim).”14
Al-Qur’an menunjukkan bahawa setiap perbuatan Allah dilakukan dengan penuh
kebijaksanaan dan keadilan. Tiada sesuatu yang dilakukan-Nya dapat memberikan
gambaran bahawa kejahilan dan kezaliman terkandung di dalamnya, kerana ia
pasti akan mengundang berbagai implikasi yang tidak dikehendaki oleh Allah
sendiri sebagai Tuhan Yang Maha Bijaksana dan memperlihatkan kelemahan dan
ketidaksempurnaan-Nya.

Selain itu, salah satu bukti kemahasempurnaan-Nya yang lain dapat dilihat
daripada keterangan Allah sendiri yang menamakan diri-Nya sendiri dalam al-
Asma’ al-Husna sebagai al-‘Adl dan al-Muqsit merujuk kepada sifatnya yang
Maha Adil dan Maha Saksama. Dengan kata-kata lain, Allah disebutkan sebagai
Tuhan Yang Maha Adil. Oleh kerana Allah sendiri menamakan Diri-Nya sebagai
Tuhan Yang Maha Adil dalam segala perbuatan-Nya, ia tidak memerlukan sesuatu
yang lain untuk mengesahkan keadilan-Nya.
Secara singkatnya, Allah dikatakan Maha Adil dan dalam setiap perbuatan-Nya,
keadilan diimplementasikan kepada semua makhluk. Ini dibuktikan menerusi
keterangan al-Qur’an yang menunjukkan bahawa Dia Maha Mengetahui (‘Alim)
dan Maha Bijaksana (Hakim). Dengan sifat-sifat tersebut, Allah Yang Maha Adil
melakukan segala sesuatu sama ada secara umum (kulliyyah) mahupun secara
khusus (juz’iyyah) dengan hikmah, maslahat dan rahmat, dan tanpa wujud
sebarang unsur sia-sia (‘abath) atau main-main (la‘ibin).

14
Al-Qur’an, surah Yusuf (12): 100. (Dalam al-Qur’an, kombinasi perkataan al-
hakim begitu banyak digunakan. Biasanya ia dikombinasikan dengan perkataan
al-‘alim al-hakim atau ‘alim hakim, al-‘aziz al-hakim dan ‘aziz hakim. Lihat: ‘Abd
al-Baqi, Muhammad Fu’ad, al-Mu‘jam al-Mufahras li-Alfaz al-Qur’an al-Karim,
al-Maktabah al-Islamiyyah, Istanbul, Turkiya, 1402/1982, h.214-215.)
Kenyataan tersebut dapat diperhatikan daripada beberapa buah ayat al-Qur’an
berikut yang bermaksud:15
Pertama:
َ ْ‫َو َما َخلَ ْقنَا ال َّس َم ۤا َء َوااْل َر‬
َ‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما ٰل ِعبِ ْين‬
“ Sesungguhnya tidak Kami (Allah) menciptakan langit dan bumi dan apa di
antara kedua-dua secara main-main (la‘ibin).”16
Kedua:
َ‫اَفَ َح ِس ْبتُ ْم اَنَّ َما َخلَ ْق ٰن ُك ْم َعبَثًا َّواَنَّ ُك ْم اِلَ ْينَا اَل تُرْ َجعُوْ ن‬
“ Maka apakah kamu mengira bahawa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja) (‘abathan), dan bahawa kamu tidak akan dikembalikan
kepada Kami?”17
Ketiga:
َ‫ض َو َما بَ ْينَهُ َما ٰل ِعبِ ْين‬ ِ ‫َو َما خَ لَ ْقنَا السَّمٰ ٰو‬
َ ْ‫ت َوااْل َر‬
“ Dan Kami (Allah) tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara
kedua-duanya dengan bermain-main (la‘ibin).”18

III. Kesimpulan

15
Dastaghib, ‘Abd al-Husayn, al-Tawhid wa al-‘Adl, (Terj: Al-Sayyid Ahmad al-
Qabanji), al-Dar al- Islamiyyah, Beirut, Cet.I, 1408/1987, (Bhg.II), h.37; Nasir al-
Din al-Tusi, Kasyf al-Murad Fi Syarh Tajrid al-I‘tiqad, (Tahqiq: al-Zanjani),
Mu’assasah al-A‘lami li-al-Matbu‘at, Beirut, Lubnan, Cet.I, 1399/1979, h.326.
16
Al-Qur’an, surah al-Anbiya’ (21): 16.
17
Al-Qur’an, surah al-Mu’minun (23): 115.
18
Al-Qur’an, surah al-Dukhan (44): 38.
Dengan demikian,mengenal allah adalah kewajiban bagi seluruh umat muslim
karena mengenal allah merupakan jalan pembuka mengapa kita perlu beribadah
kepada-Nya dan mengapa jalan-Nya yang kita ambil dalam menapaki kehidupan
kita sehari-hari di alam fana ini. Selain itu, pentinngnya mengenal allah,yaitu :
 Mengenal Allah hukumnya wajib
 Allah menyatakan bahwa tiada tuhan melainkan Allah
 Allah menjanjikan bagi hamba-Nya yang mengingkari Allah dengan api
neraka.
 Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya

IV. DAFTAR PUSAKA


Wan Ali, Wan Zailan Kamaruddin. "Konsep perbuatan Allah (Af ‘al Allah) dalam
pemikiran Islam, pengaruh dan kesannya kepada pemikiran umat Islam di
Malaysia." Jurnal Pengajian Melayu 14 (2004): 48-63.

Syamsiah, A. (2017). Sains sebagai jalan mengenal Allah: makrifat (Doctoral


dissertation, UIN Sunan Gunung Djati Bandung).

Murni. (2014). KONSEP MA’RIFATULLAH MENURUT AL-GHAZALI.


International Journal of Islamic Studies Vol. 2, No.1, Juni 2014, 123-145.

Suryani, K. (2017). Keesaan Allah Perspektif Al Qur’an. DAR EL-ILMI : Jurnal


Studi Keagamaan, Pendidikan Dan Humaniora, 4(1), 74-89.

Rahmawati. (2013). MENGENAL ALLAH DALAM PERSPEKTIF SUFISME.


Mengenal Allah dalam Perspektif Sufisme Vol. 6, No. 1, Mei 2013, 101-
109.

Anda mungkin juga menyukai