Oleh:
AFI-B5
A. Pendahuluan
Ma’rifatullah adalah pengarah yang akan meluruskan orientasi hidup seorang muslim.
Dia menyadari bahwa hidupnya bukan untuk siapapun kecuali hanya untuk Allah. Jika
seseorang hidup dengan menegakkan prinsip-prinsip ma’rifatullah, maka alam semesta
ini, akan Allah tundukkan untuk melayaninya. Misalnya dalam beramal bukan untuk
dilihat oleh orang lain agar mendapatkan pujian, bekerja bukan karena ada pemimipin di
depan baru akan bekerja, maksudnya apapun amalan dan pekerjaan yang dilakukan
semata-mata untuk mendapatkan ridho Allah swt. Dengan fasilitas itulah, manusia akan
memperoleh kemudahan dalam setiap urusan yang dihadapi dan diperbuatnya.
1
B. Pembahasan
Ma’rifat dari segi bahasa, berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, ma’rifah yang
artinya pengetahuan atau pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang
rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapati oleh
orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasia-
Nya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui
hakikat ke-Tuhan-an, dan hakikat itu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang
satu. Dalam pengertian bahasa, ma’rifah berarti mengetahui sesuatu apa adanya.1
Menurut Abdul Qadir al-Jailani, ma’rifah adalah tidak dapat dibeli atau dicapai
melalui usaha manusia. Ma’rifah adalah anugerah dari Allah swt. Setelah seseorang
berada di tingkatan ma’rifah, maka akan mengenal rahasia-rahasia Allah. Allah
memperkenalkan rahasia-rahasia-Nya kepada mereka hanya apabila hati mereka
hidup dan sadar melalui zikrullah. Dan hati memiliki bakat, hasrat, dan keinginan
untuk menerima rahasia ke-Tuhan-an.
1
Murni, Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali (suatu kajian tentang implementasi nilai-nilai Akhlak al
Karimah), ar-Raniry: International Jurnal of Islamic Studies Vol. 2, No. 1, Juni 2014. Hlm: 133.
2
Menurut Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba, ma’rifah dalam pandangan sufi adalah
mengetahui bagaimana hakikat Allah yang sebenarnya. Orang sufi membagi ilmu
mereka menjadi empat bagian, yaitu: ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakikat, dan
ilmu ma’rifah. Tujuan terakhir darii sufi ahli thariqat adalah ilmu ma’rifah, yakni ilmu
mengetahui hakikat Allah karena demikian zat Allah dan sifat-sifat-Nya dijadikan
sebagai maudhu’ ilmu tasawuf yaitu ilmu latihan untuk mencapai hakikat guna untuk
mencapai ma’rifah (mengetahui hakikat Allah swt).
3. Konsep Ma’rifah
Dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan
dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan dari dekat, sehingga hati
sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu, orang-orang sufi mengatakan:
2
Ibid., Hlm: 129-130.
3
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya
akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahan-Nya. Dan semua
cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahan yang gilang-gemilang.
Pengetahuan satu dan dua belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan,
namun keduanya disebut ilmu bukan ma’rifah. Dalam arti ketigalah yang merupakan
pengetahuan hakiki tentang Tuhan, dimana ini yang disebut ma’rifah. Ma’rifah hanya
terdapat pada kaum sufi, yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.
Ma’rifah dimasukkan Tuhan dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan
cahaya. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi bergantung pada kehendak
dan rahmat Tuhan.
4
Dalam membangun ajaran-ajarannya, Zunnun al-Mishri bertitik tolak kepada
ma’rifah. Jalan menuju ma’rifah melalui maqamat. Salah satu maqamat yang penting
adalah “mahabbah “. Jadi, mahabbah disini adalah maqamat untuk mencapai
kema’rifatan.3
Ma’rifah yang benar kepada Allah adalah membawa sinar-Nya dalam hati hingga
terang, sebagaimana matahari membawa sinar hingga terang benderang, membuat
orang selalu mendekat kepada Allah hingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam
kondisi demikian, maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya dan
berbuat dengan perbuatan-Nya. Maka, ma’rifah adalah sesuatu yang halus yang terbit
dalam hati nurani yang diberikan oleh Tuhan, terbuka hijab dan jelaslah
penyaksiannya.
Menurut Zunnun, ciri-ciri orang ‘arif atau orang yang telah sampai kepada
ma’rifah adalah:
1. Cahaya ma’rifah nya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya.
2. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau
membatalkan zahirnya.
3. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, tidak membuatnya
lupa dan melanggar aturan Tuhan.
Alat untuk memperoleh ma’rifah oleh kaum sufi disebut sir. Menurut al-Qusyairi
ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam hubungan mereka
dengan Tuhan, yaitu:
2. Ruh: untuk mencintai Tuhan dan sir untuk melihat Tuhan dimana sir ini lebih
halus dari ruh, dan ruh lebih halus dari qalb. Qalb berbeda dengan jantung atau
heart dalam bahasa inggris, karena qalb selain alat untuk merasa tetapi juga alat
untuk berfikir.
3. Aql: aql tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan,
sedangkan qalb, bisa mengetahui segala hakikat dari segala yang ada, dan jika
dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia ke-Tuhan-an.
3
Bahdar, 2016, Zunnun Al-mishri: Konsep Ma’rifahnya, Palu: STAIN Datokrama Palu, Hlm: 4.
5
Jika dilihat tempatnya, sir itu bertempat di ruh dan ruh itu bertempat di qalb. Sir
itu timbul dan dapat menerima Iluminasi dari Allah jika qalb dan ruh itu telah suci
sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun. Maka di waktu
itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sang sufi dan yang dilihat oleh sufi itu
hanyalah Allah. Maka sampailah ia ke tingkat ma’rifah.4
Pada dasarnya, ma’rifah tidak akan dicapai kecuali dengan kekuatan aqidah yang
tangguh, karena ma’rifah kepada Allah artinya menerima cahaya atau Nur yang
diberikan Allah dalam hatinya. Dengan Nur itu, ia akan dapat memandang rahasia
kekuasaan Allah dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.5
Diterangkan dalam suatu hadist, bahwa Allah swt menciptakan makhluk dalam
suatu kegelapan, lalu Allah menyinari dengan sebagian cahaya-Nya kepada mereka.
Orang yang tidak dapat pantulan sinar tersebut, maka dia akan tersesat. Sehingga,
dapat diketahui bahwa hanya dengan pertolongan Allah, ma’rifah diperoleh hamba-
hamba-Nya. Demikian juga jalan yang akan mengantarkan kepada ma’rifatullah itu
hanyalah nurullah yang akan membuatnya bersungguh-sungguh mendapatkan
ma’rifah-Nya. Dengan kesungguhan itu, ia akan menemukan Allah secara jelas
melalui hati sanubari atau ma’rifah qalbnya.6
4. Penutup
4
Harun Nasution, 1992, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Hlm: 75-77.
5
A. Wahid Sy, 1995, Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi, Bandung: Sinar Baru Algensindo. Hlm: 181.
6
Djamaluddin Al-Buny, 2002, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, Hlm: 307-308.
6
Orang yang telah dipenuhi ma’rifatullah, selalu mengembalikan semua persoalan
hidupnya kepada Allah. Ia selalu bermunajah kepada Allah. Hubungannya dengan
Allah lewat munajjah yang intim dan berkesinambungan memungkinkan ia mendapat
petunjuk melalui Ilham yang benar dan suci (ru’yah shadiqah). Orang semacam ini
melakukan segala sesuatu selalu menunggu pimpinan Allah. Ia berlaku ‘arif atas
pimpinan Allah melalui hatinya. Sikap seperti ini adalah sifat orang ‘arifin yang
dinamakan ma’rifah. Artinya, ia selalu mendapat bimbingan atau ma’rifah dari Allah
swt.
5. Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
1992.
Al-Buny, Djamaluddin. Missi Suci Para Sufi. Yogyakarta: Mitra Pustaka. 2002.
Wahid Sy, A. Merambah Jalan Shufi Menuju Surga Ilahi, Bandung: Sinar Baru
Algensindo. 1995.