Anda di halaman 1dari 10

KONSEP MAHABBAH DAN MA’RIFAH

CARA MENGIMPLEMENTASIKAN DAN TOKOHNYA

Disusun Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstuktur Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Khusnul Khotimah, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Puspa Hafsari (1717102030)


2. Rizky Praetyo (1717102032)
3. Riza Miftakhussalam (1717102033)
4. Romi Zarida (1717102035)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

2019
A. Latar Belakang
Pada masa Nabi sampai dengan para sahabat, islam dilaksanakan dnegan
sempurna, meraka beragama dengan sepenuh lahir batinnya sepenuh jiwa raganya.
Perilaku jujur, amanah pengorbanan jiwa dan harta serta kasih sayang sesama muslim
sangat dijungjung tinggi dalam kehidupannya. Sedangkan tingkat ibadah mereka
kepada Allah sungguh tidak diragukan lagi. Demikianlah kualitas hidup dan kehidupan
beragama pada saat itu. Agama telah meresap dan meliputi segenap aspek kehidupan
para penganutnya sehingga memungkinkan agama islam berkembangh pesat di dunia.
Namun selepas era itu, Islam mulai tercemar semangatnya, tercemar kemurniannya,
tercemar spiritualnya.
Oleh karena itu, para pemikir-pemikir Islam mulai gelisah dan berkeinginan
untuk kembali merasakan kelezatan iman, semada Rasul dahulu. Mereka mulai
menyusun metode-metode pengajaran yang memungkinkan dan memudahkan seeorang
mencapai derajat ridha Allah SWT. Masalah batinlah yang mendapat porsi lebih
banyak, karena memang disanalah kuncinya, hati manusia1.
Hakikatnya seorang hamba sepanjang hidup dan perjalannanya, senantiasa
dituntun untuk berusaha menjaga, memperbaiki dan meningkatkan iman dan taqwanya
dalam menghambakan diri kepada Allah SWT. Bagaimanapun meraka harus senantiasa
sadar akan posisi dirinya sebagai hamba Allah (‘abid) yang harus taat dan tunduk akan
segala perintah dan larangan-Nya.
Dalam menuju kesana banyak cara yang ditempuh sesuai dengan cara dan
pendekatan yang bermacam-macam dan berbeda, antara lain : dengan mengasingkian
diri dari keramaian, menjauhkan diri dari kehidupan materi, memilih hidup yang
sederhana, yang semacam itu disebut dengan kehidupan asketis/zuhud. Semua
perjalanan itu dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan abadi.
Perjalanan spiritual yang demikian itu, dalam perkembangan selanjutnya
dikenal sebagai perjalanan dan pengalaman sufistik. Sedangkan tujuan dari perjalanan
sufistik tersebut adalah semata-mata untuk memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di Hadirat
Allah SWT2.

1
Choirul Anam al Kadiri. 8 Langkah Mencapai Ma’rifatullah, Jakarta : AMZAH, 2012, II. hal. viii
2
Saiful Jahil dkk. Senandung Cinta Jalaluddin Rumi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. hal 2

1
Intisari dari pembelajaran sufisme adalah kesadaran akan adanya dialog dan
komunikasi antara ruh manusia dengan Allah dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Sehingga seorang hamba benar-benar dekat dengan Allah.kesadaran
berada dekat dengan Allah itu dapat mengambil bentuk mahabbah atau marifat.
Bagaimana konsep mahabbah dan marifat akan dijelaskan dalam tulisan ini.
B. Konsep Mahabbah dan Implementasinya
1. Pengertian
Cinta dalam bahasa arab disebut al-hub atau mahabbah yang berasal dari
kalimat habba-hubban-hibban, yang berarti waddahu, yang punya makna kasih atau
mengasihi. Ada juga yang mengatakan, hubb berakar dari kata habbah al-maa,
adalah air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah kepedulian yang
paling besar dari cita hati. Dalam alquran juga dijumpai kata-kata al-hubb atau
mahabbah yang beermakna cinta3. Antara lain :

“dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan


selain Allah, mereka mencintai-Nya sebagaimana mereka mencitai allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS.Al-Baqarah :
165)

Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada suatu


paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih
ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang di kemukakan di
atas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhian pada tuhan.

Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan


yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan,
pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut4:

 Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya


 Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
 Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

3
Saiful Jahil dkk. Senandung Cinta Jalaluddin Rumi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000. Hal 70.
4
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Hal 209.

2
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah swbagai dikemukakan al-Sarraj,
sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah yang biasa,
mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa
mengambil bentuk selalu mengingat Alloh dengan zikir, suka menyebut nama-
nama Alloh dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
Senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang
yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya
dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada
pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari
dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnaya sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta
pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalah
cinta cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah
tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

2. Alat Untuk Mencapai dan Mengimplementasikan Mahabbah


Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti disebutkan di atas? Para ahli
tasawuf menjawabnya denganmenggunakan pendekatan psikologi, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potens rohaniah yang ada dalam diri manusia.
Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam
diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakkan untuk berhubungan dengan Tuhan.
Pertama, al-qalb hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan
Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat
Tuhan. Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari pada qalb. Dan sir
timbul dan dapat menerima mendominasi dari Alloh, kalau qalb dan roh telah suci
sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya, tidak berisi apa pun5.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan
adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta
dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta
kepada Tuhan.

5
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Hal 212

3
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan Tuhan
kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan.
Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan.
Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan
Selanjutnya didalam hadist pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan
roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam
kandungan. Hadist tersebut lengkapnya berbunyi: “sesungguhnya manusia
dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama 40 hari dalam bentuk
nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi alaqah (segumpal daging yang
menempel) pada waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghah
(segumpal daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga 40 hari, kemudian
Alloh mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya.
3. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia
menganut penganut tersebut.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang Zahid perempuan yang amat besar dari
Bashrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H. sumber lain menyebutkan bahwa
ia meninggal dunia dalam tahun 185 H./796 M. Menurut riwayatnya ia adalah
seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia banyak
beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan
dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam
berbagai do’a yang dipanjatkan ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat material
dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat
dengan tuhan6.
C. Konsep Marifat dan Implementasinya
1. Pengertian
Secara leksikal marifat, berasal dari kara ‘arafa, ya’rifu, ma’rifah yang artinya
pengetahuan atau pengelaman. Dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia
hakikat. Marifat adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal yang bersifat
zahir, tetapi lebih mendalam pada batinnya dengan mengetahui rahasianya.

6
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Hal 214

4
Selanjutnya marifah digunakan untuk menunjukan salahsatu tingkatan dalam
tasawuf. Dalam arti sufistik ini marifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati sanubari.pengetahuan itu dengan lengkap sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya yaitu Tuhan.
Menurut Harun Nasution, marifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan7:
- Kalau mata yang terdapat dalam hati menusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan yang dilihat hanya Allah.
- Marifat adalah cermin, jika seorang arif melihat ke cermin itu yang
dilihatnya adalah Allah.
- Yang dilihat oleh arif ketika tidur dan ketika bangun adalah Allah.
- Sekiranya marifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
kepadanya makan akan mati karena tak tahan melihat kecantikan
sertakeindahannya serta semua cahaya akan menjadi gelap disamping
cahaya keindahan yang terang tak tertahan.

Dalam literatur Barat , ma’rifah dikenal dengan konsep gnosis.


Sebagaimana dalam mahabbah, marifah juga dipandang sebagai suatu tingkatan
sebagaimana itu menurut Risalah al-Qusyairiyah. Sementara al Ghazali dalam
kitabnya Ihya’ Ulum Al Din, memandang ma’rifah datang ebelum mahabbah.
Sedangkan al Kalabazi menjelaskan bahwa marifat datang sesudah mahabbah.

2. Alat untuk mencapai dan Implementasinya


Menurut Choirul Anam Al-kadiri ada beberapa tingakatan marifat menuju Allah
atau biasa diebut Ma’rifah8 :
a. Kodrat
Pembahsan mengenai kodrat Allah merupakan pembahasan pertama
dalam memahami adanya Allah, memahami ekistensi-Nya yang meliputi
dan menguasai segala sesuatu yang ada pada alam ini. Kodrat, secara harfiah
memiliki artai “kuasa” atau “kekuasaan”, sehingga kodratullah dapat
diartikan ebagai kuasa/ kekuasaan Allah. Suatu kekuasaan yang hanya satu-
satunya, suatu kekuasaan yang tunggal, kekuas.aan yang “mutlak”

7
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Hal 220
8
Choirul Anam al Kadiri. 8 Langkah Mencapai Ma’rifatullah, Jakarta : AMZAH, 2012, II. Hal 1.

5
Hal ini sesuai dengan firmannya dalam Q.S. Al-Ahqaf ayat 33 :

ۚ ‫ي ال ْ َم ْو ت َٰى‬
َ ِ ‫خ ل ْ ق ِ ِه َّن ب ِ ق َ ا ِد ٍر ع َ ل َ ٰى أ َ ْن ي ُ ْح ي‬ َ ‫اْل َ ْر‬
َ ْ ‫ض َو ل َ ْم ي َ ع‬
َ ِ‫ي ب‬ ْ ‫ت َو‬
ِ ‫او ا‬ َ َ ‫أ َ َو ل َ مْ ي َ َر ْو ا أ َ َّن َّللاَّ َ ا ل َّ ِذ ي َخ ل‬
َ ‫ق ال س َّ َم‬
ْ َ ‫ب َ ل َ ٰى إ ِ ن َّ ه ُ ع َ ل َ ٰى ك ُ ل ِ ش‬
‫ي ٍء ق َ دِ ير‬
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang
menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena
menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan)
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

b. Iradat
Secara harfiah iradat iradat memiliki arti “kehendak”, sehingga iradat
Allah diartikan sebagai kehendak Allah. Suatu kehendak yang tunggal,
mutlak akan segala sesuatu. Kehendak itu hanya milik satu, Allah SWT.
Tidak ada kehendak selain kehendak-Nya. Tidak ada kemauan yang lain
selain kemauan-Nya. Demikian pula pada isi jagad raya dan isi bumi ini,
tidak akan terjadi selain atas kehendaknya. Q.S. Al Baqarah : 117
ُ‫ض ٰى أ َ ْم ًرا فَإِنَّ َما يَقُو ُل لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض ۖ َو ِإذَا ق‬ ِ ‫س َم َاوا‬
َّ ‫بَدِي ُع ال‬
Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk
menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya:
"Jadilah!" Lalu jadilah ia
c. Ilmu
Ilmu merupakan langkah ketiga bagi yang ingin dekat dengan Allah.
Manusia dituntun untuk menyadari bahwa ilmu Tuhan, milik Tuhan, dan
pengetahuan tuhan. Sesungguhnya ilmu Allah meliputi yang nyata maupun
ghaib, yang terdahulu yang kini, yang kemudian.
d. Hayat
Hayat diartikan sebagai hidup, Maha Hidup. Keyakinan bahwa Allah
dan hidup harus menjadi keyakinan utama bagi kaum muslim. Hidupnya
Allah tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun, apapun. Apabila Allah tidak
ada maka tidaklah ada alam semesta dan isinya ini. Hanya Allah tuhan maha
hidup dan satu satunya. Dalam Q.S. Albaqarah ayat 255 :
‫َّللاُ َل إِ ٰلَهَ إِ َّل ه َُو‬
َّ

Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia

6
e. Sama’
Sama’ rtinya mendengar. Dia Maha Mendengar atas segala sesuatu,
bukan saja terbatas pada mendengar yang memar terdengarjelas bagi telinga
manusia, tetapi Dia mendengar pula yang halus, yang tidak terdengar oleh
telinga manusia.
Ilmu pengetahuan tentunya akan menolak jika terjadi esuatu yang
didengar sebelum adanya sumber suara itu sendiri. Artinya selalu ada
sesuatu yang terdengar jika sudah ada sumber suaranya.
Allah dengan segala ke”Maha”an-Nya pula yang menyebabkan
pendengaran-Nya tak terbatas atas ruang dan waktu, sesuai dengan firman-
Nya Q.S. Yunus ayat 31
ِ ‫ي ِمنَ ْال َم ِي‬
‫ت‬ َّ ‫ار َو َم ْن ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬ َ ‫ص‬َ ‫س ْم َع َو ْاْل َ ْب‬َّ ‫ض أ َ َّم ْن يَ ْم ِلكُ ال‬
ِ ‫اء َو ْاْل َ ْر‬ َّ ‫قُ ْل َم ْن يَ ْر ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال‬
ِ ‫س َم‬
َ‫َّللاُ ۚ فَقُ ْل أ َ َف ََل تَتَّقُون‬
َّ َ‫س َيقُولُون‬َ َ‫َوي ُْخ ِر ُج ْال َم ِيتَ ِمنَ ْال َحي ِ َو َم ْن يُدَ ِب ُر ْاْل َ ْم َر ۚ ف‬
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan
bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah
"Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
f. Bashar
Bashar diartikan “melihat”, sehingga bashar Allah adalah penglihatan
Allah atau Pandangan Allah. Allah yang Maha melihat, Allah Yang Maha
Mengetahui, ataupun Allah Yang Maha Menyaksikan. Sebagaimna firman-
Nya : Q.S. Al Isra : 17
‫يرا‬
ً ‫ص‬ِ ‫يرا َب‬ ِ ‫َو َك ْم أ َ ْهلَ ْكنَا ِمنَ ْالقُ ُر‬
ِ ‫ون ِم ْن َب ْع ِد نُوحٍ ۗ َو َك َف ٰى ِب َر ِبكَ ِبذُنُو‬
ً ‫ب ِع َبا ِد ِه َخ ِب‬

Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan
cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-
hamba-Nya.
Tidak ada yang dapat lolos dari penglihatan-Nya, tidak ada yang bisa
menghalangi pandangan-Nya pula.
g. Kalam

7
Kalam diartikan sebagai percakapan atau pembicaraan. Dan lebih spesifik
lagi yaitu kajian tentang pembicaraan Tuhan. Pembicaraan Tuhan kepada
manusia berupa dua cara :
- Pembicaraan Tuhan secara langsung, sebagaimana yang diterima Nabi
Musa (Q.S. An Nisa ayat 164)
- Pembicaraan melalui firman-firman-Nya yang diterimakan kepada utusan-
Nya, untuk dismapaikan kepada kaumnya, atau semua umat manusia.

Artinya apa yang saat ini dapat kita baca di dalam Al Quran adalah “kalam-
Nya” yang telah sempurna kebenarannya sehingga tidak ada keraguan lagi bagi
manusia.

h. Syariat
Syariat beraal dari kata syura yang diartikan memperkenalkan atau
mengedepankan, menetapkan aturan main di dunia ini kepada makhluk
ciptaan-Nya yang disebut manusia, melalui firman-Nya dalam Al Quran Al
karim. Kitab suci ini di sebut Al Quran karena sesuai dengan sebutan Allah
sendiri dalam Firman-Nya Q.S. Al Hijr : 87
َ ‫س ْبعًا ِمنَ ْال َمثَانِي َو ْالقُ ْرآنَ ْالعَ ِظ‬
‫يم‬ َ َ‫َولَقَدْ آت َ ْينَاك‬
Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang
dibaca berulang-ulang dan Al Quran yang agung.
3. Tokoh Yang Mengembangkan Ma’rifah
Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham
ma’rifah ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misari. Al-Ghazali nama
lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. Di
Ghazaleh, suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada
Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyafur.
Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari teologi, ilmu pengetahuan alam,
filsafat, dan lain-lain, akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hiduypnya. Setelah
bertahun-tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. Dan
meninggal di sana tahun 1111 M9.
Adapun Zun al-Misri berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak Sudan dan
Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun

9
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers, 2009. Hal 225.

8
wafatnya, yaitu 860 M Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam
abad ketiga hijrah. Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju
Tuhan. Yaitu mencintai Tuhan, membenci Yang sedikit, menuruti garis perintah
yang diturunkan, dan takut terpaling dari jalan yang benar.
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut mermbawa paham ma’rifah dapat
diikuti dari pendapat-pendapatnya di bawah ini.. Al-Ghazali misalnya mengatakan,
ma’rifah adalah: “Tampak jelas rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan
mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada”
D. Kesimpulan
Pada hakekatnya cinta (mahabbah) meliputi ilham, pancaran, dan luapan-luapan
hati, cinta dengan segala perasaan dan keberadaannya. Dengan makna dan tingkatan-
tingkatan ini, menurut ahli tasawuf, cinta itu sebenarnya tidak dapat diberi batasan
tidak dapat didefinisikan, dan tidak dapat dijelaskan hakekat dan rahasianya. Menurut
mereka, cinta hanya dapat didefinisikan dengan kata-kata saja, tidak lebih.
E. Daftar Pustaka

Al Kadiri Saiful Anam. 2012. 8 Langkah Mencapai Ma’rifatullah, Jakarta : AMZAH, II.

Nata Abudin. 2009. Akhlak Tasawuf, Jakarta : Rajawali Pers.

Jahil Saiful dkk. 2000. Senandung Cinta Jalaluddin Rumi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai