Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad
sendiri yang notabene pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi
sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf
sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa
ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari
bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah
satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi
Banyak diantara kita yang terlena dengan kehidupan dunia, cinta kepada harta,
istri, anak, jabatan dan lain sebagainya terkadang sangat dikedepankan oleh
sebagian orang tanpa sadar bahwa semua itu hanyalah amanah dari Allah SWT
semata dan cinta yang sesungguhnya hanyalah cinta kepada Allah.
Oleh karena itu di sini akan dijelaskan beberapa permasalahan yang mencakup
mahabah tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi mahabbah
2. Apa alat untuk mencapai mahabbah
3. Siapakah tokoh yang mengembangkan mahabbah
4. Filosofis Cinta
1.3 Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini saya menggunakan metode library research
(metode kepustakaan), yaitu dengan jalan mengumpulkan dan mempelajari buku-
buku dengan tujuan untuk mengambil dan mendapatkan bahan-bahan yang ada
hubungannya dengan mahabbah




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Dalam Mujamal-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah
lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula
berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih penyayang. Selain itu al-
manbbah dapat pula berarti kecenderungan kecenderungan kepada sesuatu yang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun sepiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa
pada tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada
tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapai gambaran
Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Secara harfiah, mahabbah atau al-hubb sering di artikan dengan cinta dan
kasih sayang. Mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayag
yang di tunjukkan kepada Allah swt. mahabbah juga dapat di artikan sebagai
luapan hati dan gejolaknya ketika di rundung keinginan uuk bertemu dengan
kekasih, yaitu Allah swt. tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat
persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta Ilahi menjadi
seseorang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai
tuhannya.
Cinta adalah sesuatu yang membawa orang pada keridaan Allah. Bagi
mereka yang mendambakan cinta, mereka rela mengorbankan apa saja asal
dengan pengorbanan itu ia sampai pada tujuan cintanya.

Adapun sikap orang yang mahabbah antara lain:
1. Menyukai kepatuhan kepada tuhan dan memenci sikap melawan-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang di kasihi
3. Mengosongkan hati dari segala-segalanya, kecuali dari yang di kasihi.
2.2 Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dapatkah manusia mencapai mahabbah seperti yang disebutkan? Para ahli
tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologis, yaitu
pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri
manusia. Harun Nasution, dalam bukunyaFalsafah dan Mistisis dalam Islam
mengatakan, bahawa alat untuk memperoleh marifat oleh sufi disebut sir.
Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahawa
dalam diri manusia ada tiga alat :
Pertama, al-qalbu hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat
Tuhan. Sama hal nya dengan pendapat Al-Ghazali bahwa cinta yang
sesungguhnya berasal dari hati atau sering disebut dengan nama cinta insani.
Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan.
Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh,
dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat menerima ilusi dari Allah,
kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan kososng sekosong-kosongnya,
tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahu bahwa alat untuk mencintai
Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dengan dosa dan maksiat,
serta yang dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya
diisi oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Allah itu telah
dianugrahkan Allah kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika
umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah
diberikan Allah SWT. Allah berfirman yang artinya :
Artinya: Mereka itu bertanya kepada Engkau (muhammad) tentang roh, katakan
bahwa roh itu urusan Tuhan, tidak kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit
sekali.
(QS. Al-Isra, 17:85)y
Selanjutnya di dalam hadits pun diinformasikan bahwa manusia itu diberi
roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan di dalam
kandungan. Hadits tersebut selengkapnya berbunyi :

sesungguhnya manusia dilakukan penciptaanya dalam kandungan ibunya, selama


empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian
menjadi alaqah (segumpal daging yang menenmpel) pada waktu yang empat
puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembus roh kepadanya
(HR. Muslim [4781]).
Ayat dan hadits tersebut diatas selain menginformasikan bahwa manusia
dianugrahi roh oleh Tuhan, juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya
memiliki watak tunduk dan patuh kepada Tuhan.
2.3 Tokoh Yang Mengembangkan Mahabah
Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabiah al-Adawiyah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia
menganut paham tersebut.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari
Bashrah, di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H. Sumber lain menyebutkan
bahwa ia meninggal dunia dalam Tahun 185 H./796 M. Menurut riwayatnya ia
adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya ia
beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan
dan menolak segala bantuan material yang diberikan kepadannya. Dalam berbagai
Doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal keadaan zuhud dan hanya
ingin berada dekat dengan Tuhan.
Corak tasawuf Rabiah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan tanpa
pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di zamannya. Pada saat
itu, tasawuf lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri yang mendasarkan ajarannya
pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh
Rabiah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting
dalam dunia tasawuf.
Cinta bagi Rabiah bukan menginginkan kepentingan diri, melainkan lebih
dari itu, ia mengharapkan keridaan Allah semata-mata.
2.4. Filosofis Cinta
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang
cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah
melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari
tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
a. Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (marifat) dan
pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu
menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b. Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang
terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c. Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang
menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha
Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:
a. Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan
hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa
sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan
dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang
mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri
dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai
pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang
Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia
mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.
b. Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang
lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan
membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada
hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap
kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan
motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan
tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga
tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada
hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu
juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa
menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan
kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang
berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri,
karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka
cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan
kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada
makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan
Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada
makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena
itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada
Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan
kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c. Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak
dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika
seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan
menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak
dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai
rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan
sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan
dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kedzaliman dan
korupsi sang pejabat.
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah.
Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini.
Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang mahasiswa yang tinggal di Bandung.
d. Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun
batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh
mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat
seorang Imam Syafii, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka
tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafii betul-betul menarik atau
tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah.
Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang
bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun
keindahan batiniah relatif lebih kekal.
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan
Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang
hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul
menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat
kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari
betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e. Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan
antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan
sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama
dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling
mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya.
Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta.
Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena
memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan
muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah
seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang
kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-
Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh
diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan,
dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu
menandingi atau menyerupainya.Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-
orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah
dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut
adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.
Doktrin-doktrin Mahabbah
A Makna Cinta di Kalangan Sufi
Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk
cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk
kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak
pada dalil-dalil syara, baik dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang
persoalan cinta. Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya dalam
makalah ini.
Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat. Apabila kecenderungan
itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan rindu. Sedangkan sebaliknya, benci
adalah kecenderungan untuk menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila
kecenderungan untuk menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan
dendam.
Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah menganggap
sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik Dzat yang kau cintai.
Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan bahwa cinta adalah melakukan
tindak-tanduk ketaatan dan menghindari tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid,
cinta adalah kecenderungan hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah
dan segala milik-Nya tanpa rasa beban.
B. Cinta Sejati adalah Cinta kepada Allah
Bagi al-Ghazali, orang yang mencintai selain Allah, tapi cintanya tidak
disandarkan kepada Allah, maka hal itu karena kebodohan dan kepicikan orang tersebut
dalam mengenal Allah. Cinta kepada Rasulullah SAW, misalnya, adalah sesuatu yang
terpuji karena cinta tersebut merupakan manifestasi cinta kepada Allah. Hal itu karena
Rasulullah adalah orang yang dicintai Allah. Dengan demikian, mencintai orang yang
dicintai oleh Allah, berarti juga mencintai Allah itu sendiri. Begitu pula semua bentuk
cinta yang ada. Semuanya berpulang kepada cinta terhadap Allah.
Jika sudah dipahami dan disadari dengan baik lima sebab timbulnya cinta yang
telah diuraikan al-Ghazali sebelumnya, maka juga bisa disadari bahwa hanya Allah yang
mampu mengumpulkan sekaligus kelima faktor penyebab cinta tersebut. Kelima faktor
penyebab tersebut terjadi pada diri manusia hanyalah bersifat metaforis (majazi), dan
bukanlah hakiki. Hanya Allah Yang Maha Sempurna. Ia tidak bergantung kepada apapun
dan siapa pun. Kesempurnaan itulah yang akan mengantarkan seseorang kepada cinta
sejati, yaitu cinta terhadap Allah.
C. Mahabbah: antara Maqam dan Hal
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam
(tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam
kitabnya al-Luma, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan
pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah,
riyadhah, dan keterputusan (inqitha) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang
terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara
menurut al-Junaid, hal adalah suatu tempat yang berada di dalam jiwa dan tidak
statis.
Menurut al-Ghazali, Cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan
(maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah
mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra
(uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu
tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar
menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai
maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu
keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut.
Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian,
Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati
sebagai yang mencintai Tuhan.

D. Tingkatan Cinta
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan
terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam. Cina seperti ini
muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah
ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai
sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya. Kedua, cinta orang-
orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan mata
hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan
Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah terkoyaknya tabir dan tersingkapnya rahasia Tuhan.
Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan
dan keinginan duniawi). Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini
timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan
tanpa sebab (illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya
cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun
yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut
Abu Yaqub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai.
Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-
sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.

Mahabbah dalam Al-quran dan al-hadist
Paham mahabbah sebagaimana disebutkan diatas mendapatkan tempat di dalam
al-quran. Banyak ayat-ayat dalam al-quran yang menggambarkna bahwa antara
manusia dengan tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi :
jika kamu cinta Allah, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu...
(QS. Ali imran: 30)
Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-nya yang mencintai-nya..
(QS. Al maidah : 54)
Kedua ayat di atas memberikan petunjuk bahwa manusia dan tuhan dapat saling
mencintai, karena alat untuk mencintai tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh
tuhan. Roh tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah tuhan bersatu
dan terjadilah mahabbah. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi
mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang
digambarkan dalam telinga, mata dan tangan tuhan. Dan untuk mencintai keadaan
tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak
dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan
setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti
rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di
samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar
pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar,
zuhud, dan lain-lain.













DAFTAR PUSTAKA

Ridha, Abdurrasyid Memasuki Makna Cinta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu
Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya Ulumiddin, Beirut, Dar
al-Marifah.
al-Luma,Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960
Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,
Bandung: Mizan, 1993
Nata, Abudin.. Akhlak Tasawuf . Jakarta 2009
Asmaran, As. pengantar studi akhlak . Jakarta. 1996
Mujib, Abdul. 2004. Risalah Cinta. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai