Anda di halaman 1dari 18

KITAB KUNING:

Sebagai Kurikulum di Pesantren


Oleh: Sururin

Pengantar
Kitab kuning menjadi istilah yang identik dengan pesantren. Oleh karena kitab kuning
menjadi rujukan utama dan menjadi salah satu elemen bagi pesantren. Dengan bahasa
ekstremnya, suatu lembaga tidak dapat dikatakan sebagai pesantren apabila di dalamnya tidak
mengkaji kitab kuning. Hal ini menunjukkan betapa erat hubungan antara pesantren dan kitab
kuning.
Dalam pesantren kitab kuning memang paling dominan. Ia tidak saja sebagai khasanah
keilmuan, tetapi juga sebagai si stem nilai yang dipegangi dan mewarnai seluruh aspek
kehidupan. Kitab kuning mewujud dalam paham keagamaan, tata cara, peribadatan, pergaulan,
etik dan cara pandang kehidupan warga pesantren dan masyarakat pengikutnya. Dalam
kenyataan ini kitab kuning merupakan tradisi yang hidup sebagai ‘kultur santri’ yang cukup
subur dalam masyarakat Indonesia. Dan sebagai tradisi itu pula kitab kuning hidup dalam
sejarahnya yang abadi, melampaui keberadaannya sebagai khasanah keilmuan.
Dalam pembahasan berikut coba menjawab permasalahan-permasalahan: apakah
pengertian kitab kuning?, kapankah ia ada dan bagaimanakah perjalanan sejarahnya sehingga
menjadi satu tradisi pesantren?, apakah kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren?, mengapa ia
menjadi referensi atau rujukan utama dalam dunia pesantren—yang menurut para pengkritiknya
mengalahkan al-Qur’an dan al-Sunnah?, dan mengapa pesantren mempertahankan—bahkan
melestarikan kitab kuning, dan sebagai pertanyaan terakhir: apa saja yang perlu dibenahi dari
kitab kuning?.
A. Mengenal Kitab Kuning
Istilah kitab kuning pada beberapa puluh tahun terakhir ini belum dikenal, sebab dunia
pesantren pada saat itu menutup diri dari dunia luar, terutama dari arus kebudayaan asing (baca:
Barat), sebagai satu sikap oposisi diam (silent opposition) terhadap penjajah Belanda. Oleh
1
karena itu, dunia pesantren tidak mengenal adanya buku-buku di luar kitab kuning. Andai kata

1
Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban, dalam jurnal Pasatren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 3
ada yang mengenalnya, maka dilarang mempelajarinya. Pada tahun 1960 terlihat dengan jelas
garis pemisah antara kelompok tradisionalis dan modernis, yang lebih cenderung menggunakan
‘kitab putih’ yang biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya
2
untuk kembali pada sumber-sumber asli—al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, boleh jadi
istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh para peneliti Barat dan kelompok yang tidak sejalan
dengan sistem pendidikan yang berlangsung di dunia pesantren yang sangat didominasi kitab
kuning. Inilah pula sebabnya mengapa pada awalnya penyebutan istilah kitab kuning ini
seringkali dibarengi dengan nada merendahkan (pejorative). Mengapa demikian?, sebab kitab
kuning dianggap sebagai bahan rujukan yang berkadar keilmuan rendah, ketinggalan jaman,
3
dan—yang lebih parah lagi—menjadi salah satu penyebab stagnasi berpikir umat. Berangkat
dari sini, menjadi patut dipertanyakan, apakah kitab kuning?.
Secara umum kitab kuning dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,
menggunakan aksara Arab yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir muslim lainnya,
terutama dari Timur Tengah. Pengertian tersebut terlihat kurang luas, oleh karena itu Azyumardi
Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya mengunakan bahasa Arab, akan tetapi juga
bahasa lokal (daerah), seperti: Melayu, Jawa dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan
menggunakan aksara Arab. Dengan demikian, selain ditulis oleh para ulama Timur Tengah juga
4
ditulis oleh para ulama Indonesia sendiri.
Sementara, dalam Pengertian yang lebih sempit kitab kuning diartikan dengan buku-buku
tentang keislaman yang dipelajari di pesantren ditulis dalam tulisan Arab dan dalam bahasa Arab
5
dengan sistematika klasik. Kitab kuning juga dapat diartikan dengan kitab yang berisi ilmu-
ilmu keislaman, fiqh khususnya, yang ditulis atau dicetak dalam bahasa
6
Arab/Melayu/Jawa/Sunda dan sebagainya tanpa memakai harakat/syakal (tanda baca/baris).

2
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, cet. III,
1999), hal. 132
3
Affandi Mukhtar, Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum, dalam Marzuki Wahid, dkk
(ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ( Bandung: Pustaka
Hidayah, cet. I, 1999), hal. 222. Bandingkan dengan:A. Malik Madany, ‘Posisi Kitab Kuning dalam
Khasanah Keilmua Islam, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 23
4
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta:
Logos, cet. I, 1999) hal. 111
5
Mengapa Kitab Kuning, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 2
6
Lihat, misalnya,Ensiklopedi Hukum Islam III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet.II, 1999),
hal. 950
Pengertian demikian terkadang masih dibatasi dengan tahun karangan, terdapat juga yang
membatasi dengan madzhab teologi, dan membatasi kitab kuning dengan kitab yang mu’tabarah
saja. Artinya kitab kuning yang diterima di kalangan pesantren.
Menanggapi adanya perbedaan dalam pengertian tersebut di atas, dalam pengertian yang
luas—termasuk di dalamnya kitab kuning dengan menggunakan bahasa daerah/lokal—maka
pengertian ini lebih mengarah pada perspektif historis, sementara dalam pengertian yang
terakhir disebut maka itu lebih khusus pada tradisi yang berlangsung di dunia pesantren. Pada
pengertian kedua inilah yang sering dipandang dengan pandangan sebelah mata dan banyak
diberikan kritik.
Kitab kuning juga diistilahkan dengan al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik/kuno)
kebalikan dari al-kutub al-‘asyriyyah (kitab-kitab modern). Istilah yang sering pula digunakan
guna menyebut kitab kuning adalah ‘kitab gundul’, sebab cara penulisan dalam kitab tersebut
tanpa syakal, tanpa tanda baca dan pemberhentian.
Disebut kitab kuning karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas
berwarna kuning, berkualitas rendah, dan kadang-kadang lembarannya pun lepas tidak terjilid,
sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus membawa satu kitab secara
utuh. Biasanya para santri hanya membawa lembaran-lembaran tertentu yang akan dipelajari.
Karena bentuk tulisannya yang ‘gundul’, maka kitab kuning tidak mudah dibaca, apalagi
dipahami oleh mereka yang tidak menguasai gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Format
kitab kuning biasanya mempunyai bentuk tersendiri, yang sering kali terdiri dari dua bagian,
matan yang menempati margin, dan syarahnya menempati bagian tengah secara luas. Untuk
ukuran kertasnya biasanya digunakan ukuran kwarto.
Dengan demikian, dapatlah dibedakan karakteristik kitab kuning dan kitab putih. Pada
umumnya kitab kuning dikarang oleh ulama sebelum abad XX, bahkan sering kali kitab tersebut
dikarang oleh para ulama klasik. Sementara kitab putih tidak membatasi tahun penulisan kitab.
Akan tetapi biasanya kitab putih lebih banyak dikarang oleh para ulama masa akhir-akhir ini
(mutaakhirin). Karekteristik lainnya, yang jelas kitab kuning ditulis dengan huruf Arab,
meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa Arab, semisal bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan
sebagainya. Kitab kuning juga lebih menekankan pada mazhab Syafi’I untuk kajian fiqh, Asy’ari
dalam kajian teologi, dan al-Ghazali untuk bidang tasawuf. Sementara kitab putih tidak
membatasi madzhab-madzhab tertentu sebagaimana dalam kitab kuning. Satu perbedaan
penulisan lainnya, yaitu penulisan kitab kuning cenderung tidak mengunakan foot note.
Dalam pembahasan berikut kitab kuning dalam pengertian luas dijabarkan dalam lintasan
sejarah, sementara dalam arti sempit akan digunakan dalam kajian tetang kurikulum di pesantren.
B. Kitab Kuning dan Sejarahnya
Tidak diketahui secara pasti kapan kitab kuning menjadi satu rujukan pokok dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Jelas kitab kuning ada sebelum munculnya pesantren. Menurut
7
Martin Van Bruinessen, kitab kuning sebagai kitab klasik berbahasa Arab telah dikenal dan
dipelajari pada abad ke-16. Argumen yang dijadikan dasar adalah diibawanya sejumlah naskah
Indonesia yang berbahasa Arab, Melayu dan Jawa ke Eropa sekitar tahun 1600 M. Di antara
kitab yang berbahasa Arab adalah kitab yang membahas fiqh: kitab al-Taqrib fi al-Fiqh karya
Abu Suja’ al-Isfahani, yang hingga sekarang masih banyak digunakan dalam pesatren dan kitab
al-Idhah fi al-Fiqh. Kitab yang disebut terakhir kini sudah tidak dijumpai lagi dalam pesantren.
Sementara kitab-kitab yang berbahasa Melayu terdiri dari tafsir tentang dua bab penting dari al-
Qur’an, dua hikayat bertema Islam, sebuah hukum pernikahan Islam, dan sebuah terjemahan
syair-syair pujian terhadap Nabi (Qasidah burdahnya al-Busyairi). Untuk kitab yang berbahasa
Jawa antara lain ‘Wejangan Syeh Bari’ yang sebelumnya dikenal dengan ‘Kitab Sunan Bonang’.
Dalam kitab berbahasa Jawa tersebut ditemukan dua judul kitab yang dijadikan sebagai rujukan,
yaitu ‘Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali dan Tamhid—menurut Martin yang dimaksud dengan
Tamhid adalah kitab al-Tamhid fi Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Kitab-
kitab yang dikirim ke Eropa inilah—sebagaimana tersebut di atas—yang dijadikan Martin
sebagai bukti bahwa kitab kuning telah ada di Indonesia pada abad ke-16.
Menurut Azyumardi Azra, dalam historiografi tradisional dan berbagai catatan lokal
maupun asing tentang peyebaran Islam di Indonesia, tidak menyebut judul-judul kitab yang
digunakan dalam masa-masa awal perkembangan Islam di kawasan ini. Meski ada beberapa
historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan semacamnya juga
menyinggung masalah-masalah yang berkaitann dengan yang berkenaan dengan syari’ah dan

7
Martin, Martin Van Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, cet. III,
1999), hal. 27
fiqh dan masalah-masalah keimanan, mereka umumnya tidak memberikan rujukan kepada kitab-
8
kitab tertentu.
9
Lebih lanjut Azyumardi Azra —dengan mendasarkan argumennya pada hasil peneletian
10
Van Den Berg menjelaskan bahwa kitab kuning baru muncul di Indonesia pada abad ke-17.
Menurutnya, kitab kuning, seperti kitab ‘Taqrib’ karya Abu Suja al-Isfahani (w. 593 H/1196 M.)
kemudian menyusul berturut-turut ‘al Muharrar’ karya Abu Qashim al-Rafi’I (w. 623 H/1226
M) dan seterusnya, dibawa ke Indonesia oleh para murid Jawi yang belajar di Haramain ketika
kembali pulang ke tanah air. Pada abad ke-17 inilah semakin banyak pelajar Jawi yang belajar di
tanah suci. Setelah menamatkan pelajarannya, kemudian kembali ke tanah air mereka membawa
kitab-kitab yang dikajinya, dan selanjutnya mengedarkannya di lingkungan terbatas yang dapat
membaca dan memahami bahasa Arab.
Pada tahap selanjutnya, usaha para alumni Haramain ini tidak berhenti komunitas atau
masyarakat yang mampu berbahasa Arab, akan tetapi mereka mengarang kitab yang muatannya
merujuk pada kitab-kitab yang dikajinya. Sebagai contoh: al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) dengan
karyanya ‘ Sirat al-Mustaqim’, Abdurahman al-Singkel dengan karyanya ‘Mir’at al-Thullab’.
Kedua kitab tersebut, misalnya, merujuk pada kitab Fath al-Wahhab karya Zakariya al-Anshari
dan kitab-kitab fiqh bermadzhab Syafi’I lainnya.
Apa yang dilakukan oleh dua ulama—al-Raniri dan al-Singkel—juga diikuti oleh
beberapa tokoh berikutnya, pada abad ke 18—seperti Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1227
H/1812 M) yang menulis kitab Sabil al-Muhtadin dan Dawud ibn Abd Allah al-Fatani (w.
setelah 1259 H/1843 M) dengan karyanya antara lain: Bughat al-Thullab, Furu’ al-Masail, Jami’
al-Fawa’id, dan Hidayat Muta’allim. Yang menarik adalah bahwa kitab-kitab tersebut di atas—
karya para ulama Indonesia—meskipun menggunakan judul bahasa Arab, akan tetapi isinya
menggunakan bahasa Melayu, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat yang belum mampu
berbahasa Arab. Perlu juga dikemukakan bahwa tulisan dalam kitab-kitab tersebut menggunakan
huruf Arab (dalam istilah Jawa disebut dengan pegon).
Bila dilihat dari isi dari kitab-kitab tersebut, terutama pada paruh terakhir abad ke-18
adanya usaha intensifikasi penyelarasan keyakinan agama dengan dan tata kehidupan sosial .

8
Azyumardi Azra, op. Cit., hal. 112-113
9
Ibid.
10
Hasil penelitian Van Der Berg lihat: Karel Steebrink, Beberapa tentang Aspek Islam di
Indonesia Abad kee-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal.153-157
Fiqh, hukum-hukum Islam, yang menggantikan kontemplasi sufistik menjadi perhatian utama
untuk ‘memaksa’ lebih jauh penyesuaian kecenderungan folk religions ke dalam keharusan
Islam, official religions. Kecenderungan yang lain adalah institusionalisasi pemikiran sufistik
dalam bentuk-bentuk tarekat sebagai kelanjutan upaya pengikisan pemikiran sufistik yang
11
menyimpang (heterodoks).
Untuk selanjutnya, kitab kuning menemukan momentum terkuatnya pada abad ke-19,
tatkala pesantren—pondok, surau maupun meunasah—menjadikan kitab kuning sebagai materi
pokok dalam pengajarannya. Kondisi demikian didukung oleh sikap dan semangat perlawanan
secara diam (silent opposition) terhadap kolonialiame Belanda. Sikap perlawanan ini ikut
berperan dalam pengembangan pendidikan tradisional, pesantren, khususnya sikapnya yang
menutup diri dari dunia luar—budaya asing/barat—dalam menggunakan literatur atau sebagai
bahan rujukan. Pada gilirannya, kebutuhan akan kitab kuning semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya pesantren. Tidak dapat dihindari adanya penggandaan naskah kitab kuning. Usaha
penyalinan dilakukan dengan cara manual, dengan tulisan tangan, sehingga sering dijumpai
naskah-naskah kitab kuning yang disimpan di musium, sebagai koleksi, atau yang dimiliki oleh
pribadi berbentuk tulisan tangan.
Pada sisi lain, pada abad ke-19 transportasi laut menuju ke tanah suci semakin lancar. Hal
ini membuat jamaah haji dari Indonesia semakin bertambah. Pada saat yang sama terjadi
percetakan kitab berhuruf Arab secara besar-besaran. Implikasinya, para jamaah haji—yang
sekaligus penuntut ilmu di haramain—membawa kitab-kitab tersebut pulang ke Indonesia.
C. Kitab Kuning sebagai Kurikulum di Pesantren
Bila kembali pada pengertian kurikulum, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang
No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi, maupun bahan bahan kajian dan pelajaran serta penyampaian dan penilaian, maka
kitab kuning dapat dikatakan sebagai kurikulum dalam pesantren. Pertama yang ingin dikaji
adalah isi dari kitab kuning itu sendiri. Apabila dikelompokkan, isi dari kitab kuning dapat dibagi
menjadi dua: ajaran dan non ajaran. Kitab yang berisi ajaran dapat pula dibagi menjadi dua:
ajaran dasar sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan ajaran yang timbul

11
Badingkan, misalnya, dengan penjelasan: Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara:
Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: RosdaKarya, cet. I, 1999)
12
sebagai penafsiran dan interpretasi para ulama atas ajaran dasar tersebut. Kitab-kitab yang
dapat dikategorikan pada bagian kedua ini adalah sesuatu yang datang sebagai hasil dari
perkembangan sejarah dalam masyarakat Islam. Menurut penulis, ilmu alat dapat dimasukkan
dalam kategori kitab kuning yang berisi non ajaran.
Bila diklasifikasikan menurut bidang kajiannya, maka dapat diibagi menjadi delapan
bidang. Menurut laporan hasil penelitin Martin Van Bruinessen, karya-karya yang ada secara
prosentasi dapat diklasifikasikan dalam kategori pokok pembahasan sebagai berikut:

1. Fiqh 20 %
2. Doktrin (akidah/ushuluddin) 17 %
3. Tata bahasa Arab tradisional (nahwu, sharaf, balaghah) 12 %
4. Kumpulan hadis 8%
5. Tasawuf dan tarekat 7%
6. Akhlak 6%
7. Kumpulan doa, wirid, mujarabat 5%
8. Qishah al-Anbiya’, maulid, manaqib, dan sejenisnya 6%
Menurut isi penyajiannya, kitab kuning dapat dibagi menjadi tiga, 1). dalam bentuk
ringkasan (mukhtashar) yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik muncul dalam
betuk nadham (syi’ir) atau dalam bentuk ulasan biasa (natsar), kitab yang membawakkan uraian
panjang lebar, banyak menyajikan argmentasi dan banyak mengutip pendapat ulama dengan
hujjahnya masing-masing, kitab yang penyajian materinya tidak terlalu singkat dan tidak terlalu
leluasa (mutawasith). Sedangkan dilihat dari kreatifitas penulisannya dapat dibagi menjadi
tujuh, yaitu: 1. Berupa gagasan baru yang belum ditemukan oleh penulis-penuli sebelumnya—
seperti al-Risalah karya al-Syafi’I, al-Arudl wa al-Qawafi karya Imam Khalil ibn Ahmad al-
Farahidi, 2. Sebagai penyempurna kitab yang telah ada—seperti karya al-Sibawaih yang
menyempurnakan karya Abu Aswad al-Du’ali, 3. Berupa komentar atau syarah terhadap kitab
yang telah ada—seperti Ibn Hajar al-Atsqalani yang memberi syarah kitab Shaheh Bukhari, 4.
Berupa ringkasan—seperti kitab Lubb al-Ushul karya Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari
kitab Jam’ul Jawami’ karya al-Subhi, 5. Memperbaharuii sistematika—seperti Ihya’ Ulum al-

12
A. Chozen Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989,
hal. 12
Din karya al-Ghazali yang mensistematisasikan ajaran tasawuf dikaitkan dengan fiqh, 7. Berupa
kritik atau komentar yang meluruskan—seperti kitab Mi’yar al-Ilmi karya al-Ghazali sebagai
13
kritik terhadap kaidah-kaidah mantiq yang telah ada.
Selanjutnya perlu dicermati kitab-kitab yang dipakai sebagai kurikulum dalam
14
pesantren—menurut hasil penelitian Martin Van Bruinessen, Mastuhu , dan pengamatan
penulis—dapat diklasifikasikan dalam bidang kajian sebagai berikut:
1. Ilmu Alat
Pada dasarnya ilmu alat atau ilmu bantu yang dikaji dalam pesantren terdiri dari berbagai
cabang tata bahasa Arab tradisional. Yang dapat dikategorikan dalam ilmu alat antara lain:
nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan tajwid. Ilmu alat dapat didimasukkan dalam kelompok
kitab kuning non ajaran. Kitab-kitab yang dipakai dalam bidang ini antara lain: dalam bidang
sharaf: kitab Kailani, Amtsilat al-Tasrifiyah dan Maqshud/Syarah Maqshud. Semetara
dalam bidang nahwu kitab-kitab yang sering digunakan adalah Jurumiyah, Imrithi,
Mutammimah, Asymawi, Alfiyah, dan Awamil. Kitab-kitab yang membahas tata bahasa Arab,
selain tersebut di atas, juga digunakan kitab Nahwu Wadhih, dan Qawaidh al-Lughah. Untuk
Balaghah kitab yang digunakan adalah iJauharul Maknum dan Uqudul Juman, sedangkan
kajian Mantiq kitab yang sering dikaji adalah Sullam al-Munawwaraq dan Idhah al-
Mubham.
Pada hampir seluruh pesantren di Nusantara mengajarkan ilmu alat, dan sering kali ilmu alat
ini—terutama nahwu dan sharaf—mendapatkan perhatian yang luas. Hal ini disebabkan
bahwa mayoritas kitab kuning yang dikaji di pesantren dengan menggunakan bahasa Arab,
dan untuk memahaminya dengan menguasai ilmu tata bahasa Arab. Dengan kata lain dengan
meguasai ilmu tata bahasa Arab, maka kunci untuk memahami kitab kuning telah terpegang.

13
Ibid., hal. 17-18.
14
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hal. 170-173
(Lampiran 2: tentang daftar kitab yang dikaji dalam pesantren).
2. Fiqh
15
Perhatian yang tidak kalah besarnya adalah bidang fiqh. Subyek yang satu ini boleh
dikatakan sebagai inti dari pesantren, sehingga wajarlah apabila bidang ini mendapatkan
prioritas utama dan terdapat berbagai macam kitab fiqh yang dikaji di pesantren. Kitab-kitab
yang sering digunakan untuk tingkat tsanawiyah adalah Taqrib dan Fath al-Qarib, Minhaj
al-Qawim, Sulam al-Taufiq, Uqud al-Lujain, Mabadi’ al-Fiqh, Fiqh Wadhih, dan sebagainya.
Sementara pada tingkat ‘aliyah kitab yang sering digunakan adalah Fath al-Mu’in, Kifayat
al-Ahyar, Bajuri, Iqna’, Fath al-Wahab, Mahalli, Tahrir, dan sebagainya. Pada tingkat aliyah
ini juga sering mengkaji ilmu Ushul Fiqh. Kitab yang sering digunakan dalam bidang ini
antara lain: Waraqat/Syarah Waraqat, Lathaif al-Isyarat, Jam’ul Jawami’, al-Asbah wa al-
Nadhair, dan sebagainya.
Perlu digarisbawahi bahwa kajian fiqh di pesantren hanya mengacu pada fiqh Syafi’i. Oleh
sebab itu, madzhab Syafi’ilah yang berkembang subur di Indonesia. Terdapat beberapa
alasan mengapa madzhab Syafi’I begitu populer di Indonesia?. Dimungkinkan madzhab
syafi’I sesuai dengan karakter budaya Indonesia, lebih toleran dan—yang jelas—wacana fiqh
yang berkembang pada saat Islam masuk di Indonesia adalah fiqh dengan madzhab Syafi’i.
Di samping itu, faktor yang tidak boleh diabaikan adalah dari segi doktrin aqidah lebih
cenderung berpaham Asy’ariyah dan mengikuti tasawuf al-Ghazali—yang keduanya
cenderung pada madzhab Syafi’I—ikut berperan dalam memantapkkan madzhab tersebut di
bumi Nusantara.
3. Tauhid/Aqidah
Sebagaimana tersebut di atas bahwa umat Islam Indonesia mayoritas berpaham Asy’ariyah.
Oleh karena itu kitab yang dikaji pun juga beraliran yang sama. Tidak seperti abad-abad
sebelumnya—pada awal perkembangan kitab kuning di Indonesia—yang menunjukkan
minat yang besar pada kajian tauhid, terutama tentang kosmologis, eskatologis, dan spekulasi
metafisik. Menurunnya minat ini boleh jadi disebabkan oleh pepatah lama yang mengatakan
bahwa ‘terlalu besarnya minat terhadap masalah-masalah aqidah akan membawa kepada
kekafiran’ atau doktrin yang mengatakan ‘berpikirlah tentang makhluk Allah, jangan berpikir
tentang Penciptanya (Tuhan).’ Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara

15
Pembahasan khusus tentang kitab fiqh, lihat: Martin Van Brinessen, Kitab Kuning, op. Cit., hal.
112-131
tentang tauhid tidak dikaji. Di antara kitab-kitab dalam subyek ini yang sering dikaji di dunia
pesantren adalah Ummu al-Barahin, Sanusi, Dasuki, Kifayat al-Awam, Aqidah al-Awam,
Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Husnul Hamidiyah, dan sebagainya.
4. Tafsir al-Qur’an
Tafsir merupakan satu bidang yang dijadikan kurikulum dalam dunia pesantren. Sering kali
kajian tentang tafsir ini dikhususkan untuk tingkat aliyah atau tingkat di atasnya. Kitab yang
biasa digunakan adalah Tafsir Jalalain, Tafsir Baydhawi, Tafsir Munir, Tafsir Ibn Katsir,
Jami’ al-Bayan, dan sebagainya. Untuk tiga kitab tafsir yang disebut terakhir, misalnya, tidak
semua pesantren menggunakannya. Sementara Tafsir al-Manar dan Tafsir al-Maraghi
seringkali digunakan oleh pesantren yang berorientasi modernis.
Di samping kitab-kitab tafsir tersebut di atas, terdapat beberapa kitab tafsir dengan
menggunakan bahasa lokal/daerah karya para Ulama Indonesia yang patut diungkapkan. Di
antara kitab tafsir karya ulama Nusantara antara lain: Raudhah al-Irfan fi Ma’rifah al-Qur’an
berbahasa Sunda yang ditulis oleh Ahmad Sanusi bin Ibrahim bin Abdurahim dari Sukabumi,
al-Ibriz li Ma’rifah li al-Tafsir al-Qur’an al-Aziz berbahasa Jawa karya K.H. Bisri Musthofa
dari Rembang. Sedangkan yang berbahasa Melayu antara lain: al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil
karya Misbah bin Zain al-Mushthafa.
Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang dahulu dilarang menterjemahkan
16
al-Qur’an, hanya boleh menterjemahkan tafsirnya.
Pada sisi lain, Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur’an juga dikaji pada sebagian Pesantren. Kitab
yang biasanya digunakan adalah Itqan dan Itmam al-Dirayah.
5. Hadis
Hadis termasuk salah satu materi yang banyak dikaji di Pesantren. Kitab-kitab hadis yang
sering dipakai di pesantren antara lain: Bulugh al-Maram, Riyadh al-Shalihin, Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Durratun Nashihin, Mukhtar al-Hadis, Arba’in Nawawi, Tanqih al-
Qaul, dan sebagainya. Sementara untuk kajian Ulum al-Hadis atau Ulum Dirayah al-Hadis
kitab yang biasa digunakan adalah Baiqunah/Syarah dan Mihadd al-Mughis.
6. Akhlaq dan Tasawuf

16
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam diIndonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986),
hal. 173
Kurikulum pesantren memberikan tempat yang luas pada kajian akhlaq dan tasawuf. Kedua
istilah ini seringkali digabungkan karena batas keduanya sangat tipis, bahkan terlihat kabur.
Kitab akhlaq yang sering digunakan di pesantren adalah Ta’lim Muta’alim, Washaya,
Akhlaq li al-Banin, Akhlaq li al-Banat, Irsyad al-Ibad dan Nashaihul Ibad. Sedangkan kitab
tasawuf yang banyak dikaji di pesantren antara lain: Ihya’ Ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah,
Minhaj al-Abidin, Hikam/Syarah Hikam, Risalah al-Mu’awwanah, dan sebagainya. Satu hal
yang patut diperhatikan adalah tasawuf yang berkembang dan banyak dikaji di dunia
pesantren adalah tasawuf amali, yang kuat warna syariatnya ketimbang warna filosofisnya.
Dengan kata lain tasawuf yang dikaji lebih kuat ortodoksinya, sehingga kitab-kitab yang
berisi ajaran yang mengarah pada paham wahdat al-wujud, misalnya, tidak mendapatkan
tempat di Pesantren.
7. Sejarah (Tarikh)
Tidak banyak pesantren yang mengkaji secara khusus sejarah Islam. Maksimal sejarah yang
dibahas terbatas pada sejarah Nabi dan para Khulafa’ al-Rasyidin. Menarik untuk dicermati
mengapa kitab tentang tarikh tidak banyak dikaji?. Bisa dimungkinkan sedikitnya kitab
sejarah yang dikaji di pesantren dikarenakan kitab sejarah tersebut tidak berisi ajarang secara
langsung. Artinya, kitab sejarah hanya mengungkapkan suatu peristiwa-peristiwa atau cerita-
cerita, tidak akan banyak memberi manfaat tanpa ada analisa. Sementara budaya analisa
kurang dikembangkan di pesantren. Alasan lain yang layak dikemukakan adalah bahwa
dalam kajian-kajian kitab kuning—baik yang berbicara tentang fiqh, hadis, akhlaq, tasawuf,
dan kitab-kitab lainnya—secara tidak langsung termasuk di dalamnya sejarah. Dengan kata
lain sejarah include dalam materi-materi kajian kitab kuning. Pada sisi lain, seringkali kitab
yang berbicara tentang tarikh tidak dikaji secara khusus akan tetapi dibaca bersama pada
waktu-waktu tertentu, seperti kitab al-Barzanji, Manakib Syaikh Abd Qadir Jaelani, Maulid
al-Dhiba’, dan sebagainya. Sering pula kisah-kisah tersebut terungkap dalam bentuk syair
berupa puji-pujian yang terdiri dari beberapa bait, seperti Shalawat Badar.
Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara tentang sejarah tidak ada. Di
antara kitab yang membahas tentang sejarah yang dikaji dalam pesantren adalah Khusnul
Yaqin (Khulashah), Dardir dan Barzanji. Kitab yang disebut terakhir, misalnya, selain
dibaca bersama dalam waktu-waktu tertentu juga dikaji tersendiri sebagaimana kitab-kitab
dalam bidang lainnya.
Pertanyaan berikut yang patut pula dipertanyakan adalah mengapa kitab-kitab yang
membahas filsafat tidak dimasukkan dalam kurikulum pesantren?. Untuk menjawab pertanyaan
ini maka perlu dilakukan kilas balik masuknya Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Islam
pada abad ke-12 atau ke-13—saat berkembangnya Islam di Indonesia—adalah Islam yang sudah
mengalami kemunduran dalam dunia filsafat, sehingga wacana yang berkembang pada saat itu
adalah lebih kental warna tasawufnya, itu pun tasawuf yang ortodoks. Artinya yang berkembang
saat itu adalah tasawuf amali/akhlaqi, bukan tasawuf falsafi. Sementara untuk kasus Indonesia
sendiri juga terjadi pergeseran kecenderungan, minat pada tasawuf falsafi—seperti ajaran wahdat
al-wujud—semakin kurang peminatnya. Kurangnyaa minat tersebut terutama adanya larangan
bahwa ajaran demikian, apabila tidak hati-hati akan mengakibatkan kekufuran. Belajar filsafat
berarti belajar berspekulasi, dan mempertanyakan sesuatu yang dianggap tabu di pesantren. Oleh
karena itu belajar filsafat tidak diperkenankan, bahkan diharamkan, karena dikhawatirkan akan
menyesatkan. Alasan-alasan demikian pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap
kurikulum yang diterapkan dalam dunia pesantren. Kurikulum di sini dalam arti luas, tidak hanya
pada materi pelajaran (kitab-kitab kuning yang dikaji), akan tetapi juga pada sistem, seperti:
sikap santri, metode, media, penilaian, dan sebagainya. Alasan yang lebih ekstrem yang bisa
dikemukakan adalah dengan belajar filsafat maka otoritas pimpinan pesantren dipertanyakan,
bahkan digugat. Bila terjadi demikian, maka tatanan yang ada di pesantren yang sudah
mentradisi akan mengalami pergeseran, dan warna pesantren yang mempunyai karakteristik
tersendiri akan luntur, tidak ubahnya lembaga pedidikan umum.
Masih pada seputar isi kitab kuning, yang juga perlu didiskusikan adalah mengapa hanya
ilmu-ilmu agama—yang mengarah pada kehidupan ukhrawi—yang diprioritaskan, sedangkan
ilmu tentang keduniawian hanya sedikit dikaji—untuk tidak dikatakan tidak ada sama sekali.
Jawab dari persoalan ini adalah dengan kembali pada tujuan dari belajar di pesantren itu sendiri.
Bukankah untuk melihat apa saja materi yang akan dibahas, maka ditentukan oleh tujuan yang
hendak dicapai. Dalam berbagai pembahasan disebutkan bahwa tujuan seseorang belajar di
pesantren adalah untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan ilmu yang dimaksud adalah
ilmu agama. Tujuan pesantren tidaklah mendidik santri agar menjadi pegawai atau petugas
tertentu. Setelah tamat santri diharapkan menjadi guru di pesantren, atau guru mengaji, atau
imam masjid. Akan tetapi sebagian besar dari mereka yang belajar di pesantren adalah mencari
17
ilmu untuk bekal pribadi. Pada umumnya pendidikan di pesantren adalah pendidikan agama
dan akhlaq. Panggilan yang mendorong kyai untuk mengajar dan santri belajar adalah rasa wajib
berbakti kepada Allah SWT, sehingga hanya anggota masyarakat yang terkemuka dan mulia saja
18
yang mengambil tugas ini, dengan tujuan menyampaikan ilmu belaka. Dengan demikian,
maka pendidikan di pesantren bertujuan untuk membentuk kepribadian, memantapkan akhlaq
dan melengkapinya dengan pengetahuan, atau—meminjam istilah Habib Chirzin—santri dengan
19
gelar MMAS (muslim, mukmin, alim dan shaleh). Mereka diharapkan—setelah kembali ke
kampung halamannya—menempuh hidupnya menjadi muslim yang teladan yang memantulkan
sosialisasi pesantrennya serta mempromosikan, mensyiarkan nilai-nilai dan gambaran
kemasyarakatan Islam. Dalam istilah modernnya, dalam pesantren ‘pendidikan kader’
dilaksanakan dalam arti yang luas. Santri diharapkan menyebarluaskan citra nilai budaya
kepesantrenannya yang khusus melalui cara hidupnya: pengabdian sosial, ketulusan, kesahajaan,
pribadi atau sifat-sifat yang dapat dituangkan dalam pengertian utama dari pendidikan yang
20
ideal, yaitu ‘keikhlasan’. Inilah sebabnya mengapa pendidikan dalam pesantren lebih
menekankan pada ajaran moral dari pada hanya memberikan pengetahuan maupun pendidikan
ketrampilan.
Sebagai catatan akhir dari materi kajian dalam pesantren, bahwa tidak terdapat
‘kurikulum nasional’ dalam pendidikan pesantren, sehingga masing-masing pesantren berhak
menentukan materi apa saja yang sesuai dengan kebutuhannya. Tidak jarang dijumpai adanya
beberapa pesantren yang mempunyai khususan tersendiri. Artinya, terdapat bidang-bidang
tertentu yang mendapatkan prioritas, sehingga bidang itulah yang menjadi ciri khusus dari
pesantren tersebut. Sebagi contoh adalah pesantren Tebu Ireng di Jombang yang didirikan oleh
K.H. Hasyim Asy’ari mengkhususkan pada bidang Hadis, Pesantren di Jampes di Kediri terkenal
dengan kajiian tasawuf, Pesantren di Kudus yang diasuh oleh K.H. Arwani mengkhususkan pada
21
bidang al-Qur’an, dan sebagainya.

17
Lihat misalnya: Karel Steenbrink, op. Cit., hal. 153
18
M. Habib Chirzin, ‘Ilmu dan Agama dalam Pesantren’, dalam Pesantren dan Pembaharuan,
Dawam Rahardjo, (ed.), (Jakarta: LP3ES, ceet. II, 1988), hal. 84
19
Ibid.
20
Bandingkan, misalnya, dengan: hal. Manfred Ziamek, Pesantren dalam Perubahan Sosial,
(Jakarta: P3M, ceet. I, 1986), ha157. Lebiih lanjut baca juga: Abdurrahman Wahid, ‘Pesantren sebagai
Sub Kultur’ dalam Dawam Rahardjo, op. Cit, hal. 42
21
Lebih jelasnya lihat: Habib Chirzin, op. Cit., hal. 86
Meski demikian, hampir di seluruh pesantren menggunakan kitab-kitab yang hampir
sama. Dalam kajian ilmu alat, misalnya, kitab yang digunakan untuk tingkat dasar adalah kitab
Jurumiah, bidang fiqh digunakan kitab Taqrib atau Fath al-Qarib, dan sebagainya. Hampir di
Jawa dan Di Sumatra serta beberapa kota di pulau lainnya dalam kajian-kajian tersebut
22
menggunakan kitab yang sama, demikian hasil pengamatan Mahmud Yunus dan Karel
Steenbrink.
D. Kitab Kuning: Sebuah Pengamatan dan Kritikan
Tidak sedikit kelompok yang menempatkan kitab kuning pada posisi tinggi, hampir-
hampir ‘mensejajarkan’ dengan kitab suci dan Hadis Nabi. Pada sisi lain tidak sedikit pula
kelompok yang melakukan kritik terhadap kitab kuning. Kelompok pengkritik ini, bisa datang
dari luar pesantren maupun orang yang dalam kesehariannya terlibat dengan kitab kuning.
Memang tidak dipungkiri bahwa titik essensi dan sumber pokok dari diskursus kitab
kuning sebagai literatur keagamaan Islam tidak bisa tidak adalah wahyu Allah yang disampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW sehingga berwujud al-Qur’an. Essensi dan sumber pokok ini
kemudian dilengkapi dengan sumber kedua: Sunnah atau Hadis Rasulullah SAW. Akan tetapi,
terlihat bahwa al-Qur’an dan Hadis bukan satu-satunya sumber bagi diskurus kitab kuning, akal
pun dalam batas-batas tertentu juga memainkan peran dalam menafsirkan, menperjelas,
mengembangkan dan merinci apa yang diperoleh melalui wahyu. Pada tataran ini, hasil ijtihad
boleh jadi benar atau salah, dan dapat berbeda antara ijtihad ulama satu dengan lainnya.
Penulisan kitab kuning, pada beberapa kasus mengacu pada para ulama yang mempunyai
otoritas dalam bidangnya.
Kitab kuning dalam kurun waktu yang panjang telah menjadi rujukan utama dan menjadi
pedoman berpikir dan bertingkah laku. Menurut masyarakat pesantren merupakan formulasi final
dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia ditulis oleh para ulama dengan kualifikasi
ganda, keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Ia ditulis dengan mata pena atau jari-jari
yang bercahaya. Oleh karena itu, ia dipandang hampir-hampir tidak memiliki cacat dan sulit
23
untuk mengkritiknya.
Apabila dikaji lebih jauh, dengan kosep keilmuan yang menggunakan paradigma
sebagaimana tersebut di atas, maka hal ini tidak terlepas dari pemahaman di kalangan pesantren
22
Mahmud Yunus, op cit., hal. 230
23
Husain Muhammad, ‘Koontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran’
dalam Marzuki Wahid,dkk (ed.), op. Cit. hal. 270
terhadap kitab Ta’lim Muta’alim karya al-Zarnuji yang digunakan pada hampir seluruh pesantren
di Nusantara. Konsep tersebut sejalan dengan paham Asy’ari dan terjalin erat dengan konsep
pemikiran al-Ghazali. Jika ilmu adalah dari Tuhan, maka yang mesti dilakukan oleh seseorang
untuk memperoleh ilmu adalah dengan menyediakan kondisi spiritual yang kodusif bagi
anugerah itu melalui riyadhah (latihan ruhaniyah) secara intensif dan benar. Latihan secara
intensif biasanya dilakukan dengan mejalankan amalan-amalan, seperti: puasa Senin-Kamis,
puasa mutih, puasa Daud, puasa 40 hari berturut-turut, puasa ngebleng, puasa dengan tidak
makan makanan dari daging/vegetarian, dan seterusnya. Sementara, agar jalan yang ditempuhnya
benar, tepat arah dan tidak tersesat, maka diupayakan dengan memperbanyak dzikir. Karena ilmu
diianggap sebagai sesuatu ‘yang sudah jadi’ dari Tuhan, maka konsep belajar di pesantren lebih
mementingkan peranan mendengar (sam’) dan menghafal (hifdh), dibanding dengan mengamati
24
(ru’ya) dan menalar (ra’yu).
Oleh karena itu, maka terdapat etika dalam membaca kitab kuning, antara lain: sebelum
membahas kitab terlebih dahulu dibacakan do’a (biasanya membaca surat al-Fatihah) untuk
mushannif (pengarang kitab), dengan satu harapan akan mendapatkan manfaat ilmu yang akan
dipelajari dari kitab tersebut. Demikian juga ketika kajian tentang kitab tersebut telah tamat
(berakhir). Dibacakan doa dengan harapan yang sama, yang biasanya dipimpin oleh kyai/ustad
yang mengajarkan kitab tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas—kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan kitab kuning di
pesantren—adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Tholhah Hasan yang menyebutkan tiga
permasalahan pokok, yaitu:
1. Dalam segala orientasi keilmuan, pesantren masih menitikberatkan kajiannya terhadap ilmu-
ilmu terapan, seperti fiqh, tasawuf, dan ilmu alat. Sedangkan pengajaran ilmu-ilmu yang
menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran, seperti: logika, fiilsafat,
sejarah, tafsir al-Qur’an, Tarikh Tasyri’, Qawaidul Ahkam, Muqaranah al-Madzahib, dan
sebagaimana masih terbatas. Selayaknya, jika pesantren tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu
terapan, khususnya bagi para santri senior, yang telah menguasai kitab-kitab dasar.
2. Metode pengajaran di pesantren yang diikenal dengan istilah sorogan dan
wetonan/bandongan atau khataman. Santri bebas mengikuti pengajian atau tidak, pengajaran

Masdar Farid Mas’di, ‘Problem Keilmuan di Dunia Pesantren, dalam Dinamika Pesatren,
24

Syaifullah Ma’sum (ed.), (Jakarta: Yayasan Islam al-Hamidiyah dan Yayasan Syaifuddin Zuhri, cet. I, 1998),
hal. 53
tidak diatur dalam silabus yang terprogram. Pada umumnya proses belajar mengajar
berlangsung satu jalur dengan menterjemahkan secara harfiyah, dengan bahasa yang seakan
baku dan menimbulkan kesan sakralisasi bahasa. Metode demikian diterapkan untuk
berbagai tingkatan. Belajar dengan satu arah ini semakin menguatkan paham bahwa ilmu
adalah ‘given’, datang dari Tuhan yang bersifat esoteris.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan konsep belajar untuk mencari berkah (ngalap
barokah) yang sangat dominan di pesantren. Terlepas dari sisi positifnya, sisi negatif dari
pandangan demikian adalah tidak adanya penolakan terhadap isi suatu kitab. Dengan kata
lain kemungkinan munculnya kritikan akan tertutup, padahal kitab-kitab tersebut merupakan
hasil ijtihad para ulama, yang—boleh jadi—terdapat kekeliruan. Dengan demikian, tidak
semua pernyataan yang ada dalam kitab kuning adalah harga mati, yang tidak bisa diganggu
gugat.
Masih dalam kaitan dengan sistem pendidikan pesantren yang menggunakan kitab kuning
sebagai kurikulum, maka persoalan yang perlu diikaji lebih lanjut adalah tidak adanya ujian.
Memang cara demikian mempunyai nilai positif, sebab para santri belajar bukan untuk
mengejar ijasah, akan tetapi lebih pada mencari ilmu untuk bekal di kemudian hari dengan
penuh keikhlasan.
3. Kurikulum dan materi pengajaran yang belum dibakukan, membuat masing-masing
pesantren mempunyai pilihannya sendiri-sendiri. Kurikulum yang ada biasanya disominasi
oleh fiqh, ilmu alat dan tasawuf. Untuk materi sejarah, misalnya, hanya terbatas pada Sirah
Nabawiyyah, dan paling banter sejarah ketokohan Khulafa’ al-Rasyidin, sementara sejarah
puncak kejayaan Abbasiyah, tidak tercover dalam kurikulum pesantren. Padahal pada masa
dinasti Abbasiyah boleh disebut sebagai masa kejayaan Islam, dengan perkembangan ilmu
dalam berbagai bidang. Demikian halnya dengan pembahasan fiqh, hanya mengacu pada
satu madzhb Syafi’I. Perlu diperkenalkan dalam ppesantren, khususnya untuk tingkat
aliyah, madzhab-madzhab lain sebagai perbandingan.
Demikianlah beberapa pemasahan seputar kurikulum pesantren, lengkap dengan kritikan
dan sanjungan.
Kata Akhir
Terbukti bahwa pendidikan pesantren—sebagai suatu sistem pendidikan asli Indonesia—
mampu memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi umat Islam di Indonesia. Pesantren—
dengan kurikulum kitab kuning—telah mampu mengantarkan para santrinya untuk menjadi
anggota masyarakat yang mulia, tdak hanya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, akan tetapi
juga terhormat di hadapan sesama umat. Kekhasan pesantren dengan kitab kuning sebagai
kurikulum perlu dipertahankan dengan beberapa catatan. Catatan tersebut antara lain: orientasi
keilmuan, yang tidak hanya mengacu pada ilmu terapan, akan tetapi juga dalam pengajaran ilmu-
ilmu yang menyangkut pengembangan wawasan dan ketajaman penalaran; metode, lebih
dikembangkan, tidak hanya one way coommunication—komunikasi satu arah—akan tetapi perlu
juga diterapkan metode yang lebih melibatkan santri dalam proses pengajaran; pengembangan
materi, tidak hanya mengkaji satu madzhab, akan tetapi perlu juga dikenalkan dan bahkan dikaji
beberapa madzhab lainnya sebagai perbandingan. Perlu juga dilakukan sebuah kontekstualisasi
pemahaman kitab kuning, sehingga ia akan relevan dengan perkembangan jaman.

Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid, ‘Pesantren sebagai Sub Kultur’ dalam Dawam Rahardjo, (Jakarta: LP3ES,
cet. II, 1988)
A. Chozen Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989
Affandi Mukhtar, Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum, dalam Marzuki Wahid, dkk
(ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (
Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 1999)
Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban, dalam jurnal Pasatren, No. I, Vol. VI, 1989
A. Malik Madany, ‘Posisi Kitab Kuning dalam Khasanah Keilmua Islam, dalam jurnal
Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta:
Logos, cet. I, 1999)
--------------------, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung:
RosdaKarya, cet. I, 1999)
Ensiklopedi Hukum Islam III, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, cet.II, 1999)
Husain Muhammad, ‘Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran’
dalam Marzuki Wahid, dkk (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, ( Bandung: Pustaka Hidayah, cet. I, 1999)
Jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989
Karel Steebrink, Beberapa tentang Aspek Islam di Indonesia Abad kee-19, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984)
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam diIndonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986)
M. Habib Chirzin, ‘Ilmu dan Agama dalam Pesantren’, dalam Pesantren dan Pembaharuan,
Dawam Rahardjo (ed.), (Jakarta: LP3ES, cet. II, 1988)
Manfred Ziamek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, cet. I, 1986)
Martin, Martin Van Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, cet. III,
1999)

Anda mungkin juga menyukai