Anda di halaman 1dari 16

MAHABBAH DAN ILAHIYAH DALAM TASAWUF

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

AKHLAK TASAWUF

Dosen Pengampu :

Roudhotun Ni'mah M.Pd

Tim Penyusun :

Ulil Azmiyah (220301045)


Ainur Rohmah (220301040)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA' SUNAN GIRI BOJONEGORO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat-Nya


sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul ‘mahabbah dan ilahiyyah
dalam tasawuf’’ dengan tepat waktu.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang terlibat dalam


pembuatan makalah ini hingga terselesaikan. Makalah ini kami buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf. Kami berharap semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Kami sadar sepenuhnya jika makalah ini masih ada kekurangan baik dari
segi susunan maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami berharap kepada
dosen pengampu dapat memberikan masukan agar kami dapat memperbaiki
pembuatan makalah kami di masa mendatang. Kami juga mengharapkan kritik
dan saran dari para pembaca.

Bojonegoro, 25 September 2023

Penyusun

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
i

DAFTAR ISI
ii

BAB I PENDAHULUAN
1

A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
1
C. Tujuan
1

BAB II PEMBAHASAN
3

A. Pengertian dan Tujuan Mahabbah dalam Tasawuf


3
B. Kedudukan Mahabbah dalam Tasawuf
5
C. Alat untuk Mencapai Mahabbah
7
D. Tokoh yang Mengembangkan Doktrin Mahabbah dalam Tasawuf
1

BAB III KESIMPULAN


1DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu islam yang menekankan
aspek spiritual dan kerohanian. Tasawuf bertujuan untuk mendekatkan
diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan
mata hati. Banyak sekali paham yang merupakan cabang dari ilmu
tasawuf yang dijalankan dan dikemukakan oleh kaum sufi, dan
diantaranya adalah mahabbah dan ma’rifat. Mahabbah adalah cinta atau
cinta yang luhur kepada Tuhan yang suci dan tanpa syarat. Sedangkan
ma’rifat ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam
kajian ilmu tasawuf, ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dan dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang mahabbah dan
ilahiyyah beserta tujuan, kedudukan mahabbah dan ilahiyyah.
Dimensi Ilahiyah Allah swt menciptakan syari’at atau aturan yang
dilengkapi dengan bahan baku dan infrastrukturnya. Apa yang disyari’at
tidaklah menjadi beban yang manusia tidak sanggup memikulnya, justru
sebaliknya untuk membawa kemaslahatan manusia. Hanya saja tidak
semua manusia memahami dengan baik. Maksudnya terdapat diantara
mereka memahami sebagaibeban yang berat dan menjadi penghambat
beraktivitas. Pada prinsipnya ajaran Islam khususnya yang dikemsebagai
dalam sistematika hukum Adalah lama terbagi dalam duabagian besar
yaituibadahdan muamalah. Ibadah substansinya berkenaan hubungan
manusiadenganAllah SWT.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan tujuan mahabbah dalam tasawuf?
2. Bagaimana Kedudukan mahabbah dalam tasawuf?
3. Apa alat untuk mencapai mahabbah?
4. Siapa saja tokoh-tokoh yang mengembangkan doktrin mahabbah
dalam tasawuf?
5. Bagaimana dimensi Ilahiyyah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mahabbah dalam tasawuf.
2. Untuk mengetahui kedudukan mahabbah dalam tasawuf.
3. Untuk mengetahui alat untuk mencapai mahabbah .
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang mengembangkan doktrin
mahabbah dalam tasawuf.
5. Mengetahui dimensi Ilahiyyah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tujuan Mahabbah dalam Tasawuf


1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah secara bahasa berarti cinta. Hal ini mengandung
maksud cinta kepada Allah. Sedangkan menurut pendapat dari
sebagian sufi, cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang
diinginkan serta disenanginya. Menurut Al-Ghazali, cinta adalah suatu
kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat.1
Mahabbah adalah ajaran tasawuf Rabiah al-Adawiyah yang
menekankan perasaan cinta kepada Allah sedalam-dalamnya.
Pengertian cinta menurut Rabiah al-Adawiyah adalah sebagai berikut :
a. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya.
b. Berserah diri kepada Tuhan.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari Zat yang
dikasihi.2

Menurut Zunnu al Misry, mahabbah adalah mencintai apa yang


dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, mengerjakanapa
yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan segala sesuatu yang akan
membuat kita jauh dari Allah, tidak takut pada apapun selain Allah,
bersifat lembut terhadap saudara dan bersifat keras terhadap
musuh-musuh Allah, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal.3

Ajaran mahabbah ini berusaha mengosongkan hati dan otak dari


segala sesuatu agar mudah dan langsung menuju Allah. Meninggalkan
kenikmatan dunia demi menuju kenikmatan akhirat. Tujuan

1
Ali mas’ud, Akhlak Tasawuf, (Bojonegoro : UIN Sunan Ampel Press, 2014), 142
2
A. Mustofa, Akhlak – Tasawuf, (Bojonegoro :a, 1999), 240.
3
Ibid, 143

3
4

mahabbah adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit


dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dirasakan oleh jiwa.

2. Pengertian Dimensi Ilahiyyah


Dimensi ilahiyyah adalah ada aturan hokum yang diciptakan oleh
Alllah Swt, kemudian memahami dan mengimplementasikannya
dalam kehidupan manusia itulah wujud dari dimensi insani. Llah swt
adalah segala-galanya. Dia yang menguasai segala yang ada, yang lahir
dan yang gaib.
Allah menciptakan syariat atau aturan yang dilengkapi dengan bahan
baku dan infrastrukturnya. Apa yang disyari’at kan itu tidaklah menjadi
beban yang manusia tidak dapat memikulnya tepatnya sebaliknya
untuk membawa kemaslahatan manusia, hanya saja tidak semua
manusia memahami dengan baik. Maksudnya terdapat diantara
mereka memahami sebagai beban yang berat dan menjadi
penghambat beraktivitas. Pada Prinsipnya ajaran islam khususnya
yang dalam sistematika hukum adalah terbagi dua bagian besar yaitu
ibadah dan muamalat. Menurut kamus istilah fiqhi, ibadah yaitu
memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala
perintahnya dan anjurannya ,serta menjauh segala larangannya
karena Allah semata, baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan
maupun perbuatan.
Sedangkan muamalah adalah hubungan antar manusia, hubungan
sosial, atau hablum minannas. Dalam syariat Islam hubungan antar
manusia tidak dirinci jenisnya, tetapi diserahkan kepada manusia
mengenai bentuknya.

B. Kedudukan Mahabbah dalam Tasawuf

Al-mahabbah dapat berarti kecenderungan pada sesuatu yang


5

sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat


material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada
sesuatu yang dicintainya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan. Kata mahabbah selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu
paham atau aliran dalam tasawuf. Mahabbah obyeknya lebih ditujukan
pada Tuhan. Jadi, Mahabbah artinya kecintaan yang mendalam secara
ruhiah pada Tuhan.
Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
a. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir,
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan serta
senantiasa memuji Tuhan.
b. Cinta orang yang siddiq (‫)الصديق‬, yaitu orang yang kenal kepada
Tuhan, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, dan lain-lain
yang mana hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan
selalu rindu pada-Nya.
c. Cinta orang yang ‘arif (‫)العارف‬, yaitu orang yang tahu betul pada
Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
damai. 4
C. Alat untuk Mencapai Mahabbah
1. Alat untuk mencapai ma’rifat
Para ahli tasawuf mengungkapkan bahwa alat untuk mencapai
mahabbah yaitu, menggunakan pendekatan psikologi untuk melihat
adanya potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia. Harun
Nasution mengatakan alat untuk mencapai ma’rifat oleh sufi disebut
sir. Harun Nasution mengutip pendapat dari al-Qusyairi, ada 3 macam
alat yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu:

4
Yesti Jasmine, MAHABBAH MENURUT KONSEP TASAWUF, dalam
http://yestijasmine.blogspot.com/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html, di akses
pada tanggal 25 September 2023 ukul 21:44
6

a. Al-Qalb, yaitu hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahui


sifat-sifat Tuhan.
b. Roh, yaitu alat untuk mencintai Tuhan.
c. Sir, yaitu alat untuk melihat Tuhan
Sir lebih halus daripada roh, dan roh lebih halus dari qalb. Sir
bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb. Sir timbul dan dapat
menerima iluminasi dari Allah, qalb dan roh telah suci dan kosong
atau tidak berisi apapun5.
Dalam keterangan diatas, dapat diketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah membersihkan dari
dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan terhadap segala
sesuatu, sehingga hanya berisi cinta kepada Tuhan. Roh yang
digunakan untuk mencintai Tuhan sebenarnya telah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak dalam kandungan berumur empat
bulan. Manusia tidak mengatahui sebenarnya hakikat roh itu, yang
mengetahuinya hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
‫مْر َربِّى َو َمٓا ُأوتِي ُتم م َِّن ْٱلع ِْلم ِإاَّل َقلِياًل‬‫َأ‬
ِ ْ‫وح ۖ قُ ِل ٱلرُّ و ُح ِمن‬ َ ‫َو َيسْ ـَٔلُو َن‬
ِ ِ ُّ‫ك َع ِن ٱلر‬
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan
melainkan sedikit".
Rasulullah SAW. Juga bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh
imam Bukhari dan Muslim, yang artinya: “sesungguhnya manusia
dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat
puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal darah), kemudian menjadi
alaqah (segumpal daging) juga pada waktu empat puluh hari,
kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang terlah
berbentuk) pada waktu empat puluh hari juga, kemudian Allah
mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya”.

5
7

Sedangkan berdasarkan pengalaman rohaniah yang dilakukan oleh


Rabi’ah al-Adawiyah dalam menggapai Al-Mahabbah, terdapat
beberapa cara sebagai jembatan yang dapat mengantarkan sesorang
menuju tingkatan tersebut, yaitu:
a. Bangun di waktu malam
Rabi’ah telah menepati janjinya kepada Allah, ia selalu
dalam keadaan beribadah kepada Allah sampai menghembuskan
nafas terakhirnya. Bahkan ia selalu melaksanakan sholat tahajjud
di malam hari. Dengan amal ibadanya, wajah Rabi’ah al-adawiyah
besinar, dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah ia
mendapatkan limpahan cahaya dari Illahi. Pada hakikatnya cahaya
wajah orang yang taat beribadah adalah, cahaya Allah yang wujud
padanya meliputi langit dan bumi serta segala isinya.
b. Perawan selama hidup
Rabi’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidupnya dengan
cara zuhud dan beribadah kepada Allah. Ia seumur hidup tak
pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan
menarik, ia juga cedas dan luas ilmunya. Ia sadar bahwa
perkawinan adalah perintah agama, dan ada salah satu sahabat
bertanya kepada Rabi’ah. Mengapa anda tidak mau menikah?
Rabi’ah mempunyai tiga alasan, bila ada orang yang bisa
menghilangkan keprihatinannya maka ia akan menikah
dengannya. Kemudian ia mengemukakan tiga masalah tersebut;
pertama, apabila aku meinggal dunia, maka aku akan menghadap
Tuhanku, apakah dalam keadaan beriman atau suci?, kedua,
apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan
ku?, ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang-orang dari
kelompok kanan telah masuk surga dan kelompok kiri masuk
neraka. Maka dalam kelompok manakah aku?. Kemudian orang
8

itu menjawab: “aku tidak tahu apa-apa tentang pertanyaanmu itu,


masalah itu yang mengetahui hanya Allah SWT. Rabi’ah berkata:
jika demikian aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin.
Bagaimana aku bisa berumah tangga. Alasan Rabi’ah tersebut
menggambarkan kecintaannya kepada Allah.
c. Meningkatkan kesucian jiwa
Rabi’ah al-Adawiyah berhasil mencapai kesucian jiwa
dengan cara mengumpulkan ilmu pengethuan, jiwa dan watak.
Penerapan sikap zuhud dalam kehidupan dunia telah
menyebabkan kemurnian cintanya kepada Allah semakin besar.
Bukti zuhudnya, dapat dilihat dari suatu riwayat yang
menceritakan bahwa suatu hari pencuri itu tidak mendapatkan
apa-apa di rumahnya kecuali sebuah kendi, ketika pencuri itu mau
keluar, Rabi’ah menegurnya: “jika engkau seorang yang cerdas,
maka engkau jangan keluar dengan tangan kosong”. Pencuri itu
menjawab: “aku tidak menemukan apa-apa”. Rabi’ah berkata:
“sayang sekali berwudhulah dengan air kendi ini, lalu masuklah ke
kamar ini dan lakukan lah sholat dua rakaat, maka engkau akan
keluar membawa sesuatu. Pencuri itu melakukan apa yang
diperintahkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Ketika sedang melakukan
sholat, Rabi’ah menengadahkan kepalanya ke langit sambil
berdo’a: ya Allah, orang ini telah datang ke rumahku, tetapi ia
tidak mendapatkan apa-apa dirumahku, karena itu janganlah
Engkau biarkan pergi dengan tangan hampa tanpa mendapatkan
karunia dan pahala dari-MU. Dari cerita di atas dapat kita ketahui
kesederhanaan, kesabaran Rabi’ah al-Adawiyah, dan manjadi
tujuan hidupnya adalah keridhaan Allah semata.
9

Abbasiyah, memerintah tahun 232 H/ 847 M). Zun Nun dipenjara


selama 40 hari, konon ketika wafatnya tahun 860 M, tatkala orang
mengusung jenazahnya muncul sekawanan burung hijau yang memayungi
jenazahnya dan seluruh pengiring jenazah dengan sayap-sayap hijau
burung tersebut. Adapun Ma’rifat yang dimajukan oleh Zun Nun adalah
pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifat hanya terdapat
pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari
mereka. Pengetahuan serupa ini hanya diberikan Tuhan kepada kaum sufi.
Ma’rifat dimasukkan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh
dengan cahaya. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi
tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah
pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian
tersebut dicapai setelah seseorang sufi lebih dahulu menunjukkan
kerajinan, kepatuhan dan ketaatan mengabdikan diri sebagai hamba Allah
dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh
tubuh untuk beribadah.6
Zun Nun mengatakan bahwa pengenalan terhadap Tuhan ada tiga
tingkatan : pertama, pengetahuan umum, orang awam menganggap
bahwa Tuhan itu satu dengan perantara syahadat. Kedua, Pengetahuan
utama yaitu mereka menganggap bahwa Tuhan satu menurut akal. Ketiga,
pengetahuan kaum sufi bahwa Tuhan itu satu dengan perantara qalbu.
Menurut pemahaman orang awam dan pengetahuan orang alim tentang
Tuhan belum mencapai hakikatnya. Sehingga kedua pengetahuan atau
pemahaman tersebut baru disebut ‘’ilmu’’ bukan sebagai ma’rifat. Akan
tetapi, yang disebut pemahaman atau pengetahuan tentang ma’rifat

6
Ali Mas’ud, Akhlak………., 166-168.
10

adalah menurut pandangan kaum sufi karena mereka melihat Tuhan


melalui hati sanubarinya dan seluruh hatinya bercahaya.7

7
Muhammad Abdurrahman, Akhlak Menjadi………., 281.
BAB III
KESIMPULAN

Mahabbah secara bahasa berarti cinta. Hal ini mengandung maksud cinta
kepada Allah. Sedangkan menurut pendapat dari sebagian sufi, cinta adalah
kecenderungan hati kepada sesuatu yang diinginkan serta disenanginya. Ma`rifat
berasal dari kata "arafah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan
apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma`rifat berarti
mengenal Allah ketika shufi mencapai maqam dalam tasawuf.

Para ahli tasawuf mengungkapkan bahwa alat untuk mencapai mahabbah


yaitu, menggunakan pendekatan psikologi untuk melihat adanya potensi
rohaniah yang ada dalam diri manusia. Dzunun Al-Mishiriy yang mengatakan, alat
untuk mencapai ma’rifat ada 3 macam, yaitu: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan
ruh.

Dimensi Ilahi bersifat mutlak, artinya apa yang disyari’atkan oleh allah
selain diyakini keberadaan nya sebagai hal yang mutlak dan wajib dilaksanakan,
juga tujuannya dipastikan ada untuk kemaslahatan manusia yang tidak diragukan
dan tidak dipertanyakan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Muhammad. Akhlak Menjadi Seorang Muslim Berakhlak Mulia.


Jakarta : Rajawali Pers, 2016.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulum ad-Din . Beirut: Maktabah Dar al-Kutub al-Arabiyah, tt.

Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin.terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Mizan, 1997.


AIN Sumatra Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf . Sumatra Utara: 1983/1984.

Jasmine Yestie, dalam http://yestijasmine.blogspot.com/2014/01/mahabbah


menurut-konsep-tasawuf.html.

Kartanegara Mulyhadi. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta : Penerbit Erlangga,


2006.

Mas’ud Ali. Akhlak Tasawuf. Surabaya : UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Mustofa A. Akhlak – Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.

Siregar Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada, 2002.

Wasalmi, ‘’Mahabbah dalam Tasawuf Rabiah al-Adawiyah’’. Sulesana, Vol. 9,


No. 2, 2014.

Anda mungkin juga menyukai