Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HADIST-HADIST TENTANG MAHABBAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hadist-Hadist Sufistik

Dosen Pengampu : Ulin Niam Masruri, MA

Disusun Oleh :

1. Ifa Lathifatunnisaa (2104046021)


2. Diva Adeliana (2104046081)
3. Nadia Muna Erliza (2104046089)
4. Ana Alfiana (2104046071)

Program Studi Tasawuf dan Psikoterapi

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Tahun Akademik 2022/2023


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Makalah Hadist-
Hadist Tentang Ridho.

Makalah ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik dan lancar berkat bantuan dari
berbagai pihak, baik dari pembimbing materi maupun teknis. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Ulin Niam Masruri, MA

2. Anggota kelompok 9 mata kuliah Hadits-hadits Sufistik

3. Tim terkait mengenai buku referensi

Penyusunan yang bersifat rekonstruktif pada makalah ini belum pada taraf optimal dari
segi isi maupun bentuk. Tentu perlu kritik yang konstruktif dari pembaca budiman demi
penyusunan dan pengoptimalisasi makalah ini.

Atas saran dan kritik terhadap makalah ini, penyusun sampaikan terima kasih dan
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi seluruh pembaca. Aamiin.

Semarang, 19 Oktober 2022

Penyusun

PAGE \* MERGEFORMAT 5
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2

A. Pengertian Mahabbah.................................................................................................2
B. Hadist-Hadist Tentang Mahabbah.............................................................................3
C. Cara Mencapai Mahabbah kepada Allah...................................................................5
D. Tingkatan Mahabbah.................................................................................................6

BAB III PENUTUP..............................................................................................................8

A. Simpulan....................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................10

PAGE \* MERGEFORMAT 5
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mahabbah adalah konsep tasawuf yang pertama kali dikenalkan oleh Rabiatul
Adawiyah. Konsep ini kemudian dikenal dengan nama mahabbatullah yang artinya
kecintaan kepada Allah.
Mahabbah mengajarkan manusia akan rasa cinta kepada Allah Swt dan
makhluk-Nya. Dengan ini, manusia akan meraih ridho Allah dan ditempatkan ke
dalam surga. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang konsep mahabbah
lengkap dengan penerapannya dalam kehidupan umat Islam.
Jika dilihat secara umum, konsep mahabbah ini sebenarnya tidak terbatas pada
kecintaan kepada Allah saja. Tapi lebih luas, konsep ini bisa berlaku bagi semua
makhluk. Contohnya kecintaan seorang Muslim kepada orangtuanya, kepada
pasangan halalnya, hewan peliharaannya dan lain-lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa arti dari Mahabbah dan bagaimana tanda-tandanya?
2. Bagaimana cara mencapai Mahabbah?
3. Apa saja hadist yang menjelaskan tentang Mahabbah?
4. Apa saja tingkatan Mahabbah menurut Imam Al-Ghazali?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui arti Mahabbah dan tanda-tandanya
2. Untuk mengetahui bagaimana cara mencapai Mahabbah
3. Untuk mengetahui hadist yang menjelaskan tentang Mahabbah
4. Untuk mengetahui tingkatan Mahabbah

PAGE \* MERGEFORMAT 5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahabbah
Secara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ‫ حب‬yang mempunyai
arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta. Dalam bahasa
Indonesia kata cinta, berarti: a) suka sekali, sayang sekali, b) kasih sekali, c) ingin sekali,
berharap sekali, rindu, makin ditindas makin terasa betapa rindunya, dan d) susah hati
(khawatir) tiada terperikan lagi.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan
keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian
khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan bersatu dengannya, sekalipun
dengan pengorbanan. Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di
kalangan ulama.
Pendapat teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a)
keredaan Tuhan yang diberikan kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan
Tuhan, dan c) perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian
tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa
ada mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada
Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Gazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati kepada
sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh al-Gazali adalah kecenderungan kepada Tuhan
karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada
Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada
kaitannya dengan mahabbahkepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena
hanya Allah yang berhak dicintai.”

Sementara itu, Harun Nasution (w.1998 M) mengemukakan bahwa mahabbahmempunyai


beberapa pengertian:

1)Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya.


2)Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3)Mengosongkan hati dari segala-galnya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud
dengan kekasih ialah Allah.

Pengertian tersebut di atas sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam


pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian,
bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok
awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama. Sejalan dengan itu, al-Sarraj
(w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:

PAGE \* MERGEFORMAT 5
a. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.
b. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir
yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan denagn demikian dapat melihat
rahasia-rahasia pada Tuhan
c. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan
lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam
ciri yang mencintai.

Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta


atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbahpada dasarnya merupakan sebuah
sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah
satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam.
Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya
dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada
kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral. Hanya saja dalam perjalanan
sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok
pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kea rah idealism
emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbahadalah satu
istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya
maupun dalam pengertiannya.
Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati,
sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta.
Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang
tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam,
sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”.
Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat
kepada Tuhan. Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela
mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya.
Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan
diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu
Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi
bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara
pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi

B. Hadits-hadits tentang Mahabbah

‫َع ْن ُع َباَد َة ْبِن الَّصاِمِت َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َم ْن َأَح َّب ِلَقاَء ِهَّللا َأَح َّب ُهَّللا ِلَقاَءُه َو َم ْن َك ِر َه‬
‫ِلَقاَء ِهَّللا َك ِر َه ُهَّللا ِلَقاَءُه َقاَلْت َعاِئَش ُة َأْو َبْعُض َأْز َو اِج ِه ِإَّنا َلَنْك َر ُه اْلَم ْو َت َقاَل َلْيَس َذ اِك َو َلِكَّن اْلُم ْؤ ِم َن ِإَذ ا‬
‫َحَض َر ُه اْلَم ْو ُت ُبِّش َر ِبِرْض َو اِن ِهَّللا َو َك َر اَم ِتِه َفَلْيَس َش ْي ٌء َأَح َّب ِإَلْيِه ِمَّم ا َأَم اَم ُه َفَأَح َّب ِلَقاَء ِهَّللا َو َأَح َّب ُهَّللا‬

PAGE \* MERGEFORMAT 5
‫ِلَقاَءُه َو ِإَّن اْلَك اِفَر ِإَذ ا ُح ِض َر ُبِّش َر ِبَع َذ اِب ِهَّللا َو ُع ُقوَبِتِه َفَلْيَس َش ْي ٌء َأْك َر َه ِإَلْيِه ِمَّم ا َأَم اَم ُه َك ِر َه ِلَقاَء ِهَّللا‬
‫َو َك ِر َه ُهَّللا ِلَقاَءُه اْخ َتَص َر ُه َأُبو َداُوَد َو َع ْم ٌرو َع ْن ُش ْع َبَة َو َقاَل َسِع يٌد َع ْن َقَتاَد َة َع ْن ُز َر اَر َة َع ْن َس ْع ٍد َع ْن‬

‫َعاِئَش َة َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬


Artinya :

Dari Ubadah bin Shamit dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, bersabda:
"Barangsiapa Mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan
dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga
membenci perjumpaan dengannya." Kontan Aisyah atau sebagian isteri beliau berkomentar
kami juga cemas terhadap kematian! Nabi lantas bersabda: "Bukan begitu maksudnya, namun
maksud yang benar, seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira
dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tak ada sesuatu apapun yang lebih ia
cintai daripada apa yang dihadapannya, sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun
mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia
diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia
cemaskan daripada apa yang di hadapannya, ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah
pun membenci berjumpa dengannya." Abu Daud dan Amru meringkasnya dari Syubah dan
Said mengatakan dari Qatadah dari Zurarah dari Sad dari Aisyah dari Nabi shallallahu alaihi
wasallam. (HR. Bukhari) [No. 6507 Fathul Bari] Shahih.

Dan di dalam hadits lain :

‫َع ْن َأِبي ُم وَس ى َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َم ْن َأَح َّب ِلَقاَء ِهَّللا َأَح َّب ُهَّللا ِلَقاَءُه َو َم ْن َك ِر َه ِلَقاَء ِهَّللا َك ِر َه ُهَّللا‬
‫ِلَقاَءُه‬
Artinya:

Dari Abu Musa dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: "barangsiapa
yang mencintai berjumpa Allah, Allah mencintai berjumpa kepadanya, sebaliknya siapa yang
membenci berjumpa dengan Allah, Allah pun membenci berjumpa dengannya. (HR. Bukhari)
[No. 6508 Fathul Bari] Shahih.

Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu
Syaibah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Najih, dari Ibnu Amir, dari
Abdullah ibnu Amr yang meriwayatkan hadis ini:

PAGE \* MERGEFORMAT 5
‫مْن َلْم َيْر َحْم َص ِغ يَر َنا َو َيْع ِرْف َح َّق َك ِبيِر َنا َفَلْيَس ِم َّنا‬

Artinya :

Barang siapa yang tidak menyayangi orang-orang kecil kami dan tidak menghormati
hak orang-orang besar kami, maka dia bukan dari golongan kami

Dalam hadits lain :

‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َع ْن الَّنِبِّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل ِإَذ ا َأَح َّب ُهَّللا َعْبًدا َناَدى ِج ْبِر يَل ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب ُفاَل ًنا َفَأِح َّبُه‬
‫َفُيِح ُّبُه ِج ْبِر يُل َفُيَناِد ي ِج ْبِريُل ِفي َأْهِل الَّس َم اِء ِإَّن َهَّللا ُيِح ُّب ُفاَل ًنا َفَأِح ُّبوُه َفُيِح ُّبُه َأْهُل الَّس َم اِء ُثَّم ُيوَض ُع َلُه اْلَقُبوُل‬
‫ِفي َأْهِل اَأْلْر ِض‬
Artinya :

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda: "Apabila
Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru Jibril; "Sesunggunya Allah
mencintai fulan, maka cintailah ia." Maka Jibril pun mencintai orang tersebut, lalu Jibril
menyeru kepada penghuni langit; "Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah
fulan" maka penduduk langit pun mencintai orang tersebut, hingga akhirnya ditetapkan bagi
fulan untuk diterima di bumi." (HR. Bukhari) [No. 6040 Fathul Bari] Shahih.

C. Cara Mencapai Mahabbah kepada Allah

Mengutip jurnal berjudul Al-Mahabbah dalam Pandangan Sufi oleh Rahmi Damis, ada
beberapa cara yang bisa dilakukan seorang Muslim untuk mencapai mahabbah kepada Allah.
Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Taubat
Dosa merupakan penghalang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seorang Muslim
yang hendak mencapai mahabbah dianjurkan untuk membersihkan dosanya terlebih dahulu.
Jalur pertama yang bisa ditempuh adalah dengan cara bertaubat. Taubat di sini tidak hanya
terbatas pada pelanggaran ajaran agama saja, melainkan juga taubat karena lalai mengingat
Tuhan.
Ini selaras dengan pendapat Zunun al-Misri yang membagi taubat menjadi dua bagian.
Pertama adalah taubat orang awam, yaitu taubat seseorang karena dosa-dosanya. Dan kedua
adalah taubat khawas, yaitu taubat seorang mukmin dari kelalaian mengingat Tuhannya.

PAGE \* MERGEFORMAT 5
2. Wara’
Wara’ berarti menahan dan memegang. Maksudnya, seorang Muslim harus menahan diri
agar tidak melakukan penyimpangan dan tetap memegang teguh ajaran agama, sehingga
terpelihara darinya segala macam dosa. Bagi kaum sufi, wara’ diartikan meninggalkan
yang syubhat (samar), baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.
3. Zuhud
Secara bahasa, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan. Maksudnya, seorang Muslim
harus berpaling dan meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjadi sebab lalai mengingat
Tuhan, terutama yang berhubungn dengan duniawi dan segala kemewahannya.
4. Sabar
Sabar berarti menahan dan meninggikan sesuatu. Umat Islam dianjurkan untuk menahan
diri dari segala hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, sehingga kontrol dirinya pun
semakin meningkat. Karena itu, kesabaran hal yang penting untuk mempertahahankan diri
dari lubang kemaksiatan.

D. Tingkatan Mahabbah

Dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, Imam Ghazali menjelaskan bahwa kualitas cinta
terbagi menjadi empat tingkatan:
Pertama, cinta diri (al-muhibb linafsih), yakni orang yang hanya mencintai dirinya
saja. Segala macam kebaikan, kesetiaan, pengorbanan, dan kesungguhan orang lain diukur
dengan apakah berhubungan dengan kesenangan dirinya atau tidak. Cinta model ini, Imam
Ghazali menyebutnya sebagai yang terendah kualitasnya.
Kedua, adalah cinta kepada orang baik sepanjang kebaikan orang lain itu membawa
kebaikan bagi dirinya (al-muhsin alladzi ahsanailaihi). Ia siap membayar cinta dengan cinta,
kehangatan dengan kehangatan, pemberian dengan pemberian. Sebaliknya, jika orang itu
menjadi dingin ia pun membalasnya dengan dingin, bahkan ia pun siap dengan kebencian
manakala orang itu membencinya. Kualitas cinta seperti ini tak ubahnya seperti cinta
pedagang, artinya ia siap memberi sebanding dengan apa yang ia terima, pedagang
pekerjaannya mencari keuntungan, dan kalau ia mau bersusah payah adalah karena ia
membayangkan keuntungan yang bakal diterimanya. Psikologi cinta pedagang, menurut
Ghazali, adalah terletak pada kepuasannya menerima, bukan pada memberi.

PAGE \* MERGEFORMAT 5
Ketiga, adalah cinta kepada orang baik meskipun ia tidak memperoleh apa pun dari
orang baik itu. Kualitas cinta seperti ini seperti cinta seseorang kepada Nabi Muhammad
S.A.W. atau kepada ulama terdahulu. Meski tak pernah berjumpa dengan mereka, ia
mencintainya, ingin meniru kebaikannya, mau berkorban demi ide-idenya. Bahkan ketika
mempunyai anak, ia memberi nama dengan namanya. Psikologi cinta orang seperti ini, Imam
Ghazali menjelaskan, terletak pada kepuasan memberi, bukan kepuasan menerima.
Keempat, adalah cinta kepada kebaikan, tanpa embel-embel (al ihsan mahdlah). Bagi
orang yang memiliki kualitas cinta seperti ini, kebaikan, ketulusan, kesungguhan,
pengorbanan adalah suatu nilai yang bisa berpindah-pindah. Orang memang terkadang baik,
tulus, dedikatif, tetapi suatu saat bisa berubah sebaliknya. Karena itu, orang yang memiliki
cinta kualitas tertinggi ini tidak melihat orang, tetapi sifatnya. Sebagai misal, penjahat yang
kemudian bertaubat lebih ia cintai dibanding ulama yang kemudian murtad. Ketulusan orang
kecil, lebih ia cintai dibanding kefasikan pembesar. Cinta dalam kualitas seperti inilah yang
dapat mengantar orang pada cinta kepada Tuhan, karena Tuhanlah Yang Maha Baik, Tuhan
adalah kebaikan itu sendiri.

PAGE \* MERGEFORMAT 5
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Mahabbah adalah konsep tasawuf yang pertama kali dikenalkan oleh Rabiatul
Adawiyah. Konsep ini kemudian dikenal dengan nama mahabbatullah yang artinya kecintaan
kepada Allah. Mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri,
karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu
ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan
kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut
perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi
Meskipun ada tanda-tanda yang sangat jelas itu ternyata masih ada sebagian orang
yang mencari tuhan-tuhan selain Allah untuk dijadikan sebagai tandingan Allah. Mereka
mencintai tuhan-tuhan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Tetapi cinta orang-orang
mukmin kepada Allah lebih besar daripada cinta orang-orang tersebut kepada tuhan-tuhan
sesembahan mereka. Karena orang-orang mukmin itu tidak menyekutukan Allah dengan
siapapun, dan mereka mencintai Allah di kala senang maupun susah. Sedangkan orang-orang
(musyrik) itu hanya mencintai tuhan-tuhan mereka di kala senang saja. Namun di kala susah
mereka hanya memohon kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim dengan
cara menyekutukan Allah dan melakukan keburukan itu melihat kondisi mereka di akhirat,
yaitu ketika mereka menyaksikan azab, niscaya mereka akan tahu bahwa satu-satunya
pemilik semua kekuatan adalah Allah, dan Dia Mahakeras azab-Nya bagi orang-orang yang
durhaka kepada-Nya. Sekiranya mereka melihat hal itu, niscaya mereka tidak akan
menyekutukan Allah dengan siapapun.

PAGE \* MERGEFORMAT 5
DAFTAR PUSTAKA

As Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994).


Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Proyek
Peningkatan Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta). Ensiklopedi Islam
di Indonesia (Jakarta: Anda Utama, 1993). Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Kitab al-
Luma, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah). Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn
Zakariyah, Mu’jam Maqayis al-Lugah, (Beirut: Dar al-Fikr,1991).
Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulum ad-Din.

PAGE \* MERGEFORMAT 5

Anda mungkin juga menyukai