Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

MAHABBAH

Oleh:
Ilham Tegar Sulam Jiwo (43040200064)
Saddam Naja Maulana (43040200065)
Rahma Nurhardini (43040200067)
Ahmad Zaenal Mutaqin (43040200076)
Sekar Kinanti (43040200086)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2
BAB I ......................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 4
1. Pengertian Mahabbah......................................................................................................... 4
2. Dalil Tentang Mahabbah.................................................................................................... 5
3. Hal-Hal Yang Menyebabkan Cinta Menurut Imam Al-Ghazali ........................................ 6
4. Tanda–Tanda Cinta ............................................................................................................ 7
BAB III ...................................................................................................................................... 8
KESIMPULAN .......................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 9

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh seorang hamba adalah cinta kepada Tuhannya.
Dengan adanya rasa cinta maka akan menumbuhkan rasa semangat untuk selalu beribadah
kepada-Nya. Dengan rasa cinta itu pula apapun yang diperintahkan oleh Tuhannya maka
akan dilaksanakan dengan ikhlas dan hanya mengharapkan ridha-Nya. Namun, fitrah manusia
tidak hanya diberi rasa cinta untuk mencintai Tuhannya. Manusia juga diberi rasa cinta
kepada hal lain, misalnya cinta terhadap keluarga, diri sendiri, harta, pekerjaaan, dan lain-lain
yang kemungkinan dapat menjadikan ia tersesat dan mengabaikan rasa cintanya kepada
Allah.
Rasa cinta kepada hal selain Allah ini bahkan cenderung menjerumuskan seseorang
kepada kesesatan. Maka dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana menumbuhkan rasa
cinta (mahabbah) yang sesungguhnya, agar cinta yang kita miliki tetap dalam koridor syariat
islam yang diridhai Allah serta tidak membawa kita kepada keburukan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian mahabbah?
2. Apa saja dalil-dalil tentang mahabbah?
3. Apa hal-hal yang menyebabkan cinta?
4. Apa tanda-tanda cinta?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mahabbah
2. Untuk mengetahui dali-dalil tentang mahabbah
3. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan cinta
4. Untuk mengetahui tanda-tanda cinta

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya. Cinta
adalah sumber dan ruh yang yang mendasari ajaran tasawuf. Cinta merupakan sumber
kecemerlangan islam.
Cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Jika
kecenderungan itu semakin menguat, maka namanya bukan lagi cinta, tetapi berubah menjadi
‘isyq (asyik-masyuk). Dalam definisi Al-Muhasibi, cinta diartikan sebagai “kecenderungan
hati secara total pada sesuatu; perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada dirinya
sendiri, jiwa dan harta; sikap diri dalam menerima baik secara lahiriyah maupun batiniyah
perintah dan larangannya; dan pengakuan diri akan kurangnya cinta yang diberikan
padanya.”1
Dalam pandangan Al-Junaid, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada pada
Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa
diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela
menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.”2
Kesimpulannya, cinta adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang dicintai dan disukai,
kemudian mencurahkan segenap kekuatan dan upaya untuk menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Ini adalah hal atau keadaan yang terpujidan diakui Allah.3
Pengertian mahabbah menurut para ahli:4
a. Imam Al-Ghazali
Mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud
adalah kecenderungan kepada Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang
sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah kepada Tuhan.5
b. Harun Nasution
Mahabbah mempunyai tiga pengertian:
1.Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sifat melawan pada-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang
dimaksud kekasih ialah Allah.6

1 Ibid, hlm.296
2 Al-Kalabadzi, At –Ta’aruf li Madzab Ahli At-Tashawwuf, hlm. 130
3 DR. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 141
4 DR. H. Badrudin, M. Ag. Akhlak Tasawuf, hlm. 133-135
5 Imam Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub, hlm. 26 dan 32
6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 70

4
c. Al-Sarraj
Mahabbah terbagi menjadi tiga tingkatan:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, senantiasa menyebut
nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2. Cinta orang shiddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya
tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan dengan demikian
dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3. Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicinta. Akhirnya sifat-sifat yang dicinta masuk ke dalam ciri
yang mencintai.7

2. Dalil Tentang Mahabbah


Umat Islam menyepakati bahwa cinta karena Allah dan rasul-Nya hukumnya wajib.
Lantas, mengapa manusia wajib mencintai sesuafu yangtidak disaksikannya? Mengapa cinta
diwujudkan dengan bentuk ketaatandan ketaatan dianggap sebagai buah dari cinta? Seseorang
harusmempunyai cinta terlebih dahulu, baru setelah itu ia menaati sesuatu yang dicintainya.8
Cinta kepada Allah disitir dalam ayat ayat Al Quran sebagai berikut:

a) "Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintai-Nya. " (Al-Ma'idah: 54) .

b) QS Ali Imran ayat 32 yang artinya: "Katakanlah: "Taatlah pada Allah dan Rasul-
Nya. Dan jangan kamu berpaling,maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang kafir” (Ali Imran:32)

c) QS Al Baqarah ayat 165


“Adapun orang-orang yang beiman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah:165)

Selain ayat Al-Qur'an, banyak hadits Nabi yang membicarakan masalah cinta,
diantaranya adalah:
a) "Tidaklahberiman salah seorang di antara knlian hingga aku lebih dicintainya
daripada orang-tuanya, anaknya, dan semua orang." (HR. Al-Bukhari)
b) Ketika berdoa, beliau mengatakan,
"Ya Allah, jadiknnlah cintaku pada-Mu lebih besar daripada cintaku pada diriku
sendiri,keluargaku, dan air yang dingin." (HR. At-Turmidzi)

Pada hakikatnya, tiada sesuatu yang berhak dicintai selain Allah. Demikian juga dengan
mencintai Rasulullah itu karena mencintai beliau sama dengan mencintai Allah. Sebagai
agama rahmatan lil’alamin, Islam menawarkan cinta kasih yang paripurna dan sempurna.

7 Ibid. Lihat http://ameena-faqir.blogspot.com/2012/03/makalah-ilmu-tasawuf-konsep-mahabbah.html


8 Al-Ihya’, jilid 4, hlm. 294

5
Cinta kasih juga menjadi tema sentral kitab-kitab suci, baik Al-Qur’an maupun kitab-kitab
suci sebelumnya. Berkaitan dengan mahabbah ilallah ini banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengisyaratkannya, diantaranya surat al-Baqarah ayat 165, Ali ’Imran ayat 30, dan al-
Maidah ayat 54. Secara potensi kemanusiaan, kita berkewajiban untuk mencintai Tuhan,
karena kita sangat butuh dan bergantung kepada-Nya.9

3. Hal-Hal Yang Menyebabkan Cinta Menurut Imam Al-Ghazali

Sebab pertama, cinta manusia terhadap dirinya saat ini, dan keinginan keberadaan
dirinya abadi. Sikap ini menyebabkan cinta manusia kepada Allah. Karena, barangsiapa telah
mengenal dirinya siapa, ia akan bias mengenali Allah, karena yang ada adalah dzat Allah.
Keberadaan dirinya dan keabadiannya ada karena Allah, kepada Allah, karena Allah, dan
demi Allah. Maka Allah adalah Dzat yang menciptakan (al mujid), yang membuat kekal (al
mubqi), dan yang menjaga (al hafiz) Hamba-Nya. Seorang yang arif mencintai diri dan
keberadaannya. Dia tahu dirinya karena wujudnya Dzat selain dirinya. Maka ia mencintai
Dzat yang membuat nya ada (wujud), kekal (baqa), dan seempurna (kamal). Dzat tersebut
adalah Allah yang Mahasuci. Karena cinta adalah buah dari ma’rifat. Barangsiapa mengenal
(ma’rifat) Tuhannya, maka ia akan mencintai-Nya. Tidak mungkin, hamba yang mengenal
dirinya dengan baik tidak mencintai Tuhannya yang merupakan sebab keberadaanya.10
Sebab kedua, adalah ihsan (perbuatan baik), karena manusia itu adalah hamba bagi
yang berbuat baik padanya. Jiwa manusia secara naluriah pasti mencintai seseorang yang
berbuat baik (ihsan) padanya. Hal inilah yang membuatnya mencintai Allah saja, karena ia
benar-benar tahu bahwasanya Allah-lah yang telah berbuat baik padanya. Ihsan manusia
terhadap sesamanya hanyalah bersifat kiasan, karena yang bersifat muhsin (yang berbuat
ihsan) sesungguhnya hanyalah Allah.
Sebab ketiga, cintamu kepada Dzat yang berbuat ihsan kepada dirinya sendiri,
meskipun Ihsan-nya tidak sampai kepadamu.11 Artinya mencintai karena Dzat-Nya, bukan
karena sebab lain. Cinta semacam ini menuntut untuk mencintai Allah, bahkan menuntut agar
tidak mencintai selain-Nya, karena Allah adalah Dzat yang berbuat Ihsan kepada semua
makhluk. Cinta ini adalah cinta hakiki dan abadi. Ini adalah cinta para arifin.
Sebab keempat, mencintai setiap yang indah karena keindahannya. Bukan karena
kesenangan yang diperoleh dari keindahannya itu. Cinta semacam ini menuntut mencintai

9 DR. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 142-143
10 Al-Ihya’, jilid 4, hlm. 301
11 Al-Ihya’, jilid 4, hlm. 303

6
Allah, karena Dia adalah Dzat yang Maha Indah secara mutlak, yang Maha Tunggal, yang
tiada Dzat lain yang menandingi-Nya, dan Dzat yang menjadi tempat bergantung.12

4. Tanda–Tanda Cinta
Cinta adalah ibarat pohon yang baik, akarnya kuat dan cabang – cabangnya berada di
langit, buahnya mensucikan hati, lisan, dan anggota badan. Adapun buah dari pohon cinta
adalah banyak sekali, di antaranya adalah:13
1. Senang bertemu dengan kekasih dengan cara saling membuka rahasia dan saling
melihat satu sama lain. Barangsiapa mencintai sesuatu dengan segenap hatinya, maka
ia akan senang melihat dan bertemu dengannya. Jika ia tahu bahwa dia tidak akan bisa
bertemu dengan kekasihnya kecuali dengan meninggalkan alam dunia, maka ia akan
senang jika kematian menjeputnya. Ia tidak akan lari dari kematian itu. Mengapa
demikian? Karena kematian adalah kunci yang mempertemukan dirinya dengan
kekasih dan pintu yang membuatnya mampu melihat kekasih.
2. Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya, yaitu Allah. Atas nama cinta
kepada Allah , dia rela menjalankan amal yang berat, tidak malas, dan menjauhi hawa
nafsu. Ia akan membiasakan diri menaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya
dengan ibadah-ibadah sunnah dan menjauhi maksiat, karena barangsiapa mencintai
Allah ia tidak akan berbuat maksiat terhadap-Nya.
3. Senantiasa mengucapkan dzikir dan mengigat Allah, baik dengan lidah maupun
dengan hati. Barangsiapa mencintai sesuatu, maka ia akan banyak menyebut namanya
dan segala hal yang berkaitan dengannya. Cinta pada Allah ditandai dengan banyak
menyebut nama-Nya, mencintai Al Qur’an yang merupakan ucapan-Nya, mencintai
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan segala hal yang berkaitan dengan Allah.
4. Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
5. Tidak merasa gundah jika kehilangan sesuatu selain Allah , dan merasa gundah jika
waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
6. Merasa nikmat saat menjalankan perintah Allah dan tidak menganggap perintah itu
sebagai beban yang melelahkan.
7. Menyayangi semua hamba Allah, berperilaku tegas kepada semua musuh Allah,
celaan orang lain tidak membuatnya gusar, dan kemarahannya yang dilakukan karena
Allah tidak padam karena bujukan orang lain.

12 DR. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 143-144
13 DR. Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, hlm. 144-145

7
BAB III
KESIMPULAN

Mahabbah atau cinta adalah salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya. Cinta
adalah sumber dan ruh yang yang mendasari ajaran tasawuf. Cinta merupakan sumber
kecemerlangan islam.
Cinta adalah kecenderungan hati kepada sesuatu yang menyenangkan. Jika
kecenderungan itu semakin menguat, maka namanya bukan lagi cinta, tetapi berubah menjadi
‘isyq (asyik-masyuk). Dalam definisi Al-Muhasibi, cinta diartikan sebagai “kecenderungan
hati secara total pada sesuatu; perhatian terhadapnya itu melebihi perhatian pada dirinya
sendiri, jiwa dan harta; sikap diri dalam menerima baik secara lahiriyah maupun batiniyah
perintah dan larangannya; dan pengakuandiri akan kurangnya cinta yang diberikan padanya.”
Kesimpulannya, cinta adalah kecenderungan hati pada sesuatu yang dicintai dan disukai,
kemudian mencurahkan segenap kekuatan dan upaya untuk menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Ini adalah hal atau keadaan yang terpujidan diakui Allah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, Jakarta: Kalifa,
2005
Badrudin, Akhlak Tasawuf, Cetakan II; Serang: IAIB Press, 2015

Anda mungkin juga menyukai