Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FILSAFAT MAHABBAH

Dosen Pengampu: Muhammad Zaril Gapril, M.Pd

Disusun Oleh:

ENI ARSIH

STIT PALAPA NUSANTARA

LOMBOK-NTB

TA. 2022-2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikann makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa
penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW semoga kita
mendapatkan syafaaatnya kelak. Aamiin.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka penulis menyadari
bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak kekuarangan
dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyajian materi.Untuk itu kritik
dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan
guna penyempurnaan dalam penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini dan
tugas-tugas selanjutnya.
Selebung, 28 Desember 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah........................................2
B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah..............................................................5
C. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah...............................................7
D. Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Hadis.................................................10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

3
4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cinta memiliki eksistensi yang tak diragukan lagi, dikarenakan demi cinta
seseorang dapat melupakan waktu, masalah dan hakikat hidup di dunia ini,
seakan-akan tanpa ada penawarnya cinta telah membuat semua orang buta
karenanya.
Suatu cinta bukan hanya dimiliki oleh agama lain, tetapi agama Islam juga
memiliki cinta yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Dalam
penyebarannya beliau membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam
semesta (rahmah lil ‘alamin). .
Mahabbah adalah suatu kecintaan sepenuh hati yang mendalam terhadap
Tuhan, tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah, yaitu: keikhlasan,
perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian, sehingga
tahap cinta adalah tahap tertinggi oleh seorang ahli yang menyelaminya.
Didalamnya kepuasan hati (ridho) hub (cinta) dan kerinduan (syauq).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, tujuan dan kedudukan mahabbah?
2. Bagaimana alat untuk mencapai mahabbah?
3. Siapa saja tokoh yang mengembangkan mahabbah.?       
4. Bagaimana penjelasan mahabbah dalam al-qur’an dan hadis?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian, tujuan dan kedudukan mahabbah?
2. Untuk mengetahui Bagaimana alat untuk mencapai mahabbah?
3. Untuk mengetahui siapa saja tokoh yang mengembangkan
mahabbah.?       
4. Untuk mengetahui bagaimana penjelasan mahabbah dalam al-qur’an dan
hadis?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Mahabbah


Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,mahabatan,yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang
mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan. dalam Mu’jam al-falsafi,Jamil Shabila
mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari
benci. Al-mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih
atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan
kepada sesuatu yang sedang berjalan , dengan Tujuan untuk memperoleh
kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seorang anak
pada orang tuanya maupun sebaliknya, seorang pada sahabatnya, suatu
bangsa terhadap pada tanah airnya, atau seorang pekerja kepada
pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.1
Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada
suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah
objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah
yang dikemukakan diatas, tampaknya ada juga yang cocok dengan arti
mahabbah yang di kehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya
kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf lebih lanjut dikemukakan al-
Qusyairi:

َ ‫اَ ْل َم َح َّب ُة َحا َل ٌة َش ِر ْي َف ٌة َش ِهدَ ْا‬


‫لح َّق ُسب َْحا َن ُه ِب َهال ِْل َع ْب ِد َواَ ْخ َب َر َعنْ َم َح َّب ِت ِه ل ِْل َع ْب ِد‬
ُّ‫صفُ ِبا َ َّن ُه ُيحِب‬ َ ‫ي ُْو‬ ‫صفُ ِبا َ َّن ُه ُيحِبُّ ْال َعبْدَ َو ْال َع ْب ُد‬ َ ‫َف ْال َح ُّق ُسب َْحا َن ُه ي ُْو‬
‫ْال َح َّق ُسب َْحا َن ُه‬
1 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2013), cet. XII, hlm.179.

2
Artinya: “Al-mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia
yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT., oleh hamba,
selainjutnya yang dicintai itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-
Nya dan yang seseorang hamba mencintai Allah SWT”.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang dicintai-Nya itu
selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan
kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah.
Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang
tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi,
sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat
dan ingin mendapatkan sesuatu walaupun harus mengorbankan segalanya.2
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta
dan yang dimaksud cinta ialah cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut Harun
Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara
lain yang berikut:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepadaNya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu
Tuhan.
Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj,
sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang
biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah
orang yang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir,
suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangandalam
berdialog dengan Tuhan, senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah
orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada tuhan, pada kebesaran-Nya,
pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan

2 Ibid, hlm. 180.

3
dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta
tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan
sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada
Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang yang arif adalah
cinta orang yang tahu betul pada Tuhan, Cinta serupa ini timbul karena telah
tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri
yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang
mencintai.3
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan sesuatu proses
mencintai, yakni mulai dari mengenal sidat-sifat Tuhan dengan menyebut-
Nya melalui zikir, dlanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat
Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqi) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga
tingkat ini tampaknya cinta yang tarakhirlah yang ingin dituju oleh
mahabbah.
Dari uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah
adalah sesuatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga
yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain
itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah
merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih,
perasaan takut dan sebagainya. Hal pertalian dengan maqam, karena hal
bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat
sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanan mendekati
Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan al-mahabbah Adalah
satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
kedudukannya maupun dalam pengertiannya. kalau ma’rifah adalah
merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qolb),

3 Ibid, hlm. 181.

4
maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta
(roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah SWT.
rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan
sudah sagat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah
itu maninfestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika dihubungkan dengan
tingkatan mahabbah sebagaimana dikemukakan di atas. Apa yang disebut
sebagai ma’rifah oleh al-Ghazali itu pada hakikatnya sama dengan mahabbah
tingkat kedua sebagai dikemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabbah
yang dimaksud adalah mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan
mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah.4

B. Alat Untuk Mencapai Mahabbah


Para ahli tasawuf menggunakan pendekatan psikologi untuk mencapai
mahabbah, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniah yang ada
dalam diri manusia. Harun Nasution, dalam bukunya falsafah dan mistis
dalam islam mengatakan, bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi
disebut sir (‫س ّر‬ 
ِ ). Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution
mengatakan, bahwa dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan
untuk berhubungan dengan tuhan. Pertama, al-qolb (‫ )القلب‬hati sanubari,
sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh ( ‫ )الروح‬sebagai

alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir (‫س ّر‬


ِ ), yaitu alat untuk mencintai
Tuhan. Sir lebih halus dari roh. Kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh
bertempat di qolb, dan roh lebih halus dari qolb, dan sir timbul dan dapat
menerima iluminasi dari Allah, kalau qolb dan roh telah suci sesuci-sucinya
dan kosong-sekosongnya, tidak berisi apa pun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai
Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat,

4 Ibid, hlm. 182-183.

5
serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melaikan hanya diisi
oleh cinta kepada Tuhan.
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur
empat bulan. Dengan demikian, alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah
diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang
mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman: 5

‫وح قُ ِل الرُّ و ُح ِمنْ َأمْ ِر َربِّي َو َما ُأوتِي ُت ْم م َِن ْالع ِْل ِم ِإال‬ َ ‫َو َيسْ َألُو َن‬
ِ ُّ‫ك َع ِن الر‬
)٨٥( ‫َقلِيال‬
Artinya: dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit".(QS Al-Isra’ [17]: 85).
ُ ‫َفِإ َذا َسوَّ ْي ُت ُه َو َن َف ْخ‬
َ ‫ت فِي ِه ِمنْ رُوحِي َف َقعُوا َل ُه َسا ِجد‬
)٢٩( ‫ِين‬
Artinya: Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah
meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud [796]. (QS Al-Hijr [15]: 29).
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai
penghormatan.
Selanjutnya di dalam Hadits pun diinformasikan bahwa manusia itu
diberikan roh oleh Tuhan, pada saat manusia berada dalam usia empat bulan
di dalam kandungan. Hadits tersebut selanjutnya berbunyi:

‫ ُث َّم َي ُك ْو َن‬  ‫اس يُجْ َم ُع َخ ْلقُ ُه فِى َب ْط ِن ا ُ ِّم ِه اَرْ َب ِعي َْن َي ْومًا ُن ْط َف ًة‬
َ ‫اِنَّ ال َّن‬
‫ك َف َي ْنفُ ُخ ِف ْي ِه‬ َ ‫يُرْ َس ُل ِا َل ْي ِه ْال َم َل‬ ‫م ِّْث َل َذ ل َِك ُث َّم َي ُك ْو َن مُضْ َغ ًة م ِّْث َل َذل َِك ُث َّم‬  ‫َع َل َق‬
‫الرُّ ْو ُح‬
Artinya; "Sesungguhnya manusia dilakukan pencipataannya dalam
kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpal
darah), kemudian menjadi alaqoh (segumpal daging yang menempel) pada
waktu yang juga empat puluh hari, kemudian dijadikan mudghoh (segumpal
daging yang telah berbentuk) pada waktu yang juga empat puluh hari,

5 Ibid, hlm. 183.

6
kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepada-Nya.
(HR. Bukhari-Muslim).”
Dua ayat dan satu Hadits tersebut di atas selain menginformasikan bahwa
manusia dianugerahkan roh oleh tuhan, juga menunjukkan bahwa roh itu pada
dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh yang wataknya
demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.6

C. Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah


Hampir seluruh literatur bidang tasawuf menyebutkan bahwa tokoh yang
memperkenalkan ajaran mahabbah ini adalah Rabiah al Adawiah. Hal ini
didasarkan pada ungkapan-ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia
menganut faham tersebut.
Rabiah al Adawiah adalah seorang zahid perempuan yang amad besar dari
basrah Irak ia hidup antara tahun 713-801 H. sumber lain menyebutkan
bahwa ia meninggal dunia dalam tahun 185 H/796 M. menurut riwayatnya ia
adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutnya
ia banyak beribadat, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam
kesederhanaan dan menolak segala bantuan material yang diberikan orang
kepadanya. Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta
hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan
zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.7
Ia terkenal sebagai Ulama Shufi wanita yang mempunyai banyak murid
dari kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan
menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah. Salah satu
pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan syauq yang mewarnai
kehidupannya adalah :

‫ما َ َع َب ْد ُت ُه َخ ْو ًفا ِمنْ َنا ِر ِه َواَل َطمْ عًا ِفىْ َج َّن ِت ِه َفا َ ُك ْو َن‬
‫َكاَأْل ِجي ِْرالس ُّْو ِء= َع َب ْد ُت ُه ُح ًّبا َل ُه َو َش ْو ًقا ِا َل ْي ِه‬

6 Ibid, hlm. 184.


7 Ibid, hlm. 185.

7
Artinya: Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya,
dan tidak pula tamak (untuk mendapatkan) syurga; (karena hal itu) akan
menjadikan saya seperti pencuri imbalan yang berakhlaq buruk.
(Ketahuilah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-
Nya.
Di antara ucapannya yang terkenal tentang zuhd ialah-sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub: “ Suatu ketika
aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata pada Rabi’ah:
‘Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!’ Rabi’ah menjawab: ‘Aku ini
begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana
bisa aku meminta hal itu kepada orang yang bukan Pemiliknya?”
Di antara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tenteng
konsep zuhd yang dimotivasi rasa cinta adalah: “ Wahai Tuhan! Apa pun
bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah kepada musuh-
musuhMu. Dan apa pun yang Engkau akan berikan padaku kelak di akhirat,
berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”8
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran-lamaran pria
sholih, dengan mengatakan: ”Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujud dan
luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti
maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku
sepenuhnya miliknya. Aku hidup dalam naungan firmannya. Akad nikah
mesti diminta darinya, bukan dariku”. Rabiah tenggelam dalam kesadaran
kedekatan dengan Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang
menanyakan sakitnya: “demi Allah aku tak merasa sakit, lantaran surga telah
ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku
merasa bahwa Tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang
membuatku bahagia.”
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada Tuhan, terlihat
dari ungkapan doa-doa yang disampaikannya. Ia misalnya berdoa “Ya
Tuhanku, bila aku menyembahmu lantaran aku takut kepada neraka, maka

8 http://yestijasmine.blogspot.com/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html

8
bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena
mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; Namun jika aku
menyembah-Mu demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan
abadi-Mu.9
Kecintaan Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah
terhadap Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:

‫احبك حبين حب الهوى وحب ال نك أهل لذاكا فاما الذى هو حب‬


‫انت أهل له‬ ‫عمن سواك وأما الذى‬ ‫الهوى فشغلنى بذ كرك‬
‫لى ولكن لك‬ ‫حت اراكا فال احمد فى ذاوال ذاكا‬   ‫لى الحجب‬ ‫فكشفك‬
‫احمد فى ذا و ذاكا‬
Artinya: Aku cinta Kau dengan dengan dua model cinta, Cinta rindu dan
cinta karena Kau layak dicinta. Adapun cinta rindu, karena hanya Kau
kukenang selalu bukan selainMu. Adapun cinta karena Kau layak
dicinta, karena Kau singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku. Bagiku, tidak
ada puji untuk ini dan itu. Tapi sekalian puji, hanya bagiMu selalu.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazaali mengatakan: “Barangkali yang ia
maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih
sayang, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah
menganugerahkan roh, sehuingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam
dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-
orang telah terbui dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada
waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah
meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu
mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.10

D. Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Hadis


Paham mahabbah sebagaimana disebutkan di atas mendapatkan tempat di
dalam al-Qur’an. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan

9 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2013), cet. XII, hlm.186.


10 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2013), cet. XII, hlm. 187.

9
bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat
yang berbunyi:

     ُ ‫هللا‬ َ ‫قُ ْل ِانْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب ُّْو َن‬


‫هللا َفا َّت ِبع ُْو ِنيْ يُحْ ِب ْب ُك ُم‬
Artinya: Jika kamu cinta kepada Allah, maka turutlah aku dan Allah akan
mencintai kamu. (QS. Ali ‘Imran, 3: 30)

‫َيْأ تِى هللاُ ِب َق ْو ٍم ُّي ِح ُّب ُه ْم َو ُي ِحب ُّْو َن ُه‬


Artinya: Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan
yang mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah, 5: 54).
Di dalam hadis juga dinyatakan sebagai berikut:

ُ ‫َواَل َي َزا ُل َع ْب ِد ى َي َت َقرَّ بُ ِإ َليَّ ِبا ل َّن َوا ف ِِل َح َّتى ا ُ ِح َّب ُه َو َمنْ اَحْ َب ْب ُت ُه ُك ْن‬
‫ت‬
‫صرً ا َو َي ًدا‬َ ‫ َسمْ عًا َو َب‬  ‫َل ُه‬
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-
perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga,
mata dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk bahwa
antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk
mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh
yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah
mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi
mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang
digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai
keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh.11
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mahabbah adalah mencintai secara mendalam, Kata mahabbah tersebut
selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam

11 Ibid, hlm. 187.

10
secara ruhian sepenuh hati pada Tuhan, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai
(Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata,
tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Alat untuk memperoleh ma’rifah oleh sufi disebut sir ( ‫ ّر‬Z ‫س‬ ).
ِ Dengan
mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun Nasution mengatakan, bahwa dalam
diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan
dengan tuhan. Pertama, al-qolb (‫ )القلب‬hati sanubari, sebagai alat untuk
mengetahui sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh (‫ )الروح‬sebagai alat untuk mencintai
Tuhan. Ketiga, sir (‫ ّر‬ZZZZZZZ‫)س‬,
ِ yaitu alat untuk mencintai
Tuhan.                                                            .
Rabiah al-Adawiah adalah seorang tokoh mahabbah Ia terkenal sebagai
Ulama Shufi dan seorang zahid wanita yang mempunyai banyak murid dari
kalangan wanita pula. Rabi’ah menganut ajaran zuhud dengan menonjolkan
falsafah hubb (cinta) dan syauq (rindu) kepada Allah.
Manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai
Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada
pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah
mahabbah.              .

11
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada


http://yestijasmine.blogspot.com/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-
tasawuf.html

Anda mungkin juga menyukai