Anda di halaman 1dari 17

Filsafat Sebagai Cara Berfikir

Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukan batas-


batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai,
bukan merupakan sesuatu yang secara abstrak, akan tetapi filsafat berangkat dari
realitas kehidupan sehari-hari. Filsafat dapat dicapai oleh makhluk yang berakal
(manusia) yang ingin memahami diri sendiri dan dunainya. Kemudian hasil dari
filsafat adalah cara berfikir yang mendalam dan tepat tentang kehidupan.
Sehingga filsafat dapat dianggap sebagai berfikir atau pola fikir.
Berfikir secara filsafat berbeda dengan berfikir secara biasa. Berfikir
filsafat menuntut seseorang untuk berfikir yang bersifat menyeluruh, mendasar
dan spekulatif. Sehingga orang yang berfilsafat berarti orang tersebut telah
melakukan pemiriran mendalam dan sistematis tentang berbagai permasalahan
yang berkembang agar memiliki posisi dan pandangan yang jelas tentang suatu
permasalahan tersebut. Sedangkan berfikir biasa adalah berfikirnya orang awam,
yaitu berfikir yang masih tercampur, tidak berpola dan tidak sistematis.
Berpikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat
mendalam sampai pada hakikat atau berpikir secara global (menyeluruh),  atau
berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran atau sudut pandang
ilmu pengetahuan. Berfilsafat sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan
benar serta dapat dipertanggungjawabkan,
Hal ini harus memenuhi persyaratan berikut :
         Sistematis
Pemikiran yang sistematis ini dimaksudkan untuk menyusun suatu pola
pengetahuan yang rasional dan sistematis, yang masing-masing unsur saling
berkaitan satu dengan yang lain secara teratur dalam keseluruhan. Sistematika
pemikiran seorang filosof banyak dipengaruhi oleh keadaan dirinya, lingkungan,
zamannya, pendidikan dan sistem pemikiran yang mempengaruhi.
         Konsepsional
Secara umum istilah konsepsional berkaitan dengan ide yang melekat pada
akal pikiran seorang ilmuan atau intelektual. Gambaran tersebut mempunyai
bentuk tangkapan sesuai dengan riilnya. sehingga maksud dari konsepsional
tersebut sebagai upaya untuk menyusun suatu bagian yang terkonsepsi, karena
berpikir secara filsafat sebenarnya berpikir tentang hal dan prosesnya.
         Koheren
Koheren atau runtut adalah unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian-
uraian yang bertentangan satu sama lain. Di dalam koheren memuat suatu
kebenaran logis. Sebaliknya, apabila suatu uraian yang di dalamnya tidak memuat
kebenaran logis, maka uraian tersebut dikatakan sebagai uraian yang tidak
koheren.
         Rasional
Yang dimaksud dengan rasional adalah unsur-unsurnya berhubungan secara
logis. Artinya pemikiran filsafat harus diuraikan dalam bentuk logis, yaitu suatu
bentuk kebenaran yang mempunyai kaidah-kaidah berpikir (logika).
         Sinoptik
Arti dari Sinoptik ini adalah pemikiran filsafat harus melihat hal-hal secara
menyeluruh atau dalam kebersamaan secara integral.
         Pandangan  dunia
Maksudnya adalah pemikiran filsafat sebagai upaya untuk memahami semua
realitas kehidupan dengan jalan menyusun suatu pandangan hidup dunia termasuk
di dalamnya menerangkan tentang dunia dan semua hal yang berada di dalam
dunia.
Sehingga berfikir secara filsafat sangatlah penting untuk semua orang dalam
rangka menjalani aktivitas sehari-hari, atau dapat dilakukan untuk mencari solusi
dalam sebuah permasalahan. Adapun manfaat dari berfikir secara filsafat adalah;
Mengajarkan cara berfikir kritis, sebagai dasar dalam mengambil keputusan,
mengambil alat secara proporsional, membuka wawasan berfikir menuju kearah
penghayatan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Itulah sebabnya mengapa
setiap orang diharapkan untuk selalu berfikir secara filsafat kapan pun dan dalam
situasi apapun.
Daftar Pustaka
Anonim, Makna Filsafat Sebagai Cara Berfikir. 2015. Diperoleh dari http://mail-
chaozkhakycostikcomunity.blogspot.co.id
Alina reviananda. Berfikir Filsafat. Diperoleh dari http://www.academia.edu
Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The Mother of Sciences).
Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat telah
menunjukkan supremasinya dalam pentas pemikiran dan keilmuan dunia
sebagai “ibu ilmu” (the mother of sciences). Sebagai ibu, filsafat telah
menunjukkan diri sebagai kekuatan yang mengandung benih-benih
pemikiran keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan terus membina
perkembangan ilmu menjadi cabang dan ranting-ranting keilmuan, serta
mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.

1. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran


keilmuan, mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu
mengembangkan gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran
kritis (rasio) maupun dalam pengalaman nyata untuk mencermati
permasalahan lingkungan, baik yang menyenangkan maupun yang
mencemaskan. Pikiran-pikiran tersebut, tidak dibiarkan berkelana
tanpa arah, tetapi memelihara dan membinanya di dalam
kandungannya menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat
terus membina benih-benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan
yang matang dan siap diluncurkan (dilahirkan) dalam dunia keilmuan
secara nyata.
 
2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani
sendiri proses kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga
membentuk cabang-cabang dan ranting keilmuan baru yang bersifat
khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak ingin mati dengan fosil-fosil
pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan. Filsafat berusaha
membedah dan melahirkan atau meluncurkannya dalam kesegaran
pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah keilmuan dan
menyumbang bagi tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan
bathiniah dengan ilmu sebagai hubungan ibu kandung dan anak
kandung yang sah dalam sebuah tanah air manusia sebagai makhluk
berpikir (Homo Sapiens).
 
3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi
pemikiran dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis,
dengan cara melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang
membangun dan menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-
ilmu atau cabang dan ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat,
karena itu, tidak akan memperlakukan ilmu sebagai budak
penguasaan filsafat, tetapi mendorong proses pertumbuhan dan
perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat berusaha membangun
diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan membentangkan
penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru untuk diuji, baik
dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material (materi
pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan
secara kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu
menyusui, mengasuh, dan mengasah pertumbuhan serta ketajaman
ilmu dalam sebuah proses komunikasi antar ilmu dan lintas ilmu.
Melalui itu, ilmu atau kegiatan keilmuan dapat bertumbuh dan
berkembang secara sehat, sehingga terhindar dari bahaya sesat
pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
 
4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah
mengikat atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus
mendorong kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu
mengembangkan pemikiran serata metode-metode yang khas dalam
percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang terus berperan
membidani kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan
keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk teknologi,
industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun
upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.
Gambar 4. Pohon Ilmu

II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam mengerjakan Ilmu (kegiatan


keilmuan).
Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu bermaksud
menunjukkan sebuah hal mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan
dan mengerjakan ilmu (keilmuan). Intinya, ilmu, termasuk ilmuwan dan
lembaga keilmuan, segala prestasi kemajuannya harus dilihat dalam
kelebihan dan kekuarangan manusia sebagai Homo Sapiens. Bagi filsafat,
manusia itu selalu tahu diketidaktahuan-nya, Konsekuensinya, semakin
banyak yang makin diketahui, baik melalui kegiatan keilmuan maupun seni
budaya, namun, semakin banyak pula misteri ketidaktahuan yang seakan
terus mendangkalkan pengetahuan, kekaguman, dan terus menantang
rasa “ingin tahu” manusia. Bahkan, semakin banyak penemuan dalam
rangka pemecahan masalah-masalah kehidupan, namun makin banyak
pula “kecemasan mekar” yang terus mengerogoti manusia. Dewasa ini,
fenomena “ketidaktahuan filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin
mengancam eksistensi manusia secara utuh.
Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak pada
kecenderungan pengembangan pikiran atau pengetahuan yang tidak utuh
(tidak akumulatif). Pemikiran, ilmuwan, dan profesional, telah
memisahkan antara kebenaran-kebenaran logis dari kebenaran-kebenaran
etis (nilai) dan moral. Filsuf kritis menjelaskan bahwa banyak pemikir,
dengan dalih sebagai “majikan kebenaran”, berusaha membangun
berbagai bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan kebingungan,
pembodohan, kebodohan atau ketidaktahuan, serta melalukan berbagai
kepalsuan, kebohongan, pembusukan kebenaran, dan penghancuran
peradaban manusia.
Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah nasihatnya
bahwa; Kenali lah dirimu sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates,
hanya manusia yang mengenal dirinya sendirilah yang kuat dan berguna,
karena mereka akan mengenal kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan
tidak akan membiarkan diri ditipu atau dikuasai oleh kejahatan, baik
akibat kebodohan atau karena “kepintaran” yang menyesatkan itu.
Socrates, karena itu, menegaskan bahwa: hanya manusia itu sendiri lah
yang tahu bahwa ia tidak tahu. Bagi Socrates, pikiran hendaknya makin
membuat orang untuk mengenal dirinya sendiri sehingga tahu menegur
dan menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya membuat orang menjadi
lupa diri. Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas pikiran serta
pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri dan
kesadaran diri “rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas
kemanusiaannya sebagai makluk beradab. Pikiran harus dikembalikan
pada kesegaran eksistensi manusia. Tegasnya, pikiran atau pengetahuan
harus selalu ditempatkan dalam keutuhanya sebagai salah satu fenomena
manusia untuk memanusiakan manusia. Pikiran bukanlah ego mandiri
yang berada pada dirinya sendiri dan melayani kepentingan pikiran itu
sendiri. Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam dirinya sendiri, tetapi
manusialah yang berpikir dengan pikirannya itu sendiri dalam keutuhan
konteks kemanusiaannya.
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah
melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-
misteri lain, yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran
atau pengetahuannya, seola bergerak dari satu ketidaktahuan menuju
ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu
pengetahuan makin terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar
mampu memburu dan membunuh naga-naga ketidaktahuan dan
kejahatan baru (kejahatan profesional) yang bertumbuh berbarengan
dengan perkembangan pikiran, pengetahuan, dan keilmuan manusia.
Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan
kemanusiaan yang bersifat fundamental dalam hal memahami dan
mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri keberadaan yang
khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk
mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia, melalui
pengetahuannya itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab, kesadaran
bathin, kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa percaya diri
untuk membangun dirinya sebagai mahkluk beradab yang makin matang
(dewasa), tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan
kesabaran, ketekunan, kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur
dan mendidik diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimisme
hidup di dalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud. Filsafat,
karena itu, hendak menunjukkan bahwa manusia bukan hanya bertugas
mengisi “ingin tahu”-nya dengan pikiran dan ketrampilan-ketrampilan
teknologis (praktis operasional) yang sempit atau terbatas. Justru
sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkan perjuangan
manusia yang berpengetahuan itu pada inti pergumulan dan tugas
memanusiakan manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya di
dalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial bersifat “multi
dimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahaunnya
pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam
kepelbagaian dimensinya itu.
Justru itu, kategori kepintaran atau pengetahuan yang dipetaruhkan
dalam perspektif tugas kemanusiaan itu bukan lah sekedar kemampuan
rasionalisasi (rekayasa) untuk mencari “pembenaran-pembenaran” yang
bersifat instrumental-teknomogis semata guna mewujudkan kepentingan-
kepentingan yang sempit dan sesaat. Alasanya, manusia dengan pikiran
dan pengetahuannya, membutuhkan kreatifitas budi dalam menyiasati
dinamika kepelbagainanya secara utuh. Baginya, kepentingan teknis di
dalam pengetahuan atau kepintaran manusia itu penting, misalnya
kegiatan-kegiatan rekayasa dan manipulatif (teckno engginering) untuk
membangun kehidupan manusia secara nyata. Meskipun demikian,
kepintaran pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk sekedar
mengejar keuntungan atau kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan
menyeret manusia ke dalam kebodohan dan tindakan-tindakan tak
beradab.
Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan manusia
dengan pikiran atau pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar
berbuat baik dan benar, tetapi sebaliknya, menyeret, membelenggui, dan
menindas manusia di dalam arus kejahatan yang pada dirinya
menghancurkan tata nilai, cita rasa kemanusiaan, maupun citra peradaban
itu sendiri. Akibatnya, orang berilmu dan pintar sekalipun akan menjadi
semakin egois, angkuh. Bahkan mungkin, semakin pintar (profesional)
dalam berbuat kejahatan dan merasa serba-bisa di dalam perbudakan
hawa nafsu. Konsekuensinya, meskipun terjadi banyak peningkatan
Sumber daya Manusia (SDM), sebagaimana yang dilakukan di Indonesia,
namun, semakin bertumbuh mekar kejahatan dan semakin tidak teratasi
masalah-masalah hidup yang dihadapi, baik di dalam konteks hidup
bernegara maupun bermasyarakat. Semuanya ini diakibatkan oleh adanya
kecenderungan untuk menghilangkan daya kritis dan sifat kontemplatif
dari pikiran atau pengetahuan itu sendiri, yang dianggap menghambat
keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan yang ingin memperalat pikiran
dan pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan atau keuntungan
sesaat itu sendiri.
Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk semakin terbuka
dan berendah diri dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau
pengetahuan itu sendiri dari goan-godaan kejahatan sehingga manusia
akan semakin memiliki ketajaman bathin (berpikir dengan hati) dalam hal
mengembangkan pikiran atau pengetahuannya untuk membentuk diri
atau kepribadian secara utuh. Melalui itu, orang akan terbuka pada
teguran nurani, koreksi, kritikan, dan tuntutan-tuntutan perbaikan
sehingga orang mampu membangun ketegori pikiran dan pengetahuannya
di dalam tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan kemanusiaan itu
sendiri.
Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan itu
selalu punya empat dimensi yang salig bertautan, yaitu: pertama, dimensi
aktif untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keingintahuan
manusia dalam sebuah konstelasi peradaban yang luas dan luhur guna
membangun kehidupan secara nyata; kedua; dimensi kreatif, dengan
tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi
teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan
penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual; ketiga, dimensi kritis, untuk
membangun kesadaran diri, otonomi diri, serta kemampuan nalar dalam
menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim
kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam
rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup);
keempat, dimensi kontemplatif untuk mengontrol dan mengendalikan
pikiran atau pengetahuan itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam
permainan arus keinginan dan kejahatan.
III. Makna Mempelajari Filsafat
Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan mempelajari
filsafat ilmu adalah:

1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan


belajar filsafat maka manusia akan makin setia mendidik dan
membangun dirinya atas dasar kesadaran maupun tanggung jawab
kemanusiaannya untuk menemukan jati dirinya yang khas. Manusia,
melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
hidupnya dalam sebuah proses penemuan yang luas-mendalam,
tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi permasalahan hidup
manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan
rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah
bahwa ia sadar akan apa saja yang termasuk dalam kehidupan
manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri. Filsuf,
dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri
sebentar dari keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk
menjadikan hidupnya sendiri sebagai obyek penyelidikannya,
termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui cara
demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga
dimungkinkan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia
dan dunia dengan segala sifatnya itu. Bagi filsafat, sifat keobyektifan
adalah ciri seorang dewasa yang matang kerohaniannya.
Konsekuensinya, seorang filsuf akan semakin memiliki kebijaksanaan
bila ia semakin mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini.
2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar
filsafat maka orang disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan”
yaitu dari “Akuisme” dan “Akusentrisme” yang membelenggu
sehingga orang tidak dapat berpikir sehat luas, dan obyektif.
“Akuisme” atau “Akusentrisme”, di samping merupakan sebuah
belenggu, juga merupakan sebuah musuh peradaban, karena hanya
menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya sendiri. Filsafat,
dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan untuk menghancurkan ke-
aku-annya, tetapi menumbuhkan dan mengembangkannya secara
kritis dengan berbagai referensi diri yang lain di luar dirinya sendiri.
 
3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan
memiliki kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam
menghadapi dan menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik
untuk harus berpikir secara mandiri, terutama dalam lapangan
kerohanian. Orang dibimbing untuk harus mempunyai pendapat
sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus
menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai
kematangan dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan
hingga orang dapat bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam
apa yang dikatakan orang, baik dalam buku – buku pengetahuan
maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan sebagainya.

IV. Filsafat dan Ilmu Lain


Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih
jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat,
dalam hal ini, lebih merupakan sebuah pemikiran yang universal,
menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan
pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada obyek dan
sudut pandang pemikirannya yang khas. Obyek penelitian filsafat
mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia.
Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan
menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Filsafat, karenanya,
ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu-ilmu
lainnya, serta berusaha mencapai sebab terahkir dan mutlak (absolut) dari
segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan manusia, dalam hal
ini, secara khusus, kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang
merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia.
Manusia, di dalam kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar
akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat,
karena itu, berusaha mendalami, menyingkap, dan menjelaskan
kesadaran eksistensi diri manusia dan sesama yang lain, secara luas dan
mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses
penelitian filsafat itu melai dari bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang
dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa
lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu-ilmu lainnya yang
bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan khusus tersebut, sungguh
membantu filsafat, tetapi juga membatu bentuk-bentuk pengetahuan
khusus dan ilmu lain tersebut untuk makin memantapkan dan
menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karennya,
filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan
ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Filsafat, karena itu, berbeda
dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di
dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati.
Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan
ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan
bagian integral dari keutuhan eksistensi manusia yang terkait dengan
aspek-aspek lainnya dari tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang
bersifat “mono pluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu).
Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia akan
kebenaran, melainkan ia juga berusaha menerangi dan menuntun arah
atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan
spekulasi-spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh hayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran,
keyakinan, egoisme keilmuan, atau pandangan-pandangan kepribadian
yang bersifat individual semata. Justru, filsafat berusaha menguji,
mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara
baru dan menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan
tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak
akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis yang serba-
sempurna dan serba-oke, yang membelenggui manusia. Justru, filsafat
tetap adalah sebuah program pencerahan dalam rangka otonomi,
emansipasi, dan perkembangan manusia.
Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik sebagai
pangkalan pengembangan keilmuan maupun sebagai titik pangkal
pengintegrasian ilmu-ilmu dalam sebuah pendekatan yang bersifat multi
dan interdisipliner. Melalui itu, ilmu-ilmu dan spesialisasi tidak tertutup
dalam kapsul egoisme keilmuan atau spesialisasinya masing masing, tetapi
terbuka untuk saling menyapa dan membangun tugas bersama demi
manusia dan kemanusiaan yang menjadi sumber dan norma, serta causa
ontologis (penyebab ada) bagi ilmu-ilmu itu sendiri.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya
(belum diterbitkan).
FILSAFAT SEBAGAI PANDANGAN HIDUP

A.      Pengertian dan Hakekat


Setiap orang yang hidup dan normal pasti mempunyai pandangan hidupnya
sendiri atau filsafat hidupnya sendiri, baik yang berpendidikan tinggi maupun
yang berpendidikan rendah.
       1.  Pengertian
Filsafat itu berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua kata, yaitu kata
“philia” artinya cinta dan “sophia” artinya kebijaksanaan. Jadi, filsafat adalah
mencintai kebijaksanaan.
a           2.  Hakekat Filsafat Hidup
Hakekat filsafat hidup adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
bersifat mendasar, mendalam, dan sesuai kodrat manusia. Karena itu pandangan
hidup seseorang atau filsafat hidup seseorang merupakan jati diri atau identitas
diri orang.

Filsafat diartikan sebagai pandangan hidup karena filsafat pada hakikatnya


bersumber pada hakikat kodrat pribadi manusia (sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, dan makhluk Tuhan). Hal ini berarti filsafat mendasarkan pada
penjelmaan manusia secara total dan sentral sesuai dengan hakikat manusia
sebagai makhluk monodualisme (manusia secara kodrat terdiri dari jiwa dan raga).
Manusia secara total (menyeluruh) dan sentral memuat sekaligus sebagai sumber
penjelmaan bermacam-macam filsafat, yaitu :
1.    Manusia dengan unsur raganya dapat melahirkan filsafat biologi.
2.    Manusia dengan unsur rasanya dapat melahirkan filsafat keindahan (estetika).
3. Manusia dengan monodualismenya (kesatuan jiwa dan raganya) melahirkan
filsafat antropologi.
4.    Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dapat melahirkan filsafat
ketuhanan.
5.    Manusia dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial dapat melahirkan filsafat
sosial.
6.    Manusia sebagai makhluk yang berakal dapat melahirkan filsafat berpikir
(logika).
7.    Manusia dengan unsur kehendaknya untuk berbuat baik dan buruk dapat
melahirkan filsafat tingkah laku (etika).
8.    Manusia dengan unsur jiwanya dapat melahirkan filsafat psikologi.
9.    Manusia dengan segala aspek kehidupannya dapat melahirkan filsafat nilai
(aksiologi).
      10. Manusia sebagai warga Negara dapat melahirkan filsafat Negara. 
      11.  Manusia dengan unsur kepercayaannya terhadap spiritual dapat
melahirkan filsafat agama.

Filsafat sebagai pandangan hidup (Weltsanchaung) merupakan suatu


pandangan hidup yang dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari, juga dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang dihadapi dalam kehidupan. Pandangan hidupnya itu akan
tercermin di dalam sikap hidup dan cara hidup. Sikap dan cara hidup tersebut
dapat muncul apabila manusia memikirkan dirinya sendiri secara total.
                                                                  
B.   Manfaat Mengetahui Pandangan Hidup (Filsafat Hidup)
Berdasarkan hakekat dari pandangan hidup atau filsafat hidup maka ada
beberapa manfaat mengetahui pandangan hidup, yaitu:
1)    Pandangan hidup atau filsafat hidup menolong mendidik,membangun diri sendiri
dengan berpikir lebih mendalam dan memberi isi kepada hidup kita sendiri.
2)    Pandangan hidup atau filsafat hidup memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk
melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Pandangan hidup memberikan pandangan yang luas membendung egoisme dan
egosentrisme.
4)  Pandangan hidup memberikan dasar-dasar baik untuk hidup diri sendiri maupun
untuk kepentingan ilmu-ilmu pengetahuan.

Dengan memperhatikan manfaat dari pandangan hidup tersebut, maka orang


yang memiliki pandangan hidup yang luas dan tinggi, terdapat ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Mampu mengapresiasi keindahan, baik keindahan alam lingkungan, keindahan
seni budaya, maupun keindahan harmoni yang aman, tentram, dan damai.
b.   Tanggap dan menaruh empati maupun simpati terhadap penderitaan orang lain,
karena itu ia tidak akan melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
penderitaan pihak lain.
c. Menjunjung tinggi rasa keadilan, bahkan berani mempertaruhkan hidupnya demi
memperjuangkan keadilan.

http://nralviah.blogspot.com/2015/10/filsafat-sebagai-pandangan-hidup.html
4 Cabang Cabang Filsafat dan Macam-macamnya
1. Filsafat Pengetahuan
Filsafat pengetahuan salah satu cabang cabang filsafat yang
memfokuskan diri dibidang pengetahuan. Di sini ada tiga cabang lainnya
yang tidak kalah penting. Yaitu epistemology, logika dan kritik ilmu.
Berikut ulasannya 

a. Epistemology 
Cabang cabang filsafat yang dimaksud epistemology adalah adalah ilmu
yang fokus tentang pengetahuan. Dimana dasar pertanyaan yang
nantinya melahirkan pengetahuan. Termasuk pula pertanyaan yang hasil
akhirnya nanti melahirkan metode bagaimana cara mendapatkannya dan
bagaimana membuktikan kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada
atau yang diciptakan. 
Selain epistemology sebenarnya terdapat dua cabang lagi yang erat
kaitannya dengan epistemology. Yaitu ontology dan aksiologi. Ontology
adalah ilmu yang mempertanyakan tentang hakikat dari pengetahuan
atau hakikat dari segala sesuatu pengetahuan itu sendiri. Sedangkan
aksiologi menekankan pada manfaat pengetahuan. 
Jadi ketiga cabang filsafat di atas saling berkorelasi dan saling
menguatkan satu sama lain. Jika di kupas satu persatu, masih ada cabang
lagi di bawah ontology, epistimologi dan aksiologi. Tentu saja tidak bisa
dibahas semuanya di artikel ini karena keterbatasan ruang. 

b. Logika 
Logika menjadi unsur cabang cabanf filsafat. Kehadiran logika
sebenarnya membantu dalam mengenali dan menyelidiki pemikiran.
Apakah pemikiran tersebut bertentangan dengan prinsip atau tidak.
Prinsip dari logika ada dua, yaitu prinsip inferensia atau kemampuan
untuk menyimpulkan, kemudian prinsip valid atau keabsahan. 
Ditinjau dari jenisnya, logika dibagi menjadi dua. Pertama logika
deduktif, atau cara berfikir dengan cara menarik kesimpulan secara
khusus. Mereka melakukan pola berfikir secara silogismus yang
mengawalinya dengan membuat kesimpulan dari penalaran deduktif
sesuai premis. 
Kedua, logika induktif, yang merupakan cara berfikir yang dilakukan
dengan menarik kesimpulan secara umum terlebih dahulu, setelah itu
diambil secara khusus. Biasannya kesimpulan disampaikan dengan cara
memaparkan pernyataan secara khas terlebih dahulu. 

c. Kritik ilmu 
Yang dimaksud kritik ilmu adalah ilmu pengetahuan yang menekankan
pada teori. Kemudian dari ilmu teoritis yang ditemukan kemudian di
kolaborasi menjadi satu sehingga melahirkan ilmu baru yang lebih
kritis. 
Dalam kehidupan sehari-hari, kritik ilmu ini juga sering dilakukan oleh
mahasiswa akhir semester. Dimana ada proses mengumpulkan dan
mengkaji teori-teori yang dipieroleh dari beberapa sumber. Sebelum
akhirnya ditulis dan dikemukakan dalam sebuah skripsi. 
2. Filsafat Keselurhan Kenyataan
Cabang cabang filsafat yang selanjutnya adalah filsafat tentang
keseluruhan kenyataan yang akan mengulas tentang ilmu ontology atau
metafisika umum dan metafisika khusus. Di dalam metafisika khusus
terdapat tiga cabang lagi, yaitu teologi metafisik, antropologi dan
kosmologi. Berikut masing-masing penjelasannya 

a. Teologi metafisika
Metafisik ternyata termasuk salah satu cabang cabang filsafat. Nama lain
dari metafisik adalah ontology. Filsafat metafisik yang fokus pada
prinsip yang mengulas sesuatu yang menyeluruh. Metafisika juga
membicarakan tentang sesuatu yang tidak tampak. Jika dibedah lebih
dalam lagi, metafisik atau ontology dibagi menjadi tiga teori, yaitu teori
materialisme, idealisme dan dualism. 

b. Antropologi
Cabang cabang filsafat antropologi adalah ilmu yang menyelidiki
pertanyaan dan pernyataan tentang hakikat manusia. Termasuk pula
mengulas tentang hakikat alam semesta. Dimana dari memahami
hakikat, akan melahirkan pemikiran kritis, menemukan hikmah positif
yang bisa bermanivestasi menjadi ide dan inovasi yang siap untuk
dikembangkan secara spesifik. 

c. Kosmologi 
Selain teologi metafisika dan antropologi, terdapat kosmologi.
Kosmologi adalah ilmu filsafat sebagai teori yang menekankan bahwa
ketika terjadi suatu peristiwa, dan terjadi lebih dari satu benda dan
mengalami perubahan waktu akibat terjadinya pengaruh benda satu sama
lain. 

Kosmologi ini sendiri sebenarnya sebagai bentuk dari determinan


peristiwa alam. Komosologi inilah yang lebih akrab kita pahami tentang
ilmu alam yang mempelajari dunia bintang gemintang. Tokoh yang
paling terkenal dalam teori komologi ini adalah Aristoteles yang mampu
menemukan sebab sebab final yang dikenal dan disebut
dengan antecedent causes.
3. Filsafat tentang Tindakan
Cabang ilmu tentang filsafat tentang tindakan tentu saja memfokuskan
diri untuk mengkajian tentang etika dan estetika seseorang. Yang akan di
jelaskan sebagai berikut. 

a. Etika 
Ternyata filsafat tidak hanya mempelajari tentang ilmu dan Pendidikan,
ada juga tentang tindakan. Baik untuk tindakan manusia maupun hewan.
Nah salah satunya adalah tindakan etika pada manusia. 
Etika salah satu caabang yang membicarakan moral dan perbuan
manusia. Baik itu perbuatan baik ataupun perputan buruk. Istilah etika
secara sederhana diartikan sebagai tata krama dan sopan santun nyang
dibawa oleh seeorang. Nah, cabang filsafat yang mempelajari etika ini
pun ada cabang ilmu lain yang spesifik mempelajarinya, yaitu ilmu
psikologi perilaku. 
b. Estetika 
Selain etika, ada estetika. Estetik dalam cabang cabang filsfat disebut-
sebut sebagai filsafat keindahan atau philosophy of beauty. Dimana ilmu
yang mempelajari dan emmbicarakan tentang keindahan dari sebuah
sikap ataupun non sikap. 
Dalam kehidupan perilaku manusia, estetika yang dimaksud
membicarakan soal kepantasan dan ketidakpantasan. Misalnya, seorang
wanita akan lebih indah jika memiliki sikap sopan, rendah hati dan santu.
Sedangkan sikap yang kasar dan celelekan dinilai tidak estetika. Jadi,
meskipun bentuk dalam sebuah sikap, tetapi membicarakan keindahan
atau sisi baiknya. 
Berlaku pula sebaliknya. Misalnya di dunia kesenian, maka estetika yang
dimaksud adalah keindahan dan seni yang ditawarkan. Dengan kata lain,
estetika ini dapat dilakukan dimana saja, tergantung dari kontek dan
penerapannya digunakan dimana. 

https://deepublishstore.com/cabang-cabang-filsafat/

Anda mungkin juga menyukai