Anda di halaman 1dari 5

Nama : Rachmat Budiarta

Nim : 200109020
Kelas : 3A Tadris Kimia

UTS FILSAFAT

1. Jelaskan dengan contoh bahwa pemahaman yang tidak jelas, tidak mendalam serta tidak
lengkap mengenai ilmu pengetahuan akan membawa akibat pada usaha untuk memperoleh
ilmu pengetahuan dalam perkuliahan menjadi tidak benar pula!
2. Jelaskan arti filasafat sebagai "ibu ilmu”!
3. Tunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan!
4. Gambarkan contoh berpikir integratif dalam keilmuan!
5. Tunjukkan hakikat pengetahuan dalam tugas keilmuan!
6. Jelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu!

JAWABAN

1. Pembahasan ilmu pengetahuan yang tidak menyeluruh atau mendalam dapat


menimbulkan pemahaman yang tidak utuh dan tidak lengkap tentang ilmu
pengetahuan, kita juga tidak akan dapat mengetahui ciri-ciri hakiki tentang ilmu
pengetahuan. Apabila pemahaman kita tidak lengkap dan tidak tepat tentang
ilmu pengetahuan tersebut, maka kita bisa terbelenggu oleh kebenaran semu yang
menyesatkan, dan memiliki sikap yang tidak bijaksana dalam melakukan kegiatan
ilmu pengetahuan, untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Kita
sebagai mahasiswa akan mandapat nilai yang tidak benar juga.

Dengan filsafat kita didorong untuk berani mempersoalkan segala macam hal yang
kita hadapi dan berusaha mengungkap rahasia alam semesta dan kehidupan ini.

Dengan demikian Filsafat Ilmu Pengetahuan (sebagai pemikiran filosofis) tentu saja
semestinya juga mengemukakan sebanyak mungkin pertanyaan-pertanyaan dan
persoalan-persoalan tentang segala macam hal yang berkenaan dengan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya dipahami atas dasar kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan serta atas dasar pandangan-pandangan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, melainkan perlu dipahami atas dasar pembahasan yang
rasional (kritis, logis, dan sistematis), obyektif, menyeluruh dan mendalam. Filsafat
Ilmu Pengetahuan tidak membahas ilmu pengetahuan atas perkiraan-perkiraan yang
ada pada subyek, melainkan langsung mengarah pada ilmu pengetahuan itu sendiri
sebagai obyeknya. Filsafat Ilmu Pengetahuan tidak membatasi pembahasannya
hanya pada beberapa unsur serta hanya dari satu segi saja, melainkan berusaha
untuk membahasnya secara menyeluruh, sehingga diperoleh pemahaman yang
utuh. Dan Filsafat Ilmu Pengetahuan tidak hanya membahas hal-hal yang secara
aksidental nampak di permukaan, melainkan perlu membahas secara radikal
(mendalam) untuk dapat memperoleh unsur-unsur hakiki yang menjadi ciri khas dari
ilmu pengetahuan.
Dalam rangka pendidikan, perkuliahan yang merupakan kegiatan pembelajaran pada
mahasiswa juga perlu diselenggarakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah;
perlu diusahakan secara rasional (kritis, logis, dan sistematis), perlu memiliki
kejelasan obyeknya sebagai yang dibahasnya, arah-tujuannya serta perlu memiliki
cara-cara dan sarana-sarana yang dapat dipertanggungjawabkan.

Namun dalam kenyataannya, kegiatan perkuliahan sering berlangsung bagitu saja


sebagai rutinitas, secara kritis tanpa dipersoalkan dan dipedulikan arah-tujuan yang
sebenarnya, tanpa dilihat konsistensi antara langkah-langkah yang ditempuh dengan
arah tujuan yang mau dicapainya. Secara tradisional kegiatan perkuliahan disadari
sebagai kegiatan menimba ilmu; mahasiswa menimba ilmu dengan menempuh
berbagai macam mata-kuliah. Dalam perkuliahan mahasiswa sekedar mendengar,
mencatat, dan kalau perlu mengingat-ingat ilmu yang disampaikan oleh dosen, baik
secara tertulis maupun lisan. Perkuliahan hanya sekedar difahami sebagai proses
transfer / penyampaian ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), bukan sebagai
proses pembelajaran pada mahasiswa, agar mereka mampu melakukan kegiatan
ilmiah, yaitu kegiatan mengamati, menanya, mencari dan mencoba meneliti
persoalan atau permasalahan yang ada untuk selanjutnya dapat menemukan
langkah-langkah serta cara-cara mengusahakan jawaban dan pemecahannya, agar
mereka mampu menangkap kebenaran ilmiah dan selanjutnya menerapkan untuk
memperoleh manfaat dalam kehidupan nyata (transfer of learning).
2. Sebagai ibu, filsafat telah menunjukkan diri sebagai kekuatan yang mengandung
benih-benih pemikiran keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan terus
membina perkembangan ilmu menjadi cabang dan ranting-ranting keilmuan, serta
mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.
a. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan,
mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu
mengembangkan gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran kritis
(rasio) maupun dalam pengalaman nyata untuk mencermati
permasalahan lingkungan, baik yang menyenangkan maupun yang
mencemaskan. Pikiran-pikiran tersebut, tidak dibiarkan berkelana tanpa
arah, tetapi memelihara dan membinanya di dalam kandungannya
menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat terus membina benih-
benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan yang matang dan siap
diluncurkan (dilahirkan) dalam dunia keilmuan secara nyata.
b. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri
proses kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk
cabang-cabang dan ranting keilmuan baru yang bersifat khusus. Filsafat,
dalam hal ini, tidak ingin mati dengan fosil- fosil pemikiran yang hanya
bersifat hantu khayalan. Filsafat berusaha membedah dan melahirkan
atau meluncurkannya dalam kesegaran pemikiran keilmuan yang
mempengaruhi sejarah keilmuan dan menyumbang bagi tugas
kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah dengan ilmu sebagai
hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah dalam sebuah tanah
air manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).
c. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi
pemikiran dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan
cara melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang membangun dan
menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau cabang dan
ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan
memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi
mendorong proses pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom.
Filsafat berusaha membangun diskursus-diskursus keilmuan, membuka
dan membentangkan penemuan- penemuannya dalam bentuk ilmu baru
untuk diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material
(materi pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan
secara kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu
menyusui, mengasuh, dan mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu
dalam sebuah proses komunikasi antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu,
ilmu atau kegiatan keilmuan dapat bertumbuh dan berkembang secara
sehat, sehingga terhindar dari bahaya sesat pikir, keliru pikir, atau salah
pikir.
d. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah
mengikat atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus
mendorong kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu
mengembangkan pemikiran serata metode-metode yang khas dalam
percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang terus
berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan
keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk teknologi,
industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun upaya
klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.
3. Filsafat memiliki dua obyek pemikiran, yaitu obyek materian dan obyek formal:
a. Obyek material, yaitu materi atau bahan yang menjadi obyek
penyelidikan filsafat, maupun bagi segala turunan filsafat itu sendiri,
misalnya, pengetahuan atau ilmu. Jadi, dengan kata sifat “material” tidak
dimaksudkan sebagai bahan-bahan materi bagi sebuah pekerjaan tukang,
tetapi “pokok soal” atau “pangkal pikir” yang merupakan bahan atau
obyek pemikiran filsafat itu sendiri. Materi atau obyek studi filsafat itu
meliputi segala sesuatu realitas (manusia), baik berupa kenyataan fisik
(inderawi), benda dan aktifitas alam, intelektual (intelektif), pengalaman,
tradisi, adat, budaya, bahasa, pikiran, pengetahuan harian, maupun ide,
gagasan, atau teori, kegiatan- kegiatan manusia, norma-norma hidup,
hukum, ideologi, politik, sistem kepercayaan, aspek kejiwaan, baik yang
ada maupun yang bisa diadakan oleh pikiran manusia itu sediri. Tegasnya,
obyek atau material yang menjadi bahan pemikiran filsafat adalah tertuju
pada segala hal, sejauh bisa dijangkau oleh indera maupun pikiran
manusia. The Liang Gie (1996: 341), antara lain, menunjukkan adanya 6
(enam) jenis obyek material, yaitu; ide abstrak, benda fisik, jasad hidup,
gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.
b. Obyek Formal, adalah sudut pandang filsafat atau metode dan cara
kerja yang digunakan dalam rangka mengbongkar, menyingkap, dan
mengolah setiap bahan atau materi pemikiran (obyek material), guna
dapat mengembangkannya menjadi pengetahuan yang teruji dan tertata
secara sistematis dalam bentuk pengetahuan umum maupun
pengetahuan ilmiah atau jenis-jenis ilmu yang bersifat spesifik namun
saling terkait. Jadi, obyek formal menunjuk pada kemampuan dalam
mengkritisi, mengkaji, memahami, menganalisis, mensintesis, dan
mengkonstruksi setiap sistem ide atau “peta kognitif” yang tersimpan di
balik segala penampakan bahan atau materi (obyek material) yang
dihadapinya menjadi sistem-sistem pemikiran, pengetahuan, dan ilmu
utuh dan spesifik.
4. Strategi berpikir integratif adalah strategi yang mengkondisikan siswa pada suatu
keadaan yang memungkinkan untuk mengembangkan konstruksi pengetahuan
secara sistematis, sekaligus mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Dengan
demikian, dalam strategi berpikir integratif menawarkan pengembangan penalaran
siswa. Pembelajaran integratif akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa,
seperti mengeksplorasi keberagaman, menggunakan berbagai bahan
untuk meningkatkan efisiensi, mengembangkan diskusi, melatih berpikir kritis, dan
meningkatkan kreativitas mahasiswa. Dengan kata lain, pembelajaran
integratif merupakan seperangkat asumsi yang berisikan wawasan dan
aktifitas berfikir dalam merencanakan pembelajaran dengan
memadukan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sebagai
area pembelajaran.
5. Pengetahuan bertumbuh dari tahap pra ilmiah ke tahap pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan pra ilmiah adalah pengetahuan sehari-hari yang tidak atau
belum diolah, dikaji, dan disusun, serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Bentuk pengetahuan pra ilmiah, dapat berupa pandangan umum (common
sense), keyakinan –keyakinan hidup, atau tradisi, dan sebaginya. Pengetahuan
ilmiah adalah bentuk pengetahuan yang telah diolah, dikritisi, diuji, dikembangkan,
dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah berdasarkan prosedur, norma-norma
dan metode berpikir ilmiah. Pengetahuan ilmiah tersebut dapat dibagi dalam
bentuk pengetahuan empiris dan pengetahuan teoretik.
6. Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis. Jadi, pengetahuan
merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya,
merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar disadari,
ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam bentuk apa pun. Pengetahuan
yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact),
kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan
sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan
menyimpulkan hal- hal yang bersifat faktawi (faktual) yang dihimpun dan dicatat
sebagai data (datum). Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok
sebagai fakta (pengetahuan) yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal itu
dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris,
misalnya; sifat tanah, ciri kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga adat,
pemerintah, dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of interest) atau sikap
pikiran padanya.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, juga
dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai
sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana pengetahuan,
merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu wujud kebudayaan yang
sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta memberikan sumbangan
bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan, (game), karena ilmu,
dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip dengan sifat-sifat suatu
permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan penerimaan hadiah. Ketiga
hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu, melainkan dianggap
sebagai dimensi umum dari ilmu.

Anda mungkin juga menyukai