Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan Mempunyai peran sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan
manusia. Hal itu disebebkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan
manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau bidang-bidang lain
seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan
prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan
manusia. Pendidikan “menentukan” model manusia yang akan dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam seluruh kegiatan pendidikan, mentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan.
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan
kehidupan manusia, Misalkan menentukan proses pelaksanaan dan hasil belajar. Mengingat
hal tersebut penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Landasan
pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum (makro)
atau kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan tetapi juga
harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum (mikro)
yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lainnya yang terkait dengan
tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan untuk dijadikan instrumen dalam
melakukan pembinaan terhadap implementasi kurikulum di setiap jenis dan jenjang
pendidikan. Dengan posisinya yang penting tersebut, maka penyusunan dan pengembangan
kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan, akan tetapi harus didasarkan pada
berbagai pertimbangan, atau landasan agar dapat dijadikan dasar pijakan dalam
menyelenggarakan proses pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya tujuan
pendidikan dan pembelajaran secara lebih efisien dan efektif. Landasan pengembangan
kurikulum memiliki peranan yang sangat penting, sehingga apabila kurikulum diibaratkan
sebagai sebuah bangunan gedung yang tidak menggunakan landasan atau fundasi yang kuat,
maka ketika diterpa angin atau terjadi goncangan, bangunan gedung tersebut akan mudah
rubuh dan rusak. Demikian pula halnya dengan kurikulum, apabila tidak memiliki dasar
pijakan yang kuat, maka kurikulum tersebut akan mudah terombang-ambing dan yang akan
dipertaruhkan adalah manusia (peserta didik) yang dihasilkan oleh pendidikan itu sendiri.
Makalah kami ini akan mencoba menguraikan tentang “Landasan Filosofis dan Psikologis
dalam Pengembangan Kurikulum”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang di maksud dengan Landasan Fisiologis?
2. Bagaimana manfaat Filsafat Pendidikan?
3. Bagaimana Filsafat dan Tujuan Pendidikan?
4. Bagaimana Aliran-aliran Filsafat Pendidikan?
5. Apa yang di maksud dengan Landasan Psikologis?
6. Bagaimana Psikologi belajar dan perkembangan?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu Landasan Fisiologis.
2. Mengetahui manfaat Filsafat Pendidikan.
3. Mengetahui Filsafat dan Tujuan Pendidikan.
4. Mengetahui Aliran-aliran Filsafat Pendidikan.
5. Mengetahui apa itu Landasan Psikologis.
6. Mengetahui Psikologi belajar dan perkembagan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Filosofis

Pendidikan berintikan interaksi antara manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk
mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta
proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa
pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut,
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yanf esensial
yaitu jawaban – jawaban filosofis. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
philosophia ( philore = cinta, senang, suka, dan Sophia = kebaikan atau kebenaran ). Secara
harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom).

Orang belajar filsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk
dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Yang
dimaksud disini pengetahuan atau berpikir filsafat melalui proses berfikir secara sistematis, logis,
dan radikal. Menyeluruh mengandung arti bahwa filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan
melainkan juga suatu pandangan yang dapat menembus samapai di balik pengetahuan itu sendiri.
Sistematis berarti filsafat menggunakan berpikir secara sadar, teliti, teratur sesuai dengan hukum
– hukum yang ada. Logis berarti proses berfikir filsafat menggunaka logika dengan sedalam-
dalamnya. Radikal (radic=akar) berarti berpikir samapai ke akar-akarnya. Meskipun demikian,
kebenaran filsafat adalah kebenaran relative. Artinya, kebenaran itu selalu mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Kebenaran itu
dianggap benar jika sesuai dengan ruang dan waktu. Apa yang dianggap benar oleh masyarakat
belum tentu benar oleh masyarakat lain meskipun dalam kurun waktu yang sama.

Menurut John Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang
fundamental, baik yang menyangkut daya pikir (intelktual) maupun daya perasaan (emosional)
menuju keareah tabiat manusia. Dengan demikian, objek pendidikan yang paling utama dan
pertama adalah manusia. Objek filsafat juga manusia. Persamaan objek ini menimbulkan
pemikiran dan disiplin ilmu baru yaitu filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan
aplikasi teori pendidikan dan pandangan filsafat tentang pengalaman manusia dalam bidang
pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidikan. Joe Park mengemukakan bahwa filsawat pendidikan adalah “attempting to answer
some ultimate question corcerning education”. Filsafat diartikan juga sebagai teori umum
pendidikan dan landasan dari semua pemikiran tentang pendidikan. Jika diartikan dengan
persoalan pendidikan secara luas, maka filsafat pendidikan merupakan arah dan pedoman bagi
tercapainya pelaksanaan dan tujuan pendidikan. Para ahli filsafat membagi ruang lingkup filsafat
berbeda-beda. Ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pemikiran manusia yang
amat luas, segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada nyata (terlihat), baik material
konkret maupun nonmaterial abstark (tidak terlihat).

Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam mengkaji atau memahami
alam semesta ini.

Aspek - aspek Ilmu Filsafat


Tujuan Mengetahui sebab – sebab Komprehensif dan ideal
akibat
Pendekatan Deskritif – analtik Tidak terikat ruang dan waktu
Sifat kajian
- Apa yang terjadi - Objek
- Apa yang seharusnya - Subjektif
terjadi
Kebenaran Positif Spekulatif – Relatif
Objek Material Gejala dalam sebagian Segala yang ada dan yang
mungkin ada.
Objek Formal Ingin tahu samapai batas Ingin tahu sedalam –
gejala itu dapat di teliti dalamnya.
Ada tiga cabang besar filsafat sebagai berikut :

1. Ontologi
Ontologi atau sering diidetikkan dengan metafisika yang juga disebut dengan Pro-filsafia
atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Ontologi adalah ilmu hakikat.
Didalam pendidikan pandangan ontologi menjadi focus utama karena peserta didik
bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti
sesuatu. Peserta didik akan selalu menghadapi realita, karena itu guru harus
membimbing dan membina potensi berpikir kritis peserta didik untuk memahami realita
sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran.
2. Epistermologi
Epistemologi atau logika, membahas hakikat pengetahuan (sumber pengetahuan,
metode mencari pengetahuan, syarat dan batas-batas pengetahuan) dan hakikat penalaran
(induktif dan deduktif) yang memberikan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
kebenaran kepada peserta didiknya.
3. Aksiologi
membahas hakikat nilai dengan cabang-cabangnya seperti baik, indah, bagus dan
sebagainya. Aksiologi dapat dibagi menjadi tiga bentuk yakni tindakan moral yang
melahirkan etika, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika dan kehidupan sosio-
polotik yang melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
2.2 Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah penerapan dari pemikiran-pemikiran filsafat untuk
memecahkan permasalahan pendidikan. Dengan demikian filsafat memiliki manfaat dan
memberikan kontribusi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis berkenaan
dengan kepentingan pendidikan. Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat
pendidikan, yaitu:
1. Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui
pendidikan di sekolah. Sekolah ialah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik
anak-anak ke arah yang dicita-citakan oleh masyarakat, bangsa, dan negara.
2. Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai oleh filsafat yang dianut, kita mendapat
gambaran yang jelas tentang hasil yang harus dicapai.
3. Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bulat kepada segala usaha
pendidikan.
4. Tujuan pendidikan memungkinkan si pendidik menilai usahanya, hingga manakah tujuan
itu tercapai.
5. Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-kegiatan
pendidikan.
2.3 Filsafat dan Tujuan Pendidikan

Pandangan-pandangan filsafat sangat dibutuhkan dalam pendidikan, terutama dalam


menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat akan menentukan arah ke mana peserta didik
akan dibawa. Untuk itu harus ada kejelasan tentang pandangan hidup manusia atau tentang hidup
dan eksistensinya. Filsafat atau pandangan hidup yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu atau bahkan yang dianut oleh perorangan akan sangat mempengaruhi tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan pendidikan sendiri pada dasarnya merupakan
rumusan yang komprehensif mengenai apa yang seharusnya dicapai. Tujuan pendidikan memuat
pernyataan-pernyataan mengenai berbagai kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh
peserta didik selaras dengan sistem nilai dan falsafah yang dianutnya. Dengan demikian, sistem
nilai atau filsafat yang dianut oleh suatu komunitas akan memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan rumusan tujuan pendidikan yang dihasilkannya.

Dengan kata lain, filsafat suatu negara tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi tujuan
pendidikan di negara tersebut. Oleh karena itu, tujuan pendidikan di suatu negara akan berbeda
dengan tujuan pendidikan di negara lainnya, sebagai implikasi dari adanya perbedaan filsafat
yang dianutnya. Berkaitan dengan tujuan pendidikan, terdapat beberapa pendapat yang bisa
dijadikan kaji banding sebagai sumber dalam merumuskan tujuan pendidikan. Herbert Spencer
(Nasution, 1982) mengungkapkan lima kajian sebagai sumber dalam merumuskan tujuan
pendidikan, yaitu:

1. Self-Preservation, yaitu individu harus dapat menjaga kelangsungan hidupnya dengan


sehat, mencegah penyakit, dan hidup secara teratur.
2. Securing the necessities of life, yaitu individu harus sanggup mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan hidup dengan melakukan suatu pekerjaan.
3. Rearing of family, yaitu individu harus mampu menjadi ibu atau bapak yang sanggup
bertanggung jawab atas pendidikan anaknya dan kesejahteraan keluarganya.
4. Maintaining proper social and political relationships, artinya setiap individu adalah
makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan masyarakat dan negara.
5. Enjoying leisure time, yaitu individu harus sanggup memanfaatkan waktu senggangnya
dengan memilih kegiatankegiatan yang menyenangkan dan menambah kenikmatan dan
kegairahan hidup.

The United States Office of Education (1918) telah mencanangkan tujuan pendidikan
melalui “Seven Cardinal Principles”, yaitu:

1. Health, yaitu sekolah diwajibkan mempertinggi taraf kesehatan murid-murid.


2. Command of fundamental processes, yaitu penguasaan kecakapan pokok-pokok yang
fundamental seperti: menulis, membaca, dan berhitung.
3. Worthy home membership, yaitu mendidik anak-anak menjadi anggota keluarga yang
berharga, sehingga berguna bagi masyarakat.
4. Vocational efficiency, yaitu efisiensi dalam pekerjaan sehingga dalam waktu yang
singkat dapat mencapai hasil yang banyak dan memuaskan.
5. Citizenship, yaitu usaha mengembangkan bangsa menjadi warga yang baik.
6. Worthy use of leisure, yaitu memanfaatkan waktu senggang dengan baik yang senantiasa
bertambah panjang berhubung dengan industrialisasi yang lebih sempurna.
7. Satisfaction of religious needs, yaitu pemuasan kehidupan keagamaan.

Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup bermasyarakat,


berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila. Ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus
membawa peserta didik agar menjadi manusia yang ber-Pancasila. Dengan kata lain, landasan
dan arah yang ingin diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia adalah yang sesuai dengan
kandungan falsafah Pancasila itu sendiri. Nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa
Indonesia dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 2 dan 3).

Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang
terkandung dalam rumusan Pancasila. Rumusan tujuan tersebut merupakan keinginan luhur
yang harus menjadi inspirasi dan sumber bagi para guru, kepala sekolah, para pengawas
pendidikan, dan para pembuat kebijakan pendidikan agar dalam merencanakan, melaksanakan,
membina dan mengembangkan kurikulum senantiasa konsekuen dan konsisten merefleksikan
nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Melalui rumusan tujuan
pendidikan nasional di atas, jelaslah bahwa peserta didik yang ingin dihasilkan oleh sistem
pendidikan kita, antara lain untuk melahirkan manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu, dan
beramal dalam kondisi yang serasi, selaras, dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai
pandangan hidup manusia dalam hubungannya dengan pendidikan dan pembelajaran.

2.4 Aliran – aliran Filsafat Pendidikan

Pengembangan kurikulum membutuhkan filsafat sebagai acuan atau landasan berpikir.


Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab permasalahan-permasalahan
sekitar: (1) bagaimana seharusnya tujuan pendididikan itu dirumuskan, (2) isi atau materi
pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa
yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan (4) bagaimana peranan yang
seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik. Jawaban atas permasalahan tersebut akan
sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik
tolak pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta konsep-konsepnya yang
meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika dan aksiologi berimplikasi terhadap konsep-
konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan,
peranan pendidik dan peserta didik.

Konsep metafisika berimplikasi terhadap perumusan tujuan pendidikan terutama tujuan


umum pendidikan yang rumusannya ideal dan umum; konsep hakikat manusia berimplikasi
khususnya terhadap peranan pendidik dan peserta didik; konsep tentang hakikat pengetahuan
berimplikasi terhadap isi dan metode pendidikan; dan konsep aksiologi berimplikasi terutama
terhadap perumusan tujuan umum pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989) terdapat tiga
sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan pada
umumnya, dan pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu: Idealisme, Realisme, dan
Pragmatisme. Redja Mudyahardjo (2001) merangkum konsep-konsep ketiga aliran filsafat
tersebut dan implikasinya terhadap pendidikan sebagai berikut:

2.4.1 Idealisme

a) Konsep-konsep Filsafat
1. Metafisika (hakikat realitas): Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat
spititual atau rohaniah.
2. Humanologi (hakikat manusia): Jiwa dikaruniai kemampuan berpikir/rasional.
Kemampuan berpikir menyebabkan adanya kemampuan memilih.
3. Epistemologi (hakikat pengetahuan): Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi
dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai
oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar
manusia hanya sampai pada tingkat pendapat.
4. Aksiologi (hakikat nilai): Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban moral yang
diturunkan dari pandangan tentang kenyataan atau metafisika. Hakikat nilai bersifat
absolut/mutlak.
b) Konsep-konsep Pendidikan
1. Tujuan pendidikan: Tujuan-tujuan pendidikan formal dan informal, pertama-tama
adalah pembentukan karakter, dan kemudian tertuju pada pengembangan bakat dan
kebajikan sosial.
2. Isi pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal atau
pendidikan umum, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui
pendidikan praktis.
3. Metode pendidikan: Metode pendidikan yang disusun adalah metode
dialektik/dialogik, meskipun demikian setiap metode yang efektif mendorong belajar
data diterima (eklektif). Cnderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam belajar.
4. Peranan peserta didik dan pendidik: Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan
kepribadiannya. Pendidik bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan
kemampuan ilmiah. Tugas utama pendidik adalah
2.4.2 Realisme
a) Konsep-konsep Filsafat
1. Metafisika (hakikat realitas): Realitas atau kenyataan yang sebenarnya bersifat fisik
atau materi.
2. Humanologi (hakikat manusia): Hakikat manusia terletak pada apa yang dapat
dikerjakannya. Jiwa merupakan sebuah organisme yang sangat kompleks yang
mempunyai kemampuan berpikir. Manusia mungkin mempunyai kebebasan atau
tidak mempunyai kebebasan.
3. Epistemologi (hakikat pengetahuan): Pengetahuan diperoleh melalui penginderaan
dengan menggunakan pikiran. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan
memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.
4. Aksiologi (hakikat nilai): Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam yang
diperoleh melalui ilmu; dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-
kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.
b) Konsep-konsep Pendidikan
1. Tujuan pendidikan: Tujuan pendidikan adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat
dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial.
2. Isi pendidikan: Isi pendidikan adalah kurikulum komprehensif yang berisi semua
pengetahuan yang berguna bagi penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab
sosial. Kurikulum berisi unsure-unsur pendidikan liberal/pendidikan umum untuk
mengembangkan kemmapuan berpikir, dan pendidikan praktis untuk kepentingan
bekerja.
3. Metode pendidikan didasarkan pada pengalaman langsung maupu tidak langsung.
Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap atau berurutan. Pembiasaan
merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan oleh penganut realism.
4. Peranan peserta didik dan pendidik: Dalam hubungannya dengan pembelajaran,
peranan peserta didik adalah menguasai pengetahuan yang dapat berubah-ubah.
Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat
kebajikan. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, terampil dan teknik
mendidik, dan memiliki kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang
dibebankan kepadanya.
2.4.3 Pragmatisme
a) Konsep-konsep Filsafat
1. Metafisika (hakikat realitas): Suatu teori umum tentang kenyataan tidak mungkin dan
tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam
alam dan kehidupan adalah berubah (becoming).
2. Humanologi (hakikat manusia): Manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan
sosial. Ini berarti setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai
kemampuan-kemampuan biologis, psikologis, dan sosial.
3. Epistemologi (hakikat pengetahuan): Pengetahuan bersifat relatif dan terus
berkembang. Pengetahuan yang benar adalah yang ternyata berguna bagi kehidupan.
4. Aksiologi (hakikat nilai): Ukuran tingkah laku perorangan dan sosial ditentukan
secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Ini berarti tidak ada nilai
yang absolut.
b) Konsep-konsep Pendidikan
1. Tujuan pendidikan: Tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna
untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan
masyarakat. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan tetapi
terdapat dalam setiap proses pendidikan. Dengan demikian tujuan pendidikan adalah
pertumbuhan sepanjang hidup.
2. Isi pendidikan: Isi pendidikan adalah kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang
telah teruji serta minatminat dan kebutuhan-kebutuhan anak, dan pendidikan liberal
yang menghilangkan pemisahan antara pndidikan umum dengan pendidikan
praktis/vokasional.
3. Metode pendidikan: Berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan
metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah: Penyadaran suatu masalah, observasi
kondisi-kondisi yang ada, perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan,
Pengetesan melalui suatu eksperimen.
4. Peranan peserta didik dan pendidik: Peserta didik adalah sebuah organisme yang
rumit yang mampu tumbuh. Peranan pendidik adalah mengawasi dan membimbing
pengalaman belajar tanpa terlampau banyak mencampuri urusan minat dan kebutuhan
peserta didik.
2.5 Landasan Psikologis
psikologis merupakan salah satu bidang ilmu pengetahuan dan ilmu terapan tentang
perilaku, fungsi mental, dan proses mental manusia secara ilmiah.
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku manusia. Dalam setiap proses
pendidikan terjadi interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan
yang bersifat fisik maupun lingkungan sosial. Melalui pendidikan diharapkan adanya
perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik dewasa dari segi fisik, mental,
emosional, moral, intelektual, maupun sosial. Harus diingat bahwa walaupun pendidikan dan
pembelajaran adalah upaya untuk mengubah perilaku manusia, akan tetapi tidak semua
perubahan perilaku manusia/peserta didik mutlak sebagai akibat dari intervensi program
pendidikan. Perubahan perilaku peserta didik dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor
dari luar program pendidikan atau lingkungan.
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti
berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Kurikulum diharapkan dapat
menjadi alat untuk mengembangkan kemampuan potensial menjadi kemampuan aktual
peserta didik serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif
lama. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsiasumsi yang berasal dari
psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta
bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat
penting diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan
psikologi belajar. Psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai berikut. “That branch of
psychology which studies processes of pra and post natal growth and the maturation of
behavior". Artinya, "Psikologi perkembangan merupakan cabang dari psikologi yang
mempelajari proses perkembangan individu, baik sebelum maupun setelah kelahiran berikut
kematangan perilaku" (J.P. Chaplin, 1979). Sementara itu Ross Vasta, dkk. (1992)
mengemukakan bahwa psikologi perkembangan adalah "Cabang psikologi yang
mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan
individu dari mulai masa konsepsi sampai mati".
Pemahaman tentang peserta didik sangat penting dalam pengembangan kurikulum.
Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang
dilakukan sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan
yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian atau
pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.

2.5.1 Perkembangan Peserta Didik dan Kurikulum

Setiap individu dalam hidupnya melalui fase-fase perkembangan. Mengenai penentuan


fase-fase perkembangan tersebut para ahli mempunyai pendapat yang berlainan. Elizabeth
Hurlock mengemukakan penahapan perkembangan individu yang meliputi: Tahap I : fase
prenatal (sebelum lahir yaitu masa konsepsi sampai 9 bulan); Tahap II : infancy (orok,
yaitu lahir sampai 10-14 hari); Tahap III : childhood (kanak-kanak, yaitu 2 tahun sampai
remaja), dan Tahap IV : adolescence/puberty yaitu 11-13 tahun sampai usia 21 tahun).
Rousseau mengemukakan tahapan perkembangan sebagai berikut: Tahap I : 0,0 – 2,0 tahun, usia
pengasuhan Tahap II : 2,0 – 12,0 masa pendidikan jasmani dan latihan pancaindera Tahap III
: 12,0 – 15,0 periode pendidikan akal Tahap IV : 15- 20,0 periode pendidikan watak dan
pendidikan agama.

Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar (pendidikan), Syamsu Yusuf


(2005:23), menegaskan bahwa penahapan perkembangan yang digunakan sebaiknya bersifat
elektif, artinya tidak terpaku pada suatu pendapat saja tetapi bersifat luas untuk meramu dari
berbagai pendapat yang mempunyai hubungan yang erat. Atas dasar itu perkembangan individu
sejak lahir sampai masa kematangan dapat digambarkan melewati fase-fase berikut:

Tabel

FASE-FASE PERKEMBANGAN INDIVIDU

TAHAP PERKEMBANGAN USIA USIA


Masa usia prasekolah 0,0 – 6 tahun
Masa usia sekolah dasar 6,0 – 12 tahun
Masa usia sekolah menengah 12,0 -18 tahun
Masa usia mahasiswa 18,0 – 25 tahun
Sumber: Syamsu Yusuf. (2005). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja

Setiap tahap perkembangan memiliki karakteristik tersendiri, karena ada dimensi-dimensi


perkembangan tertentu yang lebih dominan dibandingkan dengan tahap perkembangan lainnya.
Atas dasar itu kita dapat memahami karakteristik profil pada setiap tahapan perkembangannya.
Syamsu Yusuf (2005:23-27) menguraikan karakteristik tahap-tahap perkembangan individu yang
digambarkan di atas sebagai berikut:

1. Masa Usia Prasekolah


Masa usia prasekolah dapat dirinci menjadi dua masa, yaitu masa vital dan masa
estetik. Pada masa vital, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk merespon
berbagai hal yang terdapat di lingkungannya. Freud menamakan tahun pertama dalam
kehidupan individu sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber
kenikmatan dan ketidanikmatan. Anak memasukkan apa saja yang dijumpai ke dalam
mulutnya, tidaklah karena mulut merupakan sumber kenikmatan utama, tetapi karena
waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar.
Pada masa ini perkembangan fisik berlangsung sangat pesat dibandingkan
dengan aspek-aspek perkembangan lainnya. Pada tahun kedua anak telah belajar
berjalan, dengan mulai berjalan anak akan mulai belajar menguasai ruang dari ruang
yang paling dikenalnya menunju ruang yang lebih jauh. Pada tahun kedua juga,
umumnya terjadi pembiasaan terhadap kebersihan (kesehatan). Melalui latihan
kebersihan, anaka belajar mengendalikan dorongan-dorongan yang datang dari dalam
dirinya misalnya buang air kecil atau buang air besar.
Masa estetik adalah masa berkembangnya rasa keindahan dan masa peka bagi
anak untuk memperoleh rangsangan (stimulasi) melalui seluruh inderanya (penglihatan,
penciuman, pendengaran, pengecap, da peraba). Para ahli pendidikan anak usia dini
menyebut masa ini adalah “the golden age” atau masa emas, karena masa ini adalah saat
yang tepat bagi anak untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangannya secara
menyeluruh.
2. Masa Usia Sekolah Dasar
Fase ini disebut juga periode intelektual, karena pada usia ini anak mulai
menunjukkan perhatian yang besar terhadap dunia ilmu pengetahuan tentang alam dan
sekitarnya. Pada usia 6-7 tahun biasanya anak telah memiliki kesiapan untuk mengikuti
kegiatan belajar di sekolah dasar. Pada masa ini anak-anak lebih mudah diarahkan, diberi
tugas yang harus diselesaikan, dan cenderung mudah untuk belajar berbagai kebiasaan
seperti makan, tidur, bangun, dan belajar pada waktu dan tempatnya dibandingkan
dengan masa prasekolah.
3. Masa Usia Sekolah Menengah
Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja. Masa remaja
merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan
peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat Pemahaman
tentang perkembangan peserta didik sebagaimana diuraikan di atas berimplikasi terhadap
pengembangan kurikulum, antara lain:
1. Setiap peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang sesuai
dengan bakat, minat, dan kebutuhannya.
2. Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib
dipelajari setiap anak di sekolah, juga perlu disediakan pelajaran pilihan yang
sesuai dengan minat anak.
3. Lembaga pendidikan hendaknya menyediakan bahan ajar baik yang bersifat
kejuruan maupun akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang akademik diberi
kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
4. Kurikulum memuat tujuan-tujuan yang mengandung aspek pengetahuan,
nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan pribadi yang utuh lahir dan
batin.
Implikasi lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses
pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat
kepada perubahan tingkah laku peserta didik.
2. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan
kebutuhan peserta didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
3. Strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.
4. Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
5. Sistem evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan
berkesinambungan.
2.6 Psikologi belajar

Psikologi belajar merupakan ilmu untuk mempelajari tentang bagaimana peserta didik
melakukan melakukan perbuatan belajar. Pengertian belajar banyak ragamnya, tergantung pada
teori belajar yang dianut. Namun demikian, secara umum belajar dapat diartikan sebagai suatu
proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan tingkah
laku dapat berbentuk pengetahuan, keterampilan, sikap atas nilai-nilai. Perubahan kematangan
atas pengaruh zat-zat kimia tidak termasuk perbuatan belajar.

1. Teori Disiplin-Mental
Teori inisering juga disebut teori daya. Asumsinya manusia memiliki berbagai daya
melihat, meraba, mengingat dan bepikir. Daya-daya tersebut dapat dilatih atau
disiplinkan sehingga dapat berfungsi atau digunakan untuk berbagai bidang
pengetahuan. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
Menurut Morris l. bigge dan Maurice P, dalam NanaSy. Sukmadiata (2005) ada
beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu:
a. Teori disiplin mental theistik, yang berasal dari psikologi daya, setiap anak memiliki
daya-daya yang dapat di latih dan dikembangkan.
b. Teori disiplin humanistik, yang bersumber dari psikologi humanisme klasik dari
plato dan Aristoteles. Teori ini menekankan keseluruhan dan keutuhan melalui
pendidikan umum (general education)
c. Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization, yang bersumber
dari psikologi naturalisme romantik dengan tokoh utamanya Jean Jacques Rousseau.
Anak memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri.
d. Apersepsi atau Herbatisme, yang bersumber dari psikologi strukturlisme dengan
tokoh utamanya Herbart.belajar adalah membentuk masa apersepsi yang akan
digunakan untuk menguasai pengetahuan selanjutnya. 1
2. Teori Behaviorisme
Teori ini disebut juga S-R Conditioning yang terdiri atas tiga teori:
a. Teori S – R Bond, yang bersumber dari psikologi koneksionisme atau teori asosiasi
dengan tokoh utamanya Edward L. Thorndike. Belajar adalah membentuk hubungan
stimulus respons. Menurut teori ini, ada tiga hukum belajar, yaitu law of readiness,
law of exercise or repetition, and law of effect.
b. Teori conditioning atau stimulus response with conditioning dengan tokoh utamanya
adalah Watson. Hubungan stimulus dengan respons perlu dibantu dengan kondisi
tertentu. Misalnya, ketika peserta didik mau masuk kelas ada tanda bel, begitu juga
ketika istirahat, ujian atau pulang sekolah.
c. Teori inforcement dengan tokoh utamanya C.L.Hull. jika teori conditioning, kondisi
diberikan pada stimulus, maka dalam teori inforcement, kondisi yang diberikan pada
respons, mislanya memberi nilai tinggi, pujian, atau hadia.
3. Teori Gesalt
Teori ini disebut teori lapangan (field theory) dengan tokoh utamanya adalah Kurt
Lewin. Asumsinya adalah keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian.
Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight, yaitu belajar merupakan
perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif.
2.7 Psikologi Perkembangan

Tujuan pendidikan adalah agar peserta didik menjadi manusia-manusia terdidik , asumsinya,
setiap peserta didik, dapat dibimbing dan dilatih dan didik (educable) jika terjadi kegagalan
berarti kegagalan guru,orang tua dan masyarakat . Bukan kegagalan peserta Didik karena tidak
ada peserta didik yang unteachable. Untuk menjadi manusia terdidik tentu peserta didik tidak
dapat hanya mengikuti pendidikan formal saja melainkan harus ditopang dengan pendidikan non
formal dan pendidikan informal . Tidak hanya memlerlajari pendidikan umum saja melainkan
pendidikan agama, pendidikan kejuruan, pendidikan teknologi, pendidikan bahasa dan seni ,
pendidikan humaniora dan lain-lain sesuai dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan
pendidikan nasional.

Seorang ahli teori psikoanalisis dan sekaligus sebagai seorang pendidik, Erik H. Erikson
dalam Mulyani S. (1988) mengemukakan “perkembangan manusia adalah sintesis dari tugas-
tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial”. Selanjutnya dikatakan bahwa perkembangan afektif
merupakan dasar perkembangan manusia. Erikson mengembangkan teori perkembangan afektif
yang terdiri atas delapan tahap, yaitu:

1. Tahap I : Trust vs Mistrust (0,0 – 1,0)


Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan,
jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan
kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego
ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam
membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan
dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.
2. Tahap II: Autonomy vs Shame and Doubt (l-3 tahun)
Dalam tahap ini, anak akan belajar bahwa dirinya memiliki kontrol atas tubuhnya. Orang
tua seharusnya menuntun anaknya, mengajarkannya untuk mengontrol keinginan atau
impuls-impulsnya, namun tidak dengan perlakuan yang kasar. Mereka melatih kehendak
mereka, tepatnya otonomi. Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai
otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.
3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)
Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan
tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut
mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki
rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan- harapan ketika ia
dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilan ego yang
diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya.
4. Tahap IV: Industry vs Inferiority (6-12 tahun)
Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari
menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada
tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan
prestasi yang diperoleh. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain,
anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa
yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.
5. Tahap V : Identity vs Role Confusion (12-18 tahun)
Pada tahap ini, terjadi perubahan pada fisik dan jiwa di masa biologis seperti orang
dewasa sehingga tampak adanya kontraindikasi bahwa di lain pihak ia dianggap dewasa
tetapi di sisi lain ia dianggap belum dewasa. Tahap ini merupakan masa stansarisasi diri
yaitu anak mencari identitas dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua
sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok
atau teman sebaya tinggi.
6. Tahap VI : Intimacy vs Isolation (masa dewasa muda)
Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain
secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat akan
menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, maka
keterampilan ego yang diperoleh adalah cinta.
7. Tahap VII : Generativity vs Stagnation (masa dewasa menengah)
Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang
telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan
kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki
pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan
membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan
ego yang dimiliki adalah perhatian.
8. Tahap VIII : Ego Integrity vs Despair (masa dewasa akhir)
Pada tahap usia lanjut ini, mereka juga dapat mengingat kembali masa lalu dan melihat
makna, ketentraman dan integritas. Refleksi ke masa lalu itu terasa menyenangkan dan
pencarian saat ini adalah untuk mengintegrasikan tujuan hidup yang telah dikejar selama
bertahun-tahun. Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya
rasa putus asa.

Dalam perkembangan kognitif menurut piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan
kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan kategori itu, anak mengenal lingkungan dan
memecahkan berbagai problem yang dihadapi dalam lingkungannya.

1. Tahap Sensori Motor (0,0 – 2,0)


Kemampuan anak terbatas pada gerakan-gerakan reflex, bahahasa awal, waktu sekarang,
dan ruang yang dekat saja. Pada tahapan ini anak melakukan kegiatan intelektual yang
diterima secara langsung melalui indra. Ketika anak mencapai kematangan dan mulai
memperoleh keterampilan berbahasa, mereka mengaplikasikannya pada objek-objek yang
nyata.
2. Tahap Praoperasional (2,0 – 7,0)
Kemampuan anak menerima perangsang masih terbatas, perkembangan bahasa sangat
pesat, pemikiran masih statis, belum dapat berpikir abstark. Keputusan yang diambil
hanya berdasarkan intuisi, bukan berdasarkan analisis rasional. Anak mengambil
kesimpulam hanya berdasarkan sebagian kecil yang di ketahui dari satu keseluruhan yang
besar.
3. Tahap Operasikonret (7,0 – 11,0)
Anak mulai mengembangkan kemampuan berpikir logis dan sistematis dalam
memecahkan masalah. Permasalahan yang dihadapi adalah permasalahan yang konkret.
Mereka menyukai soal-soal yang tersedia jawabannya.
4. Tahap Operasi Formal
Anak mulai menggukan pola berpikir orang dewasa, mampu berpikir tingkat tinggi,
mampu berpikir deduktif – induktif, berpikir analitis – sintesis, mampu berpikir abstar
dan reflektif serta memecahkan berbagai masalah. Mereka dapat mengaplikasikan cara
berpikir logis, baik masalahnya abstarak maupun yang konkret. Anak juga dapat
mengemukakan ide atau gagasan, berpikir tentang masa depan secara realitis.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Filosofis berperan sebagai sudut pandang pemikiran-pemikiran yang diterapkan pada


proses dan pelaksanaan pemecahan masalah pendidikan. filsafat memberikan serta dijadikan
salah satu dasar penentuan rencana dan konsekuen kulum agar tercapai segala cita-cita dan
tujuan sebagai konten dari kurikulum yang dibuat. pengembangan kurikulum pandangan tentang
membutuhkan filsafat sebagai acuan atau landasan berpikir.

Yaitu asumsi-asumsi tentang hakikat realitas hakikat manusia dan hakikat pengetahuan dan
hakikat nilai yang menjadi titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.asumsi asumsi filosofis
tersebut berimplikasi pada perumusan tujuan pendidikan pengembangan isi atau materi
pendidikan, penentuan strategi, serta pada peranan peserta didik.

Asumsi-asumsi yang bersumber dari topologi yang dijadikan titik tolak dalam
mengembangkan kurikulum. Ada dua jenis psikologi yang harus menjadi acuan yaitu psikologi
perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan mempelajari proses dan
karakteristik perkembangan peserta didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan psikologi belajar
mempelajari tingkah laku peserta didik dalam situasi belajar. Ada tiga jenis teori belajar yang
mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan kurikulum, yaitu teori belajar kognitif
behavioristik dan humanistik

3.2 Saran

Berdasarkan tulisan di atas kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan
kekeliruan, kami mengharapkan agar pembaca dapat memberikan tanggapan baik berupa kritikan
maupun saran yang dapat membangun
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar.(2001). Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta:Bumi Aksara.

Husin, A dan Nurrizalia, M. (2019). KurikulumPendidikan Luar Sekolah. Palembang: Unsri


Press

Sukmadinata, Nana Syaodih. (1997). Pengembangan kurikulum teori dan praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

Mudyahardo,Redha.(2008). Landasan-landasan Filosofis Pendidikan.Bandung: Fakultas Ilmu


Pendidikan UPI

Anda mungkin juga menyukai