Filsafat ilmu terdiri dari kajian yang bersifat umum, yang dikenal dengan
General Philosophy of Science dan kajian yang bersifat khusus, dalam arti secara
khusus menyelidiki berbagai cabang ilmu pengetahuan dan struktur yang
1
mendasarinya. Untuk mendapat pengertian yang lebih fungsional, maka filsafat
ilmu dapat dipahami sebagai disiplin ilmu dan landasan filosofis ilmu
pengetahuan.5
Membahas tentang filsafat ilmu sangat erat kaitannya dengan kata sains,
karena kata ilmu mempunyai arti ‘alima, ‘ilm (mengetahuui, pengetahuan) dan
thalabul ‘ilm dan sains sendiri berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti
mengetahui atau pengetahuan dan juga kata “scire” yang berarti belajar. Pengertian
sains sebagai ilmu pengetahuan ini menjadi pengertian paling dasar, sains diartikan
sebagai “ilmu” generasi terkini, karena istilah sains merupakan istilah yang banyak
digunakan dewasa ini untuk mendeskripsikan ilmu. 6
Ilmu merupakan ajaran Islam dan sains menjadi hasil dan puncak dari ajaran
tersebut. Selain itu, sains juga kerap dikaitkan dengan lingkup yang menjadi ciri
khasnya, yaitu sebagai pengetahuan ilmiah, aktivitas ilmiah dan disiplin ilmu.
Kanisius, 1990)
6 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains
Teistik, Cetakan 1, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI ), 2017), hal. 27.
2
C. Hakikat Sains dalam berbagai Perspektif
1. Sains sebagai Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan atau ilmu pengetahuan itu bukan soal yakin dan tidak
yakin, juga bukan soal paham tidak paham, akan tetapi, ini soal meyakinkan
atau tidak dan memaamkan atau tidak, tentu kepada orang-orang yang waras
akalnya. Untuk itu, dibutuhkan bukti-bukti empiris dan juga penjelasan
rasional yang tentu sja membutuhkan proses yang bertanggungjawab. Seperti
yang sudah dipaparkan di atas bahwa kajian ini menaruh perhatian khusus pada
pemikiran Immanuel Kant tentang pengetahuan, karena Kant bukan hanya
berhasil mempertemukan sarana rasio dan sensibilitas dalam proses
terbentuknya pengetahuan tetapi juga menunjukkan adanya tingkatan
pengetahuan, bahkan menempatkan pengetahuan metafisik sebagai
pengetahuan yang mungkin ilmiah.
Sedangkan Aposteriori merupakan cerapan inderawi dan akali, bersifat pasif hingga tidak berubah
3
pengalaman dan pengetahuan. Proses tersebut menurut Kant terbagi menjadi
tiga tingkatan, yang terendah adalah pengetahuan sebagai hasil pencerapan
inderawi (pengetahuan yang sangat mendasar dan dialami semua manusia pada
umumnya), lalu ketingkat akal budi (disebut juga sebagai pengetahuan
ilmiah/sains, yang merupakan konstruksi rasio ilmuwan dalam kategori apriori
terhadap pengetahuan pengalaman) dan yang tertinggi adalah tingkat rasio atau
intelek (kemampuan asasi dalam menciptakan pengertian murni dan mutlak,
disebut juga sebagai pengetahuan metafisik,-teologis, bukan hanya hasil
refleksi dari pengetahuan pengalaman dan ilmiah, melainkan dikonstruksi aktif
oleh apriori idea transendental).10
Sains sebagai aktivitas ilmiah, pengertian ini diambil dari makna ilmu
yang kedua yaitu “scire” yang berarti mempelajari. Menurut asal-usulnya,
sains merupakan aktivitas mempelajari sesuatu atau proses mencari sesuatu
dengan aktif menggali, mencari, mengejar atau menyelidiki sampai
pengetahuan diperoleh oleh subjeknya. Dengan begitu, sains sebagai aktifitas
ilmiah dapat berwujud penelaahan, penyelidikan, usaha menemukan atau
menjadi pengetahuan jika tidak dikonstruk oleh apriori. Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari
Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains Teistik, Cetakan 1,.., hal. 35.
10 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains
4
pencarian yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga disebut sebagai
penelitian.
Dari berbagai macam aktivitas tersebut, maka ada tiga tahapan bagi
subjeknya, yaitu tahapan pertama adalah Student (pembelajar sejati yang
terbiasa membaca, bergulat dengan bacaan, mengembangkan diri dengan
bacaan dan mempersiapkan diri menjadi peneliti), yang kedua adalah
Researcher (pembelajar yang tidak kenal lelah, yang menghasilkan hasil
penelitian yang bermanfaat dan terus mengokohkan dirinya guna menjadi
ilmuwan). Dan tahapan yang terakhir adalah Scientist (pembelajar dan peneliti
sejati yang mengungkap misteri alam dan sosial untuk kebermanfaatan bagi
kehidupan manusia).12
12 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains
5
awam-tradisional, ketika berbicara ketokohan seorang tokoh, subyek tokoh
akan digambarkan sisi-sisi keluarbiasaannya, dicitrakan sebagai manusia
super, manusia setengah dewa, bukan sebagai manusia biasa. Namun dalam
kacamata penelitian, atau setidaknya dalam pandangan masyarakat middle
class, ketokohan seorang tokoh mesti bisa ditemukan sisi-sisi kemanusiaannya,
ke-biasa-annya, yang sebagaimana manusia biasa itu; perjuangannya sebagai
manusia biasa, upaya-upayanya keluar dari masalah, kerja kerasnya dalam
mewujudkan idealisme, dan seterusnya. Maka jika ada, siapapun, yang
berbicara tokoh, namun tidak berhasil mengungkap sisi-sisi kemanusiaan
tokoh, sebenarnya yang bersangkutan belum bisa keluar dari nalar awam-
tradisionalnya.14
14 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains
6
dan lain-lain), dan “fakta” yaitu sesuatu yang tertangkaap oleh indera manusia
yang diyakini oleh orang banyak sebagai hal yang sebenarnya berdasarkan
pengalaman yang mereka alami16 (penampakan dari realitas yang dapat
ditangkap oleh manusia).
Development of Religion-Based Sience, Jurnal: KALAM, Vol. 13, No. 1, Juni 2019, hal. 19.
7
Selain dua istilah diatas, dikenal juga istilah fenomena keagamaan,
yang secara sederhana dapat dipahami sebagai sikap dan perilaku seseorang
yang didorong oleh motivasi keagamaan (mendirikan sholat, haji dan
qurban).20 Dalam mengkaji fenomena keagamaan, diperlukan kepekaan dalam
menangkap unsur religiusitas dibalik perilaku keagamaan, dalam hal ini tidak
cukup bagi ilmuwan melakukan pendekatan emosional dan rasional saja,
diperlukan juga sebuah pendekatan spiritual.21 Berdasarkan uraian diatas,
fenomena yang berbeda akan membawa pada penekanan metodologi yang
berbeda pula, begitu pula fungsi teori yang berbeda akan membawa pada
karakteristik keilmuan yang berbeda pula.
D. Penutup
Suatu hal yang layak diperhatikan adalah bahwa dewasa ini ilmu
pengetahuan telah berkembang sangat pesat. Sesuatu yang dahulu belum dipahami
sebagai ilmu pengetahuan sekarang telah merupakan ilmu pengetahuan tersendiri,
misalnya ilmu administrasi, ilmu komunikasi, ilmu semiotika, dan banyak ilmu
lainnya. Selain itu perkembangan ilmu juga menunjukkan ke arah perkembangan
yang semakin kompleks, yaitu ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat
monodisipliner, melainkan juga berifat antardisipliner, interdisipliner bahkan
multidisipliner. Ketiga pengertian diatas (sains sebagai pengetahuan ilmiah,
20 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains
8
aktifitas ilmiah dan disiplin ilmu) dapat dijadikan pijakan awal bagi kita semua
untuk lebih mendalami makna sains dalam filsafat ilmu yang kita pelajari ini.
DAFTAR PUSTAKA