Anda di halaman 1dari 9

SAINS DALAM RAGAM PERSPEKTIF

Oleh: Diana Aristika Putri


A. Pendahuluan

Sebelum membahas tentang sains secara mendalam, maka diperlukan untuk


memahami dengan baik makna ilmu filsafat dan juga filsafat ilmu. Ilmu filsafat
merupakan ilmu tentang dasar-dasar filsafat yang mencakup ontologi, epistemologi
dan aksiologi, objek filsaat, sejarah filsafat dan juga metode filsafat. Sedangkan
filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan dari segi
ciri-ciri dan cara-cara memperolehnya dengan lebih khusus sehingga
membedakannya dengan pengetahuan sehari-hari.1 Meskipun kajian ilmu filsafat
dam filsafat ilmu sama-sama pengetahuan, terdapat pula perbedaan diantara
keduanya. Jika ilmu filsafat mengkaji pengetahuan seluas-luasnya, maka filsafat
ilmu mengkaji pengetahuan yang bersifat khusus dan ilmiah untuk membedakannya
dengan pengetahuan sehari-hari.2

Dalam sejarah perkembangan ilmu, peran Filsafat Ilmu dalam struktur


bangunan keilmuan tidak bisa dinafikan. Sebagai landasan filisofis bagi tegaknya
suatu ilmu, mustahil para ilmuan menafikan peran filsafat ilmu dalam setiap
kegiatan keilmuan, karena tidak ada ilmu yang tidak memiliki landasan filosofis.
Filsafat ilmu (Philosophy of Science/Falsafah al-‘Ilm) adalah satu bidang ilmu yang
memiliki lingkup kajian tentang hakikat ilmu pengetahuan dalam pandangan
kefilsafatan,3 cara kerja ilmu pengetahuan dan logika atau fikiran melalui mana
pengetahuan ilmiah itu dibangun.4

Filsafat ilmu terdiri dari kajian yang bersifat umum, yang dikenal dengan
General Philosophy of Science dan kajian yang bersifat khusus, dalam arti secara
khusus menyelidiki berbagai cabang ilmu pengetahuan dan struktur yang

1 T. Subarsyah Sumadikara, Pengantar Filsafat Ilmu, (Bandung: LoGoz Publishing, 2013),


hal. viii.
2
T. Subarsyah Sumadikara, Pengantar Filsafat Ilmu,.., hal. xi.
“Philosophy of science, the study, from a philosophical perspective, of the elements of
3

scientific inquiry”. Lihat https://www.britannica.com/topic/ philosophy -of-science, diakses pada 06


Agustus 2021
4 The philosophy of science is a field that deals with what science is, how it works, and the

logic through which we build scientific knowledge” Lihat


http://undsci.berkeley.edu/article/philosophy, diakses pada 06 Agustus 2021

1
mendasarinya. Untuk mendapat pengertian yang lebih fungsional, maka filsafat
ilmu dapat dipahami sebagai disiplin ilmu dan landasan filosofis ilmu
pengetahuan.5

B. Hakikat kata Ilmu dan Sains

Membahas tentang filsafat ilmu sangat erat kaitannya dengan kata sains,
karena kata ilmu mempunyai arti ‘alima, ‘ilm (mengetahuui, pengetahuan) dan
thalabul ‘ilm dan sains sendiri berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti
mengetahui atau pengetahuan dan juga kata “scire” yang berarti belajar. Pengertian
sains sebagai ilmu pengetahuan ini menjadi pengertian paling dasar, sains diartikan
sebagai “ilmu” generasi terkini, karena istilah sains merupakan istilah yang banyak
digunakan dewasa ini untuk mendeskripsikan ilmu. 6

Tidak dibenarkan menempatkan ilmu berhadapan dengan sains, atau


membuatnya saling bertolak belakang, karena sains merupakan ilmu itu sendiri.
Sains adalah ilmu yang sudah dewasa dengan kriterianya yang bersifat publik,
sesuatu disebut ilmu jika ia bersifat publik, dalam artian banyak yang menerimanya
dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Bukan termasuk ilmu jika masih
bersifat pribadi. Sains juga diartikan sebagai ilmu yang sudah dewasa, karena
sesuatu bisa dikatakan sains jika sudah mengalami uji coba yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, makna dewasa yang kedua adalah kokoh
dan kuat logika penemuannya. Oleh karena itu, musuh ilmu adalah mitos, dalam
artian karena ilmu dapat dijelaskan sumber mendapatkannya secara gamblang.
Selain sains sebagai ilmu generasi terkini dan ilmu yang sudah dewasa, sains juga
merupakan capaian maksimal manusia dalam menggapai ajaran ilmu itu sendiri.

Ilmu merupakan ajaran Islam dan sains menjadi hasil dan puncak dari ajaran
tersebut. Selain itu, sains juga kerap dikaitkan dengan lingkup yang menjadi ciri
khasnya, yaitu sebagai pengetahuan ilmiah, aktivitas ilmiah dan disiplin ilmu.

5 Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta:

Kanisius, 1990)
6 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI ), 2017), hal. 27.

2
C. Hakikat Sains dalam berbagai Perspektif
1. Sains sebagai Pengetahuan Ilmiah

Secara konseptual, yang disebut sebagai pengetahuan merupakan hasil


akhir dari proses penyimpulan yang masuk akal dari berbagai bahan informasi
dan pengalaman,7 yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam menjalani
kehidupannya. Adapun makna sains sebagai pengetahuan ilmiah berbeda
dengan sekedar informasi atau pengalaman dan bukan juga sebagai keyakinan
bahkan keimanan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah bagaimana yakin
dan meyakinkan serta paham dan memahamkan melalui proses yang
bertanggungjawab.8 Inilah yang diusahakan oleh Immanuel Kant, yaitu
mengatasi perdebatan mengenai pengetahuan yang berasal dari pemikiran
rasionalisme dan pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur
yang terdapat dalam akal.

Pengetahuan atau ilmu pengetahuan itu bukan soal yakin dan tidak
yakin, juga bukan soal paham tidak paham, akan tetapi, ini soal meyakinkan
atau tidak dan memaamkan atau tidak, tentu kepada orang-orang yang waras
akalnya. Untuk itu, dibutuhkan bukti-bukti empiris dan juga penjelasan
rasional yang tentu sja membutuhkan proses yang bertanggungjawab. Seperti
yang sudah dipaparkan di atas bahwa kajian ini menaruh perhatian khusus pada
pemikiran Immanuel Kant tentang pengetahuan, karena Kant bukan hanya
berhasil mempertemukan sarana rasio dan sensibilitas dalam proses
terbentuknya pengetahuan tetapi juga menunjukkan adanya tingkatan
pengetahuan, bahkan menempatkan pengetahuan metafisik sebagai
pengetahuan yang mungkin ilmiah.

Kant menempatkan manusia sebagai sentral subjek dalam berfikir.


Kant menyebutkan bahwa pengetahuan terbangin oleh sintesa apriori dan
aposteriori9 . Sehingga menurutnya merupakan konstruksi rasio berupa

7 W. Poespoprojo, Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Pustaka


Grafika, 1999), p. 69
8 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 28.


9 Apriori merupakan potensi rasional manusia yang bersifat aktif mengkonstruk.

Sedangkan Aposteriori merupakan cerapan inderawi dan akali, bersifat pasif hingga tidak berubah

3
pengalaman dan pengetahuan. Proses tersebut menurut Kant terbagi menjadi
tiga tingkatan, yang terendah adalah pengetahuan sebagai hasil pencerapan
inderawi (pengetahuan yang sangat mendasar dan dialami semua manusia pada
umumnya), lalu ketingkat akal budi (disebut juga sebagai pengetahuan
ilmiah/sains, yang merupakan konstruksi rasio ilmuwan dalam kategori apriori
terhadap pengetahuan pengalaman) dan yang tertinggi adalah tingkat rasio atau
intelek (kemampuan asasi dalam menciptakan pengertian murni dan mutlak,
disebut juga sebagai pengetahuan metafisik,-teologis, bukan hanya hasil
refleksi dari pengetahuan pengalaman dan ilmiah, melainkan dikonstruksi aktif
oleh apriori idea transendental).10

Ketiga tingkatan tersebut di atas tidak akan tercapai dengan maksimal


apabila pemerhati ilmu meremehkan panca indra yang notabenenya merupakan
landasan mendasar atau sarana mereka dalam mend apat ilmu pengetahuan. Jika
ada pemerhati ilmu yang meremehkan mata, telinga dan rasio sebagai sarana
ilmiah, maka itu berarti meremehkan dirinya sendiri, punjika mencurigai
bahkan menolaknya, itu berarti mereka mencurigai dan menolak dirinya
sendiri. Tentu itu bukan hanya sebagai diri yang terkandung salah, tetapi benar-
benar salah dan error.11

2. Sains sebagai Aktifitas Ilmiah

Sains sebagai aktivitas ilmiah, pengertian ini diambil dari makna ilmu
yang kedua yaitu “scire” yang berarti mempelajari. Menurut asal-usulnya,
sains merupakan aktivitas mempelajari sesuatu atau proses mencari sesuatu
dengan aktif menggali, mencari, mengejar atau menyelidiki sampai
pengetahuan diperoleh oleh subjeknya. Dengan begitu, sains sebagai aktifitas
ilmiah dapat berwujud penelaahan, penyelidikan, usaha menemukan atau

menjadi pengetahuan jika tidak dikonstruk oleh apriori. Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari
Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains Teistik, Cetakan 1,.., hal. 35.
10 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 37-38.


11 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 31-32.

4
pencarian yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga disebut sebagai
penelitian.

Dari berbagai macam aktivitas tersebut, maka ada tiga tahapan bagi
subjeknya, yaitu tahapan pertama adalah Student (pembelajar sejati yang
terbiasa membaca, bergulat dengan bacaan, mengembangkan diri dengan
bacaan dan mempersiapkan diri menjadi peneliti), yang kedua adalah
Researcher (pembelajar yang tidak kenal lelah, yang menghasilkan hasil
penelitian yang bermanfaat dan terus mengokohkan dirinya guna menjadi
ilmuwan). Dan tahapan yang terakhir adalah Scientist (pembelajar dan peneliti
sejati yang mengungkap misteri alam dan sosial untuk kebermanfaatan bagi
kehidupan manusia).12

Sebagai aktivitas ilmiah, membaca sudah tentu bukan dalam pengertian


membaca secara harfiah saja, tetapi membaca dalam rangka mengambil makna,
maksud, pelajaran dan hikmah di balik bacaan. Membaca di sini, juga bukan
hanya dalam pengertian konsumtif, tetapi juga reproduktif, bahkan produktif.
Di tengah masyarakat, ajaran agama seringnya diceramahkan, padahal ajaran
agama juga merupakan medan baca, maka yang juga penting, adalah
direfleksikan atau dibacanya dengan cara baca yang lebih canggih, dan itu
mestinya dilakukan sudah sejak dulu, sekedar contoh, misalnya: Ajaran tentang
kebersihan; tokoh agama menceramahkan, mengupas dari segala seginya,
sementara sarana-sarana kebersihan seperti sabun, diterjen, sapu, dan alat-alat
bebersih lainnya, serta trend kebiasaan menggunakannya, lepas dari perhatian
dan pembacaan umat beragama, padahal semua itu nyata-nyata lebih efektif
dalam hal membentuk karakter dan kebiasaan bersih ini. 13

Sebagai aktivitas ilmiah, penelitian itu adalah aktivitas manusiawi,


dalam arti mengunakan cara-cara dan langkah manusiawi, menggunakan
penjelasan dan bahasa yang masuk akal. Sekedar contoh, dalam kacamata

12 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 41.


13 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 42.

5
awam-tradisional, ketika berbicara ketokohan seorang tokoh, subyek tokoh
akan digambarkan sisi-sisi keluarbiasaannya, dicitrakan sebagai manusia
super, manusia setengah dewa, bukan sebagai manusia biasa. Namun dalam
kacamata penelitian, atau setidaknya dalam pandangan masyarakat middle
class, ketokohan seorang tokoh mesti bisa ditemukan sisi-sisi kemanusiaannya,
ke-biasa-annya, yang sebagaimana manusia biasa itu; perjuangannya sebagai
manusia biasa, upaya-upayanya keluar dari masalah, kerja kerasnya dalam
mewujudkan idealisme, dan seterusnya. Maka jika ada, siapapun, yang
berbicara tokoh, namun tidak berhasil mengungkap sisi-sisi kemanusiaan
tokoh, sebenarnya yang bersangkutan belum bisa keluar dari nalar awam-
tradisionalnya.14

Jika seorang peneliti menguasai model-model kajian, memiliki riwayat


penelitian dengan road map yang panjang, mengembangkan spektrum
keahliannya, dan yang lebih pokok, dari penelitiannya, ada banyak hasil nyata
yang dirasakan masyarakat, di situ pada dasarnya tengah mengokohkan diri
sebagai seorang saintis. Aktivitas ilmiah yang terdiri dari membaca, meneliti,
dan mengembangkan ilmu, sudah tentu dapat mendatangkan kemanfaatan yang
luar bisa, bagi kemajuan umat, dan memungkinkan terbangunnya suatu
peradaban. Inilah maksud dari thalab al-‘ilm yang dalam ajaran agama Islam
merupakan kewajiban bagi umat muslim dan muslimat.15

3. Sains sebagai Disiplin Ilmu

Sains sebagai disiplin ilmu, dalam pengertian umum dimaksudkan


bahwa sains merupakan representasi realitas oleh ilmuwan menggunakan
metodologi dan ukuran validitas yang dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sebelum itu, ada dua hal yang harus dimengerti, kata “realitas” merupakan
hakikat dari apa yang terjadi yang sedang berusaha dikuak oleh ilmuwan
(kenyataan yang tidak hanya objek inderawi, tapi juga objek rasio, spiritual,

14 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 44.


15 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 45.

6
dan lain-lain), dan “fakta” yaitu sesuatu yang tertangkaap oleh indera manusia
yang diyakini oleh orang banyak sebagai hal yang sebenarnya berdasarkan
pengalaman yang mereka alami16 (penampakan dari realitas yang dapat
ditangkap oleh manusia).

Begitulah sebenarnya apa yang ditangkap manusia tentang realitas


hanya gejala-gejalanya saja.17 Awalnya, yang menarik ilmuan untuk
menangkapnya adalah gejala ilmiah (dalam filsafat disebut phenomena
natural). Dari metode ilmiah yang dipakai, para ilmuan yakin dengan adanya
hukum-hukum tetap pada alam. Dari sinilah dikenal adanya istilah hukum alam
(Newton: hukum gravitasi bumi).

Dengan berbekal hukum yang ditemukannya, para ilmuan melakukan


proses rekayasa dalam bentuk teknologi. Keberhaslan menemukan hukum
tetap mendorong para ilmuan untuk memperluas penelitiannya dengan
mempelajari “perilaku masyarakat”. Inilah awal mula dikenalnya gejala sosial
atau fenomena sosial yang berujung pada sesuatu yang disebut “hukum
sosial”.18 Inilah yang kemudian dikenal dengan gejala sosial atau fenomena
sosial. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu menemukan “hukum-hukum tetap”,
hanya saja yang dimaksud di sini bukan yang terjadi pada perilaku alam, tetapi
yang terjadi pada perilaku sosial. Maka hasil temuannya disebut “hukum
sosial”.

Diantara fenomena alam dan fenomena sosial, keduanya memiliki


perbedaan yang mendasar. Jika fenomena alam bersifat tetap, bisa direkayasa
dan dapat dieksploitasi, maka fenomena sosial bersifat berubah, kompleks, dan
tidak sederhana. Maka tidak mungkin melakukan pendekatan masyarakat
hanya dengan pendekatan rasional.19

16 D. Ehniger, Influence, Belief, and Argument: An Introduction to Responsible Persuasion,


(Glenview, IL: Scott, Foresman), hal. 51
17 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 48.


18 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 49.


19 Mohammad Muslih, Towaard Theology of Science, Philosophical Reflection on the

Development of Religion-Based Sience, Jurnal: KALAM, Vol. 13, No. 1, Juni 2019, hal. 19.

7
Selain dua istilah diatas, dikenal juga istilah fenomena keagamaan,
yang secara sederhana dapat dipahami sebagai sikap dan perilaku seseorang
yang didorong oleh motivasi keagamaan (mendirikan sholat, haji dan
qurban).20 Dalam mengkaji fenomena keagamaan, diperlukan kepekaan dalam
menangkap unsur religiusitas dibalik perilaku keagamaan, dalam hal ini tidak
cukup bagi ilmuwan melakukan pendekatan emosional dan rasional saja,
diperlukan juga sebuah pendekatan spiritual.21 Berdasarkan uraian diatas,
fenomena yang berbeda akan membawa pada penekanan metodologi yang
berbeda pula, begitu pula fungsi teori yang berbeda akan membawa pada
karakteristik keilmuan yang berbeda pula.

D. Penutup

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sains dapat


diartikan dengan tiga macam perspektif, yaitu sains sebagai pengetahuan ilmiah
yang artinya adalah bagaimana yakin dan meyakinkan serta paham dan
memahamkan melalui proses yang bertanggungjawab, sains sebagai aktivitas
ilmiah yang berwujud penelaahan, penyelidikan, usaha menemukan atau pencarian
yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga disebut sebagai penelitian, dan juga
sains sebagai disiplin ilmu yang berarti bahwa sains merupakan representasi realitas
oleh ilmuwan menggunakan metodologi dan ukuran validitas yang
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Suatu hal yang layak diperhatikan adalah bahwa dewasa ini ilmu
pengetahuan telah berkembang sangat pesat. Sesuatu yang dahulu belum dipahami
sebagai ilmu pengetahuan sekarang telah merupakan ilmu pengetahuan tersendiri,
misalnya ilmu administrasi, ilmu komunikasi, ilmu semiotika, dan banyak ilmu
lainnya. Selain itu perkembangan ilmu juga menunjukkan ke arah perkembangan
yang semakin kompleks, yaitu ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat
monodisipliner, melainkan juga berifat antardisipliner, interdisipliner bahkan
multidisipliner. Ketiga pengertian diatas (sains sebagai pengetahuan ilmiah,

20 Mohammad Muslih, Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju Lahirnya Sains

Teistik, Cetakan 1,.., hal. 50.


21 Mohammad Muslih, Towaard Theology of Science, Philosophical Reflection on the

Development of Religion-Based Sience, hal. 20.

8
aktifitas ilmiah dan disiplin ilmu) dapat dijadikan pijakan awal bagi kita semua
untuk lebih mendalami makna sains dalam filsafat ilmu yang kita pelajari ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ehniger, D. Influence, Belief, and Argument: An Introduction to Responsible


Persuasion, (Glenview, IL: Scott, Foresman).
Hardiman, Budi. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan.
(Yogyakarta: Kanisius)
Muslih, Mohammad. 2017. Falsafah Sains: Dari Isu Integrasi Keilmuan menuju
Lahirnya Sains Teistik, Cetakan 1. (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat
Islam (LESFI).
Poespoprojo, W. 1999. Logika Scientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu.
(Bandung: Pustaka Grafika).
Sumadikara, T. Subarsyah. 2013. Pengantar Filsafat Ilmu. (Bandung: LoGoz
Publishing)
Muslih, Mohammad. 2019. Towaard Theology of Science, Philosophical
Reflection on the Development of Religion-Based Sience, Jurnal: KALAM,
Vol. 13, No. 1. “Philosophy of science, the study, from a philosophical
perspective, of the elements of scientific inquiry”. Lihat
https://www.britannica.com/topic/ philosophy-of-science, diakses pada 06
Agustus 2021
The philosophy of science is a field that deals with what science is, how it works,
and the logic through which we build scientific knowledge” Lihat
http://undsci.berkeley.edu/article/philosophy, diakses pada 06 Agustus
2021

Anda mungkin juga menyukai