PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Untuk memudahkan memahami perkembangan ilmu di Barat perlu
dibuat sebuah periodesasi. Periodesasi ini didasarkan atas ciri pemikiran yang
dominan pada waktu itu. Periodesasi tersebut dikelompokkan menjadi empat
bagian, yaitu: Pertama, Zaman Yunani Kuno yang corak filsafatnya
kosmosentris. Para filosof pada masa ini mempertanyakan asal-usul alam
semesta dan jagad raya. Kedua, Zaman Abad Pertengahan dengan corak
filsafatnya yang teosentris. Para filosof pada masa ini memakai pemikiran
untuk memperkuat dogma-dogma gereja. Ketiga, Zaman Abad Modern
dengan corak antroposentris. Para filosof pada zaman ini memusatkan analisis
filsafatnya pada manusia. Keempat, Zaman Kontemporer dengan corak
logosentris yang artinya teks menjadi suatu tema sentral diskursus para filosof.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Zainil Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Raja Grafindo, 2011) hal 35.
2
Budi Hardiman, Filsafat untuk Para Profesional (Jakarta: Kompas, 2015) hal 25.
3
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
3
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat (Jakarta: Raja Grafindo, 2011) hal 40.
4
Bertens, Filsafat Barat pada Abad XX (Jakarta: PT Gramedia, 1983) hal 25-26.
4
3. Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan
Fuad dan Hamid, mengatakan ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Oleh Jujun Suriasumantri, dijelaskan bahwa
landasan ontologis membicarakan mengenai objek apa yamg ditelaah ilmu?
Bagaimana wujud yang hakiki dari wujud itu? Bagaimana hubungan antara
objek tadi dan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan?
Ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau segala sesuatu yang ada.
Dengan kata lain, tema ontologi yaitu tema yang membahas masalah
keberadaan tentang sesuatu, misalnya makhluk hidup dan alam semesta yang
semuanya merupakan suatu keberadaan yang dapat dibedakan secara empiris.5
Sisi lain terdapat keberadaan sesuatu yang tidak bisa ditangkap dan
hadir secara empiris atau konkret, yaitu metafisika. Metafisika (meta berarti di
belakang, fisika berarti sesuatu yang konkret), yaitu sebagai sesuatu yang
mengkaji tentang berbagai hal seperti gagasan, ide ataupun konsep. Gagasan
atau konsep itu semacam prinsip yang muncul atas dasar penalaran manusia.
Prinsip itu sendiri memang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi orang
akan mengenal prinsip itu apabila diaktualisasikan melalui suatu tulisan.
Sebagai contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh masyarakat
ilmuwan apabila Einstein tidak membuktikan gagasannya tanpa menuliskan
gagasannya itu melalui berbagai penelitiannya secara trial eror (uji coba).6
5
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hal 39.
6
Ermi Suharti, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Prajna Media, 2003) hal 49.
5
mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya. Oleh karena itulah setiap
ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan psikologi sangat berbeda
karena masing-masing ilmu memiliki ruang lingkup tersendiri. Ilmu
kedokteran membahas kesehatan manusia berkaitan dengan penyakit tertentu,
sedang psikologi sendiri membahas perilaku manusia dari aspek kejiwaannya.
7
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007) hal 41.
8
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 20.
6
filsuf melakukan kontemplasi yang tidak singkat. Dari hasil perenungan yang
mendalam itulah, Thales menyimpulkan bahwa asal muasal dari alam ini
adalah air, Anaximander menyimpulkan apeiron, yaitu suatu zat yang tidak
terbatas sifatnya, Anaximenes menyimpulkan udara, sedangkan Phytagoras
menyimpulkan bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda pokok.9
Tokoh besar lainnya pada zaman ini adalah Plato (428 – 348 SM), ia
merupakan murid dan pengagum Socrates. Maka tidak heran kalau pandangan
filsafatnya sangat dipengaruhi oleh gurunya tersebut. Kendatipun demikian, ia
lebih rajin menulis daripada gurunya. Terbukti dengan karangannya yang
terlahir yaitu Nomoi (undang-undang) yang belum selesai ia tulis sampai ia
menghembuskan nafas terakhirnya ketika Plato berumur 80 tahun usianya.
9
Bertens, Filsafat Barat pada Abad XX (Jakarta: PT Gramedia, 1983) hal 30.
10
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 25.
7
Pemikiran filsafat Yunani mencapai puncaknya pada murid Plato yang
bernama Aristoteles. Ia merupakan filosof pertama yang berhasil menemukan
pemecahan persoalan-persoalan besar fisafat yang dipersatukannya dalam satu
sistem meliputi: logika, filsafat alam, ilmu jiwa, metafisika (sebab pertama),
etika dan ilmu politik. Ia mengatakan bahwa tugas utama ilmu adalah mencari
penyebab-penyebab objek yang diselidiki. Kekurangan utama para filosof
sebelumnya adalah bahwa mereka tidak memeriksa semua penyebab semua.
Pada zaman kristiani ini, bahwa filsafat itu sendiri mencapai dua kali
periode keemasan atau kejayaan yaitu zaman Patristik dan Skolastik, berikut:
11
Ermi Suharti, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Prajna Media, 2003) hal 55.
12
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 30-31.
8
a. Zaman Patristik
b. Zaman Skolastik
13
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 35.
14
Bernand, Filsafat Abad 20 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988) hal 45-46.
9
pengetahuan modern sudah mulai dirintis sejak zaman Renaissans. Ilmu
pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi.
Tokoh-tokohnya adalah Copernicus, Johannes keppler juga Galileo Galilei.15
a. Rene Descrates juga seorang ahli ilmu pasti. Bagi Descrates tidak
menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali jika diyakini bahwa
memang benar. Untuk memudahkan penyelesaian masalah, perlu dipilah-
pilah menjadi bagian kecil. Berfikir runtut dari yang sederhana menuju hal
rumit. Pemeriksaan setelah mengerjakan sesuatu supaya tidak terlupakan.
15
Bernadien, Membuka Gerban Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal 33.
16
Bernand, Filsafat pada Abad 20 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988) hal 47-48..
10
c. Charles darwin dengan teorinya yang paling populer adalah struggle for
life (perjuangan untuk hidup), yang kemudian setelahnya melahirkan teori
evolusi yang menyebutkan bahwa mulanya manusia berasal dari monyet.
17
Bernadien, Membuka Gerban Filsafat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hal 35.
18
Gie The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999) hal 27-28.
11
b. Eksistensialisme, berasal dari kata eksistensi dari kata dasar exist yang
berarti keluar. Eksistensialisme adalah paham filsafat yang menekankan
keunikan dan kedudukan pertama eksistensi pengalaman kesadaran yang
dalam dan langsung. Tokohnya adalah Jean Paul Sartre. Ia berpendapat
bahwa rasio dialektika memang berbeda dengan rasio analisis itu sendiri.
19
Gie The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 1999) hal 29.
20
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 40.
12
C. Perkembangan Teori-teori tentang Kebenaran Ilmu
21
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 42.
22
Bertens, Filsafat Barat pada Abad XX (Jakarta: PT Gramedia, 1983) hal 40.
13
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
kebenaran adalah segala yang bersumber dari akal (rasio), pengalaman serta
kegunaan yang dapat dibuktikan dengan realita yang ada. Dengan kata lain,
sebagai kebenaran ilmiah. Tapi ada kebenaran yang tak perlu dibuktikan atau
dicari pembuktiannya cukup kita terima dan yakin bahwa itu ialah
kebenaran.23 Beberapa macam teori kebenaran antara lain adalah berikut ini:
23
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal 54-55.
24
Susanto, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara,2011) hal 57-58.
14
6) Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini menyatakan bahwa pernyataan
dikatakan benar bila memiliki fungsi praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Kebenaran ilmiah ada dari hasil penelitian ilmiah. Kebenaran tidak akan
muncul tanpa adanya prosedur yang dilalui. Prosedur itu melalui tahap-tahap
metode ilmiah yang berbentuk teori. Kebenaran ilmu bukanlah subjektif,
melainkan objektif yang berarti bahwa kebenaran teori atau sebuah paradigma
harus didukung fakta-fakta dan kenyataan yang objektif. Kebenaran ilmiah
memiliki struktur yang diskurisif atau rasional, empiris dan juga sekuler. 26
25
Bertens, Filsafat Barat pada Abad XX (Jakarta: PT Gramedia, 1983) hal 43.
26
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Penerbit Teraju, 2005) hal 50.
15
BAB III
PENUTUP
16
DAFTAR PUSTAKA
17