Anda di halaman 1dari 15

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Filsafat.

Filsafat telah mengantarkan kepada suatu fenomena adanya siklus


pengetahuan sehingga membentuk suatu konfigurasi dengan menunjukkan
bagaimana pohon ilmu pengetahuan telah tumbuh dan berkembang secara subur
sebagai fenomena kemanusiaan dan menjadi banyak cabang ilmu pengetahuan.
1
Dengan demikian, hakikat filsafat ilmu selain sebagai patokan, penentu, sekaligus
petunjuk arah kemana arah ilmu pengetahuan akan berlayar atau berjalan juga
filsafat ilmu menentukan kemana ilmu pengetahuan akan diantarkan dan dikem
bangkan. Filsafat ilmu merupakan kreativitas seorang filsuf dengan keilmuannya
yang menggunakan logika berpikir dalam melahirkan ilmu pengetahuan yang
beragam dalam sebuah pohon ilmu kemudian mengantarkan dan
mengembangkannya menjadi cabang yang banyak secara mandiri.

Pada tataran berikutnya masing-masig cabang ilmu pengetahuan


melepaskan diiri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri, dan masing-masing
mengikuti metodologinnya sendiri-sendiri. perkembangan ilmu pengetahuan
semakin lama semakin maju dengan munculnya bergai ilmu baru dengan berbagai
disiplin yang akhirnya memunculkan sub-sub ilmu pengetahuan baru ke arah ilmu
pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialis ilmu tertentu.ilmu
pengetahuan hakikatnya dapat dilihat sebagi suatu sistem yang terjalin berkelit
kelindan dan taat asas (konsisten) dan ungkapan yang sifatnya benar tidaknya
dapat ditentukan dengan patokan serta tolak ukur yang mendasari kebenaran.

B. Cakupan Filsafat Ilmu.


Filsafat ilmu berkembang sangatlah pesat, dengan tumbuh dan
berkembangnya berbagai ilmu yang telah dilahirkan oleh para ilmuan.
Berkembangnya filsafat ilmu mengantarkan berbagai disiplin ilmu baru tentu saja
semakin memperluas wilayah kajian filsafat ilmu, baik yang menyangkut cakupan
fisika maupun metafisika.

1
Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 17
The Liang Gie (2007) mengemukakan cakupan filsafat ilmu dari para
filsuf dunia sebagai berikut2:
Peter Angeles, yang menurutnya filsafat ilmu mempunyai empat bidang
konsentrasi utama: (a) telaah mengenai berbagai konsep, pra-anggapan, dan
metode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusun untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih ejeg dan cermat; (b) telaah kebenaran mengenai proses
penalaran dalam ilmu berikut struktur pengembangannya; (c) telaah mengenai
keterkaitan antara berbagai ilmu; (d) telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah
bagi hal-hal yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman manusia
terhadaprealitas, entitas, teoritis, dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar
kemanusiaan.

Cornellius Benyamin, (a) telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah,


dan struktur logis dan sistem perlambangan ilmiah. (b) penjelasan tentang konsep,
dasar pra-anggapan, dan pangkat pendirian ilmu, berikut landasan empiris,
rasional atau pragmatis yang menjadi tempat tumpuannya. (c) aneka telaah
mengenai saling keterkaitan antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu
karier alam semesta, misalnya idealisme, materialisme, atau pluralisme

Dalam konteks sejarah filsafat yang menjadi dasar pengembangan filsafat


ilmu, cakupan ini telah pula dikembangkan oleh para pakar ke dalam berbagai
cabang keilmuan. Pertama, Aristoteles, (a). Logika (ilmu ini dianggap sebagai
ilmu pendahuluan bagi filsafat). (b) nyata, ilmu matematika yang mempersoalkan
benda-benda alam dalam kuantitasnya. (c) Filsafat hidup perorangan, ilmu
ekonomi yang mengatur kesusilaan dan keamakmuran dalam keluarga atau rumah
tangga , ilmu politik yang mengaturkesusilaan dan kemakmuran dalam negara. (d)
Filsafat poetika (estetika), seni dan keindahan.

Dari sekian banyak telaah tentang cakupan filsafat dan filsafat ilmu, baik
dari masa Plato, Aristoteles, Renaisans, maupun pemikiran filsafat kontemporer,
ternyata cakupan filsafat dan filsafat ilmu sangat luas. Namun demikian, dia tetap
2
Ibid., h. 26-28
saja berputar disekitar lapangan utama filsafat, yakni seputar logika, etika,
estetika, fisika, dan metafisika. Walaupun ada para ahli yang membahasnya dari
segi pembahasan yang relatif berbeda dan dia hanya bergerak pada konstruk
filsafat, yaitu ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

3
Cakupan objek filsafat lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu
hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup
yang empiris dan yang non empiris. Objek ilmu terkait dengan filsafat pada objek
empiris. Disamping itu, secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat karena
awalnya filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini
secara sistematis, rasional, dan logis, termasuk hal yang empiris. Setelah berjalan
beberapa lama kajian yang terkait dengn hal yang empiris semangkin bercabang
dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan
yang praktis. Inilah proses terbentuk nya ilmu secara berkesinambungan. Will
durant mengibaratkan filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut pantai
untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infantri ini adalah sebagai
pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Karna itu, filsafat oleh para filsafat
oleh para filosof disebut sebagai induk ilmu sebab dari filsafatlah, ilmu-ilmu
modrenddan kontemporer bekembang sehingga manusia dapat menikmati ilmu
dan sekaligus buahnya yaitu teknologi.

Awalnya, filsafat terbagi pada teoritis dan praktis. Bahkan dalam


berkembangan berikutnya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai induk dan
sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagaia dari ilmu itu sendiri, yang juga
mengalami spesialisasi. Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup, filsafat
agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adaah bagian dari perkembanan filsafat
yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Filsafat ilmu
yang sedang dibahas ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tuntunan
tersebut karena filsafat tidak dapat hanya berada pada laut lepas, tetapi diharuskan
juga dapat membimbing ilmu. Di sisi lain, perkembangan ilmu yang sangat cepat
tidak saja membuat ilmu semangkin jauh dari induknya, tetapi juga memdorong
munculnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat antara satu

3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 1
bidang ilmu dengan yang lain. Tugas filsafat diantranya adalah menyatukan visi
keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan.
Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk
dikaji dan didalami.

C. Objek filsafat ilmu.

Filsafat mempunyai tempat dan kedudukan khusus. Filsafat tidak hanya


terbatas pada salah satu bidang atau lapisan kenyataan, melainkan meliputi semua
bidang dan semua dimensi yang di teliti oleh ilmu-ilmu lain, dan membuat
bidang-bidang itu semua tanpa pengeualian menjadi objek langsung bagi
penelitiannya.

4
Buku pertama tentang “Kedudukan dan Peranan Filsafat” memberi
gambaran kepada kita betapa luasnya lapangan filsafat. Paling tidak batas
lapangan itu ialah batasan alam. Kalau alam nyata merupakan lapangan ilmu,
adalah alam gaib nisbi dan hakiki jadi lapangan filsafat. Kebebasan berfikir budi
sukar untuk dibatasi. Bukan saja alam yang dipikirkannya, malahan ia menjelajah
ke luar alam, memikirkanpula ketuhanan. Masalah ketuhanan melewati batas
alam. Ilmu-ilmu yang lain itu semua masih bersifat “khusus’ atau ‘regional’,
tetapi filsafat itu bersifat total. Misalnya ada filsafat alam, filsafat manusia, filsafat
ketuhanan, dan filsafat ilmu. 5Filsafat adalah cara memandang kenyataan dengan
hampiran tersendiri; maka kerap disebut ilmu dalam pangkat kedua (a second-
level science). Sebagai objeknya yang pertama filsafat mempelajari semua objek,
sampai yang paling kaya dan ruwet, dan khususnya manusia dalam segala
dimensinya. Dalam hal itu filsafat memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu sosial
dan human. Tetapi juga alam dunia, dengan segala dimensi seperti dipelajari oleh
ilmu-ilmu eksakta, termasuk sasaran penelitian filsafat secara langsung. Tidak
terkecualikan halal paling sederhana pun. Akan tetapi bahan itu pun harus
ditampung dalam objek formal filsafat. Baru kemudian filsafat juga mempelajari

4
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 3
5
Anton Barker, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius (Aggota IKAPI), 1990), h. 35
semua ilmu lain, sebagai cara pengetahuan manusia khusus untuk menghampiri
kenyataan.

6
Mohammad Adib (2010) mengemukakan ilmu filsafat juga mempunyai
objek material dan objek formal. Objek material yaitu apa yang dipelajari dan
dikupas sebagai bahan atau materi pembicaraan. Objek material yaitu objek yang
dijadikan sasaran menyelidiki suatu ilmu, atau objek yg dipelajari ilmu itu.

Semua bidang itu oleh filsafat dipelajari menurut sebab-sebab yang


mendasar (perultimas causas); dalam hal inilah terletak objek formal filsafat. Itu
berarti, bahwa semuanya diteliti menurut konteks yang paling lengkap, dan
menurut limit-limitnya yang paling luas. Secara konkret itu berarti, bahwa semua
bidang oleh filsafat dipelajari, sejauh berkaitan berkaitan dengan hakikat manusia
sendir; sebab hakikat manusia adalah objek paling kaya dan paling padat didalam
lingkup pengalaman manusia yang langsung. Akan tetapi manusia lalu harus
dilihat baik dengan keterbukaan bagi dimensi transenden, maupun sebagai
keterbukaan terhadap dunia infrahuman. Manusia harus dilihat dalam
keutuhannya. Maka filsafat sebagai ilmu dicap oleh objek formal ini: manusia
sebagai manusia.

Dalam sejarah filsafat sejumlah filsuf memang menitikberatkan manusia


sediri sebagai pokok pemikiran dan penilitian filosofis. Misalnya menurut
protagoras (seorang sofis): “ manusia adalah ukuran untuk segala-galanya”.
Namun sayanglah ia menarik kesimpulan yang salah, yaitu bahwa segala sesuatu
menjadi relatif. Manusia sebagai titik pangkal dan pusat pemikiran juga
dipentingkan oleh descartes dan rasionalisme walaupun tetap diberikan tempat
kepada tuhan pulak. Dan manusia diberi tempat sentral juga oleh personalisme
dan eksistensialisme.

Bahan perbandingan untuk objek formal filsafat itu dapat ditemukan


dalam konkretisasi objek-objek filsafat yang pokok. Demikian misalnya oleh
mortimer adler dikumpulkan 102 ide-ide besar yang paling sentral dalam refleksi

6
Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 31
manusia sepanjang masa ( lihat the liang gie,” penelitian dalam bidang filsafat”,
dalam dari administrasi ke filsafat, hlm 70-73) dari ide-ide besar itu dapat
diperoleh pemahaman konkret mengenai implikasi objek formal filsafat itu.

D. Metode Filsafat Imu.

a. Metode-metode filsafat.

Istilah metode berasal dari kata Yunani “methodeuo” yang berarti


memngikuti jejak yang mengusut , menyelidiki dan meneliti. Metode berarti cara
kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek
yang dipermasalahkan, yang merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu.

7
Metode-metode filsafat yang dibicarakan berikut ini adalah metode-
metode yang pernah dikembangkan sepanjang sejarah filsafat, teristimewa yang
memiliki pengaruh cukup kuat bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
pada umumnya.

 Metode Zeno: Reductio ad Absurdum.


Zeno adalah seprang murid Parmenides yang termasyhur, yang dikenal
sebagai filsuf metafisika Barat yang pertama. Zeno lahir di Elea pada
tahun 490 SM. Zeno sependapat dengan Parmenides yang mengatakan
bahwa realitas yang sesungguhnya di alam semesta ini hanya satu. Untuk
mempertahankan onisme dari serangan pliralisme, dengan metode
reductio nad absurdum Zeno mengatakan bahwa seandainya ada banyak
titik yang terdapat diantara titik A dan titik B, berarti kita juga harus
mengakui adanya suatu jumlah tak terbatas seterusnya. Jika banyaknya
titik itu tak terbatas, jarak yang terbatas antara A dan B tidak mungkin
dapat terlintasi. Akan tetapi ternyata bahwa orang dapatt berjalan dari A ke
B, dan itu berarti bahwa jarak A ke B dapat dilintasi. Oleh karena itu,
hipotesi semula, yang menyatakan bahwa ada banyak titik yang terdapat di
antara

7
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal: 93-112
titik A dan B adalah benar. Jadi, jelas bahwa pluralitas itu absurd, tidak
masuk akal, dan mustahil.
 Metode Sokrates: Maieutik Dialektis Kritis Induktif.
Kendati Sokrates (470-399) dianggap sebagai salah seorang filsuf besar
sepanjang zaman, pada kenyataannya ia tidak pernah menulis sesuatu apa
pun juga sehingga tidak seorang pun dapat memaparkan pemikiran
Sokrates berdasarkan hasil karya tulisnya sendiri. Sokrates hanya dikenal
lewat berbagai karya tulis murid-muridnya yakni Aristhopanes, Xenophon,
Plato, dan karya tulis murid Plato, Aristoteles. Ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan Sokrates yang ditanpilkan oleh keempat orang itu
pun taknbegitu jelas dan tidak lengkap. Sokrates mengatakan bahwa
seperti apa yang dilakukan ibunya, yang sering menolong orang
melahirkan (ibunya seorang bidan), demikianlah pula yang dilakukannya.
Maka cara yang dilakukannya dia sebut dengan maieutika tekhne (teknik
kebidanan). Dalam dialog-dialog yang dilakukannya, Sokrates melibatkan
diri secara aktif dengan menggunakan argumentasi rasional yang didikung
oleh analisis yang cermat tentang apa saja, dalam menunjukkan perbedaan,
pertentangan, penolakan, meyaring, membersihkan, serta menjelaskan
keyakinan dan pendapat demi lahirnya kebenaran objektif.
 Metode Plato: Deduktif Spekulatif Transendental.
Pada umumnya para ahli membagi dialog-dialog Plato ke dalam tiga
periode:
1. Periode dialog-dialog awal, disebut juga sebagai periode
penyelidikan(inquiry).
2. Periode dialog-dialog pertengahan, disebut juga sebagai periode
spekulasi/pemikiran (speculation).
3. Periode dialog-dialog akhir, disebut juga sebagai periode kritisisme
penilaian, dan apklikasi (criticism, appraisal, dan application).
 Metode Aristoteles: Silogis Deduktif.
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan
untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran

baru. Kedua metode itu disebut metode induktif dan deduktif. Induksi
(epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum dari hal-hal
yang khusus. Adapun deduksi (apodiktif) ialah cara menarik konklusi
berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan.
 Metode Plotinos: Kontemplatif-Mistis.
Plotinos adalah seorang filsuf Neoplatonis. Filsafat Plotinus merupakan
suatau sistem yang hendak menjelaskan asal mula dan tujuan seluruh
realitas, termasuk manusia. Oleh sebab itu, filsafatnya hanya meruapakan
suatu doktrin, melainkan juga merupakan suatu way of life. Filsafat
Plotinus merupakan jalan pembebasan dari keterikatan dengan materi yang
merupakan penyimpangan dari kebenaran, menuju kesatuan mistis dengan
to hen yang adalah kebaikan dan kebenaran mutlak, lewat kontemplasi.
Karena itu, metode Plotinus disebut metode kontemplatis-mistis.
 Metode Descrastes: Skeptis.
Pada hakikatnay metode Descrastes sangat rasionalistis. Pertama-tama,
dengan analisis konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen
sederhana (yang rumit harus direduksi menjadi seserhana lebih dahulu).
Kemudian, diidengtifikasikan suatu pemahaman struktur realitas dengan
memahami hubungan-hubungan yang perlu yang di dalamnya elemen-
elemen tersebut harus berdiri satu diantara lainnya.
 Metode Bacon: Induktif.
Bacon memang bukan penemu metode induktif, namun ia berupaya
memperbaiki dan menyempurnakan metode itu melaui pengombinasian
metode induktif tradisional dengan eksperimentasi yang cermat demi
meraih kebenaran ilmiah yang konkret, praktis, dan bermanfaat bagi
manusia.
 Metode Eksistensialisme: Eksistensial.
Eksisitensialisme adalah suatu filsafat yang menolak pemutlakan akal budi
dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme
berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni
manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik.

 Metode Fenomenologo: Fenomenologis.


Fenomenologi bersumber dari pembedaan yang dilakuakn oleh Immanuel
Kant antara noumenal (alam yang sesungguhnya) dan phenomenal (yang
tampak/terlihat) dan juga merupakan pengembangan dari phenomenology
of spirit-nya Hegel.
 Metode Analitik: Verivikasi dan Klarifikasi.
Filsafat analitik adalah suatu aliran yang berasal dari suatu kelompok filsuf
menyebut diri Lingkaran Wina. Filsafat analitik Lingkaran Wina itu
berkembang hinggi ke luar Jerman, teristimewa ke Inggris dan Polandia.
Pada umumnya para filsuf analitik menolak metafisika karena mereka
sependapat bahwa metafisika tidak dapat “dipertanggungjawabkan” secara
ilmiah.

8
Sebagai perangkat berpikir adalah: analisis dan sintesis, sedangkan dalam
menganalisis dan mensisntesis para ahli pikir menggunakan alat pemikiran yaitu:
Logika, deduksi, analogi, dan komparasi.

Analisis: Pengertian analisis dalam kegiatan filsafat adalah rincian istilah-istilah


atau pertanyaan-pertanyaan dalam bagian-bagiannya, sehingga kita dapat
melakukan pemeriksaan atas makna yang terkandung. Adapun maksud analisis
adalah melakukan pemeriksaan secara konsepsional terhadap makna dan istilah
yang kita pergunakan dalam pertanyaan yang kita buat. Dengan analisis kita akan
memperoleh makna yang baru, dan menguji istilah-istilah dengan berbagai
contoh.

Sintesis: Sintesis sebagai upaya mencari kesatuan di dalam keragaman.


Maksudnya, mengumpulkan suatu pengetahuan yang dapat diperoleh. Karena
dalam menyusun sistem pemikiran seorang ahli pikir (filosof) mendasarkan
pikirannya pada sejumlah besar bahan yang dicari. Lebih banyak keterangan yang
diperoleh, hasilnya akan lebih baik dan lebih akurat.
8
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 19-20
Logika: adalah ilmu pengetahuan tentang penyimpulan yang lurus serta
menguraikan tentang aturan-aturan/cara-cara untuk mencapai kesimpulan dari
premis-premis.

(Logika) induksi : membicarakan penarikan kesimpulan bukan dari


pernyataan umum, melainkan dari pernyataan yang khusus. Kesimpulan bersifat
probabilitas berdasarkan atas pernyataan yang telah diajukan.

(Logika) deduksi : membicarakan cara untuk mencapai suatu kesimpulan


dengan terlebih dahulu mengajukan tentang semua/sejumlah diantara kelompok
barang tertentu.

Analogi dan Komparsi : merupakan upaya untk mencapai suatu


kesimpulan dengan menggantikan dengan apa yang kita coba untuk
membuktikannya dengan suatu yang serupa dengan hal tersebut. Dalam bidang
filsafat terdapat beberapa metode. Metode berasal dari kata meta-hodos, artinya
menuju, melalui cara, jalan. Metode sering sering diartikan sebagai jala berpikir
dalam bidang keilmuan. Dalam bidang filsafat, yaitu:

a. Metode Kritis, yaitu dengan menganalisis istilah dan pendapat, dengan


mwengajukan pertanyaan secara terus menerus sampai hakikat yang
ditanyakan.
b. Metode intuitif, yaitu dengan melakukan instrofeksi intuitif, dengn
memakai simbol-simbol.
c. Metode analisis abstraksi, yaitu dengan jalan memisah-misahkan atau
menganalisis di dalam angan-angan (di dalam pikiran) hingga sampai pada
hakikat (ditemukan jawaban).

Tidak sedikit para pakar mengatakan bahwa filsafat adalah upaya


pencarian kebenaran dan pencerahan. Dari berbagai pencarian itu, dapat dilihat
berbagai metode yang telah digunakan para filsuf guna mendapatkan kebenaran
dan pencerahan tersebut. Adapun berbagai metode itu setidaknya adalah seperti
“metode kritis” (seperti pada Socrates, Plato), “metode intuitif” (Seperti pada

Plotinus, Hendry Bergson), “metode Skolastik” (pada Thomas Aquinas),


“metode geometri” (pada Rene Descartes), “ Metode empiris” (pada francis
Bacon, David Hume), “metode transdental” (pada Immanuel Kant), “metode
diakletis” (pada Hegel), “metode fenomenologi” (pada Husserl) dan “metode
analisis bahasa” (pada Wittgenstein) (Bakker 1984).

Disamping metode-metode yang disebut itu, tentu masih ada metode yang
lain seperti metode struktualis, dekonstruksi, podst-strukturalis, semiotika, analisis
wacana, dan lain-lain. Metode-metode ini juga digunakan bukan hanya dalam
penelitian filsafat akan tetapi juga pada ilmu-ilmu khusus lainnya.

Filsafat memerlukan bermacam metode (hermeneutika, dialektika,


fenomenologi, semiotika, dan lain-lain) lantaran filsafat bertugas
“menerjemahkan” atau menginterpretasikan semua bentik pengalaman manusia.
Namun, tentu saja filsafat tidak hanya bersifat emipiris, karena (jika
dimungkinkan) filsafat berupaya menemukan gambaran koheren perihal berbagai
pengalaman, bahkan jika perlu menarik kesimpulan yang mengatasi pengalaman
itu sendiri. Filsafat ilmu pengetahuan, sebagai salah satu misalnya, berupaya
untuk bersifat kritis terhadap semua bentuk pemikiran serta asumsi-asumsi yang
mendasari pemikiran atau metode yang digunakan. Meskipun filsafat tidak begitu
akrab dalam menggunakan metode eksperimen-matematis (positivisme), namun
pembahasan tentang logika dan metodologi (berbagai macam metode yang
digunakan dalam ilmu pengetahuan) adalah bidang yang berada di bawah payung
filsafat (khususnya epistemologi).

b. Metode Filsafat Ilmu

Di dalam filsafat ilmu dicari kepastian, kebenaran, obyektivitas ilmu yang


berpangkal pada gejala-gejala ilmu, melalui deduksi yang bersifat transdental.
Seperti dalam pandangan Plato, segala pengetahuan ada pada alam baka, sudah
ada yang pasti postulat, dalil, hukum dan tunggal. Ilmu hanya mendeduksikan
alam baka dalam ingatan kita sehingga tidak sampai pada pengungkapan dimensi
empiris manusia.

Kajian untuk membedakan jenis pengetahuan satu dengan yang lainnya


dengan menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan (ontologi)? Bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi)? Untuk apa pengetahuan
termaksud dipergunakan (aksiologi)? Dengan pertanyaan mendasar ini
memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni
dan agama serta meletakkannya pada tempatnya masing-masing yang saling
memperkaya kehidupan kita (Suriasumantri, 1985)9.

Dalam upaya memeperoleh ilmu maka penggunaan pendekatan deduksi


harus didukung intuisi agar ilmu dapat dipahami pelaksanaannya. Karena uraian
ilmu itu deduksi, maka dilakukan reduksi sehingga filsafat ilmu mengetahui
orientasi yang induktif.

1. Ontologi ilmu.

Keberadaan ilmu harus dibedakan dengan filsafat, karena ilmu adalah a


posteriori kesimpulan-kesimpulannya ditarik setelah pengujian berulang-ulang
dan untuk beberapa esensinya. Sedangkan filsafat adalah “ a priori” kesimpulan-
kesimpulannya ditarik tanpa pengujian seperti ilmu.

Ontologi, menyangkut teori teori tentang ada (being) sebagai obyek sains.
Dalam sains (Barat) modern “ada” dibatasi pada obyek-obyek empiris. Dalam
ontologi, diupayakan penjelesan mengenai sifat-sifat obyek dan hubungannya
dengan subyek (perceiver atau knower).

Ontologi (hakikat ilmu) merupakan bagian dari metafisika, dan metafisika


merupakan salah satu bagian filsafat. Fisika membicarakan sesuatu yang
dijangkau oleh pancaindera manusia yakni segala sesuatu bentuk, rupa, dapat
berubah dan terangkai dengan waktu dan ruang, atau dengan kata lain, sesuatu itu
9
Syafaruddin, Filsafat Ilmu, (Bandung: Cita Pusaka, 2008), h. 57-73
adalah eksistensi, sedangkan metafisika membicarakan sesuatu yang dianggap ada
dan mempersoalkan hakikat, sebab dan tujuannya. Hakikat ini tidak dapat

dijangkau oleh pancaindera, tidak berbentuk, tak berupa tak berwaktu dan tak
bertempat. Jadi, ontologi ilmu adalah bagian dari metafisika yang mempelajari
hakikat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan, atau
mempertanyakan apa hakikat ilmu.

2. Epistemologi Ilmu.

Istilah epistemologi (bahasa Yunani episteme) yang berarti mendudukkan,


menempatkan, atau meletakkan, sering dikaitkan pula dengan gnosis (dari kata
gignosko) yang berarti menyelami, mendalami, (Watloly, 2001 : berarti
melahirkan pengetahuan.

Menurut Taryadi (1989) epistimologi disebut juga teori pengetahuan yang


diartikan sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal yag
menegaskan bahwa orang memiliki pengetahuan.

Epistemologi (episteme) ialah pengetahuan tentang suatu upaya untuk


menempatkan sesuatu yang di dalam kedudukan setepatnya. Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epistimologi ialah cabang filsafat yang
membicarakan hakikat pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, syarat-syarat
memperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian dalam pengetahuan serta
hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan.

3. Aksiologi Ilmu.

Aspek terakhir adalah aksiologi, menilai maslahat-mudharat


pengembangan ilmu/sains. Dengan demikian aksiologi tak terpisahlan dari nilai-
nilai (values). Dalam sains modern, nilai sains bersifat pragmatis-utilitarian dan
mengambil bentuk pemuasan kebutuhan-kebutuhan materialistis, atau masalah,
nilai sains modern adalah ketiadaan nilai itu sendiri alias sains untuk sains.

Aksiologi membicarakan apa kegunaan (nilai) ilmu yang didapatkan.


Setelah ilmu diperoleh, maka ilmu itu akan dipergunakan untuk kepentingan

manusia. Ilmu kemudian dapat dimanfaatkan untuk memisah-misahkan,


membatasi dan kemudian memilih sudut pandang yang akan digunakan dalam
menghadapi kejadian, peristiwa dan atau perbuatan. Kemudian manusia
berpeluang dapat dapat menempatkan masalah yang murni atau peristiwa empiris
tertentu saling berhubungan dan dapat dipewrlakukan dengan cara yang sama
sehingga dapat dipandang sebagai lapangan ilmu yang berdiri sendiri. Kenyataan
yang dipelajari yang menghasilkan pengetahuan atau ilmu baru atau ilmu murni
atau disebut juga teori murni. Dari semua pengetahuan maka ilmu merupakan
pengetahuan yang aspek ontologis, epistimologis dan aksiologisnya telah jauh
lebih berkembang dibanding dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Fungsi ilmu itu sendiri adalah
sebagai alat yang membantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah
yang dihadapi sehari-hari.

E. Tujuan Filsafat Ilmu.

Filsafat ilmu merupakan suatu patokan tingkat kedua (second-order-


criteriology. Pertanyaan ditujukan kepada pelaku ilmu, berpikir tentang apa
dengan mengajukan adanya fakta level bawah, yang menjadi tujuan filsafat ilmu
yaitu10 :

a) Karakteristik apa yang membedakan penilitian ilmiah dari penelitian lain.


b) Prosedur bagaimana patut dituruti oleh ilmuan dalam meneliti alam.
c) Kondisi bagaimana. harus dicapai bagi penjelasan ilmiah supaya mencapai
kebenaran.
d) Status kognitif bagaiman dari prinsip menemukan hukum ilmiah.

10
Ibid., h. 54
Tujuan filsafat ilmu11:

a. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita


dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.

b. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu


di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses
ilmu kontemporer secara historis.
c. Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami
studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang
ilmiah dan nonilmiah.
d. Mendorong pada calon ilmuwan dan ilmuwan untuk konsisten dalam
mendalami ilmu dan mengembangkannya.

11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Pers, 2011), h. 20

Anda mungkin juga menyukai