Anda di halaman 1dari 9

KRITIK PEMIKIRAN FAZLUR RAHMAN TENTANG ISLAMISASI

ILMU PENGETAHUAN
(Diana Aristika Putri)
A. PENDAHULUAN
Penyebutan Sains dalam Islamisasi Sains menuai beberapa paham akan
perbedaan sains, ilmu dan pengetahuan. Kata science bukan hanya dapat diartikan
sebagai ilmu saja, melainkan dapat diartikan pula sebagai “pengetahuan tentang
sesuatu sebagaimana adanya”, seperti dibedakannya science dan knowledge, ilmu
juga dibedakan oleh ilmuan Muslim dengan ra’yi (opini). Sebuah gagasan muncul
bukan tanpa sebab dan alasan yang jelas, seperti halnya Islamisasi Sains yang
muncul dikarenakan Sains Modern. Sains Modern diangkat oleh Barat pada
dasawarsa ini semakin memperlihatkan perkembangannya. Namun perkembangan
sains dan teknologi yang spektakuler saat ini tidak selalu berkolerasi positif dengan
kesejahteraan umat manusia. Pelbagaia krisis yang ditimbulkan oleh Sains Modern
berupa krisis ekologis, dehumanisasi, moral dan lain sebagainya, pun ancaman akan
kelaparan dan penyakit yang masih menghantui merupakan problem-problem yang
terkait satu sama lain. Problem kehidupan era informasi ini telah merubah
kehidupan domestic dan personal.1
Berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh Sains Modern tentu saja akan
sangat panjang jika dijabarkan satu persatu, tapi yang terpenting disini adalah ilmu
pengetahuan yang sudah terbaratkan (westernized) harus dikembalikan ke tujuan
semula, sebagaiamana Islam turun ke bumi, untuk membawa rahmat bagi alam.
Oleh karena itu, solusi kerusakan dunia yang diakibatkna oleh rusaknya sains ini
hanya dapat diatasi dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Sebab keduanya, Islam
dan Barat berbeda secara prinsip. Jika peradaban Barata telah menginnfeksi ilmu,
maka penyembuhnya adalah Islamisasi Sains. Islamisasi sains inilah yang menjadi
jawaban atas permasalahan sains modern diatas.2
Namun wacana Islamisasi Sains tersebut tidak serta merta mendapat
dukunangan dari semua pihak, baikdari kelompok maupun tokoh muslim dunia.

1 Fritjof Capra, menyebutnya sebagai penyakit-penyakit peradaban, “Titik Balik Perdaban,


Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan (terjemahan dari The Turning Point: Science,
Society, and The Rising Culture)”, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), hlm. 8.
2 Adi Setia, “Three Meaning of Islamic Science Toward Operationalizing Islamisazation

of Knowledge”, Center of Islam and Science: Free online Library, 2007.

1
Banyak tokoh yang mendukung ide Islamisasi Sains dan banyak pula yang menolak
eksistensinya. Salah satu tokoh yang ingin dibahas oleh penulis dalam pembahasan
ini adalah Fazlur Rahman. Dan apakah yang menjadi alas an beliau melakukan
penolakan terhadap Islamisasi Sains.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi Fazlur Rahman
Riwayat Hidup
Fazlur Rahman, lahir di Hazara pada tanggal 21 September 1919,
Hazara adalah suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak
di Barat laut Pakistan.3 Nama keluarga Fazlur Rahman adalah Malak, namun
nama ini tidak pernah digunakan dalam daftar referensi baik di Barat ataupun
di Timur. Ia ddilahirkan dari slahsatu keluarga muslim yang terkenal sangat
religious Kerelegiusan ini dinyatakan oleh Fazlur Rahman sendiri yang
mengatakan bahwa ia mempraktekan ibadah-ibadah keisalaman seperti shalat,
puasa, dan lainnya, tanpa meninggalkannya sekalipun. Mazhab yang dianut
oleh Fazlur Rahman adalah madzhab Hanafi, dengan kereligiusan keluarga
fazlur Rahman makai a dapat mengahafal Al-Qu’an sejak kecil.
Walaupun ia dibesarkan disekitar lingkungan yang pemikirannya masih
tradisioanl tapi fazlur Rahman tidak selalu berfikir denga tradisional dengan
anti pada kemodernan, yang mana ketika itu ayahnya memandang modernitas
adalah tantangan dan kesempurnaan.
Pendidikan
Setelah mendapatkan ilmu-ilmu dasar tentang agama lalu Fazlur
Rahman melanjutkan studinya ke Punjab University Di Lahore untuk
menyelesaikan S1 dan S2 nya dibidang sastra Arab, interitas keilmuannya
terlihat ketika ia belajar di Oxford Inggri pada 1946. Keputusan tersebut
berawal dari keprihatinan dan ketidakpuasan terhadap Pendidikan dalam negri
menurutnya masih terbelakang. Di Oxford ia mempersiapkan disertasinya
tentang Ibnu Sina dan empat tahun berselang ia mendapatkan gelar Ph. D dalam

3 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2001), hlm 1-2.

2
bidang sastra. Bagian terpenting adalah interaksinya dengan dunia rasionalisme
diBarat semakin berkembang.4
Karir
Setelah berhasil menyelesaikan studinya di Oxford, ia tidak pulang ke
kampung dan memilih berkarir akademis di Durham University sebagai dosen
Bahasa Persia dan Filsafat Islam (1950-1958) dan hijrah ke kanada. Dan
setelah itu dia pulang ke kampung halamannya guna memperbaiki negerinya.
Dan disana ia menghadapi perhadapan antara tiga kelompok besar yaitu
tradisionalis, fundamentalis, dan modernis.5
Karya-Karya
Beberapa hasil karya yang telah ditulis oleh Fazlur Rahman adalah
sebagai berikut:
a. Avicenna’s Psycology
b. Propecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy
c. Avicennas’s De Anima, being the Psycological Part of Kitab al Shifa
d. The Philosophy of Mulla Shadra
e. Islamic Methodology in History
f. Islam
g. Major Times of the Qur’an
h. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
i. Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism
j. Health and Medicine in Islamic Tradition
2. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Fazlur Rahman menolak wacana Islamisasi Sains, ia menolak
Islamisasi karena terdapat dua hal yang menjadi perhatiannya. Pertama,
mengenai Tanggung Jawab Moral pada pelaku atau subjek Islamisasi Sains.
Kedua, perlunya Reidentifikasi Tradisi Muslim jika ingin menjalankan wacana
Islamisasi Sains.

4 Mawardi, Hermenuetika Al-Qur’an Fazlurrahman (Yokyakarta: Elsaq Press, 2010),


hlm. 63.
5 Diakses dari, 5 http://just4th.blogspot.com/2015/06/biografi-fazlur-rahman.html, pada 27

september 2020, pukul 12:32

3
Tanggungjawab Moral
Permasalahan Sains tersebut penyebabnya karena dunia modern telah
salah dalam menggunakan sains. Karena sains tidak dapat disangsikan dengan
nilai-nilai (free value). Sehingga sains tidak bisa diislamkan karena tidak ada
yang salah didalamnya, masalahnya hanya dalam menyalahgunakannya. Bagi
Rahman, saians memiliki dua kualitas, seperti “pisau bermata dua” yang harus
digunakan dengan penuh kehati-hatian dan bertanggungjawab, sekaligus
sangat penting menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. 6
Dalam sebuah artikel, Rahman menuliskan kisah tentang penciptaan
nabi Adam as, Ia memberikannya Ilma atau sains. Jadi bagi manusia, Sains
sama pentingnya dengan wujud (existence). Jika manusia hanya memiliki
wujud tanpa ilmu, ia kurang mulia. Al-Qur’an menyebutkan bahwa ketika
Allah hendak menciptakan Adam, Dia menyampaikan niatnya kepada para
malaikat, awalnya pun malaikat sebenarnya tidak setuju dan bertanya:
“mengapa engkau ciptakan makhluk di bumi, sedang mereka hanya akan
berbuat kerusakan?” dan Allah-pun menjawab: “Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui!”, setelah penyempurnaan penciptaan Adam, Allah
mempertemukan malaikat dengannya. Kemudian Allah bertanya kepada
malaikat: “ceritakan kepadaku nama-nama benda ini.” Itu merupakan test yang
sangat sederhana. Para malaikatpun menjawab: “Allahu Akbar, kami tak tahu,
kami hanya mengetahui apa yang Engkau ajarkan, tak lebih!” Adam yang
diberi Allah pengetahuan, mampu menunjukkan semua nama-nama bend aitu.
Jadi, manusia (Adam) sebenarnya memiliki kapasitas pengetahuan yang sangat
besar, sementara malaikat atau makhluk lainnya tidak.
Rahman pun mencontohkan, jika sebilah pedang di berikan kepada
seorang anak kecil, mungkin saja pedang tersebut akan mencelakainya, kecuali
jika ia memiliki rasa tanggung jawab yang dapat mengontrol dirinya. Secara
tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia belum meiliki rasa tanggung
jawab yang cukup meskipun pengetahuannya sangat luas. Meski manusia
memiliki ilmu, namun ia lupa akan tanggungjawabnya, maka ketika waktu
ujiannya dating, manusia tidak akan mampu melaksanakannya amanatnya. Hal

6 Adnin Armas, ”Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”, hlm. 15

4
ini disebabkan oleh ketidaksesuain antara kekuatan pengetahuan yang
dimilikinya dan kegagalan mengangkat moral yang muncul dari pengetahuan.7
Manusia menurut Rahman merupakan makhluk yang memiliki
kelebihan disbanding makhluk-makhluk lain. Dalam hal ini, Rahman seolah
menegaskan banhwa hanya manusia yang mapu berprestasidan membangun
dunia dan kehidupan. Sedangkan makhluk lain tidak mampu untuk itu.8 Al-
Qur’an pun pada hakikatnya bertujuan untuk melejitkan energi moral manusia.
Jadi, hal utama untuk memecahkan masalah tersebut adalah bagaimana
menjadi manusia yang bertanggungjawab?
Peran Etika
Tak ada keraguan akan hasrat kaum muslimin untuk dapat
mengislamisasikan sains-sains modern. Namun begitu banyak nilai keburukan
yang berkali-kali disinggung hanya bisa diputuskan pada tahap kegiatan
intelektual, yang mana buku-buku ditulis hanya untuk memberikan informasi
mengenai realita manusia dalam berperilaku, tapi juga menunjukkan atau
menggambarkan bagaimana manusia bisa sampai terasuki dengan nilai-nilai
Islam yang kondusif bagi penegakkan suatu tatanan sosial etis di dunia. 9
Dan semua hal tersebut merupakan sebuah alasan untuk menjaga
kesanggupan dalam membedakan kebenaran dan kebathilan, dan membuat
penilaian yang benar agar terus bertahan hidup dan tetap menghidupkan rasa
tanggung jawab moral (Taqwa). Maka wajar, jika dilihat secara fisik indera,
sumber informasi bisa didapatkan secara utuh, bahkan lebih baik. Namun jika
dilihat dari hati, yang merupakan alat persepsi dan jika membahas tentang
kebenaran dari kebhatilan akan menjadi semakin tumpul, input dan output
bahkan akan menjadi semakin efesien. Dan dikarenakan semua ini
membutuhkan penalaran yang rasio dan logis, maka manusia tak mungkin
sanggup untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat.10

7 Fazlur Rahman, “Islamisasi Ilmu: Sebuah Respon”, dalam Jurnal ulumul Qur’an, No. 4,

Vol. III, 1992.


8 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual, (bandung:

Pustaka, 1999), hlm. 34.


9 Fazlur Rahman, Islam dan Moderenitas, tentang Transpotasi Intelektual, (Bandung:

Pustaka, 1985), hlm.193


10 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, hlm. 84.

5
Oleh karena itu, bila sebuah bangsa mengalami dekadensi yang
merupakan suatu penurunan atau kemerosotan dalam segi moral dan
kebudayaannya menjadi jompo, hal ini akan menjadikannya beban diatas
dunia, yang mana ia pernah berkembang dengan subur dan dapat
memperpanjang usianya, namun kematiannya tak terhindarkan “karena tak
satupun dapat mengalahkan kehendak Allah” (menurut penilaian Qur’an).
Walaupun memberikan kerugian-kerugian kepada manusia, namun secara
garis besarnya dapat memberikan manfaat yang positif dalam ushanya
mempertahankan kehidupan nila-nilai moral yang abadi.
Perhatian utama al-Qur’an adalah perilaku manusia. Sedangkan fungsi
moral adalah titik labuh transenden dari berbagai segi kehidupan, kreatifitas,
Rahmat, keadilan, dan nilai moral yang harus ditundukkan masyarakat.
Kenyataannya manusia memiliki kecenderungan jahat, oleh karena itu secara
otomatis ia adalah baik. Dan disisi lain, dalam diri manusia selalu berjuang
diantara kedua kecenderungan. Namun manusia manusia sering termakan oleh
tipu muslihat syetan yang menyebabkannya mudah merasa puas dan tenang
karena beranggapan mampu mencapai segala sesuatu,yang mana hal ini dapat
dengan mudah menghancurkan wawasan manusia, terkecuali manusia baik dan
manusia pilihan, sebagai mana dinyatakan al-Qur’an sebagai taqwa.
Perjuangan secara terus menerus merupakan sebuah kunci dari
eksistensi normative manusia dan merupakan sebuah pengabdian (ibadah)
kepada Tuhan yang diwajibkan kepadanya secara tegas oleh al-Qur’an. Pada
dasarnya Tuhan berada dalam pikiran orang beriman untuk mengatur
perilakunya yang telah berpengalaman secara religio-moral,serta pengaturan
dari esensi masalahnya.11
3. Solusi untuk Menghadapi Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Reidentifikasi Tradisi Muslim
Menurut Rahman sebelum melakukan Islamisasi, harus mengetahui
akan dibawa kemana sains itu. Dalam sejarah Islam, para ilmuwan muslim
banyak menyerap unsur-unsur dari non-barat. Di kalangan ilmuwan muslim

11 Victoria Neufeld (Ed), Webster New World Dictionary, (Cleveland & New York:

Websters New World, 1988), hal. 715.

6
banyak temuan yang berkaitan dengan masalah keimanan mendasar dan
beberapa diantaranya saling bertentangan. Persoalannya adalah menguji
kesesuaian temuan-temuan itu dengan ajaran al-Qur’an. Bagi Rahman, ini
merupakan tugas mendesak. Dengan kriteria yang sama yaitu al-Qur’an tradisi
Barat juga harus dinilai dan kerja ini dikesankan oleh Rahman dengan sifat
mekanis sedangkan islamisasi bukan kerja mekanis. 12 Kemudian terjadi
perdebatan antara para teolog dan filusuf muslim tentang Islam seperti apa
yang akan dimasukkan kedalam sains.
Para teolog muslim menyusun ajaran dan teologi untuk
mempertahankan aqidah. Spekulasinya berkisar pada pertanyaan apakah
manusia bebas atau tidak dan mengenai qadar Allah. Doktrin Asy’ari yang
menganut paham atomisme yang mengungkapkan bahwa dunia ini dibentuk
dari atom-atom yang terpecah kemudian disatukan sehingga menjadi susunan
makhluk hidup seperti kita sekarang. Dan pada hari akhir nanti Allah akan
menciptakan makhluk hidup dari pecahan atom yang hancur saat kiamat
terjadi.13 Para filusuf tidak membenarkan hal ini. Karena tidak ada kaitannya
dengan memperkuat aqidah, justru menjauhkan dari konsep akidah ang benar.
Dimana seseorang diharuskan beriman kepada Allah, Rasul, Malaikat dan Hari
Akhir, tapi juga Atomisme.
Rahman tidak peduli dengan semua ini, kenapa menerima atau menolak
tetapi menurutnya kenapa Atomisme penting sekali. Hingga salah satu ulama
Asy’ariyah menyarankan setiap muslim percaya terhadap Atomisme. Kita
terlalu peduli dengan Barat, tanpa disadari dapatkah kita membedakan yang
baik dan buruk. Menurut Rahman tugas yang harus diperiksa kembali adalah
tradisi Islam sendiri. Ia menyimpulkan bahwa seharusnya tidak perlu susah
payah menciptakan sains dan ilmu pengetahuan Islami, lebih bain
memanfaatkan waktu untuk berkreasi.
Sains dalam Islam muncul agar memungkinkan kita mengubah
permasalahan yang ada di dunia. Al-Qur’an adalah kitab yang berorientasi pada
amal perbuatan. Kita harus menggalinya pada amal perbuatan, dan

12 Syahrial, Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur Rahman , (Jakarta: Universitas

Paramadina, Jurnal Lentera Vol. 1 No. 1, Juni 2017), hlm. 77


13 Syahrial, Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur Rahman, ….., hlm. 77

7
menggalinya secara serius dan menilai tradisi kita apakah benar atau salah.
Kemudian kita dapat menilai tradisi Barat.14 Setiap orang dapat mengatakan
benar atau salah atas suatu pendapat, itu tidak akan menciptakan pengetahuan.
Pengetahuan kreatif hanya akan datang jika tertanam sikap Qur’ani. Baru
menemukan langkah pertama dalam menyingkap pengetahuan baru yang mana
merupakan tujuan utama dalam intelektualisme. 15
C. PENUTUP
Islam atau tidaknya ilmu pengetahuan tidak terletak pada ilmu itu,
melainkan pada aspek moralitas manusianya sebagai subjek pengguna ilmu
pengetahuan dan teknologi. Rahman menambahkan, bahwa pada dasarnya ilmu
pengetahuan bersifat netral, sementara itu penguasaan terhadapnya adalah wajib
meskipun harus diambil dari Barat. Hal yang strategis dan perlu dilakukan adalah
penguasaan ilmu pengetahuan oleh umat Islam sebagaimana dalam sejarah
kejayaan Islam klasik. Rahman dengan tegas mengatakan bahwa ilmu tidak bisa
diislamkan, hal ini karena tidak ada yang salah dengan ilmu tersebut. Bahkan
menurutnya kita tidak perlu bersusah payah mengupayakan Islamisasi ilmu.
Rahman menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena
ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang murni dan terlepas dari kesalahan.
Penjelasan dari Fazlur Rahman memberi kesimpulan bahwa ilmu itu bebas nilai
termasuk diberi label Islam. Islamisasi ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang
sekularistik., melepaskan dari asumsi-asumsi Barat dan menggantikannya dengan
pandangan Islam.

14 Syahrial, Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur Rahman, ….., hlm. 78-79.
15 Muhammad Taufik dan Muhammad Yasir, Mengkritik Konsep Islamisasi Ilmu Ismail
Raji Al-Faruqi: Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar, (Jogjakarta & Riau: Jurnal Ushuluddin Vol. 25
No. 2, Juli-Desember 2017), hlm. 113

8
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin. ”Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”.
Capra, Fritjof. 1997. (Terjemahan dari The Turning Point: Science, Society, and
The Rising Culture)”. (Yogyakarta: Bentang Budaya).
Mawardi, 2010. Hermenuetika Al-Qur’an Fazlurrahman (Yokyakarta: Elsaq Press)
Neufeld (Ed), Victoria. 1988. Webster New World Dictionary, (Cleveland & New York:
Websters New World).
Rahman, Fazlur. 1999. Islam dan Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual,
(Bandung: Pustaka).
Rahman, Fazlur. 2001. Gelombang Perubahan dalam Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada)
Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an.
Setia, Adi. 2007. “Three Meaning of Islamic Science Toward Operationalizing
Islamisazation of Knowledge”. (Center of Islam and Science: Free online
Library)
Syahrial. 2017. Islamisasi Sains dan Penolakan Fazlur Rahman, (Jakarta:
Universitas Paramadina, Jurnal Lentera Vol. 1 No. 1.
Rahman, Fazlur. 1992. “Islamisasi Ilmu: Sebuah Respon”, dalam Jurnal ulumul
Qur’an, No. 4, Vol. III.
Taufik, Muhammad. dan Muhammad Yasir. 2017. Mengkritik Konsep Islamisasi
Ilmu Ismail Raji Al-Faruqi: Telaah Pemikiran Ziauddin Sardar, (Jogjakarta
& Riau: Jurnal Ushuluddin Vol. 25 No. 2, Juli-Desember)
Diakses dari, http://just4th.blogspot.com/2015/06/biografi-fazlur-rahman.html,
pada 27 september 2020, pukul 12:32

Anda mungkin juga menyukai