Anda di halaman 1dari 8

Konsep Ilmu

Perspektif Islam Hingga Barat


Syamila Karunia

Pendahuluan

Salah satu faktor keterbelakangan umat islam adalah kemundurannya dalam bidang
ilmu, tradisi keilmuan perlahan redup, umat islam telah dibuat nyaman dengan berbagai
kesenangan materil hingga melupakan hal penting kehidupan yakni mengkaji ilmu, sedangkan
Sejarah Peradaban Islam telah mencatat terjadinya banyak polemik keilmuan antara yang
mendasar pada wahyu, akal atau intuisi. Tradisi keilmuan barat telah mewariskan dikotomi
ilmu antara science dan knowledge, atau antara agama dan umum, atau dengan arti lain telah
mewarnai keilmuan dengan paham sekuler, termasuk keilmuan dalam bidang agama (‘ulumud-
din). Sehingga dampak lebih jauhnya lahirlah ilmuan-ilmuan muslim sekuler seperti hal nya
Muhammad Syahrur dengan konsep milkul yamin-nya, Amina Wadud yang berani menjadi
imam sholat jumat bagi laki-laki. Kajian ini merupakan adaptasi dari materi perkuliahan
dengan Dr. Nashruddin Syarief, M.Pd.1 (Praktisi pendidikan Islam) yang memfokuskan pada
penguraian bahasan mengenai urgensi mengkaji Konsep ilmu menurut paradigma Islam dan
Barat.

Mulyadi Kartanegara dalam buku Panorama Filsafat Islam berpadangan bahwa; Pada
saat ini kita sangat membutuhkan suatu pandangan keilmuan yang lebih cocok dengan sistem
nilai dan kepercayaan masyarakat kita yang religius, agar terhindar dari dampak negatif
pandangan keilmuan Barat yang sekularistik; Untuk keperluan di atas, kita masih harus lebih
banyak belajar lagi dari para ilmuwan Muslim (Timur) tentang bagaimana dan apa pandangan
keilmuan mereka sehingga mampu mencapai prestasi ilmiah yang begitu tinggi dan diakui
dunia, tanpa tergoda untuk menolak realitas-realitas nonfisik; dan dalam pencarian ini kita
harus bersikap optimistik dan yakin akan memperoleh jalan keluar, bukan saja karena

1
Dr. Nashruddin Syarief merupakan Doktor muda ke 52 dari Program Pascasajana Universitas Ibn.
Khaldun, Bogor. Beliau lahir di Bandung pada tanggal 17 April 1983 M. Beliau pun sekaligus merupakan ulama
muda Persatuan Islam yang aktif menulis di media massa dan menghasilkan sejumlah buku, salahsatu karyanya
yaitu desertasi yang berjudul “Pemikiran H.M. Rasjidi tentang Metodelogi Studi Islam di Perguruan tinggi”,
beliau berhasil mengkritisi kerancuan metodologi studi Islam H.M. Rasjidi yang sudah sejak tahun 1975
dikemukakan, saat ini beliau merupakan pimpinan Pesantren Persatuan Islam 27 Situaksan Bandung, juga asatidz
di Pesantren Persatuan Islam 1 Bandung, belliau juga menjabat sebagai Direktur Tsaqifa Publishing, saat ini juga
beliau diamanahi sebagai Ketua Dewan Redaksi Majalah Islam Digital Tafaqquh dan Pembina Majelis Kajian
Islam (MAKI) Cimahi, tercatat sudah 14 karya tulis yang sudah diterbitkan melalui Tsaqifa Publisshing, karya
dan kiprahnya banyak menginspirasi kaum intelek muda di sekitarnya. (Pesantrenpersis27.com)
sumbangan-sumbangan pemikiran dari sarjana-sarjana Muslim, melainkan juga dari
perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan yang terjadi di Barat sendiri, yang telah
mengarah pada pandangan yang lebih seimbang dan spiritual.2

Ilmu dalam Agama Islam

Ketika sofisme berkeyakinan bahwa semua kebenaran adalah relatif, tidak mutlak, tak
jauh berbeda dengan peganut Relativisme yang beranggapan bahwa semua ilmu itu nilainnya
relatif benar, terlebih lagi paham skeptis, mereka beranggapan bahwa kebenaran sama sekali
tidak ada, semuanya diragukan, paham ini menunjukan dalam memandang sesuatu itu akan
selalu tidak pasti yaitu meragukan dan mencurigakan, hal tersebut bertentangan dengan Islam
memandang ilmu, bahwa ilmu itu wajib dicari, pengetahuan itu ada, mengetahui itu mungkin,
dan kebenaran bisa didapatkan. Islam selalu memberikan dua kaidah, diantaranya pertama,
Kaidah deduktif yaitu sumber ilmu yang bersumber dari prinsip al-Qur`an, Sunnah dan akal
yang sehat. Kedua, kaidah induktif bahwa sumber ilmu melalui eksplorasi alam semesta,
sejarah, dan perilaku manusia. Dan ilmu yang dikembangkan mencakup al-‘ulûm al-syar’iyyah
dan ilmu pengetahuan secara umum.

Tahapan Kelahiran Ilmu

1. Turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.


2. Lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu
pengetahuan.
3. Lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan adanya komunitas
ilmuwan.
4. Lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam.3

Ilmu dalam Peradaban Islam

1. Matematika: Menemukan angka nol, aljabar dan logaritma.


2. Kedokteran: al-Qânûn fi al-Tibb (The Canon) telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin pada kira-kira abad ke-12, dan telah menjadi textbook utama selama 600-700
tahun di universitas-universitas terkenal Eropa seperti Oxford, Paris, dan Budapest.

2
Mulyadi Kartanegara, 2005 Panorama Filsafat Islam, Bandung, Mizan hlm. 99
3
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam Islamia, Thn. II No. 5, April-Juni 2005, hlm. 9-18
Membahas persoalan-persoalan medis, farmasi, farmakologi, dan zoology; di
samping ilmu bedah dan saraf.
3. Al-Biruni telah mendahului Newton dalam menemukan hukum gravitasi. al-Biruni,
pada awal abad ke-11, telah memahami bahwa bumi ini bulat, mendahului Vasco
Da Gama atau Columbus.
4. Ibn Haitsam dalam al-Manâzir telah meneliti spektrum cahaya, meneliti terjadinya
pelangi melalui teori refleksi dan refraksi, menciptakan alat-alat optik seperti gelas
cembung, cekung dan parabolik, serta lensa-lensa kacamata, teleskop dan "camera
obscura", gambar terbalik dalam lensa kamera.
5. Astronomi Islam: non-Ptolemius, mengkritik teori geosentris. 4

Definisi Ilmu

Peradaban Barat modern membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu
science (ilmu pengetahuan) untuk bidang-bidang ilmu fisik atau empiris dan knowledge
(pengetahuan) untuk bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika.
Konsekuensinya, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu,
sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah). Dengan
demikian sudah dilakukannya dikotomi ilmu oleh barat.

Dalam Islam, tidak pernah terjadi pergeseran paradigma pengetahuan. Dari awal tetap
istilah 'ilm yang digunakan. Menurut kamus Arabic-English Lexicon, perkataan 'ilm berasal
dari kata 'ain-lâm-mîm yang diambil dari kata 'alâmah, yaitu "tanda, penunjuk, atau indikasi
yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-
tanda". Disebabkan hal seperti inilah, sejak dahulu umat Islam menganggap 'ilm (ilmu
pengetahuan) berarti al-Qur`an; syari'at; Sunnah; Islam; iman; ilmu spiritual ('ilm al-ladunni),
hikmah dan ma'rifah, atau sering juga disebut cahaya (nûr); pikiran (fikrah), sains (khususnya
'ilm yang kata jamaknya 'ulûm), dan pendidikan—yang kesemuanya menghimpun semua
hakikat ilmu.5

4
Panorama Filsafat Islam, hlm. 93-96
5
Wan Mohd. Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its Implications for Education in
Developing Country, terj. Munir, Konsep Pengetahuan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1997 M, hlm. 65
• Ibn Taimiyyah

Menurut Ibn Taimiyyah; Ilmu adalah yang bersandar pada dalil, yakni (1) penukilan
yang benar [al-naql al-mushaddaq] dan (2) penelitian yang akurat [al-bahts al-
muhaqqaq].6
• al-Attas

Menurut al-Attas; Ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan
karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa
didefinisikan. Pemahaman mengenai istilah 'ilm selalu diukur oleh pengetahuan
seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Oleh karena itu pasti
pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.7 Definisi deskriptif (rasmi):
Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya
jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian.

• Perspektif al-Qur`an

Barat Islam
Dibedakan menjadi science Semua jenis pengetahuan
dan knowledge. adalah ilmu

Klasifikasi Ilmu

Menurut Al-Ghazali ilmu dapat diklasifikasikan menjadi syar'iyyah dan ghair syar'iyyah8,
sedangkan menurut Ibn Taimiyyah syar'iyyah dan 'aqliyyah9 lalu al-'Utsaimin : syar'î dan
nazarî10 berbeda pula dengan Oliver Leaman : 'âlam syahâdah dan 'âlam al-ghâ`ib11 berikut
hierarki klasifikasi keilmuan diantaranya sebagai berikut;

6
Majmû' Fatâwâ, jilid 6, hlm. 388
7
Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 101.
8
Ihyâ` 'Ulûm al-Dîn, Mesir: Maktabah Mesir, 1998, juz 1, hlm. 27
9
Majmû' Fatâwâ, jilid 13, hlm. 136 dan jilid 19, hlm. 231-233
10
Kitâb al-'Ilm, Maktabah Nur al-Huda, t.th., hlm. 1-2, dan 15
11
Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung: Mizan, 2002, Cet. II, hlm. 66
- Fardu 'ain: Ilmu yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan yang kena kepada
setiap individu (pokok-pokok 'aqîdah, 'ibâdah, dan sulûk/akhlâq).
- Fardu kifâyah adalah yang selebihnya dari itu.

Menurut Al-Attas: Ilmu agama menyingkap rahasia Being dan Eksistensi, menerangkan
dengan sebenar-benarnya hubungan antara diri manusia dan Tuhan, dan menjelaskan maksud
dari mengetahui sesuatu dan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Konsekuensinya, kategori
ilmu pengetahuan agama harus membimbing ilmu pengetahuan dunia. Jika tidak, ilmu
pengetahuan dunia ini akan membingungkan manusia dan secara terus menerus menjebak
mereka dalam suasana pencarian tujuan dan makna kehidupan yang meragukan dan salah.
Mereka yang dengan sengaja memilih cabang tertentu dari ilmu dunia harus dibimbing oleh
pengetahuan yang benar dari ilmu agama.12

Islam Barat
Sebatas klasifikasi, Dikotomi ilmu,
Syar’i (agama) memandu Tidak ada ilmu agama
‘aqli (akal)/wahmi (intuisi)

Sumber Ilmu

• Rasionalisme: Mendasarkan diri pada rasio, logis


• Empirisme: Mendasarkan diri pada indera, empiris. Logis-empiris = ilmiah versi Barat
(positivisme)
• Intuisi: Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja
menemukan jawaban atas permasalahan tersebut.
• Wahyu
• Iluminasionisme: kasyf, mendapatkan ilham lewat pembersihan diri.13
Ibn Taimiyyah: (1) khabar, (2) akal dan indera, baik (3) indera lahir, yakni panca indera,
atau (4) indera batin, yakni intuisi hati (ilham).14 “Pengetahuan yang diperoleh lewat
ilhâm tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain

12
Wan Daud, The Educational Philosophy, hlm. 115.
13
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 50-54; Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 25-27
14
Dar` Ta'ârud, jilid 1, hlm. 178; jilid 7, hlm. 324; jilid 8, hlm. 40-41
sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-
Nya, yaitu para Nabi.”15
• al-Nasafi dan al-Attas: (1) Perspesi indera/idrâk al-hawâs, (2) proses akal sehat/ta'âqul,
(3) intuisi hati/qalb, dan (4) informasi yang benar/khabar shâdiq.16
• Al-Ghazali: Hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu (1)
hissî/indera, (2) wahmî/intuisi, dan (3) 'aqlî/akal. Ditambah (4) wahyu sebagaimana
dijelaskan dalam Tahafut al-Falasifah. al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari
orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan
Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq.17
• al-Baqillani: (1) hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam' (indera mendengar),
hâssat al-dzauq (indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), hâssat al-lams
(indera merasa dan meraba), dan non-indera, yaitu (2) intuisi, (3) akal, dan (4) khabar 18

BARAT ISLAM
• Tidak ada pemilahan antara antara
Yang diakui ilmiah hanya yang yang revelational, logis, empiris, dan
logis dan empiris. intuitif.
• Revelational menjadi dasar ilmu

Kekacauan Ilmu

Kekacauan ilmu disebabkan sikap yang terlalu ekstrem dalam mendikotomikan akal dan
wahyu. Ibn Taimiyyah dengan tegas menyalahkan pihak-pihak yang menolak peran akal sama
sekali, seperti pengikut madzhab Malik, al-Syafi'i, Ahmad, dan yang lainnya. Demikian juga
pihak yang menolak wahyu sama sekali, seperti para filosof dan ahli kalam.19

Pemahaman yang menyimpang: (1) tabdîl (pengubahan) terhadap konsep wahyu dan
(2) tajhîl (pembodohan) dengan menilai bahwa apa yang disampaikan para Nabi tidak cukup
disebabkan ketidaktahuan para Nabi terhadap fenomena yang sebenarnya. Menurut Ibn

15
Dar` Ta'ârud, jilid 8, hlm. 46
16
The Educational Philosophy, hlm. 115
17
Mi'yâr al-'Ilm fî Fann al-Mantiq, hlm. 2
18
Tamhîd al-Awâ`il fî Qawâ'id al-Ushûl, hlm. 28-30
19
Dar` Ta'ârud, jilid 8, hlm. 24
Taimiyyah, para filosof, parktisi tasawuf dan ahli kalam, banyak yang masuk dalam kelompok-
kelompok ini. 20

Adanya musyâbahah (penjiplakan budaya) terhadap Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani),
Yunani, Romawi, Persia dan kebudayaan-kebudayaan lainnya 21 Para ilmuwan tersilaukan oleh
peradaban luar seraya merasa rendah dengan peradaban yang dimiliki oleh sendiri. Padahal
para shahabat dan generasi sesudahnya dari para pengikut Rasul saw adalah sebaik-baiknya
generasi ketika dibandingkan dengan Ahli Kitab. Apalagi ketika dibandingkan dengan umat-
umat lainnya.22 Mengabaikan kiblat pengkajian ilmu: Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, dan
Syam. Dari kelima tempat itulah para shahabat menyebarkan ilmunya. Bukan negeri Yunani,
Romawi, dan lain sebagainya yang jelas-jelas dihuni oleh peradaban yang rusak ilmu dan
agamanya.23

Kompromi Akal dan Wahyu

1. Bedakan antara sam'î (wahyu) dan 'aqlî (akal), lalu qat'î (meyakinkan) dan zannî
(praduga).

2. Jika yang bertentangan kedua-duanya qat'î, maka ini tidak boleh dan tidak mungkin
terjadi. Baik itu antara sesama sam'î, sesama 'aqlî, atau antara sam'î dan 'aqlî. “Perlu
ditegaskan bahwa ajaran agama yang dibawa Rasul saw kedudukannya ma'lûm bi al-
idthirâr (mudah sekali untuk dimengerti). Seperti kewajiban ibadah, keharaman fahsyâ,
tauhîd-nya Sang Pencipta, dan adanya hari akhir. Maka ketika ada dalil 'aqlî qat'î yang
menentangnya, dalil 'aqlî tersebut nyata kebatilannya. Karena jika tidak, berarti sang
pemilih dalil 'aqlî tersebut telah mendustakan Rasul saw, dan ini merupakan bentuk
kekufuran yang sharih.”

3. Jika yang bertentangan salah satunya qat'î dan satunya lagi zannî, maka yang qat'î harus
diambil. Walaupun yang terjadi dalil 'aqlînya yang qat'î dan dalil sam'î-nya yang zannî.

4. Jika yang bertentangan tersebut kedua-duanya zannî, maka harus dilakukan tarjîh untuk
memilih mana yang paling râjih (kuat) di antara keduanya. Tidak perlu harus selalu
dengan mendahulukan sam'î atas 'aqlî.24

20
Dar` Ta'ârud, jilid 1, hlm. 8-19.
21
Majmû' Fatâwâ, jilid 15, hlm. 151; jilid 4, hlm. 210-211; dan jilid 17, hlm. 292.
22
Majmû' Fatâwâ, jilid 4, hlm. 139.
23
Majmû' Fatâwâ, jilid 10, hlm. 361.
24
(Dar` Ta'ârud, jilid 8, hlm. 24; jilid 1, hlm. 8-19; jilid 1, hlm. 78-81)
Penutup

Penanaman nilai-nilai kebenaran, kepastian untuk mengetahui dan kemungkinan untuk


mencapainya, harus sudah ditanamkan sejak dini. Semua ilmu pengetahuan yang diajarkan
pada anak didik harus sudah bersih dari nilai-nilai sekuler (dewesternisasi). Caranya
memastikan semua ilmu pengetahuan yang diajarkan terbimbing oleh ilmu syari'at (islamisasi).

Ilmu-ilmu agama (‘ulumud-din) yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam harus


dibersihkan dari nilai-nilai skeptisisme dan relativisme. Ilmu-ilmu agama (‘ulumud-din) yang
diajarkan di lembaga pendidikan Islam juga dengan sendirinya harus memperhatikan wahyu
sebagai sumber utama ilmu.

Anda mungkin juga menyukai