Anda di halaman 1dari 22

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

“Metodologi Pengembangan Keilmuan (Epistemologi II) dalam Perspektif Islam dan Barat”
(Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Islam dan Ilmu
Pengetahuan)
Dosen Pengampu : Dr. Khalimi, M.Ag

Disusun Oleh :
Nur Auliya Zahra 11190183000041

Ainun Madaniyah 11190183000046

Risa Maulida 11190183000051

Kelas 6B

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan karunia-Nya
pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini. Semoga makalah yang telah
pemakalah buat dapat digunakan sebagai acuan, petunjuk, ataupun pedoman bagi para pembaca
dalam memahami ” Metodologi Pengembangan Keilmuan (Epistemologi II) dalam
Perspektif Islam dan Barat”.
Harapan pemakalah ke depan adalah semoga makalah ini dapat membantu para
pembaca untuk lebih memahami dan juga menambah pengetahuan serta pengalaman yang
diperoleh dari hasil membaca makalah ini, sehingga pemakalah dapat memperbaiki segala
kekurangan yang terdapat ataupun mengkaji makalah yang terdapat dalam makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini, pemakalah sadari masih terdapat banyak kesalahan baik
dari segi penulisan maupun isi. Oleh karena itu, pemakalah berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah yang telah
dibuat.

Ciputat, 01 April 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epistemologi merupakan dua kata yang dari bahasa Yunani yaitu
episteme(pengetahuan) dan logos (ilmu). Epistemologi merupakan salah satu
cabang dari filsafat ilmu yang membicarakan tentang asal, sifat, karakter, dan
jenis pengetahuan. Epistemologi juga merupakan pembicaraan tentang hakikat
dari ilmu pengetahuan, dasar-dasarnya, ruang-lingkup, sumber-sumbernya,
dan bagaimana mempertanggungjawabkan kebenarannya. Pengetahuan itu
diperoleh dengan metode ilmiah, sedangkan metode ilmiah itu adalah cara
yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Kebenaran itu
sendiri diperoleh dengan berbagai macam teori kebenaran yang
1
diungkapkan sebagian tokoh dan perjalanan sejarah.
Epistemologi atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam
seluruh yang terlihat dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu
merupakan yang diperoleh melalui proses tertentu yang disebut dengan
metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan antara ilmu dengan
hasil pemikiran yang lainnya yang tidak menggunakan metode keilmuan.
Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
menerapkan metode kelimuan karena ilmu merupakan sebagian dari
pengetahuan.2 Dalam perkembangan selanjutnya metode keilmuan ini
segera memunculkan aliran dalam epistemologi yaitu bagaimana manusia
akan mendapat pengetahuannya sehingga pengetahuan itu benar dan berlaku?
Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa asal dan sumber pengetahuan
manusia diperoleh melalui rasionalisme (pikiran manusia), empirisme
(pengalaman manusia), dan kritisisme (dari luar dan jiwa manusia,
transedentalisme). Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa hakikat
pengetahuan manusia adalah realisme (pengetahuan/kebenaran yang
sesungguhnya berasal dari fakta yang ada) dan idealisme
(pengetahuan/kebenaran yang sesungguhnya terletak dalam jiwa manusia).
Ketika kota-kota pusat pendidikan Islam seperti Baghdad, Cordoba,
Qairawan, Bashrah, dan Kuffah berkembang menjadi masa kejayaan Islam.
Lautan ilmu pengetahuan meluas sangat pesat, penduduknya mendalami seni

1
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), Hal.105.
2
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), Hal. 9
pengajaran dan berbagai jenis ilmu pengetahuan, merumuskan berbagai
persoalan (ilmiah) dan seni sehingga mereka mengungguli orang-oranng
terdahulu dan melampaui orang-orang kemudian. Namun, setelah peradaban
kota-kota itu merosot dan penduduknya mundur, μpermadani dengan segala
yang berada di atasnya itu tergulung∂dan lenyapnya ilmu pengetahuan dan
pengajaran. Kemudian, pindah ke kota-kota Islam lainnya.3

B. Rumusan Masalah
1. Metodologi Penelitian Keilmuan dalam Perspektif Islam?
2. Metodologi Penelitian Keilmuan dalam Perspektif Barat?
3. Perbedaan Epistimologi Islam dan Barat?
4. Epistimologi Bayani dan Irfan?

3
Nurcholosh Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam ( Jakarta, Bulan Bintang: 1984), Hal. 309.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metodologi Penelitian Keilmuan dalam Perspektif Islam


Metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang berhubungan dengan
pembahasan tentang metode-metode yang digunakan dalam mengkaji gejala-
gejala yang terjadi pada alam atau manusia. Suatu metode ilmiah adalah aturan-
aturan yang „harus‟ diikuti oleh peneliti dalam melakukan kajian terhadap
pokok persoalan yang dikajinya. Sedangkan metodologi penelitian dalam kajian
Islam, secara sederhana, adalah ilmu tentang cara-cara atau metode-metode
yang digunakan secara runtut dalam meneliti, memahami dan menggali ajaran-
ajaran atau pengetahuan-pengetahuan dari sumber-sumber yang diakui oleh
pedoman otoritatif, Al-Qur`an. Dalam skema Al-Qur`an, pengetahuan itu dapat
diperoleh melalui wahyu (haqq al-yaqin), rasionalisme atau inferensi yang
didasarkan pada pertimbangan dan bukti („ilm al-yaqin), imperisisme dan
melalui persepsi, yakni dengan observasi, eksperimen, laporan sejarah,
deskripsi pengalaman.4
Cara-cara atau metode-metode pencapaian pengetahuan melalui
sumber-sumber yang diakui Al-Qur`an, secara historis, telah dilakukan oleh
para ulama, fuqaha`, ilmuwan, filosof muslim dan para sufi. Banyak variasi
metode yang mereka gunakan dalam penelitian tersebut, yang semuanya
bertujuan untuk diaplikasikan atau diamalkan dalam kehidupan manusia, baik
secara individu maupun sosial. Melalui usaha semacam ini, para ulama dan
ilmuwan tersebut telah banyak menghasilkan atau memproduk ilmu-ilmu, yang
menjadi khazanah suatu peradaban Islam, baik kategori ilmu-ilmu riwayat
maupun ilmu-ilmu rasional, termasuk ilmu-ilmu terapan yang langsung dapat
dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata.Tidak hanya itu, ilmu-
ilmu yang dihasilkan melalui at-taqarrub ila Allah pun juga dihasilkan oleh
kaum sufi.5
Apa yang dilakukan oleh para ulama dan pemikir Islam di atas,
merupakan suatu kesadaran bahwa seiring dengan perkembangan masyarakat
Islam di berbagai bidang, untuk memahami Islam secara holistik atau
menerapkannya dalam masyarakat yang memiliki berbagai kebutuhan dan

4
Abd al-Rasyid Moten, “Islamization of Knowledge” Methodology of Research in Political Science, American
Journal of Islamic Social Science, 1990, hlm. 164
5
Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), hlm. 537
kepentingan, masih diperlukan rumusan-rumusan yang konkrit. Sebab,
kebanyakan sumber ajaran Islam, baik Al-Qur`an maupun Sunnah, belum
memberikan penjelasan tentang kebutuhan tersebut secara detail atau rinci,
kecuali untuk hal-hal tertentu, bahkan hanya memberikan spirit untuk dilakukan
suatu tindakan lebih lanjut, atau hanya memuat nilai-nilai, supaya pesan-pesan
ajaran tersebut menjadi aktual bagi masyarakat. Kesadaran tersebut,
sesungguhnya telah diakui sendiri oleh Nabi, melalui tindakan dan
persetujuannya terhadap penggunaan akal (istikhdam al-„aql) sebagai upaya
penerapan ajaran-ajaran Islam dalam masyarakat, yang dikenal dengan istilah
ijtihad.6
Kesadaran akan perlunya sistem penjelasan dan pemahaman terhadap
ajaran-ajaran Islam yang lebih sederhana dan aflikatif, lebih elaboratif dan
dipandang dapat menyentuh persoalan-persoalan „konkrit‟ dalam masyarakat
muslim, khususnya para ilmuwan muslim terdahulu, juga ditemukan pada para
ulama, pemikir dan ilmuwan Muslim Indonesia sekarang. Namun demikian,
kesadaran mereka tersebut, memunculkan suatu problem besar dalam aspek
metodologis. Kebanyakan mereka, dalam memahami ajaran-ajaran Islam,
masih memanfaatkan metode-metode dan teori-teori sosial yang nota bene
adalah produk peradaban Barat, sementara metode-metode produk muslim
klasik hampir terlupakan. Pemanfaatan metode-metode dan teori-teori sosial
produk Barat tersebut tidaklah salah sama sekali, tetapi ketika ajaran-ajaran
Islam yang tidak lepas dari otoritas wahyu diabaikan, maka pesan-pesan yang
akan didapatkan akan menjadi semu, tercerabut dari dasar pijakannya.
Dengan ungkapan lain, ketika seorang ilmuwan Muslim melakukan
kajian-kajian Islam dengan memanfaatkan metode dan teori yang berasal dari
tradisi Barat modern itu, apalagi secara kesendirian, tanpa melibatkan atau
menyandingkannya dengan khazanah-khazanah metodologis produk muslim
klasik, maka seringkali akan berbenturan dengan basis ontologis, epistemologis
dan aksiologisnya, yang memang sejak semula telah berbeda, atau paling tidak
akan semakin mengaburkan metode-metode dan teori-teori yang pernah ada
dalam tradisi muslim klasik.
Terabaikannya metodologi Islam, terlihat dari kebingungan para
pengkaji atau peneliti ajaran Islam pemula dalam menentukan metode yang
harus digunakan. Sehingga karya mereka betul-betul diakui sebagai karya

6
Abu Zaid Farouq, asy-Syari‟ah al-Islamiyah Bain al-Muhafizhin wa al-Mujaddidin, (Kairo: Dar al-Mauqif, tt),
hlm. 19
ilmiah. Ketika, umpamanya, seorang Dosen mata kuliah Metodologi Penelitian
mengatakan bahwa karya-karya para mahasiswa PTAIN bukanlah karya ilmiah,
maka direspons dengan ke‟sewot‟an. Ini memperlihatkan bahwa ilmu dan
metodologi produk ilmuwan Muslim terlihat asing bagi mereka, bahkan sengaja
dijadikan „asing‟, terdinding oleh metodologi produk peradaban Barat yang
tidak mempertimbangkan unsur wahyu.
Sering diklaim, bahwa metodologi penelitian dalam kajian Islam,
kurang menyentuh kajian-kajian tentang perilaku sosial yang tidak terkait
langsung dengan norma-norma wahyu. Klaim semacam ini, apabila yang
dimaksudkan adalah metode bayani atau normatif maka benar adanya, tetapi
manakala dikembalikan lagi eksistensi metodologi penelitian Islam maka masih
perlu dipertanyakan. Sebab, dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam,
paling tidak ada empat macam metodologi penelitian dalam kajian Islam yang
pernah dikembangkan oleh para pemikir Islam, yang cenderung dilupakan
dikarenakan berbagai sebab menyangkut kompetensi, yaitu: metode bayani,
metode burhani, metode tajribi dan metode „irfani. Melalui metode-metode ini,
baik dilakukan secara alternern maupun secara terpadu, bukan hanya dapat
menyentuh persoalan hablm min Allah dan habl min al-„alam, tetapi juga akan
metambah kepada hablm min an-nas atau persoalan-persoalan sosial.
B. Metodologi Penelitian Keilmuan dalam Perspektif Barat
Pengetahuan adalah bagian yang esensial-aksiden manusia, karena
pengetahuan adalah buah dari "berpikir". Berpikir merupakan hal yang dapat
memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Dan sebenarnya
kehebatan manusia yang dapat diungguli dari spesies-spesies lainnya adalah
pengetahuannya, karena manusia adalah hewan yang berpikir. Kemajuan
manusia ini, tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Bahkan dalam al-
Qur‟an surat al-Mujadilah ayat 4 disebutkan bahwa Allah memuliakan manusia
yang memiliki ilmu pengetahuan7. Begitu urgennya, sehingga ketika
pengetahuan manusia mengalami kemunduran, maka tidak sedikit manusia yang
mencoba mengkritisi, mencari tahu persoalannya kemudian merumuskan
solusinya.
dapat dikatakan bahwa sumber kritisisme atas kegelisahan intelektual
mereka memiliki akar, serta bertumpu, pada permasalahan epistemologi.
Permasalahan yang dispesifikasikan dalam term metodologi ini pada dasarnya
memang menjadi poros bagi tumbuhnya wacana-wacana modernitas.

7
Departemen Agama, “Al- Qur’an dan Terjemahnya” (Semarang: CV. Toha Putra, 1989)
Epistemologi merupakan sebuah persoalan yang mendasar dalam setiap
bangunan keilmuan, sebab ia mempertanyakan atau mengkaji secara filosofis
tentang asal mula, susunan, metode-metode, validitas pengetahuan, teori-teori
dalam ilmu pengetahuan, dan segala sesuatu yang turut melandasi atau
membentuk pandangan dunia keilmuan.
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Inggeris „epistemology‟ yang
merupakan gabungan dua perkataan yunani iaitu „episteme‟ yang bermaksud
“pengetahuan” dan „logos‟ yang bermaksud “ilmu, sains, kajian, teori dan
pembahasan”. Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang
membahas tentang suatu hakikat, makna, kandungan, sumber dan proses ilmu.
Jadi dapat dikatakan bahwa epistemologi itu berarti “pembahasan tentang ilmu
pengetahuan8. Dunia Barat mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam
segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka.
Begitu juga corak berpikirnya yang pluralis membawa kepada kekayaan ilmu
pengetahuan. Karena dalam pluralisme global mensyaratkan pengetahuan dan
pengertian di kalangan manusia yang beraneka ragam.9
Dalam konteks analisis dan identifikasi proses epistemologi sangat
penting dilakukan dan diuraikan supaya tidak terjadi kekeliruan dalam
mengidentifikasi dan menjelaskan tentang perbedaan antara pengetahuan
sebagai proses dan pengetahuan sebagai hasil, dan juga terjadinya proses
tersebut. Dalam konteks epistemologi Barat, alat atau media yang dikenal
sebagai proses epistemologi hanya dua, yaitu; Empiris atau pengalaman
inderawi dan Rasional
1. Empiris atau pengalaman inderawi
Pengalaman inderawi (empiris), melalui panca indera, merupakan salah
satu proses seorang individu memperoleh pengetahuan. Objek diserap oleh
indera menghasilkan gambaran dari objek tersebut di diri individu, dalam
pikiran atau akalnya. Bukti hadirnya gambaran objek tadi adalah jika objek
tersebut tidak ada dihadapannya lagi atau individu tersebut memejamkan
mata, gambaran dari objek tersebut tetap ada di dalam dirinya. Gambaran
ojek tersebut merupakan salah satu jenis pengetahuan. Dengan demikian,
epistemologi empiris hanya berelasi dengan objek-objek yang dapat
diketahui atau dicerap oleh panca inderawi manusia, yaitu ontologi yang

8
abid syahrial Harahap “Epistemologi: teori, konsep dan sumber-sumber ilmu dalam tradisi islam” vol. 5 No. 1
Desember 2020. hlm 14
9
Agus Toni “Epistemologi Barat dan Islam” (Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Madiun)
hlm. 20
bersifat fisik atau materi, seperti hewan, benda-benda, tubuh manusia, batu,
pohon, hewan, air, dan lain-lain. Sehingga, inderawi tidak mungkin dapat
mengetahui objek-objek yang tidak dapat dicerap inderawi, seperti, pikiran
orang lain, Tuhan, atau objek-objek metafisik lain tidak mampu dicerap
inderawi.
2. Rasional
Rasional (akal) adalah salah satu media yang memperoleh pengetahuan
bagi seorang individu, di samping alat inderawi. Di antara pengetahuan
rasional yang bukan dari inderawi adalah pengetahuan tentang bilangan atau
angka, bidang segitiga, segi empat. Dengan demikian, epistemologi rasional
(akal) hanya berelasi dengan objek-objek akal, yaitu ontologi yang bersifat
metafisik, abstrak, yang tentunya tidak dapat dicerap oleh inderawi manusia,
seperti objek berupa idea atau konsep dan pikiran seseorang, objek bilangan
atau matematika, objek Tuhan, malaikat, jin, surga, dan lain-lain.

Maka dapat di ketahui bahwa perkembangan keilmuan dalam perspektif


barat dapat diukur dengan observasi secara inderawi. Hal-hal lain yang bersifat
non-inderawi, nonfisik, dan metafisika, tidak termasuk ke dalam obyek yang
dapat diketahui secara ilmiah.10 masyarakat barat, menolak campur tangan
Tuhan dalam pengembangan ilmu dan mengaggap wahyu bukan bagian dari
sumber ilmu. Pengembangan ilmu pengetahuan di Barat banyak mengandalkan
atau hanya mengakui ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui metode empiris
dan positivistik yang bertumpu pada metode observasi, eksperimen dan rasional
dengan objek kajiannya hanya fenomena alam, fenomena sosial, dan filsafat.
Objek- objek kajian ini dipahami secara alami, natural, dalam arti hanya
memahami yang tampak(fenomena), tunduk pada hukum sebab
akibat(kausalitas), tanpa memahami adanya Tuhan sebagai pencipta alam dan
hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang
dihasilkan bercorak sekuler.

Berkat pengaruh pandangan-pandangan ilmiah ini, manusia modern


cenderung untuk membangun hidupnya lebih sesuai dengan kebutuhan-
kebutuhan dan keinginankeinginan pribadi, dengan struktur-struktur dunia,
dengan perkembangan masyarakat, dari pada dengan tuntutan-tuntutan yang
datang dari luar, dari suatu instansi, yang tidak atau tidak secara langsung

10
Faiz Pari “Epistemologi dan Pengembangan Ilmu pengetahuan” Ilmu Ushuluddin, Volume 5, Nomor 2, Juli 2018
hlm. 141-142
berpengaruh di bidang-bidang tersebut11 Dengan kata lain: banyak bidang hidup
menjadi otonom; tidak diatur lagi oleh agama, tetapi menurut struktur-
strukturnya sendiri, umpamanya: teknik, kesenian, filsafat, politik.
C. Perbedaan Epistimologi Islam dan Barat
Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan
tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu
yang fisik-empiris maupun non-fisik atau metafisis. Dalam bukunya Ihsha‟ Al-
„Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi memasukkan ke dalam klasifikasi ilmunya
bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani, mineralogi, dan astronomi
melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti konsep-konsep mental dan
metafisika.12
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan
epistemologi Barat yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek
metafisik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap
status ontologis dari bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga
objek-objek metafisik yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa
dilihat indra, tetapi diyakini memiliki status ontologis yang sama nyatanya
dengan objek-objek fisik, bahkan lebih riil daripada objek-objek indra.
Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat
yang hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi
Islam mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Akal dalam
menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa
yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau
konsep teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena
berdampak pada rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah: “Kalau
sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit
dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami telah datangkan

11
Harun Hadiwijono, Teologi Reformatoris Abad ke-20, hlm. 155
12
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2002),
hlm. 58.
kepada mereka peringatan (Al-Qur‟an) tetapi mereka berpaling dari peringatan
itu”. (QS. Al-Mu‟minun [23]: 71).
Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut
para filosof Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan
eksperimen sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan
keduanya memang jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra‟) berada pada posisi
prasangka atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada
posisi keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara
perasaan biasa (induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini
merupakan aktivitas rasio.13
Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat
dapat membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-
dimensional, kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam
ke wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan
masukan-masukan yang diberikan oleh empirisisme.
Menurut Halim Usman, dalam judul makalahnya perbedaan
Epistemologi Barat dengan Timur adalah:
1. Peran akal budi dan rasio, Epistelomogi barat mendekati realitas dengan
suatu metode pengetahuan yang berdasarkan akal budi, sistem penelitian,
analisis kritis, serta berusaha menemukan hubungan-hubungan yang dapat
diterima secara rasional dari gejala-gejala yang ada. Epistemoogi Barat
menggunakan argumentasi dan penalaran yang teratur dengan senjata
pikiran dan logika. Akal budi merupakan mahkota „manusia‟. Setiap
kenyataan dapat dikatagorikan dan dimengerti secara jelas lewat akal
budi, kalau tidak demikian maka jelas-jelas eksistensinya harus
diragukan. Sementara itu, epistemologi Timur banyak disampaikan
sebagai bentuk ungkapan dari dan perasaan (intuisi). Para pemikir
Timur lebih menyukai intuisi daripada akal budi. Bagi mereka pusat
kepribadian seseorang bukanlah inteleknya tetapi adalah hatinya yang
mempersatukan akal budi dan intuisi, intelegensi, dan perasaan. Para
pemikir Timur lebih menghayati hidup lam keseluruhan apa adanya
dan bukan hanya dengan otak saja.
2. Peran abstraksi dan simbol konkrit, Para filosof Barat mempunyai
suatu sistem, suatu rumusan abstrak dalam epistemologi yang

13
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas
Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi Pandangan Dunia, hlm. 55-56.
merangkum seluruh alam semesta. Mereka akan marah atau kecewa
jika hidup atau sejarah tidak cocok dengan definisi atau kesimpulan
yang telah mereka tetapkan dengan analisis rasionya. Sementara itu, pemikir
Timur lebih menyukai ungkapan yang konkrit dan simbolisasi untuk
ungkapkan ide universal dan masalah-masalah abstrak.
3. Peran ilmu dan kebijaksanaan, Para pemikir barat lebih memusatkan
perhatiannya pada kemampuan akal budi dalam menganalisis empiris.
Data kemudian dirumuskan dalam bahasa yang efisien dan efektif.
Sementara itu, para pemikir Timur lebih meletakkan tujuan
pengetahuannya pada kebijaksanaan hidup. Menurut mereka,
pengetahuan intelektual saja tidak mampu membuat seseorang menghayati
hidupnya lebih baik. Akibat logisnya bahwa di Timur kurang ada
spesialisasi pengertahuan seperti di Barat.
4. Kebenaran, Barat menganggap kebenaran itu hanya berpusat pada
manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran sehingga
muncul paham-paham empirisme, raionalisme, positivisme, dan
intuisionisme. Sementara itu, menurut Islam, sumber kebenaran dan
pengetahuan itu adalah Alquran karena kebenaran Alquran itu mutlak
tidak daat diragukan lagi. Manusia berusaha menelaah segala masalah
secara objektive, metodologis, sumber serta validitas pengetahuan secara
mendalam dengan menggunakan subjek Islam sebagai totik tolak berpikir.
5. Orientasi dan alat, Barat menjadikan materi sebagai tujuan utama di
atas segalanya sehingga dalam peradabannya hanya terbatas pada
persoalan dunia. Sementara itu, Islam orientasinya adalah Tauhidullah,
dengan menjadikan materi sebagai salah satu dampak atau hasil yang
diperoleh dari kebenaran dalam mengajak manusia kepada jalan Allah.
Dalam pada itu, Barat dalam mewujudkan cita-citanya cenderung
melegalkan segala macam cara tanpa ada rambu-rambu atau aturan
hidup yang jelas. Islam dalam mewujudkan cita-cita hidupnya
memliki rambu-rambu kehidupan yang jelas dan fokus terhadap kehidupan
setiap manusia. Rambu-rambu tersebut adalah Alquran dan sunnah.

D. Epistimologi Bayani dan Irfani


1. Epistimologi Bayani
Secara etimologis, bayani mengandung beragam arti yaitu:
kesinambungan (al-waslu): keterpilahan ( al-fashlu): jelas dan terang (al-
zhuhur wa al-wudlhuh): dan kemampuan membuat terang dan generik.
Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud dalam
“al-bayan al-ibarat “ perpektif” dan “ metode” yang sangat menentukan
pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “ estetik-susastra”, melainkan
juga dalam lingkup “ logic-diskursif”. Dengan kata lain bayani berubah
menjadi sebuah terminologi yang mecakup arti segala sesuatu yang
melengkapi tindakan mamahami.14
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas
teks (nas), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal
kebahasaan yang digali melalui inferensi ( istidlal). Secara langsung artinya
mamahami tes sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan
tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian,
hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa babas menentukan makna dan
maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio
diangggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada
teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik bayani adalah aspek
esoterik (syari‟at).15
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nas).Dalam
usul fikih yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-
quran dan hadis. Karena itu, epistemogi bayani menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi kegenerasi. Ini penting bagi
bayani, karena benar tidaknya transmisi teks menetukan benar salahnya
ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa
dijadikan landasan hukum.16

a. Tentang Ushul dan Furu‟


Berdasarkan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan
hubunganya dengan realitas, maka persoalan pokok yang ada
didalamnya adalah sekitar masalah lafal-makna dan ushul-

14
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah , Vol.40, No.1, ( January-
June 2002), hlm.13.
15
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-„Aql al-„Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al- Arabi, 1991), hlm. 38,
Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M.Abed al-Jabiri : Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam
Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm.233
16
Achmad Khodori Soleh, “M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam”, dalam dalam “Pemikiran Islam
Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm.223
furu‟.Menurut al-Jabiri, persoalan lafal makna mengandung dua
aspek yaitu teoritis dan praktis.Dari sisi teori muncul tiga persoalan
tentang makna mengandung dua aspek yaitu teoritas dan praktis.
Dari sisi teori muncul tiga persoalan tentang makna suatu kata,
apakah disarankan atas konteksnya atau makna aslinya; tentang
analogi bahasa dan; soal pemaknaan alasma al-syar‟iyyah, seperti
kata salat, puasa, zakat dan lainnya.17
Pada masalah pertama, pemberian makna atas sebuah kata,
muncul akibat adanya perbedaan antara kaum rasionalis dengan ahli
hadis, antara mu‟tazilah dengan ahlu sunah. Menurut mu‟tazilah
yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks
dan istilahnya, sementara bagi ahli sunnah, suatu kata harus
dimaknai sesuai dengan makna asalnya. Sebab menurut ahli sunnah,
bahasa atau kata pada awalnyaberasal dari Tuhan yang diberikan
kepada rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya, sedangkan
bagi mu‟tazilah, suatu lafaz pada dasarnya bersifat mutlak. Karena
itu bagi ahli sunnah, kata perkata dari sebuah teks harus tetap dijaga
seperti aslinya, sebab perubahan redaksi teks berarti perubahan
makna.18
Masalah kedua, tentang analogi bahasa seperti kata nabiz
(perasan gandum) dengan Khamar (perasan anggur), atau kata sariq
( pencuri benda) dan nabasy (pencuri mayat dikuburan). Disini
ulama sepakat bahwa menggunakan analogi diperbolehkan, tapi
hanya dari sisi logika bahasa, bukan pada lafal atau redaksinya.19
Masalah ketiga, permaknaan terhadap asma as-syar‟iyyah.
Menurut al-Baqilani, karena alquran diturunkan dalam tradisi dan
bahasa Arab, mak ia harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan
Arab, tidak bisa didekati dengan budaya dan bahasa lain. Sebaliknya
menurut mu‟tazilah, pada beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai
dengan pengertian lain sebab Alquran sendiri tidak jarang
menggunakan istilah Arab tetapi dengan makna berbeda dengan
makna asalnya.20
Selanjutnya, soal ushul-furu‟. Menurut aljabiri, ushul disini

17
Ibid, hlm. 235
18
Al-Jabiri, Bunyah…, op.cit., hlm.42
19
Achmad Khudori Soleh, op.cit., hlm.236
20
Al-Jabiri, Bunyah…,op.cit., hlm.58
tidak menunjuk pada dasardasar hukum fiqih, seperti Alquran,
sunnah, ijmak, dan qiyas, tetapi pada pengertian umum bahwa ia
pangkal (asas) dari proses penggalian penegetahuan. Ushul adalah
ujung rantai dari hubungan timbal balik dengan furu‟. Dari sini,
alJabiri kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ushul dalam
hubunganya dengan furu‟. Pertama, ushul sebagai sumber
pengetahuan yang cara mendapatkanya dengan istinbath. Kedua,
ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan lain, yang cara
penggunaannya dengan qiyas. Ketiga, ushul sebagai pangkal dari
proses pembentukan pengetahuan, yang caranya dengan
mengguanakan kaidah-kaidah ushul fiqh.21
Bayan menurut Imam Syafi‟i adalah ungkapan yang mencakup
berbagai macam makna yang mempunyai prinsip-prinsip yang sama
namun cabangnya berbeda-beda. Syafi‟i mengklafikasi dan
menetapkan aspek-aspek bayan dalam wacana Alquran membaginya
menjadi lima, yaitu:
1) Titah uyang dijelaskan oleh Allah untuk makhluk_Nya
secara tekstual yang tidak membutuhkan ta‟wil atau
penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya.
2) Titah yang dijelaskan oleh Allah secara tekstual namun
membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan, dan fungsi ini
dipenuhi oleh sunnah Nabi.
3) Titah yang ditetapkan Allah dalam kitab-Nya dan titah ini
dijelaskan oleh nabi-Nya.
4) Sesuatu yang tidak disebutkan Alquran namun dijelaskan
oleh Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana titah
sebelumnya sebab dalam kitab-Nya Allah memerintahkan
agar mentaati rasul-Nya.
5) Apa yang Allah mewajibkan hambanya untuk berijtihad, dan
cara untuk sampai kesana adalah dengan memahami bahasa
Arab dan stalatika ungkapan dan membangun pemikiran
berdasarkan qiyas, menganalogikan suatu kasus yang tidak
ada ketentuannya dalam teks atau pun khabar suatu
keputusan hukum yang telah ada yang didasarkan pada teks,

21
Al-Jabiri, Bunyah…,op.cit., hlm.113-116
khabr dn ijmak.22

2. Epistemologi „Irfani
Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan
langsung kepadanya. Dengan demikian, secara metodologi, pengetahuan
ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan,
penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Tahap pertama, persiapan.23 Untuk bisa menerima limpahan
pengetahuan, seseorang biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat tentang jumlah jenjang
yang harus dilalui ini. Namun setidaknya, ada tujuhtahapan yang harus
dilalui yaitu:
a. Tobat, meninggalkan segala perbuatan yang kurang baik disertai
penyesalan yang mendalam untuk kemudia menggantinya dengan
perbuatan-perbuatan baru yang terpuji.
b. Wara‟, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas
statusnya (subhat).
c. Zuhud, tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia.
d. Fakir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan dari kehidupan
masa kini dan masa akan datang, dan tidak menghendaki sesuatu
apapun kecuali Tuhan, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan
hati tidak menginginkan sesuatupun.
e. Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.
f. Tawakkal, percaya atas apa yang ditentukan Tuhan.
g. Rida, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang
tersisa hanya gembira dan suka cita. Ini adalah puncak dari tawakkal.

Kedua, tahap penerimaan. Pada tahap ini seseorang akan


mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak, sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri sebagai
objek yang diketahui.24
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses

22
Muhammad Abed al-Jabiri, “Takwin al-“Aql alArabi”, diterjemahkan oleh Imam Khoiri, “Formasi Nalar Arab,
Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius”, (Yogyakarta : IRCisod, 2003), hlm.169-
170.
23
A. Khudori Soleh, op.cit., hlm. 241-242
24
Ibid., hlm. 243-244.
pencapaian pengetahuan „irfani, dimana pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada oranglain lewat ucapan atau
tulisan.
Irfan sebagai metode perolehan pengetahuan melalui penampakan
langsung kepada subjekdalam tasawuf- dinamakan ma‟rifah. Sarana
mencapai ma‟rifah adalah kalbu, bukan indera bukan akal budi. Kalbu
yang dimaksud bukan bagian tubuh secara fisik, akan tetapi merupakan
percikan ruhiyah ketuhanan yang merupakan hakekat realitas manusia.
Terkadang ia terkait dengan segumpal hati manusia. Namun sejauh ini
daya nalar manusia belum mampu memahami keterkaitan antara
keduanya.25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
masyarakat barat, menolak campur tangan Tuhan dalam pengembangan
ilmu dan mengaggap wahyu bukan bagian dari sumber ilmu. Pengembangan
ilmu pengetahuan di Barat banyak mengandalkan atau hanya mengakui ilmu
pengetahuan yang dihasilkan melalui metode empiris dan positivistik yang
bertumpu pada metode observasi, eksperimen dan rasional dengan objek
kajiannya hanya fenomena alam, fenomena sosial, dan filsafat. Objek- objek
kajian ini dipahami secara alami, natural, dalam arti hanya memahami yang
tampak(fenomena), tunduk pada hukum sebab akibat(kausalitas), tanpa
memahami adanya Tuhan sebagai pencipta alam dan hukum-hukum yang ada
didalamnya. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dihasilkan bercorak
sekuler.
Bayani menekankan otoritas teks (nas) secara langsung atau tidak
angsung dan dijustifikasi oleh aturan kebahasaan. Secara langsung berarti
memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan

25
M. Faishal Munif, “Maslahah Sebagai Dasar Istinbath Hukum Islam”, Jurnal Paramedia, Vol.4 No,3., (Juli
2003), hlm 30
jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa pemikiran. Secara tidak langsung
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Perlakuan terhadap teks sangat dominan, tanpa teks pengetahuan
tentang mashlahah tidak didapat.
„Irfani adalah sarana memperoleh pengetahuan mashlahahdengan ulah
rohani dan kesucian hati. Nas diyakini bersifat esoteris dan eksoteris, tetapi
makna esoteris lebih mendominasi makna suatu ajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Khodori Soleh, “M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam”, dalam dalam
“Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003).
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994).
Jujun S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1995).
M. Faishal Munif, “Maslahah Sebagai Dasar Istinbath Hukum Islam”, Jurnal
Paramedia, Vol.4 No,3., (Juli 2003).
Mahmud Arif, “ Pertautan Epistemologi Bayani dan pendidikan Islam”, Al-Jami‟ah ,
Vol.40, No.1, ( January-June 2002).
Muhammad Abed al-Jabiri, “Takwin al-“Aql alArabi”, diterjemahkan oleh Imam
Khoiri, “Formasi Nalar Arab, Kritik TradisiMenuju Pembebasan dan Pluralisme
Wacana Interreligius”, (Yogyakarta : IRCisod, 2003).
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-„Aql al-„Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi, 1991), hlm. 38, Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M.Abed al-Jabiri : Model
Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam Kontemporer”,
(Yogyakarta : Jendela, 2003).
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2002).
Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik
Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relefansi
Pandangan Dunia.
Nurcholosh Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam ( Jakarta, Bulan Bintang: 1984).

Departemen Agama, “Al- Qur’an dan Terjemahnya” (Semarang: CV. Toha Putra, 1989)
Harajap abid syahrial “Epistemologi: teori, konsep dan sumber-sumber ilmu dalam tradisi
islam” vol. 5 No. 1 Desember 2020. hlm 14

Toni Agus“Epistemologi Barat dan Islam” (Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul
Ulama (STAINU) Madiun) hlm. 20
Pari Faiz“Epistemologi dan Pengembangan Ilmu pengetahuan” Ilmu Ushuluddin, Volume 5,
Nomor 2, Juli 2018 hlm. 141-142
Hadi Harun, Teologi Reformatoris Abad ke-20, hlm. 155

Anda mungkin juga menyukai