Muchlis Arifandy
Email: Muchlisarifandy@gmail.com
Abstrak
B. Pembahasan
Kata epistemology yang sering juga disebut dengan teori pengetahuan atau
(Theory of knowledge), yang merupakan cabang dari filsafat, istilah
5
Akhyar Yusuf Lubis. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada. 31.
6
A. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 102.
7 Jujun S. Suriasumantri. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika. 234.
8 Mujamil Qomar. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 3.
9
pemikiran dalam dunia Islam. Jadi, epistemologi dalam Islam merupakan
sebuah usaha yang dilakukan manusia untuk menelaah masalah-masalah
objektivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam
dengan menggunakan subjek kajian Islam sebagai titik tolak berfikir.
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT, merupakan sumber dari segala
sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun
yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya.
Hal Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat manusia untuk
mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak
perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah
menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengakji
ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT. Tentu hal ini
berbeda kasusnya dengan kondisi pada eropa saat abad pertengahan, yang
terlalu tunduk dengan doktrin gereja, sehingga ilmu tidak mengalami
perkembangan.
Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu pengetahuan Islam yang
diwakili oleh epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah Al-Qur‟an, hadits, indera,
akal dan hati. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber
tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
a. Al-qur‟an
Al-Qur‟an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al-Qur‟an menempati
urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam.
Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur‟an sendiri ternyata
memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya
diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-
Qur‟an mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi
kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dan lain
10
sebagainya.
b. Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Al-Qur‟an
dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam,
serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Al-Qur‟an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok
9 Zuhairini, dkk. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 110.
10 Adrian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu …, 93.
ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman
11
isi Al-Qur‟an.
c. Panca Indra
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu
mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera
disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi ini dihasilkan
dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang
datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah
kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, indra
tidak cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu,
mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini
menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu
objek.
Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki
berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga
sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak
dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam.
Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal,
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas
dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh
melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu, ia
12
bukan merupakan hal yang real.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui
bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan
bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana,
penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang hakiki.
d. Akal
Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu pengetahuan,
ialah akal. akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk
memperoleh ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai
untuk dijadikan acuan mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat
atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut
adalah akal. Dalam pandangan ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal
disebut dengan rasionalisme.
Akal menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan
yang sempuran dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat
yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia,
11 Ibid., 99.
12 M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran …, 43.
sekalipun fisiknya lebih kuat dari pada manusia. Kedudukan akal seperti
seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan
membedakan), daya akal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah
akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Jiwa (roh)
bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang menyinari seluruh
tubuh. Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa akal lebih patut disebut
13
sebagai cahaya dari pada indera.
Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses dan
mengembangkan ilmu, sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya
gerak dan perasaan. Akal adalah alat untuk berfikir guna menghasilkan ilmu
sehingga dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. Indera adalah abdi
dan pengikut setia akal. Indera ini dipengaruhi oleh keanekaragaman
fenomena alam, tempat dan waktu, dengan kemajemukan kebaikan dan
keburukan, kesalehan dan kemaksiatan. Jelaslah bahwa indera dipengaruhi
oleh kehidupan duniawi, yang juga berpengaruh pada tujuan penggunaan
akal.
Dalam kaitannya dengan ilmu, akal dan indera tidak dapat dipisahkan
secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses
pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal dalam mengolah
rangsangan inderawi merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal
pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh
fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata
sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal.
e. Qalbun (Hati)
Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh
Al-Gahzali. Dalam pandangan Al-Ghazali qalb memiliki dua pengertian,
yakni pertama qalb didefinisikan sebagai daging yang bersuhu panas
berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada
rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa
yang bersifat hewani. Makna ke-dua adalah sangat lembut, pembimbing
rohaniyah yang memiliki dengan kalbu yang berupa jasmani itu
ketergantungan kepada anggota-anggota badan dan sifat-sifat yang disifati,
kelemah lembutan itulah hakikat manusia yang mengerti, yang alim,
14
penceramah, pencari ilmu, pahala, dan ganjaran.
Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan
esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang
13 Mulyadhi Kartanegara. (2003). Pengantar Epistimologi …, 21.
14 Adrian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu …, 107.
berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu
lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham.
Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi
(adz-dzawq), yang pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql al-
15
mustafad”.
Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan dzawq lebih tinggi dari
pada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi ilmu Al-
Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang
telah berhasil membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak
menemukan dasar yang membuatnya percaya pada akal. Ketika akal tidak
mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian
dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran,
hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa
religius), sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non-
inderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra sensory perception)
16
termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
Sehingga pengalaman penyelesaian akhir tentang keraguan terhadap
pancaindera dan akal pada diri Al-Ghazali, ditemukan lewat nur dari Allah,
yang mebuatnya yakin bahwa dengandzawq inilah ilmu yang betul-betul
diyakini ini diperoleh. Pengalaman inilah yang meyebabkan Al-Ghazali
menempatkan adz-dzawq di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan
argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari
Tuhan.
2. Sumber Ilmu Pengetahuan (Sains) Dalam Barat
Terkait masalah epistemologi, Barat menganggap kebenaran itu hanya
berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran.
Tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang disebut sebagai
logosentrisme atau „metafisika kehadiran‟ (metaphysics of presence).
Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos
atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan
atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. Kehadiran logos di dalam teks-
teks filsafat, ditampilkan dengan hadirnya pengarang (author) sebagai subjek
17
yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya.
Sumber utama ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat diwakili oleh
tiga aliran utama, yaitu: Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.
18 Adian Husaini. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. 45.
gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan
19
tentang gerak.
c. Aliran Kritisisme
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk
mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme.
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan
oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang
objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz
dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha
menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran
filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang
berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan
rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga Aliran di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber
ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan
panca indera. Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini.
Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan
berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak
memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan
nilai nilai etika moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
20
berubah.
C. Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan
bahwasanya:
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai
pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua
kata tersebut epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Adapun
objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan
bagaimana cara manusia memperoleh ilmu.
Sumber ilmu pengetahuan yang utama dalam Islam ialah al-qur‟an dan
hadits (ijtihad). Sedangkan sumber ilmu pengetahuan menurut barat ialah berpusat
pada akal. Dengan tiga alitan utama yakni: Rasionalisme, Empirisme, dan
Kritisisme
19 Ibid., 53.
20 Dedi Supriyadi. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 15.
DAFTAR PUSTAKA