Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN EPISTIMOLOGI SEBAGAI SUMBER ILMU

PENGETAHUAN MENURUT ISLAM DAN BARAT

Muchlis Arifandy

Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan

Email: Muchlisarifandy@gmail.com

Abstrak

Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup


isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi. Epistemologi dapat
diartikan sebagai teori pengetahuan. epistemologi juga dapat di definisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode,
dan syahnya (validitas) suatu pengetahuan. Ilmu atau knowledge merupakan
sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, dalam
pemahaman mengenai sumber dan cara memperoleh ilmu ini terdapat perbedaan,
sehingga nantinya menimbulkan ilmu yang bersifat agama dan ilmu yang sifatnya
duniawi. Menanggapi persoalan mengenai sumber epistimologi ilmu pengetahuan
(sains), antara islam dan barat terjadi perbedaan yang sanga amat signifikan, hal
ini dapat kita ketahui melalui berbagai macam sumber-sumber yang menjadi ciri
khas. Baik sumber epistimologi menurut islam yang meliputi: al-qur‟an dan hadist
sebagai sumber utama dan didukung dengan ijtihad sebagai sebagai dasar
pelengkapnya. Sedangkan sumber epistimologi menurut barat hanya terdapat pada
akal (rasio) saja, yang kemudian dari teori tersebut mnimbulkan tiga aliran utama
dalam barat yakni Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.

Kata kunci: Epistimologi, Ilmu Pengetahuan, Barat, dan Islam.


A. Pendahuluan
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup
isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi. Istilah filsafat berasal dari
bahasa Yunani, philosopia, yang merupakan gabungan dari kata philia (cinta) dan
Sophia (kebijaksanaan), jadi secara harfiah filsafat bisa diartikan sebagai pecinta
1
kebijaksanaan. Filsafat sendiri secara umum, bisa dibagi menjadi tiga kelompok
yakni ontology, epistimologi dan aksiologi. Dalam kesempatan ini yang menjadi
sorotan penting atau pembahasan dalam tema makalah ini adalah mengenai salah
satu cabang dari ilmu filsafat itu sendiri yakni epistimologi.
Jika dilihat dari cakupannya epistemologi meliputi hakikat, keaslian,
sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar,
pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jadi, dapat
juga dikatakan bahwasanya epistemologi merupakan teori tentang ilmu yang
2
membahas ilmu itu sendiri dan bagaimana cara untuk memperolehnya.
Ilmu atau knowledge merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam
kehidupan manusia. Namun, dalam pemahaman mengenai sumber dan cara
memperoleh ilmu ini terdapat perbedaan, sehingga nantinya menimbulkan ilmu
yang bersifat agama dan ilmu yang sifatnya duniawi. Perbedaan ini disebabkan
oleh substansi dari ilmu pengetahuan duniawi, yang di identikkan kepada ilmu
pengetahuan barat-modern, meskipun peradaban barat ini menghasilkan ilmu yang
bermanfaat, namun disadari atau tidak ilmu ini juga menyebabkan kerusakan
dalam kehidupan manusia khususnya terhadap keyakinan umat Islam.
Diskursus tentang epistemologi dikalangan para intelektual Islam maupun
Barat pada abad modern ini, seiring lajunya perkembangan science di Barat,
menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji dan dikupas tuntas. Sebab, hal ini
memunculkan polemik radikal di kalangan mereka tentang, apakah ilmu itu bebas
nilai (free value) atau sarat dengan nilai (by product).
Karena ilmu barat-sekuler, tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan
agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi
filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia
3
sebagai makhluk rasional.
Tentu hal di atas, sangat bertolak belakang dengan konsep ilmu yang
berlandaskan agama, khusunya agama Islam. Agama Islam merupakan agama
yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Banyak ayat Al-Qur‟an dan Hadits
nabi yang memuji dan memuliakan ilmu serta mengajarkan umatnya untuk
menuntut ilmu ke mana saja ia mampu melakukannya dan kapan saja selama

1 M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern.


Bandung: Pustaka Setia. 13-14.
2 M. Solihin. (2001). Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali. Bandung: Pustaka
Setia. 9.
3 Adian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani. 1.
hidup di dunia. Seluruh bidang keilmuan boleh dijamah dan dieksplorasi, kecuali
Zat Tuhan sendiri yang memang tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan
manusia, dalam pandangan Islam semua ciptaan Tuhan patut diteliti dan dikaji
secara seksama karena semua ciptaan Tuhan adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan
sendiri. Sehingga diharapkan dengan mengkaji ayat Tuhan tersebut seorang
Ilmuwan Muslim akan bertambah keyakinan dan ketakwaannya kepada Allah
4
SWT.
Hal ini bisa kita telusuri dari sejarah umat Islam terdahulu, dimulai dari
perkembangan ilmu pada masa Nabi Muhammad SAW, hingga mengalami
puncak kemajuan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, kemajuan ilmu ini
bukan berarti bahwa umat Islam meninggalkan keyakinannya sebagai seorang
muslim, karena tujuan utama ilmu dalam Islam adalah untuk mengenal Allah
SWT. Inilah hal yang membedakan antara ilmu Islam dan ilmu barat-sekuler.
Kemajuan yang dialami mencakup seluruh bidang keilmuan, baik yang sifatnya
agama seperti ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu qalam, serta
berkembang pula keilmuan yang bersifat duniawai seperti ilmu filsafat, ilmu
kedokteran, matematika, geografi, sejarah dll. Kemajuan keilmuan ini hanya
sebagian kecil bukti bahwa agama Islam tidak hanya menekankan pada aspek ilmu
keagamaan tetapi juga aspek ilmu keduniaan.
Kemajuan ilmu yang dialami oleh umat Islam pada saat itu, justru
berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh bangsa barat. Dimana
kondisi keilmuan mereka cenderung tertinggal jauh dibandingkan dengan umat
Islam, hal ini dikarenakan segala aspek kehidupan manusia diatur oleh pihak
gereja atau kaum keagamaan, sehingga penemuan-penemuan dalam ilmu
pengetahuan yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dianggap sebagai
sesuatu yang menyimpang.
Kondisi di atas, dalam sejarah, disebut sebagai masa the dark ages of
Europe, setelah masa ini berakhir para ilmuwan kemudian memperkenalkan
filsafat ilmu sekuler, yang menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan, Tuhan
dalam seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang menganggu
kebebasan manusia untuk berfikir. Dengan konsep seperti ini bangsa barat justru
mengalami kemajuan yang pesat, tentu konsep seperti ini tidak bisa diterima oleh
kalangan umat Islam.

B. Pembahasan
Kata epistemology yang sering juga disebut dengan teori pengetahuan atau
(Theory of knowledge), yang merupakan cabang dari filsafat, istilah

4 Mulyadhi Kartanegara. (2003). Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan. 132.


epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 untuk
membedakan dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology dan aksiologi.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai pengetahuan
(knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut
5
epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. epistemologi juga dapat
di definisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode, dan syahnya (validitas) suatu pengetahuan.
Menurut Conny Semiawan, dalam buku A. Susanto, epistemologi adalah
cabang filsafat yang menjelaskan tentang masalah-masalah filosofis sekitar teori
pengetahuan. Epistemologi memfokuskan pada makna pengetahuan yang
dihubungkan dengan konsep, sumber dan criteria pengetahuan, jenis pengetahuan,
6
dan sebagainya
Sedangkan menurut Jujun, S. Suriasumantri, epistemologi ialah membahas
cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang dalam kegiatan keilmuan disebut
7
dengan metode ilmiah.
D.W. Hamlyin mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-
pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan
8
bahwa orang memiliki pengetahuan.
Dengan demikian maka dapat diketahui bahwa epistemologi bersangkutan
dengan masalah-masalah yang meliputi; 1. filsafat, sebagai induk dari segala ilmu
yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan, 2. metode, yang
bertujuan mengantar manusia memperoleh pengetahuan, dan 3. sistem, yang
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri. Adapun objek
yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana
cara manusia memperoleh ilmu. Sesuai dengan judul artikel ini, maka yang
menjadi pembahasan pokok ialah bagaiman pemahaman sumber ilmu menurut
pandangan Islam dan sumber ilmu menurut pandangan Barat.
1. Sumber Ilmu Pengetahuan (sains) Dalam Islam
Sumber utama ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur‟an, karena
kebenaran Al-Qur‟an itu mutlak tidak dapat diragukan lagi. Selain itu, Islam
juga menjadikan sistem ijtihad sebagai dasar-dasar epistemologi dalam filsafat
Islam. sehingga dalam perkembangannya menimbulkan berbagai macam aliran

5
Akhyar Yusuf Lubis. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada. 31.
6
A. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 102.
7 Jujun S. Suriasumantri. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika. 234.
8 Mujamil Qomar. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga. 3.
9
pemikiran dalam dunia Islam. Jadi, epistemologi dalam Islam merupakan
sebuah usaha yang dilakukan manusia untuk menelaah masalah-masalah
objektivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam
dengan menggunakan subjek kajian Islam sebagai titik tolak berfikir.
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT, merupakan sumber dari segala
sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun
yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya.
Hal Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat manusia untuk
mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak
perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah
menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengakji
ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT. Tentu hal ini
berbeda kasusnya dengan kondisi pada eropa saat abad pertengahan, yang
terlalu tunduk dengan doktrin gereja, sehingga ilmu tidak mengalami
perkembangan.
Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu pengetahuan Islam yang
diwakili oleh epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah Al-Qur‟an, hadits, indera,
akal dan hati. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber
tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
a. Al-qur‟an
Al-Qur‟an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al-Qur‟an menempati
urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam.
Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur‟an sendiri ternyata
memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya
diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-
Qur‟an mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi
kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dan lain
10
sebagainya.
b. Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Al-Qur‟an
dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam,
serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Al-Qur‟an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok

9 Zuhairini, dkk. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 110.
10 Adrian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu …, 93.
ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman
11
isi Al-Qur‟an.
c. Panca Indra
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu
mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera
disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi ini dihasilkan
dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang
datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah
kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, indra
tidak cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu,
mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini
menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu
objek.
Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki
berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga
sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak
dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam.
Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal,
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas
dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh
melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu, ia
12
bukan merupakan hal yang real.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui
bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan
bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana,
penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang hakiki.
d. Akal
Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu pengetahuan,
ialah akal. akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk
memperoleh ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai
untuk dijadikan acuan mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat
atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut
adalah akal. Dalam pandangan ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal
disebut dengan rasionalisme.
Akal menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan
yang sempuran dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat
yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia,
11 Ibid., 99.
12 M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran …, 43.
sekalipun fisiknya lebih kuat dari pada manusia. Kedudukan akal seperti
seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan
membedakan), daya akal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah
akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Jiwa (roh)
bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang menyinari seluruh
tubuh. Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa akal lebih patut disebut
13
sebagai cahaya dari pada indera.
Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses dan
mengembangkan ilmu, sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya
gerak dan perasaan. Akal adalah alat untuk berfikir guna menghasilkan ilmu
sehingga dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. Indera adalah abdi
dan pengikut setia akal. Indera ini dipengaruhi oleh keanekaragaman
fenomena alam, tempat dan waktu, dengan kemajemukan kebaikan dan
keburukan, kesalehan dan kemaksiatan. Jelaslah bahwa indera dipengaruhi
oleh kehidupan duniawi, yang juga berpengaruh pada tujuan penggunaan
akal.
Dalam kaitannya dengan ilmu, akal dan indera tidak dapat dipisahkan
secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses
pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal dalam mengolah
rangsangan inderawi merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal
pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh
fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata
sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal.
e. Qalbun (Hati)
Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh
Al-Gahzali. Dalam pandangan Al-Ghazali qalb memiliki dua pengertian,
yakni pertama qalb didefinisikan sebagai daging yang bersuhu panas
berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada
rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa
yang bersifat hewani. Makna ke-dua adalah sangat lembut, pembimbing
rohaniyah yang memiliki dengan kalbu yang berupa jasmani itu
ketergantungan kepada anggota-anggota badan dan sifat-sifat yang disifati,
kelemah lembutan itulah hakikat manusia yang mengerti, yang alim,
14
penceramah, pencari ilmu, pahala, dan ganjaran.
Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan
esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang
13 Mulyadhi Kartanegara. (2003). Pengantar Epistimologi …, 21.
14 Adrian Husaini, dkk. (2013). Filsafat Ilmu …, 107.
berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu
lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham.
Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi
(adz-dzawq), yang pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql al-
15
mustafad”.
Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan dzawq lebih tinggi dari
pada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi ilmu Al-
Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang
telah berhasil membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak
menemukan dasar yang membuatnya percaya pada akal. Ketika akal tidak
mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian
dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran,
hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa
religius), sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non-
inderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra sensory perception)
16
termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
Sehingga pengalaman penyelesaian akhir tentang keraguan terhadap
pancaindera dan akal pada diri Al-Ghazali, ditemukan lewat nur dari Allah,
yang mebuatnya yakin bahwa dengandzawq inilah ilmu yang betul-betul
diyakini ini diperoleh. Pengalaman inilah yang meyebabkan Al-Ghazali
menempatkan adz-dzawq di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan
argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari
Tuhan.
2. Sumber Ilmu Pengetahuan (Sains) Dalam Barat
Terkait masalah epistemologi, Barat menganggap kebenaran itu hanya
berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran.
Tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan pada apa yang disebut sebagai
logosentrisme atau „metafisika kehadiran‟ (metaphysics of presence).
Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos
atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan
atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal. Kehadiran logos di dalam teks-
teks filsafat, ditampilkan dengan hadirnya pengarang (author) sebagai subjek
17
yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya.
Sumber utama ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat diwakili oleh
tiga aliran utama, yaitu: Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.

15 M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran …, 46.


16 Mulyadhi Kartanegara. (2003). Pengantar Epistimologi …, 28.
17 Eko Ariwidodo, (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol.
21 No. 2, 341. http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38
a. Aliran Rasionalisme
Aliran Rasionalisme dikaitkan pada filosof abad ke-17 dan 18, seperti
Rene Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya
berasal dari pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada
hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia. Descartes
berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas)
yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri
atas pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang
dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar
tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat
seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu
adalah sesuatu yang sudah „built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita
adalah mencapainya melalui deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh
aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut Aliran ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan
satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah yang mendorong
18
munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.
b. Aliran Empirisme
Aliran kedua adalah empirisme yang menekankan pentingnya
pengalaman sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori
oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang
mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat
pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human
Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan
epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, Aliran ini
berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari
pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi,
kemudian, dibagi menjadi dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan
gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang masuk melalui akal
budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup, Yang kemudian adalah
persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah
yang diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi
hal ini tidak berarti mereka mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih,
mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang hal ini berarti mereka
menolak generalisasi.
Menurut Hobbes, segala yang ada bersifat bendawi. Bendawi
dimaksudkan ialah segala sesuatu yang tidak bergantung kepada gagasan
kita. Ia juga mengajarkan bahwa segala kejadian adalah gerak, yang
berlangsung karena keharusan. Realitas segala yang bersifat bendawi
terliput di dalam gerak itu. Segala obyektifitas di dalam dunia luar bersandar
kepada suatu proses tanpa pendukung yang berdiri sendiri. Ruang atau
keluasan tidak memiliki eksistensi atau keber-“ada”-an sendiri. Ruang justru

18 Adian Husaini. (2005). Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. 45.
gagasan tentang hal yang ber-“ada” itu. Sedangkan waktu adalah gagasan
19
tentang gerak.
c. Aliran Kritisisme
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk
mensintesa dua kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme.
Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan
oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi tentang
objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz
dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha
menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran
filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang
berpikir. Dengan demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan
rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga Aliran di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber
ilmu menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan
panca indera. Mereka hanya menitikberatkan pada dua komponen ini.
Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan
berita shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak
memasukkannya ke dalam defenisi ilmu. Akibatnya, ilmu pengetahuan dan
nilai nilai etika moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
20
berubah.

C. Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan
bahwasanya:
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai
pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua
kata tersebut epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan. Adapun
objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan
bagaimana cara manusia memperoleh ilmu.
Sumber ilmu pengetahuan yang utama dalam Islam ialah al-qur‟an dan
hadits (ijtihad). Sedangkan sumber ilmu pengetahuan menurut barat ialah berpusat
pada akal. Dengan tiga alitan utama yakni: Rasionalisme, Empirisme, dan
Kritisisme

19 Ibid., 53.
20 Dedi Supriyadi. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. 15.
DAFTAR PUSTAKA

A. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,


Epistemolis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara.
Ariwidodo, Eko. (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat
Bahasa”, Karsa, Vol. 21 No. 2. http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38
Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat: Dari hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
______. Dkk. (2013). Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Kartanegara, Mulyadhi. (2003). Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan.
M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga
Modern. Bandung: Pustaka Setia.
__________. (2001). Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali.
Bandung: Pustaka Setia.
Qomar, Mujamil. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
S. Suriasumantri, Jujun. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika.
Supriyadi, Dedi. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Yusuf Lubis, Akhyar. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta:
Pt. Raja Grafindo Persada.
Zuhairini. Dkk. (2009). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai