Anda di halaman 1dari 12

ALIRAN UTAMA DALAM FILSAFAT

PENDIDIKAN ISLAM
Dalam pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil penilaian para filosof, telah
melahirkan berbagai macam pandangan. Adakalanya, beberapa pandangan saling
mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan. Perbedaan itu
antara lain disebabkan oleh pendekatan yang dipakai berbeda-beda, sehingga
menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Dalam filsafat, dikenal dengan beberapa aliran atau pandangan antara lain
Idealisme, Realisme, Materialisme, Pragmatisme, dan lain-lain. Aplikasi aliran-
aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat
pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan, dihasilkan beberapa teori atau
aliran-aliran filsafat pendidikan. Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat yang
berkembang antara lain: Progressivisme, Essensialisme, Perennialisme,
Rekonstruktivisme, dan Eksistensialisme.
Dalam dunia pendidikan Islam, terdapat tiga aliran utama filsafat
pendidikan Islam, yaitu:
(1) aliran Konservatif, dengan tokoh utamanya adalah al-Ghazali, (2) aliran
Religius-Rasional, dengan tokoh utamanya yaitu Ikhwan al-Shafa, dan (3) aliran
Pragmatis, dengan tokoh utamanya adalah Ibnu Khaldun.
Pemetaan demikian antara lain didasarkan pada konsep keilmuan yang
melandasi aliran pemikiran pendidikan Islam tadi. Menariknya, konsep keilmuan
ternyata memang diakui sebagai salah satu tema sentral dalam spektrum tradisi
intelektual Islam. Berdasarkan “peta” aliran itu, kita dapat menyimpulkan bahwa
khazanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik dan uniform, melainkan
variatif dan plural sebagaimana dalam tradisi pemikiran keislaman lainnya.[1]
1.    ALIRAN KONSERVATIF (AL-MUHAFIDZ)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasiruddin al-Thusi, Ibnu
Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Aliran al-Muhafidz cenderung bersikap murni keagamaan. Aliran ini
memaknai ilmu dengan pengertian sempit. Menurut al-Thusi, ilmu yang utama
hanyalah ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang, yang jelas akan membawa
manfaat di akhirat kelak.[2]
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi:
a.       Berdasarkan pembidangannya, ilmu dibagi menjadi dua bidang:
1)     Ilmu syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari para Nabi,[3] terdiri atas:
a)      Ilmu ushul (ilmu pokok). Contoh: ilmu al-qur’an, sunah nabi, pendapat-pendapat
sahabat dan ijma.
b)      Ilmu furu’ (cabang). Contoh: fiqh dan akhlak.
c)      Ilmu pengantar (mukaddimah). Contoh: ilmu bahasa dan gramatika.
d)      Ilmu pelengkap (mutammimah).
2)     Ilmu ghoiru syar’iyyah, yaitu semua ilmu yang berasal dari ijtihad ulama’ atau
intelektual muslim,[4] terdiri atas:
a)      Ilmu terpuji. Misalnya: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
b)      Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan). Misalnya: kebudayaan, sastra, sejarah,
puisi.
c)      Ilmu yang tercela (merugikan). Misalnya: ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian
tertentu dari filsafat.
b.      Berdasarkan status hukum mempelajarinya, dapat digolongkan menjadi:
1)        Ilmu yang fardlu ‘ain, yakni ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu
muslim. Contoh: ilmu tentang tata cara shalat, dan puasa. Kemudian, ilmu yang
fardlu ‘ain ini, oleh al-Ghazali, dibagi menjadi dua yaitu: Ilmu Mu’amalah dan
ilmu Mukasyafah.
2)        Ilmu yang fardlu kifayah, yakni ilmu yang bila sebagian umat Islam telah
mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya.
Contoh: ilmu kedokteran, ilmu hitung dan perdagangan.
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu-ilmu keagamaan hanya dapat diperoleh
dengan kesempurnaan rasio dan kejernihan akal budi. Karena, hanya dengan
rasiolah manusia mampu menerima amanat dari Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Pemikiran al-Ghazali ini sejalan dengan aliran Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa rasio mampu menetapkan baik buruknya sesuatu.
Pola umum pemikiran al-Ghazali dalam pendidikannya antara lain:
a.    Kegiatan menuntut ilmu tiada lain berorientasi pada pencapaian ridha Allah.
b.    Teori ilmu ilhami sebagai landasan teori pendidikannya, dan diperkuat dengan
sepuluh kode etik peserta didik.
c.    Tujuan agamawi merupakan tujuan puncak kegiatan menuntut ilmu.
d.    Pembatasan term al-‘ilm hanya pada ilmu tentang Allah.
Sedangkan menurut Ibnu Jama’ah, para penuntut ilmu harus mengawali
belajarnya dengan al-Quran, menghafal dan menafsirkannya.  Kemudian, ilmu-
ilmu yang perlu diprioritaskan adalah Ulumul Quran, al-Hadits, Ulumul Hadits,
Ushul, Nahwu dan Sharaf.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran utama aliran konservatif antara
lain:
a.    Ilmu adalah ilmu al-hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan saat sekarang yang bisa
membawa manfaat di akhirat.
b.    Ilmu-ilmu selain ilmu keagamaan adalah sia-sia.
c.    Ilmu hanya bisa diperoleh melalui rasio.
2.    ALIRAN RELIGIUS-RASIONAL (AL-DINIY AL-‘AQLANIY)
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Miskawaih. Aliran ini dijuluki “pemburu” hikmah Yunani di belahan dunia
Timur, dikarenakan pergumulan intensifnya dengan rasionalitas Yunani.
Menurut Ikhwan al-Shafa[5], yang dimaksud dengan ilmu adalah gambaran
tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Proses
pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan ajar agar benar-benar
menjadi riil, atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang
semula berilmu (mengetahui) secara potensial, agar menjadi berilmu (mengetahui)
secara riil-aktual. Dengan demikian, inti proses pendidikan adalah pada kiat
transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi kemampuan “psikomotorik”.
[6]
Ikhwan berpendapat bahwa akal sempurna mengemanasikan keutamaan-
keutamaan pada jiwa dan dengan emanasi ini eternalitas akal menjadi penyebab
keberadaan jiwa. Kesempurnaan akal menjadi penyebab keabadian jiwa dan
supremasi akal menjadi penyebab kesempurnaan jiwa.[7] Pandangan dualisme
jiwa-akal Ikhwan tersebut merupakan bukti dari pengaruh pemikiran Plato.
Menurut Ikhwan, jiwa berada pada posisi tengah antara dunia fisik-materiil
dan dunia akal. Hal inilah yang menjadikan pengetahuan manusia menempuh laju
“linier-progresif” melalui tiga cara, yaitu: (1) Dengan jalan indera, jiwa dapat
mengetahui sesuatu yang lebih rendah dari substansi dirinya; (2) Dengan jalan
burhan (penalaran-pembuktian logis), jiwa bisa mengetahui sesuatu yang lebih
tinggi darinya; dan (3) Dengan perenungan rasional, jiwa dapat mengetahui
substansi dirinya.[8]
Ikhwan tidak sependapat dengan ide Plato yang menganggap bahwa belajar
tiada lain hanyalah proses mengingat ulang. Ikhwan menganggap bahwa semua
pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. Segala sesuatu yang tidak
dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, segala sesuatu yang tidak bisa
diimajinasikan, maka tidak bisa dirasiokan.
Kalangan Ikhwan sangat memberi tempat terhadap ragam disiplin ilmu yang
berkembang dan bermanfaat bagi kemajuan hidup manusia. Implikasinya adalah
konsep ilmu berpangkal pada “kesedia-kalaan” ilmu tanpa pembatasan.
Ikhwan membagi ragam disiplin ilmu sebagai berikut:
a.    Ilmu-ilmu Syar’iyah (keagamaan), yaitu:
1)         Ilmu Tanzil (ilmu Quran-Hadits)
2)         Ilmu Ta’wil (ilmu penafsiran)
3)         Ilmu Akhbar (ilmu penyampaian informasi keagamaan)
4)         Ilmu pengkajian sunnah dan hokum.
5)         Ilmu ceramah keagamaan, ilmu kezuhudan dan ta’bir mimpi.
b.    Ilmu-ilmu Filsafat
1)         Riyadliyyat (ilmu-ilmu eksak)
2)         Mantiqiyyat (retorika-logika)
3)         Thabi’iyyat (ilmu kealaman atau fisika)
4)         Teologi (ketuhanan).
c.    Ilmu-ilmu Riyadliyyat (matematik)
1)         Ilmu kitabah-qira’at (baca-tulis)
2)         Ilmu Nahwu (bahasa dan gramatika)
3)         Ilmu hitung dan transaksi
4)         Ilmu syi’ir dan prosa
5)         Ilmu peramalan
6)         Ilmu tenun dan sihir
7)         Ilmu profesi
8)         Ilmu jual-beli
9)         Ilmu sejarah
Tokoh lain dari aliran ini adalah Al-Farabi. Ia menganalisis manusia secara
“fungsional-organik”. Ia membagi potensi manusia menjadi enam tingkatan,
yaitu:
a.         Potensi al-ghadziyyah  (organ-organ tubuh yang berguna untuk mencerna
makanan). Potensi ini timbul setelah manusia lahir.
b.         Potensi perasa, yaitu bias merasakan hawa dingin atau panas, dan lain-lain.
c.         Merespons dan bereaksi.
d.         Mempersepsi dan menghafal stimuli-stimuli inderawiah yang telah diterimanya.
e.         Potensi mutakhayyilah (imajinasi), yaitu mengasosiasikan dan memilah-milah
unsur-unsur stimuli dengan aneka model.
f.           Potensi muthlaqah (mengabstraksi), yaitu menalar, mengidentifikasi antara yang
indah dan yang jelek, memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Al-Farabi menghendaki agar operasionalisasi pendidikan seiring dengan
tahap-tahap perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia.
Dari pemikiran kedua tokoh di atas, teori utama aliran Religius-Rasional ini
antara lain:
a.         Pengetahuan adalah muktasabah, yakni hasil perolehan dari aktivitas belajar.
b.         Modal utama ilmu adalah indera.
c.         Lingkup kajian meliputi pengkajian dan pemikiran seluruh realitas yang ada.
d.         Ilmu pengetahuan adalah hal yang begitu bernilai secara moral dan sosial.
e.         Semua ragam ilmu pengetahuan adalah penting.
3.    ALIRAN PRAGMATIS (AL-DZARAI’IY)
Tokoh aliran Pragmatis adalah Ibnu Khaldun. Sedangkan tokoh Pragmatisme
Barat yaitu John Dewey. Bila filsafat pendidikan Islam berkiblat pada pandangan
pragmatisme John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah
segala sesuatu yang sifatnya nyata, bukan hal yang di luar jangkauan pancaindera.
[9]
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan dan pembelajaran adalah tabi’i
(pembawaan) manusia karena adanya kesanggupan berfikir.[10] Pendidikan
bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga
untuk mendapatkan keahlian duniawi dan ukhrowi, keduanya harus memberikan
keuntungan, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki.
Dia menglasifikasikan ilmu pengetahuan berdasarkan tujuan fungsionalnya,
yaitu:
a.    Ilmu-ilmu yang bernilai instrinsik. Misal: ilmu-ilmu keagamaan, Ontologi dan
Teologi.
b.    Ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu instrinsik. Misal:
kebahasa-Araban bagi ilmu syar’iy, dan logika bagi ilmu filsafat.[11]
Berdasarkan sumbernya, ilmu dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a.    Ilmu ‘aqliyah (intelektual) yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari olah pikir
rasio, yakni ilmu Mantiq (logika), ilmu alam, Teologi dan ilmu Matematik.
b.    Ilmu naqliyah yaitu ilmu yang diperoleh manusia dari hasil transmisi dari orang
terdahulu, yakni ilmu Hadits, ilmu Fiqh, ilmu kebahasa-Araban, dan lain-lain.
Menurut Ibnu Khaldun, daya pikir manusia merupakan “karya-cipta” khusus
yang telah didesain Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah jahil (tidak tahu), ia
menjadi ‘alim (tahu) karena manusia belajar.
Ibn Khaldun menjadikan kealamiahan sebagai salah satu sumber pengetahuan
rasional. Ia membebaskan rasio dari dari kungkungan naql (dogma, tradisi) dan
menjadikannya sebagai sumber otonom pengetahuan.
Ia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semata-
mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di
dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif
yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala
sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Dari pemikiran Ibnu Khaldun di atas, maka ide pokok pemikiran aliran
Pragmatis antara lain:
a.         Manusia pada dasarnya tidak tahu, namun ia menjadi tahu karena proses belajar.
b.         Akal merupakan sumber otonom ilmu pengetahuan.
c.         Keseimbangan antara pengetahuan duniawi dan ukhrawi.

[1]Mahmud Arif, dalam “Pengantar Penerjemah” Tiga Aliran Utama Teori


Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis karya Muhammad Jawwad
Ridla, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002).
[2]Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan
Islam : Perspektif Sosiologis-Filosofis, Terj.Mahmud Arif, (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002), 74-75.
[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendidikan Historis, Teoritis
dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90.
[4]Ibid.
[5]Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis,
yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui
radikal-revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas.
[6]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,78.
[7]Ibid., 85-86.
[8] Ibid., 87.
[9]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2009), 99.
[10]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme
Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2008), 125.
[11]Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, 105.
Filsafat Pendidikan Islam (Aliran-aliran Pendidikan)
BAB I

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN

1. A. Aliran Eksistensialisme
1. 1. Sejarah munculnya eksistensialisme

Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger


(1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya
berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche.
Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855) filsafatnya untuk menjawab pertanyaan
“Bagaimanakah aku menjadi seorang individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat
itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard
menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi
individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya adalah
untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk
merealisasikan diri secara jujur dan berani

Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan


eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi fenomenologi, atau cara
manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialisme dan
idealisme. Pendapat materialisme bahwa manusia adalah benda dunia, manusia itu
adalah materi , manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek.
Pandangan manusia menurut idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau
hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan
manusia harus berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh
dengan lukisan-lukisan yang kongkrit.

Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar, sintesi bearti berdiri.
Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri sendiri

Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang


menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard
(1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean Paul Sartre. Inti ajaran ini
adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi
mendahului esensi. Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita
masing-masing. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang
benar, salah, indah dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki
keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya
menekankan refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan sebagai
fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan
membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui. Karena
perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan
pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai
pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel
dengan menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan
materi ajar yang memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam
bentuk karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup, cinta dan
kematian.

Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari sebagian


terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah akibat perang
dunia kedua.[1] Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat
manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.

Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat eksistensi. Paham


Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia pada dirinya sendiri,
sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar sebagai arti katanya, yaitu:
“filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.”[2]

Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme adalah suatu


penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah.
Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan rasional.[3] Dengan demikian
aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi
sejarah yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak
serta spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi,
keyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk
mencapai keyakinan hidupnya.

Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme atau


penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum.
Kebebasan untuk freedom to[4] adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap
dan perbuatannya.

Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalam


Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak menghendaki
adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.”[5] Oleh sebab itu
Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana
yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep pendidikan eksistensialisme yang
diajukan oleh Morris sebagai “Eksistensialisme’s concept of freedom in
education”, menurut Bruce F. Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali
Ivan Illich dengan Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di
kalangan ahli pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang
dikehendikan aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat
pendidikan.

Pandangan eksistensialisme adalah:

1. Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna,


dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip &
standar pengembangan ke pribadian
2. Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya
kebebasan individu memilih
3. Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan &
dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
4. Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap
individu bebas untuk dipilih-diambil
5. Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa
menyakiti yang lain
6. Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada
tiap orang oleh dirinya
7. Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas
oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
8. B. Perenialisme

Perennialisme diambil dari kata Perennial, yang dalam Oxford Advanced


Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “Continuing
throughout the whole year” atau “Lasting for a very long time” abadi atau kekal.
Dari makna yang terkandung dalam kata itu aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.

Perennial berarti everlasting, tahan lama atau abadi. Aliran ini mengikuti paham
realisme, yang sejalan dengan pemikrian Aristoteles bahwa manusia itu rasional.
Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa
seyogyianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi
intelektual sejati. Akar filsafat ini datang dari gagasan besar Plato, Aristoteles dan
kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model
sekolah Katolik.

Kaum perrenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua


manusia memiliki sifat esensial sebagai mahluk rasional, jadi tidaklah baik
menggiring dan mencocok hidung mereka ke penguasaan keterampilan
vokasional. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi
pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat dengan demikian
menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan
penuh imajinatif.
Perennialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah
menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Untuk
mengatasi krisis ini perennialisme memeberikan jalan keluar berupa “kembali
kepada kebudayaan masa lampau” regressive road to cultural.[6] Oleh karena itu
perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa
lampau yang dianggap cukup ideal dan yang telah terpuji ketangguhannya. Sikap
kembali kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, sikap yang membanggakan
kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi abad silam yang
juga diperlukan dalam kehidupan abad modern.

Perennialisme adalah gerakan pendidikan yang mempertahankan bahwa nilai-nilai


universal itu ada, dan bahwa pendidikan hendaknya merupakan suatu pencarian,
penanaman kebenaran-kebenaran dan nilai-nilai tersebut.[7]

Asas yang dianut perennialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang


berkiblat dua[8], yaitu:

1. Perennialisme yang theologis, bernaung di bawah supremasi gereja


katolik, dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinasa.
2. Perennialisme sekuler berpegang pada ide dan cita filosofis Plato dan
Aristoteles.

Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang
umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal.
Dengan cara inilah pendidikan akan memenuhi fungsinya humanistiknya yang
mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini :

1. Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan
orang;
2. Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran;
3. Kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya agung; dan
4. pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar.

Prinsip-prinsip pendidikan Perennialisme

Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya:


Plato, Arietoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini pokok pemikiran Plato
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi dari hukum universal
yang abadi dan sempurna, yakni ideal sehingga ketertiban social hanya akan
mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normative dalam tata pemerintahan.
Maka tujuan utama pendidikan adalah: “membina pemimpin yang sadar dan
mempraktikkan asas-asas normative itu dalam semua aspek kehidupan.

Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu,
kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan
kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa
terpenuhi.

Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersaebut perkembangannya telah


mempengaruhi system pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk
sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.

1. C. Aliran Rekonstruksionalisme
1. 1. Pengertian

Rekonstruksionalisme dipelopori oleh Jhon Dewey, yang memandang pendidikan


sebagai rekonstruksi pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam
hidup. Sekolah yang menjadi tempat utama berlangsungnya pendidikan haruslah
merupakan gambaran kecil dari kehidupan social di masyarakat. Perkembangan
lebih lanjut dari rekonstruksionalisme Dewey adalah rekonstruksionalisme
radikal, yang memendang pendidkan sebagai alat untuk membangun masyarakat
masa depan.

Persahabatan pendidikan Amerika (Amerivcan Education Fellowship atau AEF)

Prinsip-prinsip yang menjadi landasan kerja AEF yaitu:

1. Memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada setiap anak, tanpa


membedakan Ras, kepercayaan, atau latar belakang ekonomi
2. Memberikan “pendidikan tinggi” –latihan akademik, professional, dan
teknikal– kepada setiap mahasiswanya untuk dapat menyerap dan
menggunakan ilmu dan teknologi yang diajarkan
3. Memebuat sekolah-sekolah Amerika menjadi berperanan sangat penting
sebagai satu bagian dari kehidupan nasional kita yang akan menarik
karena para gurunya adalah laki-laki dan perempuan kita yang sangat
bersemangat
4. Menyusun sebuah program pemuda untuk usia 17-23 tahun untuk
membawa mereka dan sekolah aktif menuju pada berpatisipasi dalam
masyarakat orang dewasa
5. Mengusahakan penggunaan penuh dari perlengkapan sekolah dalam waktu
di luar sekolah untuk pertemuan-pertemuan pemuda, kegiatan-kegiatan
masyarakat pendidikan orang dewasa
6. Bekerjasama penuh dengan semua lembaga masyaraklat dan lemabaga
social menuju sebuah masyarakat demopkratis yang sesungguhnya, tetapi
dalam waktu yang bersamaan menjaga pendidkan yang bebas dari
kekuasaan suatu kelompok atau kepentingan tertentu
7. Terus memperluas penelitian dan eksperimentasi pendidikan
8. Mengajak pemimpin-pemimpin masyarakat untuk menjadikan pendidikan
sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat menjadi bagian dari
sekolah
Pada dasarnya aliran Rekonstruksionalisme adalah sepaham dengan aliran
Perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan
yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi
sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yang berusaha membina suatu
consensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia.

Untuk mencapai tujuan itu, Rekonstruksionalisme berusaha mencari kesepakatan


semua orang mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tataan baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses
pendidikan Rekonstruksionalisme ingin.

Aliran rekonstruksi juga memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme namun


terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua
aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan
semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya.
Aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada berdasarkan
analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-
praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis terhadap masyarakat kontemporer
dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap isu-isu nasional dan
internasional.
Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia,
maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan,
yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan
demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudayaan. Tokoh-tokoh
besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan
Paulo Freire.

Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan
bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekedar
pengetahuan, tetapi memberi manusia apapun rasanya, kepercayaannya, dan
kehidupan yang lebih memuaskan dirinya dan masyarakatnya. Pengetahuan,
pelatihan dan keterampilan adalah alat untuk mencapai tujuan ini, yakni realisasi
diri.

Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970) mempertanyakan apakah dunia


ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah, membiarkan drop out
anak-anak dari golongan kelas bawah. Konstribusi aliran ini bukan untuk
menghapus sekolah, tetapi untuk melonggarkan pelembagaan (deinstituionalize)
pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu mentransformasi kultur
yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan. Dengan menguasai
bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai kekuasaan dan
mampu mentransformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed (1995),
Illich menekankan pentingnya kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan
mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.
[1] Fernando R. Molina. The Sources of Eks`       istentialism As Philophys. New
Jersey, Prentice-Hall, 1969 hal 1

[2] Fuad Hassan. Kita dan kami. Bulan Bintang, Jakarta, 1974 hal 7-8

[3] Paul Roubickzek. Existensialism For and Agiant. Cambridge University Press.
1966 hal 10

[4] Fuad Hassan. Op. cit. hal 71

[5] Joe Park. Op. cit. hal 128-138

[6] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Bumi Aksara. Jakarta 1995 hal 28

[7] Redja Mudyahardjo. Pengantar Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta 2008 hal 164-165

[8] Mohammad Noor Syam. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Usaha Nasional, Surabaya

1983 hal 297

Anda mungkin juga menyukai