Anda di halaman 1dari 7

BAB I

P E N D A H U L U AN

A. Latar Belakang

Berbicara tentang konsep ilmu pengetahuan dalam islam tentu sangat berbeda dengan
konsep ilmu pengetahuan dari barat yang hanya mencakup hal hal yang empiris, dalam islam
konsep ilmu pengetahuan itu sangat luas bukan hanya yang bersifat empiris tetapi hal yang
bersifat metafisik pun dibahas dalam Islam. Kemudian konsep ilmu pengetahuan dalam islam
juga bukan hanya sekedar membahas aqidah, tetapi mencakup ilmu ilmu lainnya seperti
astronomi, ekonomi, biologi dan lain sebgainya. Lalu sebetulnya bagaimana konsep ilmu
pengetahuan menurut islam?

Dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang “konsep ilmu pengetahuan menurut
islam” secara ringkas, dengan harapan agar mudah di pahami dan dimengerti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu konsep dan pentingnya konsep dalam ilmu pengetahuan?
2. Konsep ilmu pengetahuan islam dan perbedaannya dengan barat
Beberapa klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Apa itu konsep dan pentingnya konsep dalam ilmu pengetahuan

2. Konsep ilmu pengetahuan islam dan perbedaannya dengan barat

Beberapa klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ilmu Pengetahuan menurut Islam


Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm (‘alima-ya’lamu-‘ilm), yang berarti
pengetahuan (al-ma’rifah)1 Dalam perspektif Islam, ilmu merupakan pengetahuan
mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihād) atas persoalan- persoalan
duniawī dan ukhrāwī dengan bersumber kepada wahyu Allah.2
Al-Qur’ān memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap aktivitas
ilmiah seperti menimba ilmu. Terbukti, ayat yang pertama kali turun berbunyi ;
“Bacalah, dengan [menyebut] nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. Membaca,
dalam artinya yang luas, merupakan aktivitas utama dalam kegiatan ilmiah dan
merupakan salah satu cara agar kita bisa mendapatkan ilmu. Selain kata ‘ilmu, dalam
al-Qur’ān juga banyak disebut ayat-ayat yang, secara langsung atau tidak, mengarah
pada aktivitas ilmiah dan pengembangan ilmu, seperti perintah untuk berpikir,
merenung, menalar, dan semacamnya. Misalnya, perkataan ‘aql (akal) dalam al-
Qur’ān surah a anfal ayat 22 :”Sesungguhnya seburuk-buruk makhluk melata di sisi
Allah adalah mereka (manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya”
dalam ayat ini djelaskan keharusan kita menggunakan akal kita dengan sebaik
baiknya untuk hal hal yang berguna dan bermanfaat terutama untuk berpikir
menemukan solusi dalam sebuah masalah ataupun untuk memperdalam ilmu
pengetahuan.

al-Quran dan tradisi Nabi Saw. (Sunnah) tidak hanya sebagai sumber hukum,
melainkan juga sebagai sumber ilmu pengetahuan dan peradaban. Dua pilar utama
pengembangan ilmu pengetahuan adalah penalaran (rasionalitas) dan pengamatan
(empirisme). Keduanya terjalin sangat erat, dan menjadi dasar metode ilmiah.
Keingintahuan manusia dapat muncul dari renungan, refleksi, pemikiran dan
kontemplasi yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengamatan, pencatatan, analisis
dan konseptualisasi. Bisa jadi, rasa ingin tahu juga muncul berdasarkan pengamatan,
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm.1037.
2
A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam
Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.
2
kemudian dilanjutkan dengan renungan, seperti pengalaman Nabi Ibrahim as dalam
menemukan kebenaran akan keesaan Allah yang Maha Kuasa.

Akan tetapi, sumber ilmu pengetahuan tidaklah terbatas pada pengamatan,


pengalaman empiris, penalaran logis dan hasil bacaan, sebab semua itu cenderung
bersifat relatif dan temporer, bahkan subyektif. Oleh karena hakekat kebenaran itu
bersumber al- Haqq al-Ahad (Sang Maha Benar yang Maha Esa), maka sumber ilmu
pengetahuan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah wahyu (kitab suci), karena
sumber yang terakhir ini bersifat mutlak dan trasendental, sedangkan sumber-sumber
yang lain (akal, indera, pengalaman, dan sebagainya) bersifat nisbi, relatif dan
subyektif.

B. Perbedaan konsep Ilmu pengetahuan Islam dan Barat


Asas bagi perkembangan ilmu Barat dan Islam sangat berbeda. Ilmu Barat
bermula dari penalaran murni (pure reason) tanpa asas wahyu atau keyakinan kepada
Tuhan, sehingga disebut juga unaided reason, sedangkan ilmu dalam Islam bermula
dari pemahaman terhadap wahyu dibantu oleh penalaran, atau kombinasi dari wahyu
dan akal (revelation and reason). Maka dapat dikatakan bahwa di Barat ilmu lahir dari
keraguan sedangkan dalam Islam ilmu muncul dan berkembang dari keyakinan. Jadi,
bermula dari keyakinan terhadap firman Allah, al-Quran dipahami, dijelaskan,
dibuktikan dan diamalkan sehingga menghasilkan ilmu.

Sistem epistemologi yang sangat fundamental yaitu pandangan epistemologi


Islam dan Barat memiliki pandangan yang saling bersebrangan . Seperti yang
diketahui dalam pandangan epistemologi Barat, objek ilmu hanya terbatas pada
unsur- unsur yang bersifat fisik semata. Di luar unsur fisik tidak menjadi objek ilmu.
Setelah melalui proses yang cukup panjang (terutama pasca Renaissace), epistemologi
Barat akhirnya cenderung menolak status ontologi objek-objek metafisika, dan lebih
memusatkan perhatiannya pada objek-objek fisik, atau yang disebut sebagai
“positivistic”. Sementara itu epistemologi Islam masih (dan akan terus)
mempertahankan status ontologis tidak hanya objek- objek fisik, tetapi juga objek-
objek metafisika. Perbedaan cara pandang serta keyakinan inilah yang menimbulkan
perbedaan yang cukup signifikan antara kedua sistem epistemologi tersebut dalam
masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi ilmu.

3
Ilmuan Islam masa lampau telah menunjukkan objek ilmu tidak hanya hal- hal
yang bersifat fisik atau indrawi saja. Bahkan mereka telah menyusun hirarki Wujud
(martabah al- maujuudat) justru dimulai dari unsur-unsur yang metafis ik menuju
unsur fisik. Salah satu sarjana Muslim yang terkenal, membahas objek atau wujud
materi berdasarkan hirarkinya adalah al-Farabi. Menurut Osman Bakar, al- Farabi
membahas hirarki wujud (maujud) dalam karya besarnya, yaitu as-Siasat al-
Madiniyah dan al-Madinat al-Fadhilah. Al-Farabi menyusun skema wujud secara
hirarkis dengan derajat kesempurnaan yang menurun seperti berikut:

1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan wujud yang lain.


2. Para malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial)
4. Benda-benda bumi (terrestrial).

Dalam pandangan Islam, objek metafisika dipandang lebih penting dengan urutan
mulai nomor 1 ke nomor 4. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan
ilmiah modern.

Epistemologi Islam mengganggap status ontologi objek fisik yang biasa disebut
dengan “elementary particles” menduduki peringkat yang paling rendah. Sedangkan
bagi pandangan ilmiah modern status ontologi objek fisik menempati posisi yang
sangat tinggi, bahkan prinsipil. Sementara segala hal yang bersifat imaterial
(metafisika) dianggap tidak bernilai bahkan sering dianggap hanya sebagai ilusi atau
halusinasi.

Epistemologi Islam menjelaskan bahwa pengetahuan ilmiah adalah segala sesuatu


yang bersumber dari alam fisik dan non-fisik. Dengan demikian menjadi jelas bahwa
sumber pengetahuan dalam Islam adalah alam fisik yang bisa diindra dan alam
metafisik yang tidak bisa diindera seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, alam akhirat.
Alam fisik dan alam non-fisik sama bernilainya sebagai sumber ilmu pengetahuan
dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengakui
alam fisik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sesuatu yang bersifat
non-indrawi, non-fisik, dan metafisik tidak termasuk ke dalam obyek yang dapat
diketahui secara ilmiah.3

3
Mulyadhi Kertanegara, Menembus Batas Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 58.
4
C. Klasifikasi Ilmu dalam Islam
 Metafisika, Matematika, dan Ilmu Fisik

Secara umum ilmu dalam Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok
yang meliputi; metafisika menempati posisi tertinggi, disusul kemudian oleh
matematika, dan terakhir ilmu-ilmu fisik. Melalui tiga kelompok ilmu tersebut,
lahirlah berbagai disiplin ilmu pengetahuan, misalnya; dalam ilmu-ilmu metafisika
(ontologi, teologi, kosmologi, angelologi, dan eskatologi), dalam ilmu-ilmu
matematika (geometri, aljabar, aritmatika, musik, dan trigonometri), dan dalam ilmu-
ilmu fisik (fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan optika).4

 ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardlu kifāyah

Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan, dan untuk


tujuan-tujuan praktis, sejumlah ulama berupaya melakukan klasifikasi ilmu. Al-
Ghazālī membagi ilmu menjadi dua bagian; ilmu fardlu ‘ain dan ilmu fardlu
kifāyah. Ilmu fardlu ‘ain adalah ilmu yang wajib dipelajari setiap muslim terkait
dengan tatacara melakukan perbuatan wajib, seperti ilmu tentang salat, berpuasa,
bersuci, dan sejenisnya. Sedangkan ilmu fardlu kifāyah adalah ilmu yang harus
dikuasai demi tegaknya urusan dunia, seperti; ilmu kedokteran, astronomi, pertanian,
dan sejenisnya. Dalam ilmu fardlu kifāyah tidak setiap muslim dituntut
menguasainya. Yang penting setiap kawasan ada yang mewakili, maka kewajiban
bagi yang lain menjadi gugur.

 Ilmu Naqli dan Ilmu Aqli

Ibn Khaldūn membagi ilmu pengetahuan menjadi dua kelompok, yaitu; ilmu-ilmu
naqlīyah yang bersumber dari syarā’ dan ilmu-ilmu ‘aqlīyah/ilmu falsafah yang
bersumber dari pemikiran. Yang termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu naqlīyah
adalah; Ilmu Tafsir, Ilmu Qirā’ah, Ilmu Hadīts, Ilmu Ushūl Fiqh, Fiqh, Ilmu Kalam,
Bahasa Arab (Linguistik, Gramatika, Retorika, dan Sastra). Sedangkan yang termasuk
dalam ilmu-ilmu ‘aqlīyah adalah; Ilmu Mantiq, Ilmu Alam, Metafisika, dan Ilmu
Instruktif (Ilmu Ukur, Ilmu Hitung, Ilmu Musik, dan Ilmu Astronomi).

4
Mulyadi, Menembus Batas, hlm. 59.
5
BAB III

K E S I M P U L AN

Jadi dalam pembahasan yang sudah dipaparkan diatas, konsep pengetahuan Islam dan
konsep pengetahuan barat memiliki perbedaan yang saling berlawanan, dimana dalam islam
segala hal baik yang bersifat fisik ataupun metafisik merupakan hal yang bisa dikaji dan ada
ilmu pengetahuan yang bisa didapat dri hal hal tersebut, berbeda dengan konsep barat yang
hanya percaya bahwa ilmu pengetahuan hanya bisa didapat dari hal hal yang bisa didtagkap
oleh panca indra ataupun empiris dan meyakini bahwa hal yang bersifat metafisik itu tidak
ada dan tidak ada yang bisa dibahas dari hal tersebut.

6
DAFTAR PUSTAKA

https://mediacahayailmu.wordpress.com/2014/11/27/konsep-ilmu-pengetahuan/

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Unit


Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir, 1984), hlm.1037.
2
A.Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi
Agama Islam Departemen Agama RI, 2003), hlm. 13.
3
Mulyadhi Kertanegara, Menembus Batas Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
hlm. 58.
Mulyadi, Menembus Batas, hlm. 59.

Anda mungkin juga menyukai