Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HIERARKI ILMU DALAM PANDANGAN SUFI

Makalah ini di Susun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Dr. Imam Khanafi, M. Ag

Di Susun oleh:

Lukman Hakim (2032115001)

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI

FAKULTAS USHULUDIN, ADAB DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(IAIN) PEKALONGAN

2017

A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu di jaman modern seperti saat ini
sangatlah penting dan telah dimanfaatkan perkembanganya.
Karena semua bidang kehidupan memanfaatkan perkembangan
tersebut, mulai dari sektor terkecil hingga ke sektor-sektor besar.
Oleh sebab itu, keberadaan dan juga perkembangan ilmu
sangatlah dibutuhkan oleh seluruh umat didunia ini karena bila
ilmu hanya berhenti pada suatu titik dan tidak mampu
berkembang menyesuaikan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan umat manusia maka akan fatal akibatnya bagi
kelangsungan masing-masing individunya.

Ilmu itu sendiri merupakan panduan atau petunjuk yang telah


diberikan oleh Tuhan kepada umat manusia sebagai bekal untuk
menjadi khalifah dalam mengelola dunia ini.

Di dalam tasawuf, para sufi membagi ilmu kedalam beberapa


maqom atau tingkatan ilmu, diantaranya Syariat, Tarekat,
Hakikat, hinga kepada maqom tertinggi yaitu Marifat. Namun
dewasa ini Kekeliruan sering wujud di dalam memahami apa itu
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Mungkin kekeliruannya
ialah tentang perbedaan diantara Syariat, Tarekat, Hakikat dan
Makrifat. Karena mereka belum begitu memahami tentang
tingkatan ilmu tersebut maka banyak yang menganggap orang
yang telang mencapai hakikat atau marifat tidak perlu
menjalankan syariat. Itulah yang salah, karena keempat
tingkatan ini sangatlah berkaitan dan berhubungan antara satu
dengan yang lain

Kebingungan bertambah ketika kebanyakkan ilmu di antara


fahaman Tasawuf atau Mazhab-mazhab ilmu Fiqih yang semakin
memperuncing perbedaan diantara ilmu tersebut. Padahal,
masing-masing merupakan jalan menuju kepada " Allah s.w.t.
Tujuan kesemuanya adalah sama yaitu menuju kepada Allah,

1
satu-satu Zat yang wajib di Tauhidkan, di Esakan, di Makrifatkan
dengan penuh "Keikhlasan". Oleh karena itu dalam makalah ini
dibahas secara detail tentang hierarki ilmu dalam pandangan sufi
yang tentunya dari tingkat ke tingkat sangatlah berkaitan.

B. Dasar-dasar Hierarki Ilmu

Bicara mengenai hierarki ilmu sama saja dengan bicara


tentang alas an mengapa suatu ilmu diberi peringkat lebih tinggi
dari pada ilmu-ilmu yang lainnya. Menurut Al-Farabi alasan tepat
bagi pemeringkatan tersebut terdiri atas satu hingga tiga
elemen.1

Al-Farabi menyetir tiga criteria menyusun hierarki ilmu.


Pertama, kemulyaan materi subjek (syaraf al-maudhu),
berdasarkan dari prinsip fundamental ontology, yaitu bahwa
dunia wujud tersusun secara hierarkis. Karena itu bisa dikatan
kriteria pertama berfungsi untuk menetapkan dasar ontologis
hierarki ilmu. Kedua, kedalaman bukti-bukti (Istiqsho Al-Barohin),
didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan
kebenaran didalam berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan
derajat, kejelasan dan keyakinan. Ketiga, besarnya kemanfaatan,
dan ilmu yang bersangkutan didasarkan pada fakta bahwa
kebutuhan praktis dan spiritual yang berkaitan dengan aspek
kehendak jiwa juga tersusun secara hierarkis.2

.Didalam buku Filsafat Ilmu tulisan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar,


M.A disebutkan bahwa secara umum ada tiga basis secara

1 Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun rangka piker islamisasi


Ilmu, (Bandung: Mizan,1992), hlm.64

2Ibid, hlm.65

2
mendasar dalam menyusun secara hierarkis ilmu-ilmu
metodologia, ontologis, dan etis.Hampir ketiga kriteria ini dipakai
dan diterima oleh para ilmuwan muslim sesudahnya membuat
klasifikasi ilmu-ilmu.3

Perihal yang perlu kita ketahui adalah bahwa yang


membedakan antara upaya pengembangan, pembidangan
ataupun klasifikasi jenis dan bentuk ilmu didunia Islam mengenal
visi hierarki keilmuan.Yakni memandang terdapat hierarki dalam
objek yang diketahui dan subjek yang mengetahui.4

C. Klasifikasi Ilmu

Alfarabi membuat klasifikasi Ilmu secara filosofis kedalam


beberapa wilayah, seperti ilmu matematis, ilmu alam, ilmu
metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan teologi
dialektis. Beliau member perincian ilmu-ilmu religious (Ilahiyah)
dalam bentuk kalam dan Fiqh langsung mengikuti perincian ilmu-
ilmu filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika, dan ilmu
politik.5

Sedangkan Al-Ghozali secara filosofis membagi ilmu kedalam


ilmu syariyah dan ilmu Aqliyah. Oleh Al-Ghazali yang terakhir ini
juga disebut ilmu ghair syariah, begitu juga Quthb al-Din
membedakan jenis ilmu menjadi ulum hikmy dan ulum ghair

3 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011)


hlm.122

4Ibid, hlm.128

5 Ibid, hlm.123

3
hikmy. Ilmu nonfilosofis menurutnya dipandang sinonim dengan
ilmu religious, karena dia menganggap ilmu itu berkembang
dalam suatu peradaban yang memiliki syariah (hukun wahyu).6

Pemasukkan istilah ghair oleh imam Ghozali dan Quthb al-Din


untuk ilmu intelektual berarti, bagi keduanya, ilmu syariah lebih
utama dan lebih berperan sebagai basis (landasan) untuk
menamai setiap ilmu lainnya.7

Dr Muhammad Al-Bahi membagi ilmu dari segi sumbernya


terbagi menjadi dua, pertama; Ilmu yang bersumber dari Tuhan,
kedua; ilmu yang bersumber dari manusia. Al-Jurjani membagi
imu menjadi dua jenis, yaitu, Pertama, Ilmu Qodim, dan kedua,
ilmu hadis (baru), ilmu Qodim adalah ilmu Allah yang jelas
sangat berbeda dari ilmu hadis yang dimiliki manusia sebagai
hamba-Nya.8

Namun disini penulis menganggap perlu mengemukakan


klasifikasi Al-Ghazali, karena Al-Ghazali sebagai peletak dasar
filosofis pertama kali teori iluminasionis dalam arti pengeahuan
yang datang dari Tuhan melalui pancerahan dan penyinaran. Dan
dia berpendapat bahwa pengetahuan instuisi/makrifat yang
datang dari Allah langsung kepada seseorang adalah
pengetahuan yang paling benar.9

6 Ibid, hlm.123

7 Ibid, hlm.123

8 Ibid, hlm.123-124

9 Ibid, hlm.124

4
Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam
ilmu syariyyah dan ilmu aqliyyah yaitu sebagai berikut:10
1. Ilmu Syariyyah
a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul)
1) Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-tauhid)
2) Ilmu tentang kenabian.
3) Ilmu tentang akhirat atau eskatogis
4) Ilmu tentang sumber pengetahuan religious. Yaitu Al-
Quran dan Al-Sunnah (primer), ijma dan tradisi para
sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua
kategori:
i. Ilmu-ilmu pengantar (ilmu alat)
ii. Ilmu-ilmu pelengkap.
b. Ilmu tentang kewajiban manusia terhadap Tuhan (ibadah)
1) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat:
2) Ilmu tentang transaksi
3) Ilmu tentang kewajiban kontraktual
4) Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri
(ilmu akhlak)
2. Ilmu Aqliyyah
a. Matematika: aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi,
music
b. Logika
c. Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorology, mineralogy,
kimia
d. Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika:
Ontologi

10 Ibid, hlm.124-125

5
1. Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi.
2. Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana.
3. Pengetahuan tentang dunia halus.
4. Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu
tentang mimpi.
5. Teurgi (nairanjiyyat). Ilmu ini mengemukakan kekuatan-
kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak seperti
supernatural.

Klasifikasi ilmu tersebut berdasarkan pada perincian ilmu Al-


Ghazali dalam ar-Risalah al-Laduniyah dan The book of
Knowledge, yaitu berupa sintesis dari kedua buku tersebut dalam
topik klasifikasi-klasifikasi AL-Ghazali. Selanjutnya pasca Al-
Ghazali mengalami pengaruh cukup signifikan. Bahwa pemikiran
ilmu disunia Islam cenderung kurang rasionalistik dal lebih
selaras dengan pandangan Al-Quran dan Hadits.11

D. Hierarki Ilmu dalam Pandangan Sufi


1. Syariat

Syariat adalah pengetahuan atau konsep ilmu yang


merupakan cara formal untuk melaksanakan peribadatan
kepada Allah, sebagai bukti pengabdian manusia yang
diwujudkan berupa ibadah melalui wahyu yang disampaikan
kepada Rasul. Yang dirujuk oleh Al-Quran sebagai tujuan
utama penciptaan manusia.12

11 Ibid, hlm.126

12 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, 2006, (Jakarta:


Erlangga, 2006), hlm.27

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56)

Mengerjakan syariat itu diartikan sebagai mengerjakan


amal badaniyah dari segala hukum-hukum Allah swt, seperti
sholat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.Tegasnya
bahwa syariat itu ialah peraturan-peraturan yang bersumber
dari Al-Quran dan Sunnah.13 Sebagaimana dalam Al-Maidah
ayat 48 disebutkan:

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan


dan jalan yang terang (QS. Al-Maidah: 48)

Peraturan-peraturan yang diatur dalam syariat tersebut


adalah atas dasar Al-Quran dan Sunnah yang merupakan
sember-sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan
manusia. Tetapi menurut Sufi, bahwa syariat itu baru
merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan kepada
Allah.14

Dalam ilmu Tasawuf syariat adalah yang mengatur amal


ibadah dan muamalah secara lahir. Dalam tingkat ini,
membahas tentang amalan lahiriyah yang mana Syariat itu di
ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam.

Tasawuf dalam arti sikap rohani takwa yang selalu ingin


dekat dengan Allah SWT., dihubungkan dengan arti syariat
dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan
13 Dr. Musthofa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1998), hlm.84

14Ibid, hlm.85

7
kehidupan manusia, baik hablum minallah, hablum minannas,
maupun hablum minal alam, mempunyai hubungan yang
sangat erat dan saling mengisi antara satu dengan yang
lainnya.Untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat
dalam arti hakiki harus sepadan dengan tujuan tasawuf, yaitu
melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid
yang haqqul yaqin dan makrifatullah yang tahqiq.15

Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, maka


seluruh aktifitas syariat harus digerakkan, dimotivasi,
didasarkan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi
taala untuk memperoleh ridla Allah dan kemaslahatan umat
yang menjadi tujuan syariat. tasawuf adalah jiwa yang
memberi power kepada syariat, sedangkan syariat adalah
power itu.

Syariat dilaksankan oleh anggota dzahir manusia yang


mengadakan dan membuka hubungan dengan Allah SWT.,
sedangkan powernya melalui rohani batin yang datang
langsung dari Allah SWT. Ibarat listrik, kabel adalah syariat-
syariat lahirnya, sedangkan setrum adalah power melewati
kabel yang bersumber dari central dynamo. Power itu adalah
wasilah dari Allah SWT. melalui Arwahul Muqaddasah
Rasulullah SAW. terus bersambung, berantai melalui ahli
silsilah, sejak dari Nabi Muhammad SAW., kemudian Abu
Bakar ash-Shiddiq sampai Syekh Mursyid terakhir.

Para ahli silsilah atau Syekh Mursid itu, bukan perantara,


tetapi wasilah carrier, hamilul wasilah, pembawa wasilah.
Orang sufi bukanlah manusia akhirat saja, tetapi juga

15Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan


Bintang, 1983), hlm. 62

8
manusia dunia. Dia harus memenuhi fitrahnya.Terutama
untuk tercapainya tujuan syariat Islam.

2. Tarekat

Seperti syariat, tarekat (Thoriqoh) berarti jalan, hanya


saja kalau yang pertama jalan raya (road), maka yang
selanjutnya adalah jalan kecil (path).16 Dengan demikian
tarekat yang ditempuh para sufi dapat digambarkan sebagai
jalan yg berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut
syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini
menunjukan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan
mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari
hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. 17Maka tak
mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat
berpangkal.Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila
perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih
dahulu dengan seksama.

Tarekat kemudian dipahami sebagai jalan spiritual yang


ditempuh seorang sufi. Selain tarekat juga digunakan kata
suluk yang artinya perjalanan spiritual. Tetapi tarekat
merujuk sebuah kelompok persaudaraan atau ordo spiritual
yang biasanya didirikan oleh seorang sufi besar seperti Syekh
Abdul Qodir Al-Jailani, Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, Jalaluddin
Ar-Rumi, dll.18

16 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.15

17M. Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal.203

18 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.15

9
Para ulama berpendapat tarekat adalah suatu jalan yang
ditrempuh dengan sangat waspada dan berhati-hati ketika
beramal Ibadah. Seorang tidak begitu saja melakukan
rukhsoh, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan
ibadah. Diantaranya sikap hati-hati itu adalah bersifat wara.
Dengan demikian mengamalkan ilmu tarekat sama dengan
menghindari segala macam yang mubah.19

Menurut Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy


mengemukakan tiga macam definisi, yg berturut-turut
disebutkan:

Artinya:

Tariqat ialah pengamalan syariat, melaksanakan beban


ibadh ( dgn tekun ) dan menjauhkan ( diri ) dri ( sikap )
mempermudah ( ibadh ), yg sebenarnya memang tdk boleh
dipermudah20

Sebagai perjalanan spiritual, tarekat ditempuh oleh para


sufi disepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya
mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda,
sekalipun tujuannya sama yaitu menuju sedekat-dekatnya
dengan Tuhan. Meskipun demikian, para ahli sepakat untuk
memilah-milah tahapan perjalanan spiritual ini dengan
stasiun-stasiun (maqomat) dan keadaan-keadaan (ahwal).21

19Moh. Thoriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam


Dunia Modern, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm.102

20A. Mustofa, Akhlak Tasawuf ( Bandung: Pustaka Setia,


2007 ),hal.280.

10
Apa yang digambarkan tadi merupakan tarekat dalam
pengertian sebuah perjalanan spiritual, yang disebut juga
Suluk. Tetapi ada Tarekat dalam pengertian yang lain yakni
sebagai kelompok persaudaraan atau ordo spiritual.
Pengertian ini yang sebenarnya lebih dikenal dikalangan luas,
seperti tarekat Syadziliyah, Qodiriah, Naqsabandiyah, dan
sebagainya.tarekat dalam pengertian ini yaitu tentang
metode spiritual dan peranan sang guru (Mursyid). Seorang
mursyid akan mengajak para muridnya untuk melakukan
perjalanan spiritual bersama melalui zikir menuju Tuhan,
dengan cara seperti yang dialami dan dikuasai oleh sang
Mursyid. Metode ini harus diikuti dengan disiplin yang tinggi
dan penuh dengan ketaatan kepada petunjuk sang Mursyid.22

3. Hakikat

Hakikat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-


rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Pada tingkat ini
manusia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran
Allah, ia yang mencari dapat menemukan marifatullah.23

Menurut Imam Ghozali, tajalliadalah rahasia Allah berupa


cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu.
Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat dipandang
oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang,
sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang
tertutup rapat dari penglihatan lahiriyah manusia.24

21 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.18

22 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.18-19

23Moh. Thoriquddin, Op.cit, hlm.107

11
Para sufi menyebut diri mreka ahl al haqiqah. Penyebutan
ini mencerminkan obsesi mw=ereka terhadap kebenaran yg
hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mreka menyebut
Tuhan dengan al-haqq, seperti yang tercermin dalam
ungkapan al Hallaj, ana al Haqq. Obsesi penafsiran mereka
terhadap formula la ilaha illa Allah yg mreka artikan tidak
ada realitas yg sejati kecuali Allah.25

Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam


arti yang betul-betul ada, keberadan yang absolut, sedangkan
yang lain keberadannya tdklah hakiki, atau nisbi, dlm arti
tergantung pad kemurahan Tuhan. Dialah yang Awal dan
yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala
yang ada dan tujuan akhir, tempat mreka kembali.Ibarat
matahari, Dialah yg memberi cahaya kepad kegelapan dunia,
dan menyebabkan terangnya objek-objek yg tersembunyi di
dlm kegelapan tersebut.Dia jualah pemberi wujud, sehingga
benda-benda dunia menyembul dri persembunyiannnya yang
panjang.26

Al-Quran menggambarkan Tuhan sebagai al-Awwal dan


al-Akhir, al Zahir, dan al Batin. Al-Awwal dipahami para
sufi sebagai sumber atau prinsip atau asal dari segala yang
ada. Dialah causa prima, sebab pertama dari segala yang ada
atau maujudad di dunia ini.Dia yg akhir diartikan sebagai
tujuan akhir atau tempat kembali dri segala yang ada di
dunia ini, termasuk manusia.Dialah pulau harapan kamana

24Moh. Thoriquddin, Op.cit, hlm.107

25 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.6

26 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.7

12
bahtera kehidupan manusia berlayar. Inilah tujuan akhir sang
sufi mengorientasikan seluruh eksitensinya.27

4. Makrifat

Makrifat adalah sejenis pengetahuan yang mana para sufi


menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi
mereka. makrifat berbeda denga jenis pengetahuan yang
lain, karena ia menangkap objeknya secara lang sung, tidak
melalui representasi, image atau simbol dari objek-objek
penelitiannya.28

Seperti indra menangkap objeknya secara langsung,


demikian pula hati juga menangkap objeknya secara
langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau
indra adalah benda-benda indrawi, sedangkan objek instuisi
adalah entitas-entitas spiritual. Rleh karena itu makrifat
disebut sebagai ilmu eksperiental (dzauqi).29

Makrifat dapat dibedakan dari ilmu-ilmu rasional, dimana


pemilihan antara subjek dan objek begitu dominan dan jarak
antara keduanya sangatlah lebar. Akal menangkap objek-
objek non fisik melalui objek-objek yang telah dikatahui, jadi
bersifat inferensial, sedangkan instuisi menangkap objek-
objeknya langsung dari sumbernya. Oleh karenanya makrifat
tidak bisa diraih melalui jalan indrawi, juga tidak bisa melalui
jalan nalar, akan tetapi melalui jalan pengalaman. Jadi harus
dialami, bukan di pelajari.30

27 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.7

28 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.10

29 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.10

13
Apabila dihubungkan dengan pengalaman tasawwuf,
maka istilah marifah di sini berarti mengenal Allah ketika Sufi
mencapai suatu maqam dalam tasawuf. pada tingkat ini sang
sufi telah mencapai tujuan pokoknya yakni: mengenal Allah
yang sebenar-benarnya.31

Taftazany menerangkan dalam kitab syahrul Maqasid:


apabila seorang telah mencapai tujuan akhir dalam
pekerjaan suluknya ilallah dan fillah, pasti akan tenggelam
dalam lautan tauhid dan irfan sehinga zatnya selalu dalam
pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam
pengawasan sifat tuhan. Ketika itu orang tersebut fana dan
lenyap dalam suatu keadaan masiwalloh.Ia tidak melihat
dalam wujud ala mini kecuali Allah.32

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa


Ulama Tasawwuf, antara lain:33

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendpt


Ulama Tasawuf yg mengatakan:

Artinya:

Marifah ialah ketepatan hati (dalam memercayai


hadirnya) wujud yg wajib adanya (Allah) yg menggambarkan
segala kesempurnaan.

30 Mulyadi Kartanegara, Op.cit, hlm.11-12

31 Dr. Musthofa Zahri, Op.cit, hlm.89

32 Dr. Musthofa Zahri, Op.cit, hlm.89

33A. Mustofa, Op.cit, hlm.254

14
b. Asy-Syekh Muhammad Dahlan Al-Kadiriy
mengemukakan pendpt Abuth Thayyib A-Samiriy yg
mengatakan:

Artinya:

Marifah ialah hadirnya kebenaran Allah (padasufi) dalam


keadan hatinya selalu berhubungan dgn Nur Ilahi...

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur


Rahman bin Muhammad bin Abdillah yg mengatakan:

Artinya:

Marifah membuat ketenangan dlm hati, sebagaimana


ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal
pikiran).Barang siapa yg meningkat marifahnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).

Tingkatan Makrifat34

Makrifat Atas Ilmul Yaqin.

Firman Allah (S. At Takatsur : 5)

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan


pengetahuan (ilmu) yang yakin,

34 Dr. Musthofa Zahri, Op.cit, hlm.179-182

15
Pengertiannya mereka dalam keadaan mencari
kebenaran dengan jalan akal pikiran. Misalnya kita kenal
Udin SH salah seorang ahli hukum, karena Udin memakai
gelar SH. Gelar SH ini memberikan keyakinan kita dengan
pandangan ilmu, bahwa Udin adalah ahli hukum
(meskipun belum dilihat bukti dengan kasat mata)

Dengan kata lain diyakininya kebenaran berdasarkan


dalil yang dapat diterima oleh akal pikiran, dalam tarap
seperti ini, dinamakan makrifat atas ilmul yakin.

Jadi makrifat dibalik tabir diyakini kebenarannya


berdasarkan dalil yang dapat diterima oleh akal pikiran
dalam taraf seperti ini, dinamakan makrifat atas ilmul
yakin. Taraf makrifat seperti ini menurut ahli-ahli tasawuf
dinamakan makrifat dalam taraf:

Fana dalam tingkat fana filafal, tajalli fil-afal


artinya: tiada fiil/gerakan kecuali dengan fiil Allah

Makrifat Atas Ainul Yaqin

Firman Allah ( S. At Takatsur: 7 )

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan


melihatnya dengan mata/ 'ainul yaqin.

'Ainul yaqin artinya melihat dengan mata kepala


sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat.

Pengertian ayat tersebut mereka dalam keadaan


mencari kebenaran dengan penyaksian mata. Misalnya
kita kenal Udin SH itu sebagai ahli hukum, bukannya
sekedar ia mempunyai gelar SH, tetapi dengan jalan kita

16
telah membaca buku karangannya tentang ilmu hukum.
Dengan jalan ini keyakinan kita menjdi lebih kuat, karena
terdukung dengan pandangan lahiriyah maupun
pandangan bathiniyah bahwa Udin SH adalah ahli hukum.

Taraf makrifat ini dinamakan makrifat atas ainul


yaqin pada tingkat seperti ini menurut ahli-ahli tasawuf
dinamakan makrifat dalam taraf:

fana fis-sifat atau tajalli fissifat, artinya: Tiada yang


hidup, yang kuasa, yang berkehendak, yang mengetahui,
berkata-kata melainkan Allah




bahwa sesungguhnya ini adalah benar-benar


kenyataan/haqqul yaqin

Makrifat Atas Haqqul Yaqin.

Firman Allah Taala

Bahwa sesungguhnya ini adalah benar-benar


kenyataan/haqqulyaqin.

Untuk mempermudah pengertian, perumpamaan Udin


SH. :

1. Kita kenal ilmunya Udin SH itu karena ia


memakai gelar SH, namun ilmunya itu kita tidak lihat
dengan mata kepala.

2. Kita kenal ilmunya dengan jalan kita


melihat/membaca karangannya tentang ilmu hukum.

17
Jelasnya kita telah melihat dengan mata telanjang bahwa
Udin, memang ahli hukum karena tulisannya itu.

3. Kita kenal ilmunya dengan kebenaran yang


hakiki, karena kita menerima ilmunya tanpa perantara
lagi. Kita bermusyahadah, berpandang-pandangan
dengan dia.

Taraf makrifat ini dinamakan makrifat atas ainul


yaqin pada tingkat seperti ini menurut ahli-ahli tasawuf
dinamakan makrifat dalam taraf:

Fana dalam tarap fana fi dzat atau tajalli fidzat

Artinya: salik telah mencapai makrifat atas haqqul


yakin, dimana tiada wujud yang mutlak melainkan Allah,
dimana salik telah mencapai:

barang siapa yang tidak merasai,maka ia tidak


mengenal

barang siapa yang belum merasai, maka ia belum


mengenal

tiap-tiap orang atasnya kebinasaan/fana dan zat Allah


tetap baqa, yang mempunyai sifat sempurna dan maha
Agung.

E. Relevansi Ilmu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat

18
Agar seorang sufi benar-benar dapat mencapai tujuan utama
tasawuf, maka harus menempuh langkah-langkah dalam
bertasawuf. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
tasawuf adalah syariat, thoriqoh.Haqiqat, dan marifat. Syariat
tidak bias ditinggalkan oleh kaum mutasawwifin. Karena syariat
adalah unsure pokok bagi unsur-unsur berikutnya. Antara
syariat, thoriqot, haqiqot, dan marifat harus selalu berhubungan
erat dan saling melengkapi. Dan tarekat tanpa syariat jelas
batal. Sebagaimana dikemukakan sendiri oleh kaum
mutasawwifin dalam pandangan mereka:35

sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal, syariat
tanpa hakikat adalah tiaa berarti
Imam Ghozali mengatakan:
:
orang yang mengatakan bahwa hakikat berlawanan dengan
syariat, dan batin (agama) bertentangan dengan bagian lahir,
berrti ia lebih dekat pada kekufuran
Syariat ibarat kapal, yakni sebagai instrument mencapai
tujuan.Tarekat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang
mengantar ke tempat tujuan. Hakikat ibarat mutiara yag sangat
berharga dan banyak manfaatnya. Untuk mencari mutiara
hakikat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan
gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan
itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.36
Ilmu tasawuf menerangkan bahwa syariat itu hanyalah
peraturan belaka, taekatlah yang merupakan perbuatan untuk
melakukan syariat itu. Apabila syariat dan tarekat itu sudah
dikuasai, maka lahirlah hakikat yang tidak lain daripada
perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan ialah makrifat

35Moh. Thoriquddin, Op.cit, hlm.108-109

36Moh. Thoriquddin, Op.cit, hlm.102

19
yaitu mengenal tuhan dan mencintainya yang sebenar-benarnya
dan sebaik-baiknya. Nabi Muhammad saw bersabda, syariat itu
perkataanku, tarekat itu perbuatanku dan hakekat itu ialah
kelakuanku.37

F. Penutup

Dalam membangun dasar-dasar hierarki ilmu Al-Farabi


menyetir tiga kriteria menyusun hierarki ilmu. Pertama,
kemulyaan materi subjek (syaraf al-maudhu), Kedua, kedalaman
bukti-bukti (Istiqsho Al-Barohin), Ketiga, besarnya kemanfaatan.

Hierarki ilmu dalam pandangan sufi terdapat empat


tingkatan, yaitu syariat, thoriqot, hakikat, dan makrifat. Yang
tentunya antara satu dengan yang lain itu saling berkaitan.

Syariat ibarat kapal, yakni sebagai instrument mencapai


tujuan.Tarekat ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang
mengantar ke tempat tujuan. Hakikat ibarat mutiara yag sangat
berharga dan banyak manfaatnya. Untuk mencari mutiara
hakikat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan
gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan
itu, tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

G. Daftar Pustaka

Bakar, Osman. 1992. Hierarki Ilmu: Membangun rangka piker


islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan

Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo


Persada

37Dr. Musthofa Zahri, Op.cit, hlm.57

20
Kartanegara, Mulyadi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta:
Erlangga

Mustofa, A. 2007. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia

Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,


Jakarta: Bulan Bintang

Solihin, M. Ilmu Tasawuf. , 2008. Bandung: CV Pustaka Setia

Thoriquddin, Moh. 2008. Sekularitas Tasawuf: Membumikan


Tasawuf dalam Dunia Modern. Malang: UIN Malang Press

Zahri, Musthofa. 1998. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:


Bina Ilmu

21

Anda mungkin juga menyukai