2 Abdul Qodir Isa, Hakekat Tasawuf, (Jakarta: Qisthi Press, 2005) h.288
1
sehingga al-habb (biji-bijian) dinamakan al-hubb (cinta), karena
yang dimaksud adalah tempatnya.
Menurut al-Hujwiri al-mahabbah/al-hubb terambil dari kata
al-hibbah, merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di padang
pasir. Kata ini ditujukan kepada benih-benih di padang pasir
tersebut (al-hibb), karena cinta itu sebagai sumber kehidupan
sebagaimana benih-benih itu merupakan asal mula tanaman.
Tokoh lain menyatakan, al-mahabbah itu diambil dari al-hubb,
yang berarti sebuah tempayan penuh dengan air tenang, karena
jika cinta itu memenuhi hati, maka tak ada ruang bagi pikiran
tentang selain yang dicintai. Kata asy-Syibli cinta itu dinamakan
al-mahabbah, karena ia menghapus dari hati, segala sesuatu
kecuali yang dicintainya. Kata tokoh lain, al-mahabbah
diturunkan dari al-habb, jamak al-habbah, dan al-habbah itu
relung hati di mana cinta bersemayam. Sumber lain menuturkan,
kata itu diturunkan dari al-habab, yaitu gelembung-gelembung
air dan luapan-luapannya waktu hujan lebat, karena cinta itu
luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasih. Ini
sebagaimana badan bisa hidup, karena ada ruh, begitu pula hati
dapat hidup karena ada cinta, dan cinta bisa hidup, karena
melihat dan bersatu dengan kekasih.3
Sedangkan menurut Ibnu Dibagh cinta sesungguhnya
tidak dapat di ungkapkan hakikatnya kecuali oleh satu orang
yang merasakannya. Barangsiapa yang merasakannya, maka
cinta itu akan menguasai pikiranya dan dapat membuat lupa
akan apa yang sedang dialami, dan ini merupakan perkara yang
tidak mungkin di ungkapkan. Sedangkan ketika Junaid di tanya
tentang cinta, ia menjawab adalah banjirnya air mata dari kedua
matanya, dan berdebarnya hati karena kegelisahan dan
kerinduan. Permasalahan cinta pernah didiskusikan di Mekkah
yang dimuliakan Allah pada musim haji. Para Syeikh bertanya
tentang cinta kepada Junaid yang pada waktu itu paling muda di
antara yang lain, Junaid menunduk dan meneteskan air matanya,
kemudian berkata Seseorang yang pergi dari dirinya sendiri,
terus menerus mengingat Tuhannya, melaksanakan semua hak-
2
hakNya, melihatNya dengan mata hatinya, cahaya
keagunganNya membakar hatinya, kesucian minumannya
berasal dari kelembutanNya. Jika dia berbicara demi Allah, jika
dia mengatakan sesuatu maka hanya dari Allah. Jika dia bergerak
maka hanya atas perintah Allah. Dan jika diam, dia sedang
bersama Allah.4
3
penduduk langit pun mencintainya. Lalu dia akan diterima di
bumi. (HR.Bukhori)
Dalam Al-Quran dan Hadits banya sekali yang dijelaskan
kriteria hamba Allah yang di cintai-Nya, dan tentang apa saja
perbuatan, perkataan dan akhlak yang dicintai-Nya. Seperti
dalam Surat Al-Imron:143 Dan Allah mencintai orang-orang
yang bersabar. Atau dalam Surat Al-Maidah: 93, Dan Allah
mencintai orang-orang yang baik. Dan masih banyaj lagi ayat
Al-Quran maupuun hadits yang menjelaskannya.
Pada hakikatnya, Islam adalah amal, taklif dan hukum-
hukum. Adapun rohnya adalah Cinta. Amal tanpa dibarengi
dengan cinta sama seperti jasad yang tidak bernyawa.
4
7. Berkhalwat bersamaNya untuk bermunajat kepadaNya,
khususnya pada waktu sahur(menjelang subuh).
8. Bergaul dengan orang-orang yang benar-benar mencintai
Allah dan mengambil buah perkataan mereka yang baik-
baik.
9. Luluhnya hati secara keseluruhan di hadapan Allah, karena
merasa hina dan rendah diri.
10. Menjauhi apapun yang dapat melepaskan ikatan
antara hati dan Allah.
4. Tanda-tanda Cinta
5
6. Menikmati ketaatan, tidak menganggapnya berat dan tidak
merasakan keberatan.
7. Bersikap lembut dan sayang kepada hamba-hamba Allah,
dan bersifat keras kepada musuh-musuhNya.
8. Merasa takut dan berharap dalam mencintai Allah, dibawah
keagungan dan kemuliaanNya. Kadang-kadang orang
mengira bahwa rasa takut bertentangan dengan rasa cinta.
Padahal, mengetahui keagungan akan melahirkan
penghormatan, sebgaimana melihat keindahan akan
menimbulkan rasa cinta.
9. Menyembunyikan perasaan cinta, menhiindari pengakuan,
dan tidak memperlihatkan cinta tersebut, sebagai wujud
pengagungan, pemuliaan, penghormatan terhadap Sang
Kekasih.
10. Senang dan ridha kepada Allah. Adapun tanda-tanda
senang kepada Allah adalah tidak bermanja-manja dengan
makhluk, dan menikmati dzikir kepada Allah.
5. Tingkatan-tingkatan cinta
6
6. Asy-Syaghaf(cinta yang mendalam), yaitu sampainya cinta
ke dalam lubuk hati, orang yang mencintai tidak melihat
pada kekasaran, akan tetapi melihatnya sebagai keadilan
dan kesetiaan.
7. Al-Isyq(kerinduan), yaitu cinta yang berlebihan dan
pemiliknya dikhawatirkan karenannya.
8. At-tayammum, yaitu memperbudak dan merendahkan diri.
9. At-Taabud(penghambaan), yaitu tingkatan yang
menyebabkan perasaan hambanya tidak memiliki apa-apa
pada dirinya,
10. Al-Khulah artinya cinta yang memenuhi jiwa dan hati
orang yang mencintainya, sehingga tidak ada tempat
dihatinya selain untuk yang dicintainya.
7
Cinta Rabiah menomorsatukan ibadah kepada Allah swt. Ia
berpikir dan bersikap positif dalam setiap langkahnya. Cinta
kepada Allah oleh Rabiah dikelola dengan baik sebagai landasan
untuk selalu mendekatkan diri pada Allah swt.9
Cinta Rabiah ialah cinta yang berlandaskan pada keimanan
bukan sekedar hawa nafsu. Ia tidak mempunyai keinginan
sedikitpun untuk berharap balasan pada cintanya. Rabiah
mencintai dengan tulus dan sepenuh hati. bahkan Rabiah rela
ditempatkan dimana saja asalkan Allah rela terhadap dirinya.
Namun keinginan Rabiah hanya satu, selalu dekat pada Allah
swt.10
Doris Lessting, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah
member kesimpulan bahwa sufisme wanita ini adalah bentuk
sufisme cinta. sejenis sufisme yang menempatkan cinta
(mahabah) sebagai panggilan jiwa.11
Sepanjang hidup Rabiah mendarmabaktikan hidupnya
hanya untuk mencintai Allah swt. Tidak ada waktu luang yang Ia
habiskan selain mendekatkan diri kepada Sang Maha Kekasih.
Rabiah Adawiyah mulai memasuki fase Al-Hubb Al-Ilahi setelah Ia
tidak menyibukkan diri dengan hasrat duniawi (zuhud). Ia jalani
hidup sesederhana mungkin, layaknya kehidupan Rasulullah saw
yang enggan hidup berfoya-foya meski sebetulnya Ia bisa
bermegah-megahan. 12
Pada suatu waktu Rabi`ah ditanya pendapatnya tentang
batasan konsepsi cinta. Rabi`ah menjawab: Cinta berbicara
dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta
saja yang dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat
dijelaskan dengan kata-kata. Tak mungkin orang dapat
menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali
10 Ibid.
11 Ibid.
12 Ibid, h.12
8
sesuatu yang belum pernah digaulinya. Cinta tak mungkin
dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila tuntutan cinta itu
dikesampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan
menutup untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai
hati.13
Pada kesempatan yang lain, ada juga orang yang
menanyakan cinta kepada Rabi`ah. Rabi`ah juga menjawab,
bahwa: Cinta muncul dari keazalian (azl) dan menuju keabadian
(abad) serta tidak terlingkupi oleh salah satu dari delapan belas
ribu alam yang mampu meminum hatta seteguk serbatnya.14
Dalam dialog lain, ada 2 (dua) batasan cinta yang sering
dinyatakan Rabi`ah. Pernyataan pertama, sebagai ekspresi cinta
hamba kepada Allah, maka cinta itu harus menutup selain Sang
Kekasih atau Yang Dicinta. Dengan kata lain, maka 1, dia harus
memalingkan punggungnya dari dunia dan segala daya tariknya.
Lanjutnya 2, dia harus memisahkan dirinya sesama makhluk
ciptaan Allah, supaya dia tak bisa menarik dari Sang Pencipta.
Tambahnya 3, dia harus bangkit dari semua keinginan nafsu
duniawi dan tidak memberikan peluang adanya kesenangan dan
kesengsaraan. Karena kesenangan dan kesengasaraan dikhawa-
tirkan mengganggu perenungan pada Yang Maha Suci. Terlihat
sekali, Tuhan dipandang oleh Rabi`ah dengan penuh
kecemburuan sebagai titik konsentrasinya, sebab hanya Dia
sendirilah yang wajib dicintai hamba-Nya.15
Pernyataan kedua, kadar cinta kepada Allah itu harus tidak
ada pamrih apapun. Artinya, seseorang tidak dibenarkan
mengharapkan balasan dari Allah, baik ganjaran (pahala)
maupun pembebasan hukuman, paling tidak pengurangan.
Sebab yang dicari seorang hamba itu melaksanakan keinginan
13 Abdul Mun`im Qandil, terj. Mohd. Royhan Hasbullah dan Mohd.
Sofyan Amrullah, Figur Wanita Sufi: Perjalanan Hidup Rabiah Al-
Adawiyah dan Cintanya kepada Allah, cet. III, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2000), h.61
15 Ibid., h.122
9
Allah dan menyempurnakannya. Karenanya, kecintaan seseorang
itu bisa saja diubah agar lebih tinggi tingkatannya, hingga Allah
benar-benar dicintai. Lewat kadar kecintaan inilah, menurut
Rabi`ah dalam penafsiran Margaret Smith, Allah akan
menyatakan diri-Nya sendiri dalam keindahan yang sempurna.
Dan melalui jalan cinta inilah, jiwa yang mencintai akhirnya
mampu menyatu dengan Yang Dicintai dan di dalam kehendak-
Nya itulah akan ditemui kedamaian.16
Pada hari yang lain, Rabi`ah menyatakan 2 (dua) macam
pembagian cinta, sebagai puncak tasawufnya dan dinilai telah
mencapai tingkatan tertinggi dalam tahap cinta. Pembagian cinta
tersebut, lariknya adalah:
#
#
#
# 17
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta dari anugrah-
Mu
Adapun cinta dari kerinduanku
Menenggelamkan hati berzikir pada-Mu daripada selain Kamu
Adapun cinta yang dari anugrah-Mu
Adalah anugrah-Mu membukakan tabir sehingga aku melihat
wajah-Mu
Tidak ada puji untuk ini dan untuk itu bagiku
Akan tetapi dari-Mu segala puji baik untuk ini dan untuk itu.18
Pembagian cinta ini dinilai sebagai pelengkap keteladanan
awal suatu peralihan. Sejak saat itu, lambat laun mempengaruhi
karakteristik sufisme, yakni pengalihan sufisme dari pola hidup
10
protes terhadap dominasi duniawi (kemewahan hidup ekonomi
dan konflik politik), kepada suatu teori kemaujuan dan tatanan
teosofi. Karena tasawuf itu pada dasarnya ekstrim rohaniyah,
maka dalam pembagian cinta, Rabi`ah-lah orang yang merintis
untuk membelokkan ajaran Islam ke arah mistik yang ekstrim
rohaniyah. Dialah pelopor yang memperkenalkan cinta ajaran
mistik dalam Islam. Dimaksud, terbukanya tabir penyekat alam
ghaib, sehingga sang sufi akan bisa menyaksikan dan mengalami
serta berhubungan langsung dengan dunia ghaib dan zat Allah.
Kembali ke banyaknya pernyataan cinta Rabi`ah. Muncul
pertanyaan, apakah muncul begitu saja, tanpa suatu proses?
Dalam penelusuran Muhammad Atiyah Khamis, Rabi`ah telah
memperluas beberapa makna ataupun lingkup cinta Ilahi. Dulu
Rabi`ah mencintai Allah sebagaimana lazimnya kebanyakan
umat Islam, yaitu didorong karena mengharapkan surga Allah
dan sebaliknya takut akan neraka-Nya. Ini ternyata jelas melalui
pertanyaan doa Rabi`ah kepada Allah, yaitu O, Tuhan, apakah
Engkau akan membakar hamba-Mu di dalam neraka, yang
hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu menyebut-Mu, dan
hamba yang senantiasa takwa pada-Mu?
Sesudah Rabi`ah menyadari bahwa landasan cinta seperti
itu dianggap cinta yang masih sempit, Rabi`ah meningkatkan
motivasi dirinya sehingga dia sampai luluh dalam cinta Ilahi.
Artinya, dia mencintai Allah karena memang Allah patut untuk
dicintai, bukan karena ketakutan terhadap neraka ataupun
disebabkan mengharapkan surga-Nya. Ini terlihat, saat Rabi`ah
sakit. Waktu jama`ah menjenguk dan menanyakan keadaannya,
dia menjawab, aku tak tahu penyebab penyakitku ini. Demi Allah,
diperlihatkan padaku surga, lalu aku tertarik untuk memilikinya.
Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku ini, lalu Dia mencelaku.
Dia menghendaki agar aku kembali kepada-Nya dan menyadari
kesalahanku. Jadi dia tidak ingin menjadi pekerja wanita yang
tidak baik.
Terus ada peningkatan lagi. Dia justru minta dibakar api neraka,
jika menyembah Allah karena takut neraka dan sekaligus
mengharamkan surga, kalau dia mengharapkan surga. Atas
dasar cinta dalam penyembahan Allah, dia berkata, limpahkanlah
ganjaran yang lebih baik. Dia minta diberi kesempatan melihat
wajah Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, hingga merasa
11
bahagia berada dekat dengan Allah pada hari kebangkitan.
Lantas perasaan bahagia itu diakhiri dengan bagiku (Rabi`ah)
cukuplah keridlaan-Mu saja.
19
Wahai, Tuhan! Apabika aku beribadah kepada-Mu hanya
karena takut kepada neraka-Mu maka bakarlah aku di neraka-
Mu. Dan apabila aku beribadah kepada-Mu hanya menginginkan
surga-Mu maka keluarkanlah aku dari surga-Mu. Tetapi, jika aku
beribadah kepada-Mu hanya untuk-Mu semata, berikanlah
kepadaku keindahan-Mu yang abadi .
Begitu tingginya kadar kecintaan Rabi`ah kepada Allah
hingga pada gilirannya, dia menilai tidur itu tidak saja sebagai
bagian dari rangkaian mata rantai ibadahnya, akan tetapi juga
sekaligus sebagai musuhnya yang telah menyebabkan
berkurangnya ibadah. Perhatikan petikan berikut ini:
Wahai Tuhanku, semua manusia telah tidur nyenyak. Raja-raja
telah mengunci pintu istana masing-masing. Suami istri telah
berbaring di atas sofanya. Namun, Rabi`ah yang banyak dosa ini
masih bersimpuh di hadapan-Mu. Kebesaran dan Kemuliaan-Mu-
lah yang membuat aku terus berjaga malam begini. 20
Begitu terpusatnya cinta Rabi`ah kepada Allah, pada gilirannya
cinta bagi Rabi`ah adalah fanaa kepada Allah, hanya tertuju
kepada-Nya. Cinta bagi Rabi`ah itu tenggelam dalam renungan
mengenai Allah dan berpaling daripada segala makhluk, hingga
tidak ada lagi dalam jiwanya perasaan marah atau benci
terhadap musuh.
12
F.C. Happold (1960) memasukkan Rumi sebagai tokoh
terkemuka mitisisme cinta dan persatuan mistik. Mistisme jenis
ini berusaha membebaskan diri dari rasa terpisah dan
kesebatangkaraan diri, melalui jalan persatuan dengan alam dan
Tuhan, yang membawa rasa damai dan memberi kepuasan pada
jiwa. Merasa sepi, mistikus cinta berusaha meninggalkan diri
khayali atau ego rendah (nafs) dan pergi menuju Diri yang lebih
agung, Diri sejati dan Hakiki. Menurut pandangan mistikus cinta,
manusia adalah makhluk yang paling mampu menyadari
21
individualitasnya.
13
Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;
Ketika Dia memanggilmu,
23
Engkau pun akan memanggil-Nya!
24 Ibid., 239
14
Lewat Cintalah si mati akan jadi hidup,
Lewat Cintalah raja jadi budak!25
25 Ibid., 240.
15
Sesungguhnya cinta itu kekal; jadi harus diberikan kepada yang
kekal pula. Ia tidak pantas diberikan kepada yang
ditakdirkan fana. Sesungguhnya cinta itu mengalir dalam diri
orang yang dilaluinya, seperti darah, jika cinta diletakkan pada
tempatnya yang sesuai, ia laksana matahari yang tidak kunjung
tenggelam; atau bagaikan bunga indah yang tak kunjung layu.
Oleh karena itu carilah cinta suci yang abadi, cinta yang akan
memusnahkan segala sesuatu, yang mampu menyegarkan rasa
dahagamu.
16
diintegrasikan ke dalam pengalaman rohani dari perjalanan yang
sedang ditempuh oleh sufi.27 Semua itu sangat terkait dengan
akhlak yang dimiliki sufi. Sebagian besar syairnya
dalam Diwan menyiratkan semua itu, yang dapat dipandang
sebagai pengungkapan keadaan serta pengalaman-pengalaman
spiritual yang khas.
17
Kali ini seluruh diriku bebas dari kepentingan dunia
Setiap berhala dari empat anasir tubuh telah
kululuhkan
Sekali lagi aku telah menjadi muslim, sabuk
kekafiran kulepaskan
Sesaat aku berputar mengedari Sembilan angkasa raya
Kukitari planet dan bintang-bintang mengikuti sumbunya
Sesaat aku gaib di suatu tempat rahasia aku berada
bersama-Nya
Aku dekat ke kampung halamnnya, kusaksikan segala
yang harus disaksikan.29
Rumi menyatakan bahwa yang ia saksikan ialah keadaan
sebelum hari penciptaan berlangsung, yaitu ketika Yang Satu
sebagai Dzat Mutlak belum menyatakan diri dan jiwa manusia
masih bersatu dengan-Nya, yaitu ketika masih berada di dalam
perbendaharaan yang tersembunyi. Jadi, tempat rahasia itu,
bahwa jiwa manusia dapat menyaksikan Yang Satu sebagai
Wujud Hakiki dan rahasia penciptaan ialah di lubuk hati kita yang
paling dalam. Rumi sependapat dengan Abu Yazid Al-Busthami,
yang mengatakan bahwa apabila jiwa seorang sufi dirasuki cinta
atau antusiasme Ketuhanan, hanya Yang Satu yang akan
menjadi tumpuan perhatiannya. Selain-Nya akan lenyap dari
penglihatan hatinya dan jiwanya tak akan membiarkan yang lain
menapakkan jejak dalam kesadarannya.30
18