Anda di halaman 1dari 3

Bedug, Sakralitas Yang Digugat

Bedug merupakan instrumen musik tradisional yang telah digunakan sejak

ribuan tahun lalu dengan fungsi sebagai alat komunikasi baik dalam kegiatan ritual
keagamaan maupun politik.

Siapa yang tidak tahu bedug, instrumen musik yang terbuat dari kulit hewan yang
diregangkan dengan batang kayu yang di lubangi ini memiliki tempat tersendiri bagi
penganut agama tertentu.

Dalam konteks Budaya Timur kekinian, beduk cenderung dikaitkan dengan tradisi
budaya Islam. Jika pandangan ini ditarik ke dalam lingkup yang lebih mikro, semisal
pada budaya Jawa, keberadaan beduk Jawa dikaitkan dengan islamisasi Jawa, yang
mulai intensif dilakukan pada Era Wali Songo pada sekitar abad XV-XVI Masehi.
Artinya pada Masa Hindu-Buddha (abad V-XVI Masehi), terlebih lagi pada masa
Prasejarah, beduk belum bercokol di Jawa.

Namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa bedug berasal dari budaya Cina
dan India. Argumen tersebut diperkuat dengan banyaknya bedug-bedug yang
dijadikan alat upacara di klenteng atau biara-biara di Cina. Ada juga manuskrip
yang mengatakan bahwa bedug juga dipakai sebagai penanda kegiatan ritual.

Sumber lain mengatakana bahwa bedug di bawa ke Jawa oleh seorang muslim Cina
yaitu Laksamana Cheng Hoo. Konon sewaktu Cheng Ho datang ke Semarang
disambut baik oleh raja Semarang. Kemudian, ketika Cheng Ho hendak pergi, raja
semarang hendak memberikan hadian kepada Cheng Ho, namun Cheng Ho hanya
meminta bahwa dirinya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah,
bedug kemudian menjadi bagian dari masjid, seperti di negara China, Korea dan
Jepang, yang memposisikan bedug di kuil-kuil sebagai alat komunikasi ritual
keagamaan.

Alat Komunikasi
Fungsi arkhais dari beduk Jawa sebagai media untuk
mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang.
Dalam fungsi ini, bunyi tertentu manakala beduk ditabuh merupakan suatu kode
bunyi yang oleh masyarakat pemangkunya, yakni masyarakat Jawa masa Majapahit
(abad XIV-XVI), dimaknai sebagai tanda untuk melakukan sesuatu, yaitu berkumpul
di suatu tempat sebagai pernyataan siap untuk diberangkatkan ke medan laga.

Fungsi suara beduk sebagai petanda bunyi itu ditegaskan kembali oleh laporan
Cornelis de Houtman (akhir abad XVI), bahwa bunyinya menjadi tanda mengenai
adanya ba-haya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari,
tengah hari, atau tengah malam. Fungsinya sebagai tanda tentang adanya bahaya
ini dapat dibandingkan dengan bunyi kentongan (kul-kul) ketika ditabuh bertalu-talu
dalam tempo cepat (titir).

Sedangkan fungsinya sebagai penanda waktu (pagi hari, tegah hari dan te-ngah
malam) bisa dibadingkan dengan istilah dalam bahasa Jawa Kuna tabuh, yang
juga menujuk kepada petanda waktu. Dalam kaitan dengan petanda waktu, secara
khusus kata beduk sering digunakan untuk menandai waktu tepat pada tengah
hari hingga sekitar pulul 13 WIB.

Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1817 menulis The History Of Java,
antara lain membicarakan mengenai pembangian waktu pada siang hari, yang
terdiri atas: esok, tengangi, beduk, lingsir kulon, dan asar. Fungsi sebagai petanda
waktu juga diemban oleh teg-teg. Kode bunyi dari beduk berukuran besar ini oleh
masyarakat masa Majapahit juga dimaknai sebagai pemberi tanda, atau petanda
bunyi (time signal).

Pernah Digugat
Pada zaman orde baru, peran atau keberadaan bedug yang
berada di masjid, surau atau langgar sempat digugat dan dibersihkan. Terjadinya
pembersihan bedug di masjid, karena bedug dianggap bukan termasuk elemen
keislaman, kemudian bedug diganti dengan pengeras suara, yang kebanyakan
sudah dipakai sekarang ini.

Namun, menurut sebagian besar orang menilai penggantian bedug dengan


pengeras suara justru dapat lebih menyuarakan isi khotbah para imam lebih keras
dan bisa terdengar lebih luas.
(deni : berbagai sumber)

http://denmasdeni.blogspot.co.id/2008/12/bedug-sakralitas-yang-digugat.html

Anda mungkin juga menyukai