KIERKEGAARD
I. Pendahuluan
para filsuf idealisme hanya menggeluti persoalan-persoalan yang bersifat universal. Artinya,
para filsuf idealisme membangun satu sistem epistemologi yang berorientasi pada rasio murni.
Rasio murni bukanlah produk dari intelektual individu melainkan dasar dari embrio seluruh
realitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para filsuf idealisme melihat segala realitas
Bertitik tolak dari realitas yang demikian, Sren Kierkegaard [1] membangun satu sistem
filsafat yang tidak menggumuli persoalan-persoalan universal dan abstrak, melainkan persoalan-
persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang konkrit dan menjadi persolan eksistensial
manusia.[2] Bagi Kierkgaard, yang konkrit itulah yang menjadi titik tolak permenungan baru
tentang makna keberadaan manusia.[3] Atas dasar inilah Kierkegaard mencetuskan konsep
bangunan filsafat idealisme Jerman. Eksistensialisme merupakan suatu gugatan terhadap filsafat
idealisme yang cenderung mempersoalkan realitas secara universal dan mengabaikan eksistensi
individu. Secara khusus epistemologi Kirkegaard merupakan suatu usaha untuk mendobrak
abstraksionisme Hegel yang memutlakan Idea abstrak atau Roh sebagai kenyataan.
[4]
Kierkegaard melihat bahwa ide abstraksionisme Hegel merupakan suatu pereduksian
terhadap manusia konkrit atau individu bahkan kesadaran manusia konkrit hanyalah sebuah
dialektika dalam roh.[5] Oleh karena itu, Kierkegaard melihat Hegelianisme sebagai ancaman
besar terhadap individu, karena individu dilihat tidak lebih dari sekadar titik atau percikan dalam
sejarah.[6] Dengan kata lain, Hegel mereduksi personalitas atau eksistensi manusia yang konkrit
ke dalam realitas yang abstrak. Padahal, menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup
sebagai Aku umum tetapi sebagai aku individual dan tidak diasalkan kepada yang lain.
Hanya manusia yang bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya
sebagai individu yang bereksistensi.[7] Eksistensi manusia bukanlah suatu ada yang statis,
melainkan suatu menjadi yang di dalamnya terkandung suatu perpindahan yaitu dari
kemungkinan ke kenyataan. Oleh karena itu, Kierkegaard membedakan tiga tahap kehidupan
gagasannya tentang manusia sebagai individu atau persona yang bereksistensi dan konkrit. Ia
melihat bahwa hal yang paling mendasar bagi manusia adalah keadaan dirinya atau eksistensi
dirinya.[8] Menurut Kierkegaard, eksistensi hanya dapat diterapkan kepada manusia sebagai
individu yang konkrit, karena hanya aku individu yang konkrit ini yang bereksistensi, yang
sungguh-sungguh ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, aku yang
konkrit ini tidak dapat direduksi kepada realitas-realitas lain, sebab jika aku yang konkrit ini
direduksi ke dalam realitas-realitas yang lain itu, maka realitas diriku yang sesungguhnya
sebagai individu yang bereksistensi tercampur dengan realitas-realitas itu. Dengan demikian, aku
individu yang konkrit ini tidak memiliki kebebasan untuk mengembangkan dan mewujudkan
diriku sebagaimana adanya karena aku tergantung kepada realitas-realitas itu. Ketergantunganku
kepada realitas-realitas itu membuat aku tidak bisa untuk merealisasikan diriku sebagaimana aku
kehendaki. Padahal menurut Kierkegaard, eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya.
[9]
Menurut Kierkegaard, bereksistensi bukan berarti hidup dalam pola-pola abstrak dan
mekanis, tetapi terus menerus mengadakan pilihan-pilihan baru secara personal dan subjektif.
[10]
Dengan kata lain, eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam
kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan oleh
setiap orang bagi dirinya sendiri. Pilihan bukanlah soal konseptual melainkan soal komitmen
total seluruh pribadi individu. Berangkat dari kebebesan sebagai corak bereksistensi,
Kierkegaard dengan demikian tidak menempatkan individu ke dalam realitas yang abstrak tetapi
individu dilihat sebagai satu pribadi yang sungguh-sungguh hadir dan konkrit. Oleh karena itu,
dalam mengambil keputusan, hanya aku yang konkrit ini yang dapat mengambil keputusan atas
diriku sendiri dan bukan orang lain. Orang lain tidak berhak untuk menentukan pilihanku dalam
mengambil suatu keputusan atas apa yang aku lakukan. Oleh karena itu, menurut Kierkegaard,
barangsiapa yang tidak berani mengambil keputusan, maka ia tidak bereksistensi dalam arti yang
sebenarnya. Hanya orang yang berani mengambil keputusanlah yang dapat bereksistensi karena
dengan mengambil keputusan atas pilihannya sendiri, maka dia akan menentukan kemana arah
hidupnya.[11]
terhadap pemahaman Hegel tentang dialektika itu sendiri. Sebelum masuk kepada gagasan
Salah satu metode yang digunakan oleh Hegel dalam menguraikan filsafatnya adalah
metode dialektika. Hegel menggunakan metode dialektika bukan hanya sekadar untuk
menguraikan filsafatnya, tetapi dengan menggunakan metode ini, Hegel mau mencetuskan
bahwa kenyataan atau realitas merupakan suatu proses dialektis. Proses dialektis dalam
pemikiran Hegel merupakan produk dari realitas pengalaman hidup sehari-hari melalui dialog
dengan orang lain. Proses dialektis yang dipahami oleh Hegel dapat kita lihat dari argumen yang
dilontarkan oleh Hegel. Misalnya: apabila dalam sebuah dialog/percakapan terdapat sebuah
pendapat dan pendapat itu ditentang oleh pendapat lain, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan.
Menurut Hegel, apabila ada oposisi semacam ini, kita berusaha untuk mendamaikan keduanya
dengan sebuah pendapat yang lebih lengkap. Tahap ini menurut Hegel disebut sebagai proses
Tesis Hegel tentang dialektika ditentang oleh Kierkegaard dengan asumsi bahwa
tegangan-tegangan kunci dalam eksistensi manusia tidak dapat didamaikan melalui pemikiran
proses rasionalisasi dan dialektis.[13] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apabila Hegel
memahami Roh Mutlak sebagai proses dialektis, maka Kierkegaard memahaminya sebagai suatu
perkembangan kehidupan eksistensial individu. Selain tidak setuju dengan dialektika Hegel,
Kierkegaard juga tidak menerima pemikiran Hegel yang cenderung berpikir baik... ataupun... .
Menururt Kierkegaard, peralihan dari satu tahap ke tahap lain tidak dilakukan dengan pemikiran
melainkan dengan keputusan kehendak atau pilihan bahkan dengan suatu lompatan. Oleh karena
itu, Kierkegaard melukiskan kehidupan eksistensial manusia dalam tiga tahap, yaitu tahap estetis,
Terminologi estetis berasal dari kata Yunani, yang berarti mengindrai, mencecap.
indrawi dan emosi-emosinya. Akibatnya, individu yang berada dalam tahap ini tidak mencapai
suatu kesatuan batiniah yang terungkap dalam satu pendirian dan kematangan pribadi. Dengan
kata lain, individu masih dihadapkan pada realitas-realitas perasaan yang menyenangkan tanpa
memperhitungkan apakah perasaan itu baik atau tidak. Pada tahap ini, individu memiliki
keinginan yang besar untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Oleh karena itu,
menurut Kierkegaard tidak ada ukuran-ukuran moral yang umum atau keyakinan iman yang
ditetapkan untuk membatasi ruang gerak individu. Maka salah satu persoalan yang ditakuti oleh
individu pada tahap ini adalah rasa tidak enak dan kebosanan.
Kendatipun tahap ini merupakan tahap rendah dalam eksistensi manusia, namun tahap
ini tetap disebut sebagai tahap eksistensial, karena pada tahap ini setiap individu memiliki pilihan
bebas atas situasi-situasi yang dia hadapi. Bagaimana memahami pilihan ini, Kierkegaard
menampilkan tiga pahlawan estetis dari kebudayaan Barat, yaitu Don Juan seorang tokoh dalam
opera Mozart, Faust seorang tokoh ciptaan Goethe, dan Ahasuerus seorang Yahudi yang dalam
pengembaraannya tidak percaya kepada Allah maupun manusia. Menurut Kierkegaard, ketiga
tokoh ini merupakan perwakilan dari rasa kebosanan dan keputusasaan. Misalnya: Don Juan
memiliki rasa kebosanan keputusasaan karena apa yang dia menikmati terus menerus terulang.
Demikian pula dengan Faust yang menghadapai berbagai tantangan merasa ragu apakah dia
Kierkegaard merupakan personifikasi dari keputuasasaan karena ia memiliki realitas hidup yang
tidak jelas.
Dari ketiga contoh di atas, Kierkegaard melihat bahwa keputusan merupakan tahap
akhir dari sebuah pilihan eksistensi manusia. Artinya, ketika orang berada dalam situasi
kebosanan dan keputusasaan, maka orang itu memiliki kebebasan untuk berpindah kepada
Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu membuat suatu pilihan bebas atau
secara sadar memperhitungkan atau memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan
yang jahat dalam bertindak. Kierkgaard melukiskan peralihan dari eksistensi estetis ke eksistensi
etis seperti orang yang meninggalkan kepuasan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara
dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya. [14]Pada tahap ini
individu dapat menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan penguasaaan diri menghantar
universal. Dengan demikian, kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh pilihan-
asas moral universal, namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia
masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka. [15] Pada tahap ini,
manusia, tetapi dia tidak memahami dosa karena kelemahan-kelemahan manusia dapat diatasi
dengan kehendak atau dengan ide-ide belaka. Sokrates menyangkal dirinya demi asas-asas moral
universal. Oleh karena itu, individu pada tahap ini tidak memahami bahwa dasar-dasar
eksistensinya terbatas. Ia juga tidak menjumpai Paradoks Absolut kecuali kalau dia memiliki
realitas kehidupan yang mendalam sehingga dia ditantang untuk melompat ke eksistensi yang
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari eksistensial manusia. Dikatakan demikian
karena tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti
yang paling dalam dari manusia,[16] yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai realitas Yang
Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada
tahap ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata petir rahmat Tuhan dan dengan
mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus.[17] Tetapi, Kierkegaard
melihat bahwa iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks kendatipun hidup sebagai kristen
sejati kepada Allah. Menurut Kierkegaard, ketika Abraham mengorbankan putranya Ishak, pada
saat itu dia berhadapan dengan realitas paradoks, yaitu di satu pihak dia menyadari
keterbatasannya sebagai manusia tetapi melalui keterbatasan itu Abraham membangun satu relasi
intim dengan Yang Absolut. Pada tataran inilah Abraham benar-benar meninggalkan tahap etis
dan melompat kepada tahap religius, yaitu langsung berhadapan dengan Yang Absolut, dengan
Allah yang berpribadi, yang perintah-perintah-Nya bersifat mutlak dan tidak dapat diukur dengan
akal manusia.[19]
yang hendak memperjuangkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit.
Eksistensialisme berasal dari kata eks yang berarti keluar dan sistensi dari kata eksistere
yang berarti tampil, menempatkan diri, berdiri, ialah cara manusia berada di dunia ini. [20] Dari
pengertian ini dapat kita pahami bahwa eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang
Manusia dilihat bukan dari esensinya melainkan eksistensinya. Oleh karena itu, kaum
eksistensialis khususnya Kierkegaard melihat manusia sebagai individu yang bereksistensi tidak
dapat direduksi ke dalam realitas-realitas lain, karena eksistensi bukanlah suatu persona yang
mengakibatkan dua hal, yaitu positif dan negatif. Secara positif, Kierkegaard membangun satu
sistem filsafat yang menempatkan manusia sebagai individu yang bereksistensi dan konkrit. Oleh
karena itu, manusia tidak pernah dapat direduksi ke dalam realitas-realitas universal dan abstrak,
karena apabila manusia direduksi ke dalam realitas-realitas abstrak dan universal, maka manusia
tidak pernah memiliki kebebasan untuk merealisir atau mewujudkan dirinya sebagai individu
yang bereksistensi dan konkrit. Hal ini disebabkan oleh karena manusia tergantung kepada
realitas-realitas itu sendiri. Dengan kata lain, realitas-realitas itu memiliki hukum-hukumnya
sendiri dan ketika hukum-hukum itu diterapkan kepada individu yang bereksistensi, maka
individu itu mau tidak mau harus mengikuti hukum-hukum itu. Ia tidak pernah merealisir diri
sebagaimana adanya. Dengan demikian, Kierkgaard menyadarkan kita bahwa kita adalah
individu yang eksis, pribadi-peribadi yang sadar bukan sekadar sebagai bagian dari suatu
kerumunan, angka-angka dalam suatu kelompok atau benda-benda dalam suatu kumpulan
pada dasarnya adalah makhluk relasional. Sebagai makhluk relasional, manusia tidak bisa lepas
dari realitas sosial bahwa manusia hidup dalam relasi dengan orang lain. Manusia tidak pernah
hidup dalam kesendirian. Manusia selalu membutuhkan dan membangun relasi dengan orang
lain. Oleh karena itu, menurut penulis manusia tidak cukup hanya bereksitensi untuk dirinya
sendiri tetapi manusia bereksistensi untuk dirinya sendiri tanpa mengabaikan orang lain sebagai
bagian dari kehadirannya sebagai individu. Dengan kata lain, Kierkegaard kurang menghargai
IV. Relevansi
Bertitik tolak dari ketiga tahap eksistensial manusia, penulis melihat bahwa apa yang
digagas oleh Kierkegaard masih sangat relevan untuk zaman sekarang terutama bagaimana
manusia sebagai individu secara bebas menentukan pilihannya dalam mengambil sebuah
keputusan. Dalam mengambil keputusan, manusia sebagai individu tidak pernah bergantung
kepada dorang lain. Orang lain tidak berhak atas setiap keputusan individu untuk dirinya sendiri,
tetapi individu tidak bisa mengabaikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya.
Budi Hardiman, F., Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta:
Ryadi,Agustinus, Filsafat Barat Modern (Diktat kuliah), Malang: STFT Widya Sasana
------------------ Malang, 2007.
Van der Weij, P.A., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988.
[1]
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 244-
246. Sren Kierkegaard lahir pada tahun 1813 di kota Kopenhagen, Denmark. Ia lahir sebagai anak bungsu dari
tujuh bersaudara. Kierkegaard mewariskan sifat melankolik dan religius dari ayahnya. Pada tahun 1830, ia belajar di
fakultas teologi Universitas Copenhagen untuk menyenangkan ayahnya karena Kierkegaard sendiri tidak berminat
dalam bidang teologi. Selain belajar teologi, ia juga belajar filsafat dan kesusasteraan. Setelah belajar teologi,
Kierkegard mulai melancarkan kritik terhadap agama Kristen di Denmark yang kemudian menghantar dia kepada
sikap tidak percaya bahkan ia kehilangan kepercayaan pada patokan-patokan moral. Setelah ayahnya meninggal,
Kierkegaard mengalami suatu pertobatan religius dan sempat bertunangan dengan Regina Olsen, tetapi dia
memutuskan pertunangan itu dan memilih untuk hidup dalam kesendirian. Pada tahun 1855, Kierkgaard meninggal
dunia. Beberapa karya Kierkgaard yang terkenal adalah antara lain: Om Begrebet Ironi (The Concept of irony), yaitu
sebuah disertasi tentang konsep ironi, Either Or yang menyatakan sikap hidupnya (atau... atau...), The Concept of
Dread, Philosophical Fragemnts, Stages on Lifes Way, dan Concluding Unscientific Postscript, Attack upon
Christendom.
[2]
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hal. 124.
[3]
P.A. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: Gramedia, 1988, hal. 141.
[4]
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 248.
[5]
Ibid.,
[6]
P.A. Van der Weij, Op. Cit., hal., 139.
[7]
Harun Hadiwijono, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975, hal. 83.
[8]
Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 50.
[9]
Ibid.,
[10]
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 250.
[11]
Harun Hadiwijono, Ibid.,
[12]
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 181.
[13]
Agustinus Ryadi, Filsafat Barat Modern (Diktat Kuliah), Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2007, hal. 110
[14]
Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 125.
[15]
F. Budi Hardiman, Op. Cit., hal. 253.
[16]
Save M. Dagun, Op. Cit., hal. 52.
[17]
P.A. Op. Cit., hal. 142.
[18]
William Barret, Irrational Man: A Study in Exsistential Philosophy, Heinemmann: Melbourne Toronto,
1961.
[19]
Harun Hadiwijono, Op. Cit., hal. 126-127.
[20]
A. Gunawan Setiaardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia,Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 59.
[21]
Vincent Martin, O.P. Filsafat Eksistensialisme (Kierkegaard, Sartre, Camus), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001, hal. 25.
Filsafat Eksistensialisme Soren Aabye
Kierkegaard
Pendahuluan
Filsafat dalam bahasa Inggris yaitu philosophy, adapun filsafat berasal dari bahasa
Yunani. Philosophia yang terdiri atas dua kata: philos(cinta) atau philia (persahabatan tertarik
kepada) dan sophia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
intelegensi. Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran.
Pada hakikatnya filsafat adalah pondasi dari berbagai ilmu yang ada, Akan tetapi lama
kelamaan ilmu-ilmu khusus menemukan kekhasannya sendiri untuk kemudian memisahkan diri
dari filsafat. Gerak spesialisasi ilmu-ilmu itu semakin cepat pada abad modern, pertama ilmu-
ilmu eksakta, lalu diikuti ilmu-ilmu sosial seperti: ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi, geografi,
astronomi dan sebagainya.
Pembahasan
A. Biograf
Soren Aabye Kierkegaard, lahir di Kopenhagen, Denmark pada 5 Mei 1813 dan meninggal
pada 11 Nopember 1855. Kierkegaard adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19.
Kierkegaard dilahirkan dari sebuah kaya raya di Kopenhagen, ibukota Denmark. Anne
Sorensdater Lund Kierkegaard, adalah wanita yang telah melahirkannya yang juga merupakan
wanita yang sangat berpengaruh terhadap tulisan-tulisanya. Ayahnya bernama Michael
Pedersen Kierkegaard yang dikenal sangat saleh. Kierkegaard memiliki hubungan yang sangat
erat dengan ayahnya. Mereka sering memanfaatkan ranah imajinasinya untuk belajar melalui
serangkaian latihan dan permainan.
Ayah Kierkegaard merasa dirinya telah dikutuk oleh Tuhan, ia percaya bahwa tak ada
satupun anaknya yang berumur melebihi umur Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Hal ini
dikarenakan ia mempercayai bahwa dosa-dosa pribadinya menyebabkan ia layak menerima
hukuman itu.
Ayah Kierkegaard meninggal dunia pada 9 Agustus 1938 di usia 83 tahun. Sebelum
meninggal ia berpesan kepada anaknya agar kelak menjadi pendeta. Kierkegaard sangat
terpengaruh oleh pengalaman keagamaan ayahnya dan merasa terbebani untuk memenuhi
permintaannya.Perkenalan dengan pemahaman tentang dosa pada masa mudanya, dan
hubungannya antara ayah dan anak meletakkan dasar dari banyak karya Kierkegaard.
Kierkegaard masuk ke Sekolah Kebijakan Warga, ia memperoleh nilai yang sangat baik
dalam bahasa latin dan sejarah. Ia melanjutkan studinya dalam bidang teologi di Universitas
Kopenhagen. Disana ia semakin tertarik dengan filsafat dan literature. Di Universitas
Kierkegaard menulis disertasinya, Tentang Konsep Ironi dengan Rujukan Terus-Menerus
kepada Socrates, yang oleh panel universitas dianggap sebagai karya yang sangat penting dan
dipikirkan dengan baik, namun agak terlalu berbunga-bunga dan bersifat sastrawi untuk menjadi
sebuah tesis filsafat. Ia luluss pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Atrium, yang kini
setara dengan Ph. D. ia dapat membiayai pendidikannya, ongkos hidupnya, dan beberapa
penerbitan karyanya dengan warisan dari keluarganya.
Pada tahun 1836,ia mengalami krisis keagamaan dan patokan-patokan moral.karena krisis
ia sempat mempunyai niat untuk mengakhirinya hidupnya sendiri tapi setelahnya ayahya
meninggal ia pun kembali sadar,dan ia mulai membangun kembali keagamaan dan moralnya
yang pernah hancur itu.
Regina olsen adalah wanita yang dicintainya,ia jatuh cinta kepadanya semnjak wanita itu
berusia 14 tahun dan seakan akan ia adalah contoh dari penerapan filsafatnya,pada saat ia
berumur 27 tahun ia melamar wanita tersebut ketika itu Regina olsen berumur 18
tahun,pasangan ini diramalkan akan hidup bahagia dan tentram,keduanya pun mengharapkan
itu,akan tetapi ketika pertunangan itu berjalan 11 bulan Soren berubah pendirian ia mengambil
keputusan untuk mmutus pertunangannya,karena ia merasa tidak cocok untuk hidup
berkeluarga karena ada hal hal yang harus disembunyikanya,sementara didalam berkeluarga
tidak boleh ada yang disembunyikan pada pasangannya.
Sampai suatu hari Regine menikah dengan seorang pegawai negeri terkemuka, Johan
Frederik Schlegel. Sempat terjadi pertemuan-pertemuan terbatas antara Kierkegaard dan
Regine di jalan-jalan Kopenhagen. Dan bahkan Kierkegaard meminta izin suami Regine untuk
berbicara dengan Regine, namun Schlegel menolaknya. Tak lama kemudian, Schlegel
mengajak isrinya itu meninggalkan Denmark karena ia diangkat menjadi Gubernur di Hindia
Barat.
Pada saat Regine kembali ke Kopenhagen, ternyata Kierkegaard telah tutup usia pada tanggal
11 November 1855 di copenhagen dalam usia 42 tahun. Regine hidup hingga 1904, pada saat
kematiannya ia dikuburkan disamping Kierkegaard di pemakaman Assistens di Kopenhagen.
B. Karya karyanya
Daftar Karya Sren Kierkegaard
1. Konsep Ironi (Om Begrebet Ironi med stadigt Hensyn til
Socrates)
2. Ini/Itu (Enten - Eller)
3. Takut dan Gentar (Frygt og Bven)
4. Repetisi (Gjentagelsen)
5. Fragmen Filsafat (Philosophiske Smuler)
6. Konsep tentang Kecemasan (Begrebet Angest)
7. Tahap-tahap Jalan Kehidupan (Stadier paa Livets Vei)
8. Menyimpulkan Catatan Penutup yang Tidak Ilmiah bagi
Fragmen-fragmen Filsafat(Afsluttende uvidenskabelig
Efterskrift)
9. Wacana Membangun dalam Berbagai Roh (Opbyggelige
Taler i forskjellig Aand)
10. Karya Cinta Kasih (Kjerlighedens Gjerninger)
11. Wacana Kristen (Christelige Taler)
12. Nestapa Hingga Mati (Sygdommen til Dden)
13. Praktik dalam Kekristenan (Indvelse i Christendom)
C. Pemikirannya
b. Tahap Etis
Tahap etis merupakan suatu tahap di mana individu
membuat suatu pilihan bebas atau sebuah lompatan
eksistensial. Lompatan eksistensial mengandaikan bahwa
individu mulai secara sadar memperhitungkan atau
memilah-milah dan menggunakan kategori yang baik dan
yang jahat dalam bertindak. Pada tahap ini individu dapat
menguasai dan mengenali dirinya. Pengenalan dan
penguasaaan diri menghantar individu untuk
menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan ukuran-
ukuran moral yang bersifat universal. Dengan demikian,
kehidupan seorang individu pada tahap ini ditandai oleh
pilihan-pilihan konkrit berdasarkan pertimbangan rasio.
c. Tahap Religius
Tahap religius merupakan tahap tertinggi dari
eksistensial manusia. Dikatakan demikian karena tahap ini
tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan
langsung menembus inti yang paling dalam dari
manusia, yaitu pengakuan individu akan Allah sebagai
realitas Yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa
yang membutuhkan pengampunan dari Allah. Pada tahap
ini, manusia religius membiarkan diri terkena oleh mata
petir rahmat Tuhan dan dengan iman kepercayaan yang
besar ia mempertaruhkan seluruh kehidupannya demi
Allah. Ia mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi
mengikuti jejak Kristus. Tetapi, Kierkegaard melihat bahwa
iman kepercayaan Kristiani itu bersifat paradoks
kendatipun hidup sebagai kristen merupakan cara yang
paling tinggi bagi manusia.