Anda di halaman 1dari 6

A.

Hakikat Eksistensialisme
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks= keluar dan sistensi atau sisto yang berarti
menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada
dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di
sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus
berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan
berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya
bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu
bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu
mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan
kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

B.       Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme

Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji.
Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga
filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang
telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda,
akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada
instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-
betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada
eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.

b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.

c. Situasi dan Kondisi Dunia


Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat
yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah
laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia,
penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau
tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan
manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain
dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.

C.      Ciri-ciri Eksistensialisme
Dari sekian banyak filsuf eksistensialisme atau eksistensialis yang memiliki pendapat dan
pemikiran berbeda dalam ke-eksistensialimeannya, dapat kita temukan ciri-ciri yang sama, yang
menjadikan sistem itu dapat di cap sebagai eksistensialisme. Menurut Harun Hadiwijono (1990)
ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat
perhatian ini adalah manusia. Oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanitis.
2. Bereksistensi harus diartikan bersifat dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya
secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap manusia
menjadi lebih atau kurang dari keadaanya.
3. Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas
yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat kepada
dunia sekitarnya, terlebih lagi pada manusia sekitarnya.
4. Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkret, pengalama yang
eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan
kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman
keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti
kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.

.
D.      Tokoh-tokoh Eksistensialisme

a.           Soren Aabye Kiekegaard


Soren Aabye Kierkegaard (lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 – meninggal
di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah
seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat
dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap
sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti
misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,
dan emosi serta perasaan individu ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena
itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme
Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan
menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-
karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk
membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang
dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang
paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1)      Tentang Manusia
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi"
bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputus
asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman.
Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh,
Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami
agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu
filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk
filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita
kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat
kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang
akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah
karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang
sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum",
tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam
sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama
Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap
agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-
pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara
seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan
Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)      Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan
ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya.
Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak
dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka
besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak
perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru
terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya
bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya.
Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita
tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
·         Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini
eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan
pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya
keyakinan akan iman yang menentukan.
·         Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia
batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit
saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai
contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·         Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan.
Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis
manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
3)      Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat
jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran
sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini
menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu
dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan
membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan
yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat,
langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang
yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-
galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran
atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara
mutlak.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari
cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia
untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b.           Friedrich Nietzsche


Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan
untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super
(uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya
dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan
akan menemukan dirinya sendiri.

c.            Karl Jaspers


Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua
pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran
Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d.           Martin Heidegger


Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei
1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di
bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana
1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-
benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia
karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan
tujuan mereka.
e.            Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April
1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap
mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding
esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia
meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara
pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita
bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul
Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1)      Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan
kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan
mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan
integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia.
Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism
(1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan
kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari
kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung
jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada
hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni
memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk
pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak
manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya
sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang
ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar
diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah
suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap
kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2)      Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant
(Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-
Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a)      L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga
paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti
dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak
mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia
ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada
dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya
seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan
otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah
milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b)      L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi.
Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia
bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang
pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia
berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang
menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3)      Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak
mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini
menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung
pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri
tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4)      Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan
manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi
mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang.
Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa
hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia
tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya
sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan
merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak
dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-
satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan
dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep
keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir
yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski
demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat,
karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat
bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin
dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi
pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah
diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

Anda mungkin juga menyukai